Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“MAQAMAT DAN AHWAL”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tauhid dan Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu : Najmia Nur Izzati, S.H,M.H

Disusun Oleh Kelompok 11 :


Siti Novia Rahmah : 2321508006
Aulia Isnaniah : 2321508009

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt, shalawat dan salam semoga selalu tercurah keharibaan
junjungan Nabi Besar Muhammad saw. Beserta seluruh keluarganya, sahabat dan para
pengikutnya sampai akhir zaman.

Alhamdulillah, dengan segala rahmat dan inayah-NYA makalah yang berjudul “Maqamat
dan Ahwal” sebagai salah satu tugas mata kuliah Tauhid dan Akhlak Tasawuf Program studi
Hukum Keluarga Fakultas Syariah Universitas Islam Negri Sultan Aji Muhammad Idris
Samarinda dapat diselesaikan.

Penulis sangat menyadari, dalam penulisan makalah ini banyak sekali menerima bantuan,
baik tenaga maupun pikiran. Oleh karena itu, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
tersebut, terutama kepada ibu Najmia Nur Izzati S.H,M.H yang telah banyak memberikan
bimbingan dan petunjuk serta koreksi dalam penulisan makalah ini serta semua pihak yang
telah memberi bantuan, fasilitas, informasi, meminjamkan buku-buku dan literatur-literatur
yang penulis perlukan, sehingga makalah ini bisa diselesaikan.

Atas bantuan dan dukungan yang tak ternilai harganya tersebut penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya teriringi doa yang tulus
semoga Allah swt memberi ganjaran yang berlipat ganda. Amin.

Akhirnya penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua dan mendapat taufik
serta inayah dari Allah swt.

Samarinda, 27 Oktober 2023

Kelompok 11

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1

A. LATAR BELAKANG ............................................................................................. 1


B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................ 1
C. TUJUAN ................................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 2

A. MAQAMAT ............................................................................................................ 2
B. AHWAL .................................................................................................................. 9

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 12

A. KESIMPULAN ....................................................................................................... 12
B. KRITIK DAN SARAN ........................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam islam yang memusatkan perhatian
pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia.
Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan
pembersihan diri serta mengamalkan secara benar.
Tinjauan analisis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai
aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (Toriqot) menuju Allah.
Jalan ini dimulai dengan latihan rohaniah (Riyadhoh), lalu secara bertahap menempuh
berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan), dan hal keadaan, dan berakhir
dengan mengenal ma’rifah kepada Allah. Tingkatan pengenalan (ma’rifah) menjadi
tujuan yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sifat dan perilaku sufi
diwujudkan melelui amalan dan metode tertentu yang disebut toriqot, atau jalan untuk
menemukan pengenalan ma’rifah kepada Allah 1.
Lingkup ‘irfani tidak dapat dicapai dengan mudah, tetapi harus melalui proses
perjalanan yang sangat panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam
(tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati
oleh orang yang ingin berjalan menuju Tuhan. 2
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan maqamat?
2. Apa yang dimaksud dengan Ahwal?
3. Jelaskan bagian-bagian dari maqamat dan ahwal!
C. TUJUAN
1. Mengetahui apa itu maqamat
2. Mengetahui apa itu ahwal
3. Mengetahui bagian-bagian dari maqamat dan ahwal

1 Jurnal ANSIRU PAI Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2017, h. 8


2 Jurnal ANSIRU PAI Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2017, h. 9

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. MAQAMAT
Maqamat adalah bentuk jama’ dari kata maqam, yang secara bahasa berarti pangkat
atau derajat. Maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang
diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat serta berhubungan yang tidak ada
putus-putusnya dengan Allah swt atau secara teknis maqamat juga berarti aktivitas dan
usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan kualitas spritual dan kedudukannya
di hadapan Allah swt dengan amalan-amalan tertentu sampai adanya petunjuk untuk
mengubah pada konsentrasi terhadap amalan tertentu lainnya, yang diyakini sebagai
amalan yang lebih tinggi nilainya di hadapan Allah swt. 3
Dalam rangka meraih derajat kesempurnaan, seorang sufi dituntut untuk melampaui
tahapan-tahapan spritual, memiliki suatau konsepsi tentang jalan (tharikat) menuju
Allah swt, jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadhah) lalu secara
bertahap menempuh berbagai fase yang dalam tradisi tasawuf dikenal dengan maqam.
Perjalanan menuju Allah swt merupakan metode pengenalan (makrifat) secara rasa
(rohaniah) yang benar terhadap Allah swt manusia tidak akan mengetahui penciptanya
selama belum melakukan perjalanan menuju Allah swt walaupun ia adalah orang yang
beriman secara aqliyah. Sebab, ada perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah
atau logis-teoritis (al-iman al- aqli an-nazhari) dan iman secra rasa (al-iman asy-syu’ri
adz-dzauqi).
Tingkatan maqam adalah tingkatan seorang hamba di hadapan Allah tidak lain
merupakan kualitas kejiwaan yang bersifat tetap, inilah yang membedakan dengan
keadaan spritual (hal) yang bersifat sementara.4
Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa maqam dijalani sorang salik
melalui usaha yang sungguh-sungguh, sejumlah kewajiban yang harus ditempuh untuk
jangka waktu tertentu. 5
1. Macam-Macam Maqamat
a) At- Taubah

3 Miswar, Maqamat (Tahapan yang harus ditempuh dalam proses bertasawuf) hlm. 9
4 Ahamad Bangun, Akhlak tasawuf : pengenalan, pemahaman, dan pengaplikasian, jakarta , hlm. 47
5 Miswar, Maqamat (Tahapan yang harus ditempuh dalam proses bertasawuf) hlm. 10

2
Kata taubat berasal dari bahasa arab yaitu Taaba-Yatuubu-Taubaatan,
yang berarti kembali dan disebut Al-Qur’an sebanyak 87 kali dalam
berbagai bentuk. Dalam bahasa Indonesia taubat berarti “sadar, menyesal
akan dosa dan berniat akan memperbaiki tingkah laku maupun perbuatan”.
Maqam At-Taubah merupakan maqam pertama yang harus dilewati setiap
salik dan hal itu diraih dengan menjalani ibadah, mujahadah, dan riyadhah.
Hampir semua sufi sepakat bahwa At-Taubah adalah maqam pertama yang
harus dilalui setiap salik.
Seorang ulama Al-Husaini Al-Maghazili, membedakan taubat menjadi
dua macam, yaitu : Taubat Al-Inabat dan Taubat Al-Istijabat. Taubat yang
pertama adalah karena didorong oleh rasa takut kepada Allah swt,
sedangkan taubat yang kedua adalah karena merasa malu kepada Allah swt.
Yang antara taubat dalam syariat biasa dengan maqam taubat dalam
tasawuf diperdalam dan dibedakan antara tobatnya orang awam dengan
tobatnya orang khawas. Karena tobat orang khawas termasuk sufi daari
kalalain mengingat Allah, maka kesempurnaan taubat dalam ajaran tasawuf
adalah apabila seseorang yang bertaubat sudah mencapai maqam At-
Taubatubmin Taubatih, yakni taubat terhadap kesadaran keadaan dirinya
dan kesadaran akan tobatnya itu sendiri.
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ada tiga syarat taubat yaitu,
penyesalan, meninggalkan dosa yang dilakukan, dan memperlihatkan
penyesalan dan ketidakberdayaan. Karena hakikat taubat adalah menyesali
semua dosa di masa lampau, membebaskan diri dari semua dosa dan tidak
mengulangi dosa di masa mendatang, serta kembali kepada Allah dengan
mengerjakan segala perintah-NYA dan menjauhi segala urusan NYA. 6
b) Al-Istiqamah
Al-Istiqamah merupakan satu tahapan penting dalam tasawuf.
Pentingnya tahapan ini, Al-Qusyairi mengatakan “orang yang tidak
istiqamah dalam keberadaannya, tidak akan pernah meningkat dari satu
tahapan ke tahpan maqam berikutnya, dan perjalanan suluk-Nya tidak akan
kukuh”. Menurut tanda istiqamah dari orang yang mulai menempuh suluk

6 Miswar, Maqamat (Tahapan yang harus ditempuh dalam proses bertasawuf) hlm.11-12

3
adalah amal-amal lahiriyahnya tidak dicemari oleh kesenjangan. Bagi orang
yang berada pada tahap pertengahan adalah tidak ada kata “berhenti”.
Sementara bagi orang yang berada pada tahap akhir adalah tidak ada tabir
yang melindunginya dari kelanjutan wushul (bertemu dengan Tuhan-Nya).
Dalam kaitan ini, ada di antara ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan
petunjuk untuk beristiqamah, yaitu:
ٰۤ
ِ‫اِ َّن الَّ ِذين قَالُوا ربُّنَا هاّلل ُُثَّ استَ َقاموا تَتَ نَ َّزُل علَي ِهم الْم هل ِٕى َكةُ اَََّّل ََتَافُوا وََّل ََْتزنُوا واَب ِشروا ِِب ْْلنَّة‬
َ ُْ ْ َ ْ َ َ ْ َ ُ َْ ْ ُ ْ ُٰ َ ْ َ ْ
‫الَِّ ِْت ُكْن تُ ْم تُ ْو َع ُد ْو َن‬
“sesungguhnya orang-orang yang berkata “Tuhan kami adalah Allah”
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka maka malaikat-malaikat
akan turun kepada mereka (dengan berkata) “Janganlah kami berasa takut
dan janganlah kamu bersedih hati dan bergembiralah kamu dengan
(memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu”(QS. Fushshilat : 30).
Syeikh Abu Ali Al-Daqqaq menjelaskan tiga terminologi dalam kata Al-
Istiqamah, yang dikatakan sebagai tingkatan istiqamah tersebut (1)
menegakkan segala sesuatu (al-taqwin); (2) meluruskan segala sesuatu (al-
iqamah); (3) berlaku teguh (al-istiqamah). At-Taqwin menyangkut disiplin
jiwa, Al-Iqamah berkaitan dengan kegiatan mendekatkan diri kepada Allah
dengan jalan sirri (mistis). Oleh karena itu, al-istiqamah menjadi prasarat
utama dalam tangga menuju Allah swt. dengan alasan itu, Kyai Achmad
meletakkan al-istiqamah pada tingkatan pertama di jalan sufi. Dengan
demikian, pandangan Kyai Achmad berbeda dengan Al-Kalabadzi, Ath-
Thusi dan Al-Ghazali dimana menurut mereka, tahapan pertama di jalan sufi
adalah at-taubah (taubat).7
c) Az-Zuhd
Zuhud merupakan maqam penting yang harus dilewati oleh para sufi
dalam perjalanannya menuju Allah swt. Sebagaimana yang diketahui bahwa
maqam zuhud pernah menjadi suatu gerakan masal umat islam pada abad
pertama hijriyah, sebagai gerakan protes kepada para birokrat yang kaya.
Gerakan zuhud ini dipimpin oleh sufi yang masyhur yaitu Hasan Al-Bashri.
Ada beberapa definisi mengenai zuhud, di antaranya disebutkan oleh Imam

7 Ai Refa dan Ali Fikri, Bunga Rampai Kajian Ilmu Tasawuf (Purbalingga, 2022), hlm. 55

4
Ali bahwa zuhud hendaklah seseorang tidak terpengaruh dan iri hati
terhadap orang-orang yang serakah terhadap keduniawian, baik dari orang
mukmin maupun orang kafir. Sedangkan Al-Junaid menyatakan bahwa
zuhud adalah bersifat dermawan sehingga tidak ada yang dimiliknya dan
tidak bersifat serakah.
Ibnu Athaillah sendiri membagi zuhud ke dalam dua tahapan, yaitu
zuhud lahir yang jelas zuhud batin yang samar. Aplikasi dari konsep ini
adalah bahwa ketika seseorang ingin melakukan zuhud yang lahir, maka
seseorang harus zuhud terhadap barang halal yang berlebihan, baik berupa
makanan, pakaian, dan sebagainya. Sedangkan pada zuhud batin seseorang
harus zuhud terhadap perasaan hati yang tidak dibenarkan semisal perasaan
sombong di depan orang lain, senang dipuji, syirik, iri hati dan sebagainya.8
d) Al-Wara (warak)
Dari segi bahasa al-wara ialah berarti saleh, menjauhkan diri dari dosa.
Menurut istilah yaitu menjauhi hal-hal yang tidak baik. Adapun pengertian
dari tasawuf yaitu meninggalkan segala hal yang di dalamnya terdapat
keraguan antara halal dan haram (syubhat). 9Sikap menjauhi diri dari
syubhat ini sejalan dengan hadis nabi yang berbunyi :
“ barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia
telah terbebas dari yang haram.” (HR.Bukhari)
Kaum sufi menyadari bahwa setiap makanan, minuman,pakaian dan
sebagainya yang haram dapat mempengaruhi orang yang
memakannya,meminumnya ataupun memakainya. Mereka berpandangan
sesuatu yang haram akan menyebabkan noda hitam dalam hati yang
akhirnya mematikan hati sehinga jauh dari allah. Orang yang seperti itu akan
keras hatinya dan sulit untuk mendapatkan hidayah dari allah. Oleh karena
itu, para sufi sangat berhati-hati dan menjauhi sesuatu yang tidak jelas
kehalalan dan keharamannya. Para ahli tasawuf membagi wara dua bagian,
yaitu :
1. Wara yang bersifat lahiriyah yaitu yang meninggalkan segala hal yang
tidak diridhai Allah.

8 Miswar, Maqamat (Tahapan yang harus ditempuh dalam proses bertasawuf) hlm. 14-15
9 Muslich Shabir, Tauhid dan akhlak tasawuf (Bandung: Nuansa Aulia,2023) hlm. 157

5
2. Wara yang bersifat batiniyah yaitu tidak mengisi atau menempatkan
sesuatu di hatinya kecuali Allah.
e) Al-Faqr (kefakiran)
Dari segi bahasa al-faqr ialah kefakiran, kemiskinan, hajat, dan kehendak.
Ada berbagai macam prinsip tentang kondisi hidup miskin dari para hidup
sufi. Ada yang berpendapat bahwa yang dinamakan al-faqr adalah kondisi
seseorang yang tidak membutuhkan apapun selain Tuhan, kondisi ini
ditandai dengan tidak memiliki harta benda. Tapi,pada intinya para sufi
menganggap bahwa kefakiran ialah sebuah sikap hidup yang tidak
berlebihan atau memaksakan diri dan menerima apa yang sudah diberikan
oleh allah. Tetapi kenyataannya para sufi memilih hidup miskin agar
konsentrasinya tidak terpecah oleh jeratan dunia lebih tepatnya agar mantap
menghadap tuhan. Sikap dan persepsi orang juga tidak hanya ditentukan
oleh materi tetapi lebih pada pola pikir yang diterapkan dalam menanggapi
sesuatu. Seperti, bila seorang berpikir bahwa harta bisa menjadi alat atau
sarana beribadah maka harta benda itu persepsinya adalah positif sehingga
berkeyakinan bahwa harta benda atau kaya itu baik. Sebaliknya begitu jika
itu menyulitkan untuk beribadah maka memang harta itu akan benar-benar
membawa kesulitan. Yang pada dasar nya ajaran Faqr (kefakiran), ialah
firman Allah SWT yang artinya : (sedekah itu) ialah untuk orang-orang
yang faqir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat
berusaha dibumi; oran yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya
karena mereka memelihara dari meminta-minta. Kamu mengenal dia
dengan sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara
mendesak dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan,maka
sesungguhnya Allah maha mengetahui. 10
f) As-Shabr (sabar)
Secara as-shabr berarti tabah hati, dari segi istilah dapat dimaknai sebagai
sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, menjauhi larangan-Nya,
menerima segala cobaan yang diberikan allah dan dalam menunggu
datangnya pertolongan allah. Sifat sabar terbagi menjadi lima :
1. Sabar dalam beribadah.

10Muslich Shabir, Tauhid dan akhlak tasawuf (Bandung: Nuansa Aulia,2023) hlm. 158-159

6
2. Sabar saat ditimpa musibah/malapetaka.
3. Sabar terhadap kehidupan dunia.
4. Sabar terhadap maksiat.
5. Sabar dalam berjuang.

Dari beberapa macam sifat sabar itu,sabar dikelompokkan menjadi 3 bagian:

1. Sabar dalam menghindari kedurhakaan dengan memperhatikan


peringatan, tetap teguh keimanan dan waspada hal yang haram, serta
menghindari kedurhakaan karena malu.
2. Sabar dalam ketaatan dengan menjaga ketaatan itu secara terus menerus
serta memeliharanya dengan keikhlasan dan berdasarkan ilmu.
3. Sabar dalam musibah dengan memprhatikan pahala yang baik,
menunggu rahmat datang, menganggap musibah sebagai hal kecil dan
menghitung nikmat-nikmat masa lampau.11
g) At-Tawakal (tawakal)
At-tawakkul ialah menyerahkan diri kepada allah. Orang yang tawakal
dapat ditandai dengan selalu menyatunya perasaan tenang dan tentram serta
penuh kerelaan atas segala yang diterimanya. Tawakal ialah kepercayaan
dan penyerahan diri pada takdir allah dengan sepenuh jiwa dan raga. Namun
dalam tasawuf tawakal dapat diartikan keadaan jiwa yang tetap berada
dalam ketenangan dan ketentramman baik dalam suka maupun duka. Dalam
keadaan suka diri bersyukur begitu sebalik nya dalam keadaan duka kita
bersabar. Tawakal itu sikap aktif dan tumbuh hanya dari diri sendiri yang
benar-benar memahami hidup serta menerima kenyataan hidup dengan
tepat. Permulaan tawakal ialah kesadaran diri bahwa pengalaman diri
tidaklah cukup untuk menemukan hakikat hidup karena rahasia hidup itu
hanya diketahui oleh Allah. Tawakal terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1. Maqam bidayah (permulaan), seperti tawakalnya seseorang kepada
wakil karena ia telah menyakini bahwa wakilnya memiliki pengaruh
serta dapat membimbing dan mengurus urusannya.

11 Muslich Shabir, Tauhid dan akhlak tasawuf (Bandung: Nuansa Aulia,2023) hlm. 159-160

7
2. Maqam mutawassith, maqamnya orang khawash, yang disebut dengan
taslim itu merasa cukup menyerahkan urusannya kepada Allah karena
Allah mengetahui tentang keadaan dirinya.
3. Maqamnya nihayah yang disebut tafwit ialah tawakalnya orang yang
telah rida menerima takdir allah yang sudah di tentukan. Ini yaitu
tawakalnya orang-orang yang muwahhidin, khawash, dan khawashul
khawash seperti tawakal Nabi Muhammad saw. Tawakal seperti ini ialah
mayat yang berada di hadapan orang yang memandikannya, di mana ia
menyerah bulat tanpa daya dan upaya serta tidak memiliki keinginan
apa-apa.12
h) Ar-ridha (rida)
Dari segi bahasa ar-ridha ialah rela,suka atau senang. Adapun dalam dunia
tasawuf rida artinya merasa puas engan apa yang telah dianugerahkan oleh
Allah. Tanda-tanda orang yang rida adalah menerima hasil segala sesuatu
yang ia upayakan dengan ikhlas dan sabar sebelum datang ketentuan serta
tidak merasa cemas atau resah setelah datangnya ketentuan. Rida ialah
keaddan mental dan kejiwaan yang senantiasa berlapang dada dalam
menerima segala karunia yang diterima, maupun bala yang menimpa
dirinya. Rida yaitu puncak dari kecintaan yang diperolehseorang sufi setelah
menjalani proses ‘ubudiyah’ yang panjang kepada allah.
Ada beberapa hal penting dalam membina keridaan je dalam diri, yaitu
sebagai berikut :
1. Seorang sufi akan berada pada sisi hamba yang pasrah
2. Terjadinya sesuatu adalah berdasarkan kehendak Tuhan semata-mata
3. Seorang sufi adalah seorang hamba yang menerima keputusa Tuhannya
dengan keridaan.
4. Seorang sufi adalah seorang yang mencinta, sehingga dapat berbuat apa
saja untuk kekasih yang dicintainya.
5. Seorang sufi akan menyakin keridaanya terhadap keputusan tuhannya
dan ini akan memberikan reaksi positif bagi pengembangan dirinya.

12 Muslich Shabir, Tauhid dan akhlak tasawuf (Bandung: Nuansa Aulia,2023) hlm. 160-162

8
6. Seorang sufi merasakan terbukanya pintu-pintu keridaan menuju Tuhan,
lalu melahirkan kegembiraan dan kenikmatan. 13
B. AHWAL
Ahwal ialah bentuk jamak dari hal yang kalau dilihat dari segi bahasa artinya hal
ihwal. Istilahnya hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan takut, rasa rendah diri,
takwa, ikhlas, senang, gembira dan syukur. Ahwal ini berbeda dengan maqam, karena
ahwal tidak dari usaha manusia, melainkan diperoleh sebagai anugerah dan rahmat
tuhan. Berlainan dengan maqam yang bersifat sementara,datang dan pergi bagi seorang
sufi dalam perjalanannya kepada tuhan. 14
2. Macam-macam Ahwal
Terdapat 9 macam Ahwal sebagai berikut :
a) Al-muraqabah (perasaan selalu diawasi oleh allah)
Ialah pengetahuan dan keyakinannya bahwa Allah selalu melihat apa yang ada
didalam hati nuraninya dan maha mengetahui. Orang-orang yang muraqabah
terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1. Orang-orang yang selalu menjaga hatinya sebab allah selalu melihat hati
nuraninya. Tingkatan ini merupakan tingkatan kondisi spiritual para pemula
dalam muraqabah.
2. Orang-orang yang selalu muraqabah kepada al-haq dalam kefanaan apapun
serta mengikuti Rasulullah saw, dalam segala perbuatan dan akhlak adab
beliau.
3. Orang-orang yang selalu muraqabah kepada allah dan memohon kepada-
Nya agar senantiasa diingatkan untuk selalu bisa bermuraqabah. 15

b) Al-qurb atau al-qurbah (perasaan kedekatan kepada tuhan)


Ialah yang menyaksikan dengan mata hatinya akan kedekatan Allah
dengannya sehingga dia akan melakukan diri kepada-Nya dengan seluruh
ketaatan dan perhatiannya yang selalu terpusatkan di hadapan Allah dengan
selalu mengingat-Nya dalam segala kondisi,baik secara lahiriah maupun rahasia
hati. 16

13 Muslich Shabir, Tauhid dan akhlak tasawuf (Bandung: Nuansa Aulia,2023) hlm. 162-163
14 Muslich Shabir, Tauhid dan akhlak tasawuf (Bandung: Nuansa Aulia,2023) hlm. 163
15 Muslich Shabir, Tauhid dan akhlak tasawuf (Bandung: Nuansa Aulia,2023) hlm. 163-164
16 Muslich Shabir, Tauhid dan akhlak tasawuf (Bandung: Nuansa Aulia,2023) hlm. 164

9
c) Al-mahabbah (perasaan cinta kepada Tuhan)
Ialah yang melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah
karuniakan kepadanya dengan hati nuraninya. Ia melihat kedekatan allah
dengan segala perlindungan-Nya. Penjagaan dan perhatian yang dilimpahkan
kepadanya. Orang-orang yang memiliki kondisi spiritual mahabbah terbagi
menjadi tiga,yaitu :
1. Mahabbah orang-orang awam, yang lahir karena kebaikan dan kasih sayang
Allah kepada mereka.
2. Mahabbah yang muncul karena hati yang selalu melihat pada keagungan
dan kebesaran Allah, ilmu dan kekuasaanya. Mahabbah ialah cintanya
orang-orang yang jujur (ash-shiddiqqin) dan orang-orang yang sanggup
mengaktualisasikan kebenaran yang hakiki (al-muhaqqiqin).
3. Mahabbah orang-orang yang benar-benar jujur dan orang-orang yang arif
(ash-shiddiqin wal’arifin). Rasa cintanya muncul karena mereka melihat
dan mengetahui cinta Allah yang tanpa sebab dan alasan apa pun. 17
d) Ar-raja wal khauf ( perasaan berharap dan takut)
Ialah suatu sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat
Allah yang disediakan bagi hamba-hambanya yang sholeh karena ia yakin
bahwa allah itu Maha pengasih,penyayang dan pengampun. Perasaan optimis
ini akan memberi semangat baginya untuk melakukan mujahadah dan
mewujudkan apa yang diidam-idamkannya. Sedangkan khauf ialah sikap
mental merasa takut kepada Allah dan khawatir kurang sempurna
pengabdiannya. Sikap ini yaitu melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi
perbuatan maksiat.18
e) Asy-syauq (perasaan rindu)
Ialah kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah dengan rasa rindu yang
memancar dari kalbu karena gelora cinta sejati. Rasa senang yang bergelora
akan melahirkan cinta yang akan menumbuhkan rasa rindu19.
f) Al-uns (perasaan suka cita)
Ialah sifat merasa selalu berteman dan tak pernah merasa sepi, keadaan jia san
seluruh ekspresi rohaninya terpusat penuh pada satu titik sentrum yaitu Allah.

17 Muslich Shabir, Tauhid dan akhlak tasawuf (Bandung: Nuansa Aulia,2023) hlm. 164-165
18 Muslich Shabir, Tauhid dan akhlak tasawuf (Bandung: Nuansa Aulia,2023) hlm. 165
19 Muslich Shabir, Tauhid dan akhlak tasawuf (Bandung: Nuansa Aulia,2023) hlm. 165

10
Tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat dan tidak ada yang diharap
Kecuali Allah.20
g) Ath-thuma’ninah (tentram)
Ialah merasa tentram setelah bersama dengan Tuhannya dan merasa
ketergantungan terus menerus kepada-Nya.21
h) Al-musyahadah (perasaan menyaksikan Tuhan dengan mata hati)
Ialah kehadiran yang didekati dengan ilmu yakin dan hakikat-hakikatnya.
i) Al-yaqin (perasaan yakin kepada-Nya)
Keyakinan ini terbagi menjadi tiga,yaitu :
1. Mukasyafah’ayan (tersingkapnya tutup hati) sehingga di hari kiamat nanti,
ia akan melihat dengan mata kepala nya.
2. Mukasyafah qulub (tersingkapnya tutup hati) yakni memahami hakikat-
hakikat keimanan secara langsung dengan yakin yang tidak bisa
dibayangkan cara memperolehnya dan tidak ditentukan.
3. Mukasyafah ayat (tersingkapnya tanda-tanda kebesaran) yakni
ditampakkanya kekuasaan allah kepada para nabi dengan mkjizat, selain
nabi dengan karomah dan dikabulkannya doa.22

20 Muslich Shabir, Tauhid dan akhlak tasawuf (Bandung: Nuansa Aulia,2023) hlm. 165
21 Muslich Shabir, Tauhid dan akhlak tasawuf (Bandung: Nuansa Aulia,2023) hlm. 165
22 Muslich Shabir, Tauhid dan akhlak tasawuf (Bandung: Nuansa Aulia,2023) hlm. 166

11
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Maqamat adalah jama’ dari maqam yang berarti kedudukan, posisi, tingkatan (station)
atau kedudukan dan tahapan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Maqamat secara istilah
berarti kedudukan manusia di hadapan Allah yang disebabkan oleh karena ibadahnya,
mujahadah-nya, riyadhah-nya, dan pencurahan hatinya kepada Allah.

Ahwal adalah jama’ dari hal yang berarti keadaan, yakni keadaan hati dalam oleh para
sufi dalam menempuh jalan untuk dekat dengan Tuhan. Ahwal juga dapat diartikan situasi
kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah swt bukan dari hasil usahanya.
Ahwal atau hal, merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, sedih, perasaan takut,
dan sebagainya.

B. KRITIK DAN SARAN

Dari penulisan makalah ini,kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan dalam penyusunannya baik pada kerangka makalah,maupun
kelengkapan materi. Oleh karena itu,kami berharap pembaca dapat memberikan kritik dan
saran juga tentukannya dengan kalimat yang membangun penulis untuk penulisan makalah
berikutnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Bangun, A. (2019). Akhlak Tasawuf : Pengenalan, Pemahaman dan Pengaplikasian.


Fikri, A. R. (2022). Bunga Rampai Kajian Tasawuf. Purbalingga: EUREKA MEDIA
AKSARA.
JURNAL ANSIRU PAI Vol. 1 No. 2. (2017). 8.
Miswar. (2017). Maqamat (Tahapan Yang Harus di Tempuh Dalam Proses Bertasawuf).
Medan.
Shabir, M. (2023). Tuhid dan Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. NUANSA AULIA.

13

Anda mungkin juga menyukai