Makalah
Oleh:
WIDIA AMELIA
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Abd. Qadir Gassing, HT. M.Si.
Dr. H. Abd. Halim Talli, M.Ag.
MAKASSAR
2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
Di era modern ini, isu-isu sosial yang marak dibicarakan dan banyak
perhatian dari dahulu sampai sekarang adalah masalah wanita.1 Masalah wanita
selalu menjadi salah satu topik yang menarik untuk dibahas.2 Dan juga merupakan
topik yang paling banyak menyita waktu kaum Muslimin, terlebih pada tahun-tahun
terakhir ini.3 Hal ini bukan saja karena umat Islam menyadari pentingnya
memahami dan menghidupkan wawasan Islam tentang wanita, tetapi juga akibat
pernah habis dibahas. Banyak anggapan bahwa posisi dan kualitas wanita lebih
rendah dari laki-laki dengan melihat fakta-fakta yang terjadi pada masa jahiliyah
tentang posisi wanita dalam kehidupan sosial masyarakat yang begitu rendah dan
tidak dihargai dan juga wanita kurang bisa dipercaya secara penuh dalam urusan
publik bahkan wanita dianggap sebagai aib dalam kehidupan.5 Sehingga pandangan
ini bisa berkembang menjadi paandangan yang inferior, diskrimiatif dan misogonis.
1
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fikih Wanita (Cet. I; Pustaka al-Kautsar: Jakarta,
1998), h. IX.
2
M. Quraish Shihab, Wanita (Cet. IX; Lentera Hati: Tangerang, 2014), h. 31.
3
Haya Binti Mubarok al-Bark, Ensiklopedi Wanita Muslimah (Cet. I; Darul Falah: Jakarta
Pusat, 1418 H), h. 1.
4
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina: Analisa Komperatif
Pemikiran Imam Syafi’i dan Ibn Hazm”, Tesis (Riau : Program Pascasarjana UIN Sultan Syarif
Kasim, 2011), h. 1.
5
Lihat Asiaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS Al-Baqarah/2:282 antara
Makna Normatif dan Substantif dengan Pendekatan Hukum Islam”, Jurnal Yudisia (Vol. 7, No. 1,
Juni 2016), h. 178.
2
Misalanya saja, dalam aspek kesaksian wanita dan hakim wanita. Kedua hal ini
kesaksian laki-laki, sebagaimana termuat dalam berbagai kitab fikih maupun kitab
wanita separuh dari kesaksian laki-laki, namun belakangan kuat dorongan agar
dari pada kaum laki-laki. Akibatnya, banyak tudingan terhadap Islam sebagai
tidak sah menjadi hakim dalam semua perkara seperti pendapat Imam Malik, Imam
Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa wanita
sah menjadi hakim, kecuali pada persoalan kasus pidana dan kisas seperti pendapat
tokoh fikih rasional Imam Abu Hanifah. Ketiga, pandangan yang menyatakan
bahwa wanita boleh menjadi hakim secara mutlak baik kasus perdata maupun
pidana seperti pendapat yang dipelopori Imam Ibn Jarir al-Tabari> dan Ibn Hazm.7
Polemik yang terjadi tentang kesaksian wanita dan hakim wanita yang telah
dijelaskan di atas perlu pembahasan yang lanjut agar tidak seringkali dipahami
6
Asiaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS Al-Baqarah/2:282 antara Makna
Normatif dan Substantif dengan Pendekatan Hukum Islam”, Jurnal Yudisia, h. 179.
7
Lihat Ihyak, “Relevansi Konsep Hakim Wanita dalam Peradilan Agama Indonesia: Studi
Komparatif Ibn Habib Al-Mawardi dengan Ibn Mas’ud Al-Kasani”, Ejournal Inklusif (Edisi 1, Vol.
1, 2016), h.4-5.
3
sebagai bentuk diskriminasi terhadap wanita khususnya di ranah sosial. Oleh karena
itu, makalah ini bertujuan untuk menganalisis berbagai hal tentang saksi dan hakim
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
4
Kata saksi merupakan turunan dari kata “kesaksian” yang secara etimologi
merupakan terjemahan dari bahasa Arab شهادة- شهد – يشهدyang memiliki makna
berita atau informasi yang pasti dimana digambarkan sebagai lendir yang keluar
dari kepala bayi ketika dia lahir.8 Kesaksian (syaha>dah) juga diartikan dengan
suatu kabar yang qat}’i atau pasti dari si fulan untuk si fulan.11 Maksudnya
mendapat berita dari seseorang yang akan disampaikan pada orang lain sebagai
saksi, namun harus dengan syarat kesaksiannya jelas dan dapat dipercaya.
syaha>dah atau sya>hid untuk orang yang meninggal dalam medan perang di jalan
sumpah seperti dalam masalah li’an. Ketiga, fukaha juga menggunakan lafal
Dan pengertian yang keempat inilah yang akan dibicarakan dalam makalah ini.
8
Abu> al-H}usain Ah}mad bin Fa>ris bin Zakariyya>, Maqa>yis al-Lugah, juz 3 (Beiru>t:
Ittiha>d al-Kitab al-‘Arabi, 1423 H/2002 M), h. 172.
9
Muhammad Idris al-Marbawi, Kamus al-Marbawi (Semarang: Pustaka Kautsar, t.th.),
h.328.
10
Ahmad Warson Munawwir,Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia (Cet. XIV; Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 747.
11
Ibra>him Mus{t}a>fa>, dkk., al-Mu’jam al-Wasit}, Juz 1 (t.d), h. 1032.
12
Asiaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS Al-Baqarah/2:282”,Yudisia, h.181.
5
pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau kejadian. Seorang saksi yang
melihat suatu kejadian secara langsung dikenal juga sebagai saksi mata. Saksi
peradilan.13
Definisi saksi juga tercantum dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara
1981 dalam pasal 1 angka 35 KUHAP dinyatakan bahwa saksi adalah orang yang
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan
ia rasakan sendiri.14
atau pernyataan pasti tentang suatu perkara yang ia lihat sendiri, mendengar sendiri
Al-Qur’an
13
Asiaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS Al-Baqarah/2:282”, Yudisia, h.
182.
14
Asiaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS Al-Baqarah/2:282”,Yudisia, h.
182.
6
ِ ش ِهي َدي ِْن ِم ْن ِر َجا ِل ُك ْم فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُكونَا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج ٌل َو ْام َرأَت
َ َان ِم َّم ْن ت َْر
َض ْونَ ِمن َ َوا ْست َ ْش ِهدُوا...
...َض َّل ِإحْ َدا ُه َما فَت ُ َذ ِ ِّك َر ِإحْ َدا ُه َما ْاْل ُ ْخ َرى
ِ اء أ َ ْن ت ُّ ال
ِ ش َه َد
Terjemahnya:
…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang wanita dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa,
maka yang seorang mengingatkannya…
Ayat ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan keterlibatan seorang
wanita dalam persaksian. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menafsirkan ayat ini
berhubungan dengan kesaksian pada saat bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan hendaklah mencatatnya dan untuk lebih meyakinkan maka
ambillah saksi dalam muamalah tersebut. Jika dua saksi laki-laki tidak ada maka
kesaksian dua orang wanita dapat dipadankan dengan kesaksian satu orang laki-
laki. Hal ini hanya berlaku untuk perkara yang menyangkut perdata dan yang
Hadis
Salah satu hadis yang menjelaskan tentang kesaksian wanita yakni hadis
يا معشر النساء تصدقن: عن عبدهللاا بن عمر عن رسول هللاا صلى هللاا عليه و سلم أنه قال
وأكثرن االستغفار فإني رأيتكن أكثر أهل النار فقالت امرأة منهن جزلة وما لنا يا رسول هللاا
أكثر أهل النار قال تكثرن اللعن وتكفرن العشير وما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب لذي
لب منكن قالت يا رسول هللاا وما نقصان العقل والدين ؟ قال أما نقصان العقل فشهادة امرأتين
15
Lihat QS al-Baqarah/2:283, QS al-Ma>idah/5:106, QS al-Nisa>/4:15, QS al-Nu>r/24:4,
, QS al-Nu>r/24:6, , QS al-Nu>r/24:8, QS al-Talaq/65:2, QS al-Nisa>/4:35.
Lihat Abu> al-Fidai Isma>’il bin ‘Umar bin Katsi>r al-Qara>syi> al-Dimisqi>, Tafsit al-
16
تعدل شهادة رجل فهذا نقصان العقل وتمكث الليالي ما تصلي وتفطر في رمضان فهذا نقصان
17
الدين
Artinya:
Dari Abdulla>h bin ‘Umar dari Rasulullah saw. bahwasannya dia berkata:
Wahai kaum wanita, bersedekahlah dan perbanyak istigfar karena aku
melihat bahwa sebagian besar di antara kalian menjadi penghuni neraka,
salah seorang wanita bertanya dengan pelan, wahai Rasulullah mengapa
kebanyakan kami menjadi ahli neraka? Kalian banyak mengutuk dan tidak
bersyukur pada suami. Saya tidak melihat orang-orang yang kurang
penalaran dan agamanya yang paling dominan di antara pemilik akal selain
daripada kalian. Wanita ini bertanya apa yang dimaksud dengan kurang
penalaran dan agama. Nabi bersabda yang dimaksud dengan kurang
penalaran kesaksian dua wanita sepadan dengan kesaksian satu orang laki-
laki, inilah maksud kekurangan akal. Wanita berdiam beberapa hari tidak
salat dan berbuka puasa pada bulan ramadan, inilah yang dimaksud dengan
kekurangan agama.
semua perkara secara komprehensif untuk hal-hal yang menurut kebiasaan tidak
dilakukan oleh wanita secara umum.18Atau yang dimaksud nuqs}an al-‘Aql pada
hadis di atas berarti frekuensi penggunaan akal pada wanita sangat rendah pada
waktu itu, karena faktor budaya yang kurang memberikan peluang dan kesempatan
bagi wanita untuk suatu pekerjaan yang secara khusus menggunakan fungsi akal,
17
Abu al-Husayn Muslim bin Al-Hajjaj al-Qusyayri,al-Ja>mi’ al-S}hah}ih}, Juz 1 (t.t.p.:
‘Isa> al-Ba>bi al-Halabi> wa Syurakah, 1995), h. 86.
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 97-98.
18
193.
8
menyaksikan suatu peristiwa ()الشاهد, adanya orang yang disaksikan ()المشهد به,
adanya orang dikenai sebuah keputusan hukum ()المشهد عليه, adanya objek atau
peristiwa yang membutuhkan kesaksian ( )المشهد فيهdan adanya redaksi kata dalam
berikut;
a. Islam
dalam pembuktian perkara, baik itu kepada orang Islam maupun kepada orang
kafir.21 Yang berbeda hanya dalam hal wasiat, mazhab Abu> Hanifah dan Hanbali
membolehkan kesaksian non Islam yang dibuat dalam pejalanan sesuai dalam QS
al-Ma>idah/5:106.22
Ketika seorang memberikan kesaksian harus dalam keadaan tidak gila dan
bukan anak kecil atau hampir dewasa karena perkataan atau pengakuan mereka
tidak berpengaruh pada hak yang menyangkut mereka sendiri, apalagi menyangkut
orang lain23 atau karena karena kesaksian adalah mengungkapkan tentang memori
terhadap suatu peristiwa dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang berakal
20
Syaikh Islam Abi> Yahya> Zakariyya> al-Ans{a>ri>, Fath{ul Wahha>b Basyrah
Manh{aj at-T{a>lib (Kairo : Da>r Fikr, t.th ), h. 383.
21
Abdul Rohman, “Analisis Pendapat Ibnu Hazm tentang Saksi Wanita dalam Pernikahan”,
Skripsi (Semarang: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo, 2017), h.
22
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 104-105.
23
Abdul Rohman, “Analisis Pendapat Ibnu Hazm tentang Saksi Wanita dalam Pernikahan”,
Skrpsi, h. 24.
9
dan dewasa. Dalam hal kesaksian anak-anak, imam Malik membolehkan di antara
c. Adil
Seorang saksi harus memiliki sifat adil yakni sikap istikamah dalam
tersebut tidak mempunyai dosa besar dan tidak jelas dosa kecilnya.25
d. Merdeka
Ulama Hanafi, Maliki, dan Syafi’i sepakat bahwa saksi harus orang yang
membolehkan orang yang tidak merdeka menjadi saksi, karena tidak ada dalil yang
pengertian merdeka dalam hal ini pada hakikatnya adalah tidak ada ancaman atau
Abu Hanifah, Ahmad, Imam Syafi’i menerima kesaksian orang bisu jika ia
Wahbah al-Zuhaili tetap menolak walau dengan isyarat karena yang dituntut dari
kesaksian itu adalah keyakinan dan keyakinan hanya bisa diungkapkan oleh
ucapan.28
24
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 99-100.
25
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 100.
26
Muhammad Isna Wahyudi, “Nilai Pembuktian Saksi Wanita dalam Hukum Islam”,
Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam (Vol. 8. No. 1, Januari 2009), h. 115.
27
Abdul Rohman, “Analisis Pendapat Ibnu Hazm tentang Saksi Wanita dalam Pernikahan”,
Skrpsi, h. 24-25.
28
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 103-104.
10
Menurut Sayyid Sabiq, saksi itu harus cermat dan faham, tidak terkenal
Abu Hanifa dan Imam Syafi’i tidak menerima kesaksian orang buta. Namun
menurut Imam Syafi’i, jika seseorang melihat suatu kejadian dan mengingatnya
dengan baik saat penglihatannya normal lalu ia memberi kesaksian tentang hal itu
Saksi dan tersangka tidak memiliki hubungan kekeluargaan dan tidak ada
a. Kesaksian dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang wanita
Ketentuan ini berhubungan dengan harta seperti jual beli, batas transaksi,
khiya>r, gadai, wasiat, hibah, wakaf, kerusakan pada harta jaminan, meyebut mas
kawin. Untuk kesaksian wasiat tentang harta yang dilakukan dalam perjalanan
maka diterima kesaksian dua orang laki-laki yang Islam atau seorang laki-laki
dengan dua orang wanita atau kesaksian dari dua orang laki-laki non-muslim.
Kesaksian yang terdiri dari satu orang laki-laki dan dua orang wanita ini pada
Muhammad Sayyid Qutb, Fiqhi Sunnah (Kairo: Dar Fath al-‘Arabi, 1998), h. 273.
29
30
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 106.
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 109.
31
11
Ketentuan ini terjadi pada kasus perdata maupun pidana seperti pernikahan,
pembunuhan orang kafir, pembunuhan yang disengaja dan segala had selain zina.
Dan jika dalam pembunuhan sengaja dan pencurian tidak memenuhi jumalah
kesaksian maka tidak dilakukan hukum kisas, diyat atau potong tangan bagi
pencuri.32
pelaku zina.33 Karena perzinaan adalah kasus yang harus ditutupi sehingga nisab
saksi yang harus dicapainya berat. Dalam kasus zina bukan hanya hak yang
terabaikan tetapi menyangkut masalah had. Hukuman tidak bisa dilaksanakan kalau
Kesaksian yang dilakukan oleh minimal dua orang wanita dalam hal yang
berkaitan dengan yang hanya lazimnya diketahui oleh wanita seperti kesaksian
keperawanan, saudara sepersusuan, penyakit atau cacat yang dimiliki wanita pada
bagian tubuhnya.35
32
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 109-110.
33
Andi Sharfiah Mustari, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Sistem Peradilan: Studi
Perbandingan Hukum Nasional dan Hukum Islam”, Skripsi (Makassar: Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Alauddin Makassar, 2017), h.
34
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 111.
35
Andi Sharfiah Mustari, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Sistem Peradilan”, Skripsi, h.
89.
12
Pada dasarnya, para fukaha klasik mengakui kedudukan wanita untuk dapat
Baqarah/2:282 yang menegaskan bahwa dua saksi wanita sebanding dengan satu
saksi laki-laki atau kesaksian wanita hanya setara dengan setengah kesaksian laki-
Ulama yang berpendapat tentang hal ini dengan melihat makna normatif QS
jika masih ada laki-laki yang bisa menjadi saksi. Kedua, Al-Syaukani memahami
hal yang sama dengan al-Qurtubi terkait dengan ayat tersebut namun ia
menambahkan syarat wanita bisa menjadi saksi asalkan ditemani laki-laki. Jika
Ulama yang berpendapat tentang hal ini dengan melihat makna substantif
QS al-Baqarah/2:282 bahwa ayat ini tidak lepas dari kondisi wanita pada masa itu.
dengan membantah pendapat ulama yang mengatakan bahwa wanita bisa jadi saksi
jika laki-laki berhalangan dan tidak boleh sendirian tanpa dibarengi laki-laki
Yuli Susanti, “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina”, Tesis, h. 112.
36
189.
13
lain adalah pembiasaan dengan melibatkan wanita dalam urusan kehidupan sosial
dimana masa jahiliyah wanita tidak diperkenankan ikut serta dalam urusan
kehidupan sosial. Oleh karena itu, Allah swt. mengawali keterlibatan mereka
dengan menjadikan dua wanita sama dengan satu laki-laki dengan mengutarakan
Arab dapat menerimanya. Sebab jika tidak demikian, maka mereka tidak akan
merasa tenang tanpa memosisikan dua wanita baru sebanding dengan satu laki-
laki.38
‘Asyu>r bahwa Allah swt. menutut seseorang sesuai dengan kadar kemampuannya,
karena sejatinya wanita tidak terkait dengan urusan transaksi harta benda dan
bukanlah bidangnya untuk mengurusi hal tersebut. Oleh karena itu, jika terpaksa
wanita dilibatkan dalam masalah transaksi maka kesaksiannya bernilai separuh dari
laki-laki sebab pada dasarnya dalam pikiran wanita bahwa ia tidak disibukkan
dengan urusan sosial, apa lagi bercampur baur dengan laki-laki dalam urusan
pekerjaan.39
nilai kesaksian wanita, maka ayat di atas pada dasarnya tidak menunjukkan
ini justru telah mengangkat posisi wanita agar sederajat dengan laki-laki dalam
189.
Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS al-Baqarah/2:282”, Yudisia, h.
39
191.
14
pada masa itu pengalaman kaum wanita dalam transaksi bisnis dan keuangan
kurang memadai dibandingkan dengan laki-laki. Wanita saat itu jarang terjun dalam
bentuk advokasi terhadap wanita saat itu, al-Qur’an meminta apabila wanita
dijadikan saksi, maka harus didampingi oleh wanita lain, menjadi dua orang saksi.
Kedua orang wanita tersebut memiliki fungsi sebagai saksi dan pengingat, jika
salah satu dari keduanya lupa maka akan diingatkan oleh yang lain. Tapi itu bukan
berarti bahwa wanita memang tidak cerdas atau akalnya lemah, melainkan kerena
keterbatasan pengalaman wanita saat itu dalam dunia bisnis dan transaksi
keuangan.40
Selain itu, Ulama berbeda pendapat dalam kesaksian wanita dalam berbagai
kesaksian wanita dapat diterima dalam kasus hukum keluarga, sedangkan Imam
kesaksian wanita saja tanpa disertai saksi laki-laki. Tetapi mereka berbeda pendapat
dalam kasus persusuan. Munurut Abu> H{ani>fah, kesaksian wanita dalam hal ini
194.
Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS al-Baqarah/2:282”, Yudisia, h.
41
183.
15
tidak dapat diterima, kecuali bersama-sama dengan saksi laki-laki. Namun menurut
Imam Malik, kesaksian hanya wanita saja dalam kasus persusuan ini dapat diterima
jika jumlah saksi wanita itu mencapai dua orang, sedangkan menurut Imam Syafi’i,
kesaksian semacam ini dapat diterima jika jumlah saksi wanita ini mencapai empat
orang.42
Mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita tidak bisa menjadi saksi dalam
kasus hukum pidana, baik bersama ataupun tanpa saksi laki-laki, akan tetapi
menurut Ibn Hazm, kesaksian wanita itu dapat diterima jika bersama laki-laki dan
jumlah saksi wanita ini lebih dari seorang. Khusus dalam kasus perzinahan,
mayoritas ulama klasik sepakat bahwa saksi itu minimal empat orang laki-laki.
Dengan demikan kesaksian wanita dalam kasus perzinahan tidak bisa diterima
secara mutlak.43
terlepas harusnya ada laki-laki dan juga hanya memberikan tempat khusus bagi
urusan publik yang luas. Ini adalah tipikal pemikiran ulama klasik karena melihat
kondisi sosial wanita pada masa itu yang dibatasi untuk berekspresi di dinia pubilik.
status, posisi dan kondisi wanita hampir tidak ada yang berbeda dengan laki-laki.
183-184
Asriaty, “Kontroversi Kesaksian Perempuan dalam QS al-Baqarah/2:282”, Yudisia, h.
43
184.
16
1. Pengertian Hakim
Secara etimologi, kata hakim berasal dari kata حكم – يحكم – حاكمyang
artinya sepadan dengan kata qa>d{i yang berarti memutus, orang yang bijaksana
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata hakim berarti orang yang mengadili
Secara terminologi, hakim yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara
menurut UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama disebutkan bahwa hakim
persidangan.
2. Syarat-Syarat Hakim
a. Laki-laki yang merdeka. Menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad bahwa anak
kecil dan wanita tidak sah menjadi hakim. Sedangkan tentang hakim wanita,
hanafia tidak membolehkan wanita menjadi hakim dalam masalah pidana dan
44
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, h. 286.
45
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), h. 158.
46
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 39.
47
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia (Cet. III; Jakarta: Kencana, 2017), h. 5-6.
17
kisas dengan alasan karena kedua hal tersebut kesaksiannya tidak dapat
diterima.
menjadi saksi atas seorang muslim. Sedangkan Hanafi berpendapat lebih rinci
yakni boleh mengangkat hakim bukan orang muslim untuk memutus perkara
Hanafi berpendapat bahwa putusan hakim yang fasik adalah sah apabila sesuai
yang harus diberikan bagi perkara yang diajukan padanya. Dalam hal ini Hanafi
dan al-Gazali membolehkan mukalid menjadi hakim karena mencari orang adil
f. Mendengar, Melihat dan Tidak Bisu. Orang bisu dikarenakan tidak dapat
Undang No. 7 tahun 1989, seorang calon hakim harus memenuhi sayarat-syarat
seperti merupakan warga Indonesia, beragama Islam, bertakwa pada Tuhan Yang
Maha Esa, setia pada Pancasila dan UUD 1945, bukan anggota organisasi terlarang
18
Partai Komunis Indonesia atau bukan seseorang yang terlibat langsung atau tak
langsung dalam gerakan kotra revolusi G-30 S/PKI, pegawai negeri, sarjana syariah
Secara umum, kalangan ulama fukaha dan ulama modern menjadi tiga
bagian dalam melihat keadaan wanita menjadi hakim yakni sebagai berikut;
Tokoh ulama yang berpegang pada pendapat ini yakni Imam Abu>
Pendapat ini dipelopori oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah
dasar sebagai larangan wanita menjadi hakim, beliau beralasan bahwa kapasitas
Nabi saat menyampaikan hadis tersebut bukan dalam kapasitas sebagai Nabi dan
Rasul yang mendukung kebenaran wahyu, tetapi dalam kapasitas Nabi sebagai
kepada wanita.49
laki-laki tidak menjadi syarat untuk menjadi hakim kecuali dalam masalah h{udu>d
dan pidana. Larangan wanita menjadi hakim pidana dikiyaskan dengan larangan
wanita menjadi saksi pada kasus pidana, karena kapabilitas untuk menjadi hakim
48
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h. 6.
49
Uswatul Fikriyah, “Pandangan Tokoh Masyarakat Kota Malang terhadap Keabsahan
Putusan Hakim Wanita di Pengadilan Agama dalam Sistem Hukum Indonesia dan Hukum Islam,
Jurnal Musa>wa (Vol. 15 No. 2 Juli 2016), h. 218.
19
Tokoh ulama yang berpegang pada pendapat ini yakni Imam Syafi’i, Imam
Ya’la>, Bakri Syata, Zakaria al-Anshari, Muhammad Battaji dan Ibrahim al-
Syirazi.
Kalangan ulama mazhab seperti Imam Syafi’i, Malik dan Hanbali sepakat
mengganggu atau menggoda hati dan pikiran laki-laki dalam beribadah. Sehingga
termasuk pula dalam bidang politik wanita dianggap tidak dapat memimpin dan
Selain itu, alasan golongan ini menjadikan laki-laki sebagai syarat mutlak
bagi seorang hakim, bahkan menganggap putusan hakim tidak sah apabila
diputuskan oleh hakim wanita dan juga mengatakan bahwa bagi yang mengangkat
wanita menjadi hakim akan mendapat dosa. Dan juga jumhul ulama beranggapan
bahwa wanita memiliki banyak kelemahan dari berbagai aspek, misalnya kurang
50
Ihyak, “Relevansi Konsep Hakim Wanita dalam Peradilan Agama Indonesia”, Ejournal
Inklusif, h. 18.
Uswatul Fikriyah, “Pandangan Tokoh Masyarakat Kota Malang terhadap Keabsahan
51
Putusan Hakim Wanita di Pengadilan Agama dalam Sistem Hukum Indonesia dan Hukum Islam,
Jurnal Musa>wa, h. 218.
52
Ihyak, “Relevansi Konsep Hakim Wanita dalam Peradilan Agama Indonesia”, Ejournal
Inklusif, h.17.
20
Tokoh ulama yang berpegang pada pendapat ini yakni Muhammad Abduh,
Allamah T{abat{aba>’i, Nashr Abu Zai>d, M. Quraish Shihab, Ibn Jarir al-
Ibnu Jarir al-Tabari> dan hasan al-Bas{ri berpendapat bahwa jika wanita
bisa menjadi mufti, maka secara logis bisa juga menjadi hakim. Tugas mufti adalah
personal. Hakim juga mempunyai tugas yang sama, tetapi dengan tanggungjawab
Ibnu Hazm membenarkan wanita menjadi hakim secara mutlak ialah sesuai
QS al-Nisa>/4:58. Menurut Ibnu Hazm d{ami>r (kata ganti) yang terdapat pada
diperintahkan untuk memutuskan perkara dlam ayat di atas bukan pria saja namun
wanita juga.
larangan wanita menjadi seorang pemimpin politik atau hakim tampaknya lebih
banyak disandarkan kepada teks-teks wahyu yang ditafsirkan secara verbal dan
normatif, tanpa mengkaji makna hukum dibalik teks-teks wahyu tersebut. Misanya
dengan laki-laki akan tetapi diartikan sebagai “sifat kelaki-lakian”. Maka ketika
pemaknaan ini digunakan dan wanita dapat memenuhi unsur kemampuan layaknya
Herlina, “Hakim Wanita Menurut Ulama Klasik, Ulama Kontemporer dan Undang-
53
Kelompok Ulama
Ihyak, “Relevansi Konsep Hakim Wanita dalam Peradilan Agama Indonesia”, Ejournal
54
Inklusif, h. 218.
22
Syira>zi
8. Ibn Hazm
Tabrani
laki-laki memilki kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam hukum dan
pemerintahan. Misalnya dalam sumber hukum HIR (Herzein Indlasch Reglement),
RBg dan BW/KUH Perdata maka tidak ditemukan ketentuan yang mengatur
tentang nilai pembuktian saksi berdasarkan jenis kelamin, dalam pengertian bahwa
Peradilan Agama, kesaksian seorang wanita diakui memiliki nilai pembuktian yang
sama dengan kesaksian seorang laki-laki. Selama memenuhi syarat menjadi saksi.
Di Indonesia, tidak ada syarat yang menyebutkan bahwa hakim harus laki-
laki. Namun berlaku bagi semua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan.57
55
Muhammad Isna Wahyudi, “Nilai Pembuktian Saksi Perempuan dalam Hukum Islam”,
Jurnal Musawa (Vol. 8, No.1, 2009), h. 13.
56
Muhammad Isna Wahyudi, “Nilai Pembuktian Saksi Perempuan dalam Hukum Islam”,
Jurnal Musawa, h. 14.
57
Pasal 13 Undang- Undang Nomor Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang
Nomor 7 Tahun 1987 tentang Peradilan Agama.
24
Ini bisa dilihat di konstitusi Mahkamah Agung, di mana terdapat 4 orang wanita
yang menjadi hakim agung. Begitupun juga secara keseluruhan ada 15% hakim
wanita di Indonesia.
selama ia dapat memenuhi kriteria yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 7
Tahun 1989 dalam Pasal 13 ayat (1) adalah diperbolehkan. Dalam ketentuan
adanya keharusan berjenis kelamin laki-laki. Kesempatan perempuan saat ini telah
terbuka lebar. Landasan hukum yang dapat dijadikan sumber hakim perempuan
diperbolehkan untuk diangkat di Pengadilan Agama adalah yang utama dalam UUD
dan wanita dalam mengakses hak-hak yang diakui di dalamya. Hak ini mencakup
hak politik, hak untuk memilih dan dipilih, hak-hak untuk diangkat dalam jabatan
58
Uswatul Fikriyah, “Pandangan Tokoh Masyarakat Kota Malang terhadap Keabsahan
Putusan Hakim Wanita di Pengadilan Agama dalam Sistem Hukum Indonesia dan Hukum Islam,
Jurnal Musa>wa, h. 214-215.
25
terpenting, pengakuan dan pelayanan umum lainnya, berhak mendapat rasa aman
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kedudukan Saksi Wanita dalam Islam memiliki hak yang sama. Namun dari
segi kuantitas jumlah dan kasus yang bisa menjadikan wanita saksi berbeda
2. Kedukan Hakim Wanita dalam Islam pada dasarnya terbagi menjadi dua
memiliki hak dan porsi yang sama selama keduanya memenuhi syarat
59
Uswatul Fikriyah, “Pandangan Tokoh Masyarakat Kota Malang terhadap Keabsahan
Putusan Hakim Wanita di Pengadilan Agama dalam Sistem Hukum Indonesia dan Hukum Islam,
Jurnal Musa>wa, h. 223.
26
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
al-Ans{a>ri>, Syaikh Islam Abi> Yahya> Zakariyya>. Fath{ul Wahha>b Basyrah
Manh{aj at-T{a>lib. Kairo : Da>r Fikr, t.th.
al-Bark, Haya Binti Mubarok. Ensiklopedi Wanita Muslimah. Cet. I; Darul Falah:
Jakarta Pusat, 1418 H.
al-Marbawi, Muhammad Idris. Kamus al-Marbawi. Semarang: Pustaka Kautsar,
t.th.
al-Qusyayri,Abu al-Husayn Muslim bin Al-Hajjaj. al-Ja>mi’ al-S}hah}ih}. Juz 1.
t.t.p.: ‘Isa> al-Ba>bi al-Halabi> wa Syurakah, 1995.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam.
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.
Asiaty. “Kontroversi Kesaksian Peremuan dalam QS Al-Baqarah/2:282 antara
Makna Normatif dan Substantif dengan Pendekatan Hukum Islam”. Jurnal
Yudisia. Vol. 7, No. 1, Juni 2016
Djalil, A. Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Cet. III; Jakarta: Kencana, 2017.
Fikriyah, Uswatul. “Pandangan Tokoh Masyarakat Kota Malang terhadap
Keabsahan Putusan Hakim Wanita di Pengadilan Agama dalam Sistem
Hukum Indonesia dan Hukum Islam, Jurnal Musa>wa. Vol. 15 No. 2 Juli
2016.
Herlina. “Hakim Wanita Menurut Ulama Klasik, Ulama Kontemporer dan Undang-
Undang Kehakiman”. Skripsi. Cirebon: IAIN Syekh Nurjati, 2017.
Ihyak. “Relevansi Konsep Hakim Wanita dalam Peradilan Agama Indonesia: Studi
Komparatif Ibn Habib Al-Mawardi dengan Ibn Mas’ud Al-Kasani”. Ejournal
Inklusif. Edisi 1, Vol. 1, 2016.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia. Cet. XIV;
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Mus{t}a>fa>, Ibra>him dkk. al-Mu’jam al-Wasit}. Juz 1 (t.d). al-Dimisqi>, Abu>
al-Fidai Isma>’il bin ‘Umar bin Katsi>r al-Qara>syi>. Tafsir al-Qur’a>n {
al-‘Azi>m. jilid 1. Riya>d:” Da>r al-T{aibah, 1999.
27
Mustari, Andi Sharfiah. “Kedudukan Saksi Wanita dalam Sistem Peradilan: Studi
Perbandingan Hukum Nasional dan Hukum Islam”. Skripsi. Makassar:
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, 2017.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Qutb, Muhammad Sayyid. Fiqhi Sunnah. Kairo: Dar Fath al-‘Arabi, 1998.
Rohman, Abdul. “Analisis Pendapat Ibnu Hazm tentang Saksi Wanita dalam
Pernikahan”. Skripsi. Semarang: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Walisongo, 2017.
Shihab, M. Quraish. Wanita. Cet. IX; Lentera Hati: Tangerang, 2014.
Susanti, Yuli. “Kedudukan Saksi Wanita dalam Perbuatan Zina: Analisa
Komperatif Pemikiran Imam Syafi’i dan Ibn Hazm”. Tesis (Riau : Program
Pascasarjana UIN Sultan Syarif Kasim, 2011.
Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fikih Wanita. Cet. I; Pustaka al-Kautsar:
Jakarta, 1998.
Wahyudi, Muhammad Isna. “Nilai Pembuktian Saksi Perempuan dalam Hukum
Islam”. Jurnal Musawa. Vol. 8, No.1, 2009.
Wahyudi, Muhammad Isna. “Nilai Pembuktian Saksi Wanita dalam Hukum Islam”.
Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam. Vol. 8. No. 1, Januari 2009.
Zakariyya>, Abu> al-H}usain Ah}mad bin Fa>ris bin. Maqa>yis al-Lugah, juz 3.
Beiru>t: Ittiha>d al-Kitab al-‘Arabi, 1423 H/2002 M.