Anda di halaman 1dari 24

Tugas Kelompok 8:

“ITTIHAD DAN HULUL”

Disusun Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah:


Akhlak dan Tasawuf

Dosen Pengampu:
Fidian Abron, M.Pd

Disusun oleh :

1. Ajeng Aprillia Utami 2271020001

2. Dinda Salsabilla 2271020015

Program Studi : Sistem Informasi


Semester: 2

Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan


Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
2022 M / 1444 H
Alamat:Jl. Endro Suratmin, Sukarame, Kec. Sukarame, Kota Bandar Lampung, Lampung 35131
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb. 

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah memberi hidayah,
rahmat, serta karunianya kepada kami sehingga diberi kesempatan untuk menyelesaikan salah
satu tugas pembuatan makalah ini yang kami beri judul “ITTIHAD DAN HULUL”.
Sholawat serta salam kita curahkan kepada Baginda kita Muhammad Saw, Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih yang tak terhingga pada dosen pengampu mata kuliah Akhlak Tasawuf
serta teman-teman yang telah berpartisipasi dan memberikan dukungan sebanyak-banyak
nya  dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah
ini masih banyak ketidak sempurnaan baik dari segi tulis, segi bahasa dan pokok
pembahasan. 

Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari rekan-rekan dan
pembaca yang bersifat membangun serta semoga dengan selesainya makalah ini dapat
bermanfaat untuk memberikan wawasan serta pengetahuan bagi setiap pembaca nya. Amin
Ya Robbal Alamin.

Wassalamualaikum Wr.Wb. 

Bandar lampung, April 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………… ii

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….……..iii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………….………..1

A. Latar Belakang……………………………………………………………………….…….1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………….1
C. Tujuan………………………………………………………………………………………2
D. Manfaat……………………………………………………………………………………..2

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………...….3

2.1 Ittihad……………………………………………………………………………….5
A. Pengertian Ittihad……………………………………………………………………………5
B. Biografi Abu Yazid Al-Bustami……………………………………………………………..6
C. Ajaran Ittihad………………………………………………………………………………..7
2.2 Hulul………………………………………………………………………………..13
A. Pengertian Hulul……………………………………………………………………………13
B. Biografi Singkat Mansur Al-Hallaj…………………………………………………………14
C. Ajaran Hulul………………………………………………………………………………...15

2.3 Persamaan dan Perbedaan Ittihad dengan Hulul………………………………………18

2.4 Konsep Hulul dan Ittihad Dalam Persepektif Islam……………………………………19

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………………..22

A. Kesimpulan………………………………………………………………………………..22
B. Saran………………………………………………………………………………………22

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu tasawuf yang merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat kontroversi
dikalangan para ahli sufi, karena didalamnya mengandung berbagai permasalahan
yang berhubungan dengan aqidah dan keimanan seseorang. Dalam sejarah
perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf yang mengarah
pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan
memahami pemahaman mendalam.
Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut
sebagai tasawuf akhlaqi. Ada yang disebut sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan
oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut sebagai tasawuf
falsafi. Tasawuf ini banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof
di samping sebagai sufi.
Perkembangan Tasawuf dan Islam telah mengalami beberapa tahap. Pertama, yaitu
fase asketis ( zuhud ) yang tumbuh pada abad pertama dan kedua Hijriyah, sikap asketis
ini dipandang sebagai pengantar tumbuhnya tasawuf. Tasawuf mempunyai perkembangan
individu dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang selanjutnya
berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak pasti dan pasti, corak tasawuf dapat dilihat
dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah.
Corak-corak ilmu tasawuf yang berkembang menurut rentang waktu yang sangat
panjang, dengan berbagai motif dan konsep-konsep yang berbagai macam tetapi dengan
satu tujuan jua, yakni tentang keimanan dan tujuan hidup seseorang. Tasawuf sejarah
sebagai ajaran ajaran hati dan jiwa memiliki perkembangannya dari masa ke masa.
Tasawuf falsafi adalah salah satu ilmu tasawuf yang didalamnya tercampur antara
rasa (dzauq) tasawuf dan pemikiran akal. Dzauq lebih dekat dengan tasawuf dan rasio
lebih dekat dengan filsafat. Adapun ciri dari filsafat falsafi adalah menyusun teori-teori
wujud berlandaskan rasa atau kajian proses bersatunya Tuhan dengan manusia dan
tasawuf ini bersifat pemikiran dan renungan.

4
Tasawuf falsafi oleh sebagian kalangan dianggap sebagai lawan dari tasawuf sunni
yakni tasawuf yang ajarannya diklaim sebagai yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi
dan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian reaksi terhadap tasawuf semi falsafi maupun
falsafi dilakukan oleh mereka yang dianggap membela sunnah Nabi. Reaksi terhadap
tasawuf semi falsafi dilakukan oleh al-Qusyairi, al-Harawi, al-Ghazali dan lain
sebagainya. Dan reaksi terhadap tasawuf falsafi ditandai dengan munculnya (ordo) tarikat
yang diantara yang latar belakangnya adalah untuk memagari tasawuf agar senantiasa
berada pada koridor syari’at.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Ittihad dan Hulul ?


2. Siapa Sajakah Tokoh Pembawa Paham Ittihad dan Hulul ?
3. Apa Sajakah Persamaan dan Perbedaan dari Ittihad dan Hulul ?
4. Bagaimanakah Perspektif Islam Terkait Konsep Ittihad dan Hulul ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Pengertian Ittihad dan Hulul


2. Untuk mengetahui Tokoh Pembawa Paham Ittihad dan Hulul
3. Apa Sajakah Persamaan dan Perbedaan dari Ittihad dan Hulul ?
4. Bagaimanakah Perspektif Islam Terkait Konsep Ittihad dan Hulul ?

D. Manfaat

Penulis berharap dengan diketiknya makalah ini dapat berguna bagi para
pembaca dan dapat memahami serta mengimplementasikan dari pentingnya untuk
mengetahui dan mempelajari ilmu Ittihad dan Hulul dan memanfaatkan serta
mengamalkannya dengan baik dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam sebuah
bentuk ketaatan kita terhadap Allah SWT.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ittihad

A. Pengertian Ittihad

Ittihad (the mystical union) secara historis dapat dikatakan sebagai bentuk tasawuf
falsafi yang paling awal. Sebagaimana telah terpetakan dalam sejarah tasawuf, pemikiran
tasawuf fal safi baru muncul sesudah para sufi (sunni) menetapkan puncak penghayatan
spiritual dengan istilah ma'rifah.1 Oleh karena itu sungguh sangat beralasan kalau
kemudian ittihad diposisikan setelah ma’rifah, baik menyangkut sejarah kemunculannya
mau- pun derajat atau kualitas kedekatannya dengan Tuhan . Kata Ittihad sendiri berasal
dari kata “ijtahada yajttahidu ijtihada” yang memiliki arti kebersatuan. Ittihad menurut
Abu Yazid Al Bustami, secara komperhensif maupun etimologis, berarti suatu integrasi,
menyatu atau persatuan (unity). Ittihad memiliki arti “bergabung menjadi satu”. Paham ini
berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam
sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa’, bersatu dengan
Allah. Ittihād dalam ajaran tasawuf menurut Ibrahim Madkur adalah tingkatan tertinggi
yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Menurut Harun Nasution, ittihad
merupakan satu tingkatan seorang sufi yang telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan
nya, satu tingkatan ketika yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga
salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku”.
Dalam pemahaman ini, seseorang untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa
tingkatan yaitu fana dan baqa’. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar
menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia
sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa’). Inilah inti ittihad, “diam pada
kesadaran ilahi”. Dari uraian tersebut dapat dipahami, bahwa ketika tercapai fana’ al-fana’
(puncak ke-fana’-an) yang diindikasikan oleh hilangnya kesadaran sufi terhadap diri
1
Simuh, Tasawuf, 141-154

6
sendiri dan bahkan terhadap kefana’an-nya itu sendiri, maka akan berimplikasi langsung
kemunculan ittihad, yakni penyatuan hamba atau manunggalnya dengan Tuhan. 2 Namun,
ada satu hal penting ditegaskan menyangkut karakteristik atau ciri khas ittihad, yakni
bahwa dalam proses terjadinya ittihad ruh sufi yang mi'raj (naik) untuk menyatu dengan
ruh Tuhan, bukan ruh Tuhan yang tanazzul (turun) untuk menyatu dengan ruh hamba
Tuhan.3
Tokoh pembawa paham ittihad ini adalah Abu Yazid Al-Bustami. Menurutnya
manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang kesadarannya (sebagai
manusia) maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur
ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan. Oleh karena demikian ini, maka
penempatan Abu Yazid al-Busthami sebagai pencetus ittihad 4 tampaknya lebih didasarkan
hasil terpretasi" secara subyektif pihak outsider terhadap ungkapan-ungkapan mistik
(syathahat / theopathical stammirings)-ny5a, yang dalam tradisi tasawuf falsafi memang
dipandang sebagai media yang absah untuk mengekspresikan puncak-pengalaman spiritual
para sufi. Dalam konteks ini, di antara ungkapan mistis Abu Yazid al-Busthami sehingga
dia diapresiasi sebagai pencetus ittihad adalah sebuah riwayat yang mengurai dengan
terminologi “mi'raj” al-Busthami.

B. Biografi Abu Yazid Al-Bustami

Abu Yazid memiliki nama lengkap Abu Yazid Taifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-
Bustami. Dia dilahirkan sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, salah satu di daerah
Qumais, bagian Timur Laut Persia. Ia salah seorang tokoh sufi yang terkenal dalam abad
ketiga hijriah. Surusyan, kakeknya Abu Yazid, adalah seorang penganut Zoroaster yang
kemudian menganut Islam di Bustam. Keluarganya cukup berada, namun Abu Yazid
memilih hidup secara sederhana. Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu
Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya sedikit tidur, makan, dan juga
minum.
Sebagaimana anak dan remaja muslim lainnya, ia pada masa mudanya mendalami
al-Qur’an dan hadits. Ia juga menekuni fiqih Hanafi, kemudian dia memperoleh pelajaran
2
Nasution, dalam Konstektualisasi, 161.
3
Muhammad Yusuf Musa, Falsafah al Akhlaq fi al-Islam (Kairo: Muas- sasah al-Khanaji,1963)
4
Selain pencetus paham ittihad, al-Busthami juga terkenal dengan ajarannya tentang fana 'dan mahabbah.
Lihat, Al-Hafini, Al-Mu’jam, 51.
5
Syathahat, bentuk jama’darikata Arab syath, adalah ungkapan-ung- kapan ganjil den samar dari para sufi,
baik ketika ia sedang mengalami "pe- nyatuan" dengan Tuhan (ittihad dan hulul) maupun ketika berada pada
ambang penyatuan itu. Lihat, ibid. Lihat pula, Nasution, Falsafah, 83

7
tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat begitu juga tentang fana fari Abu Ali Sindhi,
sehingga tidak perlu diragukan bahwa di masa mudanya ia sudah memiliki pengetahuan
agama yang luar biasa.
Abu Yazid al-Bustami adalah seorang zahid yang terkenal. Menurutnya zahid itu
adalah seseorang yang mampu atau bisa mendo’akan dirinya untuk selalu berdekatan
dengan Allah. Menurutnya hal ini dapat ditempuh melalui tiga fase atau tahapan, yaitu:
pertama zuhud terhadap dunia, kedua zuhud terhadap akhirat, dan ketiga zahid terhadap
selain Allah. Dalam tahapan terakhir ini dia berada dalam kondisi mental yang membuat
dirinya tidak mengingat apa-apa selain Allah, yang ada hanyalah Allah belaka.
Abu Yazid juga seorang sufi yang membawa paham yang berbeda dengan ajaran
tasawuf yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran yang dibawanya
banyak di tentang oleh para ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan dia keluar masuk
penjara.
Dia memiliki banyak pengikut yang percaya dengan ajaran-ajaran yang
diajarkannya. Pengikut-pengikutnya menamakan dirinya taifur. Sayang sekali bahwa al-
Bustami, yang berusia panjang dan kaya dengan pengalaman-pengalaman kesufian, tidak
meninggalkan karya tulis. Ajaran pandangannya hanya dapat diketahui melalui
catatan-catatan yang dibuat oleh para muridnya, atau oleh tokoh-tokoh sufi lainnya
yang pernah berjumpa dengannya. Jika tidak ada pengarang seperti al-Attar, orang tidak
akan mengenalnya sama sekali. Beberapa catatan mengenai hidupnya hanya berupa
anekdot-anekdot sufi belaka.
Beliau meninggal pada tahun 261 H / 875 M, dan makamnya masih ada hingga
saat ini. Makamnya yang terletak di tengah-tengah kota, menarik banyak pengunjung dari
berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri, Nasir
Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M didirikan di atasnya sebuah kubah yang indah
oleh seorang sultan Mongol, Muhammad Khodabanda atas nasihat gurunya Syekh
Syafruddin, salah seorang keturunan dari Bustam.

C. Ajaran Ittihad

Secara kebahasaan ittihâd berarti integrasi, menyatu, atau persatuan. Dalam


tasawuf filosofis, ittihad adalah pengalaman puncak spiritual seorang sufi, ketika seorang
sufi tersenut merasa dekat dengan Allah, bersahabat, mencintai dan dicintai Allah, dan
mengenal-Nya sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan

8
Allah SWT. Pengalaman ittihad hanya akan terjadi bila seorang sufi mengalami fana` dan
baqa`. Fana` secara etimologi berarti hancur, lenyap dan hilang; sedangkan baqa` sendiri
memiliki artian sesuatu yang tetap, kekal ataupun abadi. Dalam
terminologi para sufi “fana” merupakan sebuah pengalaman spiritual seorang sufi, ketika
kesadaran tentang diri dan lingkungannya lenyap sementara waktu, sedangkan baqa`
adalah keadaan spiritual seorang sufi, ketika dirinya merasa tetap bersama Allah” . Dalam
literatur klasik, pembahasan tentang ittihad jarang bisa dijumpai. Mungkin karena alasan
keselamatan jiwa atau memang karena ajaran ini sulit dipraktikkan.
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui
tahapan fana’ dan baqa’. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara
yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya. Dengan
mengutip A. R. Al-Baidhawi, Harun Nasution juga menjelaskan bahwa dalam ittihad,
yang dilihat hanya satu wujud, sungguh pun ada dua wujud yang berpisah satu dari yang
lain. Dalam ittihad, identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Karena yang dilihat
dan dirasakan hanya satu wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang
mencintai dan yang dicintai.
Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu,
terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata,
mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di
hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-ucapan yang ganjil dan aneh yang
disebut tasawuf dengan syatahat. Syatahat sendiri memiiliki pengertian sebuah ucapan
ganjil dalam mengungkapkan penghayatan para sufi terhadap keesaan Allah SWT, yang
tak bisa diungkapkan dengan kata-kata atau bahasa yang mudah difahami oleh manusia.
Oleh karena itu, ketika dari lisan al-Busthami muncul syathahat, misalnya berupa
ungkapan "subhani, subhani, ma’azham sya’ini “ (Maha suci Aku, Mahasuci Aku,
Mahabesar Aku), maka hal seperti itu sama bukanlah perkataan atau ucapan dari diri
pribadi Abu Yazid al- Busthami sendiri sebagai manusia untuk menyatakan dirinya sendiri
adalah sebagai Tuhan, melainkan lebih merupakan perkataan Tuhan dengan melalui organ
fisiknya atau "lisan" Abu Yazid al-Busthami, yang pada saat itu seluruh kehendaknya telah
diliputi dan dikuasai oleh kahendak Tuhan, untuk mengekspresikan diri Tuhan sendiri
sebagai Tuhan. Implikasinya, Abu Yazid al-Busthami dengan melalui ucapan syatahat-nya
tersebut, atau yang senada dengannya, tentu saja tidak boleh dijustifikasi atau dianggap
sebagai pengakuan dirinya sebagai Tuhan, melainkan harus lebih dimaknai bahwa Tuhan
sendiri yang mengaku diri-Nya sebagai Tuhan lewat ungkapan itu, hanya saja dengan

9
melalui organ fisik (lisan) Abu Yazid al-Busthami, yang pada saat itu ia sedang mengalami
ittihad.6
Ittihad itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan
kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya.
Namun lebih dari itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam paham ittihad hilangnya
kesadaran adalah sebuah permulaan untuk memasuki tingkat ittihad yang sebenarnya
dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang
disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding after passing away”,
al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran (‘fana’) yang merupakan awal untuk
memasuki pintu ittihād itu adalah juga sebuah pemberian dari Allah SWT kepada sufi
tersebut. Kalau memang fana’ yang merupakan prasyarat untuk mencapai ittihad itu
adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang dengan sendirinya setelah
seorang sufi dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha
memberikan jiwa sebagaimana dikemukakan di atas.
Paham ittihad ini dalam istilah Abu Yazid disebut tajrīd fana’ fīal-tauhīd,
(Aboebakar Atheh, 1984: 136). yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu
apapun. Ungkapan Abu Yazid tentang peristiwa mi’rajnya berikut ini akan memperjelas
pengertian ini. Dia mengatakan “Pada suatu hari aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia
berkata: ‘Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat engkau, Aku Menjawab: ‘Kekasih-Ku, aku
tidak ingin melihat mereka. Tetapi jika itulah kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya
untuk menentang kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-Mu melihat daku, mereka akan berkata ‘Telah kami lihat Engkau. Tetapi yang
merasa lihat akan aku tidak ada di sana.’
Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini merupakan sebuah ilustrasi proses terjadinya
ittihad pada bagian awal ungkapan itu melukiskan alam ma’rifah dan selanjutnya
memasuki alam fana’ ‘an-nafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan
akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihad ini lebih jelas lagi dalam ungkapannya yang
lain,
Tuhan berkata: “semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Atau pun
berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau” (Harun
Nasution, 1973: 85). Selanjutnya Abu Yazid berkata: “Sesungguhnya aku ini adalah
Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku”
6
Dalam kaitan ini, al-Hujwiri membuat analogi antara ungkapan sub- hani, subhani." dengan sabda
Rasul:Saw "Tuhan berbicara lewat lidah Uar". Secara lahiriah ungkapan itu memang diucapkan manusia, tapi
pem- bicara sebenarnya adalah Tuhan. Al-Hujwiri, Kasyful, 23

10
Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu seakan-akan ia
mengaku dirinya Tuhan. Namun, akan tetapi bukan demikian seperti itu maksudnya. Di
sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu Yazid
sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan
nya. Dengan kata lain Abu Yazid dalam ittihad berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih
tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid
menjelaskan ‘Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku sedangkan aku sendiri dalam
keadaan fana’.
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid sebagai kata-katanya sendiri,
tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan ittihad. Dan bahkan menurut Abu Yazid al-
Busthami sendiri, mengaku dirinya adalah sebagai Tuhan adalah termasuk dosa besar, dan
bahkan terbesar (musyrik), yang justru akan semakin menjauhkan dirinya dari Tuhan.
Padahal, agar dekat dengan Tuhan, sang sufi bukan saja harus suci dari dosa besar,
melainkan lebih dari itu juga harus suci dari segala hal yang syubhat. Karena itu, jika dosa
besar itu dilakukan Abu Yazid al-Busthami, maka hal itu justru akan menjauhkan dirinya
dari Tuhan, dan hal yang demikian ini jelas bertentangan dengan jiwa kesufiannya.
Ringkasnya, sebagai tokoh sufi kenamaan, tidak layak kalau Abu Yazid al-Busthami
melakukan dosa besar, atau bahkan terbesar, yaitu dengan cara mengaku atau menyatakan
dirinya sebagai Tuhan
Proses terjadinya fana’ hingga mencapai ittihad atau menyatu dengan wujud Allah
digambarkan sebagai berikut : Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-
sifat pribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan
penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah memulai menyaksikan keindahan
wajah Allah, kemudian akhirnya lenyap kesadaran akan kefanaannya itu sendiri lantaran
telah merasa lebur atau menyatu dalam wujud Allah7. Ketika terjadi ittihad, diri sufi
memang telah hancur (fana’), namun yang dimaksudkan bukanlah diri sufi itu menjadi
tiada. Sebenarnya pada saat terjadi ittihad, diri kemanusiaan sufi masih ada, hanya saja
tidak ia sadari dan yang sufi sadari atau rasakan pada saat itu hanya satu wujud semata
yakni Tuhan8, ‘al-fani la yutsbit syai'an siway Allah li fana'ih `an kulli siwah’ (orang yang
fana' tidak menetapkan sesuatu pun selain Allah). 9Dengan demikian menjadi tepat kalau

7
https://satriodatuak.com/konsep-tentang-ittihad-dan-hulul
8
Nasution, Falsafah, 82-83.
9
Al-‘Afifi, Fi at-Tashawwuf, 39

11
ittihad itu hanya berbentuk kesadaran ruhani (bi as-syu'ur10), bukan bersifat hakiki; karena
masing-masing pihak masih tetap berada pada esensinya, Tuhan tetap Tuhan dan makhluk
(sufi) pun tetap makhluk11, keduanya tidak akan pernah benar-benar menjadi satu (hakiki)
karena yang demikian ini bertentangan dengan prinsip ketauhidan.
Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya itihad, seorang sufi
harus melalui tiga tahapan, yaitu pertama, lenyapnya kesadaran akan alam sekelilingnya
lantaran seluruh kesadarannya telah beralih dan terpusat ke alam batin. Itulah baqa’ dalam
penghayatan ghaib yang dalam tasawuf dinamakan kasyf. Pada tingkat kedua mulai
menyaksikan langsung apa yang mereka yakini sebagai zat Al-Haqq (Tuhan). Itulah
penghayatan ma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam kejiwaan sewaktu fana’. Pada
tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah adalah fana’ atau al-fana’, yakni
lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran telah terhisap dan luluh dalam
kesatuan dengan Tuhannya. Salah satu dalil tentang adanya fana’ ini yang sering disitir
dalam kitab-kitab tasawuf adalah firman Allah dalam surah Yusuf ayat 31 sebagai berikut:

‫اح\ َد ٍة ِّم ْنه َُّن‬


ِ ‫ت ُك\ َّل َو‬ ْ َ‫ت لَه َُّن ُمتَّ َك\ ا ً َّو ٰات‬
ْ ‫ت اِلَ ْي ِه َّن َواَ ْعتَ \ َد‬ ْ َ‫ت بِ َم ْك ِر ِه َّن اَرْ َس \ل‬ْ ‫فَلَ َّما َس ِم َع‬
‫اش هّٰلِل ِ َم\\ا‬ َ \‫اخرُجْ َعلَ ْي ِه َّن ۚ فَلَ َّما َراَ ْينَهٗ ٓ اَ ْكبَرْ نَهٗ َوقَطَّع َْن اَ ْي ِديَه ۖ َُّن َوقُ ْل َن َح‬ ْ ‫ت‬ ِ َ‫ِس ِّك ْينًا َّوقَال‬
‫ك َك ِر ْي ٌم‬ ٌ َ‫ٰه َذا بَ َشر ًۗا اِ ْن ٰه َذٓا اِاَّل َمل‬
Artinya: “Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnya
lah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya
kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia
berkata (kepada Yusuf): “Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka.” Maka
tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya dan
mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: “Maha sempurna Allah, ini bukanlah
manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia”. (Surat Yusuf/12:
31).
Dalam mengomentari ayat di atas Imam al-Qusyairi berkata: Ini baru ketuhanan
seorang makhluk tatkala menyaksikan keindahan makhluk lain sudah fana’. Bayangkan
bagaimana seorang sufi yang menghayati terbukanya tabir lalu menyaksikan
keindahan wajah Ilahi. Jadi tidak mengherankan bila dia fana’, tidak sadar akan dirinya

10
At-Taftazani, Tasawuf, 118-119. Sarah binti Abdul Muhsin, Nadha- riyyah al-Ittishal `inda as-Shufyyah fi
Dlau' al-Islam (Jeddah: Dar al-Manarah, 1991), 34.Muhammad Zaid, Nashil Nashshar dan Musa Wahbah, Al-
Mau- su'ah, 18.
11
uhsin, Nadhariyyah, 34.

12
dan akan makhluk sejenisnya (Al-Qusyairi, t.th.: 68). Hanya dengan melihat wajah Nabi
Yusuf yang tampan, mereka telah terpesona hingga tak sadar, memotong jari mereka dan
tidak merasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang terpesona melihat keelokan wajah
Tuhannya yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Untuk memahami pengalaman mistis seperti yang diuraikan di atas patut
diperhatikan pernyatakan William James dalam bukunya The Varieties of Religion
Experience. Menurutnya ada empat karakter khas pengalaman mistis, dan dengan
cara menjelaskan keempat karakter tersebut diharapkan mampu dari perselisihan verbal
dan sikap saling menyalahkan. Adapun empat karakter tersebut ialah terdiri dari, sebagai
berikut12:
 Tidak bisa diungkapkan. Orang yang mengalaminya mengatakan bahwa pengalaman
itu tidak bisa diungkapkan, tidak ada uraian manapun yang memadai untuk bisa
mengisahkannya dalam kata-kata. Ini berarti bahwa kualitas semacam ini harus
dialami secara langsung dan tidak bisa diberikan atau dipindahkan kepada orang lain.
 Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan, bagi orang yang
mengalami situasi mistis ini juga adalah situasi berpengetahuan. Dalam situasi ini,
orang mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali
melalui intelek yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan
dan pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti yang hanya bisa dirasakan
 Situasi transien. Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup
lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi, batas-batas yang bisa
dialami seseorang sebelum kemudian pulih kekeadaan biasa adalah sekitar setengah
jam, atau paling lama satu atau dua jam.
 Kepasifan. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan
pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan pikiran,
gerakan tubuh tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam pelbagai
buku panduan mistisime. Meskipun demikian, saat kesadaran khas yang ada pada
situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk sementara hasratnya
menghilang dan ia merasa direngkuh dan dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih
tinggi.
Dengan mengikuti keterangan zaman diatas , maka situasi ittihad Abu Yazid
harus dipahami dalam konteks yang berkaitan dengan pengalaman kejiwaan seorang sufi.

12
https://satriodatuak.com/konsep-tentang-ittihad-dan-hulul

13
Sebagai pengalaman kejiwaan yang berdimensi spiritual tentu sangat bersifat personal
dan unik. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri: Sangat sulit, bahkan mustahil di ungkapkan
dengan kata-kata, menimbulkan pencerahan dan kesadaran adanya Yang Mahakuasa
yang menguasai ruang dan waktu, hanya terjadi dalam waktu singkat, dan berlakunya
kepasifan total yang di awali dengan perasaan tertentu yang meredakan segala hasrat dan
diakhiri dengan perasaan dikuasai oleh suatu daya yang luar biasa.

2.2 Hulul

A. Pengertian Hulul

Kata Al-Hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla yang berarti tinggal atau
berdiam diri. Istilah hulul, dari sudut kebahasaan, merupakan bentuk masdar (infinitive)
dari "halla-yahullu-hulul", artinya "bertempat di", atau "immanent" dalam bahasa
filsafatnya. 13
Secara terminologis kata al-hulul diartikan dengan paham bahwa Tuhan
dapat menitis ke dalam makhluk atau benda. Di samping itu, al-hulul berasal dari kata
halla yang berarti menempati suatu tempat (halla bi al-makani). Jadi pengertian hulul
secara bahasa adalah menempati suatu tempat.14
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia
tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui
fana’. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun
Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia
tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh
itu dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi: “Sesungguhnya Allah
memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatinya dengan makna ketuhanan (setelah)
menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan” Menurut Al-Hamdany menyebutkan bahwa, hulul
merupakan kepercayaan manusia bahwa Allah bersemayam ditubuh salah seorang yang
kiranya bersedia untuk ditempati, karena kemurnian jiwanya dan kesulitan ruhnya”.
Dalam sufistik-mistis, orang yang mengalami hulul akan mengeluarkan gumaman-
gumaman syatahat atau (kata-kata aneh) yang menurut para mistikus disebabkan oleh rasa
cinta nya yang melimpah kepada Tuhan nya. Para sufi yang sepaham dengan ini

13
Ibn Mandzur, Lisan al-'Arab XI (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 163. Lihat pula Abu Luis Ma'luf, Al-Munjid
(Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), 147
14
https://satriodatuak.com/konsep-tentang-ittihad-dan-hulul

14
menyatakan gumaman itu bukan berasal dari Zat Allah namun keluar dari roh Allah (An-
nasut-Nya) yang sedang mengambil tempat dalam diri manusia.
Hulul atau juga sering disebut “peleburan antara Tuhan dan manusia” adalah
paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan bahwa seorang sufi
dalam keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal ini, aspek an-nasut Allah
bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut merupakan aspek Ketuhanan sedangkan
An-Nasut adalah aspek kemanusiaan. Sehingga dalam paham ini, manusia maupun Tuhan
memiliki dua aspek tersebut dalam diri masing-masing. Begitu pula lah yang terjadi pada
Adam.as yang merupakan manusia pertama yang juga sama dengan manusia pada
umumnya, di samping dalam dirinya terdapat natur nasut, dia juga memiliki natur lahut.
Dengan kerangka dasar pemikiran seperti inilah, menurut al-Hallaj, penyatuan antara
manusia dengan Tuhan secara rasional menjadi mungkin terjadi, yang menurutnya
penyatuan itu mengambil bentuk hulul, yakni nasut Tuhan turun (tanazzul) dan masuk ke
dalam diri sufi (manusia) setelah nasut manusia mengalami peluruhan (fana’).

B. Biografi Singkat Mansur Al-Hallaj

Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin
Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir pada tahun 244 H/855 M di Baidhah, sebuah kota kecil
di wilayah Persia. Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal yaitu Sahl bin
Abdullah At-Tusturi di Ahwaz. 2 tahun kemudian ia pergi ke Basrah dan berguru pada
‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M ia masuk ke kota Baghdad dan
belajar kepada Al Junaid. Melalui pengembaraannya ke berbagai wilayah Islam, Al Hallaj
mendapatkan banyak pengikut. Ia kembali lagi ke Baghdad pada tahun 909 M.
Pengikutnya pun bertambah banyak.
Al Hallaj bersahabat dengan Nashr Al Khusyairi, seorang kepala rumah tangga
istana. Ia selalu mendorong sahabatnya itu untuk melakukan perbaikan dalam
pemerintahan dan menyampaikan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan 
“pemerintahan yang bersih” itupun dirasa berbahaya oleh pemerintah saat itu. Apalagi, di
sisi lain ajaran tasawuf dan aliran-aliran keagamaan tumbuh dengan subur. Pemerintah
menjadi khawatir akan kecaman-kecaman dan kritik yang ditunjukkan padanya serta
khawatir pada pengaruh sufi terhadap struktur politik. Maka, Al Hallaj pun dipenjarakan.
Karena ucapannya, “anna al haqq”, itu dianggap sebagai sebuah kemurtadan dan tidak
bisa dimaafkan oleh para ulama fiqh.

15
Setahun kemudian Al Hallaj berhasil meloloskan diri dari penjara, namun 4 tahun
kemudian ia kembali tertangkap. Setelah 8 tahun menjalani masa hukuman, Al Hallaj
dihukum gantung. Ia wafat pada tahun 922 M. Namun, ajarannya masih tetap berkembang.
Pengikutnya menamakan dirinya “Hallajiyah” Setelah 1 abad kematiannya pengikutnya di
Baghdad mencapai 4000 orang.

C. Ajaran Hulul

Jika Abu Yazid al-Busthami diposisikan sebagai tokoh penggagas ajaran ittihad
hanya sebatas didasarkan pada hasil "interpretasi" subjektif terhadap ungkapan-ungkapan
mistik (syathahat)-nya, maka bagi al-Hallaj terdapat sejumlah bukti dan argumen yang
lebih tegas dan eksplisit. 15
Selain didasarkan pada hasil interpretasi subjektif terhadap
ungkapan-ungkapan mistisnya, pemposisian terhadap diri Abu Mansur a1-Hallaj sebagai
pencetus hulul juga didasarkan pada realitas dan fakta empirik bahwa memang al-Hallaj
sendiri ternyata telah sangant akrab dalam penggunaan istilah hulul untuk menunjuk
puncak penghayatan dan pengalaman spiritual kesufiannya. Menurut al-Hallaj manusia
mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat Ketuhanan atau lahut dan sifat kemanusiaan
atau nasut. Demikian juga halnya Tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan
lahut dan sifat Insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-
sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana’, maka
Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan
Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul. Sebagai salah satu bentuk tasawuf falsafi,
konsep hulul yang diajarkan oleh Abu Mansur al-Hallaj tersebut tentu dikonstruks di atas
dasar dan landasan filosofis tertentu sebagai pijakannya. Bagi al-Hallaj, Tuhan adalah dzat
Yang Mahacinta dan Mahakasih, dan lebih dari itu cinta kasih terhadap diri-Nya sendiri
menjadikan 'illah (sebab) bagi wujud atau adanya semua makhluk, termasuk Adam
(manusia) sebagai ciptaan-Nya) yang paling sempurna, karena pada diri Adam (manusia)
itulah Tuhan muncul dengan shurah (bentuk, copy)-Nya. Pemahaman semacam ini
tampaknya memang merupakan hasil interpretasi yang dilakukan oleh al-Hallaj terhadap
sebuah hadis Rasulullah Saw: "Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam sesuai

15
Abu Yazid a1-Busthami sendiri tidak pernah menggunakan istilah itti- had, dia justru menggunakan istilah
"tajrid fana' fi at-tauhid" untuk menunjuk puncak pengalaman kesufiannya. Lihat, Aboebakar Atjeh, Pengantar
Sejarah Sufi dan Tasawuf (Solo: Ramadlani, 1984), 136. Adapun ungkapan mis- tik al-Busthami yang biasa
dipahami sebagai ittihad hingga ia diapresiasi sebagai pencetusnya, adalah: subhani, subhani ma a’zham
nafsi. Taufiq Tha- wil, Usus al-Falsafah (Kairo: Dar an-Nahdlah al-'Arabiyah), 36

16
dengan shurah (bentuk)- Nya". 16Dan berpijak dari kerangka dasar pikiran semacam ini
kemudian al-Hallaj menetapkan pemahaman bahwa dalam diri Tuhan terdapat natur
humanitas (humanity nature) dan begitu juga dalam diri manusia terdapat natur ilahiah
(divinity nature), sehingga menjadikan suatu hal yang logis kalau kemudian Allah
memerintahkan kepada para malaikat afar bersujud kepada Adam as, demikian penjelasan
menurut pemahaman al-Hallaj17. Untuk menyebut kedua natur itu, divinity (ilahiahh) dan
humanity (humanitas), al-Hallaj biasa mempergunakan istilah populer lahut dan nasut, dan
bahkan dia dipandang sebagai tokoh pertama yang mengintroduksi dua pengertian itu18.
Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya tentang proses kejadian
manusia. Al-Hallaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptakan Tuhan
sebagai copy dari diri-Nya shurah minn nafsih dengan segenap sifat dan kebesarannya,
sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya, yang berbunyi:
“Maha suci dzat yang menampakkan nasut-nya,
Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,
Demikian padu makhluk-Nya pun terlihat nyata,
Seperti manusia yang makan dan minum layaknya”.
Al Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan
yang didasarkan pada Q.S. Al Baqarah:34 yang artinya:
ۤ
‫ان ِم َن ْال ٰكفِ ِري َْن‬ َ ۗ ‫َواِ ْذ قُ ْلنَا لِ ْل َم ٰل ِٕى َك ِة ا ْس ُج ُد ْوا اِل ٰ َد َم فَ َس َج ُد ْٓوا آِاَّل اِ ْبلِي‬
َ ‫ْس اَ ٰبى َوا ْستَ ْكبَ َۖر َو َك‬

Artinya: “Dan Ingatlah ketika Kami berfirman kepada malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada
Adam!’ Maka merekapun sujud, kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan
ia termasuk golongan yang kafir.”
Menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar malaikat sujud kepada Adam
itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Nabi Adam sehingga ia harus disembah
sebagaimana meyembah Allah. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan
makhluk, tuhan melihat Dzat-Nya. Ia pun cinta kepada Dzat-Nya dan cinta inilah yang
menjadi sebab wujud. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk salinan diri-Nya

16
Teks hadis itu adalah: ‫ صورتھ على أدم خلق هللا إن‬.Lihat, Al-Afifi, Fi at- Tashawwuf, 133
17
Menurut Harun Nasution, pandangan al-Hallaj tentang adanya na- tur ilahiah pada manusia, hingga
malaikat diperintah bersujud kepadanya, tampak jelas dalam interpretasinya atas Qs. al-Baqarah, 2: 34: ‫للملئكة‬
‫ وإدقلنا‬,Nasution, Lihat. ‫ اسجدوا أل دم فسجدواإالإبليس أبى واستكبرو كا ن من الكا فرين‬Falsafah, 89.
18
Simuh, Tasawuf, 93.

17
yang memiliki segala sifat dan nama. Adam adalah bentuk copy tersebut. Pada diri Adam
lah Allah Swt muncul.
Al Hallaj memperlihatkan bahwa tuhan memiliki dua sifat dasar, sifat ketuhanan-
Nya (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti
manusia yang terdiri atas roh dan jasad, lahut tidak dapat bersatu dengan manusia, kecuali
dengan menempati tubuh setelah kemanusiaannya hilang. Seperti yang terjadi pada diri
Nabi Isa a.s.
Persatuan Tuhan dengan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul.
Agar bersatu, manusia harus meninggalkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah
kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan, saat itulah Tuhan
dapat mengambil tempat dalam dirinya dan ketika itu roh tuhan dan roh manusia bersatu
dalam tubuh manusia.
Menurut Al Hallaj, hulul mengandung kefanaan yang total. Kehendak manusia
dalam kehendak illahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak tuhan. Demikian
juga tindakannya. Bagaimana gambaran hulul itu dapat dipahami dari ungkapan al-Hallaj
berikut ini:
“Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku jadi satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh, tertusuk pula aku,
Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah aku.
Aku yang kurindu, dan yang kurindu Aku jua,
Kami dua jiwa padu jadi satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu tampak nyata19”.
Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali
tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif,
bukan rill karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana’ dalam iradat
Allah. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan citra-Nya, maka makna perpaduan itu
adalah munculnya citra Tuhan ke dalam citra-Nya yang ada dalam diri manusia, bukan
hubungan manusia dengan Tuhan secara rill. Oleh karena itu, ucapan “ana al-haqq” "
(Aku adalah al-Haqq) tidak dapat dipandang sebagai ucapan al-Hallaj sebagai bentuk
pengekspresian dirinya sebagai al-Haqq (Tuhan), hanya saja dengan perantara melalui
lisan al-Hallaj yang meluncur dari lidah nya, bukanlah ia bermaksud menyatakan dan
19
https://satriodatuak.com/konsep-tentang-ittihad-dan-hulul

18
beranggapan bahwa dirinya adalah Tuhan.20 Sebab, yang mengucapkan kalimat itu pada
hakikatnya adalah Tuhan sendiri, namun menggunakan perantara anggota tubuh al-Hallaj.
Al Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya sebagai tuhan dan tidak juga sama dengan
tuhan. Ia mengatakan:
“Barang siapa yang mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan
kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah ia. Sebab
Allah Swt. Mandiri dalam Dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak
sekalipun menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupainya”.
Interpretasi ini sesuai pula dengan pernyataan al-Hallaj dalam syair berikut:
“Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Aku bukanlah Yang Maha Benar,
Aku hanyalah yang benar, bedakanlah antara Kami”.
Al-Hulul juga mempunyai dua macam jenis, yaitu :
1. Al-Hulul al-Jawari
yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada yang lain (tanpa
persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.
2. Al-Hulul as-Sarayani,
yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir di dalam yang lain) sehingga yang
terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang mengalir di dalam bunga.

Dari pernyataan diatas dapat di simpulkan, adalah sangat tidak logis apabila seorang
sufi yang sepanjang usianya merindukan dan mencari Tuhan, mengaku dirinya sebagai
Tuhan.

2.3 Persamaan Serta Perbedaan Ittihad dan Hulul

Ajaran Hulul al-Hallaj dan ajaran Ittihad Abu Yazid sama-sama mengajarkan
tentang suatu persatuan atau penyatuan antara Tuhan dengan Hamba-Nya. Dalam ittihad
dan hulul seorang sufi mengeluarkan syatahat (Sebuah ucapan ganjil dalam
mengungkapkan penghayatan para sufi terhadap keesaan allah, yang tak bisa diungkapkan
dengan Bahasa yang mudah difahami).
Adapun letak perbedaannya adalah pada ittihad roh manusia naik dan menyatu
kedalam diri Tuhannya (khaliq), sedangkan ajaran Hulul, roh ketuhanan telah turun dan 
masuk ke dalam tubuh atau jasad sang hamba (makhluk). Perbedaan antara ittihad sesuai
20
A1-Hujwiri, Kasyful, 231.

19
dari beberapa sufi yang disebutkan diatas yaitu al-Bustami dengan hulul yang di lakukan
oleh sufi bernama al-Hallaj adalah dalam hulul diri al-hallaj tidak melebur atau hilang,
sementara dalam ittihad diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Jadi dalam
ittihad yang dilihat satu wujud, sedang dalam hulul ada dua wujud tetapi bersatu dalam
satu tubuh. Selain itu perbedaaannya terletak pada representasi serta bukti-bukti terjadi
nya ittihada dan hulul. Bagi Al-Bustami ittihad yang dia alami hanya dapat di ceritakan
dan dijadikan sebuah pembelajaran dan juga sejarah untuk menambah ilmu tasawuf falsafi
sedangkan bagi Al Hallaj hulul yang telah ia alami tersebut dapat dibuktikan dengan
kebenaran dan fakta-fakta yang nyata menurutnya namun, hal itu tetap tidak bisa atau
belum cukup untuk membuktikan bahwa beliau telah mengalami mi’raj hulul sehingga
dari kecerdasan nya tersebut menyebabkan dirinya di hukum mati.

2.4 Konsep Hulul dan Ittihad Dalam Perspektif Islam

Hulul dan ittihad erat terkait dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam. Al-
Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan. Pertama, tauhid yang hanya diucapkan
oleh lidah tapi diingkari oleh hati, ucapan orang munafik. Kedua, tauhid yang diucapkan
lidah sekaligus diyakini hati, tauhid muslim awam. Ketiga, tauhid yang dibarengi dengan
penyaksian melalui penyingkapan (kasyf) bahwa yang beragam dan banyak berasal dari
Yang Esa, tauhid orang yang didekatkan (muqarrabin). Keempat, tauhid shiddiqin yang
melihat dalam wujud hanya satu, yang oleh para Sufi disebut sirna dalam tauhid (fana’ fi
al-tauhid), yang rahasia ilmu ini tidak seharusnya ditulis dalam buku.21
Dalam Islam pengetahuan tentang hakikat sesuatu diperoleh melalui sarana Intuisi
yang dipahami tidak terbatas hanya pada pengalaman inderawi. Pada tingkatan nalar dan
pengalaman awam, manusia melihat dunia sebagai sesuatu yang banyak, beragam,
terpisah, berdiri sendiri dan untuk memahaminya dibutuhkan pembedaan subjek-objek.
Kondisi ini disebut keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) yang merujuk pada dunia
yang dipahami sebagai sesuatu yang beragam dan terpisah. Penyebutan keterpisahan ini
sebagai ’yang pertama’ mengisyaratkan kemungkinan terjadinya keterpisahan kedua (al-
farq al-tsani) yang dialami setelah seseorang mengalami transformasi dimana seseorang
melampaui keragaman dan dia mampu melihat hakikat dunia. Transformasi tersebut bisa
dicapai melalui serangkaian disiplin yang memungkinkan seseorang untuk melampaui
dunia keragaman dan mencapai keadaan fana’ dan baqa’ dimana dia memperoleh visi
21
https://satriodatuak.com/konsep-tentang-ittihad-dan-hulul

20
tentang kesatuan segala sesuatu dalam Asal transendennya. Keterpisahan kedua yang
dialami oleh seseorang berarti bahwa dia melihat dunia yang beragam dan terpisah (the
world of multiplicity in separateness) dengan cara berbeda dengan yang dialaminya pada
keterpisahan pertama yang dimiliki semua orang.
Keterpisahan disini memiliki dua konotasi. Yang pertama merujuk pada
keterpisahan antara yang Mutlak dari ciptaan dengan cerapan manusia. Istilah keterpisahan
pertama (al-farq al-awwal) juga menyiratkan bahwa sebelumnya tidak ada keterpisahan,
yang merujuk pada ’manusia’ sebelum dia menjadi manusia. Kondisi ini diisyaratkan
dalam al-Quran: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)”
Tentang penjelasan ayat ini, al-Junaid mengatakan ”Dalam ayat ini Allah
memberitahumu bahwa Dia berfirman pada mereka pada saat mereka belum ada,  kecuali
sejauh mereka ada untuk-Nya. Eksistensi ini tidaklah sama dengan yang biasa dilekatkan
pada makhluk dan hanya diketahui oleh-Nya.” Dalam ayat ini Allah swt. Mempersaksikan
(asyhada) terhadap manusia sifat Ketuhanan-Nya (rububiyah) dalam pengertian bahwa
mereka tahu, dengan pengalaman langsung dan persaksian, Realitas dan Kebenaran yang
disingkapkan pada mereka. Dengan persaksian dan pengakuan manusia, mereka telah
mengikat perjanjian dengan Tuhan seraya mengakui-Nya sebagai Tuhan mereka.
Pengakuan dan persaksian ini memastikan kesadaran akan pembedaan antara mereka
sebagai hamba dan Tuhan.
Makna kedua dari konotasi terkait dengan kesadaran dan pengalaman akan
keterpisahan dalam segala hal di dunia. Dalam melihat dunia yang terbentuk dari
keragaman, orang awam melihatnya sebagai kenyataan yang saling terpisah, beragam, dan
berdiri sendiri dan meyakini bahwa tidak ada sesuatu dibalik keragaman itu. Tingkatan
yang lebih tinggi adalah mereka, yang sekalipun pandangannya terhadap realitas tidak
dapat menjangkau diluar keragaman, mengakui bahwa apa yang dapat mereka jangkau
dengan nalar dan pengalaman mereka, yakni inderawi-rasional,  bukanlah satu-satunya
realitas. Mereka mengakui Realitas diluar yang dapat mereka  jangkau yang sama sekali
berbeda dengan jangkauan nalar dan pengalaman mereka dan  secara teologis disebut
Tuhan. Pandangan dunia yang bersifat dualistik ini kemudian  berkembang dalam tataran

21
saintifik, filosofis, dan teologis menjadi apa yang kemudian  dikenal sebagai pembedaan
antara esensi dan eksistensi. Menurut pandangan ini,  sesuatu memiliki esensi yakni
kuiditas (quiddity), yang secara ontologis merupakan substansinya dan eksistensi yang
dipandang sebagai aksiden dari esensi. Pandangan semacam ini didasarkan pada
perkembangan saintifik dan filosofis yang didasarkan hanya pada nalar dan pengalaman
awam.
Menurut perspektif metafisika Islam yang didasarkan pada hikmah al-Quran, Tidak
terdapat pembedaan antara esensi dan eksistensi dalam realitas eksternal (extra-mental
reality), pembedaan itu hanya ada dalam pikiran. Dalam realitas eksternal, apa  yang
dipandang sebagai penyifatan (qualification) esensi-esensi yang beragam dengan
eksistensi adalah pengungkapan-pengungkapan (determinations) dan pembatasan-
pembatasan (delimitations) dari Eksistensi yang mencakup semua (all-embracing and
pervasive Existence) menjadi bentuk-bentuk partikular. Jadi, hakikat segala sesuatu adalah
realitas Eksistensi yang mencakup semua (all-encompassing reality of  Existence) yang
mewujudkan bentuk-Nya yang beragam dan berbeda (Its multiple and diverse modes)
dalam tindakan perluasan (basth) dan penyusutan (qabdl) berkesinambungan dalam
gradasi, dari tingkatan kemutlakan pada tingkatan pengungkapan yang beraneka ragam
hingga mencapai wilayah inderawi. ’Sesuatu’ dalam dirinya sendiri, yang dipahami dalam
keterpisahannya dari Realitas, bukanlah sesuatu dalam yang berada, karena ia adalah
sesuatu yang (selalu) musnah. Apa yang  sebenarnya ’ada’ adalah aktualisasi dari salah
satu mode dari Realitas.
Jadi, Eksistensilah yang merupakan ’esensi’ sebenarnya dari sesuatu; dan apa yang
selama  ini dipersepsi sebagai esensi (mahiyyah) sesuatu tidak lain merupakan aksiden
untuk eksistensi. Konsep Hulul dan Ittihad dalam Islam dapat dilacak dasar-dasarnya
dalam  Al-Quran yang berpengaruh terhadap setiap aspek kehidupan Muslim. Dalam
memahami Hulul dan ittihad para ulama tidak bergantung pada penalaran rasional semata,
untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang juga memerlukan kecerdasan
intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya seseorang haruslah menjadi
Sufi.

BAB III
PENUTUP

22
A. Kesimpulan

Kata Ittihad berasal dari kata “ijtahada yajttahidu ijtihadan” yang berarti
kebersatuan. Ittihad menurut Abu Yazid Al Bustami, secara komperhensif maupun
etimologis, berarti integrasi, menyatu atau persatuan (unity). Ittihad memiliki arti
“bergabung menjadi satu”. Kata al-hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla yang
berarti tinggal atau berdiam diri. Secara terminologis kata al-hulul diartikan dengan paham
bahwa Tuhan dapat menitis ke dalam makhluk atau benda. Di samping itu, al-hulul berasal
dari kata halla yang berarti menempati suatu tempat (halla bi al-makani). Jadi pengertian
hulul secara bahasa adalah menempati suatu tempat.
Persamaan Serta Perbedaan Ittihad dan Hulul :
 Ajaran Hulul al-Hallaj dan ajaran Ittihad Abu Yazid sama-sama mengajarkan tentang
persatuan antara Tuhan dan Hamba. Dalam ittihad dan hulul seorang sufi
mengeluarkan  syatahat.
 Adapun letak perbedaannya adalah pada ittihad roh manusia naik dan menyatu kedalam
diri Tuhannya (khaliq), sedangkan ajaran Hulul, roh ketuhanan telah turun dan masuk
ke dalam tubuh atau jasad sang hamba (makhluk).
Dalam memahami Hulul dan ittihad para ulama tidak bergantung pada penalaran
rasional semata, untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang  juga
memerlukan kecerdasan intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya
seseorang haruslah menjadi Sufi.

B. Saran

Dengan disusunnya makalah akhlak tasawuf dengan judul “Konsep Tentang Ittihad
dan Hulul” ini, Penulis mengharapkan pembaca dapat mengetahui lebih jauh, lebih
banyak, dan lebih lengkap tentang Pembahasan konsep ittihad dan hulul, Pembaca dapat
membaca dan mempelajari konsep ittihad dan hulul dari berbagai sumber, baik dari intenet
maupun media informasi lainnya, Karena penulis hanya membahas secara garis besarnya
saja. Disini penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, Sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan, Agar dalam
penyusunan makalah pada kesempatan selanjutnya lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

23
Darussalam, Muhammad Fajar. “Akhlak Tasawuf : Pengertian dan Tokoh ITTIHAD dan

HULUL.” Kumpulan Makalah, 25 April 2018,

http://kumal11.blogspot.com/2018/04/akhlak-tasawuf-ittihad-dan-hulul.html?m=1.

Accessed 17 April 2023.

“ITTIHAD & HULUL #makalah.” Nenknonk's Land, 10 April 2014,

http://enengsusanti.blogspot.com/2014/04/ittihad-hulul-makalah-akhlaq-

tassawuf.html?m=1. Accessed 17 April 2023.

M.Ag., Dr Muniron. ITTIHAD & HULUL DALAM PANDANGAN AL-GHAZALI. Edited by

Dr. Ahidol Asror M.Ag, Jember, STAIN Jember Press, 2013. Accessed 13 April

2023.

RAHMAN, MUHAMMAD, and ZULFAKAL ZAINALDO. “Konsep Tentang


Ittihad dan Hulul – Bersama.” Satrio Datuak, 29 May 2021,
https://satriodatuak.com/konsep-tentang-ittihad-dan-hulul/. Accessed 12 April 2023.

24

Anda mungkin juga menyukai