Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH MAQAMAT DAN AHWAL

Disusun Untuk Melengkapi Tugas Akhlak dan Tasawuf

Dosen Pengampu :

Fidian Abron M. Pd

Disusun Oleh :

1. Al Padri ( 2271020074)
2. Santi Dwi Lestari ( 2271020060)

KELAS 1 C

PRODI SISTEM INFORMASI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

2023M / 1444H

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. Karena dengan
rahmat dan karunianya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan
makalah ini yang kami beri judul “Maqomat dan Ahwal”. Sholawat serta salam
kita curahkan kepada baginda kita Muhammad Saw, Tidak lupa kami ucapkan
terima kasih yang tak terhingga pada dosen pengampu mata kuliah Akhlak dan
Tasawuf, dan teman-teman yang telah berpartisipasi dan memberikan dukungan
dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih banyak ketidaksempurnaan baik dari segi tulis,segi bahasa dan
pokok bahasan oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari
rekan-rekan dan pembaca yang bersifat membangun serta semoga dengan
selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca juga teman-teman. Amin

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Bandar Lampung,Maret 2023

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................3

A. Pengertian Maqamat dan Ahwal.......................................................................3

B.Macam Macam Maqamat..................................................................................4

C. Ahwal Yang Sering Dijumpai Dalam Perjalanan Sufi.....................................11

D. Perbedaan Mendasar Maqamat dan Ahwal.......................................................16

E.Fungsi Maqamat dan Ahwal..............................................................................17

BAB III PENUTUP..............................................................................................18

Kesimpulan............................................................................................................18

Daftar Pustaka.......................................................................................................19

iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Maqamat dan ahwal adalah dua istilah penting dalam dunia tasawuf. Keduanya
merupakan sarana dan pengalaman spiritual seseorang dalam berkomunikasi dengan
Tuhan, Dzat tempat berasal dan kembali segala sesuatu yang ada di jagad raya ini.
Bahkan menurut Khaja Khan, dua term tersebut berfungsi untuk mematahkan
ketergantungan kepada sesuatu selain Dzat Allah dan untuk mencapai kebersatuan
dengan sang Khalik.

Dengan itu maqam dan hal merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para sufi.
Melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali pada cahaya
Tuhan. Dalam konterks ini, Abu Yazid al-Bustami (874-947 M) dalam suatu
kesempatan pernah bertanya kepada Tuhan tentang jalan menuju kehadirat-Nya. Tuhan
menjawab: "Tinggalkan dirimu dan datanglah". Tinggalkan diri sendiri berarti
seseorang mesti terbebas dari keinginan dan hawa nafsu pribadinya dan datang memiliki
pengertian bahwa seorang sufi mengikuti keinginan dan iradah Tuhan. Maka dari itu,
para sufi telah menciptakan jalan spiritual untuk merangkai hubungan dengan sang
Tuhan yang disebut magamat.

Pada sisi lain ahwal merupakan keadaan yang diberikan oleh Tuhan di tengah
seseorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqam tertentu. Ketika Tuhan
memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih manusia baik dalam bentuk
keagungan maupun keindahan-Nya. Selain itu, mereka juga pasti akan merasakan
kegembiraan-kegembiraan tertentu, hati merasa dekat (qurb), rasa cinta (muhabbah),
harap-harap cemas (raja'), tentram (tuma ninah) dan rasa yakin. Kondisi-kondisi
kejiwaan tersebut dinamakan ahwal.

1
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian maqamat dan ahwal?

2. Apa macam-macam maqamat ?

3. Apa saja ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan sufi ?

4. Apa perbedaan mendasar maqamat dan ahwal ?

5. Apa fungsi maqamat dan ahwal?

C. TUJUAN MASALAH

1. Untuk mengetahui pengertian maqamat dan ahwal

2. Untuk mengetahui macam-macam maqamat

3. Untuk mengetahui saja ahwal yang sering dijumapai dalam perjalanan sufi

4. Untuk mengetahui mendasar maqamat dan ahwal

5. Untuk mengetahui fungsi maqamat dan ahwal

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqomat dan Akhwal

1. Maqamat

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri
atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang
yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa
inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.

Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara etimologi maqam


mengandung arti kedudukan atau tempat berpijak dua telapak kaki. Sementara itu dalam
pengertian terminologi istilah maqam mengandung pengertian kedudukan, posisi,
tingkatan, atau kedudukan tahapan hamba dalam mendekatakan diri kepada Allah.

Jadi, maqam sering dipahami oleh para sufi sebagai tingkatan, yaitu tingkatan
seorang hamba dihadapan-Nya, dalam hal ibadah dan latihan latihan (riyadah) jiwa yang
dilakukannya.

2. Ahwal

Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal digunakan kaum
sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam perspektif tasawuf sering
diartikan “keadaan”. Maksudnya keadaan dalam kondisi spiritual. Hal, sebagai sebuah
kondisi yang singgah dalam kalbu, merupakan efek dari peningkatan maqamat
seseorang. Secara teoritis, memang bisa dipahami bahwa kapanpun seorang hamba
mendekat kepada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan
mujahadah, maka Allah memanifestasikan dirinya dalam kalbu hamba tersebut.

Secara terminologis yang dimaksud dengan ahwal ialah keadaan atau keadaan
kondisi psikologis yang dirasakan ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu. Ahwal
merupakan sebuah batasan teknis dalam disiplin tasawuf untuk suatu keadaan tertentu
yang bersifat tidak permanen. Hal masuk kedalam hati sebagai anugrah dan kerunia

3
Allah yang tidak terbatas pada hamba-Nya. Hal tidak dapat dicapai melalui usaha,
keinginan, atau undangan. Hal datang dan pergi tanpa diduga duga. Keadaan spiritual
banyak jumlahnya dan kedudukan spiritual juga banyak.

Dapat dikatakan bahwa hal merupakan pemberian yang berasal dari Tuhan kepada
hamba-Nya yang dikehendaki. Pemberian itu pada kalanya tanpa melalui usaha. Tidak
semua orang berusaha itu berhasil, namun yang menjadi dambaan bagi setiap orang
yang menjalani tasawuf. Hubungan antara usaha dan hasil dalam perkara ini tidak
bersifat mutlak.

B. Macam Macam Maqomat


 Macam macam maqomat

Para sufi berbeda pendapat dalam jumlah atau banyaknya tingkatan maqamat agar
bisa sampai kepada Tuhan. Misalnya, menurut Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya
at-ta'aruf li mazhab ahl al-tasawwuf berpendapat bahwa maqamat itu jumlahnya ada
sepuluh yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu', al-taqwa, al-tawakkal,
al-ridla, al-mahabbah, dan al-ma'rifah.

Kemudian maqamat menurut Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma'
menyebutkan bahwa maqamat itu jumlahnya ada enam yaitu al-taubah, al-wara', al-
zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan Imam al Ghazali dalam kitabnya
Ihya' Ulum al-Din mengatakan bahwasanya maqamat itu ada tujuh, yaitu al-taubah, al-
shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma'rifah dan al-ridla.

Meskipun para sufi berbeda pendapat mengenai maqamat seperti yang sudah
disebutkan diatas, akan tetapi ada maqamat yang oleh para sufi disepakati, yang
jumlahnya ada tujuh. Tujuh maqamat tersebut ialah al-taubah, al-zuhud, al wara', al-
faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla.

a. Al Taubah

4
Kata Al-Taubah berasal dari bahasa Arab yaitu taba, yatubu, taubatan yang
memiliki arti kembali. Dalam Al Qur’an, banyak kita jumpai ayat yang menganjurkan
kepada manusia agar bertaubat. Antara lain:

Artinya: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji


atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah?
Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS.
Ali ‘Imron: 135)

Artinya: “…... Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang
yang beriman supaya kamu beruntung”(QS. An Nur: 31)

Setidaknya, ada empat alasan yang dapat dikemukakakan tentang mengapa kita
harus bertaubat. Pertama, manusia merupakan makhluk yang sering berbuat dosa dan
kesalahan, entah itu disengaja ataupun tidak. Kedua,kita yakin bahwa Allah Maha
Pengampun terhadap hamba-Nya.

Ketiga, dosa yang kita lakukan jika tidak dihapus dengan air mata taubat justru
akan menjadi noda hitam yang mengotori dan menghalangi hati untuk memperoleh
hidayah dan cahaya Tuhan. Keempat, dari segi psikologis, orang yang melakukan
kesalahan atau dosa akn merasa gelisah, tidak tenang, bahkan bisa mengalami
keterbelakangan jiwa..

Adapun taubat yang dimaksud oleh para sufi ialah memohon ampunan kepada
Allah atas segala dosa dan kesalahan yang telah dilakukan dan berjanji dengan sungguh-
sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut. Tentunya dengan disertai
melakukan amal kebajikan. Artinya adalah taubat yang sebenarnya. Bisa juga disebut
dengan taubatan nasuha, taubat yang tidak akan membawa dosa lagi.

Bagi kalangan sufi, untuk mencapai taubat yang sebenarnya ini terkadang tidak
cukup dilakukan hanya dengan satu kali saja. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa
seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubah, kemudian baru ia mencapai tingkat taubat

5
yang sebenarnya. Karena taubat yang sebenarnya bagi kalangan sufisme adalah lupa
pada segala hal kecuali Tuhan.

Imam Nawawi, dalam kitabnya al Adzkar menyebutkan bahwa taubat kita agar
diterima oleh Allah harus memenuhi syarat berikut:

1) Harus ada rasa penyesalan (an nadamah) dalam hati atas segala dosa yang dilakukan.

2) Berjanji dengan hati untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa dan maksiat.

3) Memperbanyak “istighfar”, yakni memohon ampunan kepada Allah

4) Berusaha menghindari atau meninggalkan lingkungan yang dapat memicu dan


memacu berbuat maksiat dan dosa.

5) Jika perbuatan dosa yang kita lakukan berkaitan dengan hak orang lain, maka kita
harus meminta kehalalan atau mengembalikannya kepada orang bersangkutan. Apabila
orang yang telah kita zhalimi telah tiada (menginggal), maka kita dapat memberikan
hak tersebut kepada ahli warisnya ata fakir miskin dengan niat dan memohon agar
pahalanya disampaikan kepada orang tersebut.

b. Al Zuhud

Secara harfiah al zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat
keduniawian. Sedagkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan
dunia dan hidup kematerian. Asal kata dari zuhud ialah zahida yazhadu zuhdan yang
artinya membenci sesuatu. Dengan demikian orang dikatakan zuhud apabila ia mau
mempersiapkan diri mencari bekal untuk hidup di akhirat, berpegang teguh dengan
agama, dan terus menerus menjalankan ketaatan kepada Allah.

Jadi zuhud tidak harus dengan meninggalkan dunia sepenuhnya, melainkan sikap
hati yang tidak terlalu suka dengan dunia sehingga lupa akan kehidupan akhirat. Banyak
orang kaya raya, namun juga mereka sangat zuhud. Contohnya Nabi Sulaiman,
meskipun ia kaya raya, namun ia dikenal dengan dengan sebutan azhaduz zahidin atau
orang yang paling zuhud diantara orang-orang zuhud. Beliau makan makanan yang
sederhana, sementara dirinya memberikan makanan yang enak kepada rakyatnya.

6
Beberapa hal bisa dilakukan seseorang untuk sampai pada maqam zuhud ini,
diantaranya:

1) Menyadari dan menyakini bahwa dunia ini fana.

2) Menyadari dan menyakini bahwa dibelakang dunia ini ada akhirat yang jauh lebih
baik bagi orang-orang yang bertaqwa.

3) Banyak mengigat mati, agar hati menjadi lembut dan hidupnya lebih berhati-hati.

4) Mengkaji sejarah perjalan hidup para nabi, sahabat, atau orang-orang shalih yang
notabene mereka adalah orang-orang zuhud.

Biasanya, seseorang yang sampai pada maqam ini akan mengasingkan diri ke
tepat terpencil untuk beribadah. Seperti sholat, puasa, membaca Al Qur’an, maupun
berdzikir. Orang tersebut hanya makan dan minum untuk bertahan hidup saja.
Menyedikitkan tidur dan memperbanyak ibadah bahkan pakaian juga sederhana.
Sehingga orang tersebut sudah tidak tergoda oleh dunia. Apabila orang tersebut sudah
keluar dari pengasingannya, namun juga masih tetap melakukan hal-hal layaknya di
tempat pengasingan. Ia tetap berpuasa, melakukan sholat, membaca AL Qur’an maupun
berdzikir maka ia harus melanjutkan ke stasion berikutnya yakni wara.

c. Al Wara’

Pada stasion ini, ia akan dijauhkan oleh Tuhan dari hal-hal syubhat. Kata al wara’
dapat diartikan sebagai saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Selanjutnya, dalam
pandangan orang sufi, wara’ memiliki arti meninggalkan semua hal yang di dalamnya
mengandung keraguan antara halal atau haram (syubhat).
Syubhat itu sendiri lebih dekat kapada sesuatu yang haram. Seperti dalam hadis,
“Barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas
dari yang haram.”(HR. Imam Bukhari). Tentunya, bagi salik atau sufi makanan,
minuman, pakaian, ataupun yang lainnya mengandung haram akan berpengaruh dalam

7
prosesnya menuju Allah. Sebab, orang yang telah mengkonsumsi hal semacam ini akan
keras hatinya, sehingga akan sulit mendapat hidayah dan ilham dari Tuhan.
Untuk menumbuhkan sikap wara’ juga bisa dengan mengetahui manfaatnya.
Seperti ditulis oleh Muhammad Luqman Hakim, dalam majalah sufi edisi ke 29 Januari
2004, diantara manfaat sikap wara’ adalah:
1) Wara’ menumbuhkan sifat kesatria, kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, dan sikap
sosial yang positif.
2) Wara’ akan menjauhkan sifat israf (berlebihan), egoisme, meterialisme (ambisi
materi), dan kesombongan.
3) Wara’ mendorong seseorang menjadi hamba Allah yang merdeka dari kepentingan
selain Allah, karena hakekat wara’ adalah sikap waspada terhadap segala hal selain
Allah.
4) Wara’ mengantarkan seseorang untuk bersikap tulus ikhlas dalam beramal kepada
Allah. Karena tanpa wara’, ibadah kita akan menyimpang dari nilai-nilai keikhlasan.
.5) Wara’ adalah awal dari ketaqwaan seseorang.

d. Al Faqr

Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau
orang miskin. Dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang
telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
Kyai Achmad Siddiq berpendapat bahwa kefakiran ialah tahapan yang penting.
Menurutnya, al faqr ialah selalu menyadari kebutuhan dirinya kepada Allah. Artinya,
seseorang tidaklah memiliki sesuatu yang bernilai atau sesuatu yang patut dibanggakan
di hadapan Allah. Kekayaan, kekuasaan, kepandaian, bahkan ibadah yang dilakukan
selama hidupnya tidak patut diunggulkan atau dibanggakan di hadapan Allah.
Seandainya Allah tidak memberikan belas kasih-Nya, semua itu tidak akan nilainya
sama sekali. Maka sepenuh hati menyadari akan ketergantungan dengan Allah, setiap
saat bahkan setiap detik, dalam kondisi apapun, inilah yang dimaksud al faqr.

8
e. Al Shabr

Setelah menjalani maqam kefakiran, maka ia akan sampai pada maqam sabar.
Sabar di sini bukan sekedar menjalankan perintah-Nya yang berat dan menjauhi
larangan-Nya yang penuh dengan cobaan. Ia harus sabar menderita, bukan hanya bisa
memohon pertolongan akan tetapi ia juga harus sabar yakni menunggu pertolongan itu.
Banyak pula yang memiliki anggapan yang keliru terhadap makna sabar ini.
Parahnya, orang yang bersikap sabar ini disamakan dengan orang yang pasif, tidak mau
berusaha, dan menunda-nunda dalam melakukan sesuatu. padahal dalam kesabaran ini
ada dimensi kesungguhan, keuletan, dan profesionalitas. Maka menunda-nunda sholat
bukanlah kesabaran namun kemalasan. Oleh karena itu, kesabaran tidaklah identic
dengan sikap menunda-nunda berbuat kebaikan. Berdasarkan konteksnya, sabar dapat
dibagi menjadi tiga bagian:
1) Sabar dalam ketaatan (as shabru ‘ala al Tha’ah).
2) Sabar meninggalkan maksiat (as shabru ‘an al ma’siyyah).
3) Sabar ketika ditimpa musibah (as shabru ‘ala al Mushibah).

Menurut Ibnu A’jibah, orang sabar jika diklasifisikan berdasarkan tingkatannya


dapat dibagi menjadi tiga:
1) Sabar tingkatan orang awam.
2) Sabar tingkatan orang khusus (khawash).
3) Sabar tingkatan khawashul khawas.

f. Al Tawakkal

Setelah masuk pada stasion al tawakkal maka ia akan menyerahkan diri sebulat-
bulatnya kepada kehendak Tuhan. Oleh karena ia tidak akan berpikir tentang hari esok.
Dengan menyerahkan diri ini ia akan merasa tenang sepenuhnya. Terkadang ia bersikap
seolah-olah telah mati.
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah
bahwa awalnya tawakal adalah apabila seorang hamba dihadapan Allah seperti bangkai

9
dihadapan orang yang memandikanya, ia mengikuti semua yang memandikan, artinya
tidak dapat bergerak dan bertindak.
Lebih lanjut, Al Qusyairi berpendapat bahwa tawakkal tempatnya ialah ada di
dalam hati. Adapun gerakan tubuh (perbuatan) tidaklah mengubah tawakkal yang
terdapat dalam hati tersebut. Sehingga akan timbul keyakinan bahwa semua yang terjadi
merupakan takdir dari Allah.
Pendapat tersebut dikuatkan oleh Harun Nasution yang mengatakan bahwa
tawakkal ialah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Misalkan orang
tidak mau makan, karena ada orang yang lebih membutuhkan dari pada dirinya.
Bertawakkal termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah. Dalam firman-
Nya, Allah menyatakan :
Artinya: “…. dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus
bertawakal." (QS. At Taubah: 51)
Artinya: “…. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah
orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.” (QS. At Maidah: 11).

g. Al Ridla

Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan ridha
berarti tidak berusaha, tidak menentang kada dan kadar Tuhan. Menerima kada dan
kadar dengan senang hati. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal
di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Mereka senang menerima malapetaka
sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan
tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya sebelum
turunnya kada dan kadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya kada dan kadar,
malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya bala’(cobaan yang berat).
Seseorang yang memiliki sikap ridha bukan berarti ia meninggalkan usaha
(ikhtiar). Karena hal semacam ini bisa mengakibatkan sikap yang fatal dan membuat
orang tersebut pasif. Saat ditimpa musibah, orang yang ridha ini akan merasakan pedih
atau sakit. Namun ia lebih yakin bahwa setelah musibah ini pasti akan mendapatkan
hasil yang lebih baik yakni kebahagiaan. Seperti orang yang sakit, ia harus disuntik,

10
orang tersebut pasti merasakan sakitnya jarum, namun ia rela disuntik karena sangat
yakin setalah disuntik itu ia akan sembuh.
Ridha biasanya berkaitan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti
seseorang sedang tertimpa musibah: ibunya meninggal dunia, hartanya dicuri maling,
anaknya meninggal sewaktu masih kecil, dan lain sebagainya. Maka ridha ini
merupakan salah satu sifat yang amat mulia. Tentunya kedudukannya lebih tinggi dari
pada sabar.
Itulah sebabnya Nabi juga mengajarkan doa kepada para sahabat agar menjadi
pribadi-pribadi yang memiliki sifat ridha. Beliau bersabda: “Barang siapa yang berdoa
setiap pagi dan sore dengan membaca doa radhitu billahi rabba wa bil islami dina wa bi
muhammadin rasula” aku ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agamaku,
Muhammad sebagai rasul”. (HR. Abu Dawud)
Dalam hadis Qudsi, Nabi menegaskan: “sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan
selai Aku. Barang siapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala
nikmat-Ku serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaknya ia keluar dari
kolong langit dan cari Tuhan selain Aku.”
Beberapa hal bisa kita lakukan untuk mencapai stasion ini, diantaranya:
1) Ketika ditimpa musibah, yakin dan sadar bahwa Allah sedang menguji dan ujian ini
ialah bentuk kasih sayang dari-Nya. Rela menerima ketika ditimpa musibah bukan
berkeluh kesah.
2) Yakin akan hikmah adanya musibah tersebut. Hikmah tersebut bisa diketahui dengan
melakukan munasabah atau intropeksi diri. Bukan sekedar rela akan musibah yang telah
diberikan oleh Allah.

C. Ahwal Yang Sering Dijumpai Dalam Perjalanan Sufi

Ahwal dalam tasawuf sangat banyak sekali jumlahnya. Ahwal ini dapat di alami
seseorang ketika ia menempuh jalan tasawuf. Menurut Abu Nasr al-Sarraj ahwal
meliputi;

1. Muraqabah

11
Muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya
ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Sehingga segala daya pikir dan imaji-
nasinya tertuju pada satu fokus kesadaran tentang dirinya. Lebih jauh, muraqabah akan
penyatuan antara Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai manusia.

Muraqabah merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya
segala perilaku peribadatan adalah dalam rangka muraqabah atau mendekatkan diri
kepada Allah. Dengan kata lain muraqabah juga dapat diartikan sebagai kondisi
kejiwaan, di mana seorang individu senantiasa merasa kehadiran Allah, serta me-
nyadari sepenuhnya bahwa Allah selalu mengawasi segenap perilaku hambanya.

2. Mahabbah

Mahabbah mengandung arti keteguhan dan kemantapan. Seorang yang sedang


dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan beralih atau berpaling pada sesuatu yang lain.
Ia senantiasa teguh dan mantap serta senantiasa mengingat dan memikirkan yang
dicinta. Al Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan seorang yang di- landa cinta
akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal,
kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifat- nya sendiri.

Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr Al Thusi, cinta kepada Tuhan ter-
bagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cinta seperti ini
muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini
adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang
mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.

3. Raja’ dan Khauf

Raja’ atau harapan adalah memperhatikan kebaikan dan selalu berharap untuk
dapat mencapainya, dan melihat berbagai bentuk kelembutan dan kenikmatan dari
Allah, dan memenuhi diri dengan harapan demi masa depan serta hidup demi meraih
harapan tersebut.

Raja’ terbagi menjadi tiga tingkatan; pertama, berharap kepada Allah (fillah).
Kedua, berharap pahala dari Allah. Ketiga, berharap keluasan rahmat dari Allah. Raja’

12
menuntut tiga perkara, yaitu (1) Takut harapannya itu hilang. (2) Berusaha untuk
mencapainya. (3) Cinta kepada apa yang diharapkannya.

DzunnNun al-Mishry saat menjelang ajalnya dia berkata: “janganlah kalian


memperdulikan aku, sebab aku telah terpersona oleh kelembutan Allah SWT. kepada
diriku.”

Sedangkan Yahya bin Mu’adz berkata, “wahai Tuhanku, anugerahkanlah untukku


yang termanis dalam hati berupa harapan kepada-Mu. Kata-kata paling sedap yang
keluar dari lidahku berupa pujian kepada-Mu. Saat yang kuanggap paling berharga
adalah saat aku akan berjumpa dengan-Mu”.

Khauf dalam tasawuf adalah hadirnya perasaan rasa takut ke dalam diri seorang
salik (orang yang menuju Tuhan) karena dihantui oleh perasaan dosa dan ancaman yang
akan menimpanya. Seorang yang berada dalam khauf akan merasa lebih takut kepada
dirinya sendiri, sebagaimana ketakutannya kepada musuhnya. Saat khauf
menghampirinya, dia merasa tentram dan tenang karena kondisi hatinya semakin dekat
dengan Allah.

Al-Junaid pernah ditanya mengenai takut ia menjawab, “takut adalahdatangnya


deraan dalam setiap hembusan nafas.” Dzun Nuun al-Mishri juga berkomentar tentang
takut, “manusia akan tetap berada di jalan selama takut tidak tercabut dari kalbu, sebab
jika telah hilang dari kalbu mereka, maka mereka akan tersesat.” Sedangkan Hatim al-
Asham juga menjelaskan, “setiap sesuatu ada perhiasannya dan perhiasan ibadah adalah
takut.Tanda takut adalah membatasi keinginan.”Dengan demikian, khauf adalah kondisi
spiritual di mana seorang sufi takut jika Allah tidak meliriknya sehingga mendekat
pada-Nya.

4. Shauq

Menurut al-Qusyairi, syawuq adalah kegoncangan hati untuk menemui yang


dicintai. Kerinduan tergantung dalamnya cinta. Dalam lubuk jiwa seorang sufi, rasa ini
selalu ada karena ia selalu rindu untuk segera bertemu dengan Tuhan. Syawuq dapat
mengantarkan seseorang untuk rajin dalam beribadah kepada Allah Swt. Karena pada

13
saat ibadah seseorang behadapan dengan Tuhannya, seakan-seakan ia melihatnya. Pada
saat itu seseorang akan merasakan kenikmatan yang tak terhingga, karena baginya Allah
adalah Dzat yang Maha Indah yang tidak dapat di bandingkan keindahan hal-hal selain-
Nya.

5. Unsi

Uns yaitu keadaan spiritual seorang sufi yang merasa intim atau akrab dengan
Tuhannya, karena telah merasakan kedekatan denganNya.‘Uns ini di dapat saat qalbu
dipenuhi rasa cinta, kelembutan, keindahan, belas kasih, dan ampunan dari Allah.

Uns (bersuka cita) dengan Allah bagi seorang hamba adalah tingkatan paripurna
kesuciannya dan kejernihan dzikirnya, sehingga dia merasa cemas, takut dan gelisah
dengan segala sesuatu yang melupakannya untuk mengingat Allah. Maka pada saat
itulah ia sangat bersuka cita dengan Allah SWT. Seseorang yang berada pada kondisi
spiritual ‘Uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan, serta sukacita
yang meluap-luap.

Kondisi spiritual seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika merasakan kedekatan
dengan Allah. Yang mana, hati dan perasaannya diliputi oleh cinta, kelembutan,
keindahan, serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga sangat sulit untuk
dilukiskan.Dengan demikian ‘Uns adalah kondisi spiritual yang mana seorang sufi
merasakan kesukacitaan hati atau kebahagiaan hati karena bisa akrab dengan Tuhannya.

6. Thuma’ninah

Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada
yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat
kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan
thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya.
Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dania dapat berkomunikasi
langsung dengan Allah.

Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan; Pertama, ketenangan bagi kaum


awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang

14
karena buah dari berzikir adalah terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-
orang khusus. Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas
keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi
orang-orang paling khusus. Ketenangan ini dapat di peroleh karena mengetahui rahasia-
rahasia Allah sehingga ia tidak ada lagi rasa gelisah dan keraguan terhadap Allah Swt.

7. Mushahadah

Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara


terminologi, tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya
(Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah
mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah
berada dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi,
segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir yang
menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dalam situasi seperti itu, seorang sufi
memasuki tingkatan ma’rifat, di mana seorang sufi seakan-akan menyaksikan Allah dan
melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.

8. Yaqin

Secara terminologi yakin adalah yaitu sebuah kepercayaan (Aqidah) yang kuat
dan tidakmudah goyah dengan kebenaran dan pengetahuan yang dimilikinya, karena
kesaksiannya dengan segenap jiwanya dan dirasakan oleh seluruh ekspresi tubuhnya,
serta disaksikan oleh segenap eksistensinya. Adapun definisi lain dari yakin yaitu
selamat dari keraguan dan syubhat, serta penguasaan atas pengetahuan yang akurat,
tepat, dan benar, tanpa mengandung keraguan sama sekali.

Sedangkan menurut al-Junaid “yakin merupakan kemantapan ilmu yang tidak


dapat diubah dan tidak pula diganti serta tidak berubah apa yang ada di dalam hati”.
Yakin membuat seorang sufi selalu siap mengemban beban dan mengahadapi bahaya
serta mendorongnya untuk maju terus ke depan. Jika yakin tidak disertai ilmu, maka dia
membawanya kepada kehancuran, sedangkan ilmu menyuruhnya untuk mundur

15
kebelakang, dan jika ilmu tidak disertai yakin, maka pelakunya tidak mau bergerak dan
tidak mau berusaha dan pasif.

Para sufi biasanya membagi yakin dalam tiga bagian: pertama, Ilm al-yaqin: yaitu
pencapaian iman dan ketundukan terkuat yang berhubungan dengan hal-hal yang ingin
dicapai dengan memperhatikan dalil-dalil dan petunjuk yang jelas dan benar. Kedua,
‘Ain al-yaqin: yaitu pencapaian makrifat melampaui batasan definisi yang dilakukan
oleh ruh melalui penyingkapan,musyahadah, persepsi dan k esadaran. Ketiga, Haqq al-
yaqin: yaitu anugerah yang berupa bersamaan (ma’iyyah) yang mengandung banyak
rahasia, tanpa tirai dan penghalang, yang melampaui imajinasi manusia serta tanpa
kammiyyah ataupun kaifiyyah. Sebagian sufi menafsirkan yang satu ini sebagai fana’
sang hamba pada seluruh jati diri, ego, diri, dan kebersamaannya kepada Allah al-Haqq.

D. Perbedaan dan Mendasar Maqamat dan Ahwal

a. Muqamat

1. Sifatnya tetap, sebab untuk mencapai tingkatan maqam yang lebih tinggi,
seseorang masih menguasai tingkat maqam sebelumnya.
2. Diusahakan melalui perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan.
3. Suatu pencapaian seseorang.

b. Ahwal

1. Sifatnya sementara, sebab datangnya hanya sekejab saja.

2. Tidak diusahakan, sebab merupakan anugrah dari Allah.

3. Karunia yang dating begitu saja.

E. Fungsi Maqamat Dan Ahwal

Dalam kehidupan fungsi magamat dan al ahwal sebagai berikut:

16
1. Orang yang selalu meninggalkan amalan berbagai dosa besar. Seperti menyekutukan
Allah SWT, tidak taat kepada orang tua, zina, mabuk-mabukan, mengumpat dan
membunuh tanpa alasan apapun yang diperbolehkan oleh agama.
2. Orang yang meninggalkan dosa kecil. Seperti, makruh amalan, sikap dan perbuatan
yang menyimpang dari moralitas, rasa suci, rasa dekat dengan Tuhan.
3. Pertobatan tertinggi. Dari lubuk hatiku yang terdalam untuk mengingat Allah SWT.
Jika Anda bertobat dari dosa atau kejahatan, itu bias. Namun pertobatan dari
ketidaktahuan mengingat Tuhan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang
berkedudukan tinggi.
4. Sabar di mata para sufi, musuh terberat kaum beriman. Itu adalah dorongan dari
nafsunya sendiri, yang setiap saat bisa menggoyahkan iman. Kesabaran adalah kunci
sukses meraih ridha Allah SWT. lebih besar, mendekat kepada-Nya, memperoleh posisi
mulia di sisi-Nya, karena tanpa kesabaran, kesuksesan tidak mungkin dicapai.
5. Tawakal. Artinya mempercayakan atau menyerahkan segala masalah kepada Allah
SWT. dan membuat Dia sadar akan berbagai masalah yang dihadapi
6. Ridha. Seorang hamba tidak akan memberontak batiniah terhadap segala cobaan
Allah SWT. Tapi dia dengan senang hati akan menerimanya. Dia tidak meminta untuk
masuk surga, dan tidak meminta untuk dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak
ada perasaan benci. Ketika musibah menimpanya, hatinya merasa rela dan didalamnya
terjadi keributan cinta kepada Allah SWT.

17
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Maqamat menurut bahasa adalah tahapan, sedangkan menurut istilah


adalah upaya sadar untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sedangkan, Al-
Ahwal menurut bahasa adalah keadaan, sedangkan menurut istilah yaitu keadaan
jiwa dalam proses pendekatan diri kepada Allah Swt, di mana keadaan tersebut
masih temporer belum menetap dalam jiwa. Pengamalan Maqamat itu ada
delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-
ma'rifah, dan al-ridla namun ada maqamat yang telah mereka sepakati, yaitu al-
taubah, al-zuhud, al-wara al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Pengamalan
Ahwal adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja. ath-thuma ninah al mus yahadah,
danal-yaqin. Fungsi maqamat dan al-ahwal:

1. Orang yang selalu meninggalkan amalan berbagai dosa besar

2. Orang yang meninggalkan dosa kecil

3. Pertobatan tertingg

4. Sabar

5. Tawakal

6. Seorang hamba tidak akan memberontak batiniah terhadap segala cobaan Allah
SWT.

18
DAFTAR PUSTAKA

https://an-nur.ac.id/ahwal-tasawuf-pengertian-dan-macam-macam-ahwal/

http://ahmadsangidu.blogspot.com/2016/12/maqamat-dan-ahwal-dalam-
tasawuf.html?m=1

https://iqipedia.com/2022/03/13/ahwal-pengertian-dan-macam-macam-ahwal/

https://id.scribd.com/doc/140947286/Maqamat-Dan-Ahwal

https://lib.ui.ac.id/detail?id=20409078&lokasi=lokal

19

Anda mungkin juga menyukai