Anda di halaman 1dari 23

KONSEP TENTANG ITTIHAD DAN HULUL

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu tasawuf

Yang Diampuh Oleh : Dr.Fadillah Ulfa,L.,c.M.A

Disusun oleh kelompok 6 :

Sabillah Agus Suryani (2070233024)

Ruli Anggraini ( 2070233026)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAAN ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU TAHUN 2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Konsep tentang ittihad dan
hulul ini t pada waktu yang telah ditentukan.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada
Mata kuliah ilmu tasawuf. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang konsep tentang ittihad dan hulul bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bunda Dr.Fadillah Ulfa,Lc.M.A, selaku


Dosen mata kuliah Ilmu tasawuf yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan sebagai bahan perbaikan
makalah ini, Jazakumullahu Khairan Katsiran.

Bengkulu, 13 April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
Daftar isi...................................................................................................................................ii
BAB 1.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
A. Latar belakang.................................................................................................................1
B. Masalah kajian................................................................................................................3
C. Persoalan Kajian..............................................................................................................3
D. Objektif kajian.................................................................................................................3
E. Analisis Data...................................................................................................................3
F. Penelitiaan Terdahulu......................................................................................................3
BAB II.......................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.......................................................................................................................5
A. KONSEP ITTIHAD DALAM TASAWUF....................................................................5
B. HULUL DALAM KONSEP TASAWUF.....................................................................14
C. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ITTIHAD DAN HULUL..................................18
BAB III....................................................................................................................................19
PENUTUP...............................................................................................................................19
A. Kesimpulan...................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................22

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Ilmu tasawuf merupakan suatu ajaran tentang bagaimana menyucikan jiwa,menjernihkan
akhlak serta membangunkan lahir dan batin untuk dapat memperoleh kebahagian abadi.
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf
yang mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang
rumit dan memahami pemahaman mendalam.

Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut sebagai
tasawuf akhlaqi. Ada yang disebut sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan oleh kaum
salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi.
Tasawuf ini banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof di
samping sebagai sufi.

Perkembangan Tasawuf dan Islam telah mengalami beberapa tahap. Pertama, yaitu fase
asketis ( zuhud ) yang tumbuh pada abad pertama dan kedua Hijriyah, sikap asketis ini
dipandang sebagai pengantar tumbuhnya tasawuf. Tasawuf mempunyai perkembangan
individu dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang selanjutnya
berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak pasti dan pasti, corak tasawuf dapat dilihat
dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah.

Corak-corak ilmu tasawuf yang berkembang menurut rentang waktu yang sangat panjang,
dengan berbagai motif dan konsep-konsep yang berbagai macam tetapi dengan satu tujuan
jua, yakni tentang keimanan dan tujuan hidup seseorang. Tasawuf sejarah sebagai ajaran
ajaran hati dan jiwa memiliki perkembangannya dari masa ke masa.

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didalamnya tercampur antara rasa (dzauq) tasawuf
dan pemikliran akal. Dzauq lebih dekat dengan tasawuf dan rasio lebih dekat  dengan filsafat.
Adapun ciri dari filsafat falsafi adalah menyusun teori-teori wujud berlandaskan rasa atau
kajian proses bersatunya Tuhan dengan manusia dan tasawuf ini bersifat pemikiran dan
renungan.

1
Tasawuf falsafi oleh sebagian kalangan dianggap sebagai lawan dari tasawuf sunni yakni
tasawuf yang ajarannya diklaim sebagai yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan
sahabat-sahabatnya. Dengan demikian reaksi terhadap tasawuf semi falsafi maupun falsafi
dilakukan oleh mereka yang dianggap membela sunnah Nabi. Reaksi terhadap tasawuf semi
falsafi dilakukan oleh al-Qusyairi, al-Harawi, al-Ghazali dan lain sebagainya. Dan reaksi
terhadap tasawuf falsafi ditandai dengan munculnya (ordo) tarikat yang diantara yang latar
belakangnya adalah untuk memagari tasawuf agar senantiasa berada pada koridor syari’at.

B. Masalah kajian
1. Apa pengertian ittihad dan hulul?
2. Apa persamaan dan perbedaan dari ittihad dan hulul ?

C. Persoalan Kajian
1. Mengetahui pegertian konsep ittihad dan hulul.
2. Mengetahui persamaan dan perbedaan dari ittihad dan hulul.

D. Objektif kajian
Dalam objektif kajian ini maka diperlukan penjelasan makna konsep-konsep yang
mendukung judul kajian ini.ada dua konsep pokok yang mendukung judul kajian ini yaitu
pengertian ittihad dan hulul serta perbedaan dan persamaan ittihad dan hulul.konsep
tersebut penting untuk diberikan penjelasan dengan deskripsi secara lebih tegas yaitu
istillah ittihad dan hulul.

E. Analisis Data
Analisis data adalah sebuah proses investigasi,pembersihan tranformasi dan
pemodelan data menggunakan tujuan menemukan penelitian yang bermanfaat.mengingat
tujuan penelitian ini merupakan arah tentang yang akan dituju dalam suatu
penelitian,maka redaksi tujuan penelitian mesti dirumuskan dengan redaksi yang
jelas,tegas dan explisit ,dengan mengacu pada fokus penelitian yang telah ditetapakan
maka tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui sekaligus mendeskripsikan
pengertian ittihad dan hulul serta persamaan dan perbedaannya .dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif model studi tokoh jenis penelitian kepustakaan
(library research).

2
F. Penelitiaan Terdahulu
Penelitian terdahulu oleh Dr.Muniron,M.Ag. berjudul Ittihad dan Hulul dalam
pandangan al-ghazali tahun 2013.

Penelitian terdahulu oleh Oom Mukaromah berjudul Ittihad,Hulul dan Wahdat al-
wujud tahun 2015

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP ITTIHAD DALAM TASAWUF

 Ittihad dalam Perspektif historis

Hasil pemetaan sejarah perkembangan tasawuf (sufisme), baik yang dilakukan oleh para
orientalis maupun intelektual muslim, menunjukkan bahwa abad pertama dan kedua Hijriah
merupakan fase asketisme (kezuhudan), sebuah fase yang merupakan embrio (cikal-bakal)
sufisme (tasawuf). Kehidupan asketik dalam Islam tidak identik dengan praktek kerahiban
(kependetaan), karena para tokoh asketik Muslim seperti al-Hasan al Bashri (w. 185 H) tidak
sampai meninggalkan (mengingkari) kehidupan duniawi secara total. Dalam kaitan ini, para
asketis Muslim lebih cenderung pada upaya-upaya pembebasan dan penghambaan nafsu
duniawi yang dapat menghalangi kedekatan dirinya dengan Tuhan. Sebagai cikal-bakal
sufisme, selain dilatari oleh kuatnya semangat kezuhudan dan ibadah, asketis-me dalam
tradisi sufisme juga dimotivasi oleh semangat dan upaya penyucian diri lahir-batin, hanya
saja pada dekade itu belum dilakukan upaya penyusunan konsep-konsep sufisme yang
bersifat teoritis (Ag and Al-ghazali 2013).1

Selanjutnya, permulaan abad ketiga Hijriah merupakan masa transisi atau peralihan dari
periode kezuhudan (asketisme) kepada sufisme (tasawuf).Pada abad pertama dan kedua
Hijriah belum dilakukan suatu kajian yang melahirkan konsep-konsep tertentu dalam
sufisme, maka permulaan abad ketiga Hijriah merupakan rintisan konseptualisasi tasawuf
dalam berbagai dimensinya (Kusuma 2022). Dengan mempergunakan unsur-unsur budaya
asing yang mempengaruhinya, para tokoh sufi menyusun konsep-konsep,prinsip-prinsip
teoritis yang menyangkut konsep-konsep tersebut, aturan-aturan praktis sehubungan dengan
tarikatnya, serta simbul-simbul khusus dalam sufisme. Fenomena sejarah semacam ini bukan
saja terjadi di sepanjang abad ketiga Hijriah, melainkan terus mengalami penyempurnaan
hingga abad keempat Hijriah. Realitas sejarah yang demikian inilah yang tampaknya
mendasari pernyataan ahli yang mengatakan bahwa “pada abad ketiga dan keempat Hijriah,
eksistensi tasawuf sudah sempurna unsur-unsurnya” (Alfian and Mada 2022).

1
Ag, M, and Dalam Pandangan Al-ghazali. 2013. Dr. MUNIRON, M. Ag.

4
Di antara konsep sufisme yang muncul pada abad ketiga Hijriah dan mempunyai peran
signifikan terhadap perkembangan tasawuf pada abad-abad berikutnya adalah ma’rifah,yang
secara historis diformulasikan pertama kali oleh Dzu an-Nun al-Mishri. Lebih dari itu, Dzu
an-Nun al-Mishri juga menyusun konsep-konsep teoritis tentang perjalanan sufi untuk
menuju ma’rifah yang kemudian secara teknis dalam tasawuf dikenal sebagai maqamat
(stations) dan ahwal. Dalam bentuknya sebagai usaha atau kreasi manusiawi salik (sufi),
ma’rifah disebut sebagai maqam, sedangkan dalam bentuk tidak diusahakan atau bukan
kreasi manusiawi (sebagai limpahan atau karunia Tuhan) ma’rifah dikategorikan sebagai hal,
sehingga dalam tasawuf dikenal adanya ungkapan ”al-maqamat makasib wa al-ahwal
mawahib”. Dan bersamaan dengan itu, muncul keyakinan di kalangan tokoh sufi bahwa
pengetahuan yang benar hanya yang diperoleh melalui alat al-qalb (kalbu, intuisi) dan dzauq
(perasaan), dan pengetahuan yang diperoleh melalui cara semacam ini nilainya lebih tinggi
dari “ilmu” yang perolehanya melalui rasio (nalar). Klaim kebenaran semacam inilah yang
kemudian secara historis memicu polemik berkepanjangan antara sufi dengan fu-qaha’ di satu
pihak dan antara sufi dengan mutakallimun (Teolog Muslim) pada pihak lain.

Erat kaitannya dengan ma’rifah yang diformulasikan oleh Dzu an-Nun al-Mishri, di
kalangan sufi juga muncul faham “fana”. Menyangkut fana’ ini ada dua kecenderungan dan
corak tasawuf di kalangan umat Islam, yaitu: pertama, tasawuf akhlaki (amali) yakni tasawuf
yang cenderung memadukan aspek eksoterik (syari’ah) dengan esoterik (haqiqah) Islam di
satu pihak, dan tidak sampai beralih pada paham-paham yang tampaknya bertentangan
dengan tauhid di lain pihak, sekalipun hanya sebatas dalam bentuk ungkapan lahiriah. Secara
praktis, tasawuf akhlaki amali bermula dari praktek kezuhudan (amaliyyah) tasawuf (dan
amal nazhar), dan berakhir pada penciptaan tasawuf sebagai ilmu dengan dasar-dasar
praktisnya). Sungguhpun sejak abad ketiga dan keempat Hijriah sudah muncul banyak tokoh
dan penulis tasawuf akhlaki,namun puncak kesempurnaannya baru terjadi pada abad kelima
Hijriah, yaitu di tangan al-Ghazali. Ber kaitan dengan ini, at-Taftazani, setelah melakukan
kajian terhadap sejumlah karya tasawuf al-Ghazali, menyimpulkan, “al-Gha-zali telah
berhasil mendeskripsikan secara jelas jalan menuju Tuhan sejak permulaan dalam bentuk
latihan jiwa, lalu menempuh fase pencapaian ruhaniah dalam bentuk maqamat (stations) dan
ahwal, yang kemudian akhirnya sampai pada fana’, tauhid, dan sa’adah (kebahagiaan)”.

5
 Ajaran Ittihad

Dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad jarang bisa dijumpai. Mungkin karena
alasan keselamatan jiwa atau memang karena ajaran ini sulit dipraktikkan.

Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’
dan baqa’. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai
dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya.Dengan mengutip A. R. Al-
Baidhawi, Harun Nasution juga menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang dilihat hanya satu
wujud, sungguh pun ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Dalam ittihad, identitas
telah hilang, identitas telah menjadi satu. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu
wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai.

Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu,
terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata,
mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati.
Pada saat itu sering keluar ucapan-ucapan yang ganjil dan aneh yang
disebut tasawuf dengan syatahat.

Ittihad itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya. Dia
tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu
sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam paham ittihad hilangnya kesadaran adalah permulaan
untuk memasuki tingkat ittihad yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap
dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah
kehancuran (“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran
(fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian Tuhan
kepada seorang sufi. Sekarang kalau memang fana’ yang merupakan prasyarat untuk
mencapai ittihad itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang sendirinya
setelah seorang sufi dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha
memberikan jiwa sebagaimana dikemukakan di atas.

Paham ittihad ini dalam istilah Abu Yazid disebut tajrīd fana’ fīal-tauhīd,(Aboebakar
Atheh, 1984: 136). yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Ungkapan
Abu Yazid tentang peristiwa mi’rajnya berikut ini akan memperjelas pengertian ini. Dia
mengatakan :Pada suatu hari aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata : Abu Yazid

6
makhluk-Ku ingin melihat engkau, Aku Menjawab : Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat
mereka. Tetapi jika itulah kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya untuk menentang
kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat daku,
mereka akan berkata ‘Telah kami lihat Engkau. Tetapi yang merasa lihat akan aku tidak ada
di sana.’

Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini merupakan ilustrasi proses terjadinya


ittihad pada bagian awal ungkapan itu melukiskan alam ma’rifah dan selanjutnya
memasuki alam fana’ ‘an nafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan
akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihad ini lebih jelas lagi dalam ungkapannya,

Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Atau pun berkata :
Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau (Harun Nasution, 1973: 85).
Selanjutnya Abu Yazid berkata : “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain
Aku, maka sembahlah Aku”

Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu seakan-akan ia mengaku


dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian maksudnya. Di sini Abu Yazid mengucapkan
kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi sebagai gambaran
Tuhan, karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid
dalam ittihad berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui
lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan ‘Sebenarnya Dia berbicara melalui
lidahku sedangkan aku sendiri dalam keadaan fana’.

Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Kata-kata
serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid sebagai kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata
itu diucapkan dalam keadaan ittihad.

Proses terjadinya fana’ hingga mencapai ittihad atau menyatu dengan wujud Allah
digambarkan sebagai berikut : Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat
pribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan
penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah memulai menyaksikan keindahan wajah
Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya
kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah mulai menyaksikan

7
keindahan wajah Allah, kemudian akhirnya lenyap kesadaran akan kefanaannya itu sendiri
lantaran telah merasa lebur atau menyatu dalam wujud Allah.

Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya itihad, seorang sufi harus
melalui tiga tahapan, Yaitu pertama, lenyapnya kesadaran akan alam sekelilingnya lantaran
seluruh kesadarannya telah beralih dan terpusat ke alam batin. Itulah baqa’ dalam
penghayatan ghaib yang dalam tasawuf dinamakan kasyf. Pada tingkat kedua mulai
menyaksikan langsung apa yang mereka yakini sebagai zat AlHaqq (Tuhan). Itulah
penghayatan ma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam kejiwaan sewaktu fana’.

Pada tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah adalah fana’ al-fana’, yakni
lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran telah terhisap dan luluh dalam
kesatuan dengan Tuhannya. Salah satu dalil tentang adanya fana’ ini yang sering disitir dalam
kitab-kitab tasawuf adalah firman Allah dalam surah Yusuf ayat 31  sebagai berikut: “Maka
tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnya lah wanita-wanita itu
dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing
mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf) :
“Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada  mereka.” Maka tatkala wanita-wanita itu
melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan  rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya
dan berkata: “Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain
hanyalah malaikat yang mulia”. (Surat Yusuf/12: 31).

Dalam mengomentari ayat di atas Imam al-Qusyairi berkata: Ini baru ketuhanan seorang
makhluk tatkala menyaksikan keindahan makhluk lain.sudah fana’. Bayangkan bagaimana
seorang sufi yang menghayati terbukanya tabir lalu menyaksikan keindahan  wajah Ilahi. Jadi
tidak mengherankan bila dia fana’, tidak sadar akan dirinya dan akan makhluk sejenisnya
(Al-Qusyairi, t.th.: 68). Hanya dengan melihat wajah Nabi Yusuf yang tampan, mereka telah
terpesona hingga tak sadar, memotong jari mereka dan tidak merasa sakitnya. Apalagi bagi
sang sufi yang terpesona melihat keelokan wajah Tuhannya yang tidak bisa dilukiskan
dengan kata-kata.

8
Untuk memahami pengalaman mistis seperti yang diuraikan di atas patut diperhatikan
pernyatakan William James dalam bukunya The Varieties of Religion Experience.
Menurutnya ada empat karakter khas pengalaman mistis, dan dengan cara  menjelaskan
keempat karakter tersebut diharapkan mampu menghindari dari  perselisihan verbal dan sikap
saling menyalahkan.2

Empat karakter tersebut ialah sebagai berikut :

 Tidak bisa diungkapkan. Orang yang mengalaminya mengatakan bahwa pengalaman


itu tidak bisa diungkapkan, tidak ada uraian manapun yang memadai untuk bisa
mengisahkannya dalam kata-kata. Ini berarti bahwa kualitas semacam ini harus
dialami secara langsung dan tidak bisa diberikan atau dipindahkan kepada orang lain.
 Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan, bagi orang yang
mengalami situasi mistis ini juga adalah situasi berpengetahuan. Dalam situasi
ini,orang mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali
melalui intelek yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan
dan pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti yang hanya bisa dirasakan.
 Situasi transien. Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup
lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi, batas-batas yang bisa
dialami seseorang sebelum kemudian pulih kekeadaan biasa adalah sekitar setengah
jam, atau paling lama satu atau dua jam.
 Kepasifan. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan
pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan pikiran,
gerakan tubuh tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam pembagai
buku panduan mistisime. Meskipun demikian, saat kesadaran khas yang ada pada
situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk sementara hasratnya
menghilang dan ia merasa direngkuh dan dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih
tinggi.

Dengan mengikuti keterangan zaman diatas , maka situasi ittihad Abu Yazid harus
dipahami dalam konteks pengalaman kejiwaan seorang sufi. Sebagai pengalaman kejiwaan
yang berdimensi spiritual tentu sangat bersifat personal dan unik. Hal ini dapat dilihat dari
ciri-ciri : Sangat sulit, bahkan mustahil di ungkapkan dengan kata-kata, menimbulkan

Devi Umi Solehah. 2021. “Konsep Pemikiran Tasawuf Falsafi (Ittihad, Hulul Dan Wihdatul
2

Wujud).” Islam & Contemporary Issues 1(2): 1–8.


9
pencerahan dan kesadaran adanya Yang Mahakuasa yang menguasai ruang dan waktu, hanya
terjadi dalam waktu singkat, dan berlaku.

 KONSEP ITTIHAD (THE MYSTICAL UNION)

Ittihad (the mystical union) secara historis dapat dikatakan sebagai bentuk tasawuf falsafi
yang paling awal. Sebagaimana telah terpetakan dalam sejarah tasawuf, pemikiran tasawuf
fal-safi baru muncul sesudah para sufi (sunni) menetapkan puncak penghayatan spiritual
dengan istilah ma'rifah. Oleh karena itu sungguh sangat beralasan kalau kemudian ittihad
diposisikan setelah ma’rifah, baik menyangkut sejarah kemunculannya maupun derajat atau
kualitas kedekatannya dengan Tuhan. Dengan posisinya yang semacam ini, dalam konteks
tasawuf falsafi sangat wajar kalau kemudian Abdul Qadir Mahmud memposisikan ittihad
sebagai muqaddimah bagi hulul Abu Mansur al-Hallaj dan wahdah al-wujud Ibn 'Arabi. Dan
dalam kapasitasnya sebagai tasawuf falsafi periode awal, Harun Nasution, setelah melakukan
identifikasi teoritis-konseptual, telah menemukan adanya sisi-sisi tertentu dari bangunan
konseptual ittihad yang relatif kurang jelas elaborasi konsepsionalnya.

Di samping sebagai penggagas doktrin fana' dan baqa' sebagai diuraikan di atas, Abu
Yazid al-Busthami diapresiasi sebagai sufi pencetus ittihad. Memang tampaknya Abu Yazid
al-Busthami sendiri tidak pernah mempergunakan istilah ittihad untuk menunjuk puncak
capaian penghayatann spiritualnya; istilah yang dia pergunakan untuk menyebut puncak
pengalaman kesufiannya adalah ”tajrid fana’ at-tauhid”, yakni penyatuan hamba dengan
Tuhan dengan tanpa diantarai oleh sesuatu pun. Oleh karena demikian ini, maka penempatan
Abu Yazid al-Busthami sebagai pencetus ittihad58 tampaknya lebih didasarkan hasil
"inerpretasi" subyektif pihak outsider terhadap ungkapan-ungkapan mistik (syathahat /
theopathical stammirings)-nya,yang dalam tradisi tasawuf falsafi memang dipandang sebagai
media yang absah untuk mengekspresikan puncak-pengalaman spiritual para sufi. Dalam
konteks ini,di antara ungkapan mistis Abu Yazid al-Busthami sehingga dia diapresiasi
sebagai pencetus itti-had adalah sebuah riwayat yang mengurai dengan terminologi “mi'raj”
al-Busthami berikut ini.Artinya: “pada suatu hari, ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan
ia berkata “Abu Yazid, makhluk-ku ingin melihat engkau. Aku menjawab kekasihku aku
tidak ingin melihat mereka. Tetapi jika ini kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya (kuasa)
untuk menentang kehendakmu. Oleh Karena itu, hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga
jika makhluk-Mu melihat aku mereka akan berkata, telah kami lihat engkau”. Karena di

10
ketika itu, aku tidak ada disana”. Tuhan Berkata “semua mereka kecuali engkau adalah
mahluk-Ku. Akupun berkata “Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku dan Aku adalah
Engkau”.

Dari riwayat mengenai mi’raj Abu Yazid al-Busthami tersebut, minimal ada dua elemen
penting berkaitan dengan bangunan teoritis-konseptual ittihad, khususnya menyangkut
prasyarat terjadinya ittihad dan sekaligus makna ontologis dari konsep ittihad itu sendiri. Dari
penggalan teks “wala akun hunak” (aku tidak ada di sana), kiranya dapat dipahami bahwa
sesungguhnya fana’ ‘an nafs adalah merupakan prasyarat atau prakondisi bagi ittihad. Simuh,
dengan berpijak pada tipologi fana’ ‘an nafs al- Qusyairi. menguraikan secara detail proses
terjadinya ittihad. Ketika sufi mengalami fana’ dari diri dan sifat-sifat pribadinya lantaran
kesadaranya terfokus pada realitas lebih tinggi yakni sifat- sifat Tuhan, maka pada saat
itulanjut Simuh terjadi kasyf al- hijab (ketersingkapan hijab atau tabir kegaiban) dan
kemudian diikuti oleh baqa’dalam bentuk penyaksian spiritual terhadap ciptaan atau karya-
karya Tuhan di alam ruhani (ma’rifah) dan setelah itu terhadap Tuhan (ma’rifatullah); dan
akhirnya ketika pada puncak ma’rifah itu sufi mengalami fana’ al-fana’ maka kesadaranya
tercerap dan luluh dalam kesadaran serba Tuhan, yang berarti tercapai ittihad. 3

Dari uraian tersebut dapat dipahami, bahwa ketika tercapai fana’ al-fana’ (puncak ke-
fana’-an) yang diindikasikan oleh hilang- nya kesadaran sufi terhadap diri sendiri dan bahkan
terhadap kefana’an-nya itu sendiri, maka akan berimplikasi langsung kemunculan ittihad,
yakni penyatuan hamba atau manunggalnya dengan Tuhan. Sungguhpun al-Busthami tidak
memberikan uraian rinci landasan epistomologi ittihad, namun tampaknya ittihad tidak lepas
dari kerangka dasar epistomologi tasawuf, yang mengalami ittihad dengan Tuhan adalah ruh
sufi, bukandimensi jasmaninya”. Namun, ada satu hal penting ditegaskan menyangkut
karakteristik atau ciri khas ittihad, yakni bahwa dalam proses terjadinya ittihad. ruh sufi yang
mi'raj (naik) untuk menyatu dengan ruh Tuhan,64 bukan ruh Tuhan yang tanazzul (turun)
untuk menyatu dengan ruh hamba sebagaimana terjadi pada hulul Abu Mansur al-Hallaj.

Ketika terjadi ittihad, diri sufi memang telah hancur (fana’), namun yang dimaksudkan
bukanlah diri sufi itu menjadi tiada. Sebenarnya pada saat terjadi ittihad, diri kemanusiaan
sufi masih ada, hanya saja tidak ia sadari dan yang sufi sadari atau rasakan pada saat itu
hanya satu wujud semata yakni Tuhan,65 al-fani la yutsbit syai'an siway Allah li fana'ih `an

3
Al-fana, Konsep, Al-baqa D A N Al-ittihad, and A B U Yazid Al-bustami. 2021. “Konsep
Al-Fana, Al-Baqa Dan Al-Ittihad Abu Yazid Al-Bustami.” 2(2): 155–66.
11
kulli siwah (orang yang fana' tidak menetapkan sesuatu pun selain Allah).Dengan demikian
menjadi tepat kalau ittihad itu hanya berbentuk kesadaran ruhani (bi as-syu'ur), bukan bersifat
hakiki; karena masing-masing pihak masih tetap berada pada esensinya, Tuhan tetap Tuhan
dan makhluk (sufi) pun tetap makhluk, keduanya tidak akan pernah benar-benar menjadi satu
(hakiki) karena yang demikian ini bertentangan dengan prinsip ketauhidan.

Mengingat dalam ittihad itu, yang pangkalnya sebagaimana terjadi pada segala bentuk
faham penyatuan hamba dengan Tuhan pada setiap tasawuf falsafi adalah cinta rindu, dan
yang disadari dan dirasakan oleh sufi pada saat itu hanyalah satu wujud, maka pada saat
demikian itu sampai dapat terjadi pertukaran peran antara sufi dengan Tuhan; salah satu dari
keduanya dapat memanggil yang lain dengan kata-kata “hai aku” (ya ana). Karena memang
suatu cinta itu belumlah dapat dikatakan benar- benar cinta (hakiki) sampai salah satu dari
kedua belah pihak memanggil dengan ungkapan “hai aku” (ya ana). Hal yang demikian ini
secara historis benar-benar pernah dialami dan dicapai oleh Abu Yazid al-Busthami,
sebagaimana terungkap dalam pernyataannya berikut ini:

Artinya: "Konversi pun terputus; kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia
pun berkata: "Hai engkau". Aku dengan perantaraan-Nya menjawab:" Wahai Aku". Ia
berkata: "Engkaulah yang satu". Aku menjawab: "Akulah yang satu". Ia berkata selanjutnya:
"Engkau adalah Engkau". Aku menjawab: "Aku adalah Aku".

Yang penting diperhatikan dari ungkapan tersebut adalah perkataan Abu Yazid al-
Busthami “fakultu bih", aku nenjawab melalui diri-Nya. Kata “bih”, melalui diri-Nya,
menggambarkan bahwa pada saat itu al-Busthami sedang berada dalam kondisi "menyatu"
(ittihad) dengan Tuhan, ruhnya telah lebur dan menyatu ke dalam ruh Tuhan. Dan ketika itu,
sufi tidak sadar terhadap dirinya sendiri dan bahkan terhadap ke-fana'-annya itu sendiri,
sehingga yang disadari dan dirasakan olehnya saat itu hanyalah satu wujud, yaitu wujud
Tuhan semata, meskipun sebenarnya pada saat itu masih ada dua wujud yang berpisah antara
satu dengan lainnya. Dengan demikian, yang mengatakan "hai Aku Yang Satu" bukan al-
Busthami, melainkan Tuhan (bukan dzat Tuhan),yang sedang menguasai atau meliputi diri
sufi Abu Yazid al-Busthami.

12
B. HULUL DALAM KONSEP TASAWUF

 Pemikiran Hulul Al Hallaj

Hulul merupakan ajaran al-Hallaj yang membedakan dari warna tasawuf lainya, dan hulul
ini pula yang telah banyak menimbulkan polemik pada waktu itu bahkan dikalangan sufi
sendiri (Devi Umi Solehah 2021).

Hulul secara leksikal merupakan kata benda abstrak (masdar) yang diderivisikan dari kata
(‫ )حل يحل حال ال حلو ال‬lalu di Indonesiakan menjadi menempati, bertempat tinggal bahkan dalam
bentuk plus alif-nun (‫ )حالة‬ia dapat berarti luluh atau larut menyatu.

Doktrin al-hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan merupakan
perkembangan lanjut dari paham it-tihad. Konsepsi al hulul pertama kali ditampilkan oleh
Husen Ibn Mansur Al-Hallaj yang meninggal karena dihukum mati di Bagdad pada tahun 308
H, karena paham yang disebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa itu.

Pengertian al-hulul secara singkat adalah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia
tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaan
melalui fana atau eksate. Sebab menurut Al-Halaj, manusia mempunyai sifat dasar yang
ganda, yaitu sifat ketuhanan atau lahut dan sifat insani atau nasut (Al-fana, Al-ittihad, and Al-
bustami 2021).

Demikian juga Tuhan memiliki sifat ganda yaitu sifat-sifat Ilahiyat atau lahut dan sifat
insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah menghilangkan sifat kemanusiaanya dan
mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, Maka Tuhan akan mengambil tempat
dalam dirinya dan terjadilah kesatuan antara manusia dengan Tuhan dan inilah yang
dimaksud dengan hulul.

Mempunyai perasamaan dengan faham yang dikemukakan sebelumnya yakitu Ittihad.


Dalam terminologi Indonesia hulul dikenal sebagai : fusi penyerapan atau penyatuan ; istilah
ini digunakan dalam filsafat dengan berbagai macam pengertian.

13
a. Penyatuan substansial antara jasad (tubuh) dan ruh (jiwa),

b. Penyatuan ruh dengan tuhan dalam diri manusia,

c. Inherensi suatu aksi dalam substansinya,

d. Penyatuan bentuk -bentuk (shurat) dengan materi pertama dan

e. Hubungan antara suatu benda dengan tempatnya.

Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul, jasad
al-Hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya
diri Allah, dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud
yang bersatu dalam satu tubuh.

Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamanya tentang proses kejadian manusia.
Al-Halaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptankan Tuhan sebagai
copy dari diri-Nya surah min nafsih dengan segenap sifat dan kebesaranya, sebagaimana
yang ia ungkapkan dalam Syair nya maha suci dzat yang menampakan nasut-Nya,seiring
cemerlang bersama lahut-Nya,demikian pula pada makhluk-Nya pun terlihat nyata,seperti
manusia yang makan dan minum layaknya.

Menurut pemahamanya adanya perintah Allah agar Malaikat sujud kepada Adam itu
adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus disembah seagaimana
menyembah Allah. Bagaimana gambaran hulul itu, dapat dipahami dalam ungkapan Al-
Hallaj berikut ini:

Berbaur sudah sukmamu dalam rohku menjadi satu,

Bagai anggur dan air bening berpadu,

Bila engkau tersentuh terusik pula aku,

Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah aku.

Aku yang kurindu, dan yang kurindu aku jua,

Kami dua jiwa padu dalam satu raga,

Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu,

14
Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu tampak nyata.

Dari ungkapan di atas terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak
hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riel
karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah.

Oleh karena itu ucapan ana al haq yang meluncur dari lidah Al-Hallaj bukanlah ia
maksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan. Sebab yang mengucapkan
kalimat itu pada hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah Al-Hallaj.

Interpensi ini sesuai pula dengan pernyataan Al-Hallaj dalam syair berikut:

Aku adalah rasia yang maha benar, aku bukanlah yang maha benar, aku hanyalah yang
benar, bedakanlah antara kami.

Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian juga
manusia. Melalui maqamat, manusia mampu ke tingkat fana, suatu tingkat dimana manusia
telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatkan lahut yang mengontrol dan
menjadi ini kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan untuk hulul-nya Tuhan dalam
dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-Nya, melalui titik
sentral manusia yaitu roh.

adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa
Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah
sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.4

Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia

mentakwilkan ayat:

‫استَ ْكرَبَۖ َو َكا َن ِم َن الْ ٰك ِف ِريْ َن‬ ِ ِ ‫ِاَّل‬ ٰ ‫اِل‬ ِ ۤ ِ ِ


ْ ‫سۗ اَىٰب َو‬ ْ ‫َوا ْذ ُقْلنَا ل ْل َم ٰل ِٕى َكة‬
َ ‫اس ُج ُد ْوا َد َم فَ َس َج ُد ْوٓا ا ٓ ابْلْي‬

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia
termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Baqarah : 34).
4
Kusuma, Amir Reza. 2022. “Konsep Hulul Menurut Al-Hallaj Dan Penempatan Posisi
Tasawuf The Concept of Hulul According to Al-Hallaj and the Positioning of Sufism
Abstrak.” 12: 2655–63.

15
Sesuai dengan ajarannya, maka tatkala ia mengatakan "Aku adalah al-Haq" bukanlah al-
Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil dalam dirinya.

Sementara itu, hululnya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan maqamat
sebagaimana telah disebutkan, terutama maqam fana. Fana bagi al-Hallaj mengandung tiga
tingkatan :

tingkat memfanakan semua kecenderungan dan keinginan jiwa; tingkat memfanakan


semua fikiran (tajrid aqli), khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata
hanya kepada Allah, dan tingkat menghilang semua kekuatan pikir dan kesadaran. Dari
tingkat fana dilanjutkan ke tingkat fana al-fana, peleburan ujud jati diri manusia menjadi
sadar ketuhanan melarut dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan.

Dari uraian di atas dapat kami simpulkan sebagai berikut:

1. Abu Yazid Al-Bustami adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenlkan faham
fana,baqa dan ittihad.
2. Al Hallaj Perbedaan adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenalkan faham
hulul
3. Antara al-Ittihad dengan al-Hulul

Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, diistilahkan diri al-Bustami lebur dan yang
ada hanya diri Allah sedangkan dalam hulul, jasad al-Hallaj tidak lebur ada dua wujud yang
bersatu dalam satu tubuh.

Tokoh- Tokoh

1. Tokoh Ittihad
Abu Yazid Al- Bustomi
Lahir di Bistam,persia pada tahun 874 M ,Di mana sebagian besar waktunya ia gunakan
untuk beribadah dan memuja Tuhan, yang di mulai delngan timbulnya faham fana, dan
baqa
2. Tokoh Hulul
Husein Ibnu Mansur Al-Hallaj

Lahir di kota persia tahun 858 M, Menurut pemikiran tasawuf nya bahwa Tuhan mempunyai
sifat kemanusian dan Manusia mempunyai sifat ketuhanan.5
5
Alfian, Andi, and Universitas Gadjah Mada. 2022. “Al-Hulul Dalam Tasawuf.”
16
C. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ITTIHAD DAN HULUL
Perbedaan antara ittihad al-Bustami dengan hulul al-Hallaj adalah dalam hulul diri al-
hallaj tidak melebur atau hilang, sementara dalam ittihad diri Abu Yazid hancur dan yang ada
hanya diri Tuhan. Jadi dalam ittihad yang dilihat satu wujud, sedang dalam hulul ada dua
wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh.

1. Ajaran ittihad hulul sama-sama mengajarkan tentang persatuan antara tuhan tuhan dan
hamba
2. Ittihad : tingkah manusia yang buruk menjadi baik seolah olah roh nya naik dan bersatu
dengan sang pencipta
3. Hulul : peningkatan tingkah baik manusia hingga mengabaikan urusan dunia seolah olah
roh keutuhan telah turun dan masuk ke dalam tubuh atau jasad sang hamba.

Researchgate.Net (July).
https://www.researchgate.net/profile/Andi-Alfian/publication/361691068_Al-
Hulul_dalam_Tasawuf/links/62bfcd2f3d26d6389e8acc89/Al-Hulul-dalam-Tasawuf.pdf.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata Ittihad berasal dari kata ijtahada yajttahidu ijtihadan yang berarti kebersatuan.
Ittihad menurut Abu Yazid Al Bustami, secara komperhensif maupun etimologis, berarti
integrasi, menyatu atau persatuan (unity). Ittihad memiliki arti “bergabung menjadi satu”.
Paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur
dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa’, bersatu
dengan Allah. Ittihād dalam ajaran tasawuf kata Ibrahim Madkur adalah tingkat tertinggi
yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia.

Hulul merupakan ajaran al-Hallaj yang membedakan dari warna tasawuf lainya, dan hulul
ini pula yang telah banyak menimbulkan polemik pada waktu itu bahkan dikalangan sufi
sendiri. Pengertian al-hulul secara singkat adalah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat
kemanusiaan melalui fana atau eksate. Sebab menurut Al-Halaj, manusia mempunyai sifat
dasar yang ganda, yaitu sifat ketuhanan atau lahut dan sifat insani atau nasut.

Persamaan dan perbedaan ittihad dan hulul :

1. Ajaran ittihad hulul sama-sama mengajarkan tentang persatuan antara tuhan tuhan dan
hamba
2. Ittihad : tingkah manusia yang buruk menjadi baik seolah olah roh nya naik dan bersatu
dengan sang pencipta
3. Hulul : peningkatan tingkah baik manusia hingga mengabaikan urusan dunia seolah olah
roh keutuhan telah turun dan masuk ke dalam tubuh atau jasad sang hamba.

18
B. Saran

Dengan disusunnya makalah ilmu tasawuf dengan judul “Konsep Tentang Ittihad dan
Hulul” ini, Penulis mengharapkan pembaca dapat mengetahui lebih jauh, lebih banyak, dan
lebih lengkap tentang Pembahasan konsep ittihad dan hulul, Pembaca dapat membaca dan
mempelajari konsep ittihad dan hulul dari berbagai sumber, baik dari intenet maupun media
informasi lainnya, Karena penulis hanya membahas secara garis besarnya saja. Disini penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, Sehingga
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan, Agar dalam penyusunan makalah pada
kesempatan selanjutnya lebih baik lagi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ag, M, and Dalam Pandangan Al-ghazali. 2013. Dr. MUNIRON, M. Ag.

Al-fana, Konsep, Al-baqa D A N Al-ittihad, and A B U Yazid Al-bustami. 2021. “Konsep


Al-Fana, Al-Baqa Dan Al-Ittihad Abu Yazid Al-Bustami.” 2(2): 155–66.

Alfian, Andi, and Universitas Gadjah Mada. 2022. “Al-Hulul Dalam Tasawuf.”
Researchgate.Net (July).
https://www.researchgate.net/profile/Andi-Alfian/publication/361691068_Al-
Hulul_dalam_Tasawuf/links/62bfcd2f3d26d6389e8acc89/Al-Hulul-dalam-Tasawuf.pdf.

Devi Umi Solehah. 2021. “Konsep Pemikiran Tasawuf Falsafi (Ittihad, Hulul Dan Wihdatul
Wujud).” Islam & Contemporary Issues 1(2): 1–8.

Kusuma, Amir Reza. 2022. “Konsep Hulul Menurut Al-Hallaj Dan Penempatan Posisi
Tasawuf The Concept of Hulul According to Al-Hallaj and the Positioning of Sufism
Abstrak.” 12: 2655–63.

20

Anda mungkin juga menyukai