Disusun oleh :
Felia Eka Putri Prasetyo (211110002833)
Kholifah Ristyn Wulandari (211110002857)
Farischa Nur Haliza (211110002842)
Jihan Bella Saputri (211110002831)
Dosen pembimbing:
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehinggasaya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
"Pemahaman NU dalam Mengimplementasikan Aswaja” ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dari Ibu Mahmudatus Sa’diyah, S.E.Sy., M.E.Sy pada mata kuliah Ke NU
an. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang ke
NU an bagi para pembaca dan juga bagipenulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Mahmudatus Sa’diyah,
S.E.Sy., M.E.Sy selaku dosen ke NU an pada program studi manajemen yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Maksud dan Tujuan ................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN ................................................................................................. 4
2.1 Konsep NU Terhadap Aswaja ................................................................... 4
2.1.1 Bidang Aqidah ................................................................................ 4
2.1.2 Bidang Sosial Politik....................................................................... 4
2.1.3 Bidang Istnbath Al-Hukum (pengambilan hukum syari’ah) ............. 4
2.1.4 Bidang Tasawuf .............................................................................. 5
2.2 Aspek Pemahaman dan Implementasi Aswaja Menurut NU....................... 6
2.3 Khittoh NU ............................................................................................. 11
2.3.1 Pengertian Khittoh NU ................................................................. 11
2.3.2 Latar Belakang Kembali ke Khittah NU 1926 ............................... 11
2.3.3 Bentuk-Bentuk Rumusan Khittah NU dalam Muktamar ke-27 ...... 13
BAB III ............................................................................................................. 16
PENUTUP ........................................................................................................ 16
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 16
3.2 Saran ....................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Ahlussunnah Waljama’ah yang mencakup tiga hal pokok yang secara garis besar
juga merupakan aspek-aspek ajaran Islam, yaitu: (1) akidah, (2) syari’ah atau
fikih, dan (3) akhlak. Dalam Risalah Khittah Nahdliyyah, K.H. Achmad Shiddiq
(1979: 38-40), menjelaskan bahwa paham Ahlussunnah Waljama’ah memiliki
tiga karakter. Pertama, tawâsuth atau sikap moderat dalam seluruh aspek
kehidupan, kedua, al-i’tidâl atau bersikap tegak lurus dan selalu condong pada
keberanaran keadilan, dan ketiga, at-tawâzun atau sikap keseimbangan dan
penuh pertimbangan. Tiga karakter tersebut berfungsi untuk menghindari
tatharruf atau sikap ekstrim dalam segala aspek kehidupan. Dengan kata lain,
harus ada pertengahan dan keseimbangan dalam berbagai hal.
Dalam akidah misalnya, harus ada keseimbangan atau (pertengahan)
antara penggunaan dalil naqliy dan ’aqliy, antara ekstrim Jabariyah dan
Qadariyah. Dalam bidang syari’ah dan fikih, ada pertengahan antara ijtihad
”sembrono” dengan taklid buta dengan jalan bermazhab. Tegas dalam hal-hal
qath’iyyât dan toleran pada hal-hal dzanniyyât. Dalam akhlak, ada keseimbangan
dan pertengahan antara sikap berani dan sikap penakut serta ”ngawur”. Sikap
tawâdlu’ (rendah hati) merupakan pertengahan antara takabbur (sombong) dan
tadzallul (rendah diri). Akan tetapi pada dasarnya NU senantiasa memberikan
respons terhadap persoalan-persoalan kehidupan masyarakat.
2
b. Untuk mengetahui aspek pemahaman dan implementasi Aswaja menurut NU.
c. Untuk mengetahui pengertian khittoh NU.
d. Untuk mengetahui latar belakang kembali ke khittah NU 1926.
e. Untuk mengetahui bentuk-bentuk rumusan khittah NU dalam muktamar ke-
27?
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
2.1.4 Bidang Tasawuf
Tasawuf adalah menyucikan diri dari apa saja selain Allah. Ketidak
terikatan kepada apapun selain Allah SWT baik dalam proses batin
ataupun bertingkah laku inilah yang kemudian disebut dengan zuhud.
Namun engertian zuhud tersebut bukan berarti manusia hanya sibuk
dengan hubungan vertical dengan Tuhannya dan meninggalkan urusan
duniawi. Ahlussunnah
5
surga.
Hal ini dikuatkan oleh hadis :
Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah ta’ala, tunduk dan
patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang
budak. Karena diantara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan
banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku
dan ajaran khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah
dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang
diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.
(Riwayat Abu Daud dan Turmuzi, dia berkata : hasan shahih)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah
menurut NU (ASWAJA AN-NAHDHIYYAH) adalah mengikuti pola pikir Abu
Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang akidah, mengikuti
pola pikir Imam Syafi’i dalam fikih(beribadah dan bermuamalah), dan mengikuti
al-Junaidi dan al-Ghazali dalam bertashawwuf, yang kesemuanya pola pikirnya
adalah moderat, tawasut, tawazun, atau ta’adul, dan menjaga amaliyah para
sahabat Nabi.
6
Islamiyyah beraqidah/berasas Islam menurut faham Ahlussunnah Waljama’ah
dan menganut salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali”. Untuk bidang tasawuf yang merupakan dasar pengembangan akhlak
atau perilaku kehidupan individu dan masyarakat, NU menganut paham yang
dikembangkan oleh Abul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Muhammad ibnu
Muhammad Al-Ghazali sertaImam-Imam yang lain.
Dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa NU mengembangkan faham
Ahlussunnah Waljama’ah yang mencakup tiga hal pokok yang secara garis
besar juga merupakan aspek-aspek ajaran Islam, yaitu: (1) akidah, (2) syari’ah
atau fikih, dan (3) tashawwuf.
7
yang bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya secara
horizontal, misalnya jual beli, perilaku pidana-perdata, pembuatan
kesepakatan-kesepakatan tertentu, perilaku sosial-politik, dan lain sebagainya.
Dalam bahasa Al-Quran aspek ini disebut dengan habl min an-nâs.
Dalam memegangi hukum fikih, NU tidak boleh hanya
berpegang/berlandaskan pada pendapat-pendapat yang ada (qauly) tetapi juga
harus memperhatikan dan mengetahui perkembangan zaman dan ilmu
pengetahuan (manhajiy). Motode berpikir ini diputuskan dalam MUNAS NU
di Lampung dan prinsip ini ada dalamungkapan :
8
kepada sunnahnya dan “sunnah” (amaliyah, tradisi, apa yang dilakukan) oleh para
َ فَإِ َّن كُ َّل بِ ْد،ت اْأل ُ ُم ْو ِر
sahabat. Maka pengertian “bid’ah” dalam hadis ع ٍة ِ َوإِيَّاكُ ْم َو ُم ْح َدثَا
ضالَلَة َّ ِ فعليكم بِسُنَّتِي َوسُنَّ ِة ْال ُخلَفَاءberarti di
َ yang disampaikan oleh Rasul setelah َالرا ِش ِديْن
luar yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat. Puncaknya yang ingin
Semua dasar dari syari’ah atau fikih ini ada di dalam Al-Quran dan Sunnah
Nabi. Akan tetapi, menurut paham Ahlussunnah Waljama’ah tidak semua orang
akan dapat menerjemahkan dan memahaminya secara langsung. Sebagaimana
diketahui, kebanyakan nash Al-Quran maupun Sunnah berbicara tentang pokok
dan prinsip-prinsip masalah. Hal ini membutuhkan penjabaran dengan metode
pengambilan hukum tertentu, sehingga dapat diperjelas apa saja yang menjadi
cabang-cabangnya. Untuk melakukan hal ini diperlukan ijtihad yang tidak semua
mampu melakukannya. Itulah sebabnya mengapa dalam paham Ahlussunnah
Waljama’ah, mengikuti mazhab tertentu dalam memahami ajaran agama menjadi
demikian penting.
Hierarki sumber ini berlaku untuk semua aspek keagamaan, baik akidah,
syari’ah atau fikih, maupun akhlak. Hierarki seperti ini, secara implisit juga
tergambar dalam pernyataan Asy’ari pada saat memproklamirkan pahamnya di
depan publik, bahwa sandaran otoritas pendapat dan keyakinan yang dianutnya
adalah berpegang teguh Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, atsar sahabat,
perkataan tabi’in, pembela hadis, dan apa yang dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal.
9
Watak atau ciri NU dalam mengembangkan paham Ahlussunnah
Waljama’ah adalah pengambilan jalan tengah yang berada di antara dua ektrim.
Kalau kita melihat ke belakang, sejarah teologi Islam memang banyak diwarnai
oleh berbagai macam ektrem, seperti Khawarij dengan teori pengkafirannya
terhadap pelaku dosa besar, Qadariyah dengan teori kebebasan kehendak
manusianya, Jabariyah dengan teori keterpaksaan kehendak dan berbuat
manusianya, dan Muktazilah dengan pendewaannya terhadap kemampuan akal
dalam mencari sumber ajaran Islam. Di sinilah Asy’ariah dan Maturidiah –
dengan mengambil inspirasi berbagai pendapat yang sebelumnya dikembangkan
terutama oleh Ahmad ibn Hanbal merumuskan formulasi pemahaman kalamnya
tersendiri dan banyak mendapatkan banyak pengikut di seluruh dunia.
Secara keseluruhan, bisa juga dikatakan bahwa paham keagamaan
Ahlussunah Waljama’ah yang ditampilkan oleh NU merupakan manhaj yang
mengambil jalan tengah antara kaum ekstrem ’aqliy (rasionalis) dengan kaum
ekstem naqliy (skripturalis). Akan tetapi, dalil-dalilberdasarkan nash Al-Quran
dan sunnah (naqliy) secara hierarkis berada di atas dalil berdasarkan akal atau
logika (aqliy). Dengan kata lain bahwa di dalam lingkungan NU diterapkan
metode berpikir untuk mendahulukan nash dari pada akal (taqdîm an-nashsh ’alâ
al-aql).
10
mengimplementasikan paham Ahlussunnah Waljama’ah itu mereka lebih
menitikberatkan pada aspek prinsip tadi.
2.3 Khittoh NU
11
dan masyarakat NU. Keberadaannya jauh sebelum tahun 1984, bahkan juga
sebelum NU berdiri sekalipun dalam bentuk tradisi turun temurun dan melekat
secara oral dan akhlak.
Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke
Khittah NU 1926. Ini ditandai keluarnya NU dari PPP. Dan kembali
menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31
Januari 1926.
Selain penggunaan kata “Khittah NU”, kadang-kadang juga digunakan kata
“Khittah 26”. Kata “khittah 26” ini merujuk pada garis, nilai-nilai, dan model
perjuangan NU yang dipondasikan pada tahun 1926 ketika NU didirikan. Pondasi
perjuangan NU tahun 1926 adalah sebagai gerakan sosial-keagamaan. Hanya
saja, garis perjuangan sosial keagamaan ini, mengalami perubahan ketika NU
bergerak di bidang politik praktis.
Pengalaman NU ke dalam politik praktis, terjadi ketika NU menjadi
partai politik sendiri sejak 1952. Setelah itu NU melebur ke dalam PPP (Partai
Persatuan Pembangunan) sejak 5 Januari 1973. Ketika NU menjadi partai
politik, banyak kritik yang muncul dari kalangan NU sendiri, yang salah
satunya menyebutkan bahwa “elit-elit politik” dianggap tidak banyak
mengurus umat. Kritik-kritik ini berujung pada perjuangan dan perlunya
kembali kepada khittah. Perjuangan kembali pada khittah sudah diusahakan
sejak akhir tahun 1950-an. Contohnya, pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta
tanggal 13-18 Desember 1959, seorang wakil cabang NU Mojokerto bernama
KH Achyat Chalimi telah menyuarakannya. KH. Achyat mengingatkan
peranan partai politik NU telah hilang, diganti perorangan, hingga partai
sebagi alat sudah kehilangan kekuatannya. Kiai Achyat mengusulkan agar NU
kembali ke khittah pada tahun 1926. Hanya saja, usul itu tidak diterima
sebagai keputusan muktamar. Kelompok “pro jam`iyah” pada tahun 1960
menggunakan warta berkala Syuriyah untuk menyuarakan perlunya NU
kembali ke khittah. Gagasan agar NU kembali ke khittah juga disuarakan
kembali pada Muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo. Akan tetapi gagasan
tersebut banyak ditentang oleh muktamirin yang memenangkan NU sebagai
partai politik. Pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya tahun 1971, gagasan
12
mengembalikan NU ke khittah muncul kembali dalam khutbah iftitâh Rais
Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Saat itu Mbah Wahab mengajak
muktamirin untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai gerakan sosial-
keagamaan. Akan tetapi kehendak muktamirin, lagi-lagi, tetap
mempertahankan NU sebagai partai politik.
Gagasan kembali ke khittah semakin mendapat tempat pada Muktamar
NU ke-26 di Semarang (5-11 Juni 1979). Meski Muktamirin masih
mempertahankan posisi NU sebagai bagian dari partai politik (di dalam PPP),
tetapi muktamirin menyetujui program yang bertujuan menghayati makna dan
seruan kembali ke khittah 26. Di Semarang ini pula tulisanKH. Achmad Shidiq
tentang Khittah Nahdliyah telah dibaca aktivis-aktivis NU dan ikut
mempopulerkan kata khittah.
Gagasan kembali ke Khittah NU semakin nyata setelah Munas Alim
Ulama di Kaliurang tahun 1981 dan di Situbondo tahun 1983. Pada Munas
Alim Ulama di Situbono itu bahkan dibentuk “Komisi Pemulihan Khittah
NU”. Komisi ini dipimpin KH Chamid Widjaya,
sekretaris HM Said Budairi, dan wakil sekretaris H. Anwar Nurris. Komisi ini
berhasil menyepakati “Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila,” kedudukan
ulama di dalamnya, hubungan NU dan politik, dan makna Khittah NU 1926.
Hasil-hasil dari Munas Alim Ulama ini kemudian ditetapkan sebagi hasil
Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 setelah melalui diskusi dan
perdebatan yang intens. Muktamar NU di Situbondo inilah yang berhasil
memformulasikan rumusan Khittah NU.
2.3.3 Bentuk-Bentuk Rumusan Khittah NU dalam Muktamar ke-27
1. Dasar-dasar Pemikiran NU
Nahdlatul Ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber Islam Al
Qur’an, Assunnah, Al Ijma’ dan Al Qiyas. Dalam memahami, menafsirkan Islam,
mengikuti Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menggunakan pendekatan madzhab. NU
mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fitri yang bersifat
menyempurnakan kebaikan yang dimiliki oleh manusia.
2. Sikap Kemasyarakatan NU
13
Dasar dasar pendirian keagamaan NU menumbuhkan sikap kemasyarakatan
sebagai berikut :
a. Sikap tawasuth dan I’tidal berintikan kepada prinsip hidup yang
menjunjung tinggikeharusan berlaku adil dan lurus di tengah tengah
kehidupan bersama. NU dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi
kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu
bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan
yang bersifat tatharruf (ekstrim).
b. Sikap tasamuh sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik
dalam masalah keagamaan, terutama yang bersifat furu’ atau yang
menjadi masalah khilafiyah sertadalam masalah kemasyarakatan dan
kebudayaan.
c. Sikap tawazun sikap seimbang dan berkhidmah, menyerasikan khidmah
kepada Allah SWT khidmah kepada sesama manusia serta lingkungan
hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu dan masa kini serta
masa yang akan datang.
d. Sikap amar ma’ruf nahi munkar. Selalu memiliki kepekaan untuk
mendorong perbuatan yang baik berguna dan bermanfaat bagi
kehidupan bersama serta menolakdan mencegah semua hal yang dapat
menjerumuskan dan merendahkan nilai nilai kehidupan.
14
i. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan
yang membawakemaslahatan manusia.
j. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha, memacu dan
mempercepat perkembangan masyarakat.
k. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan
bernegara.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) NU berpegang pada prinsip-prinsip Aswaja tentang islam iman dan ikhsan,
yaitu dalam hal fiqih mengikuti salah satu dari empat madzhab yaitu
madzhab Syafi’i, Hanafi, Malikidan Hambali. Dalam hal teologi mengikuti
abu hasan Al asy’ari dan abu mansyur al maturidi dan dalam bidang tasawuf
mengikuti Imam Al Ghazali dan Imam Junaid Al Baghdadi.
2) Bentuk pemahaman keagamaan Ahlussunnah Waljama’ah yang
dikembangkan NU disebutkan secara tegas dalam AD NU Bab II
tentang Aqidah/Asas Pasal 3, yakni ”Nahdlatul Ulama sebagai
Jam’iyyah Diniyah Islamiyyah beraqidah/berasas Islam menurut
faham Ahlussunnah Waljama’ah dan menganut salah satu dari
mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali”. Khittah NU
adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang
harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun
organisasi serta dalam setiapproses pengambilan keputusan
3) Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah
NU 1926. Iniditandai keluarnya NU dari PPP dan kembali menjadi
organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31 Januari
1926.
4) Setelah Khittah NU tidak lagi ikut secara aktif dalam politik praktis
tetapi lebih kepadapolitik taktis.
3.2 Saran
Makalah Pemahaman NU Dalam Mengimplementasikan Aswaja ini masih jauh
dari kesempurnaan. Karena itu, kami menerima kritikan, masukan, dan saran
seputar materi yang disajikan dalam makalah ini. Kami harap, segala saran dan
masukan akan menjadi pengayaanuntuk membuat makalah selanjutnya.
16
DAFTAR PUSTAKA
http://liyanuzulul2508.blogspot.com/2018/01/pemahaman-nu-dalam-
mengimplementasikan.html?m=1
https://www.coursehero.com/file/64306052/MAKALAH-nu-fanny brawijaya-
1921600012pdf/
17