Anda di halaman 1dari 31

UNIVERSALITAS TASAWUF DAN

MANIFESTASI LOKAL TASAWUF

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok pada
Mata Kuliah Tasawuf Nusantara

Dosen Pengampu :

Dr. H. Mukhlisin Saad, M. Ag

Disusun oleh :

KELOMPOK 1
Hania Choirunnisa (07020621029)
Akhmad Sahlan Zakariya (07040621062)

PROGRAM STUDI TASAWUF PSIKOTERAPI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Segala puji penulis ucapkan kepada kehadirat Allah SWT., yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Dan tak lupa sholawat
serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang telah
membimbing kita kedalam jalan yang benar, yakni al-Din al-Islam.
Selanjutnya penulis berterima kasih kepada bapak Dr. H. Mukhlisin Saad,
M. Ag. Selaku pengampu mata kuliah Tasawuf nusantara yang juga telah
membimbing penulis untuk bisa menyusun makalah yang berjudul “Universalitas
Tasawuf dan Manifestasi Lokal Tasawuf” ini dengan baik.
Penulis menyadari akan banyaknya kekurangan dalam susunan makalah
ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik yang membangun serta saran dari
pembaca sekalian yang budiman. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Surabaya, 29 Mei 2023

Kelompok 1

2
DAFTAR ISI

SAMPUL............................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR ......................................................................................... 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
BAB I - PENDAHULUAN .................................................................................. 4
A. Latar Belakang .......................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 5
BAB II - PEMBAHASAN ................................................................................... 7
A. Universalitas tasawuf ................................................................................ 7
1. Pengertian tasawuf secara umum ........................................................... 7
2. Sejarah dan Aliran Tasawuf ................................................................. 10
B. Manifestasi lokal tasawuf ........................................................................ 18
1. Masuknya islam di Indonesia melalui jalur tasawuf ............................. 18
2. Tasawuf dengan budaya lokal .............................................................. 19
3. Tarekat dan Tokoh Sufi di Indonesia.................................................... 22
BAB III - PENUTUP ......................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 29

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah tasawuf memang sudah tidak asing lagi dikalangan para
cendekiawan muslim, baik di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Tasawuf
dikenal dengan istilah mistismenya Islam atau sufisme. Tasawuf juga populer
sebagai ilmu tentang pengetahuan secara langsung tentang Tuhan dan ajaran serta
metodenya bersumber dari Al Quran dan al Hadits, ilham orang-orang shaleh,
serta kasyf (terbukanya hati) orang-orang ‘arif. Tasawuf memang sudah menjadi
kajian ilmu yang sangat dikagumi oleh para cendekiawan. Karena pesan-pesan
moral mulai dari hubungan antar manusia dengan manusia lain, sampai hubungan
manusia dengan Tuhan.
Dalam kajian awal tasawuf biasanya seseorang akan dikenalkan dengan
istilah tingkatan seseorang dalam beribadah atau penghambaan kepada Allah
SWT. yaitu syar’iat, tarekat, hakikat dan makrifat. Istilah syari’at dikalangan sufi
mempunyai arti tersendiri yang berbeda dengan pengertian-pengertian yang
diberikan oleh ahli hukum Islam. Para sufi biasanya menganggap syari’at hanya
sebagai dimensi lahiriyah atau dimensi luar saja. Sehingga para sufi
berkesimpulan bahwa ibadah yang hanya terpaku pada amal lahiriyah saja dinilai
kurang sempurna.
Tingkatan kedua adalah tarekat yaitu “jalan” yang ditempuh oleh para sufi
dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syari’at, sebab jalan
pertama disebut syara’, sedangkan jalan kedua disebut thariq. Menurut Mukhtar
Solihin dan Rosihon Anwar mengutip dari ungkapan L. Massignon yang dikutip
dari Aboe Bakar Atjeh bahwa tarekat dikalangan sufi mempunyai dua pengertian.
Pertama, cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang ingin menempuh
hidup kaum sufi. Arti kedua, tarekat berarti suatu gerakan yang lengkap untuk
memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani dalam segolongan umat Islam
menurut ajaran dan keyakinan tertentu. Tarekat menjadi hal yang sangat penting
bagi para salik (orang yang menempuh jalan tasawuf) guna untuk memahami

4
petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh sang guru, sehingga pada saat menempuh
jalan tasawuf.
Tingkatan ketiga adalah hakikat yaitu aturan-aturan yang bersifat batini
yang bertujuan untuk mensucikan kalbu manusia. Oleh karena itu, jika syari’at
lebih menekankan pada amal-amal lahiriyah, maka hakikat lebih menekankan
pada penghayatan batin. Dengan demikian, amalan lahir tidak akan kosong dari
penghayatan batin. Penghayatan batin inilah yang akan menjadi tumpuan
munculnya hakikat.
Dalam dunia tasawuf metode atau cara untuk menemukan jalan menuju
makrifat sudah populer dengan berbagai tarekatnya masing-masing. Dan tarekat
atau jalan ini tergantung kepada guru spiritual yang akan memberikan nasihat-
nasihat dan pelajarannya bagi salik dalam menempuh jalan tasawuf (suluk).
Karena metodenya berbeda, sehingga pemikiran, pengalaman dan hasil dari
pengalaman itupun berbeda pula antara sufi yang satu dengan yang lainnya. Oleh
karena itu, penulis mencoba mengkerucutkan pembahasan tulisan ini kepada satu
tokoh saja, guna mendapatkan kemudahan dalam menggali dan memahami
bagaimana corak dari pemikiran dan pengalaman spiritual dari tokoh sufi tersebut,
khususnya mengenai kemakrifatannya.

B. Rumusan Masalah
Dalam latar belakang diatas, nampaknya banyak permasalahan
yang perlu dikaji dan diteliti. Dan pengkajian dan penelitiannya dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Sejarah aliran dari Tasawuf ?
2. Bagaiamana Manifestasi Lokal dari Ajaran Tasawuf?
3. Bagaimana Proses Islamisasi yang Terjadi di Nusantara?
4. Bagaimana Perkembangan Tarekat di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Untuk tercapainya sasaran dari penelitian ini, maka dapat
dirumuskan tujuan peneulisan sebagai berikut:

5
1. Untuk mengetahui sejarah dari mulai terbentuknya awal Tasawuf
hingga sampai saat ini, serta aliran-aliran dalam tasawuf.
2. Untuk manifestasi tasawuf dalam lokalisasi melalui proses
islamisasi di Indonesia dan akulturasi budaya.
3. Untuk mengetahui perkembangan tarekat di Indonesia beserta
sekilas tokoh-tokoh sufi yang terkenal di Indonesia.

6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Universalitas tasawuf
1. Pengertian tasawuf secara umum
Menurut Muhammad bin ‘Alî al-Qashshâb, guru al-Junaid al-
Baghdâdî (w. 298 H/911 M), seperti dinukil Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî
(w. 377/988), tasawuf adalah akhlak yang mulia, yang tampak jelas di
zaman yang mulia, yang berasal dari orang yang mulia, beserta kaum yang
mulia. Adapun menurut al-Junaid, tokoh yang pendapatnya dikutip al-
Sarrâj, tasawuf adalah hendaknya engkau bersama Allah tanpa
menyertakan yang selain-Nya. Kemudian dalam pandangan Ruwaim bin
Ahmad (w. 303/915), tasawuf adalah mengarahkan diri bersama Allah atas
apa yang dikehendaki-Nya. Sumnûn bin Hamzat menyatakan bahwa
tasawuf adalah hendaknya engkau merasa tidak memiliki sesuatu dan tidak
dimilik oleh sesuatu. Menurut Abû Muhammad al-Jarîrî (w. w. 311 H)
tasawuf adalah masuk ke dalam setiap akhlak yang mulia dan keluar dari
setiap akhlak yang hina. Sementara ‘Amr bin’Utsmân al-Makkî
berpendapat bahwa tasawuf adalah hendaknya seorang hamba melakukan
sesuatu yang utama di setiap waktu itu. Aedangkan menurut Alî bin ‘Abd
al-Rahmân al-Qannâd sebagaimana ditulis al-Sarrâj, tasawuf adalah
menempuh maqam-maqam dan mempertahankannya dengan
melanggengkan berkomunikasi dengan Allah.1
Di samping itu, menurut Abû al-Hasan al-Nûrî (w. 295/908),
seperti dikutip Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî (w. 385 H/995 M),
tasawuf adalah meninggalkan setiap kesenangan hawa nafsu.2 Sedangkan
dalam pandangan al-Junaid, sebagaimana dinukil al-Kalâbâdzî, tasawuf
adalah sucinya hati dari hal-hal yang bertalian dengan makhluk,
memutuskan watak-watak bawaan instinktif (yang rendah), memadamkan
sifat-sifat kebiologisan (yang buruk), menjauhi ajakan hawa nafsu,

1
Abû Nashr al-Sarrâj, Al-Luma‘, 45.
2
Definisi al-Nûrî ini dinukil pula ole ‘Alî ibn ‘Utsmân al-Hujwîrî di dalam kitabnya Kasyf al-
Mahjûb, 232

7
menempatkan sifat-sifat spiritual (sifat yang baik), mengkaji ilmu-ilmu
hakikat, mengamalkan sesuatu yang keutamaannya lebih abadi,
memberikan nasihat untuk seluruh umat, benar-benar patuh kepada Allah,
dan mengikuti Rasulullah Saw. di dalam melaksanakan syari’at.
Menurut bahasa, tasawuf (tashawwuf) berasal dari kata sufi (shûfî),
sedangkan kata sufi sendiri ada yang mengatakan berasal dari kata shafâ’
(kesucian) dan shafwat (pilihan). Ada pula yang mengatakan berasal dari
kata al-shaff atau al-shuffat dan ada pula yang mengemukakan berasal dari
kata shûf. Menurut al-Kalâbâdzî, bila kata sufi itu berasal dari kata shafâ’
(kesucian) dan shafwat (pilihan), maka kata ini akan menjadi
alshafawiyyat. Jika kata sufi ini berasal dari kata alshaff (barisan) atau al-
shuffat (bangku), maka kata ini akan menjadi al-shaffiyyat dan al-
shuffiyyat. Boleh jadi, kata al-Kalâbâdzî, adanya huruf waw sebelum huruf
fa’ pada kata shûfiyat merupakan tambahan pada kata shaffiyyat dan kata
shuffiyyat, yang berfungsi memperpanjang di dalam pengucapannya,
sebagaimana yang biasa berlaku. Akan tetapi, al-Kalâbâdzî tetap
mengatakan bahwa dari sudut bahasa yang benar kata sufi itu berasal dari
kata shûf sehingga pengucapannya seperti halnya kata itu sendiri.3
Namun, tidak semua orang mengatakan bahwa asal-usul kata sufi
itu dari shûf, yakni shûf dalam arti tashawwafa (memakai baju wol),
sebagaimana kata taqammasha (dari kata qamîsh) yang berarti memakai
baju gamis. “Orang Arab,” kata Qusyayrî(w. 465 H/1073 M), “tidak
mengkhususkan makna tashawwafa dengan pengenaan pakaian wol, tapi
ada yang mengaitkan kata sufi itu dengan sifat masjid Rasulullah Saw, ada
yang menghubungkan dengan kata al-shafwu (suci), dan ada yang
menisbahkan kepada kata al-shaff (barisan).” Menurut pandangan
Qusyayrî, penisbatan kepada sifat masjid Nabi Saw. bukan untuk para sufi;
kata al-shafwu sebagai asal kata sufi sangat jauh dari segi tata bahasa
Arab; dan kata al-shaff tidak sesuai dengan penisbatan kepada kata sufi.
Tampaknya, dari beberapa pendapat ini Qusyayrî ingin mengatakan bahwa

3
Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî, al-Ta‘arruf, 33.

8
asal kata sufi yang benar adalah dari kata shûf, yang menurutnya bukan
merupakan kata jadian (ghayru musytaq), melainkan kata yang baku
(jâmid), sebagaimana nama julukan (gelar).4
Di samping itu, ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi itu
berasal dari kata Sophos (hikmat) dalam bahasa Yunani. Namun, pendapat
ini ditolak walau diakui bahwa kaum sufi itu memang berkaitan erat
dengan hikmat. Alasannya adalah dikarenakan huruf sigma dalam bahasa
Yunani ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi huruf sin,
bukan shad, seperti kata philosophia menjadi falsafat. Oleh karena itu,
kalau kata sufi itu berasal dari kata sophos seharusnya menjadi sûfî, bukan
shûfî.5
Walaupun kata sufi itu dari segi bahasa yang benar berasal dari
kata shûf dan sufi itu disebut sufi dikarenakan pakaian mereka dari shûf
(wol), tetapi munculnya beberapa teori tentang asal-usul kata sufi itu
tampaknya menunjukkan indikasi bahwa para sufi itu memang memiliki
kualitas-kualitas tersebut. Mereka memang mempunyai sifat-sifat seperti
ahl al-shuffat (miskin, tapi rajin beribadah dan baik hati/dermawan),
mereka memang berada di shaff terdepan, dan mereka memang orang-
orang yang disucikan Allah Swt. Di sinilah al-Hujwîrî mengatakan bahwa
secara umum kesucian (shafâ’) itu terpuji dan ketidaksucian (kotor, kadr)
itu tercela. “Oleh karena itu,” tulis al-Hujwîrî, “para pendukung keyakinan
ini telah menyucikan akhlak dan tindakan mereka serta berusaha
membebaskan diri mereka dari noda-noda bawaan.” Disebabkan kesucian
(baik) akhlak dan tindakan mereka serta kesucian batin (jiwa) mereka
itulah mereka disebut sufi.”6
Jadi, inti sufisme atau tasawuf adalah penyucian diri sehingga sufi
itu disebut sufi dikarenakan kesucian batin mereka atau kesucian hati

4
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairî an-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah: Sumber
Kajian Ilmu Tasawuf (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 415
5
Muhammad Ghallâb, al-Tashawwuf al-Muqâran (Kairo: Maktabat Nahdhat Mishra wa
Muthbi‘utihâ, t.t.), 27 dan Titus Burckhardt, An Introduction to Sufi Doctrine (Kashmir-Lahore:
SH. Muhammad Asyraf, 1973), 3.
6
Al Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb, 227

9
mereka, dan kesucian mereka ini hanya untuk Allah Swt. semata.7 Dengan
kata lain, sufi adalah orang yang telah suci batinnya atau kalbunya dan
telah “sampai” kepada al-Haqq, sedangkan orang yang berusaha untuk
mencapai kesucian ini disebut mutashawwif disebabkan tashawwuf
termasuk ke dalam bentuk tafâ‘ul, yang mengandung makna “bersusah
payah” (takalluf). Dengan demikian, tasawuf adalah sebuah upaya
penyucian diri untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.8
2. Sejarah dan Aliran Tasawuf
Secara historis tasawuf dapat dibagi menjadi beberapa masa, yaitu
masa pembentukan, masa pengembangan, masa konsolidasi, masa falsafi,
dan masa pemurnian. Dari masing-masing fase tersebut, para sufi memiliki
konsepsi, pemahaman, dan cara yang berbeda-beda antara satu fase dengan
fase yang lain. Perbedaan tersebut terlihat dari adanya dua aliran dalam
tasawuf, yaitu tasawuf semi-falsafi yang kemudian berubah menjadi
tasawuf falsafi dan tasawuf sunni.
Tasawuf semi-falsafi adalah tasawuf yang ajarannya disusun secara
mendalam dengan menggunakan bahasa-bahasa simbolik-filosofis.
Sehingga tidak mengeherankan jika kebanyakan sufi yang mengikuti
aliran ini akan mengalami ekstasi (kemabukan spiritual) dan mengeluarkan
statement yang terkesan ganjil (syathahiyat). Para sufi yang termasuk
dalam aliran ini adalah Abu Yazid al-Bustami, Abu Mansur al-Hallaj, dan
Ibn Arabi. Tasawuf semi-falsafi sulit dipahami oleh orang-orang awam,
bahkan ajarannya terkesan rumit untuk dipahami.
Sedangkan tasawuf sunni merupakan tasawuf yang ajarannya
didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw., selain itu
calon sufi juga diharuskan untuk meningkatkan kualitas diri, memahami
syari’at dengan sebaik-baiknya. Tasawuf sunni mendasarkan pengalaman
kesufiannya dengan pemahaman yang sederhana dan mudah dipahami

7
Al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb, 228
8
Al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb, 231 dan Abu al-Qasim al- Qusyairi, Sufi Book of Spiritual Ascent
(al-Risalah al-Qusyairiyah), terj. Rabia Harris (Chicago: ABC International Group Inc., 1997),
297.

10
bagi orang awam. Tokoh yang memprakarsai adalah al-Junaid al-
Baghdadi, al-Qusyairi, al-Hiwari, dan al-Ghazali.
1) Masa Pembentukan Tasawuf
Pada permulaan Islam (masa Nabi dan Khulafa ar-
Rasyidin) istilah tasawuf belumlah dikenal. Namun praktek-
praktek seperti puasa, zuhud, dan yang senada dengan itu telah ada.
Hal tersebut dapat dibuktikan dari perilaku Abdullah ibn Umar
yang sering melakukan puasa sepanjang hari dan shalat serta
membaca al-Qur’an di malam harinya. Selain itu, sahabat lain yang
juga terkenal adalah Abu al-Darda’, Abu Dzar al-Ghiffari, Bahlul
ibn Zubaid, dan Kahmas al-Hilali.9 Baru paruh kedua abad ke 1
Hijriyah, muncullah Hasan al-Basri yang merupakan seorang tokoh
zahid pertama dan termasyhur dalam sejarah tasawuf. Hasan al-
Basri melahirkan beberapa ajaran yang kemudian dilanjutkan oleh
orang-orang setelahnya sebagai sebuah pembaharuan hidup
kerohanian di kalangan Islam. Ajaran-ajaran yang muncul pada
abad ini meliputi khauf, raja’, ju’ (sedikit makan), sedikit bicara,
sedikit tidur, zuhud, khalwat, memperbanyak shalat sunnah dan
puasa, menahan nafsu, hidup sederhana, dan lain sebagainya. Para
zahid di abad ini sangat kuat memegang dimensi eksternal Islam
(Syari’ah) sekaligus dimensi internal (bathiniyyah).10
Selanjutnya untuk abad II Hijriah muncul zahid perempuan
dari Basrah-Irak, yaitu Rabi’ah al-Adawiyah. Ia memunculkan
ajaran cinta kepada Tuhan (Hubb Allah). Di abad ini tasawuf tidak
banyak perbedaan dengan abad sebelumnya, masih bercorak
kezuhudan. Meskipun demikian, di abad ini juga mulai
bermunculan jalan-jalan untuk membersihkan jiwa, kemurnian
hati, berdiam diri, melakukan safar, memperbanyak dzikir dan

9
M. Amin syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 30.
10
M. Amin syukur, Menggugat Tasawuf..., 31

11
riyadlah. Tokoh yang memperkenalkan istilah tersebut adalah Ali
Syaqiq al-Balkhy, Ma’ruf al-Karkhy, dan Ibrahim ibn Adam.
2) Masa Pengembangan Tasawuf
Masa pengembangan tasawuf terjadi pada abad ke III dan
ke IV H. Dalam abad ini mulai muncul dua aliran yang saling
bertentangan dari kalangan sufi, yaitu tasawuf semi-filosofis dan
tasawuf sunni. Dua aliran besar tasawuf inilah yang pada
gilirannya berkembang di seluruh dunia Islam.11
a. Tasawuf Semi-Filosofis
Para penganut aliran tasawuf semi-filosofis cenderung
mengungkapkan ungkapan-ungkapan ganjil (syathahiyat) serta
bertolak dari keadaan fana’ menuju pernyataan tentang
terjadinya penyatuan ataupun hulul. Tasawuf model ini identik
dengan tasawuf tipe keadaan mabuk (sukr, intoxication), yang
dikuasai oleh perasaan kehadiran Tuhan, di mana para sufi
melihat Tuhan dalam segala sesuatu dan kehilangan
kemampuan untuk membedakan antara makhluk-makhluk.
Keadaan ini disertai oleh keintiman (uns), rasa kedekatan
Tuhan yang mencintai. Menurut Kautsar, bahwasanya para sufi
yang mabuk merasakan keintiman dengan Tuhan dan sangat
yakin pada kasih sayang-Nya, mereka juga menyatakan dengan
terang-terangan persatuannya dengan Tuhan.
Tokohnya yaitu Abu Yazid al-Busthami, Abu Mansur
al-Hallaj, Ibn Atha’, al-Syibli, Bundar Ibn Husain, Abu
Hamzah al-Baghdadi, Summun al-Muhibb, dan beberapa sufi
Irak. Dari mereka inilah kemudian dapat ditemukan bibit-bibit
ajarannya pada diri Ibn Arabi dalam sistem ajaran wahdat al-
wujud.12

11
Abu al-Hasan Ali ibn Utsman Al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise On
Sufisme, (New Delhi: Taj Company, 1999), 186.
12
Al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub...., 180

12
b. Tasawuf Sunni
Tasawuf sunni adalah tasawuf yang banyak
dikembangkan oleh kaum salaf, dimana ajaran-ajarannya lebih
mengarah pada perilaku yang sesuai dengan al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad Saw., jalan untuk meningkatkan
kualitas diri kepada Allah, untuk melancarkan misi kaum salaf
tersebut maka seorang calon sufi haruslah terlebih dahulu
memahami syari’at dengan sebaik mungkin. Selain itu, tasawuf
sunni mendasarkan pengalaman kesufiannya dengan
pemahaman yang sederhana, sehingga dapat dipahami oleh
manusia pada umumnya. Tasawuf sunni berbeda dengan
tasawuf semi falsafi, jika para sufi tasawuf semi-falsafi
mengalami syathahiyat, kemabukan spiritual ataupun ekstase,
maka para sufi tasawuf sunni berada dalam keadaan sadar atau
tidak mabuk. Keadaan sadar atau tidak mabuk (shahw,
sobriety) dipenuhi dengan rasa takut dan hormat (haybah), rasa
bahwa Tuhan betapa agung, perkasa, penuh murka, dan jauh,
yang tidak peduli dengan persoalan-persoalan kecil umat
manusia.13
Sufi dalam tasawuf sunni selalu dalam keadaan sadar
sehingga terus dikuasai oleh rasa takut dan hormat kepada
Tuhan serta tetap khawatir terhadap kemurkaan-Nya. Dari
situlah mereka memelihara kesopanan (adab) terhadap Tuhan.
Tasawuf tipe ini tidak dapat dipisahkan dengan syari’at karena
bagi para penganutnya, syari’at adalah jalan awal yang harus
ditempuh untuk menuju tasawuf.14 Tasawuf sunni diprakarsai
oleh Syaikh Junaid al-Baghdadi. Beliau memagari tasawufnya
dengan al-Qur’an dan al-Hadis serta mengaitkan keadaan dan

13
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta: Serambi, 2002), 17
14
Ahmad Najib Burhani, Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta:
Mizan, 2002), 83

13
tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya.15 Ajarannya
kemudian dikembangkan oleh al-Ghazali.16 Tujuan akhir dari
tasawuf sunni adalah terbentuknya moral yang sempurna serta
menuai Ma’rifat Allah.17
Tasawuf sunni banyak pengikutnya terutama di negara-
negara yang bermazhab Syafi’i, hal ini dikarenakan penampilan
paham dan ajaran-ajarannya yang tidak terlalu rumit. Adapun
ciri-ciri dari tasawuf sunni yaitu:
1. Melandaskan diri pada al-Qur’an dan Sunnah,
2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat,
sebagaimana terdapat dalam ungkapan syathahiyat,
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan
antara Tuhan dan manusia,
4. Kesinambungan antara haqiqat dan syari’ah,
5. Lebih berkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan
akhlak, serta pengobatan jiwa dengan cara riyadlah (latihan
mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.18
3) Masa Konsolidasi Tasawuf
Masa yang berjalan pada kurun abad ke V H, ditandai
dengan tumbuh dan semakin berkembanganya tasawuf sunni, di
mana hal tersebut berbanding terbalik dengan tasawuf semi-falsafi
yang mulai tenggelam dan baru muncul kembali abad ke VI Hijriah
dan seterusnya dengan bentuk yang lain. Tenggelamnya tasawuf
semi-falsafi pada abad ke V Hijriah dikarenakan oleh berjayanya
aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dibawakan oleh
Abu al-Hasan al-Asy’ari atas aliran-aliran Abu Yazid al-Bustami
dan al-Hallaj ataupun para sufi yang lain yang ungkapannya

15
J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam, (London: Oxford University Press, 1971), 4
16
Abu al-Hasan Ali ibn Utsman Al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub....,185
17
Aly Mashar, Tasawuf: Sejarah, Madzhab, dan Inti Ajarannya, Al-A’raf: Jurnal Pemikiran Islam
dan Filsafat, Vol. XII, No. 1, Juni 2015, 14
18
Samsul Munir Amir, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), 143

14
terkenal ganjil (syathahiyat), mereka pun dianggap melenceng dari
kaidah dan akidah Islam. Karena hal inilah, tasawuf di abad ke V
Hijriah lebih fokus untuk melakukan pembaharuan, yaitu dengan
mengembalikan segala sesuatunya pada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sufi yang paling utama dan menonjol di abad ini adalah al-
Ghazali.19 Pemikiran al-Ghazali dipengaruhi oleh dua tokoh
sebelumnya, yaitu al-Qusyairi dan al-Harawi.
4) Masa Falsafi
Tasawuf falsafi muncul di abad ke VI dan VII Hijriah
setelah sebelumnya sempat tenggelam di abad V H dalam
bentuknya yang masih semi-falsafi. Tasawuf falsafi disebut juga
sebagai tasawuf nazhari yang ajarannya merupakan hasil
perpaduan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya.
Berbeda dengan tasawuf sunni, tasawuf falsafi menggunakan
terminologi filosofis dalam pengungkapannya, yaitu dari berbagai
macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.20
Tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah
Islam sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru
terkenal seabad kemudian. Sejak abad keenam Hijriyah itulah
muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan setengah-
setengah antara tasawuf dengan filsafat. Menurut at-Taftazani, ciri
umum dari tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar
dikarenakan banyaknya istilah khusus yang hanya dipahami oleh
siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini.21
Tasawuf falsafi juga memiliki karakteristik khusus yang
kemudian menjadi pembeda dengan tasawuf sunni, yaitu:
1. Tasawuf falsafi banyak mengonsepsikan pemahaman ajarannya
dengan menggabungkan antara pemikiran rasional filosofis dan

19
A.J.Arberry, Sufism: An Account of The Mystics of Islam, (London: George Allen & Unwin,
1979),94
20
Abu al-Wafa al-Ghanimi at-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman..., 187
21
M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf,(Bandung: Pustaka Setia, 2011), 174

15
perasaan (dzauq). Meski demikian, tasawuf falsafi juga sering
mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumber-sumber
naqliyyah, tetapi dengan interpretasi dan ungkapan yang samar-
samar serta sulit untuk dipahami orang lain. Kalaupun dapat
diinterpretasikan oleh orang lain, interpretasi itupun cenderung
kurang tepat dan lebih bersifat subjektif,
2. Seperti halnya tasawuf sunni, tasawuf falsafi juga didasarkan
pada latihan-latihan rohaniah (riyadhah), yang dimaksudkan
sebagai peningkatan moral dan mencapai kebahagiaan,
3. Tasawuf falsafi memandang iluminasi sebagai metode untuk
mengetahui hakikat realitas, yang menurut penganutnya dapat
dicapai dengan fana’,
4. Para penganut tasawuf falsafi selalu menyamarkan ungkapan-
ungkapan tentang hakikat realitas dengan berbagai simbol atau
terminology.22
Kebangkitan kembali tasawuf semi-falsafi menjadi tasawuf
falsafi ini dibarengi dengan munculnya beberapa thariqah dalam
tasawuf. Tasawuf falsafi dikembangkan oleh para sufi yang
berlatarbelakang sebagai filosof, di samping sebagai sufi juga.
Tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang ajaran-ajaran serta
konsepsinya disusun begitu rumit hingga membutuhkan
pemahaman yang mendalam dengan menggunakan bahasa-bahasa
yang simbolik-filosofis. Oleh karenanya tidak mengherankan jika
mayoritas sufi yang memiliki paham tasawuf ini akan mengalami
kemabukan spiritual (ekstasi) hingga mengeluarkan statement-
statement yang terkesan tidak awam (syathahiyat).23
Tokoh utama yang memprakarsai tasawuf falsafi adalah Ibn
Arabi dengan Wahdat al-Wujud, Suhrawardi dengan teori
Isyraqiyah, Ibn Sabi’in dengan teori Ittihad, dan Ibn Faridh dengan
22
Samsul Munir Amir, Ilmu Tasawuf..., 267
23
M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
10

16
teori cinta, fana’, serta Wahdat al-Syuhud.24 Sementara thariqah
yang bermunculan di abad ini (terkhusus abad ke VII H) adalah
tarekat Qadiriyyah, tarekat Naqshabandiyah, tarekat Maulawiyah,
dan beberapa tarekat yang lain.25
5) Masa Pemurnian
Masa keemasan gerakan tasawuf baik secara teoritis
maupun praktis terjadi pada tokoh Ibn Arabi, Ibn Faridh, dan
Jalaluddin Rumi. Pengaruh dan praktek-praktek tasawuf tersebar
luas melalui tarekat-tarekat. Bahkan para sultan dan pangeran tidak
segan lagi memberikan perlindungan dan mengikuti ajaran mereka.
Meski demikian, lama kelamaan dalam tasawuf mulai muncul
penyelewengan-penyelewengan dan skandal yang berakhir pada
kehancuran citra baik tasawuf itu sendiri. Ketika itu tasawuf
dihinggapi bid’ah, klenik, pengabdian syari’at, hukum-hukum
moral dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan.26 Dengan
adanya fenomena tersebut, menjadikan Ibn Taimiyah dengan
lantang menyerang ajaran-ajaran yang dia anggap menyeleweng
tersebut. Ibn Taimiyah ingin mengembalikan tasawuf pada sumber
ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan Hadis.
Hal yang dikritik oleh Ibn Taimiyah adalah ajaran ittihad,
hulul, Wahdat al-Wujud, pengkultusan wali yang dianggapnya
sebagai bid’ah, khurafat, dan takhayyul. Meskipun demikian, Ibn
Taimiyah masih memberikan toleransi terhadap ajaran fana’,
namun dengan pemaknaan yang berbeda. Dia membagi fana’
menjadi tiga bagian, yakni fana’ ibadah (lebur dalam ibadah),
fana’ syuhud al-Qalb (fana’ pandangan batil), dan fana’ wujud
masiwa Allah (fana’ wujud selain Allah). Menurut Ibn Taimiyah,
fana’ yang pertama dan kedua itu masih sesuai dengan ajaran

24
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf....,40
25
Ja’far Shodiq, Pertemuan Tarekat dan NU, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 31
26
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf...,

17
Islam, sementara fana’ yang ketiga telah terjadi penyelewengan
dan pelakunya dihukumi kafir, karena ajaran tersebut beranggapan
bahwa wujud Khaliq adalah wujud makhluq. Kemudian secara
garis besar, ajaran taswuf Ibn Taimiyah tidak lain ialah melakukan
apa yang pernah diajarkan Rasulullah Saw., yaitu menghayati
ajaran Islam tanpa mengikuti aliran tarekat tertentu, namun tetap
melibatkan diri dalam kegiatan sosial sebagaimana khalayak
umum.27

B. Manifestasi lokal tasawuf


1. Masuknya islam di Indonesia melalui jalur tasawuf
Dalam beberapa teori masuknya islam di Indonesia, terpdapat
teori Gujarat dan teori Persia. Teori Gujarat menyebutkan bahwa Islam
masuk di Indonesia sekitar abad ke-12 Masehi. melalui pedagang dari
Gujarat, India. Dan teori Persia menyebutkan bahwa Islam masuk di
Indonesia sekitar abad ke-13 Masehi, ditandai dengan adanya corak
budaya seperti peringatan muharram. Pada abad tersebut bertepatan
dengan berkembangnya corak tasawuf dalam pemikiran Islam dunia.
Hal tersebut dibuktikan dengan muculnya karya penulis dan pemikir
Islam terkemuka yang ahli pada bidang tasawuf yakni Ibn ‘Arabi dan
al-Ghazali sebagai penulis pertama yang masuk ke Indonesia.28
Masyarakat Indonesia sebelum Islam datang, sangat kental
akan pandangan kepercayaan yang mistis-spiritual dan budaya lokal
yang kental. Masyarakat Indonesia cenderung menggunakan aspek
intuisi ketimbang rasionalitas, yakni lebih mengedepankan rasa atau
batin ketimbang akal atau logika. Sufisme atau atsawuf sendiri menjadi
corak paling kuat dalam proses islamisasi di Jawa dan Nusantara
sehingga Islam mudah diterima di Indonesia adalah konstribusi dari

27
Aly Mashar, Tasawuf: Sejarah, Madzhab, dan Inti Ajarannya, Al-A’raf: Jurnal Pemikiran Islam
dan Filsafat, Vol. XII, No. 1, Juni 2015, 13
28
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah Di Indonesia (Penerbit Mizan, 1992).

18
jalur tasawuf.29 Mengapa? Yang pertama yakni adanya kesamaan pada
aspek intuisi. Budaya lokal Indonesia sudah menganut mistis-spiritual
dimana intuisi atau rasa sangat mempengaruhi kehidupan
masyarakat.30 Pun sama halnya dengan tasawuf yang menggunakan
qalb atau olah rasa sebagai media utama. Kesamaan pada aspek intuisi
dan rasa inilah yang membuat masyarakat merasa islam tidak terlalu
baru. Karena hal yang membuat suatu hal sulit diterima ialah karena
masih baru dan belum ada yang mengenal.
Hal lain mengapa tasawuf berkonstribusi dalam keberhasilan
penyebaran Islam di Indonesia adalah bahwa tasawuf kental dengan
toleransinya. Tasawuf adalah solusi guna menghadapi tantangan
kebudayaan mistik kejawen yang dianut masyarakat saat itu. Wali
songo, menggunakan tasawuf guna menghadapi system hirarki
kebudayaan mistik kejawen ini. Walisongo menggunakan metode
adaptasi dan kompromi sehingga tidak menimbulkan konfrontasi dari
masyarakat. dampaknya, masyarakat saat itu tidak merasa kaget karena
para walisongo menghargai budaya yang ada dan akhirnya
berkembang menjadi akulturasi budaya yang tetap mengajarkan islam
dengan nuansa kebudayaan Jawa.31

2. Tasawuf dengan budaya lokal


Menurut Edward Tylor – bapak Atropologi Budaya dan
profesor Antropologi Universitas Oxford Inggris, kebudayaan atau
peradaban adalah suatu kompleksitas yang meliputi ilmu pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan banyak
kemampuan serta kebiasaan – kebiasaan yang diperoleh manusia

29
Syamsul Bakri, “Dakwah, Sufisme Jawa Dan Potret Keberagaman Di Era Milenial Berbasis
Kearifan Lokal,” Eksoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf 05, no. 02 (2019), 270.
30
Akhiyat, “Tasawuf dan Akulturasi Budaya (Telaah Tasawuf dalam Perspektif Culture and
Education),” Jurnal As-Salam 1, no. 1 (June 2016), https://jurnal-
assalam.org/index.php/JAS/article/view/40, 10.
31
Bakri, “Dakwah, Sufisme Jawa Dan Potret Keberagaman Di Era Milenial Berbasis Kearifan
Lokal.”, 275.

19
sebagai bagian dari masyarakat.32 Kemudian Ralph Linton, Profesor
Antropologi Universitas Columbia NewYork, mengemukakan teori
kebudayaan yang menekankan pada integrasi dan tingkah laku yang
bisa dipelajari. Menurutnya kebudayaan adalah konfigurasi dari
tingkah laku yang dipelajari dan hasil dari tingkah laku tersebut yang
unsur-unsurnya digunakan bersama-sama dan disebarkan oleh warga
masyarakat.33
Kemudian menurut Kuntowijoyo budaya adalah sebuah system
yang mempunyai koherensi dari bentuk-bentuk simbolis yang berupa
kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, music, kepercayaan
dan mempunyai kaita erat dengann konsep-konsep epistemologis dari
system pengetahuan masyarakatnya.34
Sebagai contoh relasi tasawuf dan kebudayaan, bisa dilihat
sebagaimana pandangan hidup dan kebudayaan masyarakat Jawa yang
bersifat mistis – spiritual. Sifat mistis – spiritual ini sangat dekat
dengan sifat religius. Sifat mistis merupakan sifat yang menekankan
pada aspek rasa atau batin, sehingga dalam kebudayaan Jawa terdapat
aliran kepercayaan yaitu aliran kebatinan. Secara umum inti dari
aktivitas mistis – spiritual Jawa adalah mecapai keselarasan atara lahir
(jagad cilik) dengan batin (jagad gedhe).35 Hal tersebut bisa dilihat dari
esensi masyarakat Jawa yang menekankan keselarasan.
Kemudian menurut Sutan Takdir Alisyahbana, kebudayaan asli
Indonesia sebelum terakulturasi dengan budaya asing, kebudayaan asli
Indonesia mempunyai cara berpikir yang kompleks yaitu bersifat
keseluruhan dan emosional.36 Dekat kata lain sangat dikuasai perasaan,

32
Edward B. Tylor, Primitive Culture Vol.1, 1920, accessed November 19, 2022,
http://archive.org/details/in.ernet.dli.2015.42334, 443-444.
33
Ralph Linton, The Cultural Background of Personality, Century psychology series (New York:
D. Appleton-Century Co., 1945).
34
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).
35
Franz Suseno, Etika Jawa, Sebuah Analis tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta:
Gramedia Pustaka, 1991).
36
Sutan Takdir Alisyahbana, Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat Dari Segi Nilai-Nilai
(Jakarta: Dian Rana, 1982).

20
disini pendekatan intuisi dalam kebudayaan Indonesia lebih dominan
dibandingkan logika. Karena hal tersebut, kedudukan Agama sangat
dijunjung dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan. Seperti
kepercayaan kepada roh atau unsur gaib. Dengan demikian, maka
dapat diketahui mengapa Islam dapat dengan mudah diterima oleh
masyarakat Indonesia. Dengan masuknya Islam di Indonesia,
khususnya dengan jalur tasawuf menjadi mudah diterima oleh
masyarakat Jawa. Dikarenakan unsur-unsur kebudayaan batin
masyarakat yang menjadi dasar kehidupan masyarakat.
Contoh dari akulturasi budaya lokal dengan tasawuf adalah
dalam aspek ritual agama seperti slametan, tahlilan, marhabanan,
mauled nabi. Jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, masyarakat
Indonesia khususnya Jawa memiliki budaya dan ritual seperti
berkumpul bersama dengan mengelilingi manusia untuk dijadikan
persembahan pada alam. Hal tersebut oleh para ulama’ yang juga
seorang sufi diimprovisasi, dengan tetap menerima budaya berkumpul
bersama karena itu juga bagian dari silaturrahmi namun diganti pada
bagian persembahan manusia dengan makanan pokok atau hasil bumi
dan bukan diiringi dengan tarian, melainkan diiringi dengan zikir
bersama. Hal tersebut tertuang dalam ritual slametan dan tahlilan.
Konsep tasawuf dalam pengakulturasian budaya yang berdasarkan
etika dan moral ini adalah alasan yang menyebabkan Islam bisa
diterima masyarakat. Merujuk pada Hamka dalam bukunya tasawuf
modern bahwa konsep tersebut adalah meninggalkan segala perilaku
buruk untuk menerima perilaku yang baik.
Bukti lain dari konstribusi tasawuf dalam penyebaran Islam di
Indonesia bisa dilihat dari gerakan tarekat yang menghasilkan pada
pendirian pesantren yang dimodifikasi dari ajaran Hindu-Buddha yang

21
berbasis boarding houses atau asrama.37 Sejak zaman didirikannya
pesantren hingga sekarang, fungsi utamanya ialah sebagai tempat
pendidikan ajara Islam, baik secra syari’at maupun tarekat. Pesantren
pertama kali didirikan oleh Sunan Ampel, beliau adalah salah satu
anggota walisongo yang terkenal denga anti-radikalismenya. Tujuan
didirikannya pesantren ini juga salah satunya mengajarkan pada
masyarakat ajaran Agama sebagaimana ajaran Rasulullah saw, dengan
konsep kezuhudan beliau.

3. Tarekat dan Tokoh Sufi di Indonesia


Tarekat atau thoiqoh secara bahasa berarti jalan, cara, keadaan,
aliran, tiang tempat berteduh, yang terkenal dari suatu kaum.38
Sedangkan secara istilah tarekat adalah “jalan” yang ditempuh para
sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat,
sebab jalan utama disebut syara’, sedangkan anak jalan disebut
thariq.39 Jadi, dapat diartikan bahwa syari’at dan tarekat berjalan
bersama. Syari’ah sebagai “jalan raya”, sedangkan tarekat sebagai
“jalan kecil atau gang”.
Tarekat juga disebut sebagai praktik tasawuf secara
terorganisir. Hal ini dikarenakan tarekat saat ini menjadi sebuah aliran
atau organisasi dalam dunia tasawuf dilengkapi dengan silsila, struktur
mursyid dan aturan-aturan lainnya.40
Tarekat mulai dikenal di dunia Islam apda abad ke 12-13
Masehi dengan ditandai hadirnya tarkeat Qadariyah dengan pendiri
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (1077-1166M), beliau adalah ahli fiqh
bermazhab Hanbali yang memiliki pengalaman spiritual yang

37
M. Afif Anshori, Zaenuddin Hudi Prasojo, and Lailial Muhtifah, “Contribution of Sufism to the
Development of Moderate Islam in Nusantara,” International Journal of Islamic Thought 19, no. 1
(June 1, 2021): 40–48.
38
Louis Ma’luf, Al-Munjid fî Al-Lugah wa Al-A’lam (Beirut: Dâr AlMashriq, 1992), h. 565,
dalam Ahmad Fatah, “Tarekat,” Jurnal al-Ulum Vol. 11, no. 2 (Desember 2011): 374–375.
39
Muhammad Solihin and Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008),
203.
40
Fatah, “Tarekat.”, 375.

22
mendalam. Setelah Abdul Qadir al-Jailani meninggal, ajaran-ajarannya
mulai dikembangkan oleh anak-anaknya dan menyebarkan ajaran
tarekat Qadariyah ke Asia dan Mesir.41 Tarekat Qadariyah sendiri
bercorak tasawuf sunni dan mengikuti ajaran tasawuf Imam al-
Ghazali.42
Tidak banyak literature yang menjelaskan kapan ajaran tarekat
masuk ke Indonesia, namun yang pasti bersamaan dengan proses
islamisasi di Indonesia yang bercirak sufisme. Para sufi di Indonesia
sendiri juga tidak mengasosiasikan dirinya mengikuti tarekat. 43
Berikutnya adalah para tokoh sufi yang terkenal di Indonesia
beserta ajarannya.44

1. Hamzah Fansuri
Syekh fansuri lahir di kota Barus atau Fansur yang
terletak di pantai barat Provinsi Sumatera Utara, diantara
Singkil dan Sibolga. Beliau wafat pada tahun 1630 Masehi.
syekh Hamzah Fansuri hidup diantara pertengahan abad ke-16
hingga awal abad ke-17 Masehi. Syekh hidup hingga akhir
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan
mungkin wafat beberapa tahun sebelum kedatangan Nurudin
Ar-Raniri yang kedua kalinya di Aceh pada tahun 1637.
Pemikiran-pemikiran Fansuri tentang tasawuf banyak
dipengaruhi oleh paham Wahdat al-Wujud dari Ibn ‘Arabi. Inti
ajarannya adalah tentang Tuhan dan hakikat wujud penciptaan,
hingga pada insa>n kamil. Ajaran tentang Tuhan ialah Allah
adalah Dzat yang mutlak dan qadim, Dia adalah yang pertama
dan pencipta alam semesta. Wujud-Nya atau Wajah-Nya dapat

41
William Watt, Islam, trans. Imron Rosyidi (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), 158.
42
Alwi Shihab, Islam Sufistik (Bandung: Mizan Pustaka, 2001), 172.
43
Acep Aripudin, “Tarekat Qadariyah in Indonesia,” Journal of Tasamuh 12, no. 1 (Desember
2014), 6.
44
Abdul Hadi, “Peran Tokoh Tasawuf Dan Tarekat Nusantara Dalam Dakwah Moderat,” Ad-
Da’wah: Jurnal Dakwah dan Komunikasi 20, no. 1 (2022).

23
terlihat dari pancaran alam dan manusia. Artinya alam semesta
dan makhluk di dunia adalah bentuk perwujudan dari Allah
semata. Sementara tentang hakikat Wujud dan Penciptaan,
menurutnya, wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatannya banyak.
Dari wujud yang satu ini ada yang merupakan kulit (madzhar,
kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi (kenyataan batin). Semua
benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari yang haqiqi
yang disebut Al-Haqq Ta’ala.
2. Nurudin Ar-Raniri
Bernama lengkap Nuruddin Muhammad Ibn Ali ibn
Hasanji ibn Muhammad ar-Raniri. Lahir di daerah Ranir
(Rander) dekat Gujarat, India. Beliau ialah keturunan Aceh.
Sejak kecil beliau belajar di Aceh kemudian dilanjutkan ke
Tarim. Dari Tarim beliau melanjutkan ke Mekkah pada tahun
1583 Masehi untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke
Madinah.
Ar-Raniri merupakan tokoh pembaharuan di Aceh. Di
Istana Aceh, beliau melakukan pembaharuan utama guna
memberantas aliran wujudiyyah yang beliau anggap sebagai
aliran sesat. Kehadiran Nuruddin Ar-Raniri harus diakui telah
berhasil mematahkan pemikiran wujudiyyahnya Syamsuddin
Sumatrani.
Pemikiran dari Ar-Raniri diantaranya.
1) Tentang Tuhan. Beliau berupaya menyatukan faham
mutakallimin dengan faham para sufi yang diwakili
Ibn ‘Arabi. Beliau berpendapat bahwa ungkapan
“Wujud Allah dan Alam Esa” berarti bahwa alam
ini merupakan sisi lahiriyah dari hakikatnya yang
batin, yaitu Allah. Pandangan Ar-Raniri ini hampir
sama dengan pandangan Ibn ‘Arabi, yakni alam ini
merupakan tajalli Allah. Namun penafsirannya

24
diatas membuatnya terlepas dari ‘Label’ pantheisme
Ibn ‘Arabi.
2) Tentang alam. Ar-Raniri berpendapat bahwa alam
ini diciptakan Allah melalui tajalli.
3) Tentang manusia. Ar-Raniri berpendapat bahwa
manusia merupakan makhluk Allah yang paling
sempurna di dunia. Manusia merupakan khalifah
Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-
Nya. Manusia juga merupakan madzhar. Konsep
insan kamil pada dasarnya hampir sama dengan
yang digariskan oleh Ibn ‘Arabi.
4) Tentang Wujudiyyah. Ar-Raniri berpendapat bahwa
inti ajaran wujudiyah berpusat pada wahdat al-
wujud, yang disalah artikan kaum wujudiyah
menjadi kemanunggalan Allah dengan alam.
Pendapat Hamzah Fansuri tentang wahdat al-wjud
dapat membawa pada kekafiran. Menurut Ar-Raniri,
jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu,
dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan
Tuhan adalah manusia. Sehingga akhirnya seluruh
makhluk adalah Tuhan. Semua yang dilakukan
manusia, baik atau buruk Allah turut serta
melakukannya. Jika demikian, manusia juga
memiliki sifat-sifat Tuhan.
3. Syekh Abdur Rauf as-Sinkili
Bernama lengkap Abdur Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri
as-Sinkili. Tokoh utama dan mufti besar kesultanan Aceh pada
abad ke-17 sekitar 1606-1637 masehi. beliau sempat menerima
ba’iat tarekat Syattariyah. As-Sinkili berupaya untuk
menengahi ajaran martabat alam tujuh yang dikenal di Aceh
sebagai faham wahdatul wujud dengan faham sunnah. Tetapi,

25
beliau tetap menolak faham wujudiyyah yang menganggap
adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba. Beliau menganut
faham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah. Alam ciptaan-
Nya bukan merupakan wujud hakiki, tetapi bayangan dari yang
hakiki. Dengan demikian, menurutnya, jelaslah bahwa Allah
berbeda dengan alam.
Selanjutnya Ajaran tasawuf as-Sinkili yang lain adalah
bertalian dengan martabat perwujudan. Ada tiga martabat
perwujudan yakni (1) martabat ah}adiyah atau la> ta>’atun, yakni
alam pada waktu itu masih merupakan hakikat gaib yang masih
berada dalam ilmu Tuhan.(2)Martabat wahdah atau ta’ayu>n
awwal, yang sudah tercipta haqiqat muh}amma>diyyah atau nur
Muhammad yang berpotensi terciptanya alam.(3) Martabat
wah}idiyyah atau ta’ayun tsa>ni, yang disinilah alam mulai
tercipta.
4. Abdus Shomad al-Falimbani
Beliau lahir di Palembang pada awal abad ke-18
Masehi. Pemikiran beliau pada tasawuf antara lain.
1) Tentang nafsu
Beliau tidak puas dengan ajaran al-Ghazali
tentang 3 tingakatan nafsu yakni ama>rah, lawwa>mah,
mut}ma’innah. Beliau membagi nafsu menjadi 7
tingkatan yakni ama>rah, lawwa>mah, mulhammah,
mut}ma’innah, rad}iyah, mard>iyah, dan k}ami>lah.
2) Tentang martabat tujuh
Martabat tujuh menurut al-Falimbani ialah (1)
martabat ahadiyatul ahad. (2) martabat al-Wahidah
atau at-ta’ayyun al-awwal.(3) martabat al-Wahidiyah
atau al-insaniyah.(4) martabat nur Muhammad atau
alam arwah.(5) martabat alam mitsal.(6) martabat alam
al-Jami’ah atau at-ta’ayyun al-akhir.

26
3) Tentang syari’at
Beliau berkeyakinan bahwa Tuhan dapat
didekati dengan keyakinan yang benar pada keesaan
Tuhan yang mutlak pada ajaran syari’at. Beliau
menekankan ajaran tasawuf dalam segi penyucian
pikiran dan perilaku moral.
4) Tentang makrifat
Beliau berpendapat bahwa kesempurnaan sufi
belum tercapai kepada pengasingan diri terhadap
masyarakat dengan berdzikir mengingat Allah saja.
Melainkan juga dapat terlibat aktif dalam kehidupan
dunia yang memancarkan asma Allah melalui perbuatan
mulia dan amal yang nyata terhadap masyarakat.

27
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan yang didapat dari pembahasan pada bab 2 adalah
sebagai berikut.
1. Tasawuf adalah sebuah upaya penyucian diri untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt.
2. Sejarah perkembangan tasawuf terbagi menjadi lima tahap, yakni.
 Masa pembentukan tasawuf
 Masa pengembangan tasawuf (tasawuf semi-filosofis dan
tasawuf sunni)
 Masa konsolidasi tasawuf
 Masa falsafi
 Masa pemurnian
3. Proses islamisasi di Indonesia melibatkan konstribusi jalur tasawuf.
Dakwah dengan corak sufistik lebih mampu diterima masyarakat
dikarenakan toleransi tasawuf yang tinggi sehingga mampu
berdampingan dengan budaya lokal. Adanya kesamaan intuisi dan olah
rasa dalam mistik kejawen yang menjadikan tasawuf bukan hal baru
bagi masyarakat, sehingga masyarakat isa sedikit demi sedikit mampu
belajar islam.
4. Diantara manifestasi tasawuf dengan budaya lokal adalah adanya
tradisi slametan dan tahlilan serta tradisi pesantren.
5. Salah satu manifestasi dari tasawuf yakni tarekat. Tarekat masuk di
Indonesia bersamaan dengan masukya islam di Indonesia dan
melahirkan banyak tokoh besar sufi, seperti Hamzah fansuri, Nurudin
ar-Raniri, Syekh Abdur Rauf as-Sinkili dan Abdus Shomad al-
Falimbani.

28
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hujwiri, Abu al-Hasan Ali ibn Utsman. Kasyf al-Mahjub: The Oldest Persian
Treatise On Sufisme. New Delhi: Taj Company. 1999.

Akhiyat. “Tasawuf dan Akulturasi Budaya (Telaah Tasawuf dalam Perspektif


Culture and Education).” Jurnal As-Salam 1, no. 1 (June 2016).
https://jurnal-assalam.org/index.php/JAS/article/view/40.

Alisyahbana, Sutan Takdir. Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat Dari Segi


Nilai-Nilai. Jakarta: Dian Rana, 1982.

Amir, Samsul Munir Amir. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah. 2012.

Anshori, M. Afif, Zaenuddin Hudi Prasojo, and Lailial Muhtifah. “Contribution of


Sufism to the Development of Moderate Islam in Nusantara.”
International Journal of Islamic Thought 19, no. 1 (June 1, 2021).

Andariati, L. (2020). Aliran-Aliran Dalam Tasawuf. FiTUA: Jurnal Studi Islam,


1(2).

Arberry, A.J. Sufism: An Account of The Mystics of Islam. London: George Allen
& Unwin. 1979.

Aripudin, Acep. “Tarekat Qadariyah in Indonesia.” Journal of Tasamuh 12, no. 1


(Desember 2014).

At-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Sufi dari Zaman ke Zaman. terj. Ahmad
Rifa’i Ustmani. Bandung: Pustaka. 1985

Bakri, Syamsul. “Dakwah, Sufisme Jawa Dan Potret Keberagaman Di Era


Milenial Berbasis Kearifan Lokal.” Eksoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf
05, no. 02 (2019): 267–281.

Burhani, Ahmad Najib. Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf


Positif. Jakarta: Mizan. 2002.

Bruinessen, Martin Van. Tarekat Naqsyabandiyah Di Indonesia. Penerbit Mizan,


1992.

Fatah, Ahmad. “Tarekat.” Jurnal al-Ulum Vol. 11, no. NNo. 2 (Desember 2011).

Hadi, Abdul. “Peran Tokoh Tasawuf Dan Tarekat Nusantara Dalam Dakwah
Moderat.” Ad-Da’wah: Jurnal Dakwah dan Komunikasi 20, no. 1 (2023).

29
Kalâbâdzî, Abû Bakr Muhammad al-. Al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf.
Kairo: Maktabat al-Kulliyyât al-Azhariyyat, 1969.

Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.

Linton, Ralph. The Cultural Background of Personality. Century psychology


series. New York: D. Appleton-Century Co., 1945.

Mashar, Aly. Tasawuf: Sejarah, Madzhab, dan Inti Ajarannya. Al-A’raf: Jurnal
Pemikiran Islam dan Filsafat. Vol. XII. No. 1. Juni 2015.

Muhammad Ghallâb, al-Tashawwuf al-Muqâran (Kairo: Maktabat Nahdhat


Mishra wa Muthbi‘utihâ, t.t.), 27 dan Titus Burckhardt, An Introduction to
Sufi Doctrine (Kashmir-Lahore: SH. Muhammad Asyraf, 1973), 3.

Noer, Kautsar Azhari. Tasawuf Perenial Kearifan Kritis Kaum Sufi. Jakarta:
Serambi. 2002.

Qusyairî, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-. Risalah Qusyairiyah: Sumber
Kajian Ilmu Tasawuf. Jakarta: Pustaka Amani, 2002.

Sajari, D. (2015). Keotentikan Ajaran Tasawuf. Dialog, 38(2), 145-156.

Shihab, Alwi. Islam Sufistik. Bandung: Mizan Pustaka, 2001.

Shodiq, Ja’far. Pertemuan Tarekat dan NU. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.

Sholihin, M. Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Jakarta: Raja Grafindo


Persada. 2005.

Solihin, Muhammad, and Rosihan Anwar. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2008.

Spencer J. Trimingham. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University


Press. 1971.

Suseno, Franz. Etika Jawa, Sebuah Analis tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.
Jakarta: Gramedia Pustaka, 1991.

Syukur, M. Amin. Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial


Abad 21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.

30
Thûsî, Abû Nashr al-Sarrâj al-. Al-Luma‘, Pentahqiq dan Kata Pengantar: ‘Abd al-
Halîm Mahmûd dan Thâhâ ‘Abd al-Bâqî Surûr. Kairo: Maktabat al-
Tsaqâfat al- Dîniyyat, t.t.

Tylor, Edward B. Primitive Culture Vol.1, 1920. Accessed November 19, 2022.
http://archive.org/details/in.ernet.dli.2015.42334.

Watt, William. Islam. Translated by Imron Rosyidi. Yogyakarta: Penerbit Jendela,


2002.

31

Anda mungkin juga menyukai