Jamilah Ramadhani1
ABSTRAK
Abstract
According to some, the main purpose of Islamic law is to ensure that people live
happily now and in the future. As a result, Islamic theology has been passed down
throughout history. The Qur'an, Hadith, Ijma, and Qiyas are the four main sources
of Islamic law. The goal is to strengthen Islam. Because Ijma is so significant, it
has less evidentiary power than the Qur'an and Hadith. Furthermore, some people
do not see Ijma' as a legal precedent. The purpose of this research is to study the
meaning of ijma in Islamic literature and how to use it to develop Islamic law.
The research for this work was acquired from second sources in the form of
literary studies because it used a normative legal approach.
PENDAHULUAN
Jika persoalan hukum yang mungkin muncul setelah wafatnya Nabi tidak
dibahas dalam Al-Qur'an atau hadits, para ulama mujtahid dapat menggunakan
ijma' sebagai salah satu metodologi konstruksi hukum mereka. Istilah "setelah
masa nabi" digarisbawahi di sini karena Al-Qur'an akan memberikan nasihat
hukum selama nabi masih hidup sejak ayat-ayat masih diturunkan, dan nabi
adalah orang yang paling baik untuk dipertanyakan. Syariah adalah sistem hukum
yang berdasarkan Islam. Akibatnya, ijma' tidak lagi diperlukan pada saat itu.
1. Harus ada banyak mustajhid yang hadir setiap saat; jika hanya ada satu
mustajhid atau tidak ada sama sekali, ijma tidak diperbolehkan.
2. Terlepas dari negara asal, jenis, atau kelompok mujtahid, sejumlah dari
mereka sepakat dengan hukum kasus tersebut. Karena ijma' hanya
diperoleh dengan kesepakatan yang utuh, maka perjanjian tersebut tidak
dianggap ijma' jika hanya mencakup sebagian mujtahid, mujtahid
kelompok tertentu, atau wilayah tertentu.
3. Kesepakatan tersebut dibuat setelah publikasi awal dari posisi masing-
masing mujtahid mengenai hukum kejadian, yang diungkapkan secara
terbuka, tampak, dan nyata dalam bentuk pidato atau fatwa.
1
Abu Zahra, Ushul al – Fiqh, “Multazam al-thobi'u wan-Nasru Darul Fkr al – ' Araby”. 1958. Hal
198
4. Ijma tidak digunakan untuk menggambarkan konsensus pemikiran di
antara mereka yang bukan mujtahid.2
Karena ijma' para ulama mujtahid dianggap telah memenuhi ruh syar'i
sebagaimana dinyatakan dalam Surah an-Nisa (4): 59, maka kita diwajibkan untuk
menghormati hasil ijma' yang telah terjadi dalam suatu topik hukum. Hasil ijma'
tidak dapat diubah atau dipertanyakan.
Karena al-qur’an dirujuk, para mujtahid adalah akad Ulil Amri yang harus
ditaati. Hasil kesepakatan ulama tidak menunjukkan bahwa mujtahid tidak
mungkin berbohong, menurut sejumlah hadits, termasuk hadits no. 3950
diceritakan oleh Ibu Majah
2
A. Djazuli & I. Nuron Aen. “Ushul Fiqh (metodologi Hukum Islam)”. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta 2000. Hal 109 - 110
3
Departemen Agama RI, Alqur'an dan terjemahannya. Yayasan Penterjemah/penafsiran Al –
Qur'an. Jakarta 1971. Hal 128
Muslim dan posisi saudara dan saudari sebagai pengganti saudara dan saudari. Hal
itu sebagai gambaran ijma' pada masa para sahabat Nabi Allah.4
Para ulama lebih yakin tentang ijma' para sahabat, yang diakui sebagai
ijma' berdasarkan alasan ini, karena wilayah Muslim pada masa para sahabat tidak
terlalu luas, sehingga memungkinkan untuk memenuhi standar ijma'.
METODE
4
A. djazuli & I. Nurol Aen. “Ushul fiqh (Metodolofi Hukum Islam)”. PT. Raja Grafindo persada.
Jakarta 2000. Hal 112-113
5
Rianto Adi. “Metode Penelitian Sosial dan Hukum”. Granit. Jakarta 2004. Hal 4
A. PEMBAHASAN
a. Pengertian Ijma'
Secara etimologi Ijma menggambarkannya sebagai keputusan untuk
memutuskan atau kesimpulan tentang sesuatu. Firman Tuhan menunjukkan
ijma dalam pengambilan keputusan dalam surat Yunus (10): 71
ۤ ِْ َفَا
ْج ُعْاوا اَْمَرُك ْم َو ُشَرَكاءَ ُك ْم
Ada berbagai rumusan untuk memahami ijma secara syar'i atau bahasa
teknis hukum. Perbedaan tersebut dapat ditemukan dalam berbagai rumusan
atau makna ijma'.
6
Satria Effendi M. Zein. “Ushul Fiqh”. Cetakan Ke 3. Prenda Media Group. Jakarta 2009. Hal
125
Muhammad dan Ahlul Bait sebagai contoh orang-orang seperti itu
(keturunan para nabi dari Fatima dan Hasan dan Husain).7
d. Al – Kamal Bin Al – Hummam
Arti Ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid umat Muhammad
tentang masalah syariat pada saat yang sama."8
e. Abdul Wahab Khallaf
Ijma bisa terjadi jika urusannya diserahkan kepada pemerintah,
karena setiap pemerintah, sebagai ulil amri, mampu mengidentifikasi
mujtahid suatu negara, dan mujtahid di seluruh dunia merasa hal itu
mungkin terjadi9.
ࣖ َوَم ْن يُّ َشاقِ ِق َّالر ُس ْوَل ِم ْْۢن بَ ْع ِد َما تَبََّ ََّي لَهُ ا ْْلُٓدى َويَتَّبِ ْع َغ َْْي َسبِْي ِل الْ ُم ْؤِمنِ ْ ََّي نَُولِٰه َما تَ َوِٰٓل َونُ ْصلِه َج َهنَّ َم َو َس ۤاءَ ْت َم ِص ًْْيا
Dan siapa pun yang menolak Rasul setelah menyadari kebenaran dan
melanjutkan di jalan yang berbeda dari jalan orang-orang beriman akan
diberikan kendali atas kesalahan yang telah dikalahkan dan akan dikirim
ke Neraka, yang merupakan tempat terburuk untuk pergi.
7
Prof. Dr. H. Amir Syarifudidin. “Ushul fiqh”. Jilid 1. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
2008. Hal 278
8
Al-Kamal Bin Humam, Al Tarir fi Ushul Al – Fiqh. “Sebagaimana dikutip Ali Abdurraziq, al-
Ijma’ fil Al-syariat al-Islamiyah tp.tt. Hal 7
9
Hasbi Ash – Shiddieqy. “Pengantar Hukum Islam”. Cet. Ke-3. Bulan Bintang. Jakarta 1983. Hal
173
Bagi mereka yang menentang Rasulullah, argumen-argumen ini
mengeluarkan pernyataan dan ancaman peringatan. Dan melanjutkan ke
arah yang berlawanan. Oleh karena itu, ia mewakili seseorang yang
tersesat dan akan terbakar di neraka.
c. Rukun Ijma'
Menurut Ulama Fiqh Rukun Ijma ada 5:
1. Semua mujtahid, bukan hanya satu, harus ikut serta dalam peristiwa yang
menyerukan Ijma.
2. Semua mujtahid yang berpartisipasi dalam diskusi hukum adalah mujtahid
aktif dari seluruh dunia.
3. Setelah pemaparan hasil ijtihad masing-masing mujtahid, tercapai
kesepakatan.
4. Hukum yang asli adalah hukum yang disepakati, yang tidak ada dalam Al-
Qur'an atau Hadits.10
d. Peringkat Ijma'
Ijma telah digambarkan sebagai konsensus ulama mujtahid menurut
definisi. Lokasinya tersebar, dan tidak ada batasan jumlah mujtahid. Namun,
ijma sebagaimana adanya dapat dan memang mengambil berbagai tingkat
kualitas dan bentuk.
Tingkatan kualitas Ijma' berikut ini:
1. Ijma shahih
Hal itu tampaknya menjadi ijma, yang terjadi ketika semua mujtahid
telah secara jelas dan terbuka mengungkapkan pandangan mereka tentang
undang-undang tertentu, baik dengan menyatakan kesimpulan ijtihad mereka
dalam sebuah fatwa atau dengan tulisan yang dapat digunakan untuk
memutuskan suatu perkara yang menyangkut hukum yang sama. tentang
hukum seperti yang dikatakan imam syafi'i '' Jika Anda atau salah satu
10
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia. “Hukum Islam”. Cet ke -1 Jilid 2. Ictiar Bru Van Hove.
Jakarta 1996. Hal 120
akademisi menyatakan bahwa hukum ini diterima secara universal, setiap
sarjana yang Anda temui pasti akan setuju dengan Anda”. 11
2. Ijma' Sukuti
Dan itu adalah kesepakatan para ahli, yang dibuktikan dengan fakta bahwa
ketika satu atau lebih mujtahid mengemukakan pendapat tentang aturan yang
mengatur suatu masalah pada waktu tertentu, pandangan itu beredar luas dan
diketahui banyak orang, meskipun faktanya tidak ada satu pun dari mereka.
mereka tampaknya menyadarinya. Dia telah disepakati atau disengketakan
oleh mujtahid lainnya. Para ulama berbeda pendapat tentang di mana ijma'
sukuti harus ditempatkan:
1. Menurut Imam Syafi'i dan pengikutnya, Ijma sukuti bukanlah ijma yang
dianggap sebagai sumber hukum dan tidak memiliki konsekuensi hukum
dalam dirinya sendiri.
2. Menurut ulama Hanafiyah, Ijma' sukuti dapat digunakan sebagai bukti
karena ada keharusan bahwa ketika dihadapkan pada suatu kejadian,
seorang mutahid tetap diam dan memberikan pandangannya tentang
kejadian tersebut, dan tidak ada kecurigaan bahwa dia diam. Fatwa adalah
hasil dari ketakutan, namun dikeluarkan oleh mujtahid.12
3. Menurut Imam al'Amidi (ahli ushul fiqh dari mazhab Syafi'i) dan Ibnu
Hajib (ahli ushul fiqh dari mazhab Maliki), akad semacam ini tidak disebut
11
Abu Zahra. “Ushul fiqh” Multazam Al-Thobi'I uwan-Nasru Darul Al – Aray. Hal 317
12
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi, “Hukum Islam”. Cet.Ke-1 Jilid 2. Ictiar Baru Van Hove.
Jakarta 1996. Hal 126
ijma' tetapi dapat digunakan sebagai barang bukti, dan jenis barang
buktinya juga zanni.13
4. Ijma sukuti bukanlah ijma, menurut beberapa ulama lainnya, terutama Abu
Hasyim. Dia masih bisa menjadi alat bukti untuk menetapkan undang-
undang, bagaimanapun juga.
5. Ulama Syafi'iyah Abu Ali bin Abi Hurairah berpandangan bahwa
pendapat telah diartikulasikan dan tidak terbantahkan. Jika itu adalah
tindakan atau putusan pengadilan yang tidak dapat dibantah oleh para
akademisi, diamnya para ulama tidak dapat dianggap sebagai ijma'.
Keheningan ulama disebut sebagai ijma', bahkan jika ide-ide ijtihad
dikomunikasikan atau fatwa dikeluarkan, dan tidak ada ahli lain yang
mendukung atau mengkritik.
1. Dia tidak menganggap argumen ijma' sebagai salah satu argumen yang
diperlukan secara hukum karena tidak ada argumen syar'i dengan qath'i
dilalah yang dapat disetujui oleh kedua belah pihak.
2. Dia mengakui ijma' sebagai pernyataan syar'iyah dalam teori, tetapi dia
menolak untuk menerima ijma' tertentu karena, menurutnya, itu tidak
cukup diartikulasikan atau dia tidak yakin bahwa ijma' benar-benar telah
diambil.
3. Dia sangat percaya bahwa ijma telah terjadi dan menerimanya secara
teori, tetapi dia terus melanggarnya.
13
Abu Zahrah. “Ushul al-Fiqh”. Multazam al-thobi’u wan-Nasru Darul Fkr al-‘Araby. 1958. Hal
323
Bagaimana hukumnya orang yang menolak Ijma' karena hal ini? Ada
banyak perspektif di kalangan akademisi tentang hal ini. Menurut beberapa
akademisi, Orang-orang kafir adalah orang-orang yang menentang hukum
yang ditetapkan Ijma'. Orang lain di dunia akademis menolak untuk
mengabaikan mereka yang menolak ijma. Mereka juga setuju bahwa individu
yang menolak zhanni ijma adalah tidak setia.
Menolak hukum ijma' berarti menolak tesis qath'i, menurut ulama yang
melabeli sebagai kafir mereka yang melakukannya. Ini melibatkan kontestasi
kebenaran pesan Nabi. Pola pikir seperti itu melanggar hukum kafir dengan
mengingkari Al-Qur’an & sunnah.
B. PENUTUP
1. Sangat layak untuk mengumpulkan akademisi fiqh untuk membentuk
Ijma, atau hukum, jika Anda mempertimbangkan teknik Cendekiawan
Klasik seperti Imam Al-Ghazali, Imam Syafii sebelumnya. Apalagi Ijma'
adalah kemungkinan yang sangat nyata pada masa sahabat Nabi.
2. Menurut ulama kontemporer seperti Abu Zahra, Abdul Wahab Kallaf
(Profesor Fiqh dan Ushul Fiqh), saat ini tidak mungkin ijma terjadi atau
sangat sulit untuk mengumpulkan mujtahid di seluruh negeri.
3. Karena keadaan di masa lalu dan sekarang sangat berbeda, para sarjana
dan penulis percaya bahwa masih mungkin untuk membuat undang-
undang tentang masalah komunal. Pusat media sekarang terbuka untuk
digunakan. sehingga orang-orang di berbagai wilayah di dunia dapat
mengamati informasi yang dibagikan secara online dan memilih apakah
mereka menerima hasil yang diinginkan.
4. Penggunaan media sosial masih memiliki kekurangan dan rentan terhadap
penipuan, dan tidak semua orang mau memanfaatkannya karena individu
yang menjawab pertanyaan tidak selalu seorang mujtahid atau ahli agama.
Selain itu, tidak ada ulama yang pernah menetapkan Ijma' menggunakan
media ini.
DAFRTAR PUSTAKA
Aen, A. D. (2000). "Ushul Fiqh ( Metodologi Hukum Islam )". Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada.
Andullah, S. (1995). "Sumber Hukum Islam". Jakarta: Sinar Grafika.
Asrowi, A. (2018). "Ijma dan Qiyas dalam Hukum Islam". Aksioma Al-Musaqoh:
Journal of Islamic Economics and Business Studies, 1(1).
Hilal, S. (2013). "Qawâ ‘Id Fiqhiyyah Furû ‘Iyyah Sebagai Sumber Hukum
Islam". Al-'Adalah, 11(2).