Anda di halaman 1dari 18

MAHQAMAT DAN AHWAL DALAM ILMU TASAWUF

(AKHLAK TASAWUF)

DOSEN PENGAMPU :

JULIANA NASUTION, ME

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK III

FARAS ABIYYU ZHAFRAN (0502202132)

JAMILAH RAMADHANI (0502203032)

MARPIRAH METUAH (0502202145)

PROGRAM AKUNTANSI SYARI'AH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN

T.A 2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih
memberikan kami nikmat iman dan juga rahmat-Nya serta kesehatan, sehingga
kami diberi kesempatan yaitu untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah
tentang “Mahqamah Dan Ahwal Dalam Ilmu Tasawuf ”.

Shalawat serta salam tidak lupa kami panjatkan untuk junjungan Nabi
Muhammad SAW yang telah menyampaikan hidayah dari Allah SWT untuk kita
semua, yang merupakan sebuah petunjuk yang paling benar yakni syariah agama
Islam.

Sekaligus pula kami menyampaikan rasa terimakasih yang sebanyak-


banyaknya untuk Ibu Juliana Nasution M.E selaku dosen mata kuliah Akhlak
Tasawuf yang telah menyerahkan kepercayaan kepada kami guna menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu.

Kami juga berharap dengan sungguh-sungguh agar makalah ini berguna


serta bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan terkait
Mahqamah Dan Ahwal Dalam Ilmu Tasawuf

Kami juga mengharapkan kritik dan saran demi menyempurnakan makalah


kami agar lebih baik dan dapat berguna semaksimal mungkin. Akhir kata kami
mengucapkan terimakasih.

Medan, 05 April 2021

Kelompok III

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan Masalah.............................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
A. Pengertian Mahqamat..................................................................................3
B. Mahqamat – Mahqamat Dalam Ilmu Tasawuf..........................................3
C. Pengertian Ahwal..........................................................................................8
D. Macam – Macam Ahwal...............................................................................9
E. Perbedaan dan Persamaan Maqamat dan Ahwal....................................11
F. Contoh Orang yang Memiliki Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf....12
BAB III..................................................................................................................13
PENUTUP.............................................................................................................13
A. Kesimpulan..................................................................................................13
B. Saran............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan manusia hidup di muka bumi ini adalah untuk
beribadah kepada Allah SWT. Dalam jiwa manusia terdapat fitrah yang akan
mengarahkan manusia kepada hal-hal yang positif.

Dalam diri setiap manusia terkandung dua dimensi yang berbeda, yaitu
jasmani yang lahir dalam keadaan fitrah. Fitrah disini bukan sekedar bersih dari
noda, namun lengkap dengan potensi kodrati yang bersifat spiritual. Dengan
potensi inilah manusia diberi kepercayaan untuk menjadi kholifah fil ardhi serta
memerankan fungsi-fungsi ketuhanan dimuka bumi.

Jika manusia didalam dirinya telah terkandung potensi kebaikan,


keluhuran ataupun kesempurnaan sebagai bekal khalifah di bumi, lalu bagaimana
potensi tersebut dapat dikembangkan dan diaktualisasikan ? banyak teori yang
berbicara mengenai hal ini yang salah satunya adalah tasawuf.

Sebagaimana yang telah dijalani oleh beberapa tokoh besar sufi yang
menjalani hidupnya penuh dengan ketaqwaan serta manjalankan beberapa maqam
dan dikaruniai berbagai hal sehingga menjadikan hidupnya penuh dengan
kebahagiaan baik didunia maupun di akhirat. Mereka merasa sangat dekat dengan
tuhan-Nya.

Maqamat dan ahwal adalah dua hal yang senantiasa dialami oleh orang


yang menjalani tasawuf sebelum sampai pada tujuan yang di kehendaki. Yang
pertama berupa keadaan, sedangkan yang kedua berupa tahapan perjalanan.
Keduanya dapat dibedakan namun sering pula disamakan, bahkan dipertukarkan.

Oleh karena itu, perlu kiranya bagi kita untuk mempelajari tasawuf beserta
maqamat dan ahwalnya yang harus ditempuh oleh seorang muslim untuk
mencapai kedudukan yang sangat mulia dimata tuhan-Nya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian maqamat dan macam-macamnya?
2. Bagaimana pengertian ahwal dan macam-macamnya?
3. Apa perbedaan, persamaan maqamat dan ahawal?
4. Sebutkan Contoh Orang yang Memiliki Maqamat dan Ahwal dalam
Tasawuf !

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui penjelasan dari maqamat  dan tingkatannya dalam
tasawuf.

2. Untuk mngetahui penjelasan dari ahwal dan tingkatannya dalam tasawuf.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahqamat

Maqamat adalah bentuk jamak dari maqam yang berarti tempat atau
kedudukan., dalam istilah maqom mengandung arti kedudukan hamba dalam
pandanngan allah menurut apa yang di usahakan berupa ibadah latihan dan
perjuangan kepada Allah.
Istilah ini sering digunakan oleh para sufi. Dalam Sufi terminology : The
Mystical Language Of Islam, maqam diterjemahkan sebagai kedudukan spiritual 1.
Menurut al -Qusyairi yang dimaksud dengan maqam adalah hasil usaha manusia
dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang
dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban.2

Sedangkan al-Thusi memberikan pengertian, bahwa maqamat adalah


Kedudukan hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam
ibadah, kesungguhan melawan hawa nafsu, latihan -latihan kerohanian serta
menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata -mata untuk berbakti kepada-Nya.

B. Mahqamat – Mahqamat Dalam Ilmu Tasawuf


Mengenai berapa jumlah tangga atau maqamat, para ulama sufi memilki
perbedaan pendapat. M enurut al-Qusyairi, ada 7 (tujuh) maqam, yang jenjangnya
adalah: Taubat, Wara’, Zuhud, Tawakkal, Shabar, dan terakhir Ridha.3

Sedangkan al-Ghazali memiliki urutan berikut: Taubat, Shabar, Syukur,


Raja’, Khauf, Zuhud, Mahabbah, Asyiq, Unas, Ridha.4

1
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset
2002) cet. Pertama hal. 25

2
M. Jamil. Cakrawala Tasawuf. Dikutip dari Al-Qusyairi Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-
Tashawwuf (Cairo: Dar al-Khair, t.t.), 35.

3
3 Al-Qusyairi. Risalah Al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, hal 49
4
Ibid, hal 194

3
Namun dari perbedaan pendapat diatas ada maqamat yang mereka
sepakati yaitu taubat, Zuhud, wara, fakir, sabar, tawakal, dan ridha. Sedangkan
tawadlu, mahabbah, dan makrifat oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat.

1. Taubat
Sebagai awal dari perjalanan yang harus dilakukan oleh seorang Sufi
ialah maqam taubah yang berasal dari bahasa Arab yaitu taba – yatubu – taubatan
yang artinya kembali. Sedang taubat yang dimaksud oleh kalangan Sufi adalah
memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-
sungguh tidak akan mengulangi dosa tersebut yang disertai melakukan amal
kebajikan.
Mustafa Zahri menyebutkan taubat bersamaan dengan istighfar
(memohon ampun). Bagi orang yang awam taubat cukup dengan membaca
astaghfirullah wa atubu ilaihi sebagnyak 70 kali sehari semalam. Sedangkan bagi
orang yang khawas bertaubat dengan melakukan riadhah (latihan) dan mujahadah
(perjuangan) dalam usaha yang membatasi diri dengan Tuhan.5

Dalam Al-Quran sendiri banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan


manusia untuk bertaubat. Diantaranya:

٣١ َ‫َوتُوب ُٓو ْا ِإلَى ٱهَّلل ِ َج ِميعًا َأيُّهَ ۡٱل ُم ۡؤ ِمنُونَ لَ َعلَّ ُكمۡ تُ ۡفلِحُون‬
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
agar kamu beruntung (Q. S An-Nur (24): 31)

‫ ُر‬l ِ‫ ُذنُوبِ ِهمۡ َو َمن يَ ۡغف‬l ِ‫ُوا ل‬


ْ ‫ت َۡغفَر‬l ‫ٱس‬ ْ ‫وا ٰفَ ِح َشةً َأ ۡو ظَلَ ُم ٓو ْا َأنفُ َسهُمۡ َذ َكر‬
ۡ َ‫ُوا ٱهَّلل َ ف‬ ْ ُ‫َوٱلَّ ِذينَ ِإ َذا فَ َعل‬
١٣٥ َ‫وا َوهُمۡ يَ ۡعلَ ُمون‬ ْ ُ‫وا َعلَ ٰى َما فَ َعل‬ ْ ُّ‫صر‬ ِ ُ‫وب ِإاَّل ٱهَّلل ُ َولَمۡ ي‬
َ ُ‫ٱل ُّذن‬
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka. (Q. S Ali-Imran:135)

5
Mustafa Zahri. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1995) hal 105-106

4
2. Wara
Secara harfiah wara artinya sholeh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa.
Secara harfiyah Al-Wara' artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa.
Dalam tradisi Sufi yang dimaksud dengan wara' adalah meninggalkan sesuatu
yang belum jelas hukumnya (subahat), hal ini berlaku pada segala hal atau
aktifitas manusia baik yang berupa benda maupun perilaku seperti makanan,
minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai, bekerja dan
lain-lain.6
Kaum sufi menyadari bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan
sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan,
meminum atau memakainya. Maka mereka sangat hati-hati akan hal ini sebab
para sufi senantiasa mengharapkan nur ilahi yang dipancarkan lewat hati yang
bersih

3. Zuhud

Secara harfiah zuhud berarti tidak menginginkan hal yang bersifat


keduniaan. Menurut Harun Nasution zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia
dan hidup kematerian.

Dalam pandangan kaum Sufi, dunia dan segala isinya adalah sumber
segala kemaksiatan dan kemungkaran yang dapat menjauhkan diri dari tuhan.
Karena hasrat, keinginan dan nafsu seseorang sangat berpotensi untuk menjadikan
kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai tujuan hidupnya, sehingga
memalingkannya dari tuhan. Menurut Al-Junaidi yang dikutip oleh Hasyim
Muhammad mengatakan bahwa, zuhud adalah kosongnya tangan dari pemilikan
dan kosongnya hati dari pencarian.

6
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset
2002) cet. Pertama hal. 31

5
Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan
hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang
fana dan sementara. Allah berfirman :

٣٨ ‫فَ َما َم ٰتَ ُع ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَا فِي ٱأۡل ٓ ِخ َر ِة ِإاَّل قَلِي ٌل‬
Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) akhirat
hanyalah sedikit (Q.S Al-Taubah: 38)

ۡ ُ‫َوٱأۡل ٓ ِخ َرة‬
١٧ ‫ر َوَأ ۡبقَ ٰ ٓى‬ٞ ‫خَي‬

Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal (Q.S Al-A’la:17)

Orang memiliki pandangan yang demikian tidak akan mengorbankan


kebahagiaan hidupnya di akhirat hanya untuk mengejar duniawi saja. Sikap
zuhud adalah sikap yang harus ditempuh oleh seorang sufi.

4. Fakir
Secara harfiah fakir diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau
orang miskin. Sedang menurut pandangan Sufi faqr adalah tidak meminta lebih
dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk
dapat menjalankan kewajiban – kewajiban. Tidak meminta sesungguhpun tak ada
pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.7
Sikap fakir ini penting dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah
SWT karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia dekat
kepada kejahatan dan sekurang-kurangnya membuat jiwa menjadi tertambat pada
selain Allah SWT8
5. Sabar
Sabar berarti tabah hati. sabar jika dipandang sebagai pengekangan
tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan Aal-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-

7
Ibid, hal 200
8
Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) hal 200

6
shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar
badani (ash-shabr al-badani)9

Dalam tradisi sufi, sabar merupakan salah satu maqam yang harus
ditempuh dalam perjalanan menuju Allah SWT, yang sering diterjemahkan
sebagai ketabahan dan ketekunan. Kesabaran adalah pembuka jalan keluar dari
suatu masalah. Bersabar diri merupakan sifat dari orang-orang yang memiliki
kecerdasan spiritual yang tinggi dan kecerdasan emosional yang bening.10

٢٠٠ َ‫وا ٱهَّلل َ لَ َعلَّ ُكمۡ تُ ۡفلِحُون‬


ْ ُ‫وا َوٱتَّق‬
ْ ُ‫ُوا َو َرابِط‬
ْ ‫صابِر‬ ْ ‫ٱصبِر‬
َ ‫ُوا َو‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ۡ ‫وا‬

Wahai orang-orang yang beriman, berlaku sabarlah dan perkuat kesabaran


diantara sesama kalian, dan bersiapsiagalah kalian serta bertaqwalah kepada
Allah supaya kalian memperoleh keberuntungan (Q.S Ali-Imran: 200)

6. Tawakal
Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan
diri hanya kepada Allah SWT. Secara harfiah tawakal berarti menyerahkan diri11

Inti dari tawakal adalah sikap mempercayakan diri dan seluruh jalannya,
serta semua aktivitasnya hanya kepada Allah SWT, dalam kepercayaan jiwa yang
sempurna dan tanpa syarat. Kedudukan tawakal dalam dunia tasawuf adalah
menampakan dirinya sebagai berkaitan erat dengan Al-Ahwal (keadaan) yang
merupakan perwujudan dari karunia Allah SWT12

:Allah SWT berfirman

ٓ ُ‫ َو َمن يَت ََو َّك ۡل َعلَى ٱهَّلل ِ فَه َُو َح ۡسبُه‬.....


٣ .....
Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluannya) (Q.S Ath-Thalaq: 3)
9
Ibid, hal 201
10
Asep Achmad Hidayat. Mata Air Bening Ketenangan Jiwa Pintu Masuk Kretentraman an
kemuliaan hidup (Bandung: Penerbit MARJA, 2009) hal 138-144
11
Abuddin Nata. Op Cit, hal 174
12
Op. Cit, hal 147

7
Dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa intisari
atau sumsum dari orang yang bertauhid adalah orang yang dekat kepada Allah
dengan suatu pancaran batin dari cahaya Tuhan., bahwa semua benda,
bagaimanapun banyak dan jenisnya, berasal dari satu sumber.

Dengan demikian, orang yang bertawakal adalah orang yang selalu


mengaitkan dan menggantungkan hatinya kepada Allah untuk setiap usaha dan
pekerjaannya. Abu Ali ar-Rudzbari berpendapat, ada tiga tanda yang bertawakal
kepada Allah SWT, yaitu tidak meminta, tidak menolak sesuatu (pemberian), dan
tidak pula menahan sesuatu (yang akan diberikan).

7. Ridha
Ridha berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang
dianugerahkan Allah SWT. Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak
berusaha, tidak menentang qada dan qadar Allah malah menerima dengan hati
senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal didalamnya
hanya perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal didalamnya hanya perasaan
senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa
senang menerima nikmat.13
Orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan
yang diberikan Allah SWT dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya.
Menurut Abdul Halim Mahmud, ridha mendorong manusia berusaha sekuat
tenaga mencapai apa yang dicintai Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebelum
mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apapun
yang disukai Allah SWT14

13
Abuddin Nata. Op. Cit, hal 203
14
Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) hal 201

8
C. Pengertian Ahwal
Ahwal adalah jama' dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan
(state). Secara terminologi ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati.
Hal masuk dalam hati sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah.
Hal datang dan pergi dari diri seseorang tanpa usaha ataupun perjalanan
tertentu. Karena hal datang dan pergi secara tiba-tiba dan tidak disengaja, maka
Al-Qusyairi mengatakan bahwa pada dasarnya maqamat adalah upaya (makasib)
sedangkan hal adalah karunia (mawahib) yang diberikan Allah sehingga hal
datang tidak ditentukan oleh waktu tertentu15.

Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagaimana


disebutkan diatas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental
yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadah (latihan mental dengan
melaksanakan dzikir dan tafakkur yang sebanyak-banyakknya serta melatih diri
bersifat yang terdapat dalam maqam), mujahadah (berusaha sungguh-sungguh
dalam melaksanakan perintah Allah), khalwat (Menyepi atau bersemedi), uzlah
(mengasingkan diri dari keduniaan), muraqabah ( mendekatkan diri kepada
Allah), dan suluk (menjalankan hidup sebagai sufi dengan cara dzikir dan dzikir).

D. Macam – Macam Ahwal


Hal-hal yang dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain waspada
dan mawas diri (muhasabat dan muraqabat), kehampiran atau kedekatan (qarb),
cinta (hubb), takut (khauf), harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram
(thumaninah), penyaksian (musyahadah), dan yakin.

1. Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah)


Waspada dapat diartikan meyakini bahwa Allah SWT mengetahui segala
pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi
hormat, takut, dan rtunduk kepada Allah SWT. Adapun mawas diri adalah

15
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset
2002) cet. Pertama hal. 27

9
meneliti dengn cermat apakah segala perbuatannya sehari-hari telah sesuai atau
malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.

2. Cinta (Hubb)
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, uhibbu, mahabatan, yang
secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang
mendalam. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada
sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang
bersifat material maupun spritual. Kata mahabbah selanjutnya digunakan pada
suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah objeknya
lebih ditujukan kepada Tuhan.16
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah merupakan pijakan bagi segenap
kemuliaan hal, sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam.
Karena mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan
bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah.

3. Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)

Raja’ berarti berharap atau optimisme, adalah perasaan hati yang senang
karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja tela ditegaskan
dalam Al-Quran:
ٓ
َ ‫بِي ِل ٱهَّلل ِ ُأوْ ٰلَِئ‬l ‫وا فِي َس‬
ِ ۚ ‫ونَ َر ۡح َمتَ ٱهَّلل‬ll‫ك يَ ۡر ُج‬ ْ ‫ ُد‬l َ‫ُوا َو ٰ َجه‬
ْ ‫اجر‬l ْ ُ‫ِإ َّن ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
َ lَ‫وا َوٱلَّ ِذينَ ه‬
٢١٨ ‫يم‬ٞ ‫َّح‬ ِ ‫ور ر‬ ٞ ُ‫َوٱهَّلل ُ َغف‬

sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah dan


berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat
Allah. Allah Maha Pengampun Maha Penyayang (Q.S Al-Baqarah: 218)

16
Abuddin. Nata. Op. Cit, hal 208

10
Raja menuntut tiga perkara:

a. Cinta pada apa yang diharapkannya.


b. Takut harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.
Setiap orang yang berharap adalah orang yang takut (khauf). Orang yang
berharap untuk sampai disuatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat.
Khauf adalah kesakitan hati karena membayabgkan sesuatu yang ditakuti, yang
akan menimpa diri pada masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba
berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
4. Rindu (Syauq)
Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yang rindu ingin
segera bertemu dengan Tuhan. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhsn, mati dapat
berarti bertemu dengan Tuhan., sebab hidup emrintangi pertemuan ‘abid dengan
ma’bud-nya.

5. Intim (Uns)
Dalam pandangan kaum sufi, sifat Uns adalah sifat merasa selalu
berteman, tak pernah merasa sepi. Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum
sufi.

E. Perbedaan dan Persamaan Maqamat dan Ahwal


1. Perbedaan dari Maqamat dan Ahwal
a. Mahqamat
Pelaksanaan senantiasa berurutan, dirumuskan oleh seorang sufi itu
sendiri, jumlah maqamat antara sufi satu dengan lainnya berbeda, dapat
dipelajari oleh setiap salik (pelaku tasawuf), harus dilaksanakan secara
sungguh-sungguh, dan membutuhkan usaha. 
b. Ahwal
Hidayah dan anugerah dari Allah sesuai dengan kehendak-Nya,
sifatnya temporer, mudah datang dan pergi/tidak selamanya ada, dan tidak
membutuhkan usaha.

11
2. Persamaan keduanya
Merupakan inti kajian dan ajaran tasawuf, dapat dialami oleh setiap sufi.

F. Contoh Orang yang Memiliki Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf


Adapun contoh-contoh orang yang memiliki maqamat dan ahwal dalam
tasawuf adalah sebagai berikut :

1. Orang yang selalu meninggalkan berbagai perbuatan dosa besar, seperti


menyekutukan Allah Swt, durhaka kepada orang tua, berzina, meminum
khamar, bersumpah palsu, dan membunuh tanpa alasan yang dibenarkan
agama.
2.  Orang yang meninggalkan dosa kecil, seperti perbuatan maqruh, sikap
dan tindakan yang menyimpang dari keutamaan, merasa diri suci, dan
merasa telah dekat dengan Tuhan.
3. Orang yang bertobat dari kelengahan hati mengingat Allah Swt. Dalam hal
ini, tobat membuka jalan dalam peningkatan kualitas ketaatan  seseorang
kepada Allah Swt, sebab perbuatan dosa yang dilakukan seseorang
mengakibatkan kehinaan dan tertutupnya jalan untuk melakukan ketaatan
kapada Allah Swt.
4. Orang yang sabar menahan hawa nafsunya sendiri, yang setiap saat
menggoyahkan iman. Kesabaran merupakan kunci keberhasilan dalam
meraih karunia Allah Swt yang lebih besar, mendekatkan diri kepada-Nya,
dan memperoleh kedudukan mulia disisi-Nya. Tanpa kesabaran,
keberhasilan tidak mungkin tercapai.
5. Orang yang tawakal yaitu memercayakan atau menyerahkan segenap
masalah kepada Allah Swt, dan menyandarkan kepada-Nya penanganan
berbagai masalah yang dihadapi.
6. Orang yang selalu rida, yakni seorang hamba tidak akan berontak batinya
terhadap segala cobaan Allah Swt. Ia akan menerimanya dengan senang
hati. Ia tidak minta masuk surga dan tidak minta dijauhkan dari neraka.

12
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
- Maqamat adalah jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi
untuk berada dekat dengan Allah SWT. Maqamat berupa tangga yang
harus ditempuh.
- Para sufi berbeda pendapat mengenai jumlah maqamat. Namun yang
disepakati ada tujuh, yaitu Taubat, Wara, Zuhud, Fakir, Sabar, Tawakal,
dan Ridha.
- Sedangkan Ahwal adalah karunia yang diberikan Allah kepada kita.
- Hal-hal yang dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain waspada
dan mawas diri (muhasabat dan muraqabat), kehampiran atau kedekatan
(qarb), cinta (hubb), takut (khauf), harap (raja’), rindu (syauq), intim
(uns), tentram (thumaninah), penyaksian (musyahadah), dan yakin.

B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.
Masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik yang
kami sengaja maupun yang tidak kami sengaja. Maka dari itu sangat kami
harapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Hasyim. 2002. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (cet. Pertama).
Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset

Nata, Abuddin. 2000. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Mustafa Zahri. 1995. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf . Surabaya: Bina Ilmu

Jamil, Muhammad. Cakrawala Tasawuf. Dikutip dari Al-Qusyairi Risalah al-


Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf (Cairo: Dar al-Khair, t.t.)

Rosihon Anwar. 2010. Akhlak Tasawuf . Bandung: CV Pustaka Setia

Asep Achmad Hidayat. 2009. Mata Air Bening Ketenangan Jiwa Pintu Masuk
Kretentraman an kemuliaan hidup. Bandung: Penerbit MARJA

Farhan, I. (2016). Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Perspektif Para Sufi.
JURNAL YAQZHAN: Analisis Filsafat, Agama dan Kemanusiaan, 2(2).

Abdullah, W. S. W. (1999). Konsep Maqamat dan Ahwal Sufi: Suatu Penilaian.


Jurnal Usuluddin, 10, 51-62.

Bakry, M. M. (2018). Maqamat, ahwal dan konsep mahabbah ilahiyah Rabi ‘ah
AL-‘Adawiyah (Suatu kajian tasawuf). AL ASAS, 1(2), 76-101.

Asnawiyah, A. (2014). Maqom dan Ahwal: Makna dan Hakikatnya dalam


Pendakian menuju Tuhan. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin,
16(1), 79-86.

Rajab, K. (2007). al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf. Jurnal Usuluddin, 25,
1-28.

Lamianor, L. (2020). Konsep Maqâmât Dan Ahwâl Dalam Shalât (Telaah Risâlah
Shalât Al-Muqarrabîn) (Doctoral dissertation, Pasca Sarjana).

14
Ja’far, m. A., harisandi, a. D., lubis, m. A., putra, n. K. D., & edy, r. Makalah
ahlak tasawuf al-muqomat dan al-ahwal.

15

Anda mungkin juga menyukai