Anda di halaman 1dari 19

TASAWUF SUNNI-AKHLAKI DI INDONESIA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah :

TASAWUF

Dosen pengampu: Dr. Muniron, M.Ag

Oleh:

1. IRSA ARSITA DEVI (932116119)


2. FARIDATUL KHUSNA (932119519)
3. ZUYYIN AUFI WASI’AH (932119619)
4. AHMAD SODIKIN (932117619)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang
berjudul “TASAWUF SUNNI-AKHLAKI DI INDONESIA”. Sholawat dan salam tak lupa kami
curahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman
kegelapan menuju jalan yang terang benderang yakni Agama Islam.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Dr. Muniron, M.Ag selaku dosen
pembimbing mata kuliah Tasawuf. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami
yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Kediri, 11 November 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR........................................................................................................................i
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG...................................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................................1
C. TUJUAN PENULISAN.................................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................2
A. PENGERTIAN TASAWUF SUNNI-AKHLAKI........................................................................2
B. SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF SUNNI-AKHLAKI..................................................2
C. CIRI-CIRI TASAWUF SUNNI-AKHLAKI................................................................................5
D. TOKOH-TOKOH TASAWUF SUNNI-AKHLAKI....................................................................6
1. HASAN AL-BASRI...................................................................................................................6
2. AL-GHAZALI...........................................................................................................................7
3. SYEKH ABDUL QADIR AL-JILANI.....................................................................................9
4. AL-QUSYAIRI..................................................................................................................................11
5. AL-MUHASIBI........................................................................................................................12
BAB III.....................................................................................................................................................14
PENUTUP................................................................................................................................................14
KESIMPULAN........................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................15

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam diri manusia selalu ada yang namanya spiritualitas, karena spiritualitas
berkenaan dengan hati manusia. Manusia yang ditakdirkan memiliki hati dan perasaan
akan konsep spiritualitas yang membedakan hanyalah tingkat kekuatan dan keyakinan
akan perasaan itu muncul dari mana.
Membahas tentang spiritualitas dalam islam dikenal dengan tasawwuf. Disini akan
membicarakan tentang seberapa besar tingkat spiritualisme manusia yang akan
mendekatkan dirinya pada Tuhan. Sedangkan saat ini, telah banyak orang yang
mementingkan dunianya dan jauh dari Tuhannya. Apalagi ketika mereka mencapai titik
kesuksesan yang fana. Dan mereka tidak akan merasakan kenikmatan rasa syukur dan
kedekatan kepada Alloh yang sesungguhnya.

Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang konsep pendekatan diri kepada
Allah dengan berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnah. Lebih jelasnya kami akan
membhasa tasawuf sunni dan akhlaki.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian tasawuf sunni-akhlaki?
2. Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf sunni-akhlaki?
3. Apa ciri-ciri tasawuf sunni akhlaki?
4. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf sunni-akhlaki?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui apa pengertian tasawuf sunni-akhlaki
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah perkembangan tasawuf sunni-akhlaki
3. Untuk mengetahui apa saja ciri-ciri tasawuf sunni-akhlaki
4. Untuk mengetahui siapa saja tokoh-tokoh tasawuf sunni-akhlaki

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TASAWUF SUNNI-AKHLAKI


Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang para pengikutnya memagari atau
mendasari tasawuf mereka dengan Al-Qur’an dan As-sunnah serta mengaitkan keadaan
(ahwaal) dan tingkatan (maqoomah) rohaniah kereka kepada kedua sumber tersebut.
Dalam redaksi lain menyebutkan bahwa tasawuf sunni adalah tasawuf yang
berwawasan moral praktis dan besandar kepada A-qur’an dan sunnah nabi.
Tasawuf akhlaki adalah aplikasi tasawuf dalam akhlak mukmim yang terpancar
dari batinnya sehingga berpengaruh kepada seruh tingkah lakunya. Tasawuf akhlaki
menuntut keikhlasan murni yang semata-mata hanya karena Allah. Dan dididik
memandang sesuatu hanya karena Allah sehingga menimbulkan kecintaan kepada-Nya.
Cinta kepada Allah yang mendalam juga dimanifestasikan dalam cinta kepada
makhluknya, baik kepada sesame manusia maupun alam semesta. Sehingga denga dasar
itulah terjadi komunikasi yang harmonis antara Allah, manusia, dana lam semesta.
Tasawud Sunni Akhlaki memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan Sunnah fan menjauhi
penyimpanga-penyimpangan yang mengarah kepada kesesatan dan kekafiran. Sehingga
tasawuf ini disebut sebagai tasawuf sunni akhlaki.1

B. SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF SUNNI-AKHLAKI


Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman makna instusi-
institusi islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in kecenderungan orang terhadap ajaran
islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran mereka dapat dipandang dari dua aspek
yaitu aspek lahiriyah dan aspek batiniyah. Pendalaman ndan pengalaman aspek batiniyah
mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, tentunya tanpa mengabaikan aspek
lahiriyahnya yang dimotifasikan untuk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan
mereka lebih berorientasi pada sapek batiniyah, yaitu cara hidup yang lebih
mengutamakan rasa, lebih mementingkan keagungan tuhan dan bebas dari egosiasi.

Sejarah dan perkembangan tasawuf sunni mengalami beberapa tahapan :

1
Suherman, “Perkembangan tasawuf dan kontribusinya di Indonesia ”, Jurnal Ilmiah Research Sains, Vol 5, No
1(Februari, 2019), 107.

2
Tahap pertama, sikap zuhud ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan
tasawuf. Fase ini tumbuh pada abad ke 1 dan ke 2 hijriah. Kalangan kaum muslimin yang
lebih memusatkan perhatian dan memprioritaskan dirinya pada ibadah. Mereka
menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan makan,
pakaian maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri
pada jalur kehidupan dan tingkah laku. Tokoh yang popular dikalangan mereka adalah
Hasan Al-Basri dan Rabi’ah Al-Adawiyah, kedua tokoh ini di juluki sebagai zahid.

Tahap ketiga, yaitu sejak abad ke 3 hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan upaya menegakkan moral ditengah terjadinya
dekadensi moral pada saat itu, sehingga ditengah mereka tasawuf pun berkembang
menjadi ilmu moral keagamaan atau Ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka
tentang moral akhirnya mendorong untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan
dengan akhlak.

Kajian yang berkanaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf sebagai amalan
yang sangat sederhana dan mudah diperaktekan semua orang. Kesederhanaannya dapat
dilihat dari kemudahan landsan-landasan atau alur berfikirnya. Taswuf pada aluryang
sederhana ini tampaknya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih
tertuju pada realitas pengalaman islam dalam peraktik yang lebih menekankan
keterpujian perilaku manusia.

Mereka melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilkan akhlak-


akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan bathiniyah ajaran
islam yang mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran untuk berakhlak terpuji.
Kondisi ini mulai berkembang ditengah kehidupan lahiriyah yang sangat formal dan
cenderung kurang diterima oleh mereka yang mendambakan konsistensi pengalaman
ajaran islam sampai aspek terdalam.

Tahap ketiga, yaitu abad ke 4 hijriah, pada fase ini tasawuf mengalami
perkembangan yang lebih maju daripada abad ke 3 hijriah, karena usaha maksimal para
ulama’ tasawuf yang mengembangkan ajaran tasawuf masing-masing. Akibatnya kota

3
Bagdhad yang menjadi pusat kegiatan tasawuf yang paling besar pada masa itu tersaingi
oleh kota-kota besar lainnya. Namun perkembangan tasawuf di berbagai Negeri dan kota
tidak menurangi perkembangan tasawuf di kota Baghdhad. Bahkan penulisan kitab-kitab
tasawuf disana mulai bermunculan, misalnya kitab Qutubul qultib fi mu’amalatil mahbub
yang dikarang oleh Abu thalib al-makky.

Tahap keempat, yaitu pada abad ke 5 hijriah, pada abad ini muncullah Imam
Ghazali yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-
Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa dan pembinaan
moral pengetahuan tentang tasawuf di kajinya dengan begitu mendalam di sisi lain ia
melancarkan kritikantajam kepada para filosof, kum Mu’tazilah dan bathiniyah. Al-
ghazali lah yang berhasil memancangkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang
seiring dengan aliran Ahlussunnah wal jama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-
hallaj dan Abu yazid al-busthami. Tasawuf pada abad ke 5 hijriah cenderung mengalami
pembaharuan yakni dengan mengembalikan ke landasan A-qur’an dan As-sunnah.

Tahap kelima, yaitu abad ke 6 hijriah, pada abad ini tasawuf Sunni semakin
meluas dan menyebar keseluruh pelosok dunia islam. Hal ini akibat dari pengaruh
kepribadian Al-ghazali yang begitu besar bagi dunia tasawuf. Keadaan ini member
peluang munculnya para tokoh-tokoh sufi yang mengembangkan tarekat-tarekat dalam
rangka mendidik para mmuridnya, seperti Sayyid Ahmad al-rifa’I (w. 570 H) dan Sayyid
Abdul Qadir Jaelani (w. 651 H) yang sangat terpengaruh oleh garis tasawuf Al-
ghazali.pilihan nyang sama dilakukan oleh generasi berikut, antara lain yang bpaling
menonjol adalah Syeikh Abu hasan al-syadzili (w. 650 H) dan muridnya Abu abbas al-
mursi (w. 686 H) serta Ibn attha illah al-sakan dari (w. 709 H). Al-ghazali dipandang
sebagai pembela terbesar tasawuf Sunni. Pandangan tasawufnya seiring dengan para sufi
aliran pertama, para sufi abad ke 3 dan ke 4 hijriah, ia sering diklaim sebagai seorang sifi
terbesar bdan terkuat pengaruhnya dalam khazanah ketasawufan di dunia islam.2

C. CIRI-CIRI TASAWUF SUNNI-AKHLAKI


1. Melandaskan diri pada Al-qur’an dan Sunnah. Tasawuf ini dalam ajaran-ajarannya
cenderung memekai landasan Al-qur’an dan Hadis sebagai kerangka pendekatan.

2
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta : Amzah, 2017), hlm. 141-144.

4
Mereka tidan mau menerjunkan paham yang berbeda di luar pembahasan Al-qur’an
dan Hadis. Al-qur’an dan Hadis yang mereka pahami, kalaupun harus ada penafsiran
sifatnya hanya sekedarnya dan tidak begitu mendalam.
2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada
ungkapan-ungkapan syatahat. Terminologi tersebut dikembangkan tasawuf sunni
secara lebih transparan, sehingga tidak kerap bergelut dengan term-term syatahat.
Kalaupun ada term yang mirip syatahat, itu dianggapnya sebagai pengalaman pribadi
dan mereka tidak menyebarkannya kepada orang lain. Pengalamn yang ditemukan itu,
mereka anggap sebagai sebuah karamah atau keajaiban. Sejalan dengan ini, Ibnu
khaldun sebagaimana dikutip At-Taftazani, memuji para pengikut Al-Qusyairi yang
beraliran sunni, karena dalam aspek ini mereka meneladani para sahabat. Pada diri
para sahabat dan tokoh angkatan salaf telah banyak terjadi kekeramatan seperti ini.
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara tuhan dan manusia.
Dualisme adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan
dengan tuhan, dalam hal esensinya, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda
diantara keduanya. Sedekat apapun manusia dengan tuhannya, tidak lantas mambuat
manusia dapat menyatu dengan tuhan. Al-qur’an dan hadis dengan jelas bahwa
makhluk adalah bertuk lain dari Allah. Hubungan antara sang pencipta dan yang
diciptakan bukanlah salah satu persamaan, tetapi bentuk lain. Benda yang diciptakan
adalah bentuk lain dari penciptaannya. Hal ini tentunya berbeda dengan paham-
paham tasawuf filsafi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan keganjilannya.
Kaum sufi sunni menolak ungkapan-ungkapan ganjil, seperti yang dikemukakan Abu
yazid Al-busthami dengan teori fana’ dan baqa’ miliknya, Al-hallaj dengan konsep
hululnya dan Ibnu Arabi dengan konsep wahdah al-wujudnya.
4. Keseimbanga antara haqiqah dan syari’ah. Denga pengertian lebih khusus,
keterkaitan antara tasawuf (sebagai konsep batiniahannya) dengan fiqh (sebagai aspek
lahirnya). Hal ini merupakan konsekuensi dengannya manusia tetap pada posisi atau
kedudukannya sebagai objek penerima informasi dari tuhan. Kaum sufi dari kalangan
sunni tetap memandang penting persoalan-persoalan lahiriah-formal seperti aturan
yang dianut fuqaha’. Aturan-aturan itu bahkan sering dianggap sebagai jabatan untuk
berkomunikasi dengantuhan.

5
5. Lebih berkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan adalah pengobatan jiwa
dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli dan tajalli.3

D. TOKOH-TOKOH TASAWUF SUNNI-AKHLAKI


1. HASAN AL-BASRI
a. Biografi
Nama lengkap beliau adalah Abu Sa’id al-Hasan binYasar. Tokoh ini lahir
diMadinah tahun 21 H. (642 M), meninggal di Basrah pada tahun 110 H. (728 M).
Ayahnya seorang budak yang menjadi sekretaris nabi , yaitu Za’id bin Tsabit.
Ia dinisbatkan ke kota Basrah, karena ia lama belajar di Basrah dan
mengembangkan kepakarannya hingga kepuncaknyadikota yang sama. Dari segi
keilmuan, ia sangat unggul dan sangat dalam ilmunya, sehingga ia digelari Syekh al-
Bashrah. Ia seorang faqih ,muhadis, muffasir, sekaligus seorang suffi. Nasihat-nasihatnya
tersebar dalam berbagai kitab,demikian hadist-hadist yang diriwayatkannya banyak
menghiasi kitab-kitab.
“Bergurulah kepada Hasan Basri”, demikian kata Qotadah,”karena saya sudah
menyaksikan sendiri , tidaklah ada seorang tabi’in yang menyerupai sahabat nabi kecuali
beliau (Hasan Basri)”. Khalid bin Safwan menjelaskan kepada maslamah bin Abdul
Malik tentang Hasan Basri. “Hasan adalah orang yang saat sendirinya sama dengan
berada dimuka umum. Jika merasa tidak semangat dalam kebaikan segera bangkit dan
jika sedikit saja melakukan kesalahan segera ia menahan diri. Jika menyuruh orang lain
beramal ia paling dulu melakukannya, dan jika ia melarang sesuatu, ia paling dulu
meninggalkannya. Ia tidak membutuhkan orang lain, sementara orang lain membutuhkan
dirinya”.

b. Bentuk Ajaran Tasawuf Hasan Basri

1. Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tenteram lebih baik daripada
perasaan tenterammu yang kemudian menimbulkan rasa takut.
2. Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dengan dunia dengan
rasa benci dan zuhud, maka bahagialah dia dan ia mendapat faidah dalam

3
Samsul munir amin, ilmu tasawuf, (Jakarta: Amzam, 2017), 141.

6
persahabatan itu. Tetapi barang siapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya rindu
dan perasaannya tersangkut kepada dunia maka akhirnya ia akan sengsara. Dia
akn terbawa pada suatu masa yang tidak dapat dideritanya.
3. Tafakur membawa kita pada keaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal
atas perbuatan jahat dan meninggalkannya. Barang yang fana walau bagaimana
banyaknya tidaklah dapat menyamai barang yang baqa’ walaupun sedikit.
Awasilah dirimu dari negeri yang cepat datang dan cept pergi juga karena tipuan.
4. Dunia ini laksana seorang nenek tua yang telah bungkuk dan telah banyak
kematian laki-laki.
5. Orang yang beriman berduka cita pagi-pagi dan berduka cita diwaktu sore, karena
ia hidp dalam dua ketakutan, takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut
memikirkan ajal yang masih tinggal dan tahu bahaya apakah yang sedang
mengancam.
6. Patutlah orang insaf bahwa mati sedang mengancamnya, dan kiamat menagih
janjinya, dan ia mesti berdiri dihadapan Allah akan dihisab (dihitung amalnya).
7. Banyak duka cita didunia memperteguh amal sholeh.4

2. AL-GHAZALI
a. Biografi
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
Al- Ghazali, dilahirkan di kota Thus, salah satu kota di Khurasan (Persia) pada
pertengahan abad kelima Hijriyah (450 H/ 1058 M).5
Ayah beliau adalah seorang ahli tasawuf yang saleh. Ia meninggal dunia ketika
Al- Ghazali beserta saudaranya masih kecil. Akan tetapi, sebelum wafatnya ia telah
menitipkan kedua anaknya itu kepada seorang ahli tasawuf untuk dibimbing dan
dipelihara. Pertama-tama ia belajar agama di kota Thus, kemudian meneruskan di
kota Jurjan, dan akhirnya di kota Naisabur. Ia masuk Madrasah Nizhamiyah yang
pada waktu itu dipimpin oleh Al-Juwaini seorang tokoh besar pada masa itu, yang
bergelar Imam Haramain. Dengan beliau AlGhazali mendalami fiqih, kalam, dan

4
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Panjimas, 1984), 78.
5
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), 143.

7
mantiq. Kemudian ia diperkenalkan dengan perdana mentari Nizham Al-Muluk
seorang mentari dari Kesultanan Bani Saljuk yang bernama Malik Syah.6
Ia wafat pada 14 Jumadil Akhir atau bertepatan 18 Desember 1111, dalam usia
54 tahun beliau dimakamkan di Tabaran (Tus).7 Banyak para filosof mengakui
bahwa Al- Ghazali memiliki kecerdasan yang luar biasa. Adapun dalam perenungan
tasawuf dan pemikirannya mendapatkan pegangan utama dalam hidup beragama,
yaitu hidup dengan ilmu dan amal. Dengan demikian beliau menulis karya- karya
salah satu yang paling terkenal karya beliau hingga sekarang yaitu Ihya Ulum Ad-
Din (Membahas Ilmu-ilmu Agama) dan beliau mendapatkan gelar Hujjatul Al-Islam
(Pembela Islam atau Bukti Kebenaran Agama Islam) dan Zayn Ad-Din (Perhiasan
Agama).
b. Ajaran Tentang Ma’rifat
Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan untuk sampai kepada Tuhan bagi
orang awam, ulama dan orang arif (sufi). Al-Ghazali membuat perumpamaan tentang
keyakinan bahwa seseorang ada di dalam rumah. Keyakinan orang awam didasari
oleh taklid, yaitu hanya mengikuti ucapan orang bahwa ada seseorang dalam rumah,
tanpa menyelidikinya lagi. Bagi ulama keyakinan adanya seseorang di dalam rumah
dengan adanya tanda-tanda, misal ada suara yang terdengar dari dalam rumah
meskipun tidak kelihatan orangnya. Sedangkan, bagi orang arif tidak hanya dengan
tanda-tanda tetapi mencoba untuk memasuki rumahnya dan menyaksikan dengan
mata kepalanya bahwa ada seseorang dan benar-benar berada di dalam rumah.
Dengan demikian yang dimaksud dengan ma’rifat menurut al-Ghazali tidak
seperti orang awam maupun ulama, tetapi ma’rifat sufi yang mampu merasakan dan
menyaksikan adanya Tuhan atas dasar dzauq rohani dan kasyf ilahi tanpa dihalangi
oleh hijab apapun. Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawash auliya
tanpa melalui perantara atau langsung dari Allah sebagaimana ilmu kenabian yang
diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini, berada antara
Nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Tuhan melalui perantara malaikat, sedangkan

6
Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 166.
7
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al- Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 69.

8
wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun, keduanya memiliki kesamaan yakni
sama-sama memperoleh ilmu dari Tuhan.8

3. SYEKH ABDUL QADIR AL-JILANI

a. Biografi
Nama lengkap beliau adalah as-Syaikh al-iman az-Zahid al-Arif al-Qudwah,
Syekh al-Islam, Sultan al-Auliya, Imam al-Asfiya , Muhyid-din wa as-Sunah wa Mumit
al-Bid’ah , Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Salih Abdullah bin Janki Ddus in
Yahya bin Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdillah bin al-Hasan bin Ali bin Abi
Thalib, al-Jaili, Asy-Syafi’i , al-Hanbali, Syekh Baghdad.

Ibunya adalah Um al-Khair (induk kebaikian) , amat al-Jabbar (khadam Tuhan


yang Maha Perkasa), Fatimah binti Abdul Abdillah as-Suma’i, seorang ibu yang banyak
memiliki karamat dan ahwal.
Sultan al-Auliya dilahirkan pada pertengahan bulan ramadhan pada tahun 471 H
di kampung Jilan. Di Jilan beliau hidup hingga berusia delapan belas tahun. Pada tahun
488 H ia pindah ke Bagdad dan menetap disana hingga akhir hayatnya.
Pada masa studi Sultan al-Auliya tahu bahwa mencari ilmu itu hukumnya wajib
kepada setiap muslim dan muslimat. Oleh karena itu, dalam usia yang masih muda ia
belajar berbagai disiplin ilmu daripada ulama yang mumpuni dizamannya. Ia mulai
belajar al-Qur’an dibawah bimbingan Abual-Wafa ‘Ali bin ‘Uqail al-Hanbani dan ulama
yang lainnya. Ia belajar hadist melalui banyak tangan para ahli hadist yang masyhur di
zamannya, seperti Abu Ghalib Muhammad bin Hasan al-Balaqalani dan yang lainnya. Ia
mempelajari fiqih melalui tangan ulama-ulama fiqih yang masyhur dizamannya seperti
Abu Zaid al-Muhrimi yang darinya ia mengambil hirqah yang mulia. Bahasa dan sastra
dipelajari juga dari Abu Zakaria Yahya bin Ali at-Tabrizi, Shahib Hammad Ad-Dabbas
dan dari yang tersebut terakhir ia juga mengambil tarekat.
Latar belakang studinya yang amat sistematis mengantarkan ia keposisi yang amat
tinggi, ia mumpuni dalam ilmu aqidah syariah, tariqah, lugah dan sastra. Ia menjadi tokoh
utama dalam mazhab Hanbali dan tempat orang bertanya dalam mazhab ini. Allah

8
Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), 115-116.

9
memasukkan kedalam hatinya hikmah yang nampak dalam lisannya setiap kali ia
memberi tausiyah majelis-majelis pengajian.
Pada bulan syawal tahun 521 H, Sultan al-Auliya memberikan ceramah di
madrasah Abu Said Al- Mukhrimi bab al-Ujaj Bagdad, dan setiap kali pengajian banyak
ulama yang hadir sekitar tujuh puluh ribu orang.baik ahli kalam, fikih, hadist, para sufi
dan para cerdik cendikiawan lainnya.
b. Bentuk Ajaran Tasawuf Syekh Abdul Qodir Al-Jilani

Seperti halnya sufi yang lain Syekh Abdul Qadir al-Jilani melihat ajaran islam
dari dua aspek. Yaitu lahir dan batin, demikian juga setiap ayat dalam al-Qur’an bagi nya
ada yang mengandung makna lahir dan batin. Sebagai contoh, taharah yang berarti
bersuci terbagi pada dua bagian, Pertama, penyucian diri secara lahiriah. Hal ini
diperintahkan oleh agama dan caranya dengan mencuci anggota badab atau tubuh dengan
air suci, dalam bentuk wudhu maupun mandi. Nabi SAW bersabda:

“Barang siapa yang memperbaharui wudhu maka Allah memperbaharui imannya”


Kedua, penyucian diri secara batiniah diawali dengan adanya kesadaran akan
adanya kotorandalam wujud diri seseorang sehingga menjadi sadar terhadap dosa-
dosanya dan secara sungguh-sungguh menyesalidosa-dosa tersebut. Cara penyucian
batiniah ini harus mengambil jalan spiritual dan diajarkan serta dibimbing oleh guru
spiritual, yaitu dengan taubat, talqin az-Dzikir, tasfiah, dan suluk.

Dalam aspek ibadah Syek bukan hanya memetingkan ibadah fardhu, yang nawafil
pun menjadi perhatian utama dalam kehidupan kesehariannya. Amal-amal sunnah yang
menjadi amalan TQN sebagaimana diamalkan di PP suryalana, itulah ajaran tuan Syekh
Adul Qadir al-Jilani. Sedangkan riyadoh yang tidak pernah ditinggalkannya adalah
dzikrullah. Pedoman aurad yang dipandang representasi ajaran tuan Syekh Adul Qadir al-
Jilani telah ditulis oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas dalam bukunya Fathul Arifin, yang
kemudian dibukukan secara komprehensif oleh Abah Anon dalam kitab Uquq al-Juman.9

4. AL-QUSYAIRI
a. Biografi

9
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 31.

10
Nama lengkap beliau adalah Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin
Thalhah bin Muhammad An-Naisaburi. Ia lebih dikenal dengan nama Abdul Thalhah Al-
Qusyairi karena ia dikenal dari keturunan kabilah Arab Al-Qusyairi bin Ka’ab yang
pindah ke Khurasan pada masa Dinasti Umawi. Al-Qusyairi lahir tahun 376 Hijriah di
Istiwa, kawasan Nishafur yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan pada
masanya. Disinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi
terkenal. Ia selalu menghadiri majelis dan menempuh jalan tasawuf. Sang guru
menyarankan ia untuk mempelajari ilmu syari’at, oleh karena itu Al-Qusyairi
mempelajari fiqh kepada seorang faqih, Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar Ath-
Thusi, selain itu beliau juga mempelajari ilmu kalam dan ushul fiqh kepada Abu Bakar
bin Faruq. Tidak hanya itu, ia juga menjadi salah satu murid Abu Ishaq Al-Isfarayani
dengan menelaah karya-karya Al-Baqillani. Dari situlah Al-Qusyairi berhasil menguasai
doktrin Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah yang telah dikembangkan Al-Asy’ari bersama
muridnya. Al-Qusyairi wafat tahun 456 Hijriah, ia adalah orang yang mampu
mengompromikan syariat dengan hakikat.
Al-Qusyairi merupakan salah seorang tokoh sufi utama dari abad V Hijriah.
Kedudukannya sangat penting mengingat karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf
aliran Sunni abad III dan IV Hijriah.10
b. Ajaran-ajaran Tasawufnya
Pandangan dan ajaran Al-Qusyairi tentang tasawuf tertuang dalam karya
monumentalnya Risalah Al-Qusyairiyyah. Kitab tersebut merupakan kitab yang banyak
dikutip dalam membicarakan tasawuf. Jika karya Al-Qusyairi dikaji lebih dalam, maka
akan nampak jelas jika ia cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin
Ahl As-Sunnah.
Dalam salah satu ungkapan Al-Qusyairi terkandung penolakan terhadap para sufi
syatahi yang mengucapkan ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat
ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya dan sifat-sifat kemanusiaan. Khususnya sifat
barunya, bahkan dengan konotasi lain Al-Qusyairi secara terang-terangan mengkritik
mereka. Selain itu, Al-Qusyairi pun mengancam keras para sufi pada masanya yang
gemar menggunakan pakaian orang-orang miskin, sedangkan tindakan mereka

10
Munawir, 20 Tokoh Tasawuf Indonesia dan Dunia, (Temanggung: CV Raditeens, 2019), 46.

11
bertentangan dengan pakaian mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan
berpegang teguh pada Alquran dan sunnah, lebih penting dibandingkan dengan pakaian
lahiriah.
Dalam konteks yang berbeda, Al-Qusyairi mengemukakan suatu penyimpangan
lain dari para sufi abad V Hijriah baik dari segi akidah maupun moral, dengan ungkapan
yang pedas dan tampak berlebihan. Karena itulah, Al-Qusyairi menyatakan bahwa ia
menulis risalahnya karena dorongan perasaan sedihnya ketika melihat hal-hal yang
menimpa tasawuf. Menurut Al-Qusyairi bahwa pengembalian arah tasawuf dapat
dilakukan dengan merujuknya pada doktrin Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, yaitu dengan
mengikuti para sufi Sunni abad III dan IV Hijriah. Dalam hal ini, jelaslah sudah bahwa
Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan AL-Ghazali yang berafiliasi pada
aliran yang sama, yaitu Al-Asy’ariyyah yang nantinya merujuk pada gagasan Al-Qusyairi
itu serta menempuh jalan yang dilalui Al-Muhasibi maupun Al-Junaid, serta melancarkan
kritik keras terhadap para sufi yang terkenal dengan ungkapan yang ganjil.

5. AL-MUHASIBI
a. Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah al-Harits Bin Asad Al-Muhasibi, tokoh
sufi ini lebih dikenal dengan sebutan Al-Muhasibi. Ia dilahirkan di Basrah, Irak tahun
165 H atau 781 M dan meninggal di Negara yang sama pada tahun 243 H atau 857 M. Ia
adalah sufi dan ulama besar yang menguasai tasawuf, hadis dan fiqh. Selain itu, Al-
Muhasibi juga menulis sejumlah buku. Diantara buku-bukunya adalah Ar-Ri‟ayah Li
Hukuqillah (pemeliharaan terhadap hak-hak Allah) Al-Washaya (wasia-wasiat) dan Al-
Masa‟il fie Amal Al-qulub Wa Al-Jawahir (berbagai masalah mengenai perbuatan hati
dan anggota badan).
Beliau menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang
dihadapinya. Tatkala mengamati mazhab-mazhab yang dianut umat Islam, Al-Muhasibi
menemukan kelompok didalamnya. Di antara mereka ada sekelompok orang yang tahu
benar tentang keakhiratan, namun jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka
adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniawian. Al-
Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan
kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulullah SAW.

12
Menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas, maka seseorang akan
diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqih dan tasawuf. Ia akan meneladani
Rasulullah SAW dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.11
b. Ajaran Tentang Ma’rifat
Al-Muhasibi sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasan agama dan tidak
mendalami pengertian batin agama yang dapat menyebabkan keraguan. Dalam konteks ini
al-Muhasibi mengatakan dalam sebuah hadis Nabi yang artinya “Pikirkanlah makhluk Allah
dan jangan memikirkan Dzat Allah, sebab kalian akan tersesat karenanya.” Berdasarkan
hadis tersebut Al-Muhasibi mengatakan bahwa ma‟rifat itu harus ditempuh dengan melalui
jalan tasawuf yang berdasarkan al-Quran dan Hadis. Menurut al-Muhasibi ada beberapa
tahapan dalam ma’rifat yaitu :
a) Taat, sikap adalah awal dari kecintaan kepada Allah yang dibuktikan dengan perilaku
yang baik. Mengekspresikan kecintaan hanya dengan ungkapan atau kata-kata itu
kecintaan yang palsu tanpa dibuktikan dengan tindakan. Di antara implementasinya
ialah memenuhi hati dengan sinar atau cahaya ilahi. Kemudian sinar ini melimpah
kepada lidah dan anggota tubuh lainnya.
b) Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya merupakan ma’rifat
selanjutnya.
c) Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan kepada orang yang mampu
menyaksikan berbagai rahasia.
d) Fana yang menyebabkan baqa.12

11
M. Sholihin, Tokoh-tokoh sufi lintas zaman, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), 48.
12
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), 225-226.

13
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Tasawuf sunni adalah brntuk satawuf yang para pengikutnya memagari atau
mendasari tasawuf mereka dengan Al0qu’an dan Sunnah. Tasawuf sunni dibagi menjadi
tiga salah satunya yatu tasawuf sunni akhlaki. Tasawuf akhlaki adalah aplikasi tasawuf
dalam akhlak mukmim yang terpancar dari batinnya sehingga berpengaruh kepada seruh
tingkah lakunya.
Aliran sunni akhlaki mempunyai ciri melandaskan diri pada Al-qur’an dan
Sunnah, tidak menggunakan filsafat, tidak mengajarkan dualism hubungan hubungan
antara Tuhan dan manusia, kesinambungan antara hakikat dan syari’at, Lebih
berkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan adalah pengobatan jiwa dengan cara
riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli dan tajalli.
Terdapat banyak tokoh dilsafat sunni diantaranya yaitu, Hasan Al-basri, Al-
ghazali, Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, Al-Qusyairi, Al-Muhasibi.
SARAN
Kami menyadari makalah ini terbatas dan banyak kekurangan untuk dijadikan
landasan kajian ilmu, maka kepada pada pembaca agar melihat referensi lain yang berkaitan
dengan pembahasan makalah ini demi relevansi kajian ilmu yang lebih akurat. Mak dari dari itu
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari para pembaca sekalian dan kami
ucapkan terima kasih.

14
DAFTAR PUSTAKA

Alba, Cecep. Tasawuf dan Tarekat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.


Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta : Amzah, 2017.
Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah, 2012.
Anwar, Rosihan & Solihin, Mukhtar. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Anwar, Saeful. Filsafat Ilmu Al- Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung: Pustaka
Setia, 2007.
Hamka. Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Panjimas, 1984.
Munawir. 20 Tokoh Tasawuf Indonesia dan Dunia. Temanggung: CV Raditeens, 2019.
Poerwantana, dkk. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Sholihin, M. Tokoh-tokoh sufi lintas zaman. Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Suherman. “Perkembangan TAsawuf dan Kontribusinya di Indinesia”, Jurnal Ilmiah Research
Sains, (Februari, 2019), vol 5. No 1.
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya. Bandung: CV
Pustaka Setia, 2013.

15

Anda mungkin juga menyukai