Anda di halaman 1dari 20

PEMAHAMAN NU DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN ASWAJA

Disusun oleh :
Felia Eka Putri Prasetyo (211110002833)
Kholifah Ristyn Wulandari (211110002857)
Farischa Nur Haliza (211110002842)
Jihan Bella Saputri (211110002831)

Dosen pembimbing:

Mahmudatus Sa’diyah, S.E.Sy., M.E.Sy

MATA KULIAH KE NU-AN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA

TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehinggasaya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
"Pemahaman NU dalam Mengimplementasikan Aswaja” ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dari Ibu Mahmudatus Sa’diyah, S.E.Sy., M.E.Sy pada mata kuliah Ke NU
an. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang ke
NU an bagi para pembaca dan juga bagipenulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Mahmudatus Sa’diyah,
S.E.Sy., M.E.Sy selaku dosen ke NU an pada program studi manajemen yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Jepara, 20 Oktober 2021

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Maksud dan Tujuan ................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN ................................................................................................. 4
2.1 Konsep NU Terhadap Aswaja ................................................................... 4
2.1.1 Bidang Aqidah ................................................................................ 4
2.1.2 Bidang Sosial Politik....................................................................... 4
2.1.3 Bidang Istnbath Al-Hukum (pengambilan hukum syari’ah) ............. 4
2.1.4 Bidang Tasawuf .............................................................................. 5
2.2 Aspek Pemahaman dan Implementasi Aswaja Menurut NU....................... 6
2.3 Khittoh NU ............................................................................................. 11
2.3.1 Pengertian Khittoh NU ................................................................. 11
2.3.2 Latar Belakang Kembali ke Khittah NU 1926 ............................... 11
2.3.3 Bentuk-Bentuk Rumusan Khittah NU dalam Muktamar ke-27 ...... 13
BAB III ............................................................................................................. 16
PENUTUP ........................................................................................................ 16
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 16
3.2 Saran ....................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyah Diniyah (organisasi Keagamaan)
wadah bagi para Ulama dan pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H /
31 Januari 1926 M di Surabaya. NU didirikan dengan tujuan memelihara,
melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan
Ahlusunnah Wal Jama’ah. dengan menganut salah satu dari empat madzhab:
Maliki, Hambali, Hanafi, Syafi’i, serta mempersatukan langkah Ulama dan
pengikutnya dan melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan umat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkatdan martabat
manusia. Dengan demikian maka NU menjadi gerakan keagamaan yang
bertujuan ikut membangun insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah
SWT, cerdas, terampil, berakhlaq mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU
mewujudkan cita cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar yang di dasari
oleh dasardasar faham keagamaan yang membentuk kepribadian khas NU. Inilah
yang kemudian disebut sebagai khittah Nahdlatul Ulama.Menurut Kyai Muchit,
Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya,
tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain- lain.Dalam hal ini penulis akan
membahas tentang khittah NU dan gerakan-gerakan NU. Bentuk pemahaman
keagamaan Ahlussunnah Waljama’ah yang dikembangkan NU disebutkan
secara tegas dalam AD NU Bab II tentang Aqidah/Asas Pasal 3, yakni ”Nahdlatul
Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyah Islamiyyah beraqidah/berasas Islam menurut
faham Ahlussunnah Waljama’ah dan menganut salah satu dari mazhab empat:
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali”. Untuk bidang tasawuf yang merupakan
dasar pengembangan akhlak atau perilaku kehidupan individu dan masyarakat,
NU menganut paham yang dikembangkan oleh Abul Qasim Al-Junaidi Al-
Baghdadi dan Muhammad ibnu Muhammad Al-Ghazali sertaImam-Imam yang
lain.

Dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa NU mengembangkan faham

1
Ahlussunnah Waljama’ah yang mencakup tiga hal pokok yang secara garis besar
juga merupakan aspek-aspek ajaran Islam, yaitu: (1) akidah, (2) syari’ah atau
fikih, dan (3) akhlak. Dalam Risalah Khittah Nahdliyyah, K.H. Achmad Shiddiq
(1979: 38-40), menjelaskan bahwa paham Ahlussunnah Waljama’ah memiliki
tiga karakter. Pertama, tawâsuth atau sikap moderat dalam seluruh aspek
kehidupan, kedua, al-i’tidâl atau bersikap tegak lurus dan selalu condong pada
keberanaran keadilan, dan ketiga, at-tawâzun atau sikap keseimbangan dan
penuh pertimbangan. Tiga karakter tersebut berfungsi untuk menghindari
tatharruf atau sikap ekstrim dalam segala aspek kehidupan. Dengan kata lain,
harus ada pertengahan dan keseimbangan dalam berbagai hal.
Dalam akidah misalnya, harus ada keseimbangan atau (pertengahan)
antara penggunaan dalil naqliy dan ’aqliy, antara ekstrim Jabariyah dan
Qadariyah. Dalam bidang syari’ah dan fikih, ada pertengahan antara ijtihad
”sembrono” dengan taklid buta dengan jalan bermazhab. Tegas dalam hal-hal
qath’iyyât dan toleran pada hal-hal dzanniyyât. Dalam akhlak, ada keseimbangan
dan pertengahan antara sikap berani dan sikap penakut serta ”ngawur”. Sikap
tawâdlu’ (rendah hati) merupakan pertengahan antara takabbur (sombong) dan
tadzallul (rendah diri). Akan tetapi pada dasarnya NU senantiasa memberikan
respons terhadap persoalan-persoalan kehidupan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam pembahasan materi tersebut, dapat di ambil rumusan masalah :
a. Bagaimana konsep NU terhadap implementasi Aswaja?
b. Bagaimana aspek pemahaman dan implementasi Aswaja menurut NU?
c. Apakah pengertian Khittoh NU?
d. Bagaimana latar belakang kembali ke khittah NU 1926?
e. Bagaiman bentuk-bentuk rumusan khittah NU dalam muktamar ke-27?

1.3 Maksud dan Tujuan


Untuk memenuhi tugas dari Ibu Mahmudatus Sa’diyah, S.E.Sy., M.E.Sy pada
mata kuliah KeNU an. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang pemahamanNU di dalam aspek aswaja bagi para pembaca dan
juga bagi penulis. Selain itu :
a. Untuk mengetahui konsep NU terhadap Aswaja.

2
b. Untuk mengetahui aspek pemahaman dan implementasi Aswaja menurut NU.
c. Untuk mengetahui pengertian khittoh NU.
d. Untuk mengetahui latar belakang kembali ke khittah NU 1926.
e. Untuk mengetahui bentuk-bentuk rumusan khittah NU dalam muktamar ke-
27?

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep NU Terhadap Aswaja


NU berpegang pada prinsip-prinsip Aswaja tentang islam iman dan ikhsan,
yaitu dalam hal fiqih mengikuti salah satu dari empat madzhab yaitu madzhab
Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali. Dalam hal teologi mengikuti abu hasan Al
asy’ari dan abu mansyur al maturidi dandalam bidang tasawuf mengikuti Imam Al
Ghazali dan Imam Junaid Al Baghdadi.
Dari pemaparan diatas kita dapat melihat bahwa antara Aswaja dengan NU
adalah satu-kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, konsep serta prinsip yang
sama antara keduanya setidaknya dapat dilihat juga dalam beberapa contoh
persoalan sebagai berikut :
2.1.1 Bidang Aqidah
Dalam bidang aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah
Ahlussunnah Waljamaah dan juga NU meliputi tiga hal, Yang pertama
adalah aqidah uluhiyyah (ketuhanan), yang kedua aqidah nubuwwat
yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada
para Nabi dan Rasul. Yang ketiga adalah Al ma’ad, yaitu sebuah
keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada
hari iamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan atas amal
perbuatannya.
2.1.2 Bidang Sosial Politik
Ahlussunnah Wal Jamaah dan NU memandang Negara sebagai kewajiban
fakultatif (fardlu kifayyah). Pandangan tersebut tidak sama dengan
golongan yang lain, sepertisyiah yang memiliki sebuah konsep Negara dan
mewajibkan berdirinya Negara (imamah).
2.1.3 Bidang Istnbath Al-Hukum (pengambilan hukum syari’ah)
Ahlussunnah Wal Janaah dan NU menggunakan empat sumber
hokum dalampengambialn hokum syari’ah, yaitu : Al-Qur’an,
hadist, ijma’ dan qiyas.

4
2.1.4 Bidang Tasawuf
Tasawuf adalah menyucikan diri dari apa saja selain Allah. Ketidak
terikatan kepada apapun selain Allah SWT baik dalam proses batin
ataupun bertingkah laku inilah yang kemudian disebut dengan zuhud.
Namun engertian zuhud tersebut bukan berarti manusia hanya sibuk
dengan hubungan vertical dengan Tuhannya dan meninggalkan urusan
duniawi. Ahlussunnah

Wal Jamaah Nahdliyyin (NU) memandang bahwa justru ditengah-tengah


kenyataan duniawi posisi manusia sebagai hamba dan fungsinya sebagai khalifah
harus diwujudkan. Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti
mencari nafkah dan juga urusan-urusan yang lain seperti politik, hokum, social,
budaya dan lain sebagainya. Dalam tasawuf urusan- urusan tersebut tidak harus
ditinggalkan untuk mencapai zuhud. Praktek zuhud adalah didalam batin
sementara aktivitas sehari-hari tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap
potensi manusia agar terwujudnya masyarakat yang baik. Sebagaimana di
jelaskan diatas, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah pada mulanya adalah terkait
dengan perbincangan masalah akidah yang menengahi dua paham yang saling
bertentangan. Ahlussunnah wal Jama’ah dianggap sebagai paham yang moderat
yaitu meyakini ke-Maha Kuasa-an Alloh danmenghargai ikhtiyar (akal) manusia.
Demikian juga dalam bidang fikih, pendapat-pendapat Imam Syafi’i
dan para pengikut/muridnya dianggap paling moderat yaitu mengabungkan
antara dalil naqly (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan aqly (ijtihad : ijma’ dan
qiyas).
Dalam bidang tashawwuf, ajaran-ajaran al-Junaidi dan al-Ghazali dianggap
moderat, yaitu menggabungkan antara syariah/fikih dan haqiqat/substansi.
Selain dianggap sebagai model berpikir moderat (wasathiyyah) dan ihtiyath
(kehati- hatian/antisapatif) dalam bidang ibadah, alasan NU mengikuti
Ahlussunnah wal Jama’ah juga dikarenakan para sahabat Nabi perlu diikuti,
karena merekalah yang mengetahui dan memahami terhapa semua yang
dilakukan oleh Nabi.Oleh karena itu Nabi mengatakan : ‫عليه اليوم و أصحابه ما انا‬.
Bahkan dalam hadis disebutkan bahwa mereka (para sahabat) dijamin masuk

5
surga.
Hal ini dikuatkan oleh hadis :

‫سلَّ َم‬ َ ُ ‫صلَّى هللا‬


َ ‫علَ ْي ِه َوآ ِل ِه َو‬ َ ِ‫ظنَا َرسُ ْو ُل هللا‬ َ ‫ع‬ َ ‫ َو‬: ‫ع ْنهُ قا َ َل‬ َ ‫ي هللاُ ت َ َعالَى‬ َ ‫ض‬ ِ ‫اريَةَ َر‬ ِ ‫س‬
َ ‫اض ب ِْن‬ ِ ‫ْح الع ِْر َب‬ ٍ ‫ع ْن أ َ ِبي ن َِجي‬
َ
‫صنَا قَا َل‬ َ
ِ ‫ظةً ُم َو ِدِّع ٍ فَأ ْو‬ َ ْ
َ ‫ يَا َرسُ ْو َل هللاِ َكأنَّ َها َم ْو ِع‬: ‫ت ِم ْن َها العُي ُْو ُن فَقُلنَا‬ ْ َ‫ب َوذَ َرف‬ ُ ‫ت مِ ْن َها القُلُ ْو‬ ْ َ‫ظةً َو ِجل‬ ً ‫َم ْو ِع‬
‫سيَ َري ا ْختِالَفًا َكثِي ًْرا‬ َ َ‫ِش مِ ْنكُ ْم ف‬ ْ ‫ع ْبد ٌ فَإِنَّهُ َم ْن يَع‬َ ‫علَ ْيكُ ْم‬ َ
َ ‫ع ِة َوإِ ْن تَأ َّم َر‬ َّ
َ ‫س ْمعِ َوالطا‬ َّ ‫ع َّز َو َج َّل َوال‬ ْ
َ ِ‫ص ْيكُ ْم بِتَق َوى هللا‬ ِ ‫أ ُ ْو‬
‫ع ٍة‬ َ ْ‫ت األ ُ ُم ْو ِر فَإ ِ َّن كُلَّ بِد‬ ِ ‫اج ِذ َوإِيَّاكُ ْم َو ُم ْحدَثَا‬ِ ‫ع َل ْي َها بِالنَّ َو‬
َ ‫عضُّوا‬ َ َ‫الرا ِش ِديْنَ ال َم ْه ِديِِّيْن‬ َّ ِ‫فَعَلَ ْيكُ ْم بِسُنَّتِي َوسُنَّ ِة ال ُخلَ َفاء‬
‫صحِ ْي ٌح‬َ ‫س ٌن‬ َ ‫ث َح‬ ٌ ‫ َح ِد ْي‬: ‫ي َوقَا َل‬ ُّ ‫اودَ َوالتِ ِّ ْرمِ ِذ‬ َ ٌ
ُ َ‫ضالَلَة َر َواهُ أب ُْو د‬ َ

Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariyah radhiallahuanhu dia berkata :


Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam memberikan kami nasehat yang membuat
hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Maka kami berkata : Ya
Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasehat perpisahan, maka berilah kami
wasiat. Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “

Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah ta’ala, tunduk dan
patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang
budak. Karena diantara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan
banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku
dan ajaran khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah
dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang
diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.
(Riwayat Abu Daud dan Turmuzi, dia berkata : hasan shahih)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah
menurut NU (ASWAJA AN-NAHDHIYYAH) adalah mengikuti pola pikir Abu
Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang akidah, mengikuti
pola pikir Imam Syafi’i dalam fikih(beribadah dan bermuamalah), dan mengikuti
al-Junaidi dan al-Ghazali dalam bertashawwuf, yang kesemuanya pola pikirnya
adalah moderat, tawasut, tawazun, atau ta’adul, dan menjaga amaliyah para
sahabat Nabi.

2.2 Aspek Pemahaman dan Implementasi Aswaja Menurut NU


Bentuk pemahaman keagamaan Ahlussunnah Waljama’ah yang
dikembangkan NU disebutkan secara tegas dalam AD NU Bab II tentang
Aqidah/Asas Pasal 3, yakni ”Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyah

6
Islamiyyah beraqidah/berasas Islam menurut faham Ahlussunnah Waljama’ah
dan menganut salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali”. Untuk bidang tasawuf yang merupakan dasar pengembangan akhlak
atau perilaku kehidupan individu dan masyarakat, NU menganut paham yang
dikembangkan oleh Abul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Muhammad ibnu
Muhammad Al-Ghazali sertaImam-Imam yang lain.
Dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa NU mengembangkan faham
Ahlussunnah Waljama’ah yang mencakup tiga hal pokok yang secara garis
besar juga merupakan aspek-aspek ajaran Islam, yaitu: (1) akidah, (2) syari’ah
atau fikih, dan (3) tashawwuf.

Akidah merupakan aspek terpenting sekaligus yang melatarbelakangi


lahirnya paham Ahlussunnah Waljama’ah dalam dunia Islam. Di lingkungan
NU, pemahaman terhadap aspek akidah menggunakan metode Asy’ariah dan
Maturidiah. Paham Ahlussunnah Waljama’ah menempatkan nash Al-Quran
dan Sunnah Nabi sebagai otoritas utama yang berfungsi sebagaipetunjuk bagi
umat manusia dalam memahami ajaran Islam.

Dalam kaitan ini, akal yang mempunyai potensi untuk membuat


penalaran logika, filsafat, dan mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan
alat bantu untuk memahami nash tersebut. Dalam menjalani kehidupan atau
menghadapi persoalan-persoalan, orang NU tidak boleh hanya bergantung
pada kekuasaan Alloh (pasrah) atau sebaliknya hanya mengandalkan
kemampuan akal (teori atau ilmu pengetahuan). Kaduanya harus dilakukan
secara bersamaan.
Syari’ah atau fikih merupakan aspek keagamaan yang berhubungan dengan
kegiatan ibadah (ibâdah) dan mu’amalah (mu’âmalah). Ibadah merupakan
tuntutan formal yang berhubungan dengan tata cara seorang hamba dalam
berhadapan dengan Tuhannya, seperti yang tergabung dalam rukun Islam.
Hubungan secara langsung antara hamba dengan Tuhannya ini dalam bahasa
Al-Quran disebut habl min Allâh. Adapun mu’amalah merupakan bentuk
kegiatan ibadah (penghambaan kepada Allah atau pengamalan ajaran agama)

7
yang bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya secara
horizontal, misalnya jual beli, perilaku pidana-perdata, pembuatan
kesepakatan-kesepakatan tertentu, perilaku sosial-politik, dan lain sebagainya.
Dalam bahasa Al-Quran aspek ini disebut dengan habl min an-nâs.
Dalam memegangi hukum fikih, NU tidak boleh hanya
berpegang/berlandaskan pada pendapat-pendapat yang ada (qauly) tetapi juga
harus memperhatikan dan mengetahui perkembangan zaman dan ilmu
pengetahuan (manhajiy). Motode berpikir ini diputuskan dalam MUNAS NU
di Lampung dan prinsip ini ada dalamungkapan :

‫المحافظة على القديم الصالح واألخذ بالجديد األصلح‬

“Tetap menjaga/ berpegang pada pendapat/tradisi lama (ulama’

terdahulu, salafussholih) yang baik (relevan), namun tetap mengambil


pendapat-pendapat baru yang baik (yang lebih relevan/susuai dengan kondisi
zaman dan ilmu pengetahuan)”.

Dalam beribadah warga NU juga harus berimbang antara ibadah


mahdhoh (ritual, individual, vertikal) dan ibadah ghairu mahdhah (basyariyyah,
insaniyyah, ijtimaiyyah, sosial, kemanusiaan, kemasyarakatan, horisontal).

Bidang Tashawwuf dalam menjalankan ibadah, warga NU harus


menggabungkan antara hakikat dan syariat. Aturan-aturan fikih (syarat dan rukun)
tetap harus dipenuhi, namun di sisilain penghayatan terhadap isi, makna, hakikat,
tetap harus diperhatikan. Demikian juga dalam bertsahwwuf (menjalankan
amaliyah dzikir/wirid, mengikuti thoriqat) tidak boleh melupakan urusan umat dan
keluarga. Adapun menjaga tradisi (amaliyah) para sabahat, oleh NU – dalam
bidang ibadah- antara lain adalah dengan tetap mempertahankan Tarawih minimal
23 rakaat, adzan Jumat dua kali, dan lain-lain serta pola pikir/metode ijtihad yang
dilakukan oleh para sahabat Nabi terutama khulafaurrasyidun. Mengikuti apa yang
dilakukan oleh para sahabat, meskipun tidak dilakukan oleh Nabi, BUKAN
BID’AH. Karena hadis di atas jelas bahwa Rosul memerintahkan agar berpegang

8
kepada sunnahnya dan “sunnah” (amaliyah, tradisi, apa yang dilakukan) oleh para
َ ‫ فَإِ َّن كُ َّل بِ ْد‬،‫ت اْأل ُ ُم ْو ِر‬
sahabat. Maka pengertian “bid’ah” dalam hadis ‫ع ٍة‬ ِ ‫َوإِيَّاكُ ْم َو ُم ْح َدثَا‬
‫ضالَلَة‬ َّ ِ‫ فعليكم بِسُنَّتِي َوسُنَّ ِة ْال ُخلَفَاء‬berarti di
َ yang disampaikan oleh Rasul setelah َ‫الرا ِش ِديْن‬
luar yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat. Puncaknya yang ingin

dicapai NU dari asas ASWAJA AN-NAHDHIYYAH adalah prinsip


tawasuth/moderat dan merawat sunnah Rasul dan “sunnah” para sahabat.

Akhlak, Implementasi paham Ahlussunnah Waljama’ah di NU, koridor bagi


pemahaman keagamaan di lingkungan NU adalah taqdîm an-nashsh ’alâ al-’aql
(mendahulukan nash atas akal). Itulah sebabnya mengapa dalam
mengimplementasikan paham Ahlussunnah Waljama’ah, NU mengenal hirarki
sumber ajaran Islam sebagaimana dilakukan oleh mayoritas umat Islam, yaitu
mulai dari Al-Quran, sunnah, ij’mâ’ (kesepakatan jumhur ulama), dan qiyâs
(pengambilan hukum melalui metode analogi tertentu), diletakkan dalam konteks
yang hierarkis, di mana sumber suatu hukum baru akan digunakan jika dalam
sumberdi atasnya tidak ditemukan keketapannya.

Semua dasar dari syari’ah atau fikih ini ada di dalam Al-Quran dan Sunnah
Nabi. Akan tetapi, menurut paham Ahlussunnah Waljama’ah tidak semua orang
akan dapat menerjemahkan dan memahaminya secara langsung. Sebagaimana
diketahui, kebanyakan nash Al-Quran maupun Sunnah berbicara tentang pokok
dan prinsip-prinsip masalah. Hal ini membutuhkan penjabaran dengan metode
pengambilan hukum tertentu, sehingga dapat diperjelas apa saja yang menjadi
cabang-cabangnya. Untuk melakukan hal ini diperlukan ijtihad yang tidak semua
mampu melakukannya. Itulah sebabnya mengapa dalam paham Ahlussunnah
Waljama’ah, mengikuti mazhab tertentu dalam memahami ajaran agama menjadi
demikian penting.

Hierarki sumber ini berlaku untuk semua aspek keagamaan, baik akidah,
syari’ah atau fikih, maupun akhlak. Hierarki seperti ini, secara implisit juga
tergambar dalam pernyataan Asy’ari pada saat memproklamirkan pahamnya di
depan publik, bahwa sandaran otoritas pendapat dan keyakinan yang dianutnya
adalah berpegang teguh Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, atsar sahabat,
perkataan tabi’in, pembela hadis, dan apa yang dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal.

9
Watak atau ciri NU dalam mengembangkan paham Ahlussunnah
Waljama’ah adalah pengambilan jalan tengah yang berada di antara dua ektrim.
Kalau kita melihat ke belakang, sejarah teologi Islam memang banyak diwarnai
oleh berbagai macam ektrem, seperti Khawarij dengan teori pengkafirannya
terhadap pelaku dosa besar, Qadariyah dengan teori kebebasan kehendak
manusianya, Jabariyah dengan teori keterpaksaan kehendak dan berbuat
manusianya, dan Muktazilah dengan pendewaannya terhadap kemampuan akal
dalam mencari sumber ajaran Islam. Di sinilah Asy’ariah dan Maturidiah –
dengan mengambil inspirasi berbagai pendapat yang sebelumnya dikembangkan
terutama oleh Ahmad ibn Hanbal merumuskan formulasi pemahaman kalamnya
tersendiri dan banyak mendapatkan banyak pengikut di seluruh dunia.
Secara keseluruhan, bisa juga dikatakan bahwa paham keagamaan
Ahlussunah Waljama’ah yang ditampilkan oleh NU merupakan manhaj yang
mengambil jalan tengah antara kaum ekstrem ’aqliy (rasionalis) dengan kaum
ekstem naqliy (skripturalis). Akan tetapi, dalil-dalilberdasarkan nash Al-Quran
dan sunnah (naqliy) secara hierarkis berada di atas dalil berdasarkan akal atau
logika (aqliy). Dengan kata lain bahwa di dalam lingkungan NU diterapkan
metode berpikir untuk mendahulukan nash dari pada akal (taqdîm an-nashsh ’alâ
al-aql).

Perpaduan antara tawassuth, i’tidâl, dan tawâzun ini juga mencerminkan


tradisi NU yang dalam secara kultural bersikap mempertahankan tradisi lama
yang baik, menerima hal-halbaru baru yang lebih baik, tidak bersikap apriori
dalam menerima salah satu di antara keduanya, dan lain sebagainya. Inilah
maksud dari adagium ”al-muhâfazhah ’alâ al-qadîmash-shâlih wa al-akhdz bi al-
jadîd al-ashlah”. Dengan demikian, secara konseptual NU memilih jalan
moderat dan terbuka dalam mengamalkan ajaran agama (baca: Islam).
Dalam tataran implementasi, memang selalu ditemukan kendala antara
sisi al-muhâfazhah ’alâ al-qadîm ash-shâlih dan al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah,.
Yaitu, adanya kesimpulan bahwa kaum nahdliyyin merupakan masyarakat Islam
tradisional, pada satu sisi barangkali – meskipun bisa dipahami dalam pengertian
lain, antusiasme mereka dalam melestarikan budaya dan tradisi lokal dalam
mengamalkan ajaran agama disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam

10
mengimplementasikan paham Ahlussunnah Waljama’ah itu mereka lebih
menitikberatkan pada aspek prinsip tadi.

2.3 Khittoh NU

2.3.1 Pengertian Khittoh NU


Kata khittah berasal dari akar kata khaththa, yang bermakna menulis
dan merencanakan. Kata khiththah kemudian bermakna garis dan thariqah
(jalan)”.
Khittah NU adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU
yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi
serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.Landasan tersebut adalah
faham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diterapkan menurut kondisi
kemasyarakatan Indonesia,meliputi dasar dasar amal keagamaan maupun
kemasyarakatan.Khittah NU juga digalidari intisari perjalanan sejahtera
khidmahnya dari masa ke masa.Kata khiththah ini sangat dikenal kalangan
masyarakat Nahdliyin, terutama sejak tahun 1984.
2.3.2 Latar Belakang Kembali ke Khittah NU 1926
NU mencakup tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan lain-lain.
Perbincangan Khittah NU sering dikaitkan dengan urusan politik. Sementara,
cakupan Khittah NU 1926 pada dasarnya tidak hanya menerangkan ihwal
hubungan organisasi NU dengan politik, tetapi juga hal-hal mendasar terkait soal
ibadah kepada Allah Swt dan kemasyarakatan. Menurut Kyai Muchit, Khittah
NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya,
faham kenegaraannya, dan lain-lain.
Pada tahun 1984 itu, NU menyelenggarakan Muktamar ke-27 di
Situbondo. Muktamarin berhasil memformulasikan garis-garis perjuangan
NU yang sudah lama ada ke dalam formulasi yang disebut sebagai “Khittah
NU”.
Sebagai formulasi yang kemudian menjadi rumusan “Khittah NU”, maka tahun
1984 bukan tahun kelahirannya. Kelahiran khittah NU sebagai garis, nilai-nilai,
dan jalan perjuangan, ada bersamaan dengan tradisi dan nilai-nilai di pesantren

11
dan masyarakat NU. Keberadaannya jauh sebelum tahun 1984, bahkan juga
sebelum NU berdiri sekalipun dalam bentuk tradisi turun temurun dan melekat
secara oral dan akhlak.
Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke
Khittah NU 1926. Ini ditandai keluarnya NU dari PPP. Dan kembali
menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31
Januari 1926.
Selain penggunaan kata “Khittah NU”, kadang-kadang juga digunakan kata
“Khittah 26”. Kata “khittah 26” ini merujuk pada garis, nilai-nilai, dan model
perjuangan NU yang dipondasikan pada tahun 1926 ketika NU didirikan. Pondasi
perjuangan NU tahun 1926 adalah sebagai gerakan sosial-keagamaan. Hanya
saja, garis perjuangan sosial keagamaan ini, mengalami perubahan ketika NU
bergerak di bidang politik praktis.
Pengalaman NU ke dalam politik praktis, terjadi ketika NU menjadi
partai politik sendiri sejak 1952. Setelah itu NU melebur ke dalam PPP (Partai
Persatuan Pembangunan) sejak 5 Januari 1973. Ketika NU menjadi partai
politik, banyak kritik yang muncul dari kalangan NU sendiri, yang salah
satunya menyebutkan bahwa “elit-elit politik” dianggap tidak banyak
mengurus umat. Kritik-kritik ini berujung pada perjuangan dan perlunya
kembali kepada khittah. Perjuangan kembali pada khittah sudah diusahakan
sejak akhir tahun 1950-an. Contohnya, pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta
tanggal 13-18 Desember 1959, seorang wakil cabang NU Mojokerto bernama
KH Achyat Chalimi telah menyuarakannya. KH. Achyat mengingatkan
peranan partai politik NU telah hilang, diganti perorangan, hingga partai
sebagi alat sudah kehilangan kekuatannya. Kiai Achyat mengusulkan agar NU
kembali ke khittah pada tahun 1926. Hanya saja, usul itu tidak diterima
sebagai keputusan muktamar. Kelompok “pro jam`iyah” pada tahun 1960
menggunakan warta berkala Syuriyah untuk menyuarakan perlunya NU
kembali ke khittah. Gagasan agar NU kembali ke khittah juga disuarakan
kembali pada Muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo. Akan tetapi gagasan
tersebut banyak ditentang oleh muktamirin yang memenangkan NU sebagai
partai politik. Pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya tahun 1971, gagasan

12
mengembalikan NU ke khittah muncul kembali dalam khutbah iftitâh Rais
Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Saat itu Mbah Wahab mengajak
muktamirin untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai gerakan sosial-
keagamaan. Akan tetapi kehendak muktamirin, lagi-lagi, tetap
mempertahankan NU sebagai partai politik.
Gagasan kembali ke khittah semakin mendapat tempat pada Muktamar
NU ke-26 di Semarang (5-11 Juni 1979). Meski Muktamirin masih
mempertahankan posisi NU sebagai bagian dari partai politik (di dalam PPP),
tetapi muktamirin menyetujui program yang bertujuan menghayati makna dan
seruan kembali ke khittah 26. Di Semarang ini pula tulisanKH. Achmad Shidiq
tentang Khittah Nahdliyah telah dibaca aktivis-aktivis NU dan ikut
mempopulerkan kata khittah.
Gagasan kembali ke Khittah NU semakin nyata setelah Munas Alim
Ulama di Kaliurang tahun 1981 dan di Situbondo tahun 1983. Pada Munas
Alim Ulama di Situbono itu bahkan dibentuk “Komisi Pemulihan Khittah
NU”. Komisi ini dipimpin KH Chamid Widjaya,
sekretaris HM Said Budairi, dan wakil sekretaris H. Anwar Nurris. Komisi ini
berhasil menyepakati “Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila,” kedudukan
ulama di dalamnya, hubungan NU dan politik, dan makna Khittah NU 1926.
Hasil-hasil dari Munas Alim Ulama ini kemudian ditetapkan sebagi hasil
Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 setelah melalui diskusi dan
perdebatan yang intens. Muktamar NU di Situbondo inilah yang berhasil
memformulasikan rumusan Khittah NU.
2.3.3 Bentuk-Bentuk Rumusan Khittah NU dalam Muktamar ke-27
1. Dasar-dasar Pemikiran NU
Nahdlatul Ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber Islam Al
Qur’an, Assunnah, Al Ijma’ dan Al Qiyas. Dalam memahami, menafsirkan Islam,
mengikuti Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menggunakan pendekatan madzhab. NU
mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fitri yang bersifat
menyempurnakan kebaikan yang dimiliki oleh manusia.

2. Sikap Kemasyarakatan NU

13
Dasar dasar pendirian keagamaan NU menumbuhkan sikap kemasyarakatan
sebagai berikut :
a. Sikap tawasuth dan I’tidal berintikan kepada prinsip hidup yang
menjunjung tinggikeharusan berlaku adil dan lurus di tengah tengah
kehidupan bersama. NU dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi
kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu
bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan
yang bersifat tatharruf (ekstrim).
b. Sikap tasamuh sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik
dalam masalah keagamaan, terutama yang bersifat furu’ atau yang
menjadi masalah khilafiyah sertadalam masalah kemasyarakatan dan
kebudayaan.
c. Sikap tawazun sikap seimbang dan berkhidmah, menyerasikan khidmah
kepada Allah SWT khidmah kepada sesama manusia serta lingkungan
hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu dan masa kini serta
masa yang akan datang.
d. Sikap amar ma’ruf nahi munkar. Selalu memiliki kepekaan untuk
mendorong perbuatan yang baik berguna dan bermanfaat bagi
kehidupan bersama serta menolakdan mencegah semua hal yang dapat
menjerumuskan dan merendahkan nilai nilai kehidupan.

3. Perilaku yang dibentuk oleh dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU


a. Menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam.
b. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
c. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan, berkhidmah dan berjuang.
d. Menunjung tinggi persaudaraan (Al-Ukhuwah, persatuan (Al-
Itihad) serta kasihmengasihi.
e. Meluhurkan kemuliaan moral (Al Akhlakul karimah), dan menjunjung
tinggi kejujuran (Ash-shidqu) dalam berfikir, bersikap dan bertindak.
f. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalotas) kepada agama, bangsa dan negara.
g. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari
ibadah kepada Allah SWT.
h. Menjunjung tinggi ilmu-ilu serta ahli-ahlinya.

14
i. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan
yang membawakemaslahatan manusia.
j. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha, memacu dan
mempercepat perkembangan masyarakat.
k. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan
bernegara.

4. Ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan NU :


a. Peningkatan silaturahmi/komunikasi antar ulama.
b. Peningkatan kegiatan di bidang keilmuan/pengkajian/pendidikan.
c. Peningkatan kegiatan penyiaran Islam, pembangunan
sarana-sarana danpelayanan sosial.
d. Peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang
terarah.
e. Fungsi organisasi dan kepemimpinan ulama di NU yaitu sebagai
alat untuk melakukan koordinasi bagi terciptanya tujuan yang telah
ditentukan baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun
kemasyarakatan.

5. NU dan kehidupan berbangsa


NU secara sadar mengambil posisi aktif dalam proses perjuangan mencapai
dan mempertahankan kemerdekaan, serta mewujudkan pembangunan menuju
masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
yang diridhoi oleh Allah SWT.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1) NU berpegang pada prinsip-prinsip Aswaja tentang islam iman dan ikhsan,
yaitu dalam hal fiqih mengikuti salah satu dari empat madzhab yaitu
madzhab Syafi’i, Hanafi, Malikidan Hambali. Dalam hal teologi mengikuti
abu hasan Al asy’ari dan abu mansyur al maturidi dan dalam bidang tasawuf
mengikuti Imam Al Ghazali dan Imam Junaid Al Baghdadi.
2) Bentuk pemahaman keagamaan Ahlussunnah Waljama’ah yang
dikembangkan NU disebutkan secara tegas dalam AD NU Bab II
tentang Aqidah/Asas Pasal 3, yakni ”Nahdlatul Ulama sebagai
Jam’iyyah Diniyah Islamiyyah beraqidah/berasas Islam menurut
faham Ahlussunnah Waljama’ah dan menganut salah satu dari
mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali”. Khittah NU
adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang
harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun
organisasi serta dalam setiapproses pengambilan keputusan
3) Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah
NU 1926. Iniditandai keluarnya NU dari PPP dan kembali menjadi
organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31 Januari
1926.
4) Setelah Khittah NU tidak lagi ikut secara aktif dalam politik praktis
tetapi lebih kepadapolitik taktis.

3.2 Saran
Makalah Pemahaman NU Dalam Mengimplementasikan Aswaja ini masih jauh
dari kesempurnaan. Karena itu, kami menerima kritikan, masukan, dan saran
seputar materi yang disajikan dalam makalah ini. Kami harap, segala saran dan
masukan akan menjadi pengayaanuntuk membuat makalah selanjutnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Anam, Choirul. 2010. Pertumbuhan dan Perkembangan NU (Ttp.: PT. Duta


Aksara Mulia),cet. III.

PBNU, LTN. 2011. Ahkamul Fuqoha, Solusi Problematika Hukum Islam;


KeputusanMuktamar Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (Surabaya: Khalista),
cet. I.

Pustaka Ma’arif NU. 2007. Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di


Indonesia. Jakarta.

http://liyanuzulul2508.blogspot.com/2018/01/pemahaman-nu-dalam-
mengimplementasikan.html?m=1

https://www.coursehero.com/file/64306052/MAKALAH-nu-fanny brawijaya-
1921600012pdf/

17

Anda mungkin juga menyukai