Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Ajaran Tasawuf Pada Masa-masa berikutnya (tokok dan Faktor-faktor yang melatar belakanginya)

(Konsep tentang Fana-Hulul dan Ittihad)

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata kuliah Ilmu Tasawuf

Dosen Pengampu : H. Ahsan Irodat,Lc.MH

Disusun oleh:

Ernawati (2011104229)

Najwa Awaliyatul Hidayah (2011104230)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYEKH MANSYUR (STAISMAN)

PANDEGLANG

2022

KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta
kerunia-Nya kepada kita semua sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas makalah ini dengan
tepat pada waktunya. Penulis makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang
diberikan oleh dosen. Tak lupa penyusun ucapkan terimakasih kepada dosen pengajar. Atas
bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang
telah mendukung sehingga dapat diselesaikan makalah ini. Penulis berharap, dengan membaca
makalah ini dapat memberi manfaat pada kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan
kita mengenai “Pengertian Sejarah Munculnya Ajaran Tasawuf”

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu dengan
senang hati menerima kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini.

Pandeglang, Maret, 2022

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................

DAFTAR ISI ............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................................................

B. Rumusan Masalah ..............................................................................................................

C. Tujuan Penulisan ................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................

A. Pengertian Hulul .................................................................................................................

B. Pengertian Fana ..................................................................................................................

C. Pengertian Ittihad ..................................................................................................................

BAB III PENUTUP ...............................................................................................................

A. Kesimpulan .........................................................................................................................

B. Saran.....................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ilmu tasawuf yang merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat kontroversi dikalangan para ahli
sufi, dikarenakan di dalamnya mengandung berbagai permasalahan yang menyangkut dengan aqidah
dan keimanan seseorang. Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua,
yaitu tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori
yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam.

Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut sebagai
tasawuf akhlaqi. Ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan oleh kaum salaf.
Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak
dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof di samping sebagai sufi.

Perkembangan Tasawuf dan Islam telah mengalami beberapa fase. Pertama, yaitu fase
asketis (zuhud) yang tumbuh pada akad pertama dan kedua Hijriyah sikap asketis ini dipandang sebagai
pengantar tumbuhnya tasawuf. Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya.
Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak
persis dan pasti, corak tasawuf dapat dilihat dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah.

Corak-corak ilmu tasawuf yang berkembang menurut rentang waktu yang sangat panjang,
dengan berbagai motif dan konsep-konsep yang berbagai macam tetapi dengan satu tujuan jua, yakni
tentang keimanan dan tujuan hidup seseorang.Tasawuf sebagai ajaran pembersihan hati dan jiwa
memiliki sejarah perkembangan dari masa ke masa.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Yang Dimaksud Dengan Hulul

2. Apa Yang Dimaksud Dengan Fana

3. Apa Yang Dimaksud Dengan Ittihad

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Pengertian Hulul

2. Untuk Mengetahui Pengertian Fana

3. Untuk Mengetahui Pengertian Ittihad


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dan Tujuan Hulul

Al-Hulul secara bahasa berarti menempati. Dalam istilah tasawuf hulul adalah ajaran yang
menyatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia-manusia tertentu untuk mengambil tempat
didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaannya dihilangkan. Doktrin Hulul adalah salah satu tipe dalam
aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari paham ittihad. Paham Al-Hulul ini
pertama ditampilkan atau Tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama
lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir pada tahun 244 H. (858 M.) Di negeri Baidha
salah satu kota kecil yang terletak di Persia “Husain Ibnu Mansur Al-Hallaj”. Ajaran al-hallaj adalah
imbauan kepada perbaikan moral dan kepada pengalaman persatuan dengan Yang Dicintai, yaitu Tuhan.
Ungkapan yang sangat terkenal “Ana Al-Haqq” (Aku adalah kebenaran Absolut) atau yang kemudian
sering diterjemahkan menjadi “ Aku adalah Tuhan”.al hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :

1. Al- Hulu Al-jawari, yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada yang lain (tanpa
persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.

2. Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir didalam yang lain)
sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang mengalir di dalam bunga.

B. Pengetian Fana

Di dalam kitab ar risalah al-qusyairiah di katakan:

a. Arti fana ialah lenyapnya indrawi/ kebasyrian.

Maka siapa yang meliputi Hakikat Ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada Alam baharu,
alam rupa dan alam wujud ini maka dikatakanlah ia telah lama fana dari alam cipta / dari makhluk dan
baqanya Allah tanpa hulul.

b. Fana, berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat lahir danmaksiat batin) dan baqanya/ kekalnya
sifat-sifat terpuji (taat lahir dan taat bathin). Bahwa “fana” itu, ialah lenyapnya segalanya, lenyap sifat
fana/ fana fissifat. Yang tinggal, ialah baqanya Allah. Dan memang semestinya begitulah, sesuai kata
Ahli-Ahli tassawuf: “ Apabila nampaklah Nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada dan baqalah yang
kekal.” Dan dalam pada ini , Ahli-ahli tassawuf juga berkata:

“Tassawuf itu, ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya karena kehadiran hati
mereka bersama Allah.”

Dari segi bahasa alnafa’ berarti didalamnya berwujud sesuatu. Fana berbeda dengan al fasad
(rusak). Fana artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada
sesuatu yang lain. Bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan
hilangnya benda dalam alam itu dengan cara fana, bukan cara rusak. Selanjudnya fana yang dicari oleh
orang sufi adalah penghancuran diri ( al-fana’ alnafs), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang
adanya kesadaran tubuh kasar manusia. Menurut qusairi, fana yang dimaksud adalah: fananya seorang
dari dirinya dan makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk
lain itu.. sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tapi ia tidak sadar lagi pada
mererka dan pada dirinya.

· Tanggapan Tentang Fana

Sahabat nabi yang paling sring memperkatakan tentang “fana” / lenyap, ialah sayyidana Ali Bin Abi
Thalib ra. Beliau berkata : “ Dan di dalam leburku / fanaku leburlah kefanaanku, tetapi di dalam
kefanaanku itulah bahkan aku mendapat engkau Tuhan.”

Demikianlah Fana di tanggapi oleh para kaum sufi secara baik, bahkan fana itulah merupakan pintu
masuk untuk menemukan Allah( ‫ ) ﻟﻘﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ‬bagi orang yang benar-benar mempunyai keinginan dan
keimanan yang kuat untuk bertemu Allah.

· Tingkatan-tingkat fana dan Hikmahnya.

Tingkat I : (fana fi af-alillah).

.‫ ﻻ ﻓﺎﻋﻞ ﺍﻻﺍﻟﻠﻪ‬:‫ﻗﻮﻟﻪ‬Tiada fi-il/ perbuatan melainkan Allah.


Dalam tingkatan pertama ini, Seseorang telah mulai dalam situasi dimana akal fikiran mulai tidak
berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai “ ilham” tiba-tiba nur ilahi terbit dalam hati sanubari dan telah
lenyap menjadi gerak dan diamnmya Allah.

Tingkatan II. ( fana fis sifat).

‫ ﻻ ﺣﻲ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ‬: ‫ﻗﻮﻟﻪ‬

”.Tiada yang hidup sendirinya melainkan Allah "

Dalam tingkatan ini, sseorang mulai dalam situasi putusnya diri dari alam indrawi dan mulai
.lenyapnya segala sifat kebendaan artinya dalam situasi menafikan diri dan mengisbatkan sifat Allah

Tingkatan III.( fana fil-asma).

‫ ﻻ ﻣﺤﻤﻮﺩ ﺍﻻﺍﻟﻠﻪ‬: ‫ﻗﻮﻟﻪ‬

Tiada yang patut dipuji melainkan Allah." Dalam tingkatan ini seseorang telah dalam situasi “
fananya segala sifat-sifat keinsanannya, lenyap dari alam wujud yang gelap ini masuk kedalam alam
.ghaib/ yang penuh dengan bercahaya

Tingkatan IV.( fana fizzat).

.‫ ﻻ ﻣﻮﺟﻮﺩ ﻋﻠﻰ ﺍﻻﻃﻼﻕ ﺍﻻﺍﻟﻠﻪ‬: ‫ﻗﻮﻟﻪ‬

”.Tiada wujud secara mutlak melainkan Allah "

Dalam tingkatan ini seseorang telah beroleh perasaan batin pada suatu keadaan yang tak berisi
tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka dan belakang, tiada lagi atas dan bawah pada ruang yang tak tidak
.bertepi

· Tokoh yang Mengembangkan Fana

Dalam sejarah tasawwuf Abu Yazid Al-Bustami ( w. 874 M/) disebut-sebut sebagai sufi yang
pertama kali memperkenalkan faham fana dan bakat ini. Nama kecilnya adalah Thaifur.

Hikmah “fana”.
1. Pentauhidan Tuhan semurninya dalam arti,tiada wujud yang mutlak melainkan Allah

2. Pengenalan Tuhan semurninya, tidak sekedar pengakuan adanya dan satunya saja dengan
ucapan kalimat syahadat, tidak sekedar dalil atau pendapat dengan jalan akal

C. Pengertian Ittihad

Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana, maka pada saat itu ia telah dapat
menyatu dengan Tuhan, sehingga rujud diyahnya kekal atau baqa. Di dalam perpaduan itu ia
menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari tuhan, itulah yang dimaksud
dengan ittihad.

Ittihad menurut bahasa berarti penyatuan atau berpadunya dua hal, artinya perpaduan
dengan tanpa di antarai sesuatu apapun. Ittihad di pandang sebagai ajaran dokrtinal karena
memadukan eksestensi dua wujud yang terpisah ( Wahdah Al-Wujud). Hal ini bertentangan
dengan konsep kesatuan wujud jika dipahami sebagai kesatuan. Dalam tasawuf Ittihad adalah
kondisi dimana seorang sufi merasa dirinya menyatu dengan Tuhansehingga masing-masing di
antara keduanya bisa memanggil kata-kata aku.

Menurut Abu Yazid, ia tidak pernah mengaku sebagai Tuhan. Proses ittihad adalah
naiknya jiwa manusia kehadirat illahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari
kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah.
Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari sendiri karena dirinya terlebur dalam dia yang
dilihat.

Ittihad dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang keras
berpengang pada agama, itu dipandang sebangai kekufuran, faham ittihad ini selanjutnya dpat
mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Paham ijtihad ini juga dapat dipahami dari
keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagaimana supaya
aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggallah dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu
kemari (bersatu). Ayat dan riwayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah SWT. Telah member
peluang kepada manusia untuk bersatu dengan tuhan secara rohaniah dan atau batiniah, yang
caranya antara lain dengan beramal saleh, dan beribadat semata-mata karena Allah,
menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai manusia,
meninggal dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang
kesemua ini tercakup dalam konsep fana dan baqa.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa, ittihad adalah secara bahasa dimana
seorang sufi merasa dirinya menyatu dengan Tuhan sehingga masing-masing di antara keduanya
bisa mengambil kata-kata aku. Sedangkan Hulul adalah ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat
kemanusiannya dilenyapkan. Secara harfiah hulul bearti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu,yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaanya melalui
fana. Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar
pemikiran Al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu
lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Berdasarkan uraian yang telah disebutkan, maka al-
Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan tuhan bersatu secara rohaniah.
Fana adalah Fana hilang, hancur, sehingga dapat dipahami bahwa fana merupakan proses
menghancurkan diri sebagai seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.yaitu dengan
hilangnya kesadaran seseorang terhadap keberadaan dirinya dan alam sekelilingnya. Hal ini
dapat terjadi karena latihan yang berat dan perjuangan yang cukup panjang dalam pendakian
rohani.

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

- http://tugasdaily.blogspot.com/2018/01/al-hulul-ittihad-fana-ilmu-tasawuf.html?m=1

-http://muhammad-iwad.blogspot.com/2012/05/tasawuf-falsafi-al-fana-ittihad-dan-al.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai