Anda di halaman 1dari 26

Tugas Kelompok 7:

“MAQAMAT DAN AHWAL”

Disusun Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah:


Akhlak dan Tasawuf

Dosen Pengampu:
Fidian Abron, M.Pd

Disusun oleh :

1. Cherly Marchelyna 2271020010

2. Ike Safety Saleha 2271020027

Program Studi : Sistem Informasi


Semester: 2

Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan


Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
2022 M / 1444 H
Alamat:Jl. Endro Suratmin, Sukarame, Kec. Sukarame, Kota Bandar Lampung, Lampung 35131
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah memberi hidayah,
rahmat, serta karunianya kepada kami sehingga diberi kesempatan untuk menyelesaikan salah
satu tugas pembuatan makalah ini yang kami beri dengan judul “Maqamat dan Ahwal”.
Sholawat serta salam kita curahkan kepada Baginda kita Muhammad Saw, Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih yang tak terhingga pada dosen pengampu mata kuliah Teori dan Perilaku
Organisasi yaitu Bapak Fidian Abron, M.Pd serta teman-teman yang telah berpartisipasi dan
memberikan dukungan sebanyak-banyak nya dalam menyelesaikan masalah ini. Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak ketidak sempurnaan baik dari
segi tulis, segi bahasa dan pokok pembahasan.

Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari rekan-rekan dan
pembaca yang bersifat membangun serta semoga dengan selesainya makalah ini dapat
bermanfaat untuk memberikan wawasan serta pengetahuan bagi setiap pembaca nya. Amin Ya
Robbal Alamin.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Bandar lampung, April 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………… i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….……..ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………….………..1

A. Latar Belakang……………………………………………………………………….…….1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………….1
C. Tujuan………………………………………………………………………………………2
D. Manfaat……………………………………………………………………………………..2

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………...….3

A. Maqamat……………..……………………………………………………………...….…3
B. Ahwal……….………………………………………………………………………….….4
C. Macam-macam Maqamat………………………………………..….………….………6
a. Maqamat Taubat ……………………………………………….………..………….…..6
b. Maqamat zuhud……………………………….…………………………………….….6
c. Maqamat sabar………………………………………………….…………………..….7
d. Maqamat syukur……………………………………………………………………….8
e. Maqamat khauf……………………………………………….………..………….……9
f. Maqamat ridha dan tawakal……………………………………………….…………10
g. Maqamat mahabbah……………………………………………….………..………...12
h. Maqamat hakikat……………………………………………….………..……………14
i. Maqamat ma'rifat ………………………………………….…………………....……..14
D. Macam-macam Ahwal………….…………………………………...……………...…..17
a. Muhasabah dan Muraqabah………………………………………………….….........17
b. Hubb……………………………………………..…………………………………..….18
c. Raja’ dan Khauf……………………………………….…………..…………...……......18
d. Syauq……………………………………………….…………………..………….…....19
e. Pendekatan Situasional ……………………………………………………...……….....19
E. Perbedaan Maqamat dan Ahwal………….…………............................................….19

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………………..20

A. Kesimpulan………………………………………………………………………………..20
B. Saran………………………………………………………………………………………20

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf, sebagai aspek mistisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran adanya
hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk
rasa dekat (qurb) dengan Allah SWT. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai
pengalaman spiritual dzauqiyah manusia dengan Tuhan, yang kemudian memunculkan
kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya. Segala eksistensi yang relatif dan
nisbi tidak tidak ada artinya di hadapan eksistensi yang absolut. Semua sufi sependapat,
bahwa satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan seseorang ke hadirat Allah SWT.,
hanyalah dengan kesucian jiwa. Oleh karena jiwa manusia merupakan konsep atau
pancaran daripada zat Allah yang suci, maka segala sesuatu itu harus sempurna dan suci,
sekalipun tingkat kesucian dan kesempurnaan itu bervariasi menurut dekat dan jauhnya
dari sumber aslinya. Untuk mencapai hadirat Allah para sufi telah menyusun sistem
pembinaan akhlak dalam beberapa tahap, yaitu; takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli
diartikan dengan usaha mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan
hidup duniawi. Tahalli usaha menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat
dan sikap serta perbuatan yang baik. Adapun Tajalli yaitu terungkapnya nur ghaib bagi
hati.

Membicarakan tasawuf berarti memperbincangkan maqamat dan ahwal. Keduanya


dapat dikatakan sebagai rukun atau fondasi tasawuf. Tak mungkin ada tasawuf, baik ia
sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai amalan, tanpa kehadiran maqamat dan ahwal.
Dalam menjalani proses maqamat yang maha berat itu, jiwa seseorang sufi terbang
mengembara mencari dan menemukan hakikat hidup, manusia dan Tuhan Yang Maha
agung dan indah. Pada saat yang sama, ia juga mengalami ahwal; merasakan nikmatnya
berada puncak spiritual yang tak terkatakan dan tak bisa dilukiskan keindahannya. Puncak
kenikmatan dan keindahan ruhani itu- secara terbatas- oleh Abu Yazid disebut ijtihad, al-
Hallaj menyebutkan hulul, al-Ghazali menamainya ma’rifat, al-Sarraj menyebutnya
musyahadah, Rabi’ah dan Jalaluddin Rumi menamainya dengan mahabbah. Begitulah,
setiap sufi memiliki nama-nama atau istilah sendiri untuk melukiskan nikmat dan indahnya
bertemu Sang Kekasih, walaupun kata-kata itu sebenarnya tidak dapat menggambarkan
sejatinya pertemuan itu karena keterbatasan-keterbatasan (bahasa) manusia. Wallahu
A’lam bi al-Sawab.

B. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang di atas,agar dalam penulisan ini penulis
mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang direncanakan,maka penulis mengemukakan
beberapa rumusan masalah,sebagai berikut:
1. Apa pengertian Maqamat dan Ahwal?
2. Apa macam-macam Maqamat?
3. Apa saja Ahwal yang dijumpai dalam perjalanan sufi?
4. Apa perbedaan mendasar Maqamat dan Ahwal

1
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami pengertian maqamat dan ahwal
2. Mengetahui dan memahami macam-macam maqamat
3. Mengetahui dan memahami ahwal apa saja yang sering dijumpai dalam perjalanan
sufi
4. Mengetahui dan memahami perbedaan mendasar maqamat dan ahwal

D. Manfaat

Penulis berharap dengan diketiknya makalah ini dapat berguna bagi para pembaca
dan dapat memahami serta mengimplementasikan dari pentingnya sebuah amalan
maqamat dan ahwal dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam sebuah bentuk ketaatan
kita terhadap Allah SWT.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqamat dan Ahwal


a. Maqamat
Maqamat dalam terminologi tasawuf sangat berbeda dengan makam dalam
istilah umum yang berarti kuburan. Maqamat sendiri merupakan sebuah bentuk
kata jamak yang berasal dari kata maqam dan secara etimologis kata maqam,
berarti sebuah kedudukan spiritual. Maqamat arti dasarnya atau “tempat berdiri”.
Kaum sufi telah merumuskan teori-teori tentang jalan menuju Allah SWT, yakni
menuju ke suatu tahap ma'rifatullah (mengenal Allah SWT dengan hati). Secara
bertahap menempuh berbagai fase yang dikenal dengan maqamat yang berakhir
dengan ma’rifah kepada Allah SWT. Dalam terminologi sufistik berarti tempat
atau martabat seorang hamba di hadapan Allah SWT pada saat dia berdiri
menghadap kepada-Nya. Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan
oleh para Sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan
perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu
termasuk ego manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan
kendala untuk menuju Tuhan. Di dalam kenyataannya para Salikin memang untuk
berpindah dari satu makam ke makam lain memerlukan waktu bertahun-tahun.
Menurut al-Qusyairi maqamat adalah hasil usaha manusia dengan kerja
keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat
membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban. Sedangkan al-
Thusi sebagaimana yang ditahqiq oleh Abd Halim Mahmud mengatakan:

‫مقام العبد بين يدي هللا فيما يقام فيه من العبادات والمجاهدات والرياضات واإلنقطاع‬
‫إلى هللا‬
“Kedudukan hamba di hadapan Allah SWT yang diperoleh melalui kerja
keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa nafsu, latihan-latihan
kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti
kepada-Nya”.

Al Kalabadzi (w. 990/5) di dalam kitabnya “Al-Ta'arruf li Madzhab Ahl


Tasawuf”, sebuah kitab yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh
Arthur John Arberry dengan judul “The doctrine of the Sufi” menjelaskan ada
sekitar 10 maqamat, yaitu: Taubat, zuhud, sabar, faqir, dipercaya, tawadhu (rendah
hati), tawakal, ridho, mahabbah (cinta) dan ma’rifat. Ibn Arabi dalam kitab Al
futuhat Al Makkiyah (The Meccan Revelation) bahkan menyebutkan ada 60
maqamat tetapi tidak memperdulikan sistematika maqamat tersebut. Sedangkan
maqâmat menurut Ibn Atha’illah ada 9 tahapan, yaitu: taubat, zuhud, sabar, syukur,
khauf, raja’, ridha, tawakal, mahabbah dan Taubat. Dari pengertian tersebut dapat
dilihat bahwa maqamat adalah sebuah tingkatan seorang hamba

3
dihadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya.
Maqamat diperoleh melalui usaha-usaha yang dilakukan seorang hamba. Inilah
mungkin yang membedakan antara Maqamat dan al-Ahwal yang diperoleh melalui
anugerah dari Allah SWT. Sementara pada tingkatan urutan maqamat, para sufi
atau para ahli memiliki perbedaan pandangan mengenai hal ini, antara lain:
1) Al-Qusyairi berpendapat bahwa maqamat seorang sufi ada pada enam
tingkatan, yaitu: Taubat, Wara’, Zuhud, Tawakal, Sabar dan Ridha.
2) At-Thusi mengatakan ada tujuh tingkatan maqamat seorang sufi, yaitu:
Taubat, Wara’, Zuhud, Fakir, Sabar, Tawakal dan Ridha
3) Al-Ghazali mengemukakan ada sepuluh tingkatan maqamat seorang sufi,
yaitu: Taubat, Sabar, Syukur, Harap, Takut, Zuhd, Cinta, ‘Asyaq, Ansu
dan Ridha.
4) Al Kalabadzi berpendapat bahwa maqamat seorang sufi ada sepuluh yaitu:
Taubat, zuhud, sabar, faqir, dipercaya, tawadhu (rendah hati), tawakal,
ridho, mahabbah (cinta), dan ma’rifat.
5) Ibn Atha’illah ada 9 tahapan, yaitu: taubat, zuhud, sabar, syukur, khauf,
raja’, ridha, tawakal, mahabbah, dan Taubat.
6) Harun Nasution berpendapat bahwa maqamat meliputi beberapa hal, yaitu:
Taubat, Zuhud, Sabar, Tawakal dan Ridha.

Macam-macam maqamat-maqamat di atas harus dilalui oleh seorang sufi


yang sedang mendekatkan diri kepada Tuhannya. Karena urutan masing-masing
ulama sufi dalam menentukan urutan seperti yang tersebut di atas tidak seragam.
Maqâmat merupakan tahapan-tahapan thariqah/tarekat yang harus dilalui oleh
seorang salik, yang membuahkan keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik.
Salik sendiri merupakan orang yang menjalani disiplin spiritual dalam menempuh
jalan sufisme Islam untuk membersihkan dan memurnikan jiwanya. Semisal
maqâmat taubat; seorang salik dikatakan telah mencapai maqâmat ini ketika dia
telah bermujahadah dengan penuh kesungguhan untuk menjauhi segala bentuk
maksiat dan nafsu syahwati. Dengan demikian, maqâmat adalah suatu keadaan
tertentu yang ada pada diri salik yang didapatkan melalui proses usaha riyadhoh
(melatih hawa nafsu). Dengan demikian, bagi seorang salik untuk mencapai suatu
maqâm hendaknya salik menghilangkan segala kehendak dan angan-angannya
(isqath al-iradah wa al tadbir).

b. Ahwal
Ada banyak definisi berkaitan dengan ahwal yang bermunculan di berbagai
rujukan sufi, hal demikian memang dirumuskan oleh para sufi, diantaranya seperti
pandangan Al-Thusi yaitu:

‫وأما معنى األحوال فهو ما يحل به القلوب أو تحـل بـه القلوب من صفات األذكار ولبس‬

4
‫الحال من طريق المجاهدات والعبادات والرياضات كالمقامات التي ذكرنـا وهـي مثـل المراقبة‬
. ‫والقرب والمحبة والخوف والرجاء والشوق واألنس والطمأنينة والمشاهدة واليقين وغير ذلك‬
“Ahwal adalah keadaan hati yang selalu berzikir, dan bukanlah hal itu dilihat dari
metodologi mujahadah dan latihan-latihan seperti yang telah disebutkan
sebagaimana terdahulu. Ahwal tersebut seperti: merasa diawasi Allah SWT,
perasaan dekat dengan Allah SWT, rasa cinta, takut, harap, rindu. tenang, yakin
dan lainnya”.
Kutipan di atas menerangkan bahwa ahwal adalah suatu kondisi jiwa yang
diperoleh lewat kesucian hati. Hal adalah sebuah pemberian Allah SWT dan bukan
sesuatu yang diusahakan seperti maqamat. Sedangkan al-Qusyairi merumuskan
bahwa ahwal adalah suatu anugerah Allah SWT atau keadaan yang datang tanpa
wujud kerja atau usaha. Seperti halnya Maqamat, dalam wujud ahwal juga terjadi
perbedaan pendapat di kalangan para sufi tentang jumlah dan urutannya.
Sebagaimana al-Thusi yang mengatakan bahwa ahwal hanya meliputi pada hal-hal
sebagai berikut:

‫المراقبة والقرب والمحبة والخوف والرجاء والشوق واألنس والطمأنينة‬


.‫والمشاهدة واليقين‬

Ahwal adalah suatu kondisi atau keadaan jiwa yang diberikan Allah SWT tanpa
upaya yang seorang hamba yang bersangkutan. Meskipun jika ditelusuri terus akan
munculnya ahwal tersebut, maka seolah-olah ada kaitannya dengan usaha-usaha
yang dilakukan oleh seseorang pada fase-fase tertentu untuk membentuk dirinya.
Seperti halnya maqamat, hal digunakan kaum sufi untuk menunjukkan kondisi
spiritual. Kata hal dalam perspektif tasawuf sering diartikan “keadaan”. Maksudnya
keadaan dalam kondisi spiritual. Hal, sebagai sebuah kondisi yang singgah dalam
kalbu, merupakan efek dari peningkatan maqamat seseorang. Secara teoritis,
memang bisa dipahami bahwa kapanpun seorang hamba mendekat kepada Allah
dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah
memanifestasikan diri-Nya dalam kalbu hamba tersebut. Secara terminologis yang
dimaksud dengan ahwal ialah keadaan atau keadaan kondisi psikologis yang
dirasakan ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu. Ahwal merupakan sebuah
batasan teknis dalam disiplin tasawuf untuk suatu keadaan tertentu yang bersifat
tidak permanen. Hal masuk kedalam hati sebagai anugerah dan karunia Allah yang
tidak terbatas pada hamba-Nya. Hal tidak dapat dicapai melalui usaha, keinginan,
atau undangan. Hal datang dan pergi tanpa diduga duga. Keadaan spiritual banyak
jumlahnya dan kedudukan spiritual juga banyak. Dapat dikatakan bahwa hal
merupakan pemberian yang berasal dari Tuhan kepada hamba-Nya yang
dikehendaki. Pemberian itu pada kalanya tanpa melalui usaha. Tidak semua orang
berusaha itu berhasil, namun yang menjadi dambaan bagi setiap orang yang
menjalani tasawuf. Hubungan antara usaha dan hasil dalam perkara ini tidak
bersifat mutlak.

5
B. Macam-macam Maqamat
Berbagai bentuk maqam tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Maqamat Taubat
At-Taubah dapat diartikan memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan-
kesalahan yang dilakukan, disertai janji-janji yang sungguh- sungguh untuk tidak
mengulangi dosa-dosa atau kesalahan serupa, kemudian disertai dengan amal
sholeh. Di kalangan sufi taubat juga dimaknai “keharusan untuk memohon
ampunan dari rasa dengki, riya, kelalaian mengingat Allah SWT dan penyakit hati
lainnya. Taubat adalah maqamat awal yang harus dilalui oleh seorang salik.
Sebelum mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-
maqam lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya
langkah awal yang benar. Cara taubat sebagaimana pandangan Ibnu Athaillah
adalah dengan bertafakur dan berkhalwat. Sedang tafakur itu sendiri adalah
hendaknya seorang salik melakukan introspeksi terhadap semua perbuatannya di
siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah
SWT, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia
mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera
beristighfar dan bertaubat kepada-Nya. Untuk mencapai maqamat taubat ini,
seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa iradah (kehendak) Allah
SWT meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan
lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya. Bertaubat
adalah suatu ibadah yang diperintahkan baik di dalam al-Qur’an maupun dalam
sunnah Rasulullah SAW.

َ‫ّٰللاِ َج ِم ْيعًا اَيُّهَ ْال ُمؤْ ِمنُ ْونَ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْون‬


‫َوت ُ ْوبُ ْْٓوا اِلَى ه‬
Artinya: “Dan Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah SWT hai orang-orang
yang beriman supaya kamu beruntung” (an-Nur ayat: 31).

Nabi Muhammad SAW., sebagai hamba Allah SWT yang maksum (terbebas
dari berlaku salah) bersabda: “Wahai manusia bertaubatlah dan memohon
ampunan kepada Allah SWT, sesungguhnya saya bertaubat dalam sehari seratus
kali”. Adapun hal yang dapat membangkitkan maqamat taubat ini adalah berbaik
sangka (husnudz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah
perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah besar
sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.

b. Maqamat Zuhud
Dalam pandangan Ibn ‘Atâ’illah, zuhd ada dua macam; Zuhd Zahir Jalî seperti
zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara halal, seperti: makanan,
pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan duniawi. Dan Zuhd Bâtin
Khafî seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan
juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”. Pada tingkatan zuhud

6
yang tertinggi adalah ketika seorang sufi memandang segala sesuatu di dunia ini
tidak ada artinya, kecuali Allah SWT. Pada tingkatan ini seorang sufi
meninggalkan kehidupan dunia bukan dikarenakan imbalan akhirat, tapi karena
kecintaannya kepada Allah SWT semata. Hakikat zuhud dapat ditemukan di
sejumlah ayat al-Qur’an di antaranya:

ٰ ْ ‫قُ ْل َمتَاعُ ال ُّد ْنيَا قَ ِل ْي ٌۚ ٌل َو‬


ْ ُ ‫اْل ِخ َرة ُ َخي ٌْر ِلِّ َم ِن اتَّ ٰق ۗى َو َْل ت‬
‫ظلَ ُم ْونَ فَتِي ًْل‬
Artinya: “Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih
baik bagi orang-orang yang bertaqwa (mendapat pahala turut berperang) dan
kamu tidak akan dizalimi sedikit pun.”” (an-Nisa ayat:77).

Hal yang dapat membangkitkan maqâmat zuhd adalah dengan merenung


(ta'amul). Jika seorang sâlik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan
mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah SWT, dia akan
mendapatkannya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Kalau sudah demikian,
maka sâlik akan zuhud terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk
keindahan dunia yang menipu. Maqâmat zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati
sâlik masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa hasad kepada manusia yang
diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibnu
‘Atâ’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau hasad kepada mereka yang
diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan
kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh
daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang
mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau
dapatkan”.

Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan
kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan
dunia yang tidak didapat. Seorang salik tidak dituntut menjadi orang yang fakir
yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua;
yaitu saat kenikmatan dunia tidak ada dan saat kenikmatan dunia itu ada. Ini
dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh sâlik, maka dia akan
menghargainya dengan bersyukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena
Allah SWT. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka dia merasa nyaman,
tenang dan tidak sedih.

c. Maqamat Sabar
Ibnu ‘Athaillah membagi sabar menjadi tiga macam:
1. Sabar terhadap perkara haram,
2. Sabar terhadap kewajiban, dan
3. Sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia.
Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan
keharusan untuk menyembah kepada Allah SWT. Segala sesuatu yang menjadi

7
kewajiban ibadah kepada Allah SWT akan melahirkan bentuk sabar, yang ketiga
yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan
kepada-Nya. Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan
sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Semua hal yang termasuk
dalam kewajiban ibadah kepada Allah SWT mewajibkan pula atas salik untuk
meniadakan segala angan-angannya bersama Allah SWT”.
Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri.
Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah SWT kepada salik dan
orang-orang yang dipilih-Nya. Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang
sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah SWT, serta menanggalkan
segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.

d. Maqamat Syukur
Syukur dalam pandangan Ibnu ‘Athaillah terbagi menjadi 3 macam; pertama
syukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang
didapat. Kedua, syukur dengan anggota tubuh, yaitu syukur yang
diimplementasikan dalam bentuk ketaatan. Ketiga, syukur dengan hati, yaitu
dengan mengakui bahwa hanya Allah SWT Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk
kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata mata dari-Nya. Sebagaimana
diungkapkan oleh Ibnu ‘Atha'illah:

“Dalam syukur menurut Ibnu ‘Athaillah terdapat tiga bagian; syukur


lisan yaitu memberikan kenikmatan (pada orang lain), saukur badan
adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah SWT, dan syukur hati
adalah mengakui bahwa Allah SWT semata Sang Pemberi nikmat. Dan
segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata dari
Allah SWT”.

Ibnu ‘Athaillah juga menjelaskan bahwa bentuk syukur orang yang berilmu
adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk
kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk syukur orang yang diberi kenikmatan
kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang
membutuhkan. Bentuk syukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan
kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap
orang-orang yang ada dalam kekuasaannya. Lebih lanjut Ibn ‘Atâ’illah
memaparkan bahwa syukur juga terbagi menjadi 2 bagian; syukur zâhir dan syukur
bâtin. Syukur zâhir adalah melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi segala
larangan-Nya. Sedangkan syukur bâtin adalah mengakui dan meyakini bahwa
segala bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah SWT semata. Manfaat dari syukur
adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan
semakin bertambah. Ibnu ‘Athaillah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak
mensyukuri nikmat yang didapat, maka bersiap siaplah untuk menerima sirnanya
kenikmatan tersebut. Dan jika dia mensyukurinya, maka rasa syukurnya akan
menjadi pengikat kenikmatan tersebut. Allah SWT berfirman:

8
‫ش َك ْرت ُ ْم َأل َ ِزيدَنَّ ُك ْم‬
َ ‫لَئِ ْن‬
Artinya: “Jika kalian bersyukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah
kenikmatan itu”.

Jika seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah SWT
kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal
inilah yang telah diperingatkan oleh Ibnu ‘Athaillah.
Lebih lanjut Ibnu ‘Athaillah menambahkan hendaknya seorang salik selalu
bersyukur kepada Allah SWT sehingga ketika Allah SWT memberinya suatu
kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-
Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat. Meskipun pada dasarnya semua
kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah SWT, syukur kepada makhluk juga
menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus bersyukur terhadap apa yang telah
diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan syari‘at, seraya
mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut
adalah dari Allah SWT.
Aktualisasi syukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk
angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan
Allah SWT kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari
sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki
potensi untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Dengan akal ini manusia dapat
berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi
untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan
diberikan oleh Allah SWT. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam
pengejawantahan syukur.

e. Maqamat Khauf
Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut
atas sirnanya hal dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah SWT memiliki
kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah SWT
berkehendak untuk mencabut suatu maqâm dan hal yang ada pada diri salik,
seketika itu juga Allah SWT akan mencabutnya. Bukti dari makna ini
mengharuskan maqâm khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki
ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus maqâm
khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian
dan kehendak Allah SWT terwujud. Khauf seorang sâlik bukanlah sekedar rasa
takut semata. Khauf pasti diiringi dengan rajâ’ (harapan) kepada Allah SWT,
karena khauf adalah pembangkit dari rajâ’. Maqâm khauf adalah maqâm yang
membangkitkan maqâm rajâ’. Rajâ’ tidak akan ada jika khauf tidak ada. Ibn
‘Atâ’illah menyatakan bahwa jika sâlik ingin agar dibuka baginya pintu rajâ’ maka
hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah SWT kepadanya berupa anugerah
maqâm, hal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka
baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang dia

9
berikan kepada Allah SWT berupa peribadatan dan ketaatan penuh pada-Nya.
Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atâ’illah:

”Jika engkau ingin agar Allah SWT membukakan bagimu pintu rajâ’,
maka lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah SWT kepadamu. Dan
jika engkau ingin agar Allah SWT membukakan bagimu pintu khauf,
maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.”

Rajâ’ bukan semata-mata berharap, rajâ’ harus disertai dengan perbuatan. Jika
rajâ’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah
angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang sâlik untuk
menyertakan rajâ’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat
mendekatkan dirinya kepada Allah SWT secara berkelanjutan. Jika rajâ’ sudah ada
dalam diri sâlik, maka rajâ’ ini akan semakin menguatkan khauf yang ada pada
dirinya. Karena suatu harapan, pasti akan disertai dengan rasa takut akan sesuatu,
sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajâ’, dan rajâ’ akan
menjadi penguat khauf.

f. Maqamat Ridha dan Tawakal


Ridha dalam pandangan Ibnu ‘Athaillah adalah penerimaan secara total
terhadap ketentuan dan kepastian Allah SWT. Hal ini didasarkan pada QS. al-
Mâ’idah ayat 119:
‫ضوا َع ْنه‬
ُ ‫ّٰللاُ َع ْن ُه ْم َو َر‬
َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬
ِ ‫َر‬
Artinya: “Allah SWT ridha terhadap mereka, dan mereka ridho kepada Allah SWT”
( QS. al-Mâ’idah: 119).

Dan juga sabda Rasulullah SAW: “Orang yang merasakan [manisnya] iman
adalah orang yang ridha kepada Allah SWT”.

Maqamat ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan
tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan Allah SWT. Jika maqamat ridha sudah
ada dalam diri sâlik, maka sudah pasti maqâm tawakkal juga akan terwujud. Oleh
karena itu, ada hubungan yang erat antara maqâm ridha dan maqâm tawakal. Orang
yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah SWT, dia akan menjadikan
Allah SWT sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh
kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqâmat tawakal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala
sesuatu ada dalam kekuasaan Allah SWT. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hûd
ayat 123 Allah SWT berfirman:

‫َو ِإلَ ْي ِه يُ ْر َج ُع ْاأل َ ْم ُر كُلُّهُ فَا ْعبُ ْدهُ َوت ََو َّك ْل َعلَ ْي ِه َو َما َرب َُّك ِبغَافِل َع َّما تَ ْع َملُون‬
Artinya: “Kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan
bertawakkAllah SWT kepada-Nya.” ( QS. Hûd:123).

10
Sebagaimana maqâm-maqâm lainnya, maqâm ridha dan tawakal tidak akan
benar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Atâ’illah menyatakan bahwa
angan angan itu bertentangan dengan tawakal, karena barangsiapa telah berpasrah
kepada Allah SWT, dia akan menjadikan Allah SWT sebagai penuntunnya, dia
akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika sudah demikian
tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.

Perencanaan (tadbîr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang


yang bertawakal kepada Allah SWT adalah orang yang menyerahkan kendali
dirinya kepada Allah SWT, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala
urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiada lagi
perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir. Peniadaan
perencanaan (isqat tadbîr ) juga terkait dengan maqâm tawakkal dan ridha. Hal ini
jelas, karena seorang yang ridha maka cukup baginya perencanaan Allah SWT
atasnya. Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencana bersama Allah SWT,
sedangkan dia telah rela dengan perencanaanNya. Apakah engkau tidak tahu bahwa
cahaya ridha telah membasuh hati dengan curhat perencanaanNya. Dengan
demikian, orang yang ridha terhadap Allah SWT telah dianugerahkan baginya
cahaya ridha atas keputusan-Nya, maka tiada lagi baginya perencanaan bersama
Allah SWT.

Hikmah ridha kepada qadhâ’ dan qadar antara lain dapat menghilangkan
kesulitan dan kesusahan hidup. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi
dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh sungguh disanalah
seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada
dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak berkesudahan.
Dasar ridha akan qadhâ’ dan qadar, ialah firman Allah SWT dalam al-Qur’an:

ِ ‫صي َبةٌ قَالُوا ِإنَّا ِ َّّلِلِ َو ِإنَّا ِإلَ ْي ِه َر‬


. َ‫اجعُون‬ َ َ‫الَّذِينَ ِإذَا أ‬
ِ ‫صا َبتْ ُه ْم ُم‬
Artinya: “Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana
berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah SWT, dan kami
(semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.” ( QS.al-Baqarah:156).

Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia ridha, hatinya tidak boleh
mendongkol. Ridha dengan qadhâ’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa
diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.

Meridhai qadhâ’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu,
sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tidak dibenarkan seseorang meridhoi
kekafiran dan kemaksiatan.

Ridha dengan takdir Allah SWT adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia
serta membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah SWT, juga dapat
mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana. Dialah obat
yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati. Dengan ridha

11
atas segala ketetapan Allah SWT, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak
gelisah. Seseorang wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang,
ada kalanya juga merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih suka
mengoreksi segala amal perbuatan pada masa-masa yang lampau, agar seseorang
dapat mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa
yang akan datang. Menyerah kepada qadhâ’illah (keputusan takdir) Allah SWT
termasuk tidak boleh mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak
ikut rombongan ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini,
sebagaimana firman Allah SWT :

‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل تَ ُكونُوا َكالَّذِينَ َكفَ ُروا َوقَالُوا ِ ِإل ْخ َوانِ ِه ْم ِإنَّا ضربوا فِي‬
‫ض أَ ْو َكانُوا َع َّزى لَ ْو َكانُوا ِع ْندَنَا َما َماتُوا َو َما قُتِلُوا لتجعل هللا ذلك‬ ِ ‫ْاأل َ ْر‬
‫ير‬
ٌ ‫ص‬ ِ َ‫حسرة في قلوبهم وهللا يُحْ يِي َويُ ِميتُ وهللا بما تَ ْع َملُونَ ب‬
Artinya: “Hai orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir,
yang berkata kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi,
atau sedang bertempur: Sekiranya bersama-sama kami, niscaya mereka tidak akan
mati, dan tidak akan terbunuh. Yang demikian karena Allah SWT hendak jadikan
yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka dan Allah SWT menghidupkan dan
mematikan, dan Allah SWT Maha melihat akan apa yang engkau kerjakan” ( QS.al-
Imran:156).

g. Maqamat Mahabbah
Bagian terpenting dari tujuan sufi adalah memperoleh hubungan langsung
dengan Tuhan, sehingga dirasakan dan disadari berada di hadirat Tuhan.
Keberadaan di hadirat Tuhan itu diyakini sebagai kenikmatan dan kebahagiaan
hakiki. Akan tetapi dalam mengartikan hadirat Tuhan itu ternyata terdapat
perbedaan konseptual. Perbedaan itu bersumber dari ketidaksamaan konsepsi
mereka mengenai hakikat Tuhan dan manusia. Sebagian sufi berpendapat bahwa
Allah SWT adalah puncak kecantikan dan kesempurnaan, sementara yang
menyatakan sebagai iradah, nurul anwar dan juga disebut ilmu dan ma’rifah. Di
pihak lain, diyakini sebagai masinis dan alam ini adalah mazahir atau radiasi dari
hakikat Tuhan, jiwa atau roh manusia adalah pancaran dari nurul anwar. Untuk
mencapai hadirat Tuhan, harus melalui penyucian jiwa atau purgative (takhalli)
yang berlanjut kepada contemplativa (tahalli) yang berujung ke tingkat illuminative
(tajalli). Ketiga proses ini harus diisi dengan melalui stasiun – stasiun atau
maqamat.14 Al-Hub atau mahabbah adalah satu istilah yang selalu berdampingan
dengan ma’rifat, karena nampaknya manifestasi dari mahabbah itu adalah tingkat
pengenalan kepada Tuhan yang disebut dengan ma’rifat. Al-Hubb mengandung
pengertian terpadunya seluruh kecintaan hanya kepada Allah SWT yang
menyebabkan adanya rasa kebersamaan dengan-Nya. Seluruh jiwa dan segenap
ekspresinya hanya diisi oleh rasa cinta dan rindu kepada Allah SWT, rasa cinta dan
rindu yang tumbuh karena keindahan dan kesempurnaan zat Allah

12
SWT, tanpa motivasi lain kecuali hanya kasih Allah SWT, sebagaimana yang
disenandungkan oleh Rabi’ah al-Adawiyyah (w. 185 H)15 dengan syairnya:

‫ وإذا كنت‬.‫إلهى لو كنت أعبدك خوفا مـن نــارك فـي احلفني بــارك جهنم‬
‫أعبدك طمعا في جنتك فاحرمني هـا و إن كنت أعبدك من أجل محبتك فال‬
‫تحرمني من مشاهدة وجهك‬
“Tuhanku, bila mana aku menyembahMu karena takut akan nerakaMu,
maka campakkan aku kedalamnya, dan bila mana aku menyembahMu
karena harap bisa masuk surga-Mu, maka diharamkan ia untukku, tapi
bila mana aku menyembahmu karena kasihku pada-Mu, maka jangan lah
tutup wajahMu dari pandanganku”.

Kondisi kecintaan yang tanpa pamrih demikian hanya akan tercapai dengan
melalui proses perjalanan panjang dan berat (riyadhah dan mujahadah), sehingga
pengenalannya kepada Allah SWT menjadi sangat jelas dan pasti. Yang dihayati
dan dirasakan bukan lagi cinta tapi diri yang dicinta.
Imam al-Ghazâlî berpendapat bahwa maqâm mahabbah adalah maqâm tertinggi
dari sekian maqâmmaqâm dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa mahabbah
adalah tujuan utama dari semua maqâm, dia adalah gerbang tertinggi untuk
mencapai ma’rifat kepada Allah SWT. Namun, Ibn ‘Atâ’illah memiliki pandangan
yang berbeda tentang konsep mahabbah bahwa dalam mahabbah seorang sâlik
harus menanggalkan segala angan-angannya. Dia berpendapat demikian karena
alasan bahwa sâlik yang telah sampai pada mahabbah (cinta) bisa jadi dia masih
mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak
bahwa rasa cinta sâlik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan
balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang yang rela
mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintainya, dan tidak
mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya, dalam konteks ini adalah
Allah SWT.
Mahabbah (cinta) kepada Allah SWT adalah tujuan luhur dari seluruh maqâm,
titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqâm setelah mahabbah, karena
mahabbah adalah hasil dari seluruh maqâm, menjadi akibat dari seluruh maqâm,
seperti rindu, senang, ridha dan lain sebagainya. Dan tiadalah maqâm sebelum
mahabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqâm,
seperti taubat, sabar, zuhud dan lain sebagainya...” Untuk dapat mencapai hal
tersebut diatas, maka seorang salik disyaratkan terlebih dulu mengambil baiat
(janji) pada seorang guru tarekat (Mursyid). Dimana tugas seorang guru Mursyid
adalah membimbing dan mengarahkan agar seorang salik tidak terjerumus kedalam
kesesatan. Baiat tarekat merupakan pintu utama memasuki dunia tasawuf. Maka
dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut
aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya.

13
h. Maqamat Hakikat
Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau
dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu
kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan definisinya sebagai berikut:
a. Asy-Syaikh Abu Bakar Al-Ma’ruf mengatakan:
“Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Salik (Sufi) ketika ia mencapai
suatu tujuan, sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan
mata hatinya”.
b. Imam Al-Qusyairi mengatakan:
“Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan,
disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah SWT
kepada hamba-Nya”.

Hakikat yang didapatkan oleh Sufi setelah lama menempuh Tarekat dengan
selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya.
Karena itu, Ulama Sufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:
1. Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan
indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang
kebenaran Allah SWT sebagai penciptanya;
2. Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis
pemikiran ketika melihat kebesaran Allah SWT pada alam semesta ini.
3. Haqqul Yaqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Sufi
tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya
mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah SWT
langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal.
Pengalaman batin yang sering dialami oleh Sufi, melukiskan bahwa betapa
erat kaitan antara hakikat dengan ma’rifat, dimana hakikat itu merupakan tujuan
awal Tasawuf, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan akhirnya.

i. Maqamat Makrifat
Istilah Ma’rifat berasal dari kata “Al-Ma’rifah” yang berarti mengetahui atau
mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka
istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allah SWT ketika sufi mencapai maqam
dalam Tasawuf. Dalam istilah tasawuf berarti pengetahuan yang sangat jelas dan
pasti tentang Tuhan yang diperoleh melalui sanubari. Karena jelas dan pastinya
pengetahuan itu, menyebabkan seseorang merasa haru dengan yang diketahuinya
itu.
Tidak mudah melacak siapa sufi pertama yang mengartikan ma’rifat secara khas
seperti demikian di atas, namun apabila dilihat kembali kepada definisi tasawuf,
maka akan terlihat bahwa Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H) sudah menggunakan term
ini, ketika beliau mengatakan “Tasawuf adalah bersikap zuhud dan makrifat”.
Selain Ma’ruf ada juga al-Darani (w. 215 H), beliau juga menggunakan istilah
ma’rifat ketika menjelaskan makna tasawuf. Dalam catatan sejarah dapat diketahui
al-Misri (w. 245 H) adalah orang yang pertama

14
menganalisis ma’rifat secara konsepsional. Ia mengklasifikasikan ma’rifat kepada
tiga kelas, yakni:
● Ma’rifat tauhid sebagai ma’rifatnya orang awam ,
● Ma’rifat al-burhan wa al-istidlal yang merupakan ma’rifatnya mutakallimin dan
filosof, yaitu pengetahuan tentang Tuhan melalui pemikiran dan pembuktian
akal,
● Ketiga makrifat para wali, yaitu pengetahuan dan pengenalan tentang Tuhan
melalui sifat-sifat dan ke Esa-an Tuhan. Dengan demikian apabila dilihat dari
sisi epistimologi, maka ada tiga metode ma’rifat yang berbeda, yakni metode
transmisi, metode akal budi dan metode ketersingkapan langsung.

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf


lainnya; yaitu:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang
mengatakan: “Makrifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya)
wujud yang wajib adanya (Allah SWT) yang menggambarkan segala
kesempurnaannya.”
b. Asy-Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiri mengemukakan pendapat
Abuth Thayyib AsSamiriy yang mengatakan: “Ma’rifat adalah hadirnya
kebenaran Allah SWT (pada Sufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan
dengan Nur Ilahi...”
c. Imam Al-Qusyairi mengemukakan pendapat Abdurrahman bin Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan: membuat ketenangan (dalam akal pikiran).
Barangsiapa yang meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan
(hatinya).”

Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada
tingkatan ma’rifat. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan makrifat, memiliki
tanda tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang
mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada
tingkatan ma’rifat, antara lain:
a) Selalu memancar cahaya makrifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya.
Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b) Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat
nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c) Tidak menginginkan nikmat Allah SWT yang banyak buat dirinya, karena hal
itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan
kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat
menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT, sehingga Asy-Syekh
Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifat yang dimiliki Sufi, cukup
dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama
dengan Tuhan-nya.

15
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhannya ketika mencapai tingkat
ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melakukannya sebagai berikut:
a. Imam Rawi mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat,
bagaikan ia berada di muka cermin, bila ia memandangnya, pasti ia melihat
Allah SWT di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin,
karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan nya. Maka tiada lain yang dilihatnya
dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.
b. Al-Junaid Al-Baghdadi mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna
gelasnya. Maksudnya, Sufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu
menyerupai sifat-sifat dan kehendakNya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang
Sufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya
kepada Allah SWT terputus meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifat itu adalah keadaan
yang diliputi rasa kekaguman dan keheranan ketika Sufi bertatapan dengan
Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.

Sampai di mana tingkat ma’rifat manusia tentang Tuhan, terdapat perbedaan


interpretasi di kalangan sufi. Al-Ghazali berpendapat bahwa ma’rifat itu tidak
menyebabkan seorang menjadi padu atau bersatu dengan Tuhan. Menurutnya
pengertian ma’rifat adalah mengetahui mata hati. Karena jelas dan terangnya
pengetahuan itu, maka ia mengungkapkan dalam kalimat “nazhar ila wajhillahi“
melihat wajah Allah SWT. Maksudnya melihat wajah Allah SWT dengan mata
hatinya, bukan dengan mata indranya. Oleh karena itu orang arif yang sudah
sampai ma’rifat tidak lagi menyeru Tuhan dengan kalimat ya Allah SWT karena
ucapan seperti itu menunjukkan pengertian bahwa Allah SWT masih berada di
belakang tabir dan jauh, padahal bagi orang arif tabir itu sudah tiada, maka tidak
perlu lagi saling memanggil. Menurut al-Ghazali inilah maqam tertinggi dari
berbagai maqam yang harus dilalui orang seorang sufi. Namun berbeda halnya
dengan apa yang dipersepsikan oleh Abu Yazid al Bustami, al-Hallaj, al Faridh dan
sufi yang beraliran sama dengan mereka. Menurut mereka bahwa tingkatan itu
masih dapat dilampaui oleh manusia yaitu tingkat fana fillah.

Sejak perkembangannya ma’rifat dan hakikat di kalangan sufi, menjadikan


konsep ini sebagai salah satu ajaran pokok dalam tasawuf. Bahkan kemampuan
seseorang untuk mencapai tingkatan ini menjadi tolak ukur bagi seseorang apakah
ia sudah berhak disebut sufi atau belum. Dengan kata lain, bahwa seorang zahid
atau salik disebut sufi apabila telah mencapai kedekatan dan keakraban dengan
Tuhan tanpa penghalang tabir. Makin tinggi kelas seorang salik, maka makin tinggi
pula ma’rifatnya.21 Untuk tercapai pada fase ma’rifat, maka seorang sufi harus
melalui beberapa tahapan. Dan tahapan yang harus dilalui oleh Sufi ketika
menekuni ajaran tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat,
Tarekat, Hakikat dan Ma’rifat. Dan tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik
dan tidak pula secara terputus-putus. Dengan cara menempuh

16
tahapan tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami
kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan. Adapun tingkatan maqam menurut
Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Tingkatan Taubat (At-Taubah);
b. Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan makruh, serta yang
syubhat (Al-Wara’);
c. Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (AzZuhdi);
d. Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru);
e. Tingkatan Sabar (Ash-Shabru);
f. Tingkatan Tawakal (At-Tawakkul)
g. Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridha).

C. Macam-macam Ahwal

Ahwal adalah jama' dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Secara
terminologi ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Hal masuk dalam hati
sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah. Hal datang dan pergi dari diri seseorang
tanpa usaha ataupun perjalanan tertentu. Karena hal datang dan pergi secara tiba-tiba
dan tidak disengaja, maka Al-Qusyairi mengatakan bahwa pada dasarnya maqamat
adalah upaya (makasib) sedangkan hal adalah karunia (mawahib) yang diberikan Allah
sehingga hal datang tidak ditentukan oleh waktu tertentu.

Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagaimana disebutkan diatas,


seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan
mental tersebut seperti riyadah (latihan mental dengan melaksanakan dzikir dan tafakur
yang sebanyak-banyaknya serta melatih diri bersifat yang terdapat dalam maqam),
mujahadah (berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah), khalwat
(Menyepi atau bersemedi), uzlah (mengasingkan diri dari keduniaan), muraqabah (
mendekatkan diri kepada Allah), dan suluk (menjalankan hidup sebagai sufi dengan
cara dzikir dan dzikir). Hal-hal yang dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain
waspada dan mawas diri (muhasabah dan muraqabah), kehampiran atau kedekatan
(qarb), cinta (hubb), takut (khauf), harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram
(tuma'ninah), penyaksian (musyahadah), dan yakin. Adapun beberapa macam-macam
ahwal yang diantaranya yaitu:

1) Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah)


Waspada dan mawas diri merupakan hal yang saling berkaitan erat, keduanya
merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan perasaan jasmani

17
yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah. Waspada dapat
diartikan meyakini bahwa Allah SWT mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan
rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk
kepada Allah SWT. Adapun mawas diri adalah meneliti dengan cermat apakah
segala perbuatannya sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang
dikehendaki-Nya.

2) Cinta (Hubb)
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara
harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang
mendalam. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada
sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang
bersifat material maupun spiritual. Kata mahabbah selanjutnya digunakan pada
suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah objeknya
lebih ditujukan kepada Tuhan. Dalam pandangan tasawuf, mahabbah merupakan
pijakan bagi segenap kemuliaan hal, sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi
kemuliaan maqamat. Karena mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang
menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-
anugerah. Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan
atau kecantikan.

3) Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)


Raja’ berarti berharap atau optimisme, adalah perasaan hati yang senang karena
menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja tela ditegaskan dalam Al-
Quran:

ْٓ
ِ ِۚ َّ َ‫ٱّلِل أ ُ ْو َٰ َلئِكَ َير ُجونَ َرح َمت‬
‫ٱّلِل‬ َ ‫ِإ َّن ٱلَّذِينَ َءا َمنُواْ َوٱلَّذِينَ هَا َج ُرواْ َو َٰ َج َهدُواْ فِي‬
ِ َّ ‫س ِبي ِل‬
ٞ ُ‫ٱّلِلُ َغف‬
‫يم‬ٞ ‫ور َّر ِح‬ َّ ‫َو‬

Artinya: “sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang


berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang
mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.
(Q.S Al-Baqarah: 218).

Raja menuntut tiga perkara:

18
a. Cinta pada apa yang diharapkannya.
b. Takut harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.

Setiap orang yang berharap adalah orang yang takut (khauf). Orang yang
berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat.
Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang
akan menimpa diri pada masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba
berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.

4) Rindu (Syauq)
Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yang rindu ingin segera
bertemu dengan Tuhan. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan, mati dapat berarti
bertemu dengan Tuhan., sebab hidup merintangi pertemuan ‘abid dan ma’bud-nya.

5) Intim (Uns)
Dalam pandangan kaum sufi, sifat Unsur adalah sifat merasa selalu berteman,
tak pernah merasa sepi. Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.

D. Perbedaan Maqamat dan Ahwal


Secara historis, konsep maqamat dan ahwal diduga muncul pertama kali pada abad
1 Hijriyah. Sosok yang memperkenalkan kedua termos tersebut adalah Ali bin Abi
Thalib. Hal ini dapat ditelusuri ketika para sahabat berkonsultasi tentang iman. Ia
menjawab bahwa iman itu adalah bersumber pada empat fondasi yaitu taqwa, sabar,
adil, jihad, yang masing-masing pondasi tersebut mempunyai tingkatan( maqamat).

Para sufi sendiri secara teliti menegaskan perbedaan maqam dan ahwal. Maqam,
menurut mereka, ditandai oleh kemapanan. Sementara itu, ahwal justru mudah hilang.
Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya. Sementara itu, ahwal
dapat diperoleh secara sengaja. Hal diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan
menari, bersedih hati, bersenang-senang, rasa mencekam, rindu, gelisah, atau harap.
Jelasnya, hal sama dengan bakat, sedangkan maqam diperoleh dengan daya dan upaya.
Hal akan datang dengan sendirinya, sementara maqam diperoleh dengan berupaya.
Orang yang meraih maqam tetap dalam tingkatannya, sementara orang yang meraih
ahwal justru akan mudah lepas dirinya.

Secara mendasar, perbedaan maqamat dan ahwal ini baik dari cara mendapatkannya
maupun perlangsungannya yaitu Maqamat berupa tahap-tahap

19
perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya.
Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang untuk
melawan hawa nafsu, ego manusia, yang dipandang perilaku yang buruk yang paling
besar yang dimiliki manusia dan hal itu menjadi kendala menuju Tuhan. Kerasnya
perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seseorang sufi
kadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke
stasiun yang lainnya. Sedangkan “ahwal”yang sering diperoleh secara spontan sebagai
hadiah dari Tuhan. Di antara “ahwal” yang sering disebut adalah takut, sukur, rendah
hati, tawakal, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun
kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan berlangsung
sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras, seperti
halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah berupa kalitan-kalitan ilahi (Divine
Flashes), yang biasa disebut lama’at.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Maqamat sendiri merupakan sebuah bentuk kata jamak yang berasal dari kata
maqam dan secara etimologis kata maqam, berarti sebuah kedudukan spiritual.
Maqamat arti dasarnya atau “tempat berdiri”. Maqâmat merupakan tahapan-tahapan
thariqah/tarekat yang harus dilalui oleh seorang salik, yang membuahkan keadaan
tertentu yang merasuk dalam diri salik. Maqamat adalah sebuah tingkatan seorang
hamba dihadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang
dilakukannya. Maqamat diperoleh melalui usaha-usaha yang dilakukan seorang hamba.
Inilah mungkin yang membedakan antara Maqamat dan al-Ahwal yang diperoleh
melalui anugerah dari Allah SWT. Salik sendiri merupakan orang yang menjalani
disiplin spiritual dalam menempuh jalan sufisme Islam untuk membersihkan dan
memurnikan jiwanya. Adapun macam-macam bentuk dari maqamat yaitu diantaranya:
taubat, zuhud, sabar, syukur, khauf, ridha dan tawakal, mahabbah, hakikat, dan
makrifat.
Ahwal adalah suatu kondisi atau keadaan jiwa yang diberikan Allah SWT tanpa
upaya yang seorang hamba yang bersangkutan. Meskipun jika ditelusuri terus akan
munculnya ahwal tersebut, maka seolah-olah ada kaitannya dengan usaha-usaha yang
dilakukan oleh seseorang pada fase-fase tertentu untuk membentuk dirinya. Seperti
halnya maqamat, hal digunakan kaum sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata
hal dalam perspektif tasawuf sering diartikan “keadaan”. Maksudnya keadaan dalam
kondisi spiritual. Hal, sebagai sebuah kondisi yang singgah dalam kalbu, merupakan
efek dari peningkatan maqamat seseorang. Secara teoritis, memang bisa dipahami
bahwa kapanpun seorang hamba mendekat kepada Allah dengan cara berbuat
kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah memanifestasikan diri-Nya
dalam kalbu hamba tersebut.

B. Saran

Diharapkan pembaca mendapatkan pengetahuan serta pencerahan dari makalah


tentang pengertian, Kedudukan dan Fungsi Al-Qur’an. Penulis menyadari sekali
bahwasannya tulisan yang sederhana ini masih banyak terdapat kekurangan, semuanya
itu dikarenakan keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Oleh karena itu saran serta
kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan tulisan ini sangat penulis
butuhkan.

21
DAFTAR PUSTAKA

UIN SMH Banten Institutional Repository -, http://repository.uin banten.ac.id.

Accessed 24 March 2023.

“(DOC) MAQAMAT DAN AHWAL | hesti zahrotunnisa.” Academia.edu,

https://www.academia.edu/34675917/MAQAMAT_DAN_AHWAL.

Accessed 24 March 2023.

“Makalah maqamat dan ahwal.” SlideShare, 20 March 2015,

https://www.slideshare.net/juniskaefendi/makalah-maqamat-dan-ahwal.

Accessed 24 March 2023.

“MAKALAH MAQAMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF.” EKONOMI

SYARI'AH KELAS E 17'STAIN PAMEKASAN, 10 December 2017,

http://ekonomisyariahclasse.blogspot.com/2017/12/makalah-maqamat-dan-

ahwal-dalam-tasawuf.html. Accessed 24 March 2023.

Anda mungkin juga menyukai