Anda di halaman 1dari 14

KONSEP ITTIHAD DAN HULUL

Disusun untuk tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf


Dosen Pengampu :
Bayu Fermadi, Lc. M.Hum.

Disusun oleh :

1. Firdaus Rohmansa (22403154)


2. M. Samsudi Arif (22403156)
3. M. Syahrul Fuad (22403157)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) KEDIRI
2022
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan puji syukur kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang. Yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada
kami. Tidak lupa sholawat serta salam kami haturkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW. Yang menjadi tauladan bagi umat manusia.
Kami ucakan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Akhlaq
Tasawuf Bayu Fermadi, Lc. M.Hum. yang memberikan tugas ini sehingga kami
bisa berlatih dan dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Berkat kerjasama
dan kesungguhan kami dalam mengerjakan makalah ini, akhirnya dapat
diselesaikan dengan baik.
Kami menyadari sebagai mahasiswa yang pengetahuannya tidak seberapa
yang masih perlu belajar dalam menuliskan makalah. Bahwa makalah ini jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang positif.
Agar tercipta makalah yang lebih baik serta berdaya guna dimasa yang akan
datang.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Kediri, 20 November 2022

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan Makalah.........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
A. Pengertian ITTIHAD.................................................................................2
B. Pengertian HULUL...................................................................................3
C. Konsep ITTIHAD dan HULUL................................................................5
BAB III PENUTUP.............................................................................................10
A. Kesimpulan..............................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia harus mengenal dan mempercayai Allah SWT dengan
penuh keyakinan didasari dengan firman Allah dan sabda Rasul. Hal ini
sebaiknya dipertajam dan diperkokoh dengan sering berdzikir kepada-Nya dan
bertafakur atas makhluk-Nya. Kepercayaan kepada Allah SWT tidak cukup
dicapai dengan naluri dan akal pikiran semata.
Pencapaian tertinggi yang diidamkan bagi seorang sufi adalah bersatunya
sang pencinta dan yang dicinta. Konsep penyatuan ini bagi Abu Yazid al-
Bustami yang dikenal dengan istilah Ittihad, bagi al-Hallaj yang dikenal
dengan istilah Hulul. Ittihad dipandang sebagai ajaran doktrinal karena
memadukan eksistensi dua wujud yang terpisah.
Berdasarkan tasawuf falsafi, maka konsepsi tentang Tuhan merupakan
lebih lanjut dari pemikiran para ahli kalam (teolog) dan filosof. Jika dalam
tasawuf sunni mengenal ma’rifah adalah sebagai maqam yang tertinggi yang
dapat dicapai oleh manusia dimana manusia dapat mengenal Allah dengan
kalbu (hati). Dalam tasawuf falsafi dikatakan bahwa manusia dapat melewati
maqam tersebut. Manusia dapat naik kejenjang yang lebih tinggi, yakni
persatuan dengan Tuhan yang dikenal dengan istilah Ittihad, Hulul, Wahdah al-
Wujud maupun Isyraq. Dalam mengenal yang dinamakan Ittihad dan Hulul,
kami akan membahasnya sebagai tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ITTIHAD ?
2. Apa pengertian HULUL ?
3. Bagaimana konsep ITTIHAD dan HULUL ?
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui pengertian ITTIHAD.
2. Mengetahui pengertian HULUL.
3. Mengetahui konsep ITTIHAD dan HULUL.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian ITTIHAD
Kata Ittihad berasal dari kata ittahad – yattahid - ittahad (dari kata
wahid) yang berartikan bersatuan. Al-Ittihad adalah penyatuan atau
berpadunya dua hal, artinya perpaduan dengan Tuhan tanpa diantara
sesuatu apapun. Ittihad dipandang sebagai ajaran doktrinal karena
memadukan eksistensi dua wujud yang terpisah. Mengutip A.R. Al-
Baidawi, Harun Nasution juga menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang
dilihat hanya satu wujud, sungguhpun ada dua wujud yang berpisah satu
dari yang lain. Dalam ittihad, ‘identitas yang telah hilang, telah menjadi
satu.’ Dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang
dicintai1.
Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf yang dilihat
hanya satu wujud yang sebenarnya ada dua wujud yang berpisah dari yang
lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam
ittihad ini terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (makhluk)
dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya antara sufi dengan Tuhan.
Menurut paham sufi bahwa-ittihad berarti bercampur atau menyatunya
antara Khaliq dan makhluk2. Tokoh pembawa faham ittihad adalah Abu
Yazid Al-Busthami. Pencetus konsep al-ittihad adalah Abu Yazid al-
Busthami. Nama lengkapnya adalah Thaifur Ibn isa ibnu Sarusyan. Dia
berasal dari Bustham. Kakeknya, Sarusyan sebelum masuk Islam adalah
seorang pemeluk agama Majusi yang selanjutnya masuk Islam. Abu Yazid
meninggal tahun 261 H (ada juga yang berpendapat dia meninggal th. 264
H)3.

1
ibid
2
Firmansyah.Analisis Paham Al-Ittihad dan Al-Hulul Dalam Tradisi Tasawuf Islam.Vol 01.Jurnal
Kajian Islam Inderdispliner.2021.hal 210
3
Oom Mukarromah.Iitihad,Hulul,dan Wahdat Al-Wujud.Vol 16.Jurnal Keislaman,
Kemasyarakatan, dan Kebudayaan.2015.hal 130

v
Ittihad menurut Abu Yazid Al Busthami, secara komperhensif
maupun etimologis, berarti integrasi, menyatu atau persatuan (unity).
Ittihad memiliki arti "bergabung menjadi satu". Paham ini berarti seorang
sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam
sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa,
bersatu dengan Allah. Ittihād dalam ajaran tasawuf kata Ibrahim Madkur
adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia.
Menurut Harun Nasution, ittihad adalah satu tingkatan seorang sufisme
merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan ketika yang mencintai
dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat
memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku”. Menurutnya
manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang
kesadaranya [sebagai manusia] maka pada dasarnya ia telah menemukan
asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia
menyatu dengan Tuhan.

B. Pengertian HULUL
Kata al-hulul merupakan bentuk masdar dari kata fi’il : ‫ حل– يحل‬yang
berarti “bertempat di” atau “tinggal di”. Al-hulul secara etimologis, juga
berarti menempati sesuatu tempat (inkarnasi). Sedangkan pengertian
terminologis- nya, di kalangan pengkaji tampaknya masih sering timbul
"keka-buran" dan "overlapping" dalam pendefinisian. Di samping itu, al-
hulul berasal dari kata halla yang berarti menempati suatu tempat (halla bi
al-makani), jadi pengertian hulul secara bahasa adalah menempati suatu
tempat. Al-hulul ialah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia
tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-
sifat kemanusiaannya melalui fana’ atau ekstase. Juga diartikan sebagai
penitisan Tuhan dalam diri manusia berupa masuknya sesuatu pada
sesuatu lainnya. Selain itu, juga diartikan sebagai paham yang
mengatakanbahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk

vi
mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada
telah dilenyapkan4.
Al-Hallaj sebagai tokoh yang mengembangkan paham hulul,
dilahirkan pada tahun 244 H (858 M) di negeri Baidha, salah satu kota
kecil yang terletak di Persia (Nata, 2012). Kakeknya adalah seorang
Majusi berkebangsaan Persia. Ia dibesarkan di Wasith dan selanjutnya
datang ke Baghdad dan mondarmandir pergi ke Mekkah. Ia berguru
kepada beberapa tokoh kaum sufi, seperti Al-Junaid, ‘Amar bin Utsman
Al-Makki, dan Abu Al-Husain An-Nawawi (Halim, 2001). Paham hulul
seperti yang diperkenalkan oleh Al-Hallaj adalah perkembangan dan
bentuk lain dari paham ittihad Abu Yazid Al-Bustami (AlHamid, 2012) 5.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, paham hulul adalah kelanjutan dan
perkembangan atau bentuk lain dari ittihad. Hal dapat dipahami
berdasarkan konsep pemikiran atau ajaran pokok dalam hulul serupa
dengan konsep ajaran pokok ittihad, termasuk juga dengan jalan yang
ditempuh untuk sampai ke sana.
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana. Dalam sufistik-mistis, orang yang
mengalami hulul akan mengeluarkan gumaman-gumaman syatahat (kata-
kata aneh) yang menurut para mistikus disebabkan oleh rasa cinta yang
melimpah. Para sufi yang sepaham dengan ini menyatakan gumaman itu
bukan berasal dari Zat Allah namun keluar dari roh Allah (an-nasut-Nya)
yang sedang mengambil tempat dalam diri manusia.
Hulul atau juga sering disebut "peleburan antara Tuhan dan manusia"
adalah paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan
bahwa seorang sufi dalam keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah.
Dalam hal ini, aspek an-nasut Allah bersatu dengan aspek al-lahut

4
Firmansyah.Analisis Paham Al-Ittihad dan Al-Hulul Dalam Tradisi Tasawuf Islam.Vol 01.Jurnal
Kajian Islam Inderdispliner.2021.hal 214
5
Firmansyah.Analisis Paham Al-Ittihad dan Al-Hulul Dalam Tradisi Tasawuf Islam.Vol 01.Jurnal
Kajian Islam Inderdispliner.2021.hal 214

vii
manusia. Al-Lahut merupakan aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasut
adalah aspek kemanusiaan.
C. Konsep ITTIHAD dan HULUL
1. Konsep Ittahad
Dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad jarang bisa
dijumpai. Mungkin karena alasan keselamatan jiwa atau memang karena
ajaran ini sulit dipraktekan. Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang
dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqo’. Abu Yazid
al-Bustami memandang bahwa fana dan baqa itu adalah hancurnya
perasaan kesadaran akan adanya tubuh kasar manusia, kesadarannya
bersatu dalam iradah Tuhan, tidak menyatu dengan Tuhan 6. Dalam tahapan
ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan
yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya. Fana’ dan
baqo’ sangat erat kaitannya dengan al-Ittihad, yakni penyatuan batin atau
rohani dengan Tuhan7.
Secara etimologis, kata fana’ berasal dari kata faniya yang artinya
musnah atau lenyap. Fana’ berbeda dengan fasad (rusak), fana’ artinya
tidak tampaknya sesuatu, sedangkan fasad adalah berubahnya sesuatu
kepada sesuatu yang lain (Nata, 2012). Dalam pandangan Al-Junaidi,
fana’ adalah hilangnya kesadaran qalbu dari hal-hal yang bersifat
inderawi karena ada sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan
beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus
silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera
(Totok Jumantoro, 2012)8.
Adapun kata baqa’, secara etimologis berasal dari kata baqiya, yang
berarti tetap. Yang dalam pemahaman dunia tasawuf adalah mendirikan
sifat-sifat terpuji kepada Allah SWT (Halim, 2001). Dalam tradisi
tasawuf, fana’ dan baqa’ tidak dapatdipisahkan dalam kaitannya untuk

6
Rahmi Damis.Al-Ittihad Dalam Tasawuf.Vol III.Jurnal Aqidah-Ta.2017.hal77
7
Ibid hal 74
8
Firmansyah.Analisis Paham Al-Ittihad dan Al-Hulul Dalam Tradisi Tasawuf Islam.Vol 01.Jurnal
Kajian Islam Inderdispliner.2021.hal 221

viii
mencapai ittihad. Beberapa bentuk fana’ dalam kaitannya dengan baqa’
untuk mencapai ittihad.
Pertama, fana’ ash-shifat, yaitu lenyapnya sifat yang tercela,
berganti dengan baqa’ (tetapnya) sifat yang baik. Kedua, fana’ al-iradah,
yaitu fana’-nya manusia dari kehendaknya berganti dengan tetapnya
kehendak Tuhan pada dirinya. Ketiga, fana’ ‘an an-nafs, yaitu hilangnya
kesadaran manusia terhadap dirinya, berganti dengan tetapnya kesadaran
tentang Allah pada diri sufi9.
Dalam tahapan ketiga inilah Abu Yazid Al-Bustami
menggambarkan dirinya dengan ungkapan, “Aku mengetahui Tuhan
melalui diriku hingga diriku hancur, kemudian aku mengetahui-Nya
melalui diri-Nya dan aku pun hidup. Ia membuat aku gila pada diriku
hingga aku mati. Kemudian Ia membuat aku gila kepada diri-Nya, dan
aku pun hidup. Gila pada diriku adalah fana’ dan gila pada diri-Mu
adalah baqa’ (kelanjutan hidup) (Jalaluddin Rakhmat, 2008)10.
Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah
menjadi satu, terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang
tidak pernah dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernah
didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati.
Ittihād itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat
menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh
kasarnya dan wuju dalam sekitarnya. Menurut Nicolson, dalam faham
ittihād hilangnya kesadaran adalah permulaan untuk memasuki tingkat
ittihād yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap
dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan
kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding after passing away”,
al-baqa’ ba’ad al-fana’).
Dan hilangnya kesadaran (fana’) yang merupakan awal untuk
memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian Tuhan kepada seorang sufi,
9
Firmansyah.Analisis Paham Al-Ittihad dan Al-Hulul Dalam Tradisi Tasawuf Islam.Vol 01.Jurnal
Kajian Islam Inderdispliner.2021.hal 212
10
ibid

ix
maka pemberian itu akan datang sendirinya setelah seorang sufi dengan
kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha memberikan
jiwa sebagaimana dikemukakan.
Faham ittihād ini dalam istilah Abu Yazid disebut tajrīd fana’ fīal-
tauhīd,(AboebakarAtheh, 1984: 136). Yaitu perpaduan dengan Tuhan
tanpa diantarai sesuatu apapun. Uangkapan Abu Yazid tentang peristiwa
mi’rajnya berikut ini akan memperjelas pengertian ini. Dia
mengatakan :Pada suatu hari aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia
berkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat engkau, Aku Menjawab :
Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi jika itulah kehendak-
Mu, maka aku tidak berdaya untuk menentang kehendak-Mu. Hiasi lah
aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka
akan berkata : ‘Telah kami lihat Engkau. Tetapi yang merasa lihat akan
aku tidak ada di sana.’Tuhan berkata :semua mereka kecuali engkau
adalah makhluk-Ku. Ataupun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau
adalah aku dan aku adalah Engkau (Harun Nasution, 1973: 85).
Selanjutnya Abu Yazid berkata : "Sesungguhnya aku ini adalah Allah,
tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku".
Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu seakan-
akan ia mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian maksudnya.
Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran
dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena Abu
Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid
dalam ittihād berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat lagi Tuhan
“berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalamhalini Abu Yazid
menjelaskan : "Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah ku sedanga ku
sendiri dalam keadaan fana ".
2. Konsep Hulul
Konsep hulul menurut filsafat Al-Hallaj, bahwa Tuhan mempunyai
dua sifat utama, yaitu: lahut (sifat ketuhanan) dan nasut (sifat
kemanusiaan). Sebelum menjadikan makhluk, Tuhan hanya melihat diri-

x
Nya sendiri. Dalam kesendirian itu terjadi dialog tanpa kata-kata dan
huruf-huruf. Dia sangat mencintai diri-Nya sehingga dari cinta itumuncul
copy diri-Nya yang berbentuk manusia, yakni Adam. Paham ini berasal
dari hadits yang diyakini oleh sufi yang berbunyi, innallaha khalaqa
Adam ‘ala suratih, “Tuhan menciptakan Adam menurut bentuk-Nya”.
Dengan demikian, pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan
Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri11.
Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu
sifat ketuhannan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian
juga hal nya tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan
lahut dan sifat Insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah dapat
menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-
sifat Ilahiyatnya melalui fana, maka Tuhan akan mengambil tempat
dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah
yang dimaksud dengan hulul.
Hulul disini ialah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat
kemanusiaan. Atau dengan kata lain sesuai dengan terminology yang
dipergunakannya hululnya lahut dalam nasut.
Menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak
manusia dalam kehendak Illahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal
dari Allah. Manusia, menurutnya, sebagaimana dia tidak memiliki asal
tindakannya, begitu juga dia tidak memiliki tindakannya12.
Al Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat
ketuhanan yang didasarkan pada Q.S. Al Baqoroh(34) :
“Dan Ingatlah ketika Kami berfirman kepada malaikat, ‘Sujudlah
kamu kepada Adam!’ Maka merekapun sujud, kecuali iblis. Ia menolak
dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir.”
Menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar malaikat sujud
kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam

Ibid hal 216


11

Oom Mukarromah.Iitihad,Hulul,dan Wahdat Al-Wujud.Vol 16.Jurnal Keislaman,


12

Kemasyarakatan, dan Kebudayaan.2015.hal 137

xi
sehingga ia harus disembah sebagaimana meyembah Allah.
Al hallaj memperlihatkan bahwa Tuhan memiliki dua sifat dasar,
sifat ketuhanan-Nya (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut
Allah mengandung tabiat seperti manusia yang terdiri atas roh dan jasad,
lahut tidak dapat bersatu dengan manusia, kecuali dengan menempati
tubuh setelah kemanusiaannya hilang. Seperti yang terjadimenjelema
pada diri Isa. Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi
dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang
sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam
waktu yang lama.
Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana‟, Fana‟ul Fana‟
dan al-Baqa‟, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya. Al-
Hallaj juga tidak pernah mengajak ummat untuk melakukan tindakan
Hulul. Sebab apa yang dikatakan semuanya merupakan Penyaksian
kepada Allah atau sebagai etik murni dari seorang Sufi yang sangat
dalam mengambil tempat dalam dirinya13.

Oom Mukarromah.Iitihad,Hulul,dan Wahdat Al-Wujud.Vol 16.Jurnal Keislaman,


13

Kemasyarakatan, dan Kebudayaan.2015.hal 139

xii
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Ittihad adalah penyatuan atau berpadunya dua hal, artinya perpaduan
dengan Tuhan tanpa diantara sesuatu apapun. Dalam ajaran ittihad sebagai
salah satu metode tasawuf yang dilihat hanya satu wujud yang sebenarnya ada
dua wujud yang berpisah dari yang lain. ittihad ini terjadi pertukaran peranan
antara yang mencintai (makhluk) dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya
antara sufi dengan Tuhan. Tokoh pembawa dan pencetus konsep ittihad adalah
Abu Yazid Al-Busthami. Abu Yazid al-Bustami memandang bahwa fana dan
baqa itu adalah hancurnya perasaan kesadaran akan adanya tubuh kasar
manusia, kesadarannya bersatu dalam iradah Tuhan, tidak menyatu dengan
Tuhan. Fana’ dan baqo’ sangat erat kaitannya dengan al-Ittihad, yakni
penyatuan batin atau rohani dengan Tuhan.
Al-hulul ialah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu,
yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana’ atau ekstase. Al-Hallaj sebagai tokoh yang
mengembangkan paham hulul. Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat
dasar yang ganda, yaitu sifat ketuhannan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau
nasut.

xiii
DAFTAR PUSTAKA
Ibid
Firmansyah.Analisis Paham Al-Ittihad dan Al-Hulul Dalam Tradisi
Tasawuf Islam.Vol 01.Jurnal Kajian Islam Inderdispliner.2021 .
Oom Mukarromah.Iitihad,Hulul,dan Wahdat Al-Wujud.Vol 16.Jurnal
Keislaman, Kemasyarakatan, dan Kebudayaan.2015.

xiv

Anda mungkin juga menyukai