Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH TASAWUF AKHLAKI DAN FALSAFI

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Tasawuf

Dosen Pengampu : Agung M.Iqbal, M.Ag

Disusun Oleh :

Julia Yustina 1931060028

Juliesca Urfaul Jannah 1931060084

Komariah 1931060106

JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi allah SWT, yang telah memberikan begitu
banyak kenikmatan dan kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalahnya, untuk memenuhi mata kuliah tasawuf yang berjudul ”Tasawuf akhlaki dan
falsafi”

Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak membutuhkan bimbingan yang


sangat berharga bagi penulis, untuk itu penulis mengucapkan benyak trimakasih kepada
bapak dosen pengapu mata kuliah filsafat ilmu yang telah membimbing dan memberi
arahan kepada penulis.

Selanjutnya kepada teman-teman TP 5 terimakasih banyak telah memberikan


dukungan dan semangat kepada penulis hingga saat ini.Kemudian penulis menyadari
dalam makalah ini banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna, mengingat
keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki, oleh karena itu, kritik dan saran sangat
butuhkan dagi penilis,untuk menjadi perbaikan dalam penulisan selanjutnya.

Bandar Lampung, 08 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I.................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.............................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................1

C. Tujuan.....................................................................................................................1

BAB II...............................................................................................................................3

PEMBAHASAN................................................................................................................3

A. Pengertian Tasawuf Akhlaki..................................................................................3

B. Sejarah perkembangan tasawuf Akhlak.................................................................5

C. Karakteristik Tasawuf Aklaki.................................................................................6

D. Tokoh-Tokoh dalam Tasawuf Akhlaki..................................................................7

E. Pengertian tasawuf falsafi.....................................................................................11

F. Sejarah perkembangan tasawuf Falsafi................................................................11

G. Karakteristik Tasawuf Falsafi...............................................................................14

H. Tokoh-tokoh Tasawuf dan Pokok-pokok Ajarannya...........................................15

I. Perbedaan Tasawuf Sunni Dan Falsafi.................................................................19

BAB III............................................................................................................................21

PENUTUP.......................................................................................................................21

A. Kesimpulan...........................................................................................................21

ii
B. Saran.....................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tasawuf merupakan salah satu aspek penting dalam islam, sekaligus sebagai
perwujudan dari ihsan yang menyadari adanya hubungan langsung antara hamba dan
Tuhannya. Sufisme bertujuan memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Intinya
ada kesadaran akan adanya hubungan atau komunikasi rohaniah antara manusia dan
Tuhan melalui aspek spiritual. Dengan bertasawuf, seseorang akan menjadi bersih hati
dan jiwanya, berarti pula ia akan dibimbing oleh cahaya Illahi. Kajian-kajian tasawuf
tidak lain adalah mementingkan kebersihan batin dan kesucian jiwa dan lebih
mementingkan aktivitas untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah
perkembangan. Terdapat dua corak dalam dunia tasawuf ada tasawuf yang mengarah
pada teori perilaku, ada pula tasawuf yang mengarah pada teori yang begitu rumit dan
memerlukan pemahaman yang mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang
berorientasi kearah perilaku sering disebut sebagai tasawuf akhlaqi atau sunni. Tasawuf
jenis ini banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi pada
arah filsafat disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak dikembangkan oleh
para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof, disamping sebagai sufi.
Pembagian dua jenis tasawuf tersebut, didasarkan pada kecenderungan ajaran
yang dikembangkan, yakni kecenderungan perilaku atau moral keagamaan, dan
kecenderungan pada pemikiran. Dua kecenderungan ini terus berkembang hingga
masing-masing mempunyai jalan sendiri-sendiri. Untuk memahami perkembangan
tasawuf ke arah yang berbeda, perlu dilihat lebih jauh tentang sejarah dan
perkembangannya. Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan pengertian,

1
karakteristik, sejarah perkembangan serta tokoh dan perbedaan antara tasawuf akhlaki
dan tasawuf falsafi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tasawuf akhlaki?
2. Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf akhlaki?
3. Apa saja karakteristik tasawuf akhlaki?
4. Siapa saja tokoh-tokoh ajaran tasawuf akhlaki?
5. Apa yang dimaksud dengan tasawuf falsafi?
6. Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf falsafi?
7. Apa saja karakteristik tasawuf falsafi?
8. Siapa saja tokoh-tokoh ajaran tasawuf falsafi?
9. Apa saja perbedaan antara tasawuf akhlaki dan falsafi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud tasawuf akhlaki
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan taswuf akhlaki
3. Untuk mengetahui karakteristik tasawuf akhlaki
4. Untuk mengetahui tokoh-tokoh ajaran tasawuf akhlaki
5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud tasawuf falsafi
6. Untuk mengetahui sejarah perkembangan tasawuf falsafi
7. Untuk mengetahui karakteristik tasawuf falsafi
8. Untuk mengetahui tokoh-tokoh ajaran tasawuf falsafi
9. Untuk mengetahui perbedaan antara tasawuf akhlaki dan falsafi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Akhlaki


Akhlak dan tasawuf sebenarnya dua displin ilmu Islam yang digalidan
dikembangkan oleh ulama Islam dari konsep dasar keIslaman, Al-Quran dan Al-Hadits,
serta diperkaya dari aktivitas Rasulullah SAW danpara sahabatnya. Sama dengan ilmu
keIslaman yang lain seperti, Fiqh,Tauhid, Tajwid dan lain-lain, ilmu akhlak tasawuf
hadir dalam Islam padaperkembangan keilmuan Islam. Ketika Islam masih berda di
tempatkelahirannya, mekah dan madinah, ilmu-ilmu keIslaman tersebut belum dikenal,
tak terkecuali akhlak dan tasawuf dalam pengertian Islam secara formal.

Tasawuf akhlaqi bermakna membersihkan tingkah laku atau


salingmembersihkan tingkah laku. Jika konteksnya adalah manusia, tingkah
lakumanusia menjadi sasarannya. Tasawuf akhlaqi ini bisa dipandang sebagai sebuah
tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia, atau dalam bahasasosialnya, yaitu
moralitas masyarakat. Tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang beorientasi pada
perbaikanakhlak, mencari hakikat kebenaran dan mewujudkan manusia yang
dapatmakrifat Allah SWT, dengan metode-metode tertentu yang telahdirumuskan.
Tasawuf akhlaki biasa juga disebut dengan istilah sunni.tasawuf model ini berusaha
untuk mewujudkan akhlak yang mulia dalamdiri si sufi, sekaligus menghindari diri dari
akhlak mazmumah (tercela).tasawuf akhlaki ini dikembnagkan oleh ulama salaf as-
salih.

Tasawuf sunni adalah tasawuf ahl al-sunnah wa al-jamiah yang memberikan


penekanan pada praktek spiritual berlandaskan al-Quran dan sunah secara rigid.
Tasawuf sunni merupakan pemikiran dan praktik sufisme yang secara ketat
menambatkan diri dengan dua sumber pokok islam, serta menjadikan paham teologi
asy’riyah sebagai landasan praktek sufismenya (Asmaran, 2002)

3
Tasawuf akhlaki dibangun sebagai dasar latihan kerohanian dengan tujuan
mensucikan hati dan mengendalikan hawa nafsu sampai ke titik terendah. Sehingga
nantinya tidak akan ada penghalang yang membatasi manusia dengan Tuhannya. Nah,
agar lebih mudah dalam mewujudkan ajaran Tasawuf Akhlaki ini, para sufi menyusun
beberapa tahapan sistem, yang meliputi Takhalli, Tahalli, dan Tajalli.

 Takhalli

Takhalli adalah tahapan pertama yang dilakukan oleh seorang sufi untuk
membersihkan (melepaskan) diri dari perilaku buruk, seperti berbuat maksiat, kecintaan
kepada dunia yang berlebihan, berprasangka su’udzon, ujub, hasad, riya, ghadab, dan
sejenisnya. Sebagian sufi berpendapat bahwa perbuatan maksiat merupakan najis
maknawiyah yang bisa menghalangi kedekatan hamba dengan Rabbnya. Oleh karena
itu, sifat-sifat nafsu dalam diri harus dimusnakan agar manusia tidak terjerumus ke
dalam dosa.

 Tahalli

Setelah membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela,tahapan berikutnya


yang perlu dilakukan adalah pengisian jiwa atau disebut Tahalli. Pada tahap ini, seorang
sufi diharuskan membiasakan diri dengan akhlak-akhlak terpuji sabar, ikhlas, ridha,
taubat, dan sebagainya. Selain itu, juga menjalankan ketentuan syariat agama, seperti
sholat, puasa, zakat, membaca Al-Quran, dan berhaji bila mampu. Dengan demikian,
apabila seseorang telah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan mulia, taat dan beriman
kepada Allah SWT maka lama-kelamaan hati pun akan menjadi bersih.

 Tajalli

Tahap yang terakhir adalah Tajalli yang berarti tersingkapnya nur ghaib. Di
tahap ini, seorang sufi benar-benar menanamkan rasa cinta kepada Allah SWT di dalam
hatinya. Tujuannya agar perilaku-perilaku baik yang telah dilakoni pada tahap Tahalli
tidak luntur begitu saja, dan bisa terus berkelanjutan.

4
B. Sejarah perkembangan tasawuf Akhlak
Kejayaan tasawuf akhlaki atau yang biasa disebut dengan tasawuf sunni ini
beriringan dengan perkembangan pesat teologi Asy’ariyah yang dikembangkan oleh
imam Abu Hasan Al-`Asy’ari dan para muridnya, dan penerusnya, termasuk Hujjatul
islam, AL-`ghozali.

Tasawuf sunni kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari background


perselisihan masalah aqidah yang melanda para ulama' fiqh dan tasawwuf terutama
tasawuf falsafi. Perselisihan tersebut mengemuka terlebih pada abad kelima hijriah
aliran syi'ah al-islamiyah yang berusaha untuk memngembalikan kepemimpinan kepada
keturunan Ali Bin Abi Thalib. Pengikut Syi’ah lebih banyak mempengaruhi para sufi
dengan doktrin bahwa imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang layak
menyandang gelar waliyullah. Sementara itu dipihak lain terdapat banyak praktek sufi
yang dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan corak pemikiran
taawwuf falsafi yang dalam banyak hal bertentangan dengan kehidupan para sahabat
dan tabi’in.Sejarah dan perkembangan tasawuf akhlaki terjadi pada :

 Abad kelima hijriyah

Pada abad kelima ini muncul Imam Al-Ghazali yang sepenuhnya hanya menerima
tasawuf yang berdasrkan Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan
sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf
dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap
para filosof, kaum Mutazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali lah yang berhasil
memancangkan prisnip-prinsip tasawuf yang moderat, yang sering dengan aliran
Alhusunnnah wal Jama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hallaj dan Abu Yazid
Al-Bustami, terutama mengenai soal karakter manusia.

Tasawuf pada abad kelima Hijriyah cenderung mengadakan pembaharuan, yakni


dengan mengembalikan ke landasan Al-Qurandan As-Sunnah. Al-Qusyairi dan Al-
Harawi dipandang sebagai tokoh sufi yang paling menonjol pada abad ini yang memberi
bentuk tasawuf sunni. Kitab Ar-Risa’il Al-Qusyairiyyah memperlihatkan dengan jelas

5
bagaimana Al-Qusyairi mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlusunnah.
Dalam penelitiannya, ia menegaskan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina prinsip-
prinsip tasawuf atas landasan-landasan tauhid yang benar sehingga doktrin mereka
terpelihara daripenyimpangan. Selain itu, menurutnya, mereka lebih dekat dengan
tauhid kaum salaf maupun Ahlussunah yang menakjubkan. Al-Qusyairi secara implisit
menolak para sufi yang mengajarkan syathaht.

 Abad Keenam Hijriyah

Sejak abad keenam Hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian Al-Ghazali


yang begitu besar, pengaruh tasawuf sunni semakin meluaske seluruh pelosok dunia
Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokoh sufi yang
mengembangkan tarekat-tarekat dalam rangka mendidik para muridnya, seperti Sayyid
Ahmad Ar-Rifa‟i (meninggal pada tahun 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani
(meninggal pada tahun 651 H).

Al-Ghazali dipandang sebagai pembela dan penyebar tasawuf salafi (akhlaki).


Pandangan tasawuf seiring dengan para sufi aliran pertama, para sufi abad ketiga dan
keempat Hijriyah. Di samping itu, pandangan-pandangannya seiring dengan Al-
Qusyairi dan Al-Harawi.Namun dari segi kepribadian, keluasan pengetahuan dan
pemikirantasawuf Al-Ghazali lebih besar dibanding semua tokoh di atas. Iasering di
klaim sebagai seorang sufi tersebar dan terkuat pengaruhnya dalam khazanah
ketasawufan di dunia Islam.

C. Karakteristik Tasawuf Aklaki


Secara umum terdapat beberapa ciri khas atau karakteristik dari tasawuf sunni
yang kemudian menjadi pembeda dari tasawuf falsafi. Ciri khas tersebut diantaranya
adalah sebagai berikut:

 Tidak menggunakan terminologi–terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada


ungkapan-ungkapan syathahat.

6
Terminologi–terminologi yang dikembangkan tasawuf sunni lebih transparan,
sehinggga tidak sering bergelut dengan term-term syathahat. Kalaupun ada term
yang mirip syathahat dianggap merupakan pengalaman pribadi dan para sufi dalam
tasawuf sunni tidak menyebarkanya kepada orang lain. Hal itu dianggap sebagai
karamah atau keajaiban yang mereka temui.

 Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.

Dualisme yang dimaksud di sini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun
manusia dapat berhubungan dengan tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang
berbeda antara keduanya, dala hal esensina. Sedekat apapun manusia dengan
tuhannya, tidak lantas membuat manusia dapat menyatu dengan tuhan.

 Kesinambungan antara hakekat dengan syari’at. Hal ini mengandung pengertian


bahwa terdapat keterkaitan yang sangat kuat antara tasawuf (sebagai aspek
batiniyah) dengan fiqih (aspek lahiriyah). Hal ini merupakan konsekwensi dari
paham di atas. Karena berbeda denagn tuhan, manusia dalam berkomunikasi dengan
tuhan tetap berada pada posisi sebagai objek penerima informasi dari Tuhan.

 Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan moral, pendidikan akhlaq, dan


pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli,
dan tajali.

D. Tokoh-Tokoh dalam Tasawuf Akhlaki


Beberapa tokoh dalam tasawuf akhlaki antara lain yaitu sebagai berikut:

1. Hasan Al-Bashri

Nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar atau lebih dikenal dengan
nama Hasan Al-Bashri adalah seorang zahid yang amat mashur diklangan tabi’in. Ia
dilahirkan di madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada hari kamis bulan rajab
tanggal 10 tahun 110 H (728 M).

Adapun ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri yaitu:

7
a. menolak segala kenikmaan duniawi.

Hasan Al-Basri mengumpamakan dunia ini seperti ular terasa halus disentuh
tetapi racunnya mematikan. Oleh sebab itu, dunia ini harus dijauhi begitu
juga dengan kemegahannya harus ditolak.

b. khauf dan raja’.

Pengertian takut terhadap siksa Allah karena berbuat dosa dan sering
melalaikan perintah-Nya. Menyadari kekurang sempurnaannya dalam
mengadi kepada Allah timbul lah rasa was-was dan takut khawatir mendapat
murka dari Allah. Dengan adanya takut itu pula menjadi motivasi bagi
seseorang untuk mempertinggi kualitas pengabdiannya kepada Allah. Oleh
karena itu, prinsip ajaran ini adalah mawas diri, agar selalu memikirkan
kehidupan akhirat. Pada masanya, ia dipandang sebagai orang yang paling
dalam rasa khaufnya sehingga terlihat seperti orang selalu ditimpa
musibah.Beliau berkeyakinan bahwa perasaan takut itu sama dengan
memetik amal shaleh.

c. Konsep Zuhud

Menjauhkan diri dari kehidupan duniawi atau juga dapat dimaknai sebagai
sikap tidak tergantung dengan kehidupan duniawi. Berkaitan dengan ajaran
tasawuf Hasan Al-Bashri, Mohammad Mustafa, guru besar filsafat islam,
menyatakan bahwa tasawuf Hasan Al- Bashri didasari oleh rasa takut siksa
tuhan di dalam neraka. Akan tetapi setelah kami teliti ternyata bukan
perasaan takut terhadap sikasaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi
kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinya yang mendasari
tasawufnya. Sikap itu seirama dengan sabda Nabi Muhammad SAW., “orang
beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah di lakukannya
laksana orang itu dibawah sebuah gunung besar yang senatiasa merasa takut
gunung itu akan menimpa dirinya.”

8
2. Al-Muhasibi

Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Al-Harits bin Asy’at Al-Basri Al-
Muhasibi. Ia lahir di Basrah 165 H dan wafat 243 H. ia dikenal dengan nama Al-
Muhasibi, karena ia termasuk orang yang menyukai perhitungan atas dirinya agar tidak
terjatuh kepada perbuatan yang merugikan. Al- muhasibi memiliki pandangan mengenai
makrifat. Adapun tahapan makrifat menurut al-muhasibi yaitu sebagai berikut:

a. Taat. Sikap taat, merupakan awal dari kecintaan kepada Allah yang dibuktikan
dengan prilaku.

b. Aktivitas anggota tubuh yamg telah disinari oleh cahaya

c. Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan keghaiban kepada setiap


orang yang menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan-Nya

d. Fana’ yang menyebabkan baqa’

Selain mengenai makrifat al-muhasibi juga memiliki pandangan mengenai khauf


dan raja. Menurutnya Khauf atau rasa takut dan Raja’ atau pengharapan menempati
posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua
sifat itu dengan etika-etika keagamaan lainnya. Yaitu ketika disifati dengan khauf dan
Raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula dengan sifat-sifat yang lainnya. Pangkal
wara’ menurutya adalah ketakwaan, pangkal ketakwaan adalah intropeksi diri, pangkal
intopeksi adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja adalah pengetahuan tentang
janji dan ancaman Allah, dan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah
perenungan. Khauf dan Raja’ menurut beliau dapat dilakukan dengan sempurna apabila
berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam hal ini, ia mengkaitkan kedua
sifat itu dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah.

3. Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin


Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’I al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-

9
Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirka di
kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun
setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.

Ajaran Tasawuf Al-Ghazali yaitu menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf


dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa dan membersihkan
diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah san
selalu mengingat-Nya. Ia berpendapat bahwa sosok yang terbaik, jalan mereka adalah
yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka
adalah yang paling baik. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin,
diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian di duania ini tidak ada lagi
cahaya yang mampu memberi penerangan.

Selain itu al-ghazali memberikan pandangannya mengenai makrifat menurut


beliau, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-
Nya tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat berdasrkan pada sir, kalbu, dan
roh. Setelah kalbu dan roh menjadi kosong dan suci, kemudian dilimpahi cahaya Tuhan,
maka seseorang dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Ia menerima ilminasi dari
Allah sehingga yang dilihat hanyalah Dia. Pada saat itulah, ia sampaikan ke tingkat
ma’rifat.

Kemudian pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah (Kebahagiaan), menurut


beliau kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah. Dalam
kitabnya Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahawa kebahagiaan itu sesuai dengan
watak. Sementara itu, watak sesui denganciptaanya. Kelezatan dan kenikmatan dunia
tergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati. Sementara itu, kelezatan
dan kenikmataan melihat Tuhan tergantung pada kalbu dan tidak akan hilang walaupun
manusia sudah mati. Hal ini karena, kalbu tidak ikut mati, justru kenikmatannya
bettambah, karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.

10
E. Pengertian tasawuf falsafi
Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi
filosofis dalam pengungkapannya,yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang
telah mempengaruhi para tokohnya. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-
ajarannya memadukan antara visi intutitif dan visi rasonal. Terminology falsafi yang
digunakan berasal dari macam-macan ajaran filsafat yang telah memengaruhi para
tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tidak hilang. Walaupun demikian,
tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebgai filsafat, karena ajaran dan metodenya
didasarkan pada rasa (dzauq). Selain itu tasawuf ini dapat dikategorikan pada tasawuf
(yang murni) karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat.

F. Sejarah perkembangan tasawuf Falsafi


Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase. Pada abad
pertama dan ke dua hijriyah mengalami fase asketisme (zuhud), karena pada masa ini
belum dikenal istilah sufi. Pada fase ini bisa dikatakan tasawuf masih sangat murni yang
tidak terpengaruh oleh ajaran filsafat. Pada abad ini individu-individu dari kalangan
muslim lebih memusatkan dirinya pada hal ibadah. Mereka tidak mementingkan hal
duniawi, berpakaian, makan, minum dan bertempat tinggal seadanya. Tokoh yang
terkenal pada masa ini adalah Hasan al-Basri (wafat tahun 110 H) dan Rabi’ah
Al-‘Adawiyah (wafat tahun 185 H).

Pada abad ke tiga hijriyah, tasawuf mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Ditandai dengan bebagai macam tasawuf yang berkembang pada masa itu yang secara
umum dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, pertama tasawuf yang berintikan
ilmu jiwa (tasawuf murni), ke dua tasawuf yang terfokus pada petunjuk-petunjuk
tentang cara-cara berbuat baik serta cara-cara menghindarkan keburukan, yang bisanya
disebut tasawuf akhlaqi. Adapun yang ke tiga adalah tasawuf yang berintikan
metafisika, di dalamnya terkandung ajaran yang melukiskan ketunggalan hakekat yang
Maha Kuasa, yang merupakan satu-satu nya yang ada dalam pengertian yang mutlak,

11
serta melukiskan sifat-sifat Tuhan. Jadi tasawuf falsafi mulai terlihat pada abad ke tiga
hijriyah, golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang dihukum mati karena menyatakan
pendapatnya mengenai Hulul (309 H).

Pada abad ke empat hijriyah kemajuan tasawuf lebih pesat dibandingkan pada
abad ke tiga hijriyah. Hal ini terlihat pada usaha ulama tasawuf untuk mengembangkan
ajaran tsawufnya masing-masing. Sehingga kota Bagdad menjadi satu-satunya kota
yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar. Selain itu para ulama
tasawuf juga mengajarkan ajarannya ke luar kota Bagdad, diantara para pelopor
tersebuta antara lain adalah:

 Musa Al-Ansori, beliau mengajarkan ilmu tasawuf di Khurasan (Persia dan Iran)
dan wafat disana pada tahun 320 hijriyah,

 Abu Hamid bin Muhammad al-Rubazi; beliau mengajarkan tasawuf di salah satu
kota di Mesir, dan wafat disana pada tahun 322 hijriyah,

 Abu Yazid Al-Damiy beliau mengajar di Semenanjung Arabiyah dan wafat disana
pada tahun 341 hijriyah,

 Abu‘Ali Muhammad Bin ‘Abd al-Wahhab Al-Thaqofi, mengajarkan tasawuf di


Naisabur dan kota Sharaz dan wafat pada tahun 328 Hijriyah

Pada abad ke lima hijriyah ada pertentangan antara ulama sufi dengan ulama
fiqih. Keadaan semakin rawan ketika berkembang suatu mazhab Syi’ah yang
menghendaki pengembalian kekuasaan kepada Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Seiring
waktu berjalan mazhab Syi’ah ini semakin berkembang luas. Hal itu telah membuat
ulama-ulama fikih khawatir. Keresahan para ulama fikih tersebut semakin besar, ketika
ajaran filsafat Neo Platonisme (filsafat Persia dan India) banyak mempengaruhi
tasawuf, sehingga mewujudkan corak tasawuf falsafi yang sangat bertentangan dengan
ajaran tasawuf pada masa awal. Pada abad ke lima hijriyah terjadi pertentangan tiga
golongan yaitu golongan fuqoha, ahli tasawuf falsafi dan ahli tasawuf suni.

12
Selanjutnya muncullah tokoh sufi yang bernama Al-Ghazali, beliau melihat
pertentangan tersebut ingin segera meredakan pertentangan tersebut. Al-Ghazali hanya
sepenuhnya menerima tasawuf berdasarkan Alquran dan hadis serta bertujuan
kehidupan yang seederhana, penyucian jiwa serta pembianaan moral. Disisi lain beliau
memberikan kritikan yang tajam terhadap para filosof, seperti kaum Mu’tazilah dan
Batiniyah. Dan akhirnya Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang
moderat. Sehingga pada abad ini tasawuf falsafi mulai tenggelam.

Sejarah perkembangan tasawuf falsafi kembali muncul pada abad ke enam


hijriyah. Hal ini ditandai dengan adanya sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan
tasawuf dengan filsafat dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Artinya
tidak ada yang disebut tasawuf murni dan tidak ada pula yang disebut dengan filsafat
murni. Diantara tokohnya yang terkenal yakni Shuhrowardi al-Maqtul, Shekh Akbar
Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (wafat tahun 638 H).

Pada abad ke tujuh, terdapat beberapa tokoh tasawuf yang berpengaruh. Diantara
tokoh-tokoh yang berpengaruh tersebut diantaranya adalah:

a. Umar Ibnu Faridh (lahir di Homat, Shiria tahun 576 H / 1181 M. dan wafat di Mesir
tahun 632 H / 1233 M),

b. Ibnu Sabi’in (lahir di Mercial, Spanyol tahun 613 H / 1215 M dan wafat di Makkah
tahun 667 H / 1215 M ),

c. Jalal Al-Din Al-Rumi (lahir di Kota Balkh tahun 604 H / 1217 M dan wafat pada
tahun 672 H / 1273 M).

Pada abad ini tokoh-tokoh tasawuf mendirikan lembaga-lembaga pendidikan


tasawuf. Pada akhirnya kegiatan tersebut dinamakan tarekat oleh penganutnya yang
sering dinisbatkan namanya pada gurunya. Masa ini gairah masyarakat dalam
mempelajari tasawuf menurun, karena beberapa faktor:

a. Semakin gencarnya serangan ulama Syari’at memerangi ahli tasawuf yang diiringi
golongan Syi’ah yang menekuni ilmu kalam dan ilmu fiqih,

13
b. Adanya tekad penguasa atau pemerintah yang ingin melenyapkan ajaran tasawuf
karena dianggap sebagai sumber perpecahan umat Islam, sehingga bisa dikatakan
negeri Arab dan Persia ketika itu sunyi dari kegiatan tasawuf.

Pada abad ke delapan hijriyah sudah tidak terdengar lagi ajaran atau
perkembangan tasawuf yang baru. Akhirnya pada abad ke sembilan, sepuluh hijriyah
dan sesudahnya merupakan keadaan yang benar-benar sunyi dari ajaran tasawuf bahkan
bisa dikatakan tasawuf telah mati.

G. Karakteristik Tasawuf Falsafi


Manusia adalah makhluk yang unik yang menjadi subjek dari pada taswuf. Ada
tiga kata penting yang setidaknya digunakan Alquran untuk menunjuk makna manusia
yang unik ini, yaitu: al-basyar, al-insan dan al-nas. Kata al-basyar dan dinyatakan dalam
Alquran sebanyak 36 kali tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi al-basyar berarti
kulit kepala, wajah atau tubuh yang menjadi tempat tumbuh rambut. Apabila dihayati
informasi-informasi yang disebutkan dalam Alquran, dapat dipahami bahwa proses
kejadian manusia ada tujuh tahap. Ketujuh tahap tersebut adalah:

a. Berasal dari saripati tanah

b. Nuthfah (mani)

c. ‘Alaqah (segumpal darah)

d. Mudghah (segumpal daging)

e. ‘Izamah (tulang)

f. ‘Izamah lahmah (tulang dibalut dengan daging)

g. Khalqan Akhar (menjadi manusia)

h. Meninggal

i. Dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat.

14
Tasawuf adalah sistem hidup sesuai dengan fitrah manusia. Pada umumnya
manusia yang hidup di dunia ini biasanya menghadapi dua penyakit jiwa yang paling
pokok, yaitu takut dari bahaya dan susah dalam penderitaan.

Berkaitan dengan permasalahan tersebut manusia mencari cara penyelesaiannya,


dan diantara solusinya adalah tasawuf, dengan tasawuf maka akan menenangkan diri
terhadap setiap katakutan, kekhawatiran, susah dan penderitaan. Karakteristik sejarah
tasawuf falsafi secara umum adalah mengandung kesamaran akibat banyaknya
ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya dapat dipahami oleh orang yang
memahami ajaran tasawuf jenis ini. Ajaran tasawuf falsafi tidak dapat dipandang
sebagai filsafat murni, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dhauq), dan
juga tidak bisa dikatakan bahasa dan terminologi filsafat.

Adapun karakteristik khusus dari tasawuf falsafi adalah sebagai berikut:

a. Konsep pemahaman tasawuf falsafi adalah gabungan pemikiran rasional. filosofis


dengan perasaan (dhauq). Kendatipun demikian tasawuf jenis ini sering
mendasarkan pemikirannya dengan dalil naqliyah, namun diungkapkan dengan kata-
kata yang samar sehingga sulit dipahami oleh orang lain. Kalaupun bisa
diinterpretasikan orang lain, cenderung kurang tepat dan sering bersifat subyektif,

b. Terdapat latihan-latihan rohaniah (riyadhoh) sebagai peningkata moral untuk


mencapai kebahagiaan,

c. Tasawuf falsafi memandang illuminasi sebagai metode untuk mengetahui hakekat


sesuatu, yang menurut penganutnya dapat dicapai dengan fana’.

d. Menyamarkan ungkapan-ungkapan dengan berbagai simbol dan terminologi.

Berdasarkan karakteristik yang telah diuraikan di atas dapat dilihat dengan jelas
bahwa tasawuf falsafi memiliki perbedaan yang jelas dengan tasawuf lainnya, sehingga
memberikan warna yang berbeda dalam memahami ilmu tentang Allah swt.

H. Tokoh-tokoh Tasawuf dan Pokok-pokok Ajarannya

15
Adapun diantara tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah:

a. Syekh Akabar Muhyid Al-Din Ibnu ‘Arabi (wafat pada tahun 638 H),

b. Suhrowardi al-Maqtul (wafat pada tahun 549 H),

c. Ibnu Sabi’in (lahir pada tahun 614 H),

d. Abu Sulaiman al-Darany (wafat pada tahun 215 H),

e. Ahmad bin Al-Hawari al-Damashqi (wafat pada tahun 230 H),

f. ‘Abd Faid Dhun Nun Bin Ibrahim al-Misri (wafat pada tahun 245 H),

g. Abu Yazid Al-Bustami (wafat pada tahun 261 H),

h. Al-Hallaj (lahir pada tahun 244 H dan wafat pada tahun 309 H),

i. Junaid Al-Baghdadi ( wafat pada tahun 298 H),

j. Al-Ghaznawi (wafat pada tahun 545 H),

k. ‘Umar Ibnu Al-Farid (wafat pada tahun 632 H),

l. ‘Abd Al-Haq Ibnu Sabi’in Al-Mursi (wafat pada tahun 669 H).

Adapun diantara tokoh tasawuf yang sangat dikenal dan masyhur di kalangan
masyarakat adalah sebagai berikut:

a. Al-Hallaj

Nama lengkapnya adalah Husain Bin Mansur Al-Hallaj, dia dilahirkan pada
tahun 244 H / 858 M di Negeri Baidha, salah satu kota yang ada di Persia. Beliau
pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fiqih dikarenakan
padadangan tasawufnya yang ganjil. Pada akhirnya pada tahun 309 H/ 921 M
Khalifah Al-Mu’tasim Billah dari Bani Abbas memutuskan agar AlHallaj dihukum
mati.

16
Al-Hallaj membawa paham hulul, menurut bahasa berarti menempati suatu
tempat. Sedangkan menurut istilah berarti Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia
tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang
ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia
sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan, ia menakwilkan surat Al-Baqarah Ayat 34:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: “Sujudlah kamu
kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan
adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir”. Sujud di sini berarti
menghormati dan memuliakan Adam as., bukanlah berarti sujud memperhambakan
diri, karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah sematamata kepada Allah.
Dalam ayat tersebut di sebutkan bahwa manusia mempunyai sifat ketuhanan, karena
malaikat sujud kepada Adam. Jadi pada dasarnya manusia itu mempunyai dua sifat
yaitu sifat kemanusiaan dan sifat ketuhahan. Jika manusia dapat menghilangkan
sifat-sifat kemanusiaannya, maka Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya.

b. Suhrawardi al-Maqtul

Suhrawardi dilahirkan pada tahun 549 H atau 1153 M di Desa Suhraward,


Persia modern. Suhrawardi ini mempunyai faham filsafat Illuminasi. Prinsip dan
asas pertama bagi filsafat ini ialah bahwa Allah adalah cahaya dan sumber bagi
semua makhluk-Nya, maka dari cahaya-Nya terdapat cahaya-cahaya lain yang
keluar sebagai cikal-bakal atau pondasi alam semesta ini.

c. Syekh Akabar Muhyid Al-Din Ibnu ‘Arabi

Ibnu ‘Arabi lahir di Murcia, Spanyol bertepatan pada tanggal 17 Ramadhan 560
H atau 28 Juli tahun 1165 . Setelah studi di Seville ia pindah ke Tunis pada tahun
11945 dan disanalah ia masuk dalam aliran sufi. Pada tahun 1202 M ia pergi ke
Makkah dan meninggal di Damaskus dan meninggal pada tahun 1240 M. Beliau
termasuk seorang penulis yang produktif, diantara bukunya yang terkenal adalah
Futuyah al-Makkah, Risalah Al-Quds.

17
Beliau termasuk tokoh yang menganut faham Wahdah Al-Wujud. Ia
membangun pahamnya berdasarkan akal budi filsafat dan dhauq. Ia menerangkan
ajaran tasawufnya dengan bahasa yang berbelit-belit dengan tujuan, untuk
menghindari fitnah dan ancaman bagi kaum awam seperti yang dialami oleh Al-
Hallaj. Menurutnya Wahdah (yang ada) itu hanya satu. Pada hakekatnya tidak ada
pemisah antara manusia dengan Tuhan. Jika dikatakan antara makhluk dan Khaliq
itu berlainan, itu hanya karena pendeknya paham dan akal dalam mencapai hakekat.
Dalam Futuh Al-Makkah, Ibnu ‘Arabi menulis: “Wahai yang menjadikan sesuatu,
Engkau kumpulkan apa yang Engkau jadikan, Engkaulah yang menjadikan sempit
dan lapang”. Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud alam pada hakekatnya adalah wujud
Allah, dan Allah adalah hakekat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang
qadim yang disebut Kholiq dengan wujud yang baru yang disebut makhluq.

d. Abu Yazid Al-Bustomi

Nama kecil Abu Yazid adalah Al-Toifur, beliau disebut-sebut sebagai sufi yang
pertman kali memperkenalkan paham Fana’ yang berarti lenyap dan Baqo’ yang
berarti tetap. Maksud Fana’ adalah hilangnya keinginan hawa nafsu seseorang, tidak
ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala
perasaannyadan dapat membedakan sesuatu dengan sadar dan telah menghilangkan
segala kepentingan ketika berbuat sesuatu. Dari fana’ dan baqo’ memunculkan
Ittihat. Dalam tahapan ini seorang sufi berstu dengan Tuhan. Antara yang mencintai
dan yang dicintai menyatu baik substansi maupun perbuatannya. Sehingga Al-Hallaj
mengatakan “Ana A-Haq”, yang tidak diucapkan oleh ulama fiqih dan dianggap
sebagai kemurtadan.

Selain tokoh-tokoh yang telah disebutkan di atas masih banyak lagi tokoh yang
lain, diantaranya Hamzah Fansuri. Beberapa ahli yang meneliti mengenai Hamzah
sepakat mengatakan Hamzah Fansuri adalah tokoh yang membawa konsep
wujudiyah Ibnu ‘Arabi ke Nusantara. Sebagaimana telah banyak dibicarakan oleh
para ilmuan, Ibnu ‘Arabi (561 H/1165 M - 638 H/1240 M) adalah pembina ajaran

18
wahdah al-wujûd (keesaan wujud) yang memandang alam semesta ini sebagai
penampakan lahir (tajalli) dari nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Istilah yang lebih
penting lagi dalam sistem ajaran ini adalah al-insân al-kâmil yang dianggap sebagai
penampakan lahir yang paling sempurna dari namanama dan sifat-sifat Tuhan yang
mendapat perwujudan dalam rupa nabi-nabi dan kutub (kepala dari seluruh wali
Allah pada masa tertentu) yang datang sesudah mereka. Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin al-Sumaterani dikategorikan dalam arus pemikiran sufistik keagamaan
yang sama. Keduanya merupakan tokoh utama penafsiran sufisme wahdat al-wujud
yang bersifat sufistik-filosofis. Secara khusus ia dipengaruhi oleh Ibn ‘Arabi dan al-
Jilli.

Doktrin dan praktik sufistik-filosofis wujudiyah Hamzah Fansuri mendapat


oposisi kuat dari Nur al-Din Muhammad bin ‘Ali bin Hasanji al-Humaidi
al-‘Aidarusi, yang lebih dikenal dengan al-Raniri (w.1068H/1658M). Ayahnya
seorang keturunan Hadramaut dan ibunya seorang perempuan Melayu. Walaupun
dia dilahirkan di Ranir, India, tapi dia dianggap sebagai seorang ‘alim Melayu-
Indonesia. Dia pun mencapai puncak kariernya di Kerajaan Aceh Darussalam.

Nur al-Din al-Raniri datang di Aceh pada 6 Muharram 1407H/31 Mei 1637M,46
pada masa pemerintahan Iskandar Tsani (1637-1641). Dia ditunjuk oleh Sultan
untuk menduduki posisi keagamaan tertinggi sebagai syaikh al-Islam di bawah
kekuasaan Sultan sendiri. Untuk memantapkan kedudukannya di istana kesultanan
Aceh, dia mulai menyatakan perlawanannya yang kuat terhadap paham
wujudiyah.Berkaitan dengan pembahasan ini lebih lanjut akan dibahas dan
diuaraikan pada makalah-makalah berikutnya.

I. Perbedaan Tasawuf Sunni Dan Falsafi


Adapun perbedaan antara tasawuf sunni dan falsafi yaitu antara lain:

 Pertama, tasawuf sunni bersumber pada keterangan yang termaktub dalam Al-
Qur’an dal Al-Hadist. Sedangkan, tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara

19
filsafat dan tasawuf yang sumbernya sebagian adalah dari pemikiran filsafat yang di
ramu dengan tasawuf.

 Kedua, tasawuf sunni berisi ajaran yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Al-Hadist. Semua ajarannya sesuai dengan ajaran Al- Qur’an dan Al-Hadist.
Sementara, ajaean tasawuf falsafi cenderung menyimpang dari Al-Qur’an dan Al-
Hadist. Misalnya, perkataan sufi yang di kenal dengan sahabat Abu Yazid al-
Busthami : “Aku adalah Allah. Tiada tuhan selain Aku”.

 Ketiga, tasawuf sunni mengajarkan ketidaksamaan antara mahluk dan Allah. Ajaran
sunni menolak kesatuan antara mahluk dan Allah, Sementara, ajaran tasawuf falsafi
mengajarkan kesatuan antara Mahluk dan Allah dalam ajaran hulul & ittihad.

Skema perbedaan Antara Tasawuf Sunni & Falsafi

Pergulatan antara tasawuf sunni dan falsafi meski ada upaya memediasi
perbedaan ini pada akhirnya didominasi oleh tasawuf sunni. Tasawuf sunni yang lebih
mudah di fahami oleh masyarakat dan sesuaindengan kultur budaya masyarakat
Indonesia pada umumnya, tidak berbelit belit dan tidak mengundang kontroversi lebih
di terima oleh umat islam di Indonesia.

Di sinilah, secara de facto umat islam Indonesia lebih memilih “Kebenaran


pragmatis” sebagaimana yang terlihat di dalam ajaran tasawuf sunni.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari yang sudah diuraikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
tasawuf terdapat perkembangan pemahaman-pemahaman makna ajaran islam, maka
terbagi menjadi dua aliran, yakni Tasawuf Akhlaki dan Tasawuf Falsafi.

Tasawuf Akhlaki lebih bersifat praktis yang berarti lebih mudah untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Aliran ini berlandaskan kuat pada Al-Qur’an
dan As-Sunnah, dan sesuai dengan ajaran dari golongan para ahlussunah wal jamaah.
Tasawuf Akhlaki ini berusaha untuk mengarahkan manusia supaya terhindar dari akhlak
Mazmumah dan terciptanya akhlak Mahmudah.

Tasawuf Falsafi ini lebih bersifat teoritis dengan menggunakan pertnyataan-


pernyataan ganjil yang mereka miliki. Aliran ini menekankan pada aspek pemikiran
metafisik dengan memadukan tasawuf dengan filsafat.Berdasarkan uraian mengenai
sumber-sumber epistemologi tersebut maka dapat disimpulkan, bahwa epistemologi
adalah teori pengetahuan yang merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan
hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya
serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.

B. Saran
Tentunya dari pembahasan mengenai pengertian, karakteristik, sejarah
perkembangan serta tokog-tokoh dari tasawuf akhlaki dan falsafi. Dalam makalah ini
sangatlah singkat serta harus lebih diperdalam serta diperjelas lagi dengan mencari
referensi atau sumber-sumber yang lebih banyak. Dalam penyajian materi dalam
makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan baik dari
struktur penulisan maupun penyajian materinya.

21
DAFTAR PUSTAKA
Bakri, samsul.2019. Sufi healing. Surakarta: PT Raja Grafindo Persada
Al-Rasyidin, Samsul Nizar. 2005. Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press
Putra, Haidar Daulay. 2009. Qalbun Salim: Jalan Menuju Pencerahan Rohani. Jakarta:
Rineka Cipta
Zahri , Mustafa. 2007. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf . Surabaya: Bina Ilmu
https://core.ac.uk/download/pdf/146820289.pdf#page=78
http://eprints.radenfatah.ac.id/3187/1/Mia%20Paramita
%20%2814%2034%2000%2039%29.pdf

22

Anda mungkin juga menyukai