Anda di halaman 1dari 26

PENGENALAN TASAWWUF AKHLAKI DAN FALSAFI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawwuf


Dosen Pengampu : Dr. Samsul Basri, S.Si,. M.E.I

Disusun Oleh :

1. Siti Aisyah Amini 211105010298


2. Diego Irfana Diazhady 211105010299
3. M Sihabudin Ilham 211105010272
4. Nabila 211105010302

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, saya
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengenalan Tasawwuf Akhlaki dan Falsafi”
dengan tepat waktu.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawwuf. Selain
itu, makalah ini bertujuan untuk menambah Ilmu dan wawasan Pengenalan Tasawwuf
Akhlaki dan Falsafi sesuai dengan syariat islam bagi para pembaca dan juga saya sebagai
penulis.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Samsul Basri, S.Si,. M.E.I
selaku dosen Mata Kuliah Akhlak Tasawwuf. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh dengan itu saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................................2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA................................................................................................................3
A. Pengenalan Tasawwuf Akhlaki....................................................................................3
1. Pengertian Tasawwuf Akhlaki....................................................................................3
2. Karakteristik Tasawwuf Akhlaki.................................................................................4
3. Tokoh-Tokoh Tasawwuf Akhlaki...............................................................................4
B. Pengenalan Tasawwuf Falsafi......................................................................................6
1. Pengertian Tasawwuf Falsafi......................................................................................6
2. Karakteristik Tasawwuf Falsafi...................................................................................8
3. Tokoh-Tokoh Tasawwuf Falsafi.................................................................................8
BAB III
PEMBAHASAN.....................................................................................................................12
A. Pemahaman Tasawwuf Akhlaki................................................................................12
1. Sejarah Perkembangan Tasawwuf Akhlaki...............................................................12
2. Ajaran Tasawwuf Akhlaki.........................................................................................14
3. Tujuan Tasawwuf Akhlaki........................................................................................17
B. Pemahaman Tasawwuf Falsafi..................................................................................17
1. Sejarah Perkembangan Tasawwuf Falsafi.................................................................17
2. Ajaran Tasawwuf Falsafi...........................................................................................19
3. Tujuan Tasawwuf Falsafi..........................................................................................20
BAB IV
PENUTUP...............................................................................................................................21
A. Simpulan......................................................................................................................21
B. Kritik dan Saran.........................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak pendapat yang masyhur mengatakan bahwa peranan tasawuf dalam
peneyebaran Islam di Bumi Nusantara sangat besar. Bahkan motif utama dalam penyebaran
Islam di Indonesia adalah tasawuf. Para sufi dianggap sebagai kelompok yang paling
berperan dalam penyebaran Islam di Nusantara dengan kharismatik dan keilmuan yang
mereka miliki. Kebanyakan kalangan muslim percaya bahwa salah satu aspek penting untuk
mengetahui keuniversalan ajaran Islam adalah adanya dorongan untuk senantiasa mencari
ilmu pengetahuan dimana saja dan kapan saja umat Islam berada. Dengan adanya dorongan
dari ayat-ayat al-Qur‘an maupun dalam al-Hadits yang menganjurkan umat Islam agar
mencari ilmu pengetahuan inilah yang menyebabkan lahirnya beberapa disiplin ilmu
pengetahuan dalam Islam, dimana salah satu di antaranya adalah lahirnya ilmu tasawuf.
Tasawuf adalah cabang ilmu dalam Islam yang penerapannya menekankan pada
pembersihan diri melalui pembentukan akhlak yang baik. Tasawuf memegang peranan
penting dalam kehidupan rohani Islam, dengan kata lain bertasawuf itu adalah fitrah manusia
dimana dapat membersihkan diri dari segala kesibukan duniawi yang bertujuan untuk
pencapaian hakikat kesucian rohani yang sesungguhnya, karena sesungguhnya tujuan akhir
manusia adalah mengikat lingkaran rohaninya dengan Allah SWT.
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah
perkembangan. Terdapat dua corak dalam dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali
(praktis) dan tasawuf nazhari (teoritis). Ada tasawuf yang mengarah pada teori perilaku, ada
pula tasawuf yang mengarah pada teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang
mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi kearah perilaku sering disebut
sebagai tasawuf salafi, akhlaqi, atau sunni. Tasawuf jenis ini banyak dikembangkan oleh
kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi pada arah filsafat disebut sebagai tasawuf
falsafi. Tasawuf ini banyak dikembangkan oleh para sufi yang berlatar belakang sebagai
filosof, disamping sebagai sufi.
Pembagian dua jenis tasawuf tersebut, didasarkan pada kecenderungan ajaran yang
dikembangkan, yakni kecenderungan perilaku atau moral keagamaan, dan kecenderungan
pada pemikiran. Dua kecenderungan ini terus berkembang hingga masing-masing
mempunyai jalan sendiri-sendiri. Untuk memahami perkembangan tasawuf ke arah yang

1
berbeda, perlu dilihat lebih jauh tentang sejarah dan perkembangannya. Dalam makalah ini,
penulis akan menjelaskan tentang “Pengenalan Tasawwuf Akhlaki dan Falsafi”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tasawwuf akhlaki dan falsafi ?
2. Bagaimana pemahaman tentang tasawuuf akhlaki dan falsafi ?

C. Tujuan
Berdasarkan masalah yang dipaparkan pada rumusan masalah, maka tujuan dari
makalah ini untuk:
1. Mengetahui dan memahami tasawwuf akhlaki dan falsafi.
2. Mengetahui dan memahami pemahaman tentang tasawuuf akhlaki dan falsafi.

2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengenalan Tasawwuf Akhlaki


Akhlak dan tasawuf sebenarnya dua displin ilmu Islam yang digali dan dikembangkan
oleh ulama Islam dari konsep dasar keIslaman, Al- Quran dan Al-Hadits, serta diperkaya dari
aktivitas Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Sama dengan ilmu keIslaman yang lain
seperti, Fiqh, Tauhid, Tajwid dan lain-lain, ilmu akhlak tasawuf hadir dalam Islam pada
perkembangan keilmuan Islam. Ketika Islam masih berda di tempat kelahirannya, mekah dan
madinah, ilmu-ilmu keIslaman tersebut belum di kenal, tak terkecuali akhlak dan tasawuf
dalam pengertian Islam secara formal.1

1. Pengertian Tasawwuf Akhlaki


Kata “tasawuf” dalam bahasa Arab adalah bisa “membersihkan” atau “saling
membersihkan”. Kata “membersihkan” merupakan kata kerja yang membutuhkan
objek. Objek tasawuf adalah akhlak manusia. Dalam bahasa Arab kata Khuluqun
berarti perangai, sedang jama‟nya adalah Akhlakun. Dalam bahasa Indonesia berarti
tabi‟at atau watak. Berdasarkan leksinal makna ini, maka hadits-hadits di atas di
pahami, bahwa apa yang kongkrit dari setiap aktivitas, sangat ditentukan oleh kondisi
jiwa pelakunya yang berupa, perangai, tabi‟at dan watak. Menurut Imam Ghazali,
akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang melahirkan perbuatan-
perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun pertimbangan.
Jadi, jika kata “tasawuf” dengan kata “akhlak” disatukan, akan terbentuk
sebuah frase yaitu tasawuf akhlaki. Secara etimologi, tasawuf akhlaki ini bermakna
membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku.2
Tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak
manusia, mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan manusia yang dapat
berma’rifat kepada Allah Swt, dengan metode-metode tertentu yang telah
dirumuskan. Tasawuf akhlaki, biasa disebut juga dengan istilah tasawuf sunni, yaitu
bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al-Qur’an dan al-Hadist. Dalam diri
manusia ada potensi untuk menjadi baik (akhlak mulia) dan ada potensi untuk
menjadi buruk (akhlak tercela). Potensi untuk menjadi baik adalah al-‘aql (akal) dan
1
H A Rivay Siregar, “H.A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme , (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 125 12 1” (2002): 1–6.
2
H Safria Andy, “Diktat Ilmu Tasawuf,” Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Keislaman 3 (2019): 67.

3
al-qalb (hati). Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-nafs (nafsu) yang
dibantu oleh syaithan.3 Sebagaimana digambarkan Allah Swt dalam firmannya:
7 ‫َو َنْفٍس َو َم ا َسَّو ٰى َها‬
8 ‫َفَأْلَهَم َها ُفُجوَر َها َو َتْقَو ٰى َها‬
“Dan jiwa serta penyempurnaanya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Qs. as-Syams: 7-8)
Sebagaimana namanya, perhatian utama Tasawuf ini diarahkan tuk
menjadikan manusia bersih jiwanya dalam rangka mencapai tujuan untuk
mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah. Menurut pandangan kaum sufi
manusia cenderung mengikuti hawa nafsu yang mendorongnya tuk menguasai dunia
dan segala isinya, sehingga ia lupa dengan tujuan seorang hamba tuk menggapai ridha
Allah. Akan tetapi, ia justru menjadikan kenikmatan hidup dunia sebagai tujuan
utamanya. Tindakan manusia yang dikendalikan nafsu tersebut merupakan tabir
penghalang bagi manusia tuk dekat dengan Tuhannya. 4
2. Karakteristik Tasawwuf Akhlaki
Karaktersitik tasawuf akhlaki ini antara lain:
1) Melandaskan diri pada Al-Quran dan As-Sunnah. dalam ajaran- ajarannya,
cenderung memakai landasan Qurani dan Hadis sebagai kerangka
pendekatannya.
2) Kesinambungan antara hakikat dengan syariat, yaitu keterkaitan antara
tasawuf (sebagai aspek batiniahnya) dan fiqh (sebagai aspek lahirnya).
3) Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antartuhan dan
manusia.
4) Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan pengobatan
jiwa dengan cara latihan mental.
5) Tidak mengunakan terminologi-terminologi filsafat.5
3. Tokoh-Tokoh Tasawwuf Akhlaki
a. Hasan Al-Bashri
Nama lengkapnya Abu Said al-Hasan bin Yasir, lahir di Madinah pada
tahun 21 H (642 M), meninggal di Basrah pada tahun 110 H (728 M).

3
dkk. Rafli Kahfi, “Klasifikasi Tasawuf: Amali, Falsafi, Akhlaki,” Jurnal Pendidikan dan Konseling 5 (2023):
4073–4079.
4
Miftahul Ulum, “Pendekatan Studi Islam: Sejarah Awal Perkenalan Islam dengan Tasawuf,” Al-Mada: Jurnal
Agama, Sosial, dan Budaya 3, no. 2 (2020): 203–217.
5
Rafli Kahfi, “Klasifikasi Tasawuf: Amali, Falsafi, Akhlaki.”

4
Ayahnya bernama Zaid bin Tsabit, seorang budak yang kemudian menjadi
sekretaris Nabi Muhammad saw. Ibunya adalah hamba dari istri Nabi saw,
Ummu Salamah. Dia bergaul dengan sejumlah sahabat Nabi saw, dan
menerima hadis-hadis dari mereka. Pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai dari
Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh ulama di sana. Bersama ayahnya, ia
kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan
nama Hasan Al-Bashri, puncak keilmuannya diperoleh di sana.
Kemasyhuran Hasan Al-Bashri dalam kehidupan kerohanian telah
mendapat perhatian di dalam kitab-kitab tasawuf, seperti kitab Qut al-Qulub,
karya Abu Thalib al- Makki, Tabaqat al-Kubra, karya al-Sya’rani, Hilyah al-
Aulia, karya Abu Nu’aim dan lain-lain. Hasan Al-Bashri termasyhur di
kalangan para tabi’in sebagai orang yang zahid. Kezahidannya, menurut
taftazani didasarkan pada rasa takut (khauf) yang mendalam kepada Allah. Al-
Sya’rani dalam kitabnya Ath-Thabaqat berkata; Demikian takutnya sehingga
seakan-akan ia merasa bahwa nereka itu hanya dijadikan untuk dia seorang.
Ibn Abi Hadid dalam Nahj al-Balaghah menulis, Jika seorang menemui Hasan
Al-Bashri, dia mesti mengira Hasan sedang ditimpa suatu musibah. Hal ini
karena rasa sedih dan rasa takutnya.
b. Al-Muhãsibi
Nama lengkapnya Abu Abdillah Al-Haris bin Asad Al-Bashri Al-
Muhãsibi. Lahir di Basrah pada tahun 165 H (781 M) dan wafat pada tahun
243 H (857 M). Ia digelari Muhasibi karena suka mengadakan introspeksi diri.
Tentang kelebihannya, menurut Al-Qusyairi yaitu; Al-Muhãsibi pada masanya
adalah seorang yang tidak tertandingi dalam hal ilmu, sifat wara’ dan
pergaulannya yang terpelihara baik. Ia mengarang berbagai kitab, seperti Ar-
Raiyah li Ruquq Al-Insan. Ia menjadi panutan kebanyakan orang Baghdad. Di
kalangan para sufi, dia diperkirakan sebagai orang yang pertama kali
membahas masalah akhlak dan hal-hal yang berhubungan dengannya, seperti
latihan jiwa, taubat, sabar, ridha, tawakkal, takwa, takut dan lain-lain.
c. Al-Qusyairi
Nama lengkapnya adalah Abd Al-Karim bin Hawazin Al-Qusyairi. Ia
lahir pada tahun 376 H di Istiwa, kawasan Naisafur salah satu pusat ilmu
pengetahuan pada masanya dan dia meninggal pada tahun 465 H. Di Naisafur,
Al-Qusyairi berguru kepada Abu Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Dari

5
gurunya inilah, Al-Qusyairi menempuh jalan sufi. Kemasyhuran Al-Qusyairi
diantaranya karena ia menulis sebuah risalah tentang tasawuf yang diberi
nama Risalah Al-Qusyairiyah. Buku ini ditulisnya untuk golongan orang sufi
di beberapa negara Islam pada tahun 473 H. yang kemudian tersebar luas
karena kandungannya yang berisikan perbaikan-perbaikan terhadap ajaran sufi
yang pada waktu itu telah banyak menyimpang dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
d. Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad bin Ta’us At-Tusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Ia dilahirkan pada
tahun 450 H (1058 M) di Gazalah di daerah Thus yang terletak di wilayah
Khurusan Iran. Ia meninggal dunia di kota kelahirannya Thus, pada tanggal 14
Jumadil Akhir 505 H (19 Desember 1111 M). Ayahnya, Muhammad adalah
seorang penenun yang berpenghasilan kecil, tetapi seorang yang taat. Ia
meninggal ketika Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad masih kecil. Al-Ghazali
dan saudaranya dititipkan kepada salah seorang teman ayahnya seorang sufi.
Setelah beberapa lama bersama sufi ini, karena warisan yang ditinggalkan
tidak mencukupi lagi untuk keperluan mereka, mereka pun diserahkan oleh
sufi ini pada sebuah madrasah yang menyediakan biaya hidup untuk
muridnya. Di madrasah inilah Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada
Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah
tinggi Nizhamiyah di Naisafur. Di sini ia berguru kepada Abu Al-Ma’ali Al-
Juwaini yang bergelar Imam Al-Haramain (w. 478 H/1086 M) hingga
menguasai ilmu mantiq, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan
retorika perdebatan.6

B. Pengenalan Tasawwuf Falsafi

1. Pengertian Tasawwuf Falsafi


Lafazh tasawuf merupakan masdar dari fi’il (kata kerja) ‫ َيَتَص َّو ُف‬- ‫َتَص َّوَف‬
menjadi ‫ َتَصُّو ًفا‬yang artinya berpindah. Tasawuf merujuk pada kata safa atau safw
yang artinya bersih atau suci. Kehidupan seorang sufi lebih banyak diarahkan pada
penyucian batin untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Kata falsafi diambil dari

6
Abd Rahman, Tasawuf Akhlaki, 2020.

6
kata filsafat. Filsafat adalah ilmu yang mempelajari tentang esensi, karena fokus
adalah esensi dari sesuatu. Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang
ajarannya memadukan visi mistik dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan
terminologi filosofis dalam pengungkapannya, yang berasal dari berbagai macam
ajaran filsafat yang mempengaruhi tokoh-tokohnya. Jadi tasawuf falsafi adalah
tasawuf yang dianggap menyeleweng dikarenakan memiliki perbedaan dengan
tasawuf akhlaqi atau tasawuf sunni.7
Di dalamnya terkandung pemaduan antar tasawuf dan filsafat sehingga dengan
sendirinya membuat ajaran-ajarannya bercampur dengan sejumlah ajaran-ajaran
filsafat dari luar Islam, seperti dari Yunani, India, Persia, dan agama Nasrani. Namun
orisinalitasnya sebagai tasawuf (mistis Islam) tidak hilang serta tetap berusaha
menjaga kemandirian ajaran Islam terutama bila dikaitkan dengan kedudukan para
sufi tasawuf falsafi beragama Islam. Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran
tasawuf yang mengenal Tuhan (makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga
menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja
(makrifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan
wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan
pemikiran-pemikiran filsafat.8
Dapat diasumsikan bahwa tasawuf falsafi adalah tasawuf yang menggunakan
terminologi filsafat dalam memahami dan mempraktikkan tasawuf. Jika diperhatikan
secara seksama bahwa di dalam perkembangan tasawuf maka secara garis besar
konsep tentang ketuhanan diformulasikan menjadi konsep etika, estetika dan kesatuan
wujud. Dan hal inilah yang menjadi ciri khas dari tasawuf falsafi.
Dalam konsep etika Tuhan dipandang sebagai sesuatu yang sangat ditakuti dan
berusa agar terhindar atau menghindar dari murkanya dengan melakukan sesuatu.
Karena perasaan takut tersebut maka seseorang perlu mengabadikan diri mereka
bersama Tuhan, kemudia para penganut tasawuf ini berusaha menjauh dari kehidupan
dunia dengan tujuan agar Tuhan tidak murka. Dalam konsep etika, Tuhan tidak lagi
dipandang sebagai sesuatu yang perlu ditakuti, tetapi sebagai sesuatu yang harus
dicintai. Tuhan adalah hal yang sungguh indah dan mencintai Tuhan termasuk
keindahan yang tidak bertepi. Dalam konsep estetika, seseorang akan beramal,
7
Devi Umi Solehah, “Konsep Pemikiran Tasawuf Falsafi (Ittihad, Hulul Dan Wihdatul Wujud),” Islam &
Contemporary Issues 1, no. 2 (2021): 1–8.
8
Syatori Ahmad Syatori, “Tasawuf Falsafi,” PUTIH: Jurnal Pengetahuan Tentang Ilmu dan Hikmah 7, no. 1
(2022): 33–44.

7
melakukan perintah Tuhan, bukan karena takut kepadaNya akan tetapi mereka
beramal karena perasaan cinta dan keindahan saat melakukan ibadah. Sedangkan
dalam konsep kesatuan wujud berpandangan bahwa dunia dan seisinya ini merupakan
bayangan atau refleksi dari Tuhan semata. Satu-satunya wujud yang nyata di ala mini
adalah zat Tuhan semata. Dengan demikian sebenarnya di dalam diri manusia terdapat
hakikat Tuhan, dan manusia selalu berupaya agar dapat menyatu dengan Tuhan. Jadi
dengan pendekatan wahdatul wujud seseorang tidak hanya dapat mengenal dan
sekadar dekat dengan Tuhan akan tetapi juga dapat menyatu dengan Tuhan.9
2. Karakteristik Tasawwuf Falsafi
Karakteristik sejarah tasawuf falsafi secara umum adalah mengandung
kesamaran akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya dapat
dipahami oleh orang yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Ajaran tasawuf falsafi
tidak dapat dipandang sebagai filsafat murni, karena ajaran dan metodenya didasarkan
pada rasa (dhauq), dan juga tidak bisa dikatakan bahasa dan terminologi filsafat.
Adapun karakteristik khusus dari tasawuf falsafi adalah sebagai berikut:
1) Konsep pemahaman tasawuf falsafi adalah gabungan pemikiran rasional-
filosofis dengan perasaan (dhauq). Kendatipun demikian tasawuf jenis ini
sering mendasarkan pemikirannya dengan dalil naqliyah, namun diungkapkan
dengan kata-kata yang samar sehingga sulit dipahami oleh orang lain.
Kalaupun bisa diinterpretasikan orang lain, cenderung kurang tepat dan sering
bersifat subyektif,
2) Terdapat latihan-latihan rohaniah (riyadhoh) sebagai peningkata moral untuk
mencapai kebahagiaan,
3) Tasawuf falsafi memandang illuminasi sebagai metode untuk mengetahui
hakekat sesuatu, yang menurut penganutnya dapat dicapai dengan fana’,
4) Menyamarkan ungkapan-ungkapan dengan berbagai simbol dan terminology.10

3. Tokoh-Tokoh Tasawwuf Falsafi


a. Rabi’ah al-‘Adawiyyah (w. 185 H)
Nama asli Rabi’ah al-‘Adawiyyah adalah Umm al-Khair bin Isma’il
al-‘Adawiyyah al-Qaisiyyah. Lahir di Basrah pada sekitar tahun 95 H (717

9
Lusinta Rehna Ginting dan Mely Nadia, “PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN TASAWUF
FALSAFI.docx,” Jurnal Bilqolam Pendidikan Islam 2, no. 1 (2021): 50–64.
10
Miswar, “Pembentukan dan Perkembangan Tasawuf Falsafi,” Al-Fatih : Jurnal Pendidikan dan Keislaman 2,
no. 1 (2019): 116–131.

8
M). Julukan Rabi’ah didapat karena ia adalah anak keempat. Rabi’ah berasal
dari keluarga yang serba kekurangan. Bahkan, diceritakan pada saat malam
kelahiran Rabi’ah, tak ada satu pun cahaya penerangan di rumahnya dan tak
ada satu pun kain yang digunakan untuk persalinannya.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Ibrahim Ibrahim Muhammad
Yasin, bahwa Rabi’ah al-‘Adawiyah termasuk sufi peletak dasar tasawuf
falsafi tahap awal sebelum kemudian berkembang pada abad keenam dan
ketujuh melalui pionernya, yaitu Ibn ‘Arabi. Rabi’ah al-‘Adawiyah merupakan
sufi perempuan yang terkenal dengan konsep mahabbah Ilahi-nya. Untuk
mencapai tingkatan tertinggi sampai pada tingkat mahabbah dan makrifat,
Rabi’ah menempuh berbagai jalan atau tingkatan sebagaimana para sufi
lainnya. Meskipun demikian, Rabi’ah memiliki beberapa cara yang lain
dengan beberapa sufi.
Konsep yang dikembangkan oleh Rabi’ah adalah mahabbah Ilahiyah
(cinta Ilahi) nya. Rabi’ah sendiri, sebagaimana disampaikan oleh Muhammad
Atiyyah Khamis, telah memperluas makna atau lingkup mahabbah Ilahiyah-
nya. Dahulu Rabi’ah mencintai Allah karena mengharapkan surga-Nya, atau
karena takut neraka-Nya sehingga ia selalu berdoa: “Ya Tuhan, apakah
Engkau akan membakar hamba-Mu di dalam neraka, yang hatinya terpaut
pada-Mu, yang lidahnya selalu menyebut-Mu, dan hatinya selalu bertakwa
pada-Mu?” Setelah menyadari bahwa cinta yang seperti itu adalah cinta yang
sangat sempit, ia kemudian meningkatkan cinta Allah dan mencintai Allah itu
bukan karena apa-apa, karena memang Allah patut dicintai.
Doanya yang paling populer berkenaan dengan hal ini sebagaimana
berikut:
Artinya: Ya Tuhan, jika aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu,
maka bakarlah aku dengan api neraka. Atau jika aku beribadah kepada-Mu
karena mengharap surga-Mu, maka haramkanlah surga atas diriku. Tetapi, jika
aku beribadah kepada-Mu hanya demi Engkau, maka janganlah Kau tutup
Keindahan Wajah-Mu.
Cinta Rabi’ah kepada Allah Swt. adalah cinta yang tulus, dan bukan
karena surga ataupun neraka. Bahkan suatu saat ketika Rabi’ah sakit, ia
ditanya tentang sebab penyakitnya. Lalu, Rabi’ah menjawab bahwa penyebab

9
sakitnya adalah karena tergoda oleh surga sehingga ia merasa dicela oleh
Tuhannya.
b. Al-Bustami (w. 261 H)
Nama aslinya adalah Taifur bin ‘Isa bin Surushan. Lahir di Bustam
Persia dan meninggal pada tahun 261 H. Usianya sekitar 73 tahun. Jadi,
diperkirakan ia lahir pada tahun 188 H. Ia adalah tiga bersaudara bersama
dengan Adam dan ‘Ali. Kakeknya seorang Majusi yang kemudian masuk
Islam. Taifur lalu dikenal dengan nama al-Bustami, dengan menisbatkan kota
kelahirannya. Terkadang di beberapa literatur Arab, nama al-Bustami ini
disebut dengan nama Bayazid.
Ayahnya adalah seorang pemuka masyarakat di Bistam sedangkan
ibunya dikenal sebagai seorang zahid. Keanehan al-Bistami ini sudah nampak
saat ia masih di kandungan. Saat di kandungan ia tidak mau menyerap nutrisi
makanan yang subhat. Konon ia akan bergerak-gerak di dalam perut ibunya
sampai ibunya itu memuntahkan makanan subhat tersebut.
c. Al-Hallaj (w. 309 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Mufid al-Husain bin Mansur Mahamma
al-Baidawi al-Hallaj. Lahir pada tahun 244 H/858 M di Desa Tur, sekitar 30
km dari arah utara Kota Shairaz. Konon, katanya al-Hallaj ini pada asalnya
seorang yang beragama Majusi, dan masih keturunan sahabat Abu Ayyub.
Akan tetapi, menurut versi yang lain, bahwa yang beragama Majusi adalah
kakeknya yang bernama Mahamma.
Di masa kecil, ia sering berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain
mengikuti kepindahan keluarganya. Dari tanah kelahirannya, al-Hallaj dibawa
menuju ke Kota Ahwaz dan akhirnya sampai di Kota Wasit yang terkenal
dengan pendidikan al-Qur’annya. Di Wasit inilah sang ayah bekerja sebagai
pembusar kapas dan berkat ketekunannya ia dapat mendirikan pabrik. Lalu, al-
Hallaj dimasukkan ke sekolah khusus al-Qur’an, dan dalam jangka waktu dua
tahun, ia sudah mengkhatamkan al-Qur’an. Bahkan pada usianya yang masih
12 tahun, ia sudah paham maksud dan tafsiran al-Qur’an
Al-Hallaj merupakan pintu pengantar pembentukan tasawuf falsafi
yang melenceng dari praktik-praktik kesufian Nabi dan para sahabatnya. Jika
al-Bustami banyak mempengaruhi pemikiran al-Hallaj, maka al-Hallaj adalah
pioner bagi pemikiran tasawuf berikutnya yang diikuti oleh para sufi seperti

10
Hakim al-Tirmidhi, Ibn al-‘Arabi, ‘Abd al-Karim al-Jili, Jalal al-Din al-Rumi,
dan sufi-sufi lain yang sejalan dengannya.11

BAB III
11
Mubaidi Sulaeman, “Pemikiran Tasawuf Falsafi Awal: Rabi’Ah Al-‘Adawiyyah, Al-Bustamī, Dan Al-Hallaj,”
Refleksi Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam 20, no. 1 (2020): 1–24.

11
PEMBAHASAN

A. Pemahaman Tasawwuf Akhlaki

1. Sejarah Perkembangan Tasawwuf Akhlaki


Sejarah dan perkembangan tasawuf akhlaki mengalami beberapa fase berikut:
a. Abad kesatu dan kedua hijriyah
Disebut pula dengan fase asketisme (zuhud). Sikap asketisme (zuhud)
ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Fase asketisme
ini tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriyah. Pada fase ini, terdapat
individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada
ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak
mementingkan makanana, pakaian maupun tempat tinggal. Mereka lebih
banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan kehidupan
di akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur
kehidupan dan tingkah laku asketis. Tokoh yang sangat populer dari kalngan
meraka adalah Hasan Al-Bashri dan Rabiah Al-Adawiyah. Kedua tokoh ini
dijuluki sebagai zahid.
b. Abad ketiga hijriyah
Sejak abad ketiga hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan doktrin-
doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral di
tengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang ketika itu. Di tangan
mereka, tasawuf berkembang menjadi ilmu moral keagaman atau ilmu akhlak
keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya, mendorongnya
untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan akhlak.
Kajian yang berkenan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat
sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktikkan semua orang.
Kesederhanaan dapat dilihat dari kemudahan landasan- landasan atau alur
berpikirnya. Tasawuf pada alur yang sederhana ini tampaknya banyak
ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas
pengamalan Islam dalam praktik yang lebih menekanankan keterpujian
perilaku manusia. Mereka melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan
menampilkan akhlak-akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud

12
memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka nilai banyak
mengandung muatan ajuran untuk berakhlak terpuji.
c. Abad ke empat hijriah
Abad ini ditandai dengan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan
dengan abad ketiga Hijriyah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf
untuk mengembangkan ajaran tasawufnya. Akibatnya, kota Baghdad yang
sebelumnya merupakan satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan
tasawuf yang paling besar sebelum masa itu, tersaingi oleh kota-kota besar
lainnya. Perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota tidak mengurangi
perkembangan tasawuf di kota Baghdad. Bahkan, penulisan kitab-kitab
tasawuf di sana mulai bermunculan, misalnya kitab Qutubul Qultib Fi
Mu’amalatil Mahbub, yang dikarang oleh Abu Thalib Al-Makky (meninggal
di Baghdad tahun 386 H).
d. Abad kelima hijriyah
Pada abad kelima ini muncul Imam Al-Ghazali yang sepenuhnya
hanya menerima tasawuf yang berdasrkan Al-Quran dan As-Sunnah serta
bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan
moral. Pengetahuan tentang tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di
sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mutazilah
dan Batiniyah. Al-Ghazali lah yang berhasil memancangkan prisnip-prinsip
tasawuf yang moderat, yang sering dengan aliran Alhusunnnah wal Jama’ah,
dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Bustami,
terutama mengenai soal karakter manusia. Tasawuf pada abad kelima Hijriyah
cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikan ke
landasan Al-Quran dan As-Sunnah.
e. Abad Keenam Hijriyah
Sejak abad keenam Hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian Al-
Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf sunni semakin meluas ke seluruh
pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para
tokoh sufi yang mengembangkan tarekat-tarekat dalam rangka mendidik para
muridnya, seperti Sayyid Ahmad Ar- Rifa‟i (meninggal pada tahun 570 H)
dan Sayyid Abdul Qadir Al- Jailani (meninggal pada tahun 651 H). Tasawuf
salafi (akhlaki), sebagaimana dituturkan Al-Quryairi dalam Ar-Risalah-nya,

13
diwakili para tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat Hijriyah, Iman AL-
Ghazali, dan para pemimpin tarekat yang mengikutinya.12
2. Ajaran Tasawwuf Akhlaki
Adapun pokok-pokok ajaran tasawuf akhlaki dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Takhalli (mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela)
Takhalli adalah metode tasawuf akhlãki yakni berupaya untuk
mengosongkan diri dari sifat-sifat yang tercela dengan pendekatan murqabah
nafsiyah (pengawasan diri sendiri). Selanjutnya murqabah dapat juga
dikatakan sebagai bentuk latihan kerohanian yang menyakini sepenuh hati
bahwa Allah selalu melihat dan mengawasi manusia. Satu keyakinan ini sudah
barang tentu harus menancap dan mendarah daging dalam lubuk hati, sebagai
satu keadaan jiwa seseorang. Semua manusia tahu sepenuhnya bahwa Allah
adalah Zat yang satu-satunya mengetahui secara menyeluruh seluk beluk dari
semua sisi-sisi kehidupan makhluk di alam semesta ini.
Lewat ajaran murqabah nantinya akan menanamkan suatu sifat yang
mulia menancapkan kedalaman hati manusia bahwanya Allah Swt selalu
melihat, mengawasi, memantau dan selalu meneliti hamba-Nya kapan dan
dimanapun. Tak ada waktu yang lewat bahkan sedetikpun, tidak ada pula yang
lepas dari penglihatan Allah Swt. Dari ajaran murqabah tersebut dinamakanla
seseorang sedang ber-takhalli artinya mengosongkan diri dari segala sifat-sifat
yang tercela/akhlak madzmumah. Oleh karena itu, murqabah adalah metode
yang paling tepat dalam ber-takhalli, karena pada hakikatnya, Allah Swt selalu
melihat hamba-Nya
b. Tahalli (mengisi diri dari sifat-sifat terpuji).
Sifat-sifat terpuji merupakan harapan dalam mewujudkan akhlak
mulia. Oleh karena itu, akhlak sangat dinamis dan dapat dipengaruhi oleh
pergaulan dan kondisi lingkungan sekitarnya misalnya:
1) Syuhbah (pergaulan)
Pergaulan memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam
membentuk kepribadian manusia. Seseorang yang mengambil sifat-
sifat sahabatnya melalui keterpengaruhan spiritual yang membuatnya
mengikuti tingkah laku sahabatnya itu. Apabila dia memilih bergaul

12
Siregar, “H.A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme , (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), h. 125 12 1.”

14
dengan orang-orang yang berperilaku jahat, fasik dan rusak akhlaknya,
maka sifat-sifatnya akan melenceng secara gradual tanpa disadarinya,
sehingga dia menjadi bagian dari mereka dan terjerumus ke dalam
jalan hidup mereka. Akan tetapi, jika dia memilih untuk bergaul
dengan ahli iman, taqwa, istiqamah dan makrifat kepada Allah, niscaya
secara gradual dia akan dapat mencapai derajat mereka. Manusia akan
mendapat pelajaran akhlak yang mulia, iman yang kokoh, sifat-sifat
terpuji dan makrifat kepada Allah, jika bergaul dengan ahli iman dan
taqwa, sehingga dia juga akan terbebas dari segala perilaku yang
buruk. Oleh sebab itu, akhlak seseorang dapat diketahui dengan
mengetahui para sahabat dan teman duduknya.
2) Majelis Ilmu
Majelis ilmu merupakan cara mencari ilmu secara serius,
karena mencari ilmu adalah kewajiban umat manusia sekaligus
menjadi kebutuhan manusia secara umum dan secara khusus umat
Islam. Umat manusia dapat mengikis kebodohannya yakni harus
banyak membaca. Dengan ilmu, maka derajat manusia semakin mulia
dan menempatkan mereka menuju kebaikan sehingga jejak mereka
diikuti dan perilakunya dapat diteladani. Para malaikat melindungi
manusia yang berilmu dengan sayap-sayapnya yang membentang.
Dengan ilmu, manusia taat kepada Allah Swt, menyembah-Nya, meng-
Esakan-Nya, bersikap rendah hati, menyambung dan mempererat tali
silaturrahim. Ilmu ibarat seorang pemimpin dan mengamalkannya
ibarat pengikutnya. Dengan ilmu manusia meraih kebahagiaan,
sebaliknya yang tidak berilmu hanya kesengsaraan. Majlis ilmu
merupakan proses pencarian ilmu pengetahuan, karena di dalamnya
memiliki beberapa keistimewaan yang luar biasa.
3) Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah adalah salah satu bentuk latihan tahalli yakni
melatih diri melakukan akhlak terpuji. Diantara ulama-ulama ada yang
berpendapat bahwa shalat berjama’ah fardhu Ain seperti Atho’, al-
Auza’iy, Ahmad, Abu Tsau, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Munzir, Ibnu
Hibban, Abdul Abbas, dan ulama-ulama Zhahiriyyah. Daud
mengatakan, bahwa berjama’ah itu, salah satu dari syarat sahnya

15
shalat, berdasarkan pendapat yang terpilih olehnya bahwa setiap yang
wajib dalam shalat itu, maka termasuk syarat shalat. Hanya saja
pendapat ini tidak boleh langsung diterima, karena ketentuan syarat itu
harus berdasarkan dalil. Dari beberapa pendapat atau khilafiah tentang
shalat berjama’ah, penulis sepakat dengan pendapat yang mengatakan
bahwa shalat berjama’ah sunnat muakkad, karena hukum wajib itu
jelas dasarnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadist.
c. Tajalli (terbukanya hijab)
Terbukanya hijab (penghalang) kepada ma’bud, maka bid akan selalu
berakhlak mulia, karena bid sudah merasakan kehadiran ma’bud di dalam
qalbu bid. Ketahuilah bahwa hakikat akhlak mulia akan membawa
kebahagiaan secara individu dan masyarakat pada umumnya di dunia serta
membawa keselamatan di akhirat. Oleh karena itu, akhlak mulia sangat
penting diajarkan kepada manusia sejak dini dan sangat bermanfaat.
d. Tadzakkur dan Tafakkur
Tadzakkur artinya mengambil pelajaran dan tafakkur berarti
memikirkan atau mengamati. Tadzakkur yang menjadi tempat persinggahan
hati merupakan pasangan untuk inabah. Jadi, tadzakkur dan tafakkur
merupakan pasangan untuk inabah (kembali kepada Allah). Tadzakkur ini
merupakan sifat khusus bagi orang-orang yang berfikir dan berakal.
Tadzakkur merupakan kata aktiva dari dzikr (ingat), artinya hadirnya
gambaran sesuatu yang diingat dan diketahui di dalam hati. AG. H. Abd.
Rahman Ambo Dalle mengatakan; Mengingat Allah Swt, di dalam hati adalah
pengabdian secara batin kepada-Nya, berbeda dengan pengabdian lahiriyah
yang menggunakan pikiran misalnya angan-angan atau anggapan, hal itu
merupakan gerak gerik hati untuk menemukan yang dikehendaki sesudah
dipikirkan.
Tadzakkur berasal dari akar kata dzakara-yadzkuru yang berarti
mengingat dan menghayati. Jadi, Tadzakkur dapat diartikan sebagai upaya
untuk mengalihkan berbagai gangguan pikiran dan perasaan menuju pada
puncak ketenangan batin (qalb). Berdzikir kepada Allah Swt, adalah washilah
yang telah disediakan untuk hamba agar mendapat ketenangan dalam qalbu
(hati). Karena qalb ingin selalu tenang dalam kehidupannya.13
13
Rahman, Tasawuf Akhlaki.

16
3. Tujuan Tasawwuf Akhlaki
Tujuan tasawuf akhlãki adalah membakar semangat umat Islam untuk kembali
memperbaiki akhlaknya, sebab semua hukum Islam berdasarkan landasan akhlak.
Apabila akhlak umat Islam hancur maka hancurlah agama Islam. Sejalan dengan
keadaan sekarang ini, yang sedang kita lihat, kita rasakan khususnya di Indonesia.
Umat Islam mayoritas dari jumlah kependudukan. Namun sangat memprihatinkan
akhlaknya sudah banyak kebablasan mulai dari level masyarakat atas, sampai level
masyarakat bawah. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kesemuanya itu adalah pengaruh
terlalu cinta pada dunia dan takut mati, seperti pengaruh covid 19 banyak manusia
ketakutan dengan virus corona sehingga takut berkumpul dengan sesamanya.14

B. Pemahaman Tasawwuf Falsafi

1. Sejarah Perkembangan Tasawwuf Falsafi


a. Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase. Pada
abad pertama dan ke dua hijriyah mengalami fase asketisme (zuhud), karena
pada masa ini belum dikenal istilah sufi. Pada fase ini bisa dikatakan tasawuf
masih sangat murni yang tidak terpengaruh oleh ajaran filsafat. Pada abad ini
individu-individu dari kalangan muslim lebih memusatkan dirinya pada hal
ibadah. Mereka tidak meentingkan hal duniawi, berpakaian, makan, minum
dan bertempat tinggal seadanya. Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah
Hasan al-Basri (wafat tahun 110 H) dan Rabi’ah Al-‘Adawiyah (wafat tahun
185 H).

b. Pada abad ke tiga hijriyah, tasawuf mengalami perkembangan yang sangat


pesat. Ditandai dengan bebagai macam tasawuf yang berkembang pada masa
itu yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, pertama
tasawuf yang berintikan ilmu jiwa (tasawuf murni), ke dua tasawuf yang
terfokus pada petunjuk-petunjuk tentang cara-cara berbuat baik serta cara-cara
menghindarkan keburukan, yang bisanya disebut tasawuf akhlaqi. Adapun
yang ke tiga adalah tasawuf yang berintikan metafisika, di dalamnya
terkandung ajaran yang melukiskan ketunggalan hakekat yang Maha Kuasa,
yang merupakan satu-satu nya yang ada dalam pengertian yang mutlak, serta
melukiskan sifat-sifat Tuhan. Jadi tasawuf falsafi mulai terlihat pada abad ke
14
Ibid.

17
tiga hijriyah, golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang dihukum mati karena
menyatakan pendapatnya mengenai Hulul (309 H).

c. Pada abad ke empat hijriyah kemajuan tasawuf lebih pesat dibandingkan pada
abad ke tiga hijriyah. Hal ini terlihat pada usaha ulama tasawuf untuk
mengembangkan ajaran tsawufnya masing-masing. Sehingga kota Bagdad
menjadi satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang
paling besar. Selain itu para ulama tasawuf juga mengajarkan ajarannya ke
luar kota Bagdad.

d. Pada abad ke lima hijriyah ada pertentangan antara ulama sufi dengan ulama
fiqih. Keadaan semakin rawan ketika berkembang suatu mazhab Syi’ah yang
menghendaki pengembalian kekuasaan kepada Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib.
Seiring waktu berjalan mazhab Syi’ah ini semakin berkembang luas. Hal itu
telah membuat ulama-ulama fikih khawatir. Keresahan para ulama fikih
tersebut semakin besar, ketika ajaran filsafat Neo Platonisme (filsafat Persia
dan India) banyak mempengaruhi tasawuf, sehingga mewujudkan corak
tasawuf falsafi yang sangat bertentangan dengan ajaran tasawuf pada masa
awal. Pada abad ke lima hijriyah terjadi pertentangan tiga golongan yaitu
golongan fuqoha, ahli tasawuf falsafi dan ahli tasawuf suni.

e. Sejarah perkembangan tasawuf falsafi kembali muncul pada abad ke enam


hijriyah. Hal ini ditandai dengan adanya sekelompok tokoh tasawuf yang
memadukan tasawuf dengan filsafat dengan teori mereka yang bersifat
setengah-setengah. Artinya tidak ada yang disebut tasawuf murni dan tidak
ada pula yang disebut dengan filsafat murni. Diantara tokohnya yang terkenal
yakni Shuhrowardi al-Maqtul, Shekh Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (wafat
tahun 638 H).

f. Pada abad ke tujuh, terdapat beberapa tokoh tasawuf yang berpengaruh. Pada
abad ini tokoh-tokoh tasawuf mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
tasawuf. Pada akhirnya kegiatan tersebut dinamakan tarekat oleh penganutnya
yang sering dinisbatkan namanya pada gurunya.

g. Pada abad ke delapan hijriyah sudah tidak terdengar lagi ajaran atau
perkembangan tasawuf yang baru. Akhirnya pada abad ke sembilan, sepuluh

18
hijriyah dan sesudahnya merupakan keadaan yang benar-benar sunyi dari
ajaran tasawuf bahkan bisa dikatakan tasawuf telah mati.15

2. Ajaran Tasawwuf Falsafi


Adapun yang termasuk kategori ajaran tasawuf falsafi adalah:
a. Fana’ dan Baqa’
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda
dengan al-fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan al-
fasad atau rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Bagi
sufi, fana mempunyai banyak pengertian, misalnya diartikan sebagai keadaan
moral yang luhur, sebagai definisi yang mereka berikan, yaitu fananya sifat
jiwa atau sirnanya sifat-sifat yang tercela.20 Kemudian, sebagai akibat dari
fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang
dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat
Tuhan dalam diri manusia.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana
adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan
perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-
sifat ketuhanan, akhlak terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa
dan maksiat untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti
bertaubat, berdzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
b. Ittihad
Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana, maka pada saat
itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau
al-Baqa. Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai
manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad. Dapat
disimpulkan bahwa, berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-
Ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari
fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad itu.
Pengertian ittihad sebagaimana disebutkan dalam sufi terminologi
adalah penggabungan antara dua hal yang menjadi satu. Ittihad merupakan
doktrin yang menyimpang dimana di dalamnya terjadi proses pemaksaan
antara dua ekssistensi. Kata ini berasal dari kata wahd atau wahdah yang

15
Miswar, “Pembentukan dan Perkembangan Tasawuf Falsafi.”

19
berarti satu atau tunggal. Jadi Ittihad artinya bersatunya manusia
denganTuhan.
c. Hulul
Secara harifah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiannya melalui fana. Al-Hallaj berkesmimpulan bahwa dalam diri
manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan terdapat sifat
ketuhanan (nasut). Jika sifat ketuhanan pada diri manusia menyatu dengan
sifat kemanusian pada diri Tuhan maka terjadilah Hulul. Penjelasan di atas
maksudnya bahwa al-hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana
manusia dan Tuhan menyatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada
hakikatnnya istilah lain dari al-ittihad sebagaimana telah disebutkan di atas.
Tujuan dari hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan
(nasut) dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seseorang insan telah suci bersih
dalah menempuh perjalanan hidup kebatinan.16
3. Tujuan Tasawwuf Falsafi
Salah satu tujuan utama tasawuf falsafi adalah memahami hakikat Allah dan
alam semesta. Selain itu, dalam tasawuf falsafi, Allah dipahami sebagai hakikat
tertinggi yang menciptakan dan memanifestasikan diri-Nya dalam alam semesta.
Pemahaman tentang Allah dalam tasawuf falsafi melibatkan pencarian pengetahuan
tentang diri sendiri, pengalaman mistik (baca, Spiritual) yang mendalam, dan
kesadaran akan keberadaan-Nya dalam alam semesta.

BAB IV
PENUTUP
16
Ahmad Syatori, “Tasawuf Falsafi.”

20
A. Simpulan
Akhlak dan tasawuf sebenarnya dua displin ilmu Islam yang digali dan dikembangkan
oleh ulama Islam dari konsep dasar keIslaman, Al- Quran dan Al-Hadits, serta diperkaya dari
aktivitas Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang
berkonsentrasi pada perbaikan akhlak manusia, mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan
manusia yang dapat berma’rifat kepada Allah Swt, dengan metode-metode tertentu yang telah
dirumuskan.
Karaktersitik tasawuf akhlaki ini antara lain: Melandaskan diri pada Al-Quran dan
As-Sunnah, kesinambungan antara hakikat dengan syariat, lebih bersifat mengajarkan
dualisme dalam hubungan antartuhan dan manusia, lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan,
pendidikan akhlak dan pengobatan jiwa dengan cara latihan mental, tidak mengunakan
terminologi-terminologi filsafat.
Ajaran-ajaran pokok tasawwuf akhlaki adalah takhalli, tahalli, tajalli, tadzakkur dan
tafakkur.
Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajarannya memadukan visi
mistik dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya, yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang mempengaruhi
tokoh-tokohnya. Di dalamnya terkandung pemaduan antar tasawuf dan filsafat sehingga
dengan sendirinya membuat ajaran-ajarannya bercampur dengan sejumlah ajaran-ajaran
filsafat dari luar Islam, seperti dari Yunani, India, Persia, dan agama Nasrani. Namun
orisinalitasnya sebagai tasawuf (mistis Islam) tidak hilang serta tetap berusaha menjaga
kemandirian ajaran Islam terutama bila dikaitkan dengan kedudukan para sufi tasawuf falsafi
beragama Islam.
Adapun karakteristik khusus dari tasawuf falsafi adalah sebagai berikut: Konsep
pemahaman tasawuf falsafi adalah gabungan pemikiran rasional-filosofis dengan perasaan
(dhauq), terdapat latihan-latihan rohaniah (riyadhoh) sebagai peningkata moral untuk
mencapai kebahagiaan, tasawuf falsafi memandang illuminasi sebagai metode untuk
mengetahui hakekat sesuatu, yang menurut penganutnya dapat dicapai dengan fana’,
menyamarkan ungkapan-ungkapan dengan berbagai simbol dan terminology.
Adapun yang termasuk kategori ajaran tasawuf falsafi adalah: Fana’ dan Baqa’, yakni
lenyapnya kesadaran dan kekal, Ittihad, yaitu persatuan antara manusia dengan Tuhan, Hulul,
yaitu penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan, Wahdah al-Wujud, yaitu alam dan
Allah adalah sesuatu yang satu.

21
B. Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan
kata dan kalimat yang kurang jelas. Kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari
kesalahan dan kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Maka demi peningkatan dan perbaikan dalam pengenalan tasawwuf akhlaki dan
falsafi penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut :
1. Orang Tua
Kepada orang tua agar dapat meningkatkan perhatian, memberikan bimbingan
arahan dan motivasi serta memantau putra-putrinya dalam akhlak dan ibadah sehari-
hari, karen merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, pemerintah dan
masyarakat.
2. Guru
Kepada guru diharapkan untuk selalu memperhatikan akhlak dan ibadah
siswa, sehingga guru sebagai pendidik dapat mengetahui seberapa penting akhlak
harus diberikan kepada peserta didiknya. Sebagai pendidik, guru juga harus berupaya
memahami tentang cara memberikan motivasi yang baik dan benar serta terarah
sehingga motivasi yang diberikan kepada para siswa dapat diterima dengan baik.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syatori, Syatori. “Tasawuf Falsafi.” PUTIH: Jurnal Pengetahuan Tentang Ilmu dan
Hikmah 7, no. 1 (2022): 33–44.
Andy, H Safria. “Diktat Ilmu Tasawuf.” Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Keislaman 3 (2019): 67.
Devi Umi Solehah. “Konsep Pemikiran Tasawuf Falsafi (Ittihad, Hulul Dan Wihdatul
Wujud).” Islam & Contemporary Issues 1, no. 2 (2021): 1–8.
Miswar. “Pembentukan dan Perkembangan Tasawuf Falsafi.” Al-Fatih : Jurnal Pendidikan
dan Keislaman 2, no. 1 (2019): 116–131.
Rafli Kahfi, dkk. “Klasifikasi Tasawuf: Amali, Falsafi, Akhlaki.” Jurnal Pendidikan dan
Konseling 5 (2023): 4073–4079.
Rahman, Abd. Tasawuf Akhlaki, 2020.
Rehna Ginting, Lusinta, dan Mely Nadia. “PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN
TASAWUF FALSAFI.docx.” Jurnal Bilqolam Pendidikan Islam 2, no. 1 (2021): 50–64.
Siregar, H A Rivay. “H.A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme ,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 125 12 1” (2002): 1–6.
Sulaeman, Mubaidi. “Pemikiran Tasawuf Falsafi Awal: Rabi’Ah Al-‘Adawiyyah, Al-
Bustamī, Dan Al-Hallaj.” Refleksi Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam 20, no. 1 (2020):
1–24.
Ulum, Miftahul. “Pendekatan Studi Islam: Sejarah Awal Perkenalan Islam dengan Tasawuf.”
Al-Mada: Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya 3, no. 2 (2020): 203–217.

23

Anda mungkin juga menyukai