Anda di halaman 1dari 14

KAJIAN HUKUM ISLAM

(IJMA' SEBAGAI SALAH SATU METODE ISTINBAT HUKUM ISLAM)

Jamilah Ramadhani1

Prodi Akuntansi Syariah


Universitas Islam Negeri Sumatra Utara
Email: Jamilahramadhani21@gmail.com

ABSTRAK

Menurut beberapa orang, tujuan utama hukum Islam adalah untuk


memastikan bahwa orang hidup bahagia sekarang dan di masa depan. Akibatnya,
teologi Islam diturunkan sepanjang sejarah. Al-Qur'an, Hadits, Ijma, dan Qiyas
adalah empat sumber utama hukum Islam. Tujuannya untuk memperkuat Islam.
Karena Ijma begitu signifikan, ia memiliki kekuatan pembuktian yang lebih
rendah daripada Al-Qur'an dan Hadits. Lebih jauh, sebagian orang tidak melihat
Ijma' sebagai preseden hukum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mempelajari pengertian ijma dalam literatur Islam dan bagaimana
pemanfaatannya untuk mengembangkan hukum Islam. Penelitian atas karya ini
diperoleh dari sumber kedua berupa studi kepustakaan karena menggunakan
pendekatan hukum normatif.

Kata Kunci: Ijma', Hukum Islam

Abstract
According to some, the main purpose of Islamic law is to ensure that people live
happily now and in the future. As a result, Islamic theology has been passed down
throughout history. The Qur'an, Hadith, Ijma, and Qiyas are the four main sources
of Islamic law. The goal is to strengthen Islam. Because Ijma is so significant, it
has less evidentiary power than the Qur'an and Hadith. Furthermore, some people
do not see Ijma' as a legal precedent. The purpose of this research is to study the
meaning of ijma in Islamic literature and how to use it to develop Islamic law.
The research for this work was acquired from second sources in the form of
literary studies because it used a normative legal approach.

Keywords: Ijma', Islamic Law

PENDAHULUAN

Jika persoalan hukum yang mungkin muncul setelah wafatnya Nabi tidak
dibahas dalam Al-Qur'an atau hadits, para ulama mujtahid dapat menggunakan
ijma' sebagai salah satu metodologi konstruksi hukum mereka. Istilah "setelah
masa nabi" digarisbawahi di sini karena Al-Qur'an akan memberikan nasihat
hukum selama nabi masih hidup sejak ayat-ayat masih diturunkan, dan nabi
adalah orang yang paling baik untuk dipertanyakan. Syariah adalah sistem hukum
yang berdasarkan Islam. Akibatnya, ijma' tidak lagi diperlukan pada saat itu.

“Kesepakatan ulama mujtahid setelah wafatnya Nabi,” tambah Abu


Zahra.1 Menurut konsep ijma para ulama ushul fiqh, saat ini relatif sulit untuk
berijma karena beberapa faktor perlu diperhitungkan, termasuk rukun ijma.

1. Harus ada banyak mustajhid yang hadir setiap saat; jika hanya ada satu
mustajhid atau tidak ada sama sekali, ijma tidak diperbolehkan.
2. Terlepas dari negara asal, jenis, atau kelompok mujtahid, sejumlah dari
mereka sepakat dengan hukum kasus tersebut. Karena ijma' hanya
diperoleh dengan kesepakatan yang utuh, maka perjanjian tersebut tidak
dianggap ijma' jika hanya mencakup sebagian mujtahid, mujtahid
kelompok tertentu, atau wilayah tertentu.
3. Kesepakatan tersebut dibuat setelah publikasi awal dari posisi masing-
masing mujtahid mengenai hukum kejadian, yang diungkapkan secara
terbuka, tampak, dan nyata dalam bentuk pidato atau fatwa.

1
Abu Zahra, Ushul al – Fiqh, “Multazam al-thobi'u wan-Nasru Darul Fkr al – ' Araby”. 1958. Hal
198
4. Ijma tidak digunakan untuk menggambarkan konsensus pemikiran di
antara mereka yang bukan mujtahid.2

Karena ijma' para ulama mujtahid dianggap telah memenuhi ruh syar'i
sebagaimana dinyatakan dalam Surah an-Nisa (4): 59, maka kita diwajibkan untuk
menghormati hasil ijma' yang telah terjadi dalam suatu topik hukum. Hasil ijma'
tidak dapat diubah atau dipertanyakan.

‫اّللَ َواَ ِطْي ُعوا ا َّلر ُس ْو َل َواُوِِل ْاْلَ ْم ِر ِمْن ُك ْم‬ ِ ِ


ٰٓ ‫ٓاٰيَيُّ َها الَّذيْ َن آ َمنُ ْاوا اَطْي ُعوا‬
''Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu'' 3.

Karena al-qur’an dirujuk, para mujtahid adalah akad Ulil Amri yang harus
ditaati. Hasil kesepakatan ulama tidak menunjukkan bahwa mujtahid tidak
mungkin berbohong, menurut sejumlah hadits, termasuk hadits no. 3950
diceritakan oleh Ibu Majah

َ ‫إِ َّن أ َُّم ِِت َْل ََْتتَ ِم ُع َعلَى‬


.‫ضالَلَة‬

''Sesungguhnya umatku tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan.''

Definisi yang diberikan menimbulkan pertanyaan, "Apakah mungkin


untuk berijma' atau tidak?" Ulama yang merasa mungkin ada ijma karena ada
kesepakatan pada masa Abu Bakar sebagai - sahabat Siddiq seperti: Batalnya
penikahan muslim dan non Apakah layak untuk melakukan ijma atau tidak? akan
menjadi jelas dari definisi yang telah diberikan. Menurut para ulama, ijma dapat
terjadi karena kesepakatan yang dibuat ketika Abu Bakar dan Siddiq adalah
sahabat. Perjanjian ini menyerukan pembatalan pernikahan Muslim dan non-

2
A. Djazuli & I. Nuron Aen. “Ushul Fiqh (metodologi Hukum Islam)”. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta 2000. Hal 109 - 110
3
Departemen Agama RI, Alqur'an dan terjemahannya. Yayasan Penterjemah/penafsiran Al –
Qur'an. Jakarta 1971. Hal 128
Muslim dan posisi saudara dan saudari sebagai pengganti saudara dan saudari. Hal
itu sebagai gambaran ijma' pada masa para sahabat Nabi Allah.4

Para ulama lebih yakin tentang ijma' para sahabat, yang diakui sebagai
ijma' berdasarkan alasan ini, karena wilayah Muslim pada masa para sahabat tidak
terlalu luas, sehingga memungkinkan untuk memenuhi standar ijma'.

Apakah mungkin untuk membangun hukum dengan pendekatan ijma di


era modern atau global mengingat luasnya masalah yang ada sekarang dan
populasi Muslim yang berkembang? Kemudian ada banyak fatwa kelompok yang
dikeluarkan oleh dua organisasi besar seperti Muhammadiyah dan NU. Apa yang
terjadi jika umat Islam tidak lagi diperbolehkan mengikuti Ijma?

METODE

Metode Penelitian menggunakan strategi yuridis normatif yang meliputi


pengkajian atau pemeriksaan data sekunder. Studi ini dianggap sebagai tinjauan
literatur.

Penelitian yang dipakai ialah penelitian deskriptif analisis, yaitu


mengumpulkan data, menyusunnya, mengklarifikasinya, menganalisisnya, dan
menafsirkannya untuk menggambarkan permasalahan yang nyata dan ada pada
masa sekarang. Tanpa menggunakan teori apapun, deskripsi ini berusaha
menyajikan temuan-temuan observasi.5 Data sekunder, seperti buku dan jurnal
tentang ushul fiqh, serta metode studi Islam tradisional dan modern yang berguna
dengan menerapkan metode analisis data kualitatif, adalah jenis data yang
digunakan.

4
A. djazuli & I. Nurol Aen. “Ushul fiqh (Metodolofi Hukum Islam)”. PT. Raja Grafindo persada.
Jakarta 2000. Hal 112-113
5
Rianto Adi. “Metode Penelitian Sosial dan Hukum”. Granit. Jakarta 2004. Hal 4
A. PEMBAHASAN

a. Pengertian Ijma'
Secara etimologi Ijma menggambarkannya sebagai keputusan untuk
memutuskan atau kesimpulan tentang sesuatu. Firman Tuhan menunjukkan
ijma dalam pengambilan keputusan dalam surat Yunus (10): 71
ۤ ِْ َ‫فَا‬
‫ْج ُعْاوا اَْمَرُك ْم َو ُشَرَكاءَ ُك ْم‬

“Akibatnya, putuskan untuk menghancurkanku dan mengumpulkan


sekutumu.”

Ada berbagai rumusan untuk memahami ijma secara syar'i atau bahasa
teknis hukum. Perbedaan tersebut dapat ditemukan dalam berbagai rumusan
atau makna ijma'.

a. Al – Ghazali merumuskan Ijma'


Ini mencerminkan definisi Imam Syafi'i Imam Al-Ghazali tentang
ijma sebagai kesepakatan populer. Sudut pandang ini menyatakan bahwa
adalah tanggung jawab orang, bukan individu, untuk menjaga perdamaian.
b. Ahli Ushul Fiqh Abdul karim Zaidan
Abdul Karim Zaidan mendefinisikan ushul fiqh sebagai
"kesepakatan para mujtahid dari kalangan Muslim tentang hukum syariah"
selama waktu setelah wafatnya Nabi.6
c. Ulama Syiah
Ulama Syiah berpendapat bahwa beberapa kelompok atau individu
dari kelompok ini memiliki kekuatan untuk menetapkan hukum daripada
berfokus pada kata "semua." Mereka berpendapat bahwa ijma' hanya
menunjukkan adanya sunnah ketika kata-kata atau tindakan seseorang
adalah mas'hum, atau tidak bercacat. Mereka menganggap Nabi

6
Satria Effendi M. Zein. “Ushul Fiqh”. Cetakan Ke 3. Prenda Media Group. Jakarta 2009. Hal
125
Muhammad dan Ahlul Bait sebagai contoh orang-orang seperti itu
(keturunan para nabi dari Fatima dan Hasan dan Husain).7
d. Al – Kamal Bin Al – Hummam
Arti Ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid umat Muhammad
tentang masalah syariat pada saat yang sama."8
e. Abdul Wahab Khallaf
Ijma bisa terjadi jika urusannya diserahkan kepada pemerintah,
karena setiap pemerintah, sebagai ulil amri, mampu mengidentifikasi
mujtahid suatu negara, dan mujtahid di seluruh dunia merasa hal itu
mungkin terjadi9.

b. Dasar Hukum Ijma'

Banyak ulama menganggap bahwa mengikuti Al-Qur'an dan As-


Sunnah, sudut pandang ijma' adalah salah satu sumber atau pembenaran
hukum. Hal ini menunjukkan bahwa Ijma dapat memberikan batasan-
batasan wajib bagi umat Islam tanpa adanya persyaratan hukum dalam Al-
Qur'an atau Hadits dari Nabi. Salah satu alasan Al-Qur'an ditemukan
dalam Surah An - Nisa (4): 115

ࣖ ‫َوَم ْن يُّ َشاقِ ِق َّالر ُس ْوَل ِم ْْۢن بَ ْع ِد َما تَبََّ ََّي لَهُ ا ْْلُٓدى َويَتَّبِ ْع َغ َْْي َسبِْي ِل الْ ُم ْؤِمنِ ْ ََّي نَُولِٰه َما تَ َوِٰٓل َونُ ْصلِه َج َهنَّ َم َو َس ۤاءَ ْت َم ِص ًْْيا‬
Dan siapa pun yang menolak Rasul setelah menyadari kebenaran dan
melanjutkan di jalan yang berbeda dari jalan orang-orang beriman akan
diberikan kendali atas kesalahan yang telah dikalahkan dan akan dikirim
ke Neraka, yang merupakan tempat terburuk untuk pergi.

7
Prof. Dr. H. Amir Syarifudidin. “Ushul fiqh”. Jilid 1. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
2008. Hal 278
8
Al-Kamal Bin Humam, Al Tarir fi Ushul Al – Fiqh. “Sebagaimana dikutip Ali Abdurraziq, al-
Ijma’ fil Al-syariat al-Islamiyah tp.tt. Hal 7
9
Hasbi Ash – Shiddieqy. “Pengantar Hukum Islam”. Cet. Ke-3. Bulan Bintang. Jakarta 1983. Hal
173
Bagi mereka yang menentang Rasulullah, argumen-argumen ini
mengeluarkan pernyataan dan ancaman peringatan. Dan melanjutkan ke
arah yang berlawanan. Oleh karena itu, ia mewakili seseorang yang
tersesat dan akan terbakar di neraka.

c. Rukun Ijma'
Menurut Ulama Fiqh Rukun Ijma ada 5:

1. Semua mujtahid, bukan hanya satu, harus ikut serta dalam peristiwa yang
menyerukan Ijma.
2. Semua mujtahid yang berpartisipasi dalam diskusi hukum adalah mujtahid
aktif dari seluruh dunia.
3. Setelah pemaparan hasil ijtihad masing-masing mujtahid, tercapai
kesepakatan.
4. Hukum yang asli adalah hukum yang disepakati, yang tidak ada dalam Al-
Qur'an atau Hadits.10

d. Peringkat Ijma'
Ijma telah digambarkan sebagai konsensus ulama mujtahid menurut
definisi. Lokasinya tersebar, dan tidak ada batasan jumlah mujtahid. Namun,
ijma sebagaimana adanya dapat dan memang mengambil berbagai tingkat
kualitas dan bentuk.
Tingkatan kualitas Ijma' berikut ini:
1. Ijma shahih
Hal itu tampaknya menjadi ijma, yang terjadi ketika semua mujtahid
telah secara jelas dan terbuka mengungkapkan pandangan mereka tentang
undang-undang tertentu, baik dengan menyatakan kesimpulan ijtihad mereka
dalam sebuah fatwa atau dengan tulisan yang dapat digunakan untuk
memutuskan suatu perkara yang menyangkut hukum yang sama. tentang
hukum seperti yang dikatakan imam syafi'i '' Jika Anda atau salah satu

10
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia. “Hukum Islam”. Cet ke -1 Jilid 2. Ictiar Bru Van Hove.
Jakarta 1996. Hal 120
akademisi menyatakan bahwa hukum ini diterima secara universal, setiap
sarjana yang Anda temui pasti akan setuju dengan Anda”. 11

Keaslian Ijma’ sangat jarang, banyak dilakukan sendirian dalam majelis;


itu menantang untuk dilakukan di forum. Karena jumlah mujtahid sedikit dan
suasana masih relatif dekat pada waktu itu, Beberapa sejarawan berpendapat
bahwa legitimasi ijma hanya dapat dibayangkan selama pemerintahan para
sahabat.

2. Ijma' Sukuti

Dan itu adalah kesepakatan para ahli, yang dibuktikan dengan fakta bahwa
ketika satu atau lebih mujtahid mengemukakan pendapat tentang aturan yang
mengatur suatu masalah pada waktu tertentu, pandangan itu beredar luas dan
diketahui banyak orang, meskipun faktanya tidak ada satu pun dari mereka.
mereka tampaknya menyadarinya. Dia telah disepakati atau disengketakan
oleh mujtahid lainnya. Para ulama berbeda pendapat tentang di mana ijma'
sukuti harus ditempatkan:

1. Menurut Imam Syafi'i dan pengikutnya, Ijma sukuti bukanlah ijma yang
dianggap sebagai sumber hukum dan tidak memiliki konsekuensi hukum
dalam dirinya sendiri.
2. Menurut ulama Hanafiyah, Ijma' sukuti dapat digunakan sebagai bukti
karena ada keharusan bahwa ketika dihadapkan pada suatu kejadian,
seorang mutahid tetap diam dan memberikan pandangannya tentang
kejadian tersebut, dan tidak ada kecurigaan bahwa dia diam. Fatwa adalah
hasil dari ketakutan, namun dikeluarkan oleh mujtahid.12
3. Menurut Imam al'Amidi (ahli ushul fiqh dari mazhab Syafi'i) dan Ibnu
Hajib (ahli ushul fiqh dari mazhab Maliki), akad semacam ini tidak disebut

11
Abu Zahra. “Ushul fiqh” Multazam Al-Thobi'I uwan-Nasru Darul Al – Aray. Hal 317
12
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi, “Hukum Islam”. Cet.Ke-1 Jilid 2. Ictiar Baru Van Hove.
Jakarta 1996. Hal 126
ijma' tetapi dapat digunakan sebagai barang bukti, dan jenis barang
buktinya juga zanni.13
4. Ijma sukuti bukanlah ijma, menurut beberapa ulama lainnya, terutama Abu
Hasyim. Dia masih bisa menjadi alat bukti untuk menetapkan undang-
undang, bagaimanapun juga.
5. Ulama Syafi'iyah Abu Ali bin Abi Hurairah berpandangan bahwa
pendapat telah diartikulasikan dan tidak terbantahkan. Jika itu adalah
tindakan atau putusan pengadilan yang tidak dapat dibantah oleh para
akademisi, diamnya para ulama tidak dapat dianggap sebagai ijma'.
Keheningan ulama disebut sebagai ijma', bahkan jika ide-ide ijtihad
dikomunikasikan atau fatwa dikeluarkan, dan tidak ada ahli lain yang
mendukung atau mengkritik.

e. Mengingkari Hasil Ijma'


Jika seseorang dengan sengaja mengabaikan hukum yang telah diputuskan
oleh ijma' meskipun mengetahui bahwa ijma' para ulama telah
diselenggarakan untuk melakukannya, mereka dikatakan mengingkari hasil
ijma'.
Klausa berikut dapat mengakibatkan penolakan hasil ijma:

1. Dia tidak menganggap argumen ijma' sebagai salah satu argumen yang
diperlukan secara hukum karena tidak ada argumen syar'i dengan qath'i
dilalah yang dapat disetujui oleh kedua belah pihak.

2. Dia mengakui ijma' sebagai pernyataan syar'iyah dalam teori, tetapi dia
menolak untuk menerima ijma' tertentu karena, menurutnya, itu tidak
cukup diartikulasikan atau dia tidak yakin bahwa ijma' benar-benar telah
diambil.

3. Dia sangat percaya bahwa ijma telah terjadi dan menerimanya secara
teori, tetapi dia terus melanggarnya.

13
Abu Zahrah. “Ushul al-Fiqh”. Multazam al-thobi’u wan-Nasru Darul Fkr al-‘Araby. 1958. Hal
323
Bagaimana hukumnya orang yang menolak Ijma' karena hal ini? Ada
banyak perspektif di kalangan akademisi tentang hal ini. Menurut beberapa
akademisi, Orang-orang kafir adalah orang-orang yang menentang hukum
yang ditetapkan Ijma'. Orang lain di dunia akademis menolak untuk
mengabaikan mereka yang menolak ijma. Mereka juga setuju bahwa individu
yang menolak zhanni ijma adalah tidak setia.

Menolak hukum ijma' berarti menolak tesis qath'i, menurut ulama yang
melabeli sebagai kafir mereka yang melakukannya. Ini melibatkan kontestasi
kebenaran pesan Nabi. Pola pikir seperti itu melanggar hukum kafir dengan
mengingkari Al-Qur’an & sunnah.

Argumentasi ijma' kuat karena, menurut para akademisi yang tidak


mempercayai mereka yang menolaknya, argumen tersebut hanyalah zann dan
bukan qath'i. Akibatnya, tidak menghasilkan prinsip hukum yang kokoh.
Menyangkal hukum tidak efektif untuk membujuk orang yang tidak percaya.
Akibatnya, kita tidak bisa menilai mereka yang secara teori tidak menerima
qath' sebagai produk ijma.

Beberapa ahli meneliti sebab-sebab individu yang tidak mengamalkan


temuan ijma' untuk menjelaskan masalah hukum bagi mereka yang
menolaknya. Dalam hal menolak aturan-aturan yang penting bagi agama,
seperti kewajiban shalat dan larangan zina, maka hukumnya adalah kafir.

f. Kemungkinan Terjadi Ijma Dizaman Moderen


Menurut Al-Nazham dan Syi'ah tertentu, ijma' menurut prinsip-prinsip
tersebut di atas tidak mungkin karena pilar ijma' tidak dapat sepenuhnya
terwujud. Ini penjelasannya:
1. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah seseorang telah mencapai
tingkat pendidikan yang diperlukan untuk diberi label mujtahid karena
tidak ada lembaga pendidikan formal yang menghasilkan mereka.
2. Tidaklah penting berkonsultasi dengan mujtahid untuk mendapatkan
pendapatnya tentang suatu hal yang memerlukan otoritas hukum,
meskipun ada lembaga pendidikan mujtahid, suatu cara untuk
menentukan apakah seseorang telah memperoleh gelar mujtahid, dan
mujtahid itu baik-baik saja. dikenal di seluruh dunia. Mungkin karena
latar belakang sosial dan budaya mereka yang berbeda, isolasi, dan
keterasingan.
3. Siapa yang bisa memastikan bahwa setiap mujtahid yang telah
menyuarakan perspektif tentang legalitas suatu topik akan
mempertahankan pendirian itu sampai semua pendapat mereka terkumpul,
mengingat kesepakatan itu merupakan syarat untuk mengadakan ijma'?
Bahkan jika ada mujtahid di seluruh dunia yang secara meyakinkan dapat
mengumpulkan pendapat mereka.
4. Inti dari ijma' adalah kebulatan pandangan dalam hal kesepakatan, namun
mencapai kebulatan pendapat di antara mujtahid secara massal adalah
sesuatu yang sangat sulit terjadi.
Sementara itu, menurut ulama ushul fiqh kontemporer Wahbah az-Zuhaili,
Fathi ad-Duraini, dan Abdul Wahaf Khallaf (tiga profesor fiqh dan ushul fiqh
di Universitas al-Azhar Mesir), ijma' yang mungkin hanya terjadi pada masa
waktu para sahabat karena mereka masih berada di wilayah yang sama.
Karena besarnya Islam pada periode berikutnya, sulit untuk melakukan ijma
karena semua ulama tidak bisa berkumpul di satu tempat.14
Abdul Wahab Khalaf mengklarifikasi kemungkinan ijma', khususnya di
zaman modern ini. ketika suatu negara menangani pelaksanaan ijma' bersama
dengan negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Untuk
mengidentifikasi semua mujtahid di dunia, setiap negara menetapkan kriteria
minimum yang harus dipenuhi sebelum seseorang dapat diakui telah
memperoleh status mujtahid.15
Di era globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi saat ini, apa yang
dikatakan Abdul Wahab Khallafin sangat mungkin terjadi karena meskipun
mujtahid tersebar di seluruh dunia, relatif mudah untuk mengumpulkan
14
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Huukm Islam, h. 669
15
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan Nor Isandar dkk,Rajawali Press, Jakarta, h
.67
mereka karena alasan tertentu. Ini akurat meskipun fakta bahwa mujtahid
tersebar di seluruh permukaan dunia. masalah hukum, atau paling tidak,
untuk meminta pendapat mereka. Ijma adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan persetujuan mereka dalam ide-ide mereka.
Dengan menggunakan media sosial seperti akun Instagram, Facebook,
Twitter, atau YouTube, kini memungkinkan untuk mengakses pendapat para
akademisi atau mujtahid dari seluruh dunia tanpa harus menghadiri majelis.
Minimnya media digital sebagai alat ijma' (perjanjian mujtahid) untuk
mempertemukan mujtahid di seluruh dunia mungkin menjadi masalah.

B. PENUTUP
1. Sangat layak untuk mengumpulkan akademisi fiqh untuk membentuk
Ijma, atau hukum, jika Anda mempertimbangkan teknik Cendekiawan
Klasik seperti Imam Al-Ghazali, Imam Syafii sebelumnya. Apalagi Ijma'
adalah kemungkinan yang sangat nyata pada masa sahabat Nabi.
2. Menurut ulama kontemporer seperti Abu Zahra, Abdul Wahab Kallaf
(Profesor Fiqh dan Ushul Fiqh), saat ini tidak mungkin ijma terjadi atau
sangat sulit untuk mengumpulkan mujtahid di seluruh negeri.
3. Karena keadaan di masa lalu dan sekarang sangat berbeda, para sarjana
dan penulis percaya bahwa masih mungkin untuk membuat undang-
undang tentang masalah komunal. Pusat media sekarang terbuka untuk
digunakan. sehingga orang-orang di berbagai wilayah di dunia dapat
mengamati informasi yang dibagikan secara online dan memilih apakah
mereka menerima hasil yang diinginkan.
4. Penggunaan media sosial masih memiliki kekurangan dan rentan terhadap
penipuan, dan tidak semua orang mau memanfaatkannya karena individu
yang menjawab pertanyaan tidak selalu seorang mujtahid atau ahli agama.
Selain itu, tidak ada ulama yang pernah menetapkan Ijma' menggunakan
media ini.
DAFRTAR PUSTAKA

Aen, A. D. (2000). "Ushul Fiqh ( Metodologi Hukum Islam )". Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada.
Andullah, S. (1995). "Sumber Hukum Islam". Jakarta: Sinar Grafika.
Asrowi, A. (2018). "Ijma dan Qiyas dalam Hukum Islam". Aksioma Al-Musaqoh:
Journal of Islamic Economics and Business Studies, 1(1).

Asmawi. (2011). "Perbandingan Ushul Fiqh". Jakarta: Amzah.


Dahlan, A. A. (1996). "Ensiklopedi Hukum Islam" . Jakarta, Ictiar Baru Vn Hove.
Dinata, M. F. (2010). "Konsep Ijma' dalam ushul Fiqh Di era Modern". Jurnal
Hukum Islam.
Fadilah, A. (2016). “Probabilitas Ijma’ Di Era Modern (Implikasi Perbedaan
Definisi, Syarat dan Rukun kemungkinan terjadinya Ijma' kedudukan dan
hujjahnya. Al-Majaalis.
Ghulam, Z. (2018). "Ushul Al-Fiqh Al-Islami". Turki, Dar Tahqiq Al-Kitab.
Hadi, A., & Hasan, S. (2015). "Pengaruh Hukum Islam dalam Pengembangan
Hukum di Indonesia". Nurani, Jurnal Kajian Syari'ah dan
Masyarakat, 15(2).

Hilal, S. (2013). "Qawâ ‘Id Fiqhiyyah Furû ‘Iyyah Sebagai Sumber Hukum
Islam". Al-'Adalah, 11(2).

Khallaf, A. W. (1993). "Ilmu Ushul Fiqh . Jakarta: Rajawali Press.


Maimun, A. (2017). "Memperkuat’Urf dalam Pengembangan Hukum Islam". Al-
Ihkam, Jurnal Hukum & Pranata Sosial, 12(1).

Putra, P. A. (2021). "KONSEP IJMÂ’ DAN APLIKASINYA DALAM


MU’ÂMALAH." Jurnal pemikiran dan pengembangan perbankan
Syariah.
Ridwan, M., Umar, M. H., & Ghafar, A. (2021). "SUMBER-SUMBER HUKUM
ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA". Borneo, Journal of Islamic
Studies, 1(2).
Rusanah, R. (1998). "Studi analisis terhadap pemikiran Abu Zahrah tentang
sumber hukum Islam (Doctoral dissertation, IAIN Sunan Ampel Surabaya)".

Syafe'i, Z. (1997). "Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam". Al Qalam, 13(67), 9.

Syarifuddin, P. D. (2008). "Ushul Fiqh". Jakarta, Kencana, Prenada Media Grub.


Syfe'i, R. (2000). "Ilmu Ushul Fiqh". Bandung: Pustaka Setia.
T.M, H. A.-S. (1983). "Pengantar Hukum Islam". Jakarta: Bulan Bintang.
Tunai, S. F. (2016). "Pandangan Imam Syafi’i Tentang Ijma Sebagai Sumber
Penetapan Hukum Islam Dan Relevansinya Dengan Perkembangan
Hukum Islam Dewasa Ini". Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, 3(2).

Terjemahan, Al-Qur'an. (1971). "Yayasan Penyelenggara/penafsiran Al - Qur'an"


. Jakarta.
Zein, S. E. (2009). "Ushul Fiqh" . Jakarta, Prenada Media Group.

Anda mungkin juga menyukai