Anda di halaman 1dari 16

‘MUQOMAT DAN AHWAL

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu :

Baayu Fermadi , LC. M . Hum

Disusun Oleh :

1.Soibathul Khoiriyati Nim (21402048)

2. Vito Pria Adjie Pambudi Nim (21402047)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH

FAKULTAS EKONMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI

2021
KATA PENGANTAR
Puji sykur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik meskipun
banyak kekurangan didalamnya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai pola dan norma sosial. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari anda demi perbaikan
makalah ini di waktu yang akan datang.

Penulis

i
14 September 2021

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI ............................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................1
A. Latar Belakang .....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................................3
BAB II : PEMBAHASAN ...........................................................................................................5
A.Pengerian Maqomat dan Ahwal ...............................................................................................5
1. Pengertian Maqomat ........................................................................................................5
2. Pengerian Ahwal ..............................................................................................................5
B.Perbedaan Maqomat dan Ahwal ...............................................................................................5
C. Tahapan-Tahapan Maqomat dan Ahwal ..................................................................................5
1. Tahapan Maqomat ...........................................................................................................5
2. Tahapan Ahwal ................................................................................................................5
BAB III : PENUTUP....................................................................................................................5
A. Kesimpulan.............................................................................................................................5
B. Saran .......................................................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................5

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam islam yang memusatkan perhatian
pada pembersihan pada aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia.
Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan
diri serta mengamalkan secara benar. Banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh
ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.

Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan para sufi dengan berbagai aliran yang
di anutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai
dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang
dikenal dengan maqam (Tingkatan) dan hal (keadaan) dan berakhir dengan mengenal
(ma’rifat) kepada Allah SWT.

Namun perlu dicatat, maqam dan ahwal tidak dapat dipisahkan, keterkaitan antar
keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi persyaratan dalam menuju
Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran ahwal. Ahwal yang telah ditemukan
dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian maqomat?
2. Apa pengertian Ahwal?
3. Apa perbedaan Maqomat dan Ahwal?
4. Apa contoh Maqomat dan Ahwal?

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan Penilitan Merujuk pada perumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin
dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengertian dari Maqamat


2. Untuk mengetahui pengertin dari Ahwal
3. Untuk mengetahui perbedaan Maqamat dan Ahwal
4. Untuk mengetahui contoh-contoh dari Maqamat dan Ahwal

1
BAB 2

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MAQOMAT DAN AHWAL


1. PENGERTIAN MAQOMAT
Pembicaraan tasawuf tidak terlepas juga dengan pembicaraan tentang derajat-derajat
kedekatan seorang sufi kepada Tuhannya.Tingkatan atau derajat dimaksud dalam kalangan
sufi diistilahkan dengan maqam. Semakin tinggi jenjang kesufian maka semakin dekat pula
sufi tersebut kepada Allah Swt. Namun demikian, para sufi juga memiliki perbedaan pendapat
tentang maqam tersebut, terutama mengena yang mana maqam yang lebih tinggi dan mana
maqam yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena tidak didapati dari yang jelas tentanghal ini,
baik dari nash Al-qur’an maupun Sunah. Istila Maqam di kalangan para sufi kadang kala
isebut dengan ungkapan jamaknya yaitu Mqamat. Menurut Al qusayri yang dimaksud dengan
Maqam adalah hasil usah manusia dengaa kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang
dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala
kewajiban. 1

Maqomat menurut bahasa adalah tahapan, sedangkan menurut istilah adalah upaya
sadar untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Melalui tahpan-tahapan untuk mencapai
makrifatullah, dimana upaya tersebut telah menjadi sifat yang menetap pada diri seseorang.
Al-ahwal menurut bahasa adalah keadaan, sedangkan menurut istilah yaitu keadaan jiwa
dalam proses pendekata diri kepada Allah Swt, dimana keadan tersebut masih temporer belum
menetap dalam jiwa. Kondisi ini menuntut tindakan untuk menyikapinya. 2

Secara harfiah , maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat
berpijak atau pangkat mulia. Dalam bahasa inggris maqamat dikenal dengan istilah stages
yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba
dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah,
ibadah, maupun mujahadah. Disamping itu , maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase
yang harus ditempuh oleh seseorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.
Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan
sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak
akan mencapi maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya. 3

Tentang jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk
sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-
Kalabazy dalam kitab al-Ta’arruf lil Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun

1
M. Jamil. Cakrawala Tasawuf, dikutip dari al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf
(Cairo: Dar al-Khair, t.t.), 35.
2
https://www.bacaanmadani.com/2017/12/pengertian-dan-contoh-maqamat-dan-al.html. diakses tanggal
15/09/2021 pukul 21:03

3
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf,(Surabaya:IAIN SA Press,2011),hal.243

2
Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah,
al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-
ma’rifah.

Sementara itu, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah
maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.

Dalam pada itu, Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ulum al-Din mengatakan bahwa
maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-
ma’rifah, dan al-ridla.

Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda,


namun ada maqamat yang telah mereka sepakati, yatu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr,
al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah
oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah terakhir (al-tawaddlu,
al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat
dan terkadang meyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah
dengan Tuhan) untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan adalah maqamat
yang telah disepakati oleh mereka.

2. PENGERTIAN AHWAL
Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan. Secara
terminology, Ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. 4 Maksudnya, Ahwal
adalah kondisi sikp yang diperoleh seseorang yang datannya atas karunia Allah SWT. Kepada
yan dikehendaki. Baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai
pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun nasution mendefinisakan sebagai keadaan
mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.

Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal yang berarti keadaan
sesuatu (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, Ahwal adalah sesuatu yang
terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama,
sedangkan menurut al-Ghazali,Ahwal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang
dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal
saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun

4 Hasyim Muhammad, Dialog antara tasawuf dan psikologi (Yogyakarta:Pustaka Belajar,2002),hal 26-27

3
Nasution mendefinisikan halsebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih,
perasaan takut, dan sebagainya. 5

B. PERBEDAAN MAQOMAT DAN AHWAL


Keterangan di atas menegaskan kepada kita bahwa maqam berbeda dengan ahwal.
Menurut para sufi, maqam ditandai oleh kemapanan, sementara hal justru mudah hilang.
Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat
diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan menari, bersedih hati, bersenang – senang, rasa
tercekam, rasa rindu, rasa gelisah, atau rasa harap.

Sesuai penjelasan di tersebut, ahwal adalah pemberian Allah. Ia bisa berubah dan
hilang. Sedangkan maqam hanya bisa didapatkan dengan cara beramal, usaha, dan usaha keras
yang dilakukan secara kontinyu tidak terputus Merupakan inti kajian dan ajaran tasawuf,
dapat dialami oleh setiap sufi yang dilakukan secara kontinyu tidak terputus, maqam bisa
didapatkan oleh seorang hamba setelah ia membersihkan juwanya dari segala sesuatu yang
bisa membuatnya melalaikan Tuhan. 6

Ahwal adalah bentuk jama’ dari kata hal, yang berarti kondisi mental atau situasi kejiwaan
yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan hasil dari usahanya.Hal bersifat
sementara, datang dan pergi ;datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalananya
mendekati Tuhan.

Imam Al – Ghazali mengatakan “Hal adalah satu waktu di mana seorang hamba berubah
karena ada sesuatu dalam hatinya.Seorang hamba pada saat tertentu hatinya dan pada saat
yang lain hatinya berubah. Inilah yang disebut dengan hal”.

5
http://istilahfilsafat.blogspot.com/2016/05/maqomat-dan-ahwal-serta-tahapannya-dalam-tasawuf.html di
akses pada tanggal 15/09/2021 pukul 21:03
6
Abdul Fattah,Tasawuf antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah, Jakarta:Khalifa,2005.hlm.110-111

4
C. TAHAPAN-TAHAPAN MAQAMAT DAN AHWAL.
1. TAHAPAN-TAHAPAN MAQAMAT
I. Taubat

Menurut Qamar Kailani dalam bukunya,Fi At-Tasawufi Al-Islam, taubat adalah rasa
penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta
meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa. Sementara Al-Ghazali
mengklasifikasikan taubat pada tiga tingkatan :

a) Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena
takut pada siksa Allah
b) Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi ysng lebih bsik lagi. Dalam
tasawuf, keadaan ini sering disebut “inabah”
c) Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada
Allah, hal ini sering disebut “aubah”

Menurut Sufi yang menyebabkan seseorang jauh dari Allah adalah karena dosa, dosa adalah
suatu hal yang kotor

II. Zuhud

Secara harfiyah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat duniawi, atau
meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Secara umum, zuhud dapat diartikan sebagai suatu
sikap melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kehidupan dunia dengan mengutamakan
kehidupan akhirat.

Menurut pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan, serta


kelezatannya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa.
Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus terlebih dahulu
menjadi zahid. Sikap zuhd ini erat hubungannya dengan taubah, sebabtaubah tidak akan
berhasil apabila hati dan keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi.

Mengenai pengertian zuhd ini terdapat berbagai variasi. Al-Junaidi berkata:


“Zuhd ialah keadaan jiwa yang kosong dari rasa memiliki dan ambisi menguasai.” Ali bin Abi
Talib ketika ditanya tentang zuhd, menjawab: “Zuhd berarti tidak peduli, siapa yang
memanfaatkan benda-benda duniawi ini, baik seorang yang beriman atau tidak.” Dan al-Syibli
ketika ditanya tentang zuhd, berkata: “Dalam kenyataannya zuhd itu tidak ada. Jika seseorang
bersikap zuhd pada sesuatu yang tidak menjadi miliknya, maka itu bukan zuhd, dan jika
seseorang bersikap zuhdpada sesuatu yang menjadi miliknya, bagaimana bisa dikatakan
bahwa itu zuhd,sedangkan sesuatu itu masih ada padanya dan dia masih
memilikinya? Zuhdberarti menahan nafsu, bermurah hati dan berbuat kebaikan.” Hal ini
seakan-akan mengisyaratkan bahwa dia mengartikan zuhd sebagai tindakan meninggalkan
sesuatu yang tidak menjadi miliknya. Dan jika sesuatu itu tidak menjadi milik seseorang,
maka tidak dapat dikatakan bahwa orang itu meninggalkannya, sebab sesuatu memang telah
tertinggalkan, sedangkan jika sesuatu itu menjadi milik seseorang, maka tidak mungkin orang
itu meninggalkannya. Namun, betapapun bervariasinya pengertian yang diberikan, tekanan
utama pada sikap zuhd adalah mengurangi keinginan terhadap kehidupan duniawi.

5
III. Faqr (Fakir)

Al-Faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah di punyai dan merasa
puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental
faqr merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi
sebab, sikap mental ini akan menghindarkan seseorang dari keserakahan.

Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang
miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah
ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-
kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak
meminta tetapi tidak menolak.

IV. Sabar

Sabar, berarti sikap konsekuen dan konsisten dalam melaksanakan semua perintah
Allah. Berani menghadapi kesulitan, tabah menghadapi cobaan selama perjuangan demi
mencapai tujuan.

Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan
amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan
terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa
sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks
yang berlebihan.

V. Syukur

Syukur adalah ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima. Syukur sangat
diperlukan karena semua yang kita lakukan dan miliki di dunia adalah berkat karunia Allah.
Allah lah yang telah memberikan nikmat kepada kita, baik berupa pendengaran, penglihatan,
Kesehatan, keamanan maupun nikmat-nikmat lainya yang tak terhitung jamlahnya.

VI. Rela (rida)

Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang di anugrahkan oleh Allah
SWT. Orang yang mampu melihat hikmah di balik cobaan yang diberikan Allah SWT dan
tidak berburuk sangka kepada Ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan,
kebesaran, dan kemaha sempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak
mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut.

Menurut Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha dengan Allah
dan ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan Allah berarti bahwa seorang
hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya, sedangkan ridha terhadap

6
apa yang datang dari Allah yaitu rela terhadap apa saja yang telah menjadi ketetapan Allah
Swt.

VII. Tawakal

Tawakal adalah salah satu sifat manusia beriman dan ikhlas. Hakikat tawakal adalah
menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT, membersihkan dari ikhtiar yang keliru, dan
tetap menapaki Kawasan-kawasan hukum tertentu.7

VIII. Ma’rifat

Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau


pengalaman. Ma’rifat dapat diartikan pula pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu
yang lebih tinggi dari pada ilmu yang didapat paa umumnya, dan merupakan
pengetahuan mengenai rahsia-rahasia Tuhan melalui pancaran Cahaya Ilahi. Adapun alat
untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh. Qalb yang telah suci akan
dipancari cahaya Ilahi dan akan dapat mengetahui segala rahasia Tuhan. Pada saat itulah,
seorang sufi sampai pada tingkatan ma’rifat. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan
nur Ilahi dan berkaitan dengan nur Ilahi. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata nur yang
dihubungkan dengan Allah. Di antaranya adalah:

Ma’rifat dalam pandangan al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah tentang segala yang
ada. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din membedakan jalan pengetahuan sampai kepada
Tuhan antara orang awam, ulama dan sufi. Bagi orang awam, keyakinan akan pengetahuan
tentang Allah dibangun atas dasar taqlid, yaitu hanya mengikuti perkataan orang lain tanpa
menyelidikinya.

2. TAHAPAN-TAHAPAN AHWAL
I. Muroqobah

Arti muroqobah adalah merasa bahwa Allah SWT. itu selalu mengawasi. Yang
dimaksud dengan muroqobah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan
sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Sehingga segala daya pikir dan
imajinasinya tertenju pada satu focus kesadaran tentang dirinya.

Muqorobah merupakan bentuk Ahwal yang sangat penting. Karena pada dasarnya
segala perilaku peribadatan adalah dalam rangka , muqarabah atau mendekatkan diri pada
Allah SWT.

Al-Qusyairi menyebutkan bahwa seorang bisa sampai pada keadaan muraqabah, jika
ia telah sepenuhnya melakukan perhitungan atau analitis terhadap perilakunya di masa lalu
dan melakukan perubahan-perubahan menuju perilaku yang lebih baik.

Hal penting yang harus ditunjukkan dalam muraqabah ini adalah konsistensi diri
terhadap perilaku yang baik atau seharusnya dilakukan. Konsistensui ini dapat diupayakan

7
https://joelbuloh.blogspot.com/2020/11/persamaan-dan-perbedaan-maqamat-dan.html diakses pada
tanggal 15/09/2021 pukul 21:03

7
dengan senantiasa mawas diri, sehingga tidak terjerumus atau terlena terhadap keinginan-
keinginan sesaat. Seorang yang muraqabah berarti menjaga diri untuk senantiasa melakukan
yang terbaik sesuai dengan kodrat dan eksistensinya. Oleh karenanya, seorang yang
melakukan muraqabah dibutuhkan disiplin yang tinggi.

Kedisiplinan inilah yang akan menghantarkan seseorang menuju keadaan yang lebih
baik dan menuju kebvahagiaan yang hakiki dan lebih abadi. Sementara ketidakdisiplinan
ditunjukkan dengan sikap sembrono serta mudah terlena dengan kenikmatan-kenikmatan
duniawi yang nisbi dan fana, yang semua itu akan dapat mendorongnya menuju kejatuhan
pada jurang kerendahan dan kehinaan8

II. Muhabbah

Secara etimologi, mahabbah mengandung beberapa arti, antara lain : bersih, putih,
tinggi dan jelas. Muhabbah (cinta), mengandung arti keteguhan dan kemantapan seseorang
yang sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu yang lainya.

III. Khauf

Khauf menurut Bahasa berarti takut, khawatir, atau tidak marasa aman. Al- Qusyari
mengemukakan bahwa khauf terkait dengan kejadian yang akan datang. Yakni akibat
datangnya sesuatu yang dibenci dan hilangnya sesuatu yang dicintai. Takut kepada Allah
berarti takut terhadap hokum-hukumnya baik didunia maupun di akhirat. Hal ini
sebagaimana firman Allah, yang artinya “maka takutlah kepada-Ku jika kamu orang-orang
yang beriman”. Dalam ayat lain juga diungkapkan, yang artinya “mereka menyeru kepada
Tuhan dengan penuh rasa takut dan harap”

Menurut al-Wasithi, perasaan takut (khauf) dan harap (raja’) merupakan pengendali bagi
diri seseorang dari perbuatan yang sia-sia. Karena ia akan senantiasa menjaga diri untuk
selalu melakukan yang terbaik dengan tanpa ada keraguan, ia merasa yakin, bahwa usaha
yang baik akan menghasilkan kebaikan pula. Adapun puncak dari perasaan takut adalah
sebuah kesadaran bahwa Allah menguasai wujud manusia yang paling dalam, yang pada
akhirnya perasaan takut dan harap itu akan hilang dengan sendirinya, karena takut dan harap
hanyalah akibat dari rasa inderawi yang bersifat manusiawi. 9

8
Hasyim Muhammad, op.cit,hal 47-48
9
Hasyim Muhammad, Op.cit, hal 49-50

8
IV. Raja’

Sebagaimana halnya khauf, Raja’ adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang
diinginkan terjadi di kehidupanya pada masa mendatang.

Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena
menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan
dalam al-Qur’an:

Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di
jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.(Al-Baqarah: 218).
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan
mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya
angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-
sia.
Raja’ menurut tiga perkara, yaitu:
a. Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b. Takut bila harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.
raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang
yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di
suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia
mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi
pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.

V. Shauq

Shauq merupakan luapan perasaan seseorang individu yang mengharapkan untuk


senantiasa bertemu dengan sesuatu yang dicintainya. Selama masih ada cinta, syauq tetap
diperlukan. Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yakni rindu ingin segera
bertemu dengan Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang
benar.Lupa kepada Allah lebih berbahaya dari pada maut.Bagi sufi yang rindu kepada
Tuhan,kematian dapat berarti bertemu dengan Tuhan.

9
Abu Ali Daqaq mengatakan “Syauq adalah dorongan hati untuk bertemu dengan yang
dicintai dan kuatnya dorongan sesuai dengan kuatnya cinta dan cinta baru berakhir setelah
melihat dan bertemu. 10

VI. Uns

Perasaan suka cita merupakan kondisi kejiwaan, dimana seseorang merasakan


kedekatan dengan Tuhan. Kondisi kejiwaan seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika
merasakan kedekatan dengan Allah. Yang mana, hati dan perasaan diliputi oleh cinta,
kelembutan, keindahan serta kasih sayang yang luar biasa , sehingga sangat sulit dilukiskan

Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani terpusat penuh kepada satu titik
sentrum, yaitu Allah.Dalam pandangan sufi, sifat uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak
pernah merasa sepi. Ungkapan berikut:

“Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan
kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang muda mudi.Ada pula orang
yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau
merencanakan tugas pekerjaannya semata – mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman
di mana pun berada. Akangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau
selalu berada dalam pemeliharan Allah.

Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.11

VII. Tuma’ninah

Tuma’ninah adalah keteguhan hati dari segala hal yang dapat mempengaruhinya. Hal
ini didasarkan pada firman Allah, yang artinya Orang-orang yang beriman dan tentram
hatinya dengan mengingat Allah,ingatlah dengan mengingat Allah hati menjadi tentram”
dengan firman Allah lainya yang artinya, “wahai jiwa yang tenang, kembalilah kehadirat
Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya. Masuklah dalam golongan hamba-
hambaku dan masuklah kesurga-Ku”.12

10
Hasyim Muhammad, Op.cit, hal 53
11
Hasyim Muhammad,Op.cit, hal 53-54
12
Ibid., hal 54-55

10
VIII. Musyahadah

Penjelasan mengenai musyahadah sering dikaitkan dengan uraian tentang muhadharah


dan mukasyafah. Muhadharah berarti kehadiran kelabu dan mukasyafah kehadiran kalbu
dengan sifat nyatanya, sedangkan musyahadah adalah kehadiran Al-haqq dengan tanpa
dibayangkan. 13

IX. Yaqin

Al-yaqin dalam terminology sufi adalah merupakan perpaduan antara ‘ilmu al-
yaqin,’ain al-yaqin, dan haqq al-yaqin. ‘ilmu al-yaqin dalam terminology pra ulama adalan
sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti. Sedangkan ‘ain al-yaqin, sesuatu ada dengan
disertai kejelasan. Haqq al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang menyertai
kenyataannya.14

13
Ibid., hal 56
14
Hasyim Muhammad,Op.cit ,hal 57

11
BAB 3

PENUTUP

KESIMPULAN
Dalam ilmu tasawuf, maqamat berrti kedudukan seorang hamba dalam pandangan
Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui ridhayah, ibadah, maupun
mujahadah. Disamping itu, maqamat berarti jalan Panjang atau fase-fase yang harus
ditempuh oleh seorang untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang
hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba
tidak akan mencapai maqam sebelumnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.

Ahwal dalam ilmu tasawuf sendiri adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang
dianugrahkan Allah kepada seorang hamba pada suatu waktu, baik dari buah amal saleh
yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.

SARAN
Untuk memahami ilmu tasawuf khususnya dalam maqamat dan ahwal, hendaknya
tidak hanya bertumpu pada satu literatur saja. Oleh karena itu makalah ini semoga menjadi
pemacu untuk semuanya yang membaca, terutama penulis sendiri untuk lebih mendalami
ilmu tasawuf, sehingga apa yang sudah dijelaskan dalam makalah ini bisa diaplikasikan
dalam kehidupan sehari hari menjadi lebih baik sesuai dari tujuan ilmu tasawuf itu sendiri.

12
DAFTAR PUSTAKA
1 M. Jamil. Cakrawala Tasawuf, dikutip dari al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf
(Cairo: Dar al-Khair, t.t.), 35.

2 https://www.bacaanmadani.com/2017/12/pengertian-dan-contoh-maqamat-dan-al.html. diakses tanggal


15/09/2021 pukul 21:03

3 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf,(Surabaya:IAIN SA Press,2011),hal.243

4 Hasyim Muhammad, Dialog antara tasawuf dan psikologi (Yogyakarta:Pustaka Belajar,2002),hal 26-27

5 http://istilahfilsafat.blogspot.com/2016/05/maqomat-dan-ahwal-serta-tahapannya-dalam-
tasawuf.html di akses pada tanggal 15/09/2021 pukul 21:03

6 Abdul Fattah,Tasawuf antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah, Jakarta:Khalifa,2005.hlm.110-111

7 https://joelbuloh.blogspot.com/2020/11/persamaan-dan-perbedaan-maqamat-dan.html diakses
pada tanggal 15/09/2021 pukul 21:03

8 Hasyim Muhammad, op.cit,hal 47-48

9 Hasyim Muhammad, Op.cit, hal 49-50

10 Hasyim Muhammad, Op.cit, hal 53

11 Hasyim Muhammad,Op.cit, hal 53-54

12 Ibid., hal 54-55

13 Ibid., hal 56

14 Hasyim Muhammad,Op.cit ,hal 57

13

Anda mungkin juga menyukai