AKHLAK TASAWUF
Di susun oleh :
2020 M / 1441 H
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga kami dapat merangkai kata dalam menyajikan makalah tentang “
Adapun maksud dan tujuan kami menyusun karya tulis ini untuk memenuhi tugas mata
kuliah akhlak tasawuf . Disamping itu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalan ini berlangsung sehingga dapat
Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan yang terdapat dalam tulis ini.Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran kepada berbagai pihak untuk kami jadikan
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................... 2
3.1 Kesimpulan................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 7
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didalamnya tercampur antara rasa (dzauq)
tasawuf dan pemikliran akal. Dzauq lebih dekat dengan tasawuf dan rasio lebih dekat
dengan filsafat. Adapun ciri dari filsafat falsafi adalah menyusun teori-teori wujud
berlandaskan rasa atau kajian proses bersatunya Tuhan dengan manusia dan tasawuf
ini bersifat pemikiran dan renungan.
Tasawuf falsafi oleh sebagian kalangan dianggap sebagai lawan dari tasawuf sunny
yakni tasawuf yang ajarannya diklaim sebagai yang sesuai dengan tradisi (sunnah)
Nabi dan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian reaksi terhadap tasawuf semi falsafi
maupun falsafi dilakukan oleh mereka yang dianggap membela sunnah Nabi. Reaksi
terhadap tasawuf semi falsafi dilakukan oleh al-Quyairi, al-Harawy, al-Ghazali dan lain
sebagainya. Dan reaksi terhadap tasawuf falsafi ditandai dengan munculnya (ordo)
tarikat yang diantara yang latarbelakangnya adalah untuk memagari tasawuf agar
senantiasa berada pada koridor syari’at.
Dalam kesempatan kali ini, kami berusaha untuk membahas lebih dalam tentang
pengertian ittihad, pengertian dan tujuan hulul, serta pengertian dan pembagian
wahdatul wujud. Oleh karena itu, mari kita bahas bersama-sama.
B. RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian Ittihad
B. Pengertian Hulul
BAB II
PEMBAHASAN
A. ITTIHAD
1. Pengertian ittihad
kata Ittihad berasal dari kata ittahad-yattahid-ittahad (dari kata wahid) yang
berarti kebersatuan. Ittihad menurut Abu Yazid Al Busthami, secara
komperhensif maupun etimologis, berarti integrasi, menyatu atau persatuan
(unity). Ittihad memiliki arti "bergabung menjadi satu"Apabila seorang sufi
telah berada dalam keadaan fana, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu
dengan Tuhan, sehingga rujudiyahnya kekal atau al-baqa. Di dalam perpaduan
itu ia menemukan hakikat jari dirinya sebagai manusia yang berasal dari
Tuhan, itulah yang dimaksud dengan Ittihad.
Paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih
dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian
dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Ittihād dalam ajaran tasawuf kata
Ibrahim Madkur adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan
jiwa manusia. Menurut Harun Nasution, ittihad adalah satu tingkatan seorang
sufi teah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan ketika yang
mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka
dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku”.
Dalam paham ini, seseorang untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa
tingkatan yaitu fana dan baqa'. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk
manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan
semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa).
Inilah inti ittihad, "diam pada kesadaran ilahi".
Dalam tasawuf, ittihad adalah kondisi dimana seorang sufi merasa dirinya
menyatu dengan Tuhan sehingga masing-masing diantara keduanya bisa
memanggil kata-kata aku.
Menurut Abu Yazid, ia tidak pernah mengaku sebagai Tuhan. Proses ittihad
adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Illahi, bukan melalui reinkarnasi.
Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan
2
dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan
tidak menyadari sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang dilihat.
2. Ajaran Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui
tahapan fana’ dan baqo’. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan
tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun
perbuatannya.Dengan mengutip A. R. Al-Baidawi, Harun Nasution juga
menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun
ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Dalam ittihad, ‘identitas telah
hilang, identitas telah menjadi satu.’ Karena yang dilihat dan dirasakan hanya
satu wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan
yang dicintai.
Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi
satu, terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah
dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernbah didengar oleh telinga
dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-ucapan
yang ganjil dan aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat.
Ittihad itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan
kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam
sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam faham
ittihād hilangnya kesadaran adalah permulaan untuk memasuki tingkat ittihād
yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai
Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah
kehancuran (“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan
hilangnya kesadaran (fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu
ittihād itu adalah pemberian Tuhan kepada seorang sufi. Sekarang kalau
memang fana yang merupakan prasyarat untuk mencapai ittihād itu adalah
pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang sendirinya setelah seorang
sufi dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha
memberikan jiwa sebagaimana dikemukakan di atas.
B. HULUL
Kata al-hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla yang berarti tinggal
atau berdiam diri. Secara terminologis kata al-hulul diartikan dengan paham
bahwa Tuhan dapat menitis ke dalam makhluk atau benda. Di samping itu, al-
hulul berasal dari kata halla yang berarti menempati suatu tempat (halla bi al-
makani). Jadi pengertian hulul secara bahasa adalah menempati suatu tempat.
3
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia
tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-
Luma’ sebagaimana dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil
Hulul atau juga sering disebut "peleburan antara Tuhan dan manusia" adalah
paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan bahwa
seorang sufi dalam keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal
ini, aspek an-nasut Allah bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut
merupakan aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasut adalah aspek kemanusiaan.
Sehingga dalam paham ini, manusia maupun Tuhan memiliki dua aspek
tersebut dalam diri masing-masing.
1. Al-Hulul Al-Jawari yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat
pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.
Al-hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan
bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari
al-ittihad sebagaimana telah disebutkan diatas. Tujuan dari hulul adalah
mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa al-hulul
adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut0, dan hal ini
terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh
perjalanan hidup kebatinan.
2. Ajaran Hulul
Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat
ketuhannan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya
tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan lahut dan sifat
Insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, maka
Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia
dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul.
4
“Dan Ingatlah ketika Kami berfirman kepada malaikat, ‘Sujudlah kamu
kepada Adam!’ Maka merekapun sujud, kecuali iblis. Ia menolak dan
menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir.”
Persatuan tuhan dengan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul.
Agar bersatu, manusia harus meninggalkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah
kemanusiaannya hiang dan hanya tinggal sifat ketuhanan, saat itulah tuhan
dapat mengambi tempat dalam dirinya dan ketika itu roh tuhan dan roh
manusia bersatu dalam tubuh manusia.
BAB III
PENUTUP
5
A. KESIMPULAN
Al-hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara
rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-ittihad sebagaimana telah
disebutkan diatas. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu
Hamka mengatakan bahwa al-hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan
(nasut0, dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam
menempuh perjalanan hidup kebatinan.
B. SARAN
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari dalam penulisan
makalah ini banyak sekali kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan
saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar
harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan sedikit manfaat bagi
pembaca pada umumnya dan pemakalah khususnya. Amin….
DAFTAR PUSTAKA
6
Jumanto, Totok. Kamus Ilmu Tasawuf. 2005. Jakarta: Penerbit AMZAH