Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH AKHLAK TASAWUF

MAQOMAT DAN AHWAL

Dosen Pengampu :
H.Ma'ruf, S.Ag., M.Ag
Asisten Dosen Pengampu :
M. Iqbal Arraziq, M.Pd.

Oleh :
Vicky Ardiansyah (12301078)
Riefa Meisya Putri (12301083)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materi.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pontianak, 13 September 2023

Penulis

1
2

DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR ....................................................................................... 1
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 3
A. Latar Belakang.......................................................................... 3
B. Rumusan Masalah .................................................................... 3
C. Tujuan Penulis .......................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 4
A. Pengertian Maqamat dan Ahwal ............................................... 4
1. Maqomat ................................................................................... 4
2. Ahwal ....................................................................................... 6
B. Macam-Macam Maqamat dan Ahwal ...................................... 7
1. Maqamat ................................................................................... 7
2. Ahwal ....................................................................................... 13
C. Perbedaan Mendasar Maqamat dan Ahwal .............................. 18
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 20
A. Kesimpulan ............................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 21
3

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Membicarakan tasawuf berarti memperbincangkan maqamat dan
ahwal.Keduanya dapat dikatakan sebagai rukun atau fondasi tasawuf. Tak
mungkin ada tasawuf, baik ia sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai
amalan, tanpa kehadiran maqamat dan ahwal.
Dalam menjalani proses maqamat yang maha berat itu, jiwa
seseorang sufi terbang mengembara mencari dan menemukan hakikat hidup,
manusia dan Tuhan Yang Maha agung dan indah. Pada saat yang sama, ia juga
mengalami ahwal; merasakan nikmatnya berada puncak spiritual yang tak
terkatakan dan tak bisa dilukiskan keindahannya. Puncak kenikmatan dan
keindahan ruhani itu- secara terbatas- oleh Abu Yazid disebut ijtihad, al-
Hallaj menyebutkan hulul, al-Gazali menamainya ma’rifat, al-Sarraj
menyebutnya musyahadah, Rabi’ah dan Jalaluddin Rumi menamainya dengan
mahabbah. Begitulah, setiap sufi memiliki nama-nama atau istilah sendiri
untuk melukiskan nikmat dan indahnya bertemu Sang Kekasih, walaupun
kata-kata itu sebenarnya tidak dapat menggambarkan sejatinya pertemuan itu
karena keterbatasan-keterbatasan (bahasa) manusia. Wa Allah A’lam bi al-Sawab.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Apa pengertian maqamat dan ahwal ?
2. Apa macam-macam maqamat dan ahwal ?
3. Apa perbedaan mendasar maqamat dan ahwal ?

C. Tujuan Penulis
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian maqamat dan ahwal
2. Untuk mengetahui macam-macam maqamat dan ahwal
3. Untuk mengetahui perbedaan menendasar maqomat dan ahwal.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqamat dan Ahwal


1. Maqomat
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang
berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti
sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
dekat dengan Allah. Dalam bahasa inggris maqamat dikenal dengan istilah
stages yang berarti tangga.1
Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara etimologi maqam
mengandung arti kedudukan atau tempat berpijak dua telapak kaki.
Sementara itu dalam pengertian terminologi istilah maqam mengandung
pengertian kedudukan, posisi, tingkatan, atau kedudukan tahapan hamba
dalam mendekatakan diri kepada Allah.
Kata maqam, dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia diJelaskan sebagai,
“tempat tinggal,kediaman, kubur, bagi orang-orang terhormat, pemakaman atau
perkuburan”2 , Kata maqam dalam istilah tasawuf seperti yang di jelaskan oleh
imam Al-Qusyairi An-Naissaburi memiliki arti sebagai berikut:
Suatu tahap adab (etika) kepada-Nya dengan bermacam-macam usaha
untuk suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam
tahapnya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkatan laku riyadha
(exercise) menuju kepadanya.3
Secara terminologis, terdapat bebrapa pengertian, Abu Nasr As-Sarraj
menyatakan bahwa mahqamat adalah kedudukan manusia di hadapan Allah yang
di sebabkan oleh ibadahnya, mujadat-nya, riyadhah-nya, dan pencuran hatinya
kepada Allah. Teori mahqamat sesuai dengan Q.S. Ibrahim/14 : 14, dan Q.S. Al-
Shaffat/37 : 164.4

1
Syamsun Ni’am,Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf(Yogyakarta : Ar-Ruzz
Media,2014),Hlm 137.
2
Budiono,Kampus Lengkap Bahasa Indonesia,(Surabaya:Karya Agung,2005).h.329
3
Imam Al-qusyairi An-Naisaburi dalam A.Bachrun Rif’I dan Hasa Mud’is,Filsafat
Tasawuf,(CV:Pustaka Setia,Bandung:2010),h.201
4
mulyadhi Kartanegara Menyelani Lubuk Tasawuf ( Jakarta :Erlangga,2006),h 122.

4
5

Kesimpulan dari kami bahwa maqomat itu ia lah usaha seseorang dalam
mencapai kemuliaan dengan bermacam-macam cara melalui kerja keras
beribadah,melawan hawa nafsu, dan berlatih keruhanian. Contohnya orang yang
mengingin kan sesuatu atau bahkan mencintainya akan berusaha sekuat tenaganya
untuk mendapatkan hal tersebut apa pun tantangannya dan bagaimana pun cara
nya.
Jika seseorang telah mencapai maqom tertentu biasanya akan
mendapatkan satu kondisi spiritual yang akan memberi pencerahan itu disebut
dengan HAL. Pada saat seseorang menempati maqom pertama maka akan
mendapatkan pencerahan yang sesui dangan maqom atau level yang telah dicapai.
Dengan pengertian diatas, maka maqam dalam istilah tasawuf adalah
stasiun-stasiun atau hirarki atau tingkat-tingkat yang harus dicapai oleh seorang
sufi dalam perjalanan spiritual atau ruhaninya menuju kepada-Nya. Kata tasawuf
memiliki makna sebagai ”kesadaran murni yang mengarahkan jiwa secara benar
kepada amal dan kegiatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari
keduniaan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan
perasaan hubungan erat dengan-Nya”.5
Dari pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, maka secara
operasional dan konsepsional skripsi ini membahas tentang suatu tahapan atau
stasiun-stasiun perjalanan spiritual yang harus dilewati seorang hamba ketika
menuju kepada-Nya dalam tinjauan seorang sufi yaitu al-Ghazali. Saliki memang
untuk berpindah dari suatu maqam ke maqam lain memerlukan waktu berbilang
tahun.6
Jumlah maqam yang harus di lalui oleh seorang sufi ternyata bersifat
relatif. Artinya, antara satu sufi dengan yang lain mempunyai jumlah maqam
yangberbeda. Ini merupakan sesuatu yang wajar mengingat maqamat itu terkait
erat dengan pengalaman sufi itu sendiri.7
Jadi, maqam sering dipahami oleh para sufi sebagai tingkatan, yaitu
tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya, dalam hal ibadah dan latihan
latihan (riyadah) jiwa yang dilakukannya.

5
Asmaran As,Pengantar Studi Tasawuf,(Cet.1:Jakarta:PT.Raja Grapindo Persada 1994),H.52.
6
Media Zainul Bahri,Menembus Tirai Kesendiriannya:Mengurai Maqamat Dan Ahwal Dalam
Tradisi
7
Disadur Dari Haidar.Buku Saku Magamat,(Cet,II:Bndung:Mizan,2006),H.133
6

2. Ahwal
Ahwal merupakan bentuk jamak dari kata tunggal hal yang mempunyai
arti keadaan atau suasana hati yang di alami seorang sufi dalam perjalan
spritualnya. Menurut Ath-Thusi, ahwal adalah apa yang di alami hati nurani
karena ketulusannya dalam menginggat Allah.8 Sedangkan menurut Al-Ghazali,
hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang di anugerahkan Allah kepada
seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang
mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata seperti keadaan mental, gembira,
sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, takut, gemetar dan sebagainya.
Menurut ahli sufi al-ahwal adalah situasi kejiwaan yang di peroleh
seseorang sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya. Sebagaimana
masalah maqamat, dalam menentukan jumlah dan susunan ahwal ini, juga
terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Datangnya kondisi mental itu tidak
menentu, terkadang datang dan pergi berlangsung sangat cepat. Keadaan seperti
itu di sebut"lawaih". Adapula yang datang dan perginya kondisi mental itu dalam
tempo yang panjang dan lama, ini di sebut"bawaidh". Dan apabila kondisi mental
itu secara terus-menerus dan menjadi kepribadian, itulah yang di sebut "al-hal".
Menurut al-Qusyairi, al-hal itu selalu bergerak naik setingkat demi setingkat
sampai ke titik kulmiasi, yaitu puncak kesempurnaan rohani.8
Al-hal merupakan manivestasi dari maqam yang telah di lalui para sufi. Ini
berarti bahwa orang yang pantas menerima al-hal itu adalah orang yang berusaha
ke arah itu. Kalau maqam merupakan tingkatan sikap hidup yang dapat di lihat
dari tingkah laku perbuatan seseorang, maka al-hal adalah kondisi mental yang
sifatnya abstrak. Ia tidak dapat di lihat hanya dapat di pahami dan di rasakan oleh
orang yang mengalaminya.
Kesimpulan dari kami tentang pengertian ahwal,ahwal ini adalah
bagaimana kita cara kita melatih jiwa raga kita dalam melaksanakan spiritual
kepada allah yang menyangkut kejiwaan kita. Contoh kejiwaan disini adalah
masalah hati yang dimana hati ini memiliki pran penting dalam kehidupan kita
jika kita ingin mendekatkan diri kepada allah SWT.

8
A.Rivay Sirega,Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufis me.h.148
7

B. Macam-Macam Maqamat dan Ahwal


1. Maqamat
Berkaitan dengan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang
sufi untuk mencapai Tuhannya, para sufi berbeda pendapat pada hal ini. Berikut
beberapa pendapat pendapat yang berbeda-beda tentang maqamat menurut para
sufi:
a. Abu Bakar Muhammad al-Kalabadi, membuat susunan maqam yaitu :
Tobat, Zuhud, Sabar, Kefakiran, Kerendahan hati, Tawakkal, Kerelaan.
b. Abu Nashar al-Sarraj al-Thusi, membuat susunan maqam yaitu : Tobat,
Wara‟, Zuhud, Kefakiran, Sabar, Kerelaan, Makrifat.
c. Al-Ghazali membuat susunan maqam yaitu : Tobat, Sabar, Kefakiran,
Zuhud, Tawakkal, Mahabbah, Makrifat, Kerelaan.
d. Al-Kalabadzi membuat susunan maqam yaitu : Tobat, Zuhud, Sabar,
Kefakiran, Rendah hati, Tawakkal, Kerelaan, Mahabbah, Makrifat.
e. Abdul al-Qasim al-Qusyairi al-Naisaburi membuat susunan maqam
yaitu: Tobat, Wara‟, Zuhud, Tawakkal, Sabar, Rida.
Para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat dan terkadang
meyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan
Tuhan) untuk itu dalam uraian ini, mahqamat yang akan di jelaskan adalah
maqamat yang telah di sepakati oleh mereka. Lain halnya dengan pendapat Imam
Al-Ghazali dalam kitabnya Ibya‟ Ulum al-Din merumuskan maqam lebih sedikit
lagi seperti berikut ini, tobat, sabar, syukur, khauf, raja‟, tawakal, mahabbah, rida,
ikhlas, musahabah dan muraqabah.9
Terhadap perbedaan beberapa pendapat tersebut ada beberapa maqamat
yang disepakati oleh para ahli tasawuf, yaitu:
a) Maqamat Taubat
Dalam beberapa literatur menjelaskan bahwa maqamat pertama yang harus
ditempuh oleh salik adalah maqamat taubat dan mayoritas ahli sufi sepakat
dengan hal ini, dan maqamat ini juga menjadi dasar utama al-Ghazali dalam
membuat susunan maqamat. Taubat dari segi bahasa berarti ruju‟. Taubat adalah
kembali dari perbuatan yang tercela kepada perbuatan yang terpuji menurut
syariat. Sebab ada sabda nabi bahwa penyesalan itu adalah taubat.10

9
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum-Ad-Din, Jilid IV, h. 10-11.
10
Ibid,h 77
8

Orang yang bertaubat adalah orang yang kembali dari sifat tercela ke
sifatsifat yang terpuji. Orang yang bertaubat adalah orang yang kembali atau
taubat dari pelanggaran agama karena takut akan azab Allah, dinamakan Thaib
orang yang kembali dari pelanggaran karena malu kepada Allah swt di namakan
Munib dan taubat dari pelanggaran karena untuk mengagungkan kebesara Allah di
namakan Awwab.11
Allah berfirman dalam (QS. An-Nur, 24:31) :

َ‫ّللا َج ِم ْيعًا اَيُّهَ ْال ُمؤْ ِمنُ ْونَ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْون‬


ِ ٰ ‫َوت ُ ْوب ُْْٓوا اِلَى‬
Yang artinya :”Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang
beriman supaya kamu beruntung” (QS.An-Nur[24]:31).
Dalam buku al-Risalah al-Qusyairiyah disebutkan syarat maqamat taubat itu ada
3:
1. Menyesal atas pelanggaran agama yang telah dilakukannya.
2. Meninggalkan pelanggaran itu seketika.
3. Berkeinginan keras untuk tidak kembali melakukan pelanggaran12
Jadi taubat merupakan langkah awal dan sebagai syarat mutlak yang harus
di lalui bagi seorang calon sufi. Oleh karenanya ia diletakkan sebagai maqam
yang pertama. Sebab orang yang tidak bertaubat tidak akan mungkin berada
sedekat mungkin denga Tuhan yang Maha suci. Untuk itu harus terlebih dahulu
membersihkan dirinya dengan jalan taubat.
b) Maqamat Wara
Maqamat Wara ialah menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam pengertian
sufi, wara berarti meninggalkan segala sesuatu yang subhat, atau di dalamnya
terdapat keragu-raguan tentang halalnya sesuatu.
Ibrahim bin Adham mengatakan wara adalah meninggalkan segala sesuatu
yang subhat dan yang tidak perlu, termasuk kemewahan. Maqamat Wara ini
adalah awal dari pada zuhud yaitu menjauhi segala yang di haramkan agama.13

11
Ibid
12
Depertemen Agama RI,”Al-Qur’an dan Terjemahannya”.Edisi Refisi,(Semarang,Toha Putra 1989),h
548
13
Ibid dan Lihat Basyuny,Nasyuat Al-Taswuf A-lIslamy(Mesir:Dari A-Ma’rif,1969),h.129.
9

Maqamat Wara terbagi atas 2 kategori:


a. Wara zhahir, yaitu tidak bergerak kecuali untuk tujuan kepada Allah.
b. Wara bathin, yaitu tidak terbetik dan tidak mengisi hatinya kecuali hanya
kepada Allah swt.
Seseorang yang bersifat wara’ adalah mereka yang selalu berhati-hati
dalam segala perilakunya sehingga tidak terjerumus pada hal-hal yang tidak
disenangi atau diridhai Allah baik yang hukumnya makruh apalagi haram.14
Dalam penjelasan wara‟Allah telah berfirman:

َ َ‫صا ِل ًحا اِنِ ْي بِ َما تَ ْع َملُ ْون‬


ْٓ ‫ع ِليْم‬ َ ‫ت َوا ْع َملُ ْوا‬ َّ َ‫س ُل ُكلُ ْوا ِمن‬
ِ ‫الطيِ ٰب‬ ُّ ‫اَيُّ َها‬
ُ ‫الر‬
Yang artinya : “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan
kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS. Al-Mukminun:51).

c) Maqamat Zuhud
Secara harfiyah Maqamat zuhud berarti tidak ingin pada sesuatu yang
bersifat keduniawan (raqaba ‘ansyai’in wa tarakahu) dan tidak tertarik terhadap
sesuatu dan meninggalkannya.15
Dilihat dari maksudnya zuhud dibagi mejadi tiga tingkatan. Pertama
menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua
menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga mengucilkan
dunia bukan karna takut atau berharap, tetapi karena cinta karen Allah. Orang
yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandabg segala sesuatu,
kecuali Allah, tidak mempunyai apa-apa.16 Menurut Sahal bin Abdullah al-
Tasattury, bahwa zuhud bagi sufi adalah tidak pernah lalai dari mengingat Allah.
Pada bagian lain zuhud di artikan suatu perasaan yang sama pada
seseorang, baik ada maupun tida adanya harta. Jika ada harta dia tidak gembira
sebaliknya jika tidak ada di apun tidak merasa sedih. Di dalam buku Qut al-Qulub
zuhud mempunyai dua arti:

14
moch,misbachur Munir,Akhlak Tasawuf(Surabaya:UIN Sunan Ampel Press,2014),hlm.225
15
Abuddin Nata,M.A.,Akhlak Tasawuf,h.195
16
Moch. Misbachul Munir, Akhlak Tasawuf (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), hlm. 240
10

a. Zuhudnya orang kaya, yaitu jika ia memiliki harta maka ia sedekahkan


tanpa pamrih dan tanpa menghitung-hitung.
b. Zuhudnya orang fakir, yaitu dengan ketiadaan harta baginya tidaklah
menjadi halangan dalam hatinya untuk berniat bersedekah. Dan ia merasa
ridha di dalam ketiadaannya itu.
Jadi zuhud adalah suatu maqamat yang terpenting bagi seorang calon sufi.
Suatu sikap mental yang tidak ingin bergantung pada dunia atau melepaskan diri
dari pengaruh materi keduniaan. Sebab zahid merasa khawatir jangan sampai
hawa nafsu untuk dunia dapat membawa kepada tidak mengingat Allah swt. Oleh
karena itu ia menjauhi kehidupan dunia dan mengutamakan kehidupan akhirat.

d) Maqamat Faqr
Faqr secara harfiyah biasanya di artikan sebagai orang yang berhajat,
butuh ataupun orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi maka faqr adalah
tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita17. Tidak meminta rezeki
kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban.Dengan demikian,
seseorang yang faqr selalu merasa berkecukupan dan merasa puas dalam menjani
kehidupan.
Sikap al-Faqr merupakan kelanjutan sikap zuhud, karena dengan
zuhud terhadap kehidupan dunia dengan tidak terperdaya tipudaya dunia,
sesorang akan merasa puas dan cukup dengan apa yang diperolehnya. Selain itu
sifat al-Faqr akan menghasilkan sifat wara’, karena dengan menerima apa yang
dianugerahkan Allah kepadanya, ia akan bersikap hati-hati dan tidak akan
menuntut yang bukan haknya.
Firman Allah QS. (Al-Baqarah:273) :

‫سبُ ُه ُم ْال َجا ِه ُل اَ ْغنِيَ ۤا َء‬ ِ ‫ض ْربًا فِى ْالَ ْر‬


َ ْ‫ض يَح‬ َ َ‫ّللا َل يَ ْست َِط ْيعُ ْون‬
ِ ٰ ‫سبِ ْي ِل‬ ِ ْ‫ِل ْلفُقَ َر ۤا ِء الَّ ِذيْنَ اُح‬
َ ‫ص ُر ْوا فِ ْي‬
‫ف‬ِ ُّ‫ِمنَ التَّعَف‬

Yang artinya : “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad)
di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di bumi, orang yang tidak tahu
menyangka mereka orang kayak karena memelihara diri dari mintaminta.”QS.
(Al-Baqarah:273).

17
Amin Syukur,Tasauwuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern,(Yogyakarta:Pustaka
Pembelajaran,2003),h.30.
11

e) Maqamat sabar
Maqamat Sabar adalah menahan diri untuk berbuat atas keinginan jiwa.
Menahan diri dalam mujahadah untuk mendapatkan keridhaan Allah swt. Sabar
juga berarti menahan pasca indra dari hal-hal yang naïf, juga berarti menahan diri
di dalam menyembah Allah.
Selanjutnya di sebutkan, maqamat sabar ada 3 macam:
1. Sabar dari kemaksiatan
2. Sabar dalam ketaatan
3. Sabar dalam musibah.18
Ketiga macam sabar di atas tercaup di dalam pernyataan Harun Nasution
bahwa sabar dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dan
dalam menerima segala cobaan hidup dan mengharap pertolongan dari Tuhan.
Dan sabar menderita itu sendiri tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan.19
Dalam firman-Nya QS. Al-Baqarah:45 :

َ ‫ص ٰلوةِ َواِنَّ َها لَ َك ِبي َْرة ا َِّل‬


َ‫علَى ْال ٰخ ِش ِعيْن‬ َّ ‫َوا ْستَ ِع ْينُ ْوا ِبال‬
َّ ‫صب ِْر َوال‬

Yang artinya :”Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan


sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu”.(QS. Al-Baqarah:45).

f) Maqamat Tawakkal
Tawakkal berasal dari kata ( ‫) لكو‬, artinya mewakilkan. Tawakkal dalam
arti ini adalah seorang menyerahkan urusannya kepada yang lain, artinya dia
serahkan dan berpegang kepadanya dengan sepenuh hati.20
Sedangkan tawakkal menurut Syekh Amin al-Kurdi adalah melepaskan
badan (raga) di dalam ubudiyah dan keterikatan hati kepada halik-Nya dan merasa
tenang dalam melaksanakan kewajiban. Untuk mencapai maqamat tawakkal ada 5
hal yang harus di yakini:

18
Ibid
19
Harun Nasution(Fasafah),OP,Cit,H.68
20
Al-Nasyabandy,OP,Cit,h.5
12

1) Berkeyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui keadaannya di manapun ia


berada.
2) Meyakini tentang qudrat Allah swt.
3) Meyakini bahwa Allah tidaklah pelupa
4) Meyakini bahwa Allah tidaklah mengingkari janjinya.
5) Meyakini bahwa Allah Maha Kaya dan Maha Memberi.21
Di dalam al-qur‟an surat al-imran ayat 159, di sebutkan bahwa apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Jadi
tawakkal adalah penyerahan kepada qada’dan putusan dari Allah setelah
berikhtiar, agar supaya berada dalam keadaan tenang. Dan jika mendapat
pemberian ia bersyukur dan jika tidak maka ia tetap menyerahkan urusannya
kepada Allah swt. Diantara dalil yang menjelaskan perintah mengenai tawakal
diantaranya:
Didalam Al-Qur’an Surah Ali Imran:122

َ‫علَى ّللاِ فَ ْليَت ََو َّك ِل ْال ُمؤْ ِمنُ ْون‬


َ ‫ّللاُ َو ِليُّ ُه َما َو‬ ‫َتن ِم ْن ُك ْم اَ ْن تَ ْفش َ ا‬
ٰ ‫َل َو‬ َّ ‫ت‬
ِ ‫طاىِف‬ ْ ‫اِ ْذ َه َّم‬

Yang artinya :”Ketika dua golongan dari padamu ingin (mundur) karena takut,
padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah
kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (QS. Ali Imran:122).

g) Maqamat Ridha
Secara harfiyah ridha yang artinya rela, senang, dan suka. Sedangkan
pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha qadar Allah, menerima
qadha dan qadar dengan hati senang.
Ridha ialah kondisi kejiwaan atau sikap mental seseorang yang selalu
menerima dengan lapang dada atas semua karunia yang di berikan atau musibah
yang ditimpakan kepadanya. Seorang sufi akan selalu merasa senang dalam setiap
situasi yang meliputinya. Demikian halnya yang disebut pencapaian maqamat
tertinggi seorang sufi. Seorang yang ridha akan senantiasa merasa cukup dengan
apa yang telah dikehendaki Allah.

21
Ibid
13

Seperti dalam firman-Nya QS.AtTaubah:59 :

‫س ْولُ ْٓه اِنَّا ْٓ اِلَى‬ ْ َ‫ّللاُ ِم ْن ف‬


ُ ‫ض ِله َو َر‬ ٰ ‫سيُؤْ تِ ْينَا‬ ٰ ‫س ْولُ اه َوقَالُ ْوا َح ْسبُنَا‬
َ ُ‫ّللا‬ ٰ ‫ض ْوا َما ْٓ ٰا ٰتى ُه ُم‬
ُ ‫ّللاُ َو َر‬ ُ ‫َولَ ْو اَنَّ ُه ْم َر‬
َ‫ّللا َرا ِغب ُْون‬
ِٰ

Yang artinya :“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang


diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata:”cukuplah Allah bagi
kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula)
Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada
Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)”. (QS.AtTaubah:59)
Dalam teori tasawuf, penempuh jalan tasawuf(salik) yang mampu melalui
maqamat dengan bimbingan mursyid, Allah swt menganugerahkan berbagai
kenikmatan batin yang di sebut hal atau ahwal. Sebagaimana halnya dengan
maqamt, dalam jumlah dan formasi al-hal ini juga terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ahli sufi. Di antara sekian banyak nama dan sifat al-hal itu yang
terpenting dan populer.

2. Ahwal
Ahwal juga memiliki 8 macam diantara lain sebagai beriku :
1) Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga
dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah
dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini sama seperti apa yang ada dalam buku Kunci
Kebahagiaan yang di tuliskan bahwa “Maka, tidak mungkin seseorang akan
melakukan kemaksiatan jika pengetahuannya telah sempurna bahwa Allah
menyaksikan, melihat, dan memberikan sanksi,serta telah mengharamkannya.
Apabila dengan pengetahuannya itu dia tetap melakukan kemaksiatan, maka itu
disebabkan kelalaian, dan kelupaannya. Dengan demikian, kemaksiataannya itu
bersumber dari kelalaian, kelupaan dan ketidaktahuan yang bertentangan dengan
pengetahuan (ilmu).
14

Seperti dalam firmannya dalam QS. Al-Ahzab:52 :

َ ‫ع ٰلى ُك ِل‬
‫ش ْيء َّرقِ ْيبًا‬ ٰ َ‫َو َكان‬
َ ُ‫ّللا‬

Yang artinya :”Dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.”


(QS.AlAhzab:52)

2) Khauf
Al-khauf menurut sufi adalah suatu sikap mental merasa takut pada Allah
karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah
tidak senang kepadanya. Karena adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu
berusaha untuk memperbaiki dan lebih meningkatkan amal dan perbuatannya dan
jangan sampai menyimpang dari apa yang di kehendaki oleh Allah. Perasaan
khauf ini timbul karena pengenalan dan rasa kecintaan kepada Allah sudah
mendalam sehingga ia khawatir kalau-kalau yang di cintainya itu melupakannya
atau takut kepada siksa Allah.
Al-khauf adalah suatu perasaan takut kepada Allah yang di miliki oleh
seorang sufi. Sehingga dikatakan bahwa seorang sufi yang kha'if, memiliki
perasaan takut akan jika tidak di perhatikan oleh Allah melebihi takutnya kepada
musuh-musuhnya22.Dengan keadaan semacam ini, dirinya maka seorang sufi akan
selalu berbuat dan bertindak yang di perkirakannya tidak akan menyimpang dari
kesenangan Allah kepadanya.
Allah berfirman dalam QS.Ali Imran:175 yang kaitannya dengan khauf.

َ‫ف اَ ْو ِل َيا َءه فَ َل تَخَافُ ْو ُه ْم َوخَافُ ْو ِن ا ِْن ُك ْنت ُ ْم ُّمؤْ ِم ِنيْن‬ َّ ‫اِنَّ َما ذ ِل ُك ُم ال‬
ُ ‫شيْطنُ يُخ َِو‬
Yang artinya :”Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaithan yang
menakutinakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy),
karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaku, jika
kamu benar-benar orang yang beriman.”(QS.Ali Imran:175)’’

22
Al-Kalabazi,Ta’aruf Fi Madzhab Al Tasawuf,h.116.
15

Imam al-Qusyairiy mengemukan dengan mengutip perkataan Ali Daqaq


bahwa perasaan takut itu terbagi kepada tiga tingkatan yaitu khauf, khasyyah, dan
haibah.
a) Khauf adalah sebagian dari iman sebagaimana yang di nyatakan dalam
Alquran dlm surat Ali 'Imran (3) 175:"Sesungguhnya mereka itu tidak
lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-
kawannya (orangorang musyrik Quraisy ) karena itu kepada mereka
tetapi takutlah kepadaKu janganlah kamu takut jika kamu benar-benar
orang yang beriman".
b) Khasyyah merupakan sesuatu bentuk takut yang di sertai dengan
membesarkan dan mengagungkan Allah. Hal ini hanya dapat di lakukan
oleh orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan sebagaimana firman
Allah: "Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang
melata dan binatangbinatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang-orang yang
mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah). Sesungguhnya Allah Maha
perkasa lagi Maha Pengampun."
c) Haibah adalah salah satu syarat pengetahuan ma'rifah kepada Tuhan
yakni takut akan peringatan siksa yang di alaminya. Seperti yang
dijelaskan dalam Alquran "Dan Allah memperingatkan kamu terhadap
diri (siksa) Nya dan hanya kepada Allah kembali (mu)."

3) Raja'.
Al-raja' yang arti dasarnya mengharap, oleh para sufi di maknakan sebagai
suatu sikap mental yang optimis dalam memperoleh serta berharap pada karunia
dan nikmat Allah yang di sediakan bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh. Harapan
penting lainnya adalah berupa diterimanya amal perbuatan yang di lakukannya.
Dalam firman Allah QS.Al-Israa:57 yang membahas tentang raja‟ ialah:

ُ ‫ع ْونَ يَ ْبتَغُ ْونَ اِلى َربِ ِه ُم ْال َو ِس ْيلَةَ اَيُّ ُه ْم اَ ْق َر‬


َ َ‫ب َويَ ْر ُج ْونَ َرحْ َمتَه َويَخَافُ ْون‬
‫عذَابَه ا َِّن‬ ُ ‫اُولىِكَ الَّ ِذيْنَ يَ ْد‬
‫اب َر ِبكَ َكانَ َمحْ ذُ ْو ًرا‬ َ َ‫عذ‬َ
Yang artinya :”Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan
kepada Tuhan mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, Sesungguhnya azab
tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.”(QS.Al-Israa:57).
16

4) Syauq.
Al-syauq atau kerinduan adalah kondisi kejiwaan yang menyertai rasa
cinta (mahabbah) memancar dari dalam hati. Al-Syauq merupakan rasa rindu yang
memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Setiap denyutan jantung,
detak kalbu dan desa nafas, ingatan hanya tertuju kepada Allah. Inilah yang di
sebut al-syauq. Perasaan rindu yang di tujukan kepada Allah ini, dijadikan sebagai
pendorong untuk selalu berada sedekat mungkin dengan Allah.
Allah berfirman QS.Al-Ankabut:5 :

‫َم ْن َكانَ يَ ْر ُج ْوا ِلقَا َء ّللاِ فَا َِّن اَ َج َل ّللاِ لَت َوه َُو الس َِّم ْي ُع ْالعَ ِل ْي ُم‬
Yang artinya :”Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, Maka
sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah yang
maha mendengar lagi maha mengetahui.”(QS.Al-Ankabut:5)

5) Uns.
Al-Uns atau rasa keakraban adalah suatu kondisi mental atau keadaan jiwa
dan seluruh perasaan yang tertuju pada suatu titik sentral, yaitu Allah. Dalam
kondisi ini, hanya Allah saja yang menjadi pusat perhatian, perasaan, harapan dan
ingatan. Tidak ada yang ingin dirasa, tidak ada yang di ingat, tidak ada yang
diharapkan kecuali Allah. Segenap jiwa raganya terpusat bulat sehingga ia
seakanakan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang ingatan
terhadap alam sekitarnya.
Firman Allah QS.Yunus:58 yang berkaitan dengan uns adalah:

َ‫ّللا َو ِب َرحْ َمتِه فَ ِب ٰذلِكَ فَ ْليَ ْف َر ُح ْوا ه َُو َخيْر ِم َّما يَجْ َمعُ ْون‬ ْ َ‫قُ ْل ِبف‬
ِ ٰ ‫ض ِل‬
Yang artinya :”Katakanlah:”Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah
dengan itu mereka bergembira, karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih
baik dari apa yang mereka kumpulkan.”(QS.Yunus:58)
Sedemikian kuatnya rasa uns ini, Dzu an-Nun al-Mishri menggambarkan
bahwa seandainya seorang sufi itu di lemparkan ke neraka, ia tidak akan
merasakan panasnya. Atau sebagaiamana yang digambarkan oleh al-Junaid bahwa
apabila tubuh seorang sufi dalam kondisi uns ditusuk dengan pedang, maka ia
tidak akan merasakan sakitnya.
17

6) Musyahadah.
Secara etimologi (harfiah), al-musyahadah berarti menyaksikan dengan
mata kepala sendiri. Sedangkan menurut terminology di kalangan sufi,
almusyahadah di artikan dengan menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang di
carinya itu. Dalam hubungan ini apa yang di carinya itu adalah Allah SWT. Jadi,
seseorang sufi telah merasa berjumpa dengan Allah23.
Allah berfirman QS.Al-Qaaf:37 mengenai musyahadah :

َ ‫اِ َّن فِ ْي ذلِكَ لَ ِذ ْكرى ِل َم ْن َكانَ لَه قَ ْلب اَ ْو اَ ْلقَى الس َّْم َع َوه َُو‬
‫ش ِهيْد‬
Yang artinya :”Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan
pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya.”(QS.Al-Qaaf:37)

7) Thuma'ninah.
secara etimologi (harfiah), thuma'ninah berarti tenang, damai dan
tenteram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tidak ada yang dapat
mengganggu perasaan dan pikiran, karena seorang sufi sudah mencapai tingkat
kebersihan jalan, jiwa yang paling tinggi. Setelah sekian lama ia bersekian berat
perjuangan yang dihadapi, akhirnya sampailah ia keujung perjalanan, yaitu
berkomunikasi secara langsung dengan Allah yang di cari, yang di cintai dan di
rindui. Ia mampu mengadakan di alog secara langsung karena sudah dekat dengan
Allah, karenanya ia merasa tenang bahagia, damai dan tenteram.
Allah berfirman QS.Ar-Rad:28 tentang thuma‟ninah:

ْ ‫َط َمىِ ُّن قُلُ ْوبُ ُه ْم ِب ِذ ْك ِر ّللاِ اَ َل ِب ِذ ْك ِر ّللاِ ت‬


ُ ‫َط َمىِ ُّن ْالقُلُ ْو‬
‫ب‬ ْ ‫الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْوا َوت‬
Yang artinya : (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tenteram. (QS. [13] Ar-Ra'd : 28)

23
Ibid
18

8) Yaqin.
Al-yaqin, secara harfiyah bermakna keyakinan, kepastian suatu perkara
yang jelas, pasti kebenarannya. Di kalangan sufi terdapat ungkapan bahwa yakin
itu adalah perasaan mantapnya pengetahuan yang di peroleh dari pertemuan
secara langsung dengan Allah. Dengan demikian, al-yaqin adalah kepercayaan
yang kokoh dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki,
karena ia sendiri telah menyaksikannya dengan segenap telah merasakan dengan
seluruh ekspresinya serta di persaksikan oleh segenap eksistensialnya.
Allah berfirman QS. Adz-Dzariyat:20

َ‫ض ايت ِل ْل ُم ْو ِق ِني اْن‬


ِ ‫َو ِفى ْالَ ْر‬
Yang artinya :”Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
orang-orang yang yakin”. (QS. Adz-Dzariyat:20)

C. Perbedaan Mendasar Maqamat dan Ahwal


Secara historis, konsep maqamat dan ahwal diduga muncul pertama
kali pada abad 1 Hijriyah. Sosok yang memperkenalkan kedua terms
tersebut adalah Ali bin Abi Thalib. Hal ini dapat ditelusuri ketika para
sahabat berkonsultasi tentang iman. Ia menjawab bahwa iman itu adalah
bersumber pada empat fondasi yaitu taqwa, sabar, adil, jihad, yang masing-
masing fondasi tersebut mempunyai tingkatan( maqamat).
Para sufi sendiri secara teliti menegaskan perbedaan maqam dan
ahwal. Maqam, menurut mereka, ditandai oleh kemapanan. Sementara itu,
ahwal justru mudah hilang. Maqam dapat dicapai seseorang dengan
kehendak dan upayanya. Sementara itu, ahwal dapat diperoleh secara
disengaja. Hal diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan menari, bersedih
hati, bersenang-senang, rasa mencekam, rindu, gelisah, atau harap. Jelasnya, hal
sama dengan bakat, sedangkan maqam diperoleh dengan daya dan upaya. Hal
akan datang dengan sendirinya, sementara maqam diperoleh dengan berupaya.
Orang yang meraih maqam tetap dalam tingkatannya, sementara orang yang
meraih ahwal justru akan mudah lepas dirinya24.

24
Munir Misbachul,Moch,Akhlak Tasawuf,(Surayabaya:UIN Sunan Ampel Press,hlm,251.
19

Secara mendasar, perbedaan maqamat dan ahwal ini baik dari cara
mendapatkannya maupun pelangsungannya yaitu Maqamat berupa tahap-
tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk
memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan
spiritual yang panjang untuk melawan hawa nafsu, ego manusia, yang
dipandang perilaku yang buruk yang paling besar yang dimiliki manusia dan hal
itu menjadi kendala menuju Tuhan25.
Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari
kenyataan bahwa seseorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan taun
hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun yang lainnya. Sedangkan
“ahwal”yang sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan.
Di antara “ahwal” yang sering disebut adalah takut, sukur, rendah
hati, tawakkal, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis
tasawuf, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara
spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha
sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai
hadiah berupa kalitan-kalitan ilahi (Divine Flashes), yang biasa disebut lama’at.

25
Munir Misbachul,Moch,Akhlak Tasawuf,(Surayabaya:UIN Sunan Ampel Press,hlm,257.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara etimologi maqam
mengandung arti kedudukan atau tempat berpijak dua telapak kaki.
Sementara itu dalam pengertian terminologi istilah maqam
mengandung pengertian kedudukan, posisi, tingkatan, atau kedudukan
tahapan hamba dalam mendekatakan diri kepada Allah. Sedangkan, ahwal
ialah keadaan atau keadaan kondisi psikologisyang dirasakan ketika
seorang sufi mencapai maqam tertentu.
2. Berkaitan dengan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang
sufi untuk mencapai Tuhannya, para sufi berbeda pendapat pada hal ini.
Terhadap perbedaan beberapa pendapat tersebut ada beberapa maqamat
yang disepakati oleh para ahli tasawuf, yaitu: Al-Zuhud, At-Taubah,
Al-Wara’, Al –Faqr (Fakir), As-Shabr (sabar), Tawakkal, Rela (Rida’),
Mahabbah, dan Ma’rifah.
3. Ahwal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui
waktunya. Dengan demikian Ahwal adalah pemberian dari Allah ketika
sang sufi menapaki jalan menuju Allah. Dalam ilmu tasawuf dikenal
dengan beberapa Ahwal sebagai berikut: Muhasabah dan Muraqabah
(Mawas Diri dan Waspada), Hubb ( cinta ), Raja’ dan Khauf ( Berharap
dan Takut), Syauq ( Rindu), dan Uns ( intim).
4. Secara mendasar, perbedaan maqamat dan ahwal ini baik dari cara
mendapatkannya maupun pelangsungannya yaitu Maqamat berupa
tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para
sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan
perjuangan spiritual yang panjang untuk melawan hawa nafsu, ego
manusia, yang dipandang perilaku yang buruk yang paling besar yang
dimiliki manusia dan hal itu menjadi kendala menuju Tuhan.

20
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Syaikh, Islam, Ilmu Pengetahuan Dan Masyarakat Madani,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005
Ampel, Sunan, Akhlak Tasawuf , Cet.1; Surabaya: IAIN Press, 2011
Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Asmaran As, Pengantar Stdi Tasawuf, Cet.1; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
1994
Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Karya Agung 2005
Bagir, Haidar, Buku Saku Tasawuf, Cet.2 ; Bandung: Mizan, 2006
Bahri, Zainul, Menembus Tirai Kesendiriannya: Mengurai Maqamat dan Ahwal
Dalam Tradisi Sufi, Cet.1 ; Jakarta:Prenada Media, 2005
Dailani, Ahmad, Konsep Islam, Iman, dan Ihsan dalam perspektif tafsir imam
AlGhazali, Jakarta :Skripsi, Fakultas Ushuludin UIN Hidayatullah, 2012
Hasan, Tholhah, Ahlussunnah Wal-Jama’ah Persepsi dan Tradisi Nu, Jakarta:
Lantabora Pres, 2005
Muhammad, Hasyim, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Cet.1; Yokyakarta:
Pustaka Pelajar Offset,2002
Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf : Jakarta, Erlangga, 2006
Muniron, Pandangan Al-Ghazali Tentang Ittihad dan Hulul, Jakarta: Jurnal
Paramadina, 1999
Murdani, Pengertian Ma’rifatullah (http: titilihawa.wordpress.com), di akses pada
tanggal 19 oktober 2019
Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, 2004 Nata,
Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005
Ni, Syamsun, Corak Tasawuf Al-Ghazali, http://darussholah.net, diakses pada
tanggal 3 Juni 2011
Niam, Syamsun, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, Yokyakarta: ArRuz
Media, 2014
Qayyim, Ibnu Al-Jauziyyah, Kunci Kebahagian, Jakarta: Akbar Media, 2004
Rif’IA.Bachrun, dan Mud’is Hasan, Filsafat Tasawuf : Bandung, Pustaka Setia,
2010

21

Anda mungkin juga menyukai