Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“PENGERTIAN SEJARAH MUNCULNYA AJARAN TASAWUF”

OLEH:

INA WATI
NIM: 602191010023

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI
TEMBILAHAN
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Pengertian Sejarah Munculnya Ajaran
Tasawuf”
Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai sejarah perkembangan dan
sumber hukum ajaran tasawuf dalam Islam.
Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan Makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Pengalihan, 08 April 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1


A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 2
C. Tujuan penulisan ................................................................ 3
D. Manfaat penulisan .............................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN ................................................................... 4


A. Sejarah dan Perkembangan Tasawuf ................................. 4
B. Sumber Hukum Ajaran Tasawuf ........................................ 9

BAB III PENUTUP ........................................................................... 12


A. Kesimpulan ........................................................................ 12
B. Saran ................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Quran sebagai sumber nilai dan norma ajaran Islam, dalam kaitannya
dengan keberadaan dan hakikat kehidupan manusia, mengisyaratkan bahwa jiwa
manusia pada dasarnya mempunyai potensi kefasikan dan kejahatan (fujur), dan
potensi kebajikan (taqwa) yang dalam kehidupan sehari-hari kedua potensi ini
saling tarik-menarik, pengaruh-mempengaruhi. (QS. Al-Syams [91] : 7-10)

          
      

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan


kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya”.

Di sinilah terlihat hakikat nilai perjuangan manusia di dunia. Apabila


motivasi hidup dan kehidupannya didorong dan didominasi oleh potensi fujur-nya,
maka kehidupan manusia terjerumus ke dalam jurang kehidupan yang kotor
(perilaku syaithaniyah). Sebaliknya, apabila motivasi hidupnya didominasi,
dikendalikan, dan diarahkan oleh potensi taqwa-nya, dia akan sampai pada
kehidupan yang suci, derajat kehidupan malikiyah, yaitu kehidupan spiritual para
kaum sufi yang ascetic (tasawuf).

Tasawuf merupakan peluang batin yang penuh keasyikan dan syarat dengan
pesan-pesan spiritual yang dapat menentramkan batin manusia. Sebagai suatu
sistem penghayatan keagamaan yang bersifat esoteric. Tasawuf sudah berkembang
menjadi wacana kajian akademik yang senantiasa actual secara konstektual dalam
setiap kajian pemikiran Islam. Apalagi di tengah-tengah situasi masyarakat yang
cenderung mengarah kepada dekadensi moral, yang imbasnya mulai terasa dalam
kehidupan secara langsung, masalah tasawuf mulai mendapat perhatian dan
dituntut peranna secara aktif mengatasi masalah tersebut. Oleh karena itu, tasawuf
secara universal menepati posisi substansi dalam kehidupan manusia.

Dalam ruang lingkup pemahaman, para ilmwan masih dilingkari oleh


perbedaan pendapat dalam menjelaskan asal-usul tasawuf. Kontroversi pemahaman
ini beranjak dari bagaimana korelasi antara tasawuf sebagai suatu istilah yang
sudah dikenal dan baku. Di samping itu, petualangan batin para sufi secara individu
menambah semakin lebatnya perbedaan untuk memformulasikan tasawuf dalam
satu definisi yang baku.1

1
Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), cet. Ke-
1, h. 1-4

1
Tasawuf adalah nama lain dari mistisisme dalam Islam. Di kalangan
orientalis barat dikenal dengan sebutan sufisme, yang merupakan istilah khusus
mistisime Islam. Sehingga kata sufisme tidak ada pada mistisisme agama-agama
lain. Tasawuf atau mistisisme dalam Islam ber-esensi pada hidup dan berkembang
mulai dari bentuk hidup kezuhudan, dalam bentuk tasawuf amali, kemudian
tasawuf falsafi.

Barangkali sepanjang sejarahnya, dalam peradaban Islam, elemen


‘Tasawuf’ adalah yang paling banyak disalahpahami dan paling sering memicu
kontroversi. Secara garis besar ada dua pendapat tentang Tasawuf: (1) para
penentang, yang menuduh Tasawuf adalah sesat, bid’ah, khurafat, berbau klenik
(takhayul), dan sinkretis serta tidak berasal dari tradisi Islam; (2) pendukung, yang
menganggap Tasawuf adalah inti dari Islam. Perdebatan ini sudah terjadi sejak
istilah ‘tasawuf’ atau ‘sufi’ muncul pertama kali dan sampai sekarang tetap tak
terjadi titik temu, bahkan cenderung lebih ‘keras’ benturannya.

Secara umum, istilah tasawuf merujuk pada aspek keruhanian dan


tazkiyatun nafs (akhlak) dalam ajaran Islam. Karena penekanannya pada aspek
keruhanian, maka membicarakan tasawuf adalah seperti membicarakan samudera
tanpa tepi, dan mustahil kita memberikan gambaran yang utuh tentang tasawuf
dalam ribuan buku sekalipun. Karenanya tulisan ini dibatasi hanya pada aspek
sejarah perkembangan dan sumber hukum ajaran tasawuf dalam tradisi Islam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, diambil rumusan masalahnya sebagai


berikut.
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan tasawuf ?
2. Apa saja sumber hukum ajaran tasawuf ?
C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan tasawuf
2
2. Untuk mengetahui sumber hukum ajaran tasauf

D. Manfaat Penulisan

Dengan pembahasan tentang tasawuf baik dari segi sejarah asal usulnya maupun
sumber hukum ajarannya kita dapat memahami ilmu tasawuf tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TASAWUF

3
 Sejarah Tasawuf

Tombulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan munculnya agama


Islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad SAW diutus menjadi rosul bagi
segenap umat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah juga menunjukan
bahwa pribadi Muhammad sbelum diangkat sebagai Rosul telah berulang kali
melakukan tahannuts dan khalwat di goa Hiro, umtuk mengasingkan diri dari
masyarakat kota Mekah yang sibuk dengan hawa nafsu keduniaan.

Kehidupan Nabi yang seperti itu dikenal sebagai hidup kerohanian yang
bertujuan untuk medekatkan diri kepada Allah yang dikukan oleh orang sufi saat
ini. Corak kehidupan kerohanian Nabi itulah yang dijadikan sebagai pedoman
dalam hidup kerohanian sesudahnya sebagai materi dalam tasawuf. Tasawuf itu
merupakan ajaran yang diikuti oleh orang sufi, di mana sufi itu dianggap penganut
Islam yang memisahkan kehidupan dunia dengan akhirat.

Sufi itu memiliki konotasi religious yang khas, yang dipakai dalam wacana
yang terbatas untuk menyebutkan mistik yang dianut oleh para pemeluk agama
Islam. Sekitar tahun 800 M, dikaitkan dengan bahasa Yunani, istilah sufi itu
mengandung makna yang lebih luhur dan memancarkan kesahajaan. Namun,
hingga sekarang masih sering terjadi perbedaan pendapat tentang asal-usul kata
sufi itu. Meskipun demikian, sebagian sufi berpendapat bahwa kata sufi berasal
dari bahasa Arab yang artinyakemurnian, sehingga seorang sufi itu diartikan
sebagai orang yang murni hatinya atau insan yang terpilih. Namun, menurut
Noldeke dalam salah satu artikelnya mengatakan bahwa sufi itu berasal dari
kata suf(bahasa Arab) yang artinya bulu domba. Istilah itulah yang pertama kali
diperkenalkan kepada orang Islam yang hidup seperti bertapa (asketis).

Tasawuf kurang tepat disebut sebagai ilmu empiris, logis, rasional, dan
sistematis, karena mereka tidak bisa mentransformasikan ilmunya kepada orang
lain. Lebih tepatnya tasawuf merupakan kumpulan pengalaman yang mengadakan
komunikasi dengan Nur Ilahi yang penuh dengan rasa dan terwujud dalam berbagai

4
bentuk kehidupan yang menjauhi kemewahan dan menghabiskan waktu beribadah
pada Allah, rindu untuk bertemu dengan Allah2

Menurut al-Dzahabi, istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah,
tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini
kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu
Hasyim al-Kufi. Tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di
dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang
masihi asal Persia.

Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada


Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena faktor
pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya.

Adapun tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki.


Tesis ini kemudian menjadi suatu asas dalam perkembangan tasawuf di dunia
Islam. Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti
(w.253 H), al-Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).

Di antara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf sunni adalah al-
Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w. 298/911), al-Kalabadzi
(385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab al-Karim al-Qusyaeri
(465/1073), dan alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang sering disebut
sebagai penganut tasawuf falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami (261/875), al-Hallaj
(309/992), al-Hamadani (525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan
puncaknya pada era Ibn ‘Arabi.

Diprediksi bahwa kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi


terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai. Tetapi secara umum tasawuf
pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran : (1) gagasan
tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan urban dan
kemewahan; (2) masuknya gnostisisme Helenisme yang mendukung corak
kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat; dan (3) masuknya pengaruh
2
Ibid, h. 9-11

5
Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti-dunia dan sarat
dengan kehidupan asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf : (1)
pembinaan aspek moral; (2) ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab; dan (3)
bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan antara Tuhan dan
makhluk. Dekat dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya dalam hati,
berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah
Tuhan.

Dari segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat : (1)
sufisme sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat
muslim; (2) sufisme yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk-
bentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam
tidak semata-mata berimplikasi pada persebaran syiar Islam melainkan juga
berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat
yang dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda.
Menyaksikan fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat
seperti Abu Dzar al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar sebagai
bentuk “protes” dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan
Umayyah.

Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran
Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada
manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan,
"Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan
mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."

Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar
Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya.
Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-
Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut,
"Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada
wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja
Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk
menjumpainya.
6
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan
manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan
dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh
darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada
bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis
mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya."

 Perkembangan Tasawuf

Secara historis, tasawuf telah mengalami banyak perkembangan melalui


beberapa tahap sejak pertumbuhannya hingga sekarang. Pada sejarah umat Islam,
ada peristiwa tragis, yaitu terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Dari peristiwa
itu, terjadi kekacauan dan kemerosotan akhlak. Akhirnya para ulama’ dan para
sahabat yang masih ada, berpikir dan berikhtiar untuk membangkitkan kembali
ajaran Islam, mengenai hidup zuhud dan lain sebagainya. Inilah yang menjadi awal
timbulnya benih tasawuf ang paling awal.

1. Abad I dan II Hijriyah

Pada tahap ini, tasawuf masih berupa zuhud. Yaitu ketika sekelompok kaum
muslim memusatkan perhatian dan memprioritaskan hidupnya pada pelaksanaan
ibadah untuk mengejar kepentingan akhirat. Tokohnya antara lain:

 Al-Hasan Al-Bashri (w. 110 H)


 Rabi’ah Al-Adawiyah (w. 185 H)

Nama lengkapnya adalah Al-Hasan bin Abi Al-Hasan Abu Sa’id. Dia
dilahirkan di Madinah pada tahun 21H/624 M dan meninggal di Basrah
pada tahun 110 H/728 M. ia adalah putra Zaid bin Sabit, seorang budak
yang tertangkap di Maisan, kemudian menjdai sekretaris Nabi Muhammad
SAW. Ia memperoleh pendidikan di Basarah, dan ia sempat bertemu

7
dengan sahabt-sahabat Rosul termasuk tujuh puluh di antara mereka adalah
yang turut serta dalam perang Badar3

Nama lengkapnya adalah Al-Hasan bin Abi Al-Hasan Abu Sa’id. Dia
dilahirkan di Madinah pada tahun 21H/624 M dan meninggal di Basrah
pada tahun 110 H/728 M. ia adalah putra Zaid bin Sabit, seorang budak
yang tertangkap di Maisan, kemudian menjdai sekretaris Nabi Muhammad
SAW. Ia memperoleh pendidikan di Basarah, dan ia sempat bertemu
dengan sahabt-sahabat Rosul termasuk tujuh puluh di antara mereka adalah
yang turut serta dalam perang Badar4

2. Abad III dan IV Hijriiyah

Pada abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. Praktisi
kerohanian yang pada masa permulaan abad ketiga hijriyah mendapat sebutan
shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata –
mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan
penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan
Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada
kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai ( fana fi al-mahbub ). Kondisi
ini tentu akan mendorong ke persatuan dengan yang dicintai ( al-ittihad ). Di sini
telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.

Pada fase ini berdiri lembaga pendididkan yang khusus mengajarkan


pendidikan cara hidup sufisik dalam bentuk tarekat. Kemudian dari beberapa tokoh
lain muncul istilah fana, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi dimana
seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik ( al-hissiyat). Ittihad
adalah kondisi dimana seorang shufi merasa bersatu dengan Allah sehingga
masing-masing bisa memanggil dengan kata aku ( ana ). Hulul adalah masuknya
Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih. Tokoh-tokohnya adalah:

3 Asmaran A.S., Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h.


258-259.
4
Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1984), h. 76.

8
 Abu Yazid Al-Busthami (w.261 H)
 Al-Junaid
 Al-Sari Al-Saqathi
 Al-Kharraz
 Al-Hussain bin Manshur Al-Hallaj (w. 309 H)

3. Abad V Hijriyah

Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan
dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan
tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para
sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya
dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syari’ah atau tradisi (sunnah)
Nabi dan sahabatnya. Tokoh yang paling terkenal adalah Abu Hamid al-Ghazali
(w. 505 H) atau yang lebih dikenal dengan al-Ghzali yang menjadi acuan para
tokoh sufi lainnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah:

 Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H)


 Syaikh Ahmad Al-Rifa’i (w. 570 H)
 Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (w. 651 H)
 Syaikh Abu Hasan Al-Syadzili (w. 650 H)
 Abu Al-Abbas Al-Mursi (w.686 H)
 Ibn Atha’illah Al-Sakandari (w. 709 H)

B. SUMBER HUKUM AJARAN TASAWUF


Materi ajaran tasawuf dilihat dari segi ibadah dan akhlak, dalam pengertian
yang luas sudah terdapat dalam al-Qur’an dan sunah sebagaimana keberadaan ilmu
agama yang lain. Jika ilmu tasawuf tidak ditemukan pada masa ini, ajaran tentang
ibadah, akhlak, pendidikan jiwa, hubungan dengan Allah, nilai-nilai kemanusiaan,
semuanya diatur dalam islam. Ajaran itulah yang disebut dengan tasawuf
sebagaimana yang dikenal oleh masyarakat pada waktu itu.

Ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu akhlak, ilmu kalam, ulumul Qur’an, ulumul
hadits dan ilmu-ilmu lain dalam Islam penamaannya baru muncul setelah Rasul
9
SAW wafat, demikian juga dengan ilmu tasawuf, ketetapan namanya baru dikenal
jauh setelah Rasul SAW wafat. Ada beberapa hal yang menjadi sumber dari ilmu
tasawuf, yaitu: Allah, Rasul, ijma’ sufi, ijtihad sufi, qiyas sufi, nurani sufi, dan
amalan sufi. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah bahasan satu per satu dari sumber
ajaran tasawuf.

1. Allah
Allah merupakan zat sumber ilmu tasawuf. Tidak ada seorangpun yang
mampu menciptakan ilmu tasawuf selain Allah. Allah mengajarkan ilmu kepada
para sufi lewat hidayah (ilham) baik secara langsung ataupun melalui perantara
sesuai yang Dia kehendaki. Ada kalanya melalui Al Qur’an dengan metode iqro’ul
Qur’an (membaca, menyimak, menganalisa isi kandungan Al-Qur’an).

Selain melalui Al-Qur’an, ada juga melalui alam dengan cara perenungan
sufi dan lain sebagainya. Pada intinya merupakan hidayah dari Allah, kemudian
berwujud menjadi ide tercerah dalam nuansa pemikiran dan keyakinan di dalam
hati untuk dimanifestasikan dalam realita kehidupan nyata sebagai bentuk
pengabdian diri kepada Allah.

2. Rasul
Rasul merupakan sumber kedua setelah Allah bagi para sufi karena hanya
kepada Rasul sajalah Allah menitipkan wahyu-Nya. Selain itu, Rasul juga satu-
satunya manusia yang sempurna dalam segala hal. Beliau adalah insan panutan
bagi semua manusia terutama kaum sufi yang senantiasa mencoba meniru semua
kelakuan Rasulullah dengan sebaik-baiknya.

3. Ijma’ Sufi
Ijma’ sufi (kesepakatan para ulama tasawuf) merupakan esensi yang sangat
penting dalam ilmu tasawuf, karena mereka dijadikan sebagai sumber yang ke tiga
dalam ilmu tasawuf setelah Al-Qur’an dan Hadits.

10
4. Ijtihad Sufi
Dalam kesendiriannya, para sufi banyak menghadapi pengalaman aneh.
Pengalaman aneh itu sebagai alat pembeda antara kepositifan dengan kenegatifan
dalam pengalaman itu. Maka diperlukan ijtihad bagi setiap sufi sebagai sumber ke
empat dalam ilmu tasawuf jika belum ditemukan dalam Qur’an, Hadits, maupun
ijma’ sufi.

5. Qiyas Sufi
Qiyas merupakan penghantar sufi untuk dapat berijtihad secara mandiri jika
sedang terpisah dari jama’ahnya, maka qiyas ditempatkan pada sumber ke lima
dalam ilmu tasawuf.

6. Nurani Sufi
Setiap sufi memiliki nurani yang tajam di hatinya. Ada yang menyebutnya
dengan istilah firasat, rasa, radar batin dan sebagainya itu merupakan anugerah
Allah terhadap kaum sufi, bisa dari keikhlasan, kesabaran dan ketawakalannya
dalam beribadah kepada Allah tanpa kenal lelah. Maka nurani sufi merupakan
sumber yang ke enam dalam ilmu tasawuf.
7. Amalan Sufi
Al-Qur’an, Al-Hadits , Ijma’ Sufi, Ijtihad Sufi, Qiyas Sufi dan Nurani Sufi
seperti yang telah dijelaskan di atas akan sia-sia tanpa pengalaman kaum sufi.
Maka amalan sufi merupakan sumber ke tujuh dalam ilmu tasawuf.

Jika ke tujuh sumber di atas mampu ditelusuri, maka kita akan tahu,
mengerti, memahami dan mampu menghayati hakikat ilmu tasawuf.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

11
Dari beberapa keterangan di atas dapat di simpulkan bahwa sumber sumber
tasawuf dalam islam dapat di lihat dari Al-Qur’an, Hadits Nabi, perbuatan Nabi
dan pandangan hidup serta praktek hidup dari sahabat-sahabat dan orang-orang
Ulama dalam Islam. Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang di dalamnya
terkandung muatan muatan ajaran Islam, baik akidah, syariah maupun muamalah.
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan
dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam
agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an,
Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum
kedua setelah Al-Qur'an. Tasawuf yang sering kita temui dalam khazanah dunia
islam, dari segi sumber perkembangannya, ternyata muncullah pro dan kontra, baik
dikalangan muslim maupun dikalangan non muslim.

Dilihat dari referensi yang kami temukan, bahwa ajaran tasawuf tidak hanya
bersumber dari sumber keIslaman saja, namun dipengaruhi juga oleh ajaran luar
Islam, antara lain ajaran Agama Hindu Budha, Agama Persia-Arab, ajaran Agama
Masehi, Pemikiran filsafat Yunani.

B. SARAN
Di sarankan kepada pembaca, supaya lebih memahami tentang sejarah
perkembangan tasawuf agar lebih baik mencari referensi lain selain makalah ini.
Karena makalah ini jauh dari kata Sempurna untuk di jadikan sebuah buku
pedoman dalam system pembelajaran.Dan penulis mengharapkan saran dan kritik
dari bapak dosen untuk perbaikan makalah ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

Asmaran A.S., Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996

Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984

Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013

13

Anda mungkin juga menyukai