Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Darussalam; Jurnal Ilmiah Dan Sosial

Vol__ No. 01 Januari-Juni 2023

http://ojs.iai-darussalam.ac.id/index.php/darussalam

Saksi Dalam Penetapan Radha’ah Sebagai Mahram Perspektif Imam Syafi’i

Naimah
1
IAI Darussalam Martapura
E-mail: Naimahnai03@gmail.com

Received dd Month yy; Received in revised form dd Month yy; Accepted dd Month yy (9pt)

Abstrak
Dalam situasi radha’ah, ini dapat mengakibatkan seorang pria dan wanita menjadi
mahram, yang berarti bahwa mereka dilarang menikah atau pernikahan mereka dapat
dibatalkan. Untuk memvalidasi klaim terkait persusuan, dibutuhkan saksi yang dapat
mengkonfirmasi pengakuan tersebut. Imam Syafi’i berpendapat bahwa dalam kasus
radha’ah, idealnya empat wanita menjadi saksi dan kesaksian dua wanita setara dengan
satu laki-laki. Oleh karena itu, kesksiaan dua laki-laki dianggap setara dengan kesaksian
empat wanita. Dalam konteks ini, perempuan juga memiliki hak untuk menjadi saksi. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan mengkaji pandangan Imam Syafi’I
tentang peran penting saksi dalam menetapkan radha’ah sebagai mahram. Imam Syafi’i
dikenal sangat hjati-hati dalam mengatur hukum-hukumnya. Metode yang digunakan
penulis adalah analisis deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan situasi yang
terjadi. Setelah data terkumpul, data tersebut dianalisis secara kualitatif untuk mencapai
kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pandangan Imam Syafi’i tentang peran
saksi masih relevan dalam konteks saat ini. Ini mengingatkan kita akan pentingnya berhati-
hati dalam Tindakan kita yang mungkin memiliki konsekuensi. Meskipun ada perbedaan
pendapat di antara berbagai mazhab Islam mengenai siapa yang memiliki hak menjadi
saksi dalam kasus radha’ah, hal ini menegaskan pentingnya pelaksanaan saksi dalam
konteks radha’ah.

Kata kunci: Imam Syafi’I 1; Mahram 2; Radha’ah 3; Saksi 4

Abstract
In the case of radha’ah, it is one of the reasons why a man and a woman become
mahram, which means they are prohibited from marrying each other or their marriage may
be annulled. To validate the claim regarding breastfeeding, witnesses are required to
confirm the acknowledgment. Imam Syafi’i argues that in case of radha’ah, the preferable
number of witnesses is four women, where the testimony of two women is considered
equivalent to that of one man. Therefore, the testimony of two men can be equated to the
testimony of four women. In this context, women also have the right to act as witnesses. The
purpose of this research is to describe and examine Imam Syafi’i views on the important role
of witnesses in establishing his legal rulings. The existing situation. Once the data is
gathered, it is categorized as qualitative data and analyzed to draw conclusions. The
research findings indicate Imam Syafi’I viewns on the role of witnesses remain relevant in
today’s context. This serves as a reminder of the importance of exercising caution in our
actions, which may have consequences. Despite differences in opinion among various Islamic
schools of thought regarding who has the right to act as a witness in radha’ah cases, it
underscores the significance of implementing witnesses in the context of radha’ah.

Keywords: Imam Syafi’i 1; Mahram 2; Radha’ah 3; Witness 4

1
2 Darussalam, Volume 0x, No. 0x, Februari/Agustus 20xx, Hal. 0xx-0xx

PENDAHULUAN
Pernikahan berasal dari kata nikah, yang berarti menggabungkan atau
melakukan hubungan seksual (wathi’). Dalam hukuym Islam, pernikahan adalah
sebuah kontrak yang ditetapkan oleh hukum syariah, memungkinkan seorang pria
dan seorang wanita untuk menjalani hubungan yang sah (Ghazaly, 2019). Tentu
saja pernikahan tidak dapat dilakukan secara asal-asalan, ada banyak kondisi dan
persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon pengantin pria dan calon pengantin
wanita, salah satunya adalah dengan tidak adanya hubungan mahram antara
mereka berdua. Hubungan mahram dapat terjadi salah satunya karena adanya
kegiatan seorang wanita yang menyusui anak orang lain dengan memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan atau yang disebut dengan radha’ah (Arifin &
Wahidah, 2018). Apabila ada hubungan mahram karena persusuan maka, dapat
terjadinya pembatalan pernikahan antara laki-laki dan perempuan tadi.
Untuk menetapkan kebenaran adanya hubungan mahram karena persusuan,
maka diperlukannya saksi yang dapat diambil pertanggungjawabannya untuk
membuktikan kebenaran adanya hubungan mahram. Dalam praktiknya, Imam
Syafi’i menetapkan pentingnya saksi dalam kasus radha’ah. Sebagaimana yang
termuat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 282:
‫َو اۡس َتۡش ِه ُد ۡو ا َش ِه ۡي َد ۡي ِن ِم ۡن ِّر َج اِل ۡمۚ‌ُك َفِاۡن َّل َيُك ۡو َنا َرُج َلۡي ِن َفَر ُج ٌل َّو اۡم َر َاٰتِن َّمِمۡن َتۡر َض ۡو َن‬

‫ِم الُّش ٓاِء‬


‫َن َه َد‬

Artinya: “... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-
laki diantaramu, jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki
dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.”

Berdasarkan konteks yang telah dijelaskan, rumusan masalahnya dapat


diformulasikan sebagai berikut, yaitu 1) Bagaimana peran saksi dalam penetapan
radha’ah sebagai mahram perspektif Imam Syafi’i? 2) Apa dasar hukum saksi
dalam penetapan radha’ah sebagai mahram perspektif Imam Syafi’i?
Tujuan dari perumusan masalah di atas adalah 1) Untuk mengetahui
bagaimana peran saksi dalam penetapan radha’ah sebagai mahram perspektif
Imam Syafi’i. 2) Untuk mengidentifikasi dasar hukum yang mengatur saksi dalam
penetapan radha’ah sebagai mahram perspektif Imam Syafi’i.

BAHAN DAN METODE


A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
normatif, dimana penelitian normatif merupakan penelitian yang diakui sifat

Copyright © 2023, IAI Darussalam Martapura


Naimah, Saksi Dalam Penetapan … 3

keilmiahannya yang dideskripsikan melalui tulisan dari sumber buku-buku,


jurnal, artikel dan lain sebagainya (Efendi & Ibrahim, 2016).
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan
historis dan pendekatan konseptual. Pendekatan historis digunakan untuk
mengkaji latar belakang serta evolusi pengaturan mengenai isu yang diteliti
(Marzuki, 2005). Sementara itu, pendekatan konseptual adalah pendekatan
yang didasarkan pada pemahaman pandangan dan doktrin yang ada dalam
ilmu hukum. Dalam pendekatan ini, ide-ide yang muncul dan konsep-konsep
hukum digunakan sebagai dasar untuk mengatasi isu-isu yang dihadapi
(Rahayu & Djulaeka, 2019).
C. Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, digunakan tiga jenis bahan hukum, yaitu bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan
hukum primer adalah jenis bahan hukum yang memiliki otoritas tertinggi,
yang berarti bahwa hukum yang terkandung dalam bahan ini adalah hukum
yang sah dan berlaku. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang utama
adalah Kitab Al-Umm karya Imam Syafi’i beserta terjemahnya. Bahan hukum
sekunder adalah bahan hukum yang merupakan hasil analisis dan
interpretasi terhadap bahan hukum primer. Bahan ini digunakan untuk
mebantu memahami dan menjelaskan bahan hukum primer. Sementara itu,
bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang merupakan refernsi lain
yang digunakan dalam penelitian, seperti buku, artikel, atau sumber lainnya
yang membantu dalam konteks penelitian. Dalam konteks penelitian ini,
kitab Al-Umm karya Imam Syafi’i merupakan sumber bahan hukum primer
yang memiliki otoritas tertinggi dalam pengkajian mengenai peran saksi
dalam penetapan radha’ah sebagai mahram menurut perspektif Imam Syafi’i.

LANDASAN TEORI
Saksi secara etimologi merujuk kepada seseorang yang memiliki
pengetahuan atau telah melihat suatu peristiwa. Namun, dalam konteks hukum,
seorang saksi adalah individu yang dapat memberikan keterangan atau kesaksian
tentang suatu peristiwa yang telah ia saksikan, didengar, atau alami. Kesaksian ini
harus dapat dipertanggungjawabkan dan itulah peran utama seorang saksi dalam
konteks hukum (Wasik & Samsul, 2015). Dalam praktiknya, ada rukun dan syarat
yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Rukun saksi mencakup identitas orang
yang bersaksi, objek yang disaksikan, orang yang menjadi sasaran kesaksian, dan
kata-kata yang digunakan dalam kesaksian. Sementara syarat seorang saksi
mencakup ketentuan bahwa saksi tersebut harus beragama Islam, Merdeka, adil,
berkala, tidak bisu atau tuna wicara dan tidak buta.
4 Darussalam, Volume 0x, No. 0x, Februari/Agustus 20xx, Hal. 0xx-0xx

Radha’ah secara etimologis berakar dari kata ardha’a yang berarti menyusui.
Dalam terminologi, radha’ah merujuk pada proses menyusui di mana seorang bayi
mengonsumsi air susu dari ibu yang menyusuinya, sehingga air susu itu mencapai
perut bayi (Aziz & dkk, 2011). Imam Syafi’i menyatakan bahwa kemahraman
terjadi Ketika air susu mencapai perut bayi melalui tenggorokannya. Untuk
menjadikan seorang mahram melalui radha’ah, bayi tersebut harus berusia di
bawah 2 tahun dan proses penyususan harus mencakup minimal 5 kali pemberian
makanan yang cukup hingga bayi merasa kenyang.

Dasar hukum kebolehan radha’ah dapat ditemukan dalam Q.S. Al-Baqarah


ayat 233, seperti yang tercantum di bawah ini:
‫ِاْن َأ َأْن َت ِض وآ َأ آلَدُك َفَال َنا َل ُك ِإَذا َّل آ ا م ِبا وِف‬
‫َو َر ْدْمُت ْس َتْر ُع ْو ْم ُج َح َع ْي ْم َس ْم ُتْم َم َء َتْيُت َملْع ُر‬
‫ِص‬
‫َو اَّتُقوااَهلل َو اْع َلُم وآ َأَّن اَهلل َمِبا َتْع َم ُلوَن َب ْيٌر‬
“…Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Meliha tapa
yang kamu kerjakan.”

Ayat ini berbicara tentang peraturan susuan (radha’ah) dalam Islam. ayat ini
mengizinkan bahwa jika seseorang ingin anaknya disusukan oleh orang lain, maka
tidak ada dosa baginya asalkan ia memberikan pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan yang baik antara pihak yang terlibat dalam proses penyusuan.
Mahram adalah istilah yang merujuk kepada wanita yang dinyatakan sebagai
individu yang tidak dapat dinikahi oleh seorang laki-laki. Istilah mahram berasal
dari kata haram yang memiliki arti bahwa ada suatu kondisi atau hubungan yang
menjadikan perempuan tersebut dianggap sebagai individu yang tidak boleh
dinikahi oleh laki-laki tersebut (Al-Hakim, 2018). Dalam konteks penelitian ini,
yang menjadi fokus adalah mahram yang terkait dengan hubungan penyusuan.
Konsekuensi dari hubungan penyusuan ini adalah bahwa jika penyusuan tersebut
sesuai dengan rukun dan syarat yang telah ditetapkan oleh syariat, maka wanita
yang terlibat dalam penyusuan tersebut, seperti ibu yang menyusui dan saudara
perempuan sepersusuan dianggap sebagai individu yang haram untuk dinikahi
oleh laki-laki tersebut (Luthfi, 2019).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hukum asal mengenai saksi dalam konteks radha’ah menurut pandangan
Imam Syafi’i dalam hukum Islam adalah bawa pada awalnya adalah tanggung
jawab Bersama (fardhu kifayah). Ini berarti jika suda ada ukup banyak saksi yang
memadai, maka orang lain tidak diwajibkan untuk menjadi saksi. Namun, menjadi

Copyright © 2023, IAI Darussalam Martapura


Naimah, Saksi Dalam Penetapan … 5

wajib (fardhu ‘ain) Ketika seseorang tela menyaksikan peristiwa tersebut dan
tidak ada saksi lain yang melihatnya (Al-Syafi’i, t.th). Pentingnya peran saksi dalam
kasus radha’ah adalah agar mereka dapat memberikan keterangan seara rini
tentang waktu penyusuan, usia anak yang disusui dan bagaimana air susu sampai
ke dalam mulut anak yang disusui ole perempuan yang bukan ibu biologisnya.
Dengan informasi ini, penetapan hubungan mahram dapat dilakukan sesuai
dengan ketentuan syariat dengan akurat (Umar, 1952).
Peran vital saksi dalam kasus radha’ah terletak pada kemampuan untuk
memverifikasi seberapa sering proses penyusuan dilakukan. Dengan kehadiran
saksi yang dapat memberikan kesaksian bahwa proses penyusuan telah terjadi
sebanyak lima kali persusuan atau lebih, maka dapat dipastikan bahwa terdapat
hubungan mahram antara anak yang disusui dan ibu susuan tersebut. Ini sejalan
dengan ketentuan syariat yang mengharuskan kesaksian anak dan ibu susuan
ditunda hingga mereka dapat bersaksi bahwa bayi yang disusui telah menerima
susuan sebanyak lima kali persusuan, baik secara keseluruhan masuk ke dalam
rongga tubuhnya atau sebgian dari setiap persusuan tersebut masuk ke dalam
rongga tubuhnya. (Syafi’i, 2014).
Imam Syafi’i menggarisbawahi peran penting saksi dalam kasus radha’ah
dengan menganjurkan Tindakan pencegahan yang bijak dalam situasi yang
mencurigakan. Imam Syafi’i berpendapat bahwa jika suami diduga memiliki
hubungan persusuan dengan istrinya, maka sebagai Langkah kehati-hatian, suami
seharusnya menceraikan istrinya jika pernikahan telah terjadi atau mengurungkan
pernikahan jika belum terjadi. Tujuannya adalah untuk menghindari pelanggaran
hukum dan memastikan bahwa perempuan yang seharusnya boleh dinikahi oleh
suami tidak menjadi haram untuk dinikahi.
Imam Syafi’i juga menekankan bahwa jika suami tetap menikahi perempuan
yang menjadi subjek radha’ah tanpa bukti yang pasti bahwa telah terjadi
persusuan, makai a tidak akan memishakan mereka kecuali jika ada kesaksian
yang dapat membuktikan adanya persusuan tersebut. Dengan demikian, Imam
Syafi’i menempatkan penegakan hukum dan kehati-hatian dalam menjaga
kehormatan pernikahan sebagai prioritas. Hal ini menggarisbawahi pentingnya
peran saksi dalam menghindari kesalahan dan memastikan bahwa pernikahan dan
hubungan dalam konteks radha’ah dilakukan sesuai dengan hukum Islam.
kesaksian saksi adalah salah satu alat untuk memastikan bahwa Tindakan yang
diambil sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang berlaku.
Imam Syafi’i menggunakan tiga sumber utama dalam menetapkan dasr
hukum saksi dalam penetapan radha’ah sebagai mahram, yaitu Alquran, As-
Sunnah (hadis) dan qiyas (analogi). Berdasarkan Q.S. Al-Baqarah ayat 282, Imam
Syafi’i berpendapat bahwa dalam kasus penyusuan anak, tidak boleh ada kesaksian
yang dilakukan oleh perempuan kurang dari empat orang yang harus memenuhi
6 Darussalam, Volume 0x, No. 0x, Februari/Agustus 20xx, Hal. 0xx-0xx

syarat-syarat tertentu, yaitu harus merdeka (tidak menjadi budak), baligh (telah
mencapai usia dewasa), dan adil (berakhlak baik). Imam Syafi’i memandang bahwa
Allah SWT memperbolehkab kesaksian dari perempuan dan dalam masalah hutang
Allah menetapkan bahwa dua perempuan dapat berdiri pada posisi yang setara
dengan satu laki-laki dalam hal kesaksian(Al-Fanani, t.th). Oleh karena itu,
menurut Imam Syafi’i, jumlah saksi perempuan dalam kasus radha’ah harus empat
orang karena Allah telah memperbolehkan kesaksian mereka dalam masalah
hutang. Dengan demikian, dua perempuan dapat dianggap setara dengan satu laki-
laki dalam masalah kesaksian. Ini adalah prinsip hukum yang digunakan dalam
menentukan jumlah saksi yag dibutuhkan dalam kasus radha’ah, yang juga
memperkuat pentingnya kesaksian perempuan dalam konteks ini.
Hadits yang menerangkan saksi dalam persusuan adalah sebagai berikut
‫اخربنا عبد اجليد بن عبد العزيز عن ابن جريح قال اخربين ابن اىب مليكه ان‬
‫عقبه بن احلرث اخربه انه نكاح ام حيى بنت اىب اهاب فقالت امة سودأ قد‬
‫ارضعتكما قال فجءت اىل البىن صلى اهلل عليه وسلم فذكرت ذلك له فاعرض‬
‫فتنحيت فذكرت ذلك له فقال وكيف قد زعمت اهنا ارضعتكما‬
Artinya: “Dikarbarkan oleh Abdul Majid bin Abdul Aziz, dari Ibnu Juraij
yang mengatakan: “Dikabarkan kepada saya oleh Ibnu Mulaikah, bahwa Uqbah bin
al-Harits mengabarkan kepadanya, bahwa ia menikah dengan Ummi Yahya bin Abi
Ahlab”. Lalu berkata seorang budak wanita hitam: “Saya sudah menyusukan
engkau”. Maka saya datang pada Nabi dan menceritakan, lalu beliau berpaling,
maka saya berpindah tempat duduk, lalu menyebutkan yang demikian lagi kepada
Nabi SAW, maka beliau SAW bersabda: “Bagaimana dan dia sudah mendakwakan,
bahwa dia sudah menyusukan kedua engkau”.
Hadits di atas menjadi pedoman Imam Syafi’i yang mengatakan “seandainya
dia menikahinya (saudara sesusuan), maka saya tidak memisahkan keduanya,
kecuali dengan kesaksian yang pasti bahwa telah terjadi persusuan.” Dan
berdasarkan pendapat Atha’ bin Abi Rabah:
‫اخربنا مسلم وسعيد بن سامل عن ابن جريح عن عطأ انه قال ىف شهادة‬
‫النساء على الشئ من امرالنساء الجيوزفيه اقل من اربع‬
Artinya: Dan kabarkan kepada kami oleh muslim dan Sa’id bin Salim, dari Ibnu
Juraij, dari Atha’ yang mengatakan: “Tidak boleh dari kaum wanita kurang dari
empat orang”.
Jadi, dalam penetapan saksi radha’ah apabila permepuan, maka harus empat
orang saksi, tidak boleh kurang agar kesaksiannya dapat diterima.
Imam Syafi’i memiliki pandangan yang tegas mengenai kesaksian dalam
masalah penyusuan anak yang dilakukan oleh perempuan bukan ibu kandungnya.

Copyright © 2023, IAI Darussalam Martapura


Naimah, Saksi Dalam Penetapan … 7

Beliau berpendapat bahwa dalam kasus ini, kesaksian dapat diberikan oleh saksi
perempuan dan bukan oleh laki-laki yang bukan mahram atau suami dari
perempuan yang sedang menyusui. Imam Syafi’i meyakini bahwa laki-laki yang
bukan mahram ditakutkan memiliki motif yang tidak sesuai jika mereka
menyaksikan penyusuan anak, yang sebenarnya bukan untuk kesaksian
penyusuan anak, tetapi untuk melihat bagian tubuh perempuan. Pendekatan Imam
Syafi’I dalam masalah ini menekankan perlindungan terhadap privasi perempuan
yang sedang menyusui anak dan keadilan dalam menentukan kesaksian. Prinsip ini
penting dalam menegakkan hukum Islam dalam kasus-kasus yang melibatkan
masalah seperti penyusuan anak.

KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas adalah sebagai
berikut:
1. Saksi memainkan peran penting dalam menetapkan adanya hubungan
mahram untuk menghindari pernikahan antara saudara sesusuan. Merka
juga memiliki peran penting dalam memastikan jumlah penyusuan yang telah
diminum oleh bayi, sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan oleh
Imam Syafi’i, yaitu lima kali penyusuan kenyang. Selain itu, kehadiran saksi
juga penting sebagai Langkah pencegahan untuk menghindari pembatakab
pernikahan karena terdeteksi adanya hubungan mahram karena sesusuan di
masa depan.
2. Dasar hukum yang digunakan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan hukum
saksi dalam kasus radha’ah adalah ayat 282 dari surat Al-Baqarah dalam
Alquran. Ayat tersebut menjelaskan bahwa kesaksian dapat diberikan oleh
dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dengan dua orang perempuan.
Imam Syafi’i menggunakan qiyas (analogi) dengan menganggap satu laki-laki
setara dengan dua orang perempuan dalam kasus saksi radha’ah. Oleh
karena itu, menurut Imam Syafi’i, jumlah saksi yang tepat dalam kasus
radha’ah adalah empat orang perempuan karena mereka dapat melihat
proses penyusuan secara langsung, sementara laki-laki tidak diizinkan untuk
melihat payudara seorang wanita yang bukan mahramnya. Hadits yang juga
mendukung pendpat ini adalah bahwa dalam masalah kesaksian, tidak boleh
kurang dari empat orang perempuan.

DAFTAR RUJUKAN
Al-Fanani, Z. bin A. A. A.-M. (t.th). Fath Al-Mu’in. Makatabah Muhammad bin Ahmad Nabahan.

Al-Hakim, L. (2018). Resep Keselamatan Kebahagiaan. Mawahib.

Al-Syafi’i, A. A. M. bin Q. (t.th). Fath Al-Qarib. Alawiyyah.


8 Darussalam, Volume 0x, No. 0x, Februari/Agustus 20xx, Hal. 0xx-0xx

Arifin, G., & Wahidah, S. (2018). Ensiklopedia Fikih Wanita. PT ElexMedia Komputindo.

Aziz, M. A. A., & dkk, dkk. (2011). Fiqh Munakahat. Amzah.

Efendi, J., & Ibrahim, J. (2016). Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Prenadamedia

Group.

Ghazaly. (2019). Fiqh Munakahat. Kencana.

Luthfi, H. (2019). Haram Tapi Bukan Mahram. Rumah Fiqih Publishing.

Marzuki, P. M. (2005). Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Kencana.

Rahayu, D., & Djulaeka. (2019). Buku Ajar Metode Penelitian Hukum. Scopindo Media Pustaka.

Syafi’i, I. (2014). Al Umm Jilid 9 diterjemahkan oleh Misbah. Pustaka Azzam.

Umar, S. A. bin H. bin. (1952). Bughyah Al-Mustarsyidin. KotaBaharu.

Wasik, A., & Samsul. (2015). Fiqh Keluarga: Antara Konsep dan Realita. Deepublish.

Copyright © 2023, IAI Darussalam Martapura

Anda mungkin juga menyukai