Anda di halaman 1dari 28

SAKSI DAN HAKIM WANITA DALAM ISLAM

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada Mata Kuliah


Sejarah Peradilan Islam

Oleh:

WIDIA AMELIA

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Abd. Qadir Gassing, HT. M.Si.
Dr. H. Abd. Halim Talli, M.Ag.

JURUSAN SYARIAH/HUKUM ISLAM

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN

MAKASSAR

2019
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di era modern ini, isu-isu sosial yang marak dibicarakan dan banyak

perhatian dari dahulu sampai sekarang adalah masalah wanita.1 Masalah wanita

selalu menjadi salah satu topik yang menarik untuk dibahas.2 Dan juga merupakan

topik yang paling banyak menyita waktu kaum Muslimin, terlebih pada tahun-tahun

terakhir ini.3 Hal ini bukan saja karena umat Islam menyadari pentingnya

memahami dan menghidupkan wawasan Islam tentang wanita, tetapi juga akibat

benturan cara pandang umat Islam dalam memahami kandungan al-Qur’an.

Benturan tersebut seringkali menimbulkan reaksi yang emosional dan subjektif

terhadap kedudukan wanita dalam hukum Islam.4

Wanita dengan segala dinamikanya menjadi sumber inspirasi yang tidak

pernah habis dibahas. Banyak anggapan bahwa posisi dan kualitas wanita lebih

rendah dari laki-laki dengan melihat fakta-fakta yang terjadi pada masa jahiliyah

tentang posisi wanita dalam kehidupan sosial masyarakat yang begitu rendah dan

tidak dihargai dan juga wanita kurang bisa dipercaya secara penuh dalam urusan

publik bahkan wanita dianggap sebagai aib dalam kehidupan.5 Sehingga pandangan

ini bisa berkembang menjadi paandangan yang inferior, diskrimiatif dan misogonis.

1
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fikih Wanita (Cet. I; Pustaka al-Kautsar: Jakarta,
1998), h. IX.
2
M. Quraish Shihab, Wanita (Cet. IX; Lentera Hati: Tangerang, 2014), h. 31.
3
Haya Binti Mubarok al-Bark, Ensiklopedi Wanita Muslimah (Cet. I; Darul Falah: Jakarta
Pusat, 1418 H), h. 1.
4
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina: Analisa Komperatif
Pemikiran Imam Syafi’i dan Ibn Hazm”, Tesis (Riau : Program Pascasarjana UIN Sultan Syarif
Kasim, 2011), h. 1.
5
Lihat Asiaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS Al-Baqarah/2:282 antara
Makna Normatif dan Substantif dengan Pendekatan Hukum Islam”, Jurnal Yudisia (Vol. 7, No. 1,
Juni 2016), h. 178.
2

Misalanya saja, dalam aspek kesaksian wanita dan hakim wanita. Kedua hal ini

masih menjadi isu perdebatan dikalangan akademik maupun masyarakat biasa.

Kesaksian wanita dikalangan umat Islam masih menjadi polemik

disebabkan karena secara tekstual dan normatif dianggap nilainya separuh

kesaksian laki-laki, sebagaimana termuat dalam berbagai kitab fikih maupun kitab

tafsir. Pemahaman dalam kitab-kitab klasik tetap menganggap bahwa kesaksian

wanita separuh dari kesaksian laki-laki, namun belakangan kuat dorongan agar

kesaksian wanita disetarakan dengan kesaksian laki-laki, terlebih lagi bagi

kelompok yang memperjuangkan gender. Alasannya, jika pemahaman tersebut

dipertahankan maka seolah-olah menempatkan posisi kaum wanita lebih rendah

dari pada kaum laki-laki. Akibatnya, banyak tudingan terhadap Islam sebagai

agama yang diskriminatif terhadap kaum wanita.6

Permasalahan yang sama tentang hakim wanita, dalam Islam memunculkan

setidaknya tiga pandangan. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa wanita

tidak sah menjadi hakim dalam semua perkara seperti pendapat Imam Malik, Imam

Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa wanita

sah menjadi hakim, kecuali pada persoalan kasus pidana dan kisas seperti pendapat

tokoh fikih rasional Imam Abu Hanifah. Ketiga, pandangan yang menyatakan

bahwa wanita boleh menjadi hakim secara mutlak baik kasus perdata maupun

pidana seperti pendapat yang dipelopori Imam Ibn Jarir al-Tabari> dan Ibn Hazm.7

Polemik yang terjadi tentang kesaksian wanita dan hakim wanita yang telah

dijelaskan di atas perlu pembahasan yang lanjut agar tidak seringkali dipahami

6
Asiaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS Al-Baqarah/2:282 antara Makna
Normatif dan Substantif dengan Pendekatan Hukum Islam”, Jurnal Yudisia, h. 179.
7
Lihat Ihyak, “Relevansi Konsep Hakim Wanita dalam Peradilan Agama Indonesia: Studi
Komparatif Ibn Habib Al-Mawardi dengan Ibn Mas’ud Al-Kasani”, Ejournal Inklusif (Edisi 1, Vol.
1, 2016), h.4-5.
3

sebagai bentuk diskriminasi terhadap wanita khususnya di ranah sosial. Oleh karena

itu, makalah ini bertujuan untuk menganalisis berbagai hal tentang saksi dan hakim

wanita dalam perspektif Islam maupun di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Adapun latar belakang masalah pada makalah ini sebagai berikut;

1. Bagaimana kedudukan saksi wanita dalam Islam?

2. Bagaimana kedudukan hakim wanita dalam Islam?

3. Bagaimana kedudukan saksi dan hakim wanita di Indonesia?

BAB II

PEMBAHASAN
4

A. Saksi Wanita dalam Islam

1. Pengertian Saksi Wanita

Kata saksi merupakan turunan dari kata “kesaksian” yang secara etimologi

merupakan terjemahan dari bahasa Arab ‫ شهادة‬- ‫ شهد – يشهد‬yang memiliki makna

berita atau informasi yang pasti dimana digambarkan sebagai lendir yang keluar

dari kepala bayi ketika dia lahir.8 Kesaksian (syaha>dah) juga diartikan dengan

pemandangan, penglihatan dengan mata kepala9 atau bisa berarti bukti.10

Selain itu, kesaksian dalam Mu’jam al-Was}it} didefinisikan mengabarkan

suatu kabar yang qat}’i atau pasti dari si fulan untuk si fulan.11 Maksudnya

mendapat berita dari seseorang yang akan disampaikan pada orang lain sebagai

saksi, namun harus dengan syarat kesaksiannya jelas dan dapat dipercaya.

Secara terminologi, para hali hukum Islam menggunakan kata syaha>dah

dalam berbagai macam permasalahan. Pertama, mereka menggunakan lafal

syaha>dah atau sya>hid untuk orang yang meninggal dalam medan perang di jalan

Allah. Kedua, mereka juga menggunakan lafal syaha>dah untuk pengertian

sumpah seperti dalam masalah li’an. Ketiga, fukaha juga menggunakan lafal

syaha>dah untuk menunjukkan ikrar atau pengakuan. Keempat, syaha>dah juga

dipergunakan dalam pengertian pemberitaan yang pasti dihadapan pengadilan.12

Dan pengertian yang keempat inilah yang akan dibicarakan dalam makalah ini.

8
Abu> al-H}usain Ah}mad bin Fa>ris bin Zakariyya>, Maqa>yis al-Lugah, juz 3 (Beiru>t:
Ittiha>d al-Kitab al-‘Arabi, 1423 H/2002 M), h. 172.
9
Muhammad Idris al-Marbawi, Kamus al-Marbawi (Semarang: Pustaka Kautsar, t.th.),
h.328.
10
Ahmad Warson Munawwir,Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia (Cet. XIV; Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 747.
11
Ibra>him Mus{t}a>fa>, dkk., al-Mu’jam al-Wasit}, Juz 1 (t.d), h. 1032.
12
Asiaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS Al-Baqarah/2:282”,Yudisia, h.181.
5

Sedangkan dalam Ensiklopodi Indonesia, saksi selalu didefinisikan sebagai

seseorang yang mempunyai informasi tangan pertama mengenai suatu kejahatan

atau kejadian melalui indra mereka, misalnya penglihatan, pendengaran,

penciuman, sentuhan, yang dapat membantu memastikan pertimbangan-

pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau kejadian. Seorang saksi yang

melihat suatu kejadian secara langsung dikenal juga sebagai saksi mata. Saksi

sering dipanggil ke pengadilan untuk memberikan kesaksiannya dalam suatu proses

peradilan.13

Definisi saksi juga tercantum dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang No 8 Tahun

1981 dalam pasal 1 angka 35 KUHAP dinyatakan bahwa saksi adalah orang yang

dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan

peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan

ia rasakan sendiri.14

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud saksi (syaha>dah) merupakan orang yang dapat memberikan keterangan

atau pernyataan pasti tentang suatu perkara yang ia lihat sendiri, mendengar sendiri

dan mengalami sendiri.

2. Dasar Hukum Kesaksian Wanita

Al-Qur’an

13
Asiaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS Al-Baqarah/2:282”, Yudisia, h.
182.
14
Asiaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS Al-Baqarah/2:282”,Yudisia, h.
182.
6

Al-Qur’an banyak membahas tentang kesaksian15, namun yang populer

yakni dalam surah al-Baqarah ayat 282:

ِ ‫ش ِهي َدي ِْن ِم ْن ِر َجا ِل ُك ْم فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُكونَا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج ٌل َو ْام َرأَت‬
َ ‫َان ِم َّم ْن ت َْر‬
َ‫ض ْونَ ِمن‬ َ ‫ َوا ْست َ ْش ِهدُوا‬...
...‫َض َّل ِإحْ َدا ُه َما فَت ُ َذ ِ ِّك َر ِإحْ َدا ُه َما ْاْل ُ ْخ َرى‬
ِ ‫اء أ َ ْن ت‬ ُّ ‫ال‬
ِ ‫ش َه َد‬

Terjemahnya:
…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang wanita dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa,
maka yang seorang mengingatkannya…

Ayat ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan keterlibatan seorang

wanita dalam persaksian. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menafsirkan ayat ini

berhubungan dengan kesaksian pada saat bermuamalah tidak secara tunai untuk

waktu yang ditentukan hendaklah mencatatnya dan untuk lebih meyakinkan maka

ambillah saksi dalam muamalah tersebut. Jika dua saksi laki-laki tidak ada maka

kesaksian dua orang wanita dapat dipadankan dengan kesaksian satu orang laki-

laki. Hal ini hanya berlaku untuk perkara yang menyangkut perdata dan yang

diasumsikan sebagai kekayaan.16

Hadis

Salah satu hadis yang menjelaskan tentang kesaksian wanita yakni hadis

yang terdapat dalam kitab Imam Muslim yakni:

‫ يا معشر النساء تصدقن‬: ‫عن عبدهللاا بن عمر عن رسول هللاا صلى هللاا عليه و سلم أنه قال‬
‫وأكثرن االستغفار فإني رأيتكن أكثر أهل النار فقالت امرأة منهن جزلة وما لنا يا رسول هللاا‬
‫أكثر أهل النار قال تكثرن اللعن وتكفرن العشير وما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب لذي‬
‫لب منكن قالت يا رسول هللاا وما نقصان العقل والدين ؟ قال أما نقصان العقل فشهادة امرأتين‬

15
Lihat QS al-Baqarah/2:283, QS al-Ma>idah/5:106, QS al-Nisa>/4:15, QS al-Nu>r/24:4,
, QS al-Nu>r/24:6, , QS al-Nu>r/24:8, QS al-Talaq/65:2, QS al-Nisa>/4:35.
Lihat Abu> al-Fidai Isma>’il bin ‘Umar bin Katsi>r al-Qara>syi> al-Dimisqi>, Tafsit al-
16

Qur’a>n al-‘Z{i>m, jilid 1 (Riya>d:” Da>r al-T{aibah, 1999), h. 724.


7

‫تعدل شهادة رجل فهذا نقصان العقل وتمكث الليالي ما تصلي وتفطر في رمضان فهذا نقصان‬
17
‫الدين‬
Artinya:
Dari Abdulla>h bin ‘Umar dari Rasulullah saw. bahwasannya dia berkata:
Wahai kaum wanita, bersedekahlah dan perbanyak istigfar karena aku
melihat bahwa sebagian besar di antara kalian menjadi penghuni neraka,
salah seorang wanita bertanya dengan pelan, wahai Rasulullah mengapa
kebanyakan kami menjadi ahli neraka? Kalian banyak mengutuk dan tidak
bersyukur pada suami. Saya tidak melihat orang-orang yang kurang
penalaran dan agamanya yang paling dominan di antara pemilik akal selain
daripada kalian. Wanita ini bertanya apa yang dimaksud dengan kurang
penalaran dan agama. Nabi bersabda yang dimaksud dengan kurang
penalaran kesaksian dua wanita sepadan dengan kesaksian satu orang laki-
laki, inilah maksud kekurangan akal. Wanita berdiam beberapa hari tidak
salat dan berbuka puasa pada bulan ramadan, inilah yang dimaksud dengan
kekurangan agama.

Hadis di atas menjelaskan bahwa wanita bukanlah kurang cerdas namun

menunjukkan rahasia dibalik penciptaan kaum wanita yakni kurang memperhatikan

semua perkara secara komprehensif untuk hal-hal yang menurut kebiasaan tidak

dilakukan oleh wanita secara umum.18Atau yang dimaksud nuqs}an al-‘Aql pada

hadis di atas berarti frekuensi penggunaan akal pada wanita sangat rendah pada

waktu itu, karena faktor budaya yang kurang memberikan peluang dan kesempatan

bagi wanita untuk suatu pekerjaan yang secara khusus menggunakan fungsi akal,

seperti dalam hal kesaksian.19

3. Rukun dan Syarat-Syarat Saksi

Kesaksian seseorang terhadap sesuatu yang diketahuinya tidak selamanya

dapat diterima, dikarenakan harus memenuhi rukun dan syarat-syarat tertentu.

17
Abu al-Husayn Muslim bin Al-Hajjaj al-Qusyayri,al-Ja>mi’ al-S}hah}ih}, Juz 1 (t.t.p.:
‘Isa> al-Ba>bi al-Halabi> wa Syurakah, 1995), h. 86.
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 97-98.
18

Asiaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS Al-Baqarah/2:282, Yudisia, h.


19

193.
8

Adapun rukun kesaksian yaitu adanya orang yang bersaksi telah

menyaksikan suatu peristiwa (‫)الشاهد‬, adanya orang yang disaksikan (‫)المشهد به‬,

adanya orang dikenai sebuah keputusan hukum (‫)المشهد عليه‬, adanya objek atau

peristiwa yang membutuhkan kesaksian (‫ )المشهد فيه‬dan adanya redaksi kata dalam

memberikan kesaksian (‫)الصيغة‬.20

Ulama fikih, secara umum memberikan syarat-syarat dalam saksi sebagai

berikut;

a. Islam

Mayoritas ulama berpendapat bahwa kesaksian orang kafir tidak diterima

dalam pembuktian perkara, baik itu kepada orang Islam maupun kepada orang

kafir.21 Yang berbeda hanya dalam hal wasiat, mazhab Abu> Hanifah dan Hanbali

membolehkan kesaksian non Islam yang dibuat dalam pejalanan sesuai dalam QS

al-Ma>idah/5:106.22

b. Berakal Sehat dan Balig

Ketika seorang memberikan kesaksian harus dalam keadaan tidak gila dan

bukan anak kecil atau hampir dewasa karena perkataan atau pengakuan mereka

tidak berpengaruh pada hak yang menyangkut mereka sendiri, apalagi menyangkut

orang lain23 atau karena karena kesaksian adalah mengungkapkan tentang memori

terhadap suatu peristiwa dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang berakal

20
Syaikh Islam Abi> Yahya> Zakariyya> al-Ans{a>ri>, Fath{ul Wahha>b Basyrah
Manh{aj at-T{a>lib (Kairo : Da>r Fikr, t.th ), h. 383.
21
Abdul Rohman, “Analisis Pendapat Ibnu Hazm tentang Saksi Wanita dalam Pernikahan”,
Skripsi (Semarang: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo, 2017), h.
22
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 104-105.
23
Abdul Rohman, “Analisis Pendapat Ibnu Hazm tentang Saksi Wanita dalam Pernikahan”,
Skrpsi, h. 24.
9

dan dewasa. Dalam hal kesaksian anak-anak, imam Malik membolehkan di antara

sesamanya dalam kasus-kasus tertentu di anataran dalam masalah luka.24

c. Adil

Seorang saksi harus memiliki sifat adil yakni sikap istikamah dalam

agamanya, dimana kebaikan lebih mendominasi daripada keburukan. Seorang

tersebut tidak mempunyai dosa besar dan tidak jelas dosa kecilnya.25

d. Merdeka

Ulama Hanafi, Maliki, dan Syafi’i sepakat bahwa saksi harus orang yang

merdeka sehingga kesaksian budak tidak diterima.26 Sedangkan Imam Ahmad

membolehkan orang yang tidak merdeka menjadi saksi, karena tidak ada dalil yang

melarang, selama ia jujur dan amanah dalam kesaksiannya. 27 Namun demikian,

pengertian merdeka dalam hal ini pada hakikatnya adalah tidak ada ancaman atau

pun tekanan terhadap saksi.

e. Harus dapat Berbicara atau Tidak bisu

Abu Hanifah, Ahmad, Imam Syafi’i menerima kesaksian orang bisu jika ia

menuliskannya. Golongan Malikiyah menerima kesaksian orang yang bisu, bila

saksi tersebut dapat dipahami dalam mengungkapkan dengan isyarat sedangkan

Wahbah al-Zuhaili tetap menolak walau dengan isyarat karena yang dituntut dari

kesaksian itu adalah keyakinan dan keyakinan hanya bisa diungkapkan oleh

ucapan.28

f. Memiliki Ingatan yang Kuat

24
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 99-100.
25
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 100.
26
Muhammad Isna Wahyudi, “Nilai Pembuktian Saksi Wanita dalam Hukum Islam”,
Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam (Vol. 8. No. 1, Januari 2009), h. 115.
27
Abdul Rohman, “Analisis Pendapat Ibnu Hazm tentang Saksi Wanita dalam Pernikahan”,
Skrpsi, h. 24-25.
28
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 103-104.
10

Menurut Sayyid Sabiq, saksi itu harus cermat dan faham, tidak terkenal

ingatannya buruk dan sering lupa.29

g. Melihat Peristiwa yang Terjadi

Abu Hanifa dan Imam Syafi’i tidak menerima kesaksian orang buta. Namun

menurut Imam Syafi’i, jika seseorang melihat suatu kejadian dan mengingatnya

dengan baik saat penglihatannya normal lalu ia memberi kesaksian tentang hal itu

saat buta maka kesaksiannya dapat diterima, karena ia menyaksikannya di saat

masih bisa melihat tetapi menyampaikan kesaksiannya di saat dia buta.30

h. Netral (Tidak ada kepentingan)

Saksi dan tersangka tidak memiliki hubungan kekeluargaan dan tidak ada

permusuhan atau dendam.

4. Ketentuan Kesaksian Berdasarkan Jumlah

a. Kesaksian dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang wanita

yang beragama Islam

Ketentuan ini berhubungan dengan harta seperti jual beli, batas transaksi,

khiya>r, gadai, wasiat, hibah, wakaf, kerusakan pada harta jaminan, meyebut mas

kawin. Untuk kesaksian wasiat tentang harta yang dilakukan dalam perjalanan

maka diterima kesaksian dua orang laki-laki yang Islam atau seorang laki-laki

dengan dua orang wanita atau kesaksian dari dua orang laki-laki non-muslim.

Kesaksian yang terdiri dari satu orang laki-laki dan dua orang wanita ini pada

umumnya adalah kesaksian di bidang perdata.31

b. Kesaksian dua orang lak-laki

Muhammad Sayyid Qutb, Fiqhi Sunnah (Kairo: Dar Fath al-‘Arabi, 1998), h. 273.
29

30
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 106.
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 109.
31
11

Ketentuan ini terjadi pada kasus perdata maupun pidana seperti pernikahan,

perceraian, pembebasan budak, nasab, perwakilan yakni pemberian kuasa dalam

harta benda, penerimaan wasiat, pernikahan dan ruju’, dakwaan tehadap

pembunuhan orang kafir, pembunuhan yang disengaja dan segala had selain zina.

Dan jika dalam pembunuhan sengaja dan pencurian tidak memenuhi jumalah

kesaksian maka tidak dilakukan hukum kisas, diyat atau potong tangan bagi

pencuri.32

c. Kesaksian empat orang laki-laki

Ketentuan ini secara khusus diberlakukan pada kesaksian kasus terhadap

pelaku zina.33 Karena perzinaan adalah kasus yang harus ditutupi sehingga nisab

saksi yang harus dicapainya berat. Dalam kasus zina bukan hanya hak yang

terabaikan tetapi menyangkut masalah had. Hukuman tidak bisa dilaksanakan kalau

ada kesamaran dalam penentuan kebenarannya.34

d. Kesaksian dua orang wanita atau empat orang wanita

Kesaksian yang dilakukan oleh minimal dua orang wanita dalam hal yang

berkaitan dengan yang hanya lazimnya diketahui oleh wanita seperti kesaksian

keperawanan, saudara sepersusuan, penyakit atau cacat yang dimiliki wanita pada

bagian tubuhnya.35

e. Kesaksian seorang laki-laki saja atau seorang wanita

32
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 109-110.
33
Andi Sharfiah Mustari, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Sistem Peradilan: Studi
Perbandingan Hukum Nasional dan Hukum Islam”, Skripsi (Makassar: Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Alauddin Makassar, 2017), h.
34
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 111.
35
Andi Sharfiah Mustari, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Sistem Peradilan”, Skripsi, h.
89.
12

Dalam melihat hilal ketika awal ramadhan para fukaha membolehkan

kesaksian seorang laki-laki saja atau seorang wanita.36

5. Kedudukan Saksi Wanita dalam Hukum Islam

Pada dasarnya, para fukaha klasik mengakui kedudukan wanita untuk dapat

menjadi saksi. Namun ulama berbeda pendapat tentang kandungan QS al-

Baqarah/2:282 yang menegaskan bahwa dua saksi wanita sebanding dengan satu

saksi laki-laki atau kesaksian wanita hanya setara dengan setengah kesaksian laki-

laki. Adapun penafsiran ulama terkait ayat tersebut yakni:

Menilai Kesaksian Wanita Separuh Kesaksian Laki-laki

Ulama yang berpendapat tentang hal ini dengan melihat makna normatif QS

al-Baqarah/2:282. Pertama, Al-Qurt{u>bi> memahami bahwa kesaksian wanita

separuh dari kesaksian laki-laki. Bahkan ia tidak membolehkan kesaksian wanita

jika masih ada laki-laki yang bisa menjadi saksi. Kedua, Al-Syaukani memahami

hal yang sama dengan al-Qurtubi terkait dengan ayat tersebut namun ia

menambahkan syarat wanita bisa menjadi saksi asalkan ditemani laki-laki. Jika

hanya wanita, maka kesaksiannya ditolak kecuali dalam hal privasi.37

Menilai Kesaksian Wanita Setara dengan Kesaksian Laki-Laki

Ulama yang berpendapat tentang hal ini dengan melihat makna substantif

QS al-Baqarah/2:282 bahwa ayat ini tidak lepas dari kondisi wanita pada masa itu.

Pertama, Ibnu ‘Asyu>r mencoba lebih mendalami mengapa ayat tersebut

memosisikan wanita separuh nilainya dari laki-laki. Ibnu ‘Asyur memulainya

dengan membantah pendapat ulama yang mengatakan bahwa wanita bisa jadi saksi

jika laki-laki berhalangan dan tidak boleh sendirian tanpa dibarengi laki-laki

dengan mengungkapkan bahwa tujuan syar’i (pembuat syariat) sejatinya adalah

Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 112.
36

Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS Al-Baqarah/2:282”, Yudisia, h.


37

189.
13

memperluas transaksi pada semua komponen masyarakat, termasuk wanita. Tujuan

lain adalah pembiasaan dengan melibatkan wanita dalam urusan kehidupan sosial

dimana masa jahiliyah wanita tidak diperkenankan ikut serta dalam urusan

kehidupan sosial. Oleh karena itu, Allah swt. mengawali keterlibatan mereka

dengan menjadikan dua wanita sama dengan satu laki-laki dengan mengutarakan

alasannya agar mereka saling mengingatkan dan melengkapi sehingga orang-orang

Arab dapat menerimanya. Sebab jika tidak demikian, maka mereka tidak akan

merasa tenang tanpa memosisikan dua wanita baru sebanding dengan satu laki-

laki.38

Kedua, Al-Sya’ra>wi> mengungkapkan hal yang sama dengan Ibnu

‘Asyu>r bahwa Allah swt. menutut seseorang sesuai dengan kadar kemampuannya,

karena sejatinya wanita tidak terkait dengan urusan transaksi harta benda dan

bukanlah bidangnya untuk mengurusi hal tersebut. Oleh karena itu, jika terpaksa

wanita dilibatkan dalam masalah transaksi maka kesaksiannya bernilai separuh dari

laki-laki sebab pada dasarnya dalam pikiran wanita bahwa ia tidak disibukkan

dengan urusan sosial, apa lagi bercampur baur dengan laki-laki dalam urusan

pekerjaan.39

Berdasarkan pro kontra tentang penafsiran QS al-Baqarah/2:282 tentang

nilai kesaksian wanita, maka ayat di atas pada dasarnya tidak menunjukkan

inferioritas wanita dan juga tidak dimaksudkan mendiskriminasikan wanita. Ayat

ini justru telah mengangkat posisi wanita agar sederajat dengan laki-laki dalam

kesaksian dan mendorong partisipasi wanita yang sebelumnya diposisikan hanya

pada wilayah domestik.

Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS al-Baqarah/2:282”, Yudisia, h.


38

189.
Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS al-Baqarah/2:282”, Yudisia, h.
39

191.
14

Ketentuan dua wanita untuk menggantikan satu laki-laki ditetapkan karena

pada masa itu pengalaman kaum wanita dalam transaksi bisnis dan keuangan

kurang memadai dibandingkan dengan laki-laki. Wanita saat itu jarang terjun dalam

dunia bisnis dan transaksi keuangan. Mempertimbangkan kenyataan ini sebagai

bentuk advokasi terhadap wanita saat itu, al-Qur’an meminta apabila wanita

dijadikan saksi, maka harus didampingi oleh wanita lain, menjadi dua orang saksi.

Kedua orang wanita tersebut memiliki fungsi sebagai saksi dan pengingat, jika

salah satu dari keduanya lupa maka akan diingatkan oleh yang lain. Tapi itu bukan

berarti bahwa wanita memang tidak cerdas atau akalnya lemah, melainkan kerena

keterbatasan pengalaman wanita saat itu dalam dunia bisnis dan transaksi

keuangan.40

Selain itu, Ulama berbeda pendapat dalam kesaksian wanita dalam berbagai

kasus, sebagai berikut;

Kasus Hukum Keluarga

Mereka berbeda pendapat tentang kesaksian wanita dalam kasus hukum

keluarga seperti perkawinan, perceraian dan sebagainya. Menurut Abu> H{ani>fah

kesaksian wanita dapat diterima dalam kasus hukum keluarga, sedangkan Imam

Ma>lik tidak menerima kesaksian yang demikian itu.41

Kasus Hukum Keluarga yang Lazim Diketahui Wanita

Hukum keluarga yang lazimnya diketahui wanita seperti kelahiran,

pengungkapan cacat-cacat wanita dan sebagainya, mayoritas ulama menerima

kesaksian wanita saja tanpa disertai saksi laki-laki. Tetapi mereka berbeda pendapat

dalam kasus persusuan. Munurut Abu> H{ani>fah, kesaksian wanita dalam hal ini

Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS al-Baqarah/2:282”, Yudisia, h.


40

194.
Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS al-Baqarah/2:282”, Yudisia, h.
41

183.
15

tidak dapat diterima, kecuali bersama-sama dengan saksi laki-laki. Namun menurut

Imam Malik, kesaksian hanya wanita saja dalam kasus persusuan ini dapat diterima

jika jumlah saksi wanita itu mencapai dua orang, sedangkan menurut Imam Syafi’i,

kesaksian semacam ini dapat diterima jika jumlah saksi wanita ini mencapai empat

orang.42

Kasus Hukum Pidana

Mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita tidak bisa menjadi saksi dalam

kasus hukum pidana, baik bersama ataupun tanpa saksi laki-laki, akan tetapi

menurut Ibn Hazm, kesaksian wanita itu dapat diterima jika bersama laki-laki dan

jumlah saksi wanita ini lebih dari seorang. Khusus dalam kasus perzinahan,

mayoritas ulama klasik sepakat bahwa saksi itu minimal empat orang laki-laki.

Dengan demikan kesaksian wanita dalam kasus perzinahan tidak bisa diterima

secara mutlak.43

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa wilayah kesaksian wanita tidak dapat

terlepas harusnya ada laki-laki dan juga hanya memberikan tempat khusus bagi

wanita untuk bersaksi, yaitu hanya menyangkut urusan keperempuanan, bukan

urusan publik yang luas. Ini adalah tipikal pemikiran ulama klasik karena melihat

kondisi sosial wanita pada masa itu yang dibatasi untuk berekspresi di dinia pubilik.

Dan tentunya pandangan tersebut bersifat temporal, karena kenyataan sekarang,

status, posisi dan kondisi wanita hampir tidak ada yang berbeda dengan laki-laki.

B. Hakim Wanita dalam Islam

Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS al-Baqarah/2:282”, Yudisia, h.


42

183-184
Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS al-Baqarah/2:282”, Yudisia, h.
43

184.
16

1. Pengertian Hakim

Secara etimologi, kata hakim berasal dari kata ‫ حكم – يحكم – حاكم‬yang

artinya sepadan dengan kata qa>d{i yang berarti memutus, orang yang bijaksana

atau orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya.44Sedangkan dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata hakim berarti orang yang mengadili

pekara di pengadilan atau mahkamah.45

Secara terminologi, hakim yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara

untuk menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan dalam bidang perdata, oleh

karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan. 46 Adapun

menurut UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama disebutkan bahwa hakim

adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.

Jadi, hakim ialah orang yang bertugas untuk memutuskan, menerima,

memeriksa, megadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan melalui

persidangan.

2. Syarat-Syarat Hakim

Mengenai pengangkatan seorang hakim, dalam literatur fikih, para ahli

memberikan syarat-syarat sebagai berikut;47

a. Laki-laki yang merdeka. Menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad bahwa anak

kecil dan wanita tidak sah menjadi hakim. Sedangkan tentang hakim wanita,

hanafia tidak membolehkan wanita menjadi hakim dalam masalah pidana dan

44
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, h. 286.
45
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), h. 158.
46
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 39.
47
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia (Cet. III; Jakarta: Kencana, 2017), h. 5-6.
17

kisas dengan alasan karena kedua hal tersebut kesaksiannya tidak dapat

diterima.

b. Berakal (mempunyai kecerdasan). Syarat ini disepakati seluruh ulama di mana

hakim haruslah cerdas, bijaksana, mampu memperoleh penjelasan dan

menanggapi sesuatu yang muskil.

c. Beragama Islam. Adapun alasan jumhul ulama kenapa keislaman seseorang

menjadi syarat seorang hakim karena keislaman merupakan syarat untuk

menjadi saksi atas seorang muslim. Sedangkan Hanafi berpendapat lebih rinci

yakni boleh mengangkat hakim bukan orang muslim untuk memutus perkara

orang bukan muslim.

d. Adil. Hakim haruslah orang yang terpelihara dari perbuatan-perbuatan haran,

dipercaya kejujurannya, baik di waktu ia marah maupun tenang. Golongan

Hanafi berpendapat bahwa putusan hakim yang fasik adalah sah apabila sesuai

dengan syara’ dan undang-undang sedangkan imam syafi’i tidak menerima

dengan alasan bahwa saksi fasik tidak diterima.

e. Mengetahui segala Pokok Hukum dan Cabang-Cabangnya. Hakim harus

mengetahui hal ini agar memperoleh jalan untuk mengetahui hukum-hukum

yang harus diberikan bagi perkara yang diajukan padanya. Dalam hal ini Hanafi

dan al-Gazali membolehkan mukalid menjadi hakim karena mencari orang adil

dan ahli ijtihad sangat sulit.

f. Mendengar, Melihat dan Tidak Bisu. Orang bisu dikarenakan tidak dapat

menyebut putusan yang dijatuhkannya, orang buta tidak dapat melihat.

Syarat-syarat menjadi hakim pada pengadilan agama sesuai dalam Undang-

Undang No. 7 tahun 1989, seorang calon hakim harus memenuhi sayarat-syarat

seperti merupakan warga Indonesia, beragama Islam, bertakwa pada Tuhan Yang

Maha Esa, setia pada Pancasila dan UUD 1945, bukan anggota organisasi terlarang
18

Partai Komunis Indonesia atau bukan seseorang yang terlibat langsung atau tak

langsung dalam gerakan kotra revolusi G-30 S/PKI, pegawai negeri, sarjana syariah

atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, berumur serendah-rendahnya 25

tahun, berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.48

3. Kedudukan Hakim Wanita dalam Islam

Secara umum, kalangan ulama fukaha dan ulama modern menjadi tiga

bagian dalam melihat keadaan wanita menjadi hakim yakni sebagai berikut;

Memperbolehkan untuk Perkara Perdata tidak untuk Pidana

Tokoh ulama yang berpegang pada pendapat ini yakni Imam Abu>

H{ani>fah, Al-Syauka>ni, Al-Zamarkasyi, Ibn Hamma>m.

Pendapat ini dipelopori oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah

menolak penggunaan hadis tentang larangan wanita menjadi pemimpin dijadikan

dasar sebagai larangan wanita menjadi hakim, beliau beralasan bahwa kapasitas

Nabi saat menyampaikan hadis tersebut bukan dalam kapasitas sebagai Nabi dan

Rasul yang mendukung kebenaran wahyu, tetapi dalam kapasitas Nabi sebagai

manusia biasa yang mengungkap realitas sosial di masyarakat yakni mengantisipasi

kemungkinan buruk yang terjadi kemudian hari apabila pemimpin diserahkan

kepada wanita.49

Ibnu Hamma>m, salah satu tokoh mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa

laki-laki tidak menjadi syarat untuk menjadi hakim kecuali dalam masalah h{udu>d

dan pidana. Larangan wanita menjadi hakim pidana dikiyaskan dengan larangan

wanita menjadi saksi pada kasus pidana, karena kapabilitas untuk menjadi hakim

tergantung pada kapabilitas untuk menjadi saksi. Pendapat kalangan Hanafiyah

48
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h. 6.
49
Uswatul Fikriyah, “Pandangan Tokoh Masyarakat Kota Malang terhadap Keabsahan
Putusan Hakim Wanita di Pengadilan Agama dalam Sistem Hukum Indonesia dan Hukum Islam,
Jurnal Musa>wa (Vol. 15 No. 2 Juli 2016), h. 218.
19

mengenai kebolehan wanita menjadi hakim didasarkan pada nash QS al-

Taubah/9:71 yang menyatakan kesetaraan laki-laki dengan wanita.50

Melarang atau Menolak Wanita Sebagai Hakim

Tokoh ulama yang berpegang pada pendapat ini yakni Imam Syafi’i, Imam

Ma>lik, Imam Hanbali, Junaed Al-Bagdadi, Al-Mawardi, Ibnu Khaldun, Abu

Ya’la>, Bakri Syata, Zakaria al-Anshari, Muhammad Battaji dan Ibrahim al-

Syirazi.

Kalangan ulama mazhab seperti Imam Syafi’i, Malik dan Hanbali sepakat

berpendapat bahwa wanita tidak dibenarkan memimpin. Pendapat mereka ini

dikiyaskan kepada larangan wanita menjadi imam dalam salat. Substansi

masalahnya adalah karena khawf al-fitnah, yaitu menjaga suasana yang

mengganggu atau menggoda hati dan pikiran laki-laki dalam beribadah. Sehingga

termasuk pula dalam bidang politik wanita dianggap tidak dapat memimpin dan

bahkan tidak dibenarkan menjadi seorang hakim.51

Selain itu, alasan golongan ini menjadikan laki-laki sebagai syarat mutlak

bagi seorang hakim, bahkan menganggap putusan hakim tidak sah apabila

diputuskan oleh hakim wanita dan juga mengatakan bahwa bagi yang mengangkat

wanita menjadi hakim akan mendapat dosa. Dan juga jumhul ulama beranggapan

bahwa wanita memiliki banyak kelemahan dari berbagai aspek, misalnya kurang

kecerdasan, wawasan, pergaulan, dan mengalami keterbatasan dalam berinteraksi

dengan lawan jenis.52

50
Ihyak, “Relevansi Konsep Hakim Wanita dalam Peradilan Agama Indonesia”, Ejournal
Inklusif, h. 18.
Uswatul Fikriyah, “Pandangan Tokoh Masyarakat Kota Malang terhadap Keabsahan
51

Putusan Hakim Wanita di Pengadilan Agama dalam Sistem Hukum Indonesia dan Hukum Islam,
Jurnal Musa>wa, h. 218.
52
Ihyak, “Relevansi Konsep Hakim Wanita dalam Peradilan Agama Indonesia”, Ejournal
Inklusif, h.17.
20

Membolehkan Untuk Semua Perkara Baik Perdata maupun Pidana

Tokoh ulama yang berpegang pada pendapat ini yakni Muhammad Abduh,

Allamah T{abat{aba>’i, Nashr Abu Zai>d, M. Quraish Shihab, Ibn Jarir al-

T{abari>, Hasan al-Bashri, Husen Muhammad.

Ibnu Jarir al-Tabari> dan hasan al-Bas{ri berpendapat bahwa jika wanita

bisa menjadi mufti, maka secara logis bisa juga menjadi hakim. Tugas mufti adalah

menjelaskan hukum-hukum agama melalui analisis ilmiah dengan tanggungjawab

personal. Hakim juga mempunyai tugas yang sama, tetapi dengan tanggungjawab

negara atau atas dasar kekuasaan negara.53

Ibnu Hazm membenarkan wanita menjadi hakim secara mutlak ialah sesuai

QS al-Nisa>/4:58. Menurut Ibnu Hazm d{ami>r (kata ganti) yang terdapat pada

kata ‫ حكمتم‬adalah mencakup pria dan wanita. Sehingga menurutnya yang

diperintahkan untuk memutuskan perkara dlam ayat di atas bukan pria saja namun

wanita juga.

Muhammad Abdul Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Hussayn Abdullah

dan M. Quraish Shihab. Ketiganya terlihat sepakat bahwa akar perrmasalahan

larangan wanita menjadi seorang pemimpin politik atau hakim tampaknya lebih

banyak disandarkan kepada teks-teks wahyu yang ditafsirkan secara verbal dan

normatif, tanpa mengkaji makna hukum dibalik teks-teks wahyu tersebut. Misanya

kata al-Rija>l dalam QS al-Nisa>’/4: 34 hendaknya bukan dimaknai secara tekstual

dengan laki-laki akan tetapi diartikan sebagai “sifat kelaki-lakian”. Maka ketika

pemaknaan ini digunakan dan wanita dapat memenuhi unsur kemampuan layaknya

Herlina, “Hakim Wanita Menurut Ulama Klasik, Ulama Kontemporer dan Undang-
53

Undang Kehakiman”, Skripsi (Cirebon: IAIN Syekh Nurjati, 2017), h. 22.


21

seorang laki-laki maka wanita menjadi boleh memegang kepemimpinan dan

menjadi seorang hakim.54

Untuk lebih memahami pebedaan pendapat di kalangan ulama terkait hakim

wanita, maka digambarkan tabel sebagi berikut;

Pandangan Nama Tokoh Dasar Pendapat

Kelompok Ulama

Memperbolehkan 1. Dasar hukum yang digunakan adalah dalil naqli


1. Imam Abu>
hakim wanita berdasarkan QS al-Nisa>/4:34 dan QS al-
H{ani>fah
hanya di hukum Taubah/9:71, dan hadis Nabi saw. (tidak
2. Al-Syauka>ni
perdata beruntung suatu kaum yang menyerahkan
3. Al-Zamarkhasi
kepemimpinannya kepada wanita). Sedangkan
4. Ibn Hamma>m
dalil aqli dan ijtihad yakni dikiyaskan dengan

larangan wanita menjadi saksi pada kasus pidana.

2. Corak penafsiran teks-teks hukum kelompok ini

tampaknya lebih tematik dan kontekstual

3. Perubahan kondisi sosial, politik dan budaya tidak

mempersoalkan wanita menjadi hakim

4. Golongan ini menerima wanita sebagai hakim

dalam perkara perdata, tidak untuk perkara pidana

berdasarkan dalil naqli dan aqli

Melarang atau 1. Dasar hukum yang digunakan adalah dalil naqli


1. Imam Syafi’I
Menolak Wanita berdasarkan QS al-Nisa>/4:34 dan hadis Nabi
2. Imam Ma>lik
Menjadi Hakim saw. (tidak beruntung suatu kaum yang
3. Imam Hanbali
menyerahkan kepemimpinannya kepada wanita).

Ihyak, “Relevansi Konsep Hakim Wanita dalam Peradilan Agama Indonesia”, Ejournal
54

Inklusif, h. 218.
22

4. Junaed Al- Sedangkan dalil aqli dan ijtihad yakni kiyas

Bagdadi kepada larangan wanita menjadi imam salat

5. Al-Mawardi 2. Corak penafsiran teks-teks hukum golongan ini

6. Ibnu Khaldun tampaknya lebih normatif, tekstual dan literalis

7. Abu Ya’la> 3. Kondisi sosio-historis dan budaya pada masa

8. Bakri Syata sebelum dan awal datangnya Islam menunjukan

9. Zakaria al- adanya suatu hegemoni budaya patriarki, yang

Anshari mana kaum laki-laki diposisikan lebih tinggi

10. Muh{ammad daripada kaum wanita. Sehingga peluang bagi

Battaji wanita untuk menjadi pemimpin lebih sempit

11. Ibra>him al- ruangnya daripada kaum laki-laki

Syira>zi

Membolehkan 1. Dasar hukum yang digunakan adalah dalil naqli


1. Muhammad
Hakim Wanita berdasarkan QS al-Nisa>/4:58 dan QS al-
Abduh
Secara Mutlak Taubah/9:71 menyatakan kesamaan peran dan
2. Allamah
baik perdata tanggungjawab laki-laki dan wanita dan hadis
T{abat{aba>’i
maupun pidana Nabi saw. (Setiap dari kalian adalah pemimpin,
3. Nashr Abu
dan setiap kalian akan dimintai pertanggung
Zai>d
jawaban terhadap apa yang kalian pimpin).
4. M. Quraish
Sedangkan dalil aqli dan ijtihad yakni
Shihab
Mengkiyaskan dengan hukum kebolehan wanita
5. Ibn Jarir al-
menjadi mufti maka wanita boleh menjadi hakim
T{abari>
2. Corak penafsiran teks-teks hukum golongan ini
6. Hasan al-
tampaknya lebih tematik dan kontekstual
Bashri
3. Perubahan kondisi sosial politik dan budaya dapat
7. Husen
menerima atau menolak wanita sebagai hakim
Muhammad
23

8. Ibn Hazm

9. Ibn Zahiry al-

Tabrani

C. Saksi dan Hakim Wanita di Indonesia

1. Kedudukan Saksi Wanita dalam Hukum Nasional

Berdasarkan Undang-Undang Dasar tahun 1945, secara hukum wanita dan

laki-laki memilki kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam hukum dan
pemerintahan. Misalnya dalam sumber hukum HIR (Herzein Indlasch Reglement),

RBg dan BW/KUH Perdata maka tidak ditemukan ketentuan yang mengatur

tentang nilai pembuktian saksi berdasarkan jenis kelamin, dalam pengertian bahwa

baik saksi laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama.55

Dalam praktik hukum acara perdata saat ini, khususnya di lingkungan

Peradilan Agama, kesaksian seorang wanita diakui memiliki nilai pembuktian yang

sama dengan kesaksian seorang laki-laki. Selama memenuhi syarat menjadi saksi.

Dalam kasus-kasus yang ditangani oleh Pengadilan Agama, khusunya dalam

masalah perceraian, saksi-saksi wanita yang dihadirkan dalam tahap persidangan

pembuktian diakui sama kedudukannya dengan saksi laki-laki.56

2. Hakim Wanita dalam Sistem Hukum Indonesia

Di Indonesia, tidak ada syarat yang menyebutkan bahwa hakim harus laki-

laki. Namun berlaku bagi semua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan.57

55
Muhammad Isna Wahyudi, “Nilai Pembuktian Saksi Perempuan dalam Hukum Islam”,
Jurnal Musawa (Vol. 8, No.1, 2009), h. 13.
56
Muhammad Isna Wahyudi, “Nilai Pembuktian Saksi Perempuan dalam Hukum Islam”,
Jurnal Musawa, h. 14.
57
Pasal 13 Undang- Undang Nomor Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang
Nomor 7 Tahun 1987 tentang Peradilan Agama.
24

Ini bisa dilihat di konstitusi Mahkamah Agung, di mana terdapat 4 orang wanita

yang menjadi hakim agung. Begitupun juga secara keseluruhan ada 15% hakim

wanita di Indonesia.

Mengenai kedudukan perempuan sebagai hakim di Pengadilan Agama

selama ia dapat memenuhi kriteria yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 7

Tahun 1989 dalam Pasal 13 ayat (1) adalah diperbolehkan. Dalam ketentuan

persyaratan untuk menjadi hakim dalam Undang-Undang ini tidak menyebutkan

adanya keharusan berjenis kelamin laki-laki. Kesempatan perempuan saat ini telah

terbuka lebar. Landasan hukum yang dapat dijadikan sumber hakim perempuan

diperbolehkan untuk diangkat di Pengadilan Agama adalah yang utama dalam UUD

NRI 1945, kemudian khususnya dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 kemudian dirubah lagi Dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun

2009 Tentang Peradilan Agama. Dengan demikian, seorang perempuan dapat

menduduki jabatan sebagai hakim di Pengadilan Agama dengan syarat memenuhi

kriteria yang telah diatur.58

Selain itu, dalam Internasional Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006, International Covenant

on Economic, social, and cultural Right (ICESCR) dijelaskan kesetaraan laki-laki

dan wanita dalam mengakses hak-hak yang diakui di dalamya. Hak ini mencakup

hak politik, hak untuk memilih dan dipilih, hak-hak untuk diangkat dalam jabatan

58
Uswatul Fikriyah, “Pandangan Tokoh Masyarakat Kota Malang terhadap Keabsahan
Putusan Hakim Wanita di Pengadilan Agama dalam Sistem Hukum Indonesia dan Hukum Islam,
Jurnal Musa>wa, h. 214-215.
25

terpenting, pengakuan dan pelayanan umum lainnya, berhak mendapat rasa aman

dan perlindungan terhadap kekerasan suku, agama, atau ras.59

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kedudukan Saksi Wanita dalam Islam memiliki hak yang sama. Namun dari

segi kuantitas jumlah dan kasus yang bisa menjadikan wanita saksi berbeda

baik itu masalah perdata dan pidana.

2. Kedukan Hakim Wanita dalam Islam pada dasarnya terbagi menjadi dua

pandangan. Mayoritas ulama klasik melarang adanya hakim wanita secara

mutlak dengan dasar mengkiyaskan kepada larangan menjadi imam salat

dan pandangan selanjutnya yang dipelopori mayoritas ulama kontemporer

membolehkan hakim wanita secara mutlak untuk dijadikan hakim dengan

dasar kebolehan seorang wanita menjadi mufti sehingga dikiyaskan dengan

wanita bisa menjadi hakim.

3. Kedudukan Saksi dan Hakim Wanita di Indonesia yakni tidak ada

perbedaan antara saksi dan hakim wanita dengan laki-laki. Keduanya

memiliki hak dan porsi yang sama selama keduanya memenuhi syarat

menjadi saksi dan hakim.

59
Uswatul Fikriyah, “Pandangan Tokoh Masyarakat Kota Malang terhadap Keabsahan
Putusan Hakim Wanita di Pengadilan Agama dalam Sistem Hukum Indonesia dan Hukum Islam,
Jurnal Musa>wa, h. 223.
26

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
al-Ans{a>ri>, Syaikh Islam Abi> Yahya> Zakariyya>. Fath{ul Wahha>b Basyrah
Manh{aj at-T{a>lib. Kairo : Da>r Fikr, t.th.
al-Bark, Haya Binti Mubarok. Ensiklopedi Wanita Muslimah. Cet. I; Darul Falah:
Jakarta Pusat, 1418 H.
al-Marbawi, Muhammad Idris. Kamus al-Marbawi. Semarang: Pustaka Kautsar,
t.th.
al-Qusyayri,Abu al-Husayn Muslim bin Al-Hajjaj. al-Ja>mi’ al-S}hah}ih}. Juz 1.
t.t.p.: ‘Isa> al-Ba>bi al-Halabi> wa Syurakah, 1995.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam.
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.
Asiaty. “Kontroversi Kesaksian Peremuan dalam QS Al-Baqarah/2:282 antara
Makna Normatif dan Substantif dengan Pendekatan Hukum Islam”. Jurnal
Yudisia. Vol. 7, No. 1, Juni 2016
Djalil, A. Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Cet. III; Jakarta: Kencana, 2017.
Fikriyah, Uswatul. “Pandangan Tokoh Masyarakat Kota Malang terhadap
Keabsahan Putusan Hakim Wanita di Pengadilan Agama dalam Sistem
Hukum Indonesia dan Hukum Islam, Jurnal Musa>wa. Vol. 15 No. 2 Juli
2016.
Herlina. “Hakim Wanita Menurut Ulama Klasik, Ulama Kontemporer dan Undang-
Undang Kehakiman”. Skripsi. Cirebon: IAIN Syekh Nurjati, 2017.
Ihyak. “Relevansi Konsep Hakim Wanita dalam Peradilan Agama Indonesia: Studi
Komparatif Ibn Habib Al-Mawardi dengan Ibn Mas’ud Al-Kasani”. Ejournal
Inklusif. Edisi 1, Vol. 1, 2016.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia. Cet. XIV;
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Mus{t}a>fa>, Ibra>him dkk. al-Mu’jam al-Wasit}. Juz 1 (t.d). al-Dimisqi>, Abu>
al-Fidai Isma>’il bin ‘Umar bin Katsi>r al-Qara>syi>. Tafsir al-Qur’a>n {
al-‘Azi>m. jilid 1. Riya>d:” Da>r al-T{aibah, 1999.
27

Mustari, Andi Sharfiah. “Kedudukan Saksi Wanita dalam Sistem Peradilan: Studi
Perbandingan Hukum Nasional dan Hukum Islam”. Skripsi. Makassar:
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, 2017.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Qutb, Muhammad Sayyid. Fiqhi Sunnah. Kairo: Dar Fath al-‘Arabi, 1998.
Rohman, Abdul. “Analisis Pendapat Ibnu Hazm tentang Saksi Wanita dalam
Pernikahan”. Skripsi. Semarang: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Walisongo, 2017.
Shihab, M. Quraish. Wanita. Cet. IX; Lentera Hati: Tangerang, 2014.
Susanti, Yuli. “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina: Analisa
Komperatif Pemikiran Imam Syafi’i dan Ibn Hazm”. Tesis (Riau : Program
Pascasarjana UIN Sultan Syarif Kasim, 2011.
Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fikih Wanita. Cet. I; Pustaka al-Kautsar:
Jakarta, 1998.
Wahyudi, Muhammad Isna. “Nilai Pembuktian Saksi Perempuan dalam Hukum
Islam”. Jurnal Musawa. Vol. 8, No.1, 2009.
Wahyudi, Muhammad Isna. “Nilai Pembuktian Saksi Wanita dalam Hukum Islam”.
Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam. Vol. 8. No. 1, Januari 2009.
Zakariyya>, Abu> al-H}usain Ah}mad bin Fa>ris bin. Maqa>yis al-Lugah, juz 3.
Beiru>t: Ittiha>d al-Kitab al-‘Arabi, 1423 H/2002 M.

Anda mungkin juga menyukai