Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH TASAWUF

“Ajaran Tasawuf Pada Masa Berikutnya, Tokoh-Tokohnya dan Faktor-Faktor


yang Melatarbelakanginya ( Fana, Khulul, Ittihad)”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
Nama : Resti Aningsih (19621031)
Lokal : HKI 6B
Dosen Pengampu :Sidiq Aulia, S.H.I., M.H.I

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) CURUP
2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah SWT, yamg
telah membentangkan jalan keselamatan buat insan dan menerangi mereka dengan pelita
yang terang benderang. Sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan sedemikian rupa
tanpa ada halangan dan hambatan. Shalawat beiring salam tak lupa pula kami panjatkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang membawa petunjuk buat kehidupan dan telah membawa
manusia menuju zamaan modern yang penuh dengan teknologi ini sehingga kami dapat
merasakan betapa canggihnya dunia ini .
Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Sidiq Aulia sebagai Dosen pengampu dalam
mata kuliah ini yang selalu memberikan dukungan serta bimbigannya dan teman-teman yang
telah membantu dengan memberikan ide-ide sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik
dan rapi serta kepada orang tua yang selalu mendo’akan. Saya menyadari bahwa tanpa
dukungan dari semua pihak, maka makalah ini tidak akan terwujud.
Oleh karena itu, saya berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca tentang “FANA, KHULUL, ITTIHAD”. Namun terlepas dari itu, saya memahami
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga saya sangat mengharapkan
kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih
baik lagi.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Curup, 25 Mei 2022

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................
KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................2
B. Rumusan Masalah..............................................................................2
C. Tujuan................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Perkembangan Ajaran Tasawuf ......................................................3
B. Al-Hulul...........................................................................................3
C. Ittihad...............................................................................................4
D. Fana..................................................................................................5

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan......................................................................................6
B. Saran ................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................7

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
           Ilmu tasawuf yang merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat kontroversi
dikalangan para ahli sufi, dikarenakan di dalamnya mengandung berbagai permasalahan yang
menyangkut dengan aqidah dan keimanan seseorang. Dalam sejarah perkembangannya, para
ahli membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku
dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman
mendalam.
           Pada perkembangannya, tasawuf  yang berorientasi ke arah pertama sering disebut
sebagai tasawuf akhlaqi. Ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak
dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut
sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang
sebagai filosof di samping sebagai sufi.
           Perkembangan Tasawuf dan Islam telah mengalami beberapa fase. Pertama, yaitu fase
asketis (zuhud) yang tumbuh pada akad pertama dan kedua Hijriyah sikap asketis ini
dipandang sebagai pengantar tumbuhnya tasawuf. Tasawuf mempunyai perkembangan
tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang selanjutnya
berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak persis dan pasti, corak tasawuf dapat dilihat
dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah.
           Corak-corak ilmu tasawuf yang berkembang menurut rentang waktu yang sangat
panjang, dengan berbagai motif dan konsep-konsep yang berbagai macam tetapi dengan satu
tujuan jua, yakni tentang keimanan dan tujuan hidup seseorang.Tasawuf sebagai ajaran
pembersihan hati dan jiwa memiliki sejarah perkembangannya dari masa ke masa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hulul?
2. Apa yang dimaksud dengan ittihad?
3. Apa yang dimaksud dengan fana?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang hulul.
2. Untuk mengetahui tentang ittihad.
3. Untuk mengetahui tentang fana.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Ajaran Tasawuf
Benih-benih tasawwuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat
dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan pribadi Nabi
SAW. Peristiwa dan perilaku hidup Nabi SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-
hari ia berkhalwat di gua Hira’, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana Nabi SAW
banyak berfikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika
melakukan Isra’-Miraj. Didalam Isra’-Miraj Nabi SAW telah sampai ke sidratul muntaha
(tempat terakhir yang dicapai Nabi SAW ketika miraj di langit yang ke tujuh), bahkan
telah sampai kehadirat Ilahi dan sempat berdialok dengan Allah SWT. Karena itu
Muhammad Husain Haekal (Mesir, 20 Agustus 1888-8 Desember 1956), seorang
sastrawan dan politikus Mesir yang banyak menulis biografi, menulis dalam bukunya
Hayat Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), bahwa hidup sederhana yang dilakukan
oleh Nabi SAW bukanlah suatu kewajiban agama, tetapi dengan cara itulah ia memberikan
teladan tentang ketangguhan mental yang tidak lemah.
Ibadah Nabi SAW. Ibadah Nabi SAW juga merupakan cikal bakal tasawwuf. Dalam
diri Nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak
suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk ujian.
Nabi SAW adalah tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula bagi para sufi, hal
ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Ahzab Ayat 21 yang artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi mu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyak menyebut nama Allah.”[1]
B. Al-Hulul
1. Pengertian dan Tujuan Hulul
Al-Hulul secara bahasa berarti menempati. Dalam istilah tasawuf hulul adalah
ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia-manusia tertentu untuk
mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaannya dihilangkan. Doktrin
Hulul adalah salah satu tipe dalam aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan
lanjut dari paham ittihad. Paham Al-Hulul ini pertama ditampilkan atau Tokoh yang
mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin

3
Mansur al-Hallaj. Ia lahir pada tahun 244 H. (858 M.) Di negeri Baidha salah satu kota
kecil yang terletak di Persia “Husain Ibnu Mansur Al-Hallaj”. Ajaran al-hallaj adalah
imbauan kepada perbaikan moral dan kepada pengalaman persatuan dengan Yang
Dicintai, yaitu Tuhan. Ungkapan yang sangat terkenal “Ana Al-Haqq” (Aku adalah
kebenaran Absolut) atau yang kemudian sering diterjemahkan menjadi “ Aku adalah
Tuhan”.al hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :
a. Al- Hulu Al-jawari, yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada
yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.
b. Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir didalam yang
lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang mengalir di
dalam bunga.
C. Ittihad
1. Pengertian Ittihad
Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana, maka pada saat itu ia telah
dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga rujud diyahnya kekal atau baqa. Di dalam
perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari
tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad.
Ittihad menurut bahasa berarti penyatuan atau berpadunya dua hal, artinya
perpaduan dengan tanpa di antarai sesuatu apapun.  Ittihad di pandang sebagai ajaran
dokrtinal karena memadukan eksestensi dua wujud yang terpisah ( Wahdah Al-Wujud).
Hal ini bertentangan dengan konsep kesatuan wujud jika dipahami sebagai kesatuan.
Dalam tasawuf Ittihad adalah kondisi dimana seorang sufi merasa dirinya menyatu
dengan Tuhansehingga masing-masing di antara keduanya bisa memanggil kata-kata
aku.
Menurut Abu Yazid, ia tidak pernah mengaku sebagai Tuhan. Proses ittihad
adalah naiknya jiwa manusia kehadirat illahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya
segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan  dilihat hanya
hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari sendiri
karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.
Ittihad dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang keras
berpengang pada agama, itu dipandang sebangai kekufuran, faham ittihad
ini  selanjutnya dpat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Paham ijtihad ini
juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata:
“Ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggallah

4
dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu). Ayat dan riwayat tersebut
memberi petunjuk bahwa Allah SWT. Telah member  peluang kepada manusia untuk
bersatu dengan tuhan secara rohaniah dan atau batiniah, yang caranya antara lain
dengan beramal saleh, dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-
sifat dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai manusia, meninggal
dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang kesemua
ini tercakup dalam konsep fana dan baqa.
D. Fana
1. Arti fana
Di dalam kitab ar risalah al-qusyairiah di katakana:
‫ذهاب البشرية‬
a. Arti fana ialah lenyapnya indrawi/ kebasyrian.
Maka siapa yang meliputi Hakikat Ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat
daripada Alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini maka dikatakanlah ia telah
lama fana dari alam cipta / dari makhluk dan baqanya Allah tanpa hulul.
b. Fana, berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat lahir danmaksiat  batin) dan
baqanya/ kekalnya sifat-sifat terpuji  (taat lahir dan taat bathin). Bahwa “fana” itu,
ialah lenyapnya segalanya, lenyap sifat fana/ fana fissifat. Yang tinggal, ialah
baqanya Allah. Dan memang semestinya begitulah, sesuai kata Ahli-Ahli tassawuf:
“ Apabila nampaklah Nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada dan baqalah yang
kekal.” Dan dalam pada ini , Ahli-ahli tassawuf juga berkata:
“Tassawuf itu, ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya karena
kehadiran hati mereka bersama Allah.”[2]
Dari segi bahasa alnafa’ berarti didalamnya berwujud sesuatu. Fana berbeda dengan
al fasad (rusak). Fana artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah
berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Bukan atas dasar perubahan bentuk yang
satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya benda dalam alam itu dengan cara fana,
bukan cara rusak.[3]
Selanjudnya fana yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri ( al-fana’
alnafs), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya kesadaran tubuh kasar
manusia. Menurut qusairi, fana yang dimaksud adalah: fananya seorang dari dirinya dan
makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain
itu.. sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tapi ia tidak sadar
lagi pada mererka dan pada dirinya.

5
2. Tanggapan Tentang Fana
Sahabat nabi yang paling sring memperkatakan tentang “fana” / lenyap, ialah
sayyidana Ali Bin Abi Thalib ra. Beliau berkata :
“ Dan di dalam leburku / fanaku leburlah kefanaanku, tetapi di dalam kefanaanku
itulah bahkan aku mendapat engkau Tuhan.”
Demikianlah Fana di tanggapi oleh para kaum sufi secara baik, bahkan fana itulah
merupakan pintu masuk untuk menemukan Allah( ‫لقاء هللا‬ ) bagi orang yang benar-benar
mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu Allah.
3. Tingkatan-tingkat fana dan Hikmahnya.
a. Tingkat I.(fana fi af-alillah).
.‫ ال فاعل االهللا‬:‫قوله‬
Tiada fi-il/ perbuatan melainkan Allah.
Dalam tingkatan pertama ini, Seseorang telah mulai dalam situasi dimana akal
fikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai “ ilham” tiba-tiba nur ilahi
terbit dalam hati sanubari dan telah lenyap menjadi gerak dan diamnmya Allah.
b. Tingkatan II. ( fana fis sifat).
‫ ال حي اال هللا‬: ‫قوله‬
" Tiada yang hidup sendirinya melainkan Allah.”
Dalam tingkatan ini, sseorang mulai dalam situasi putusnya diri dari alam
indrawi dan mulai lenyapnya segala sifat kebendaan artinya dalam situasi menafikan
diri dan mengisbatkan sifat Allah.
c. Tingkatan III.( fana fil-asma).
‫ ال محمود االهللا‬: ‫قوله‬
“ Tiada yang patut dipuji melainkan Allah.
Dalam tingkatan ini seseorang telah dalam situasi fananya segala sifat-sifat
keinsanannya, lenyap dari alam wujud yang gelap ini masuk kedalam alam ghaib/
yang penuh dengan bercahaya.
d. Tingkatan IV.( fana fizzat).
.‫ ال موجود على االطالق االهللا‬: ‫قوله‬
"   Tiada wujud secara mutlak melainkan Allah.”

6
Dalam tingkatan ini seseorang telah beroleh perasaan batin pada suatu keadaan
yang tak berisi tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka dan belakang, tiada lagi atas dan
bawah pada ruang yang tak tidak bertepi.

4.  Tokoh yang Mengembangkan Fana


 Dalam sejarah tasawwuf  Abu Yazid Al-Bustami ( w. 874 M/) disebut sebut
sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan faham fana dan bakat ini. Nama
kecilnya adalah Thaifur.
5. Hikmah “fana”.
a. Pentauhidan Tuhan semurninya dalam arti,tiada wujud yang mutlak melainkan
Allah
b. Pengenalan Tuhan semurninya, tidak sekedar pengakuan adanya dan satunya
saja dengan ucapan kalimat syahadat, tidak sekedar dalil atau pendapat
dengan  jalan akal

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa, ittihad adalah secara bahasa
dimana seorang sufi merasa dirinya menyatu dengan Tuhan sehingga masing-masing di
antara keduanya bisa mengambil kata-kata aku. Sedangkan Hulul adalah ajaran yang
menyatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia untuk mengambil tempat di
dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiannya dilenyapkan. Secara harfiah hulul bearti Tuhan
mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu,yaitu manusia yang telah dapat
melenyapkan sifat-sifat kemanusiaanya melalui fana. Paham bahwa Allah dapat
mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran Al-Hallaj yang
mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan
nasut (kemanusiaan). Berdasarkan uraian yang telah disebutkan, maka al-Hulul dapat
dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan tuhan bersatu secara
rohaniah.  Fana adalah Fana hilang, hancur, sehingga dapat dipahami bahwa fana
merupakan proses menghancurkan diri sebagai seorang sufi agar dapat bersatu dengan
Tuhan.yaitu dengan hilangnya kesadaran seseorang terhadap keberadaan dirinya dan alam
sekelilingnya. Hal ini dapat terjadi karena latihan yang berat dan perjuangan yang cukup
panjang dalam pendakian rohani.
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari dalam penulisan
makalah ini banyak sekali kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang
konstruktif demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami semoga
makalah ini bisa memberikan sedikit manfaat bagi pembaca pada umumnya dan
pemakalah khususnya. Amin….

8
DAFTAR PUSTAKA
Amir An-najar. Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf. Jakarta: Pustaka Azzam.2000.
K.Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta:PT RINEKA CIPTA. 2004
Mustafa.Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. BINA ILMU: 1998.
Asmaran As. Pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), cet. II

Anda mungkin juga menyukai