Anda di halaman 1dari 22

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Sejarah Islam Asia Tenggara Prof., Dr., Hj., Helmiati, M. Ag


Bilhakki Putra, S.Pd.I,M

PERKEMBANGAN TASAWUF DAN TAREKAT DI NUSANTAR

Kelas 4B
Disusun Oleh: Kelompok 5

ENDANG FADILLAH (12210521113)


NUR ANITA (12210520245)
ZAHROTUL LATIFAH (12210520283)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2024M/1445H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. karena telah memberikan kesempatan


pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Perkembangan Tasawuf dan
Tarekat di Nusantara” ini tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Sejarah Islam
Asia Tenggara. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata
kuliah yaitu Ibu Prof., Dr., Hj., Helmiati, M. Ag dan Bapak Bilhakki Putra, M.
Pd. I yang telah memberikan dukungan dan kepercayaan yang begitu besar
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan, pemahaman, dan
menuntun para pembaca dan penulis pada pengetahuan yang lebih baik dan
mendalam. Selanjutnya, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
agar penulis dapat menyajikan makalah yang lebih baik lagi ke depannya.

Pekanbaru, 3 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... i


DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I: PENDAHULUAN......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ............................................................................... 1
BAB II: PEMBAHASAN.......................................................................... 2
A. Perkembangan Tasawuf di Nusantara ............................................. 2
B. Perkembangan Tarekat di Nusantara .............................................. 7
BAB III: PENUTUP.................................................................................. 18
A. Kesimpulan ..................................................................................... 18
B. Saran ................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ajaran Islam telah berkembang ke belahan dunia hingga sampai di


Nusantara, termasuk ajaran tasawuf. Proses tersebut terjadi dalam kurun
waktu yang panjang yaitu sejak awal Islam era Nabi Muhammad, sahabat,
tabi'in dan para generasi berikutnya hingga terjadinya interaksi kaum
muslim Timur Tengah dengan masyarakat Nusantara. Seiring
berkembangnya waktu, thariqah atau tarekat tasawuf berkembang semakin
pesat dan menyebar ke pelosok nusantara hingga saat ini. Perkembangan
tersebut tumbuh terutama di daerah pedesaan yang masih kental dengan
kultur dan adat istiadat maupun daerah perkotaan yang tertarik dengan
kehidupan spiritual. Tasawuf yang diajarkan melalui tarekat - tarekat ini
kemudian menjadi sebuah kebutuhan sebagai upaya mendekatkan diri
kepada Tuhan dan juga mencari ketenangan hidup. Oleh karena itu, ajaran-
ajaran para sufi tersebut menjadi semacam kultur dan warisan peninggalan
tokoh-tokoh pendahulu yang perlu dijaga dan terus ditradisikan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan tasawuf di Nusantara?
2. Bagaimana perkembangan tarekat di Nusantara?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui perkembangan tasawuf di Nusantara.
2. Untuk mengetahui perkembangan tarekat di Nusantara.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Tasawuf di Nusantara

1. Pengertian Tasawuf

Secara etimologi, tasawuf berasal dari bahasa Arab yaitu kata shuuf
yang berarti bulu. Pada waktu itu para ahli tasawuf memakai pakaian dari
bulu domba sebagai lambang merendahkan diri. Sedangkan secara
terminologi, para sufi dalam mendefinisikan tasawuf itu sendiri sesuai
dengan pengalaman batin yang telah mereka rasakan masing-masing. Dan
karena dominannya ungkapan batin ini, maka menjadi beragamnya definisi
yang ada. Sehingga sulit mengemukakan definisi yang menyeluruh. Dari
beberapa definisi para suti, Noer Iskandar mendefinisikan bahwa tasawuf
adalah kesadaran murni (fitrah) yang mengamhkan jiwa yang benar kepada
amal dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin.1

Dalam perkembangan berikutnya, kata tersebut mengandung makna


baru. Tasawuf sering dikaitkan dengan tiga pengertian sebagai berikut:

Pertama, tasawuf, sering dipahami sebagai akhlak atau adab yang harus
dijalankan manusia ketika mau mendekat kepada Allah. Ada yang lebih
tegas lagi mengatakan bahwa tasawuf adalah akhlak yang baik. Kalau
definisi ini disepakati, maka semua orang barangkali sepakat bahwa ajaran
Al- Qur‟an dan sunnah mengajarkan tasawuf. Artinya Nabi SAW dating
untuk mengajarkan tasawuf, dan mengajak kita semua untuk menjadi sufi.
Karena salah satu misi kerasulannya adalah untuk memperbaiki akhlak
masyarakat.

Kedua, tasawuf juga diartikan sebagai cara untuk mencapai ma‟rifat, untuk
mencapat pengetahuan. Pengetahuan bukan saja diperoleh melalui belajar

1
Noer Iskandar Al Barsany, Tasauf Tarekat dan Para Sufi, (Jakarta: Sri Gunting, 2001),
hlm. 2

2
3

atau lewat penalaran saja. Ada pengetahuan yang langsung diberikan oleh
Allah yang disebut ilmu laduni. Mungkin, asalnya diambil dari kalimat min
ladunka rahmah (rahmat dari sisimu). Jadi ada ilmu khusus yang tidak
diperoleh melalui pengamatan empiris, belajar atau penelitian, melainkan
diberikan langsung oleh Allah kepada orang yang dikehendaki. Allah
memiliki cara untuk mengajari kita tidak melalui makhluk-Nya. Tetapi ilmu
itu diberikan secara langsung dari Allah, yang sering disebut ilham atau
isyraq yang berarti iluminasi atau pencerahan.

Ketiga, tasawuf juga dianggap sebagai ilmu yang berkenaan dengan


pandangan tentang realitas. Para sufi berpendapat bahwa mereka sudah ada
pada keadaan ketika memandang realitas ini semuanya melebur, yang ada
hanya Allah, sementara selain Allah itu hilang. Artinya seorang sufi pada
suatu keadaan ketika ia meniadakan segala-galanya, sehingga yang ada
hanya Allah Swt.2

2. Pembagian Tasawuf

Secara aplikatif tasawuf terbagi kepada dua bagian yaitu tasawuf falsafi
dan tasawuf akhlaki.

Pertama; tasawuf falsafi adalah permasalahan tasawuf yang sangat rumit


dan ditekuni oleh orang-orang khawas saja. Dalam tasawuf falsafi
ditemukan berbagai istilah yang rumit seperti wihdatul wujud, hulul, ittihad,
fana, baqa, syathat, dan sebagainya. Tasawuf falsafi memasukkan ke dalam
ajaran- ajarannya unsur-unsur filosofis dari luar Islam dan mengungkapkan
ajaran-ajarannya dengan memakai istilah-istilah filosofis dan simbol- simbol
khusus yang sulit dipahami oleh orang banyak. Tasawuf tipe trakhir ini
disebut “Tasawuf filosofis” (al-tashawwuf al-falsafi) atau “tasawuf semi-
filosofis” (al-tashawuf syibh al-falsafi), dan kadang kala disebut “tasawuf
teosofis” (al-tashawwuf al-tiyushufi).

2
Suherman, Perkembangan Tsawuf dan Kontribusinya di Indonesia, Jurnal Ilmiah
Research Sains, Vol. 5, No. 1, 2019, hlm. 3.
4

Kedua; tasawuf akhlaki adalah aplikasi tasawuf dalam akhlak mukmin yang
terpancar dari bathinnya sehingga berpengaruh kepada seluruh tingkah
lakunya. Tasawuf akhlaki menuntut keikhlasan yang murni semata-mata
karena Allah. Sikap jiwa dididik agar memandang segala sesuatunya karena
Allah dan akan kembali kepada Allah. Memandang sesuatu karena Allah
akan timbul kecintaan yang mendalam kepada-Nya. Cinta kepada Ilahi yang
mendalam juga dimanifestasikan dalam cinta kepada makhluk-Nya, baik
kepada sesama manusia maupun alam semesta. Atas dasar cinta itulah
terjadi komunikasi yang harmonis antara Allah, manusia dan alam semesta.
Inilah kawasan tasawuf akhlaki dalam kehidupan Muslim. Tasawuf akhlaki
memagari dirinya dengan Al-Qur‟an dan sunah dan menjauhi
penyimpangan- penyimpangan yang menuju kepada kesesatan dan
kekafiran. Tasawuf tipe ini disebut “Tasawuf Suni” (al-tashawwuf al-
Sunni).3

3. Perkembangan Tasawuf di Nusantara

Wacana tasawuf khususnya tasawuf falsafi di Nusantara dimotori oleh


Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang
dari pulau Andalas (Sumatera) pada abad ke 17 M. Sekalipun pada abad ke
15 sebelumnya telah terjadi peristiwa tragis berupa eksekusi mati terhadap
Syekh Siti Jenar atas fatwa dari Wali Songo, karena ajarannya dipandang
menganut doktrin sufistik yang bersifat bid‟ah berupa pengakuan akan
kesatuan wujud manusia dengan wujud Tuhan, Zat Yang Maha Mutlak.
Namun sejauh ini penulis belum menemukan literatur yang menjelaskan
apakah paham yang dianut Syekh Siti Jenar adalah wahdatulwujud yang
berasal dari Ibnu Arabi lewat „jaringan ulama‟ sebagaimana dimaksud Azra
dalam bukunya tersebut. Terlebih lagi terlalu sedikit literatur yang
menjelaskan keberadaan sosok Syekh Siti Jenar dalam khazanah keislaman
di Nusantara. Paling tidak menurut Alwi Shihab, kehadiran Syekh Siti Jenar
dengan ajaran dan syahahatnya yang dipandang sesat, dapat dijadikan

3
Ibid., hlm. 4.
5

sebagai tahap pertama perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia. Alwi


menamakannya sebagai tahap perkenalan. Pembunuhan terhadap Syekh Siti
Jenar agaknya telah meredupkan cahaya perkembangan tasawuf falsafi di
Indonesia dalam waktu yang lama, sampai kemudian munculnya Hamzah
dan Syamsuddin di Sumatera.

Hamzah Fansuri adalah keturunan Melayu yang dilahirkan di Fansur


(nama lain dari Barus). Dia diperkirakan hidup pada akhir abad ke 16 dan
awal abad ke 17, yakni pada masa sebelum dan selama pemerintahan Sultan
„Ala al- Din Ri‟ayat Syah (berkuasa 977- 1011H/1589-1602M). Hamzah
diperkirakan meninggal sebelum tahun 1016H/1607M. Hamzah memulai
pendidikannya di Barus, kota kelahirannya yang pada waktu itu menjadi
pusat perdagangan, karena saat itu Aceh berada dalam kemajuan di bawah
pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Tsani. Kwalitas
pendidikan yang cukup baik di Aceh menjadikan Hamzah dapat
mempelajari ilmu-ilmu agama seperti; fiqh, tauhid, akhlak, tasawuf, dan
juga ilmu umum seperti; kesustraan, Sejarah dan logika. Selesai mengikuti
pendidikan di tanah kelahirannya, Hamzah kemudian melanjutkan
pendidikan ke Timur Tengah, khususnya Persia dan Arab. Sehingga dia
dapat menguasai bahasa Arab dan Persia, mungkin juga bahasa Urdu.
Dalam hal tasawuf falsafi diperkirakan Hamzah mempelajari dari Iraqi,
murid Sadr al-Din al-Qunawi, murid kesayangan Ibnu Arabi.

Sekembalinya dari perantauan menuntut ilmu, Hamzah mengajarkan


agama di Aceh melalui lembaga pendidikan “Dayah” (pesantren) di Oboh
Simpang-Kanan, yang merupakan cabang dari Dayah Simpang-Kiri yang
diasuh oleh kakaknya Syekh Ali Fansuri, ayah dari Abdr Rauf al-Sinkli.
Hamzah ternyata tidak hanya beraktifitas sebagai guru, namun juga rajin
menulis. Tetapi sangat disayangkan karya-karya Hamzah tersebut tidak lagi
ditemukan karena telah dimusnahkan oleh „lawan-lawannya‟ yang
menentang paham wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah. Pemikiran
Hamzah tentang ajaran wujudiyah terdapat dalam karyanya Zinat al-
6

Wahidin, yang terdiri dari tujuh bab. Dalam karyanya tersebut Hamzah
menjelaskan bahwa penampakan Tuhan tidak terjadi begitu saja atau secara
langsung, tapi melalui tahap tertentu, sehingga keesaan dan kemurnian
Tuhan tidak tercampuri dengan makhluk. Ajaran wujudiyah Hamzah ini
kemudian dikembangkan oleh muridnya Syamsuddin Sumatrani.

Pengajaran Syamsuddin tentang Tuhan dengan corak paham


wujudiyyah dikenal juga dengan pengajaran tentang “martabat tujuh”, yaitu
tentang satu wujud dengan tujuh martabatnya. Pengajarannya tentang ini
agaknya sama dengan yang diajarkan al-Burhanpuri, yang diduga kuat
sebagai orang pertama yang membagi martabat wujud itu kepada tujuh
kategori. Ketujuh martabat tersebut adalah: martabat ahadiyyah, martabat
wahdah, martabat wahidiyyah, martabat alam arwah, martabat alam mitsal,
martabat alam ajsam dan martabat alam insan. Paham martabat tujuh inilah
yang membedakan antara Syamsuddin Sumatrani dengan gurunya Hamzah
Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidak ditemukan pengajaran ini.
Tetapi keduanya sangat menekankan pemahaman tauhid yang murni, bahwa
Tuhan tidak boleh disamakan atau dicampurkan dengan unsur alam, dikenal
dalam pengajaran Hamzah Fansuri la ta‟ayyun. Sedangkan dalam
pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Allah, yang merupakan
kejelasan dari ajaran al-Burhanpuri untuk tidak mencampur-adukkan
martabat ketuhanan dengan martabat kemakhlukan. Kedua tokoh dengan
ajaran yang saling melengkapi ini bagaimanapun juga telah mengajarkan
dan secara sempurna tentang tasawuf falsafi yang kemudian diikuti oleh
banyak pengikutnya di Nusantara dan Indonesia.4

4. Perkembangan Tasawuf dalam Kehidupan Masa Kini

Dalam kehidupan modern yang serba sibuk mencari materi, tasawuf


juga bisa dikembangkan ke arah yang konstruktif, baik yang menyangkut
kehidupan peribadi maupun sosial. Sebab, cepat atau lambat manusia akan

4
Ibid., hlm. 5-7
7

terkena penyakit alienasi (keterasingan) karena proses globalisasi dan


modernisasi yang begitu cepat. Orang butuh pedoman hidup yang bersifat
spiritual dan mendalam untuk menjaga integritas keperibadiannya. Pedoman
tersebut terdapat dalam ilmu tasawuf dan diamalkan dalam bertarekat yang
memberikan pemahaman mendalam tentang seluruh ibadah yang dilakukan.
Pemahaman yang baik tentang semua ibadah yang diamalkan akan
mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Dengan demikian ibadah yang dilakukan dalam bertasawuf ternyata erat


hubungannya dengan akhlak. Artinya bahwa ibadah-ibadah yang dibiasakan
dalam tasawuf erat hubungannya dengan pendidikan akhlak. Maka dapat
dikatakan seseorang yang memahami tasawuf, mengamalkannya dan
menempuhna dalam bertarekat dan suluk tentulah akan terbentuk akhlaknya
yang lebih baik. Bukti perubahan ini terlihat pada lapisan masyarakat yang
menjadi pengikut tarekat dan mengikuti suluk mengalami peningkatan
akhlaknya seperti zuhud, sabar, ikhlas dan optimis dalam kehidupan sehari-
hari.5

B. Perkembangan Tarekat di Nusantara

1. Pengertian Tarekat

Secara etimologi, tarekat berasal dari kata "Thoriqoh" yang berarti


jalan. Dalam artian jalan yang mengacu kepada suatu system latihan
meditasi maupun amalan- amalan yang dihubungkan dengan guru sufi.
Istilah ini kemudian berkembang menjadi organisasi yang tumbuh seputar
metode sufi yang khas, atau institusi yang menaungi paham tasawwuf.6

Penggalan kata tarekat telah baku dalam penggunaan Bahasa Indonesia.


Hal ini terlihat ketika kata tarekat bermakna “jalan”, jalan menuju

5
Ibid., hlm. 12.
6
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat - tarekat Muktabarah di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 8.
8

kebenaran (dalam Tasawuf); cara atau aturan hidup (dalam keagamaan atau
ilmu kebatinan); persekutuan para penuntut ilmu tasawuf. Makna-makna
yang ditunjukkan oleh para ahli kajian Bahasa Indonesia menampakkan
bahwa kata tersebut merujuk pada kajian ilmu tertentu dalam dunia
keilmuan Islam. Namun penggunaan kata tarekat sendiri dalam dunia
keilmuan Islam berawal pada abad pertama hijriyah ketika seorang ulama
terkemuka memusatkan perhatian pada persoalan jiwa yang merupakan inti
pembentukan akhlak.7

2. Macam - macam Tarekat di Nusantara

a. Tarekat Qodiriyah
Qadiriiyah adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya
yaitu Abdul al-Qadir Jailani yang terkenal dengan sebutan Syeikh Abd
al-Qadir Jailani al-Gawast al-Auliya. Tarekat ini menempati posisi yang
amat penting dalam sejarah spritualitas Islam, karena tidak saja sebagai
pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya
berbagai cabang tarekat di dunia. Kedati struktur organisasinya baru
muncul beberapa dekade setelah meninggalnya sang pendiri tarekat.

b. Tarekat Syaziliyah
Pendirinya yaitu Abu al-Hasan al-Syadzili. Nama lengkapnya
adalah Ali ibn Abdullah bin Abd Jabbar Abu al Hasan al-syadziili.
Adapun pemikiran pemikiran terkat al-Syaziliyah antara lain:
1. Tidak menganjurkan kepada muridnya untuk meninggalkan
profesi dunia
2. Tidak mengabaikan dalam menjalankan syariat Islam.
3. Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya
zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan.

7
Mubarak dan Mutawakkil, Tarekat dalam Al – Qur‟an, Tafsere Journal, Vol. 7, No. 1,
2019, hlm. 59-60.
9

4. Seorang boleh saja mencari harta, namun jangan menjadi hamba


dunia.
5. Berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan
umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang
dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan
duniawi.

c. Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri tarekat ini adalah Muhammad bin Muhammad Baha al-Din
al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi. Lahir di Qashrul Arifah.18 Ia
mendapat gelar Syekh yang menunjukkan posisinya yang penting
sebagai pemimpin spiritual. Ia belajar Ilmu Tarekat pada Amir Sayyid
Kulal al-Bukhari. Dari sinilah ia pertama belajar tarekat. Pada dasarnya
tarekat ini bersumber dari Abu Ya‟qub Yusuf al-Hamdani, seorang sufi
yang hidup sezaman dengan Abdul Qadir Jailani.
Tarekat Naqsabandiyah mempunyai beberapa tata cara peribadatan,
teknik spiritual dan ritual tersendiri, antara lain adalah:
1. Konsentrasi di mana seorang harus menjaga diri dari
kehkilafan dan kealpaan ketika keluar masuk nafas, supaya
hati selalu merasakan kehadiran Allah SWT.
2. "Menjaga langkah". Seorang murid yang sedang menjalani
khalwat suluk, bila berjalan harus menundukkan kepala,
melihat kearah kaki dan apabila duduk, tidak memandang
ke kiri atau ke kanan.
3. Melakukan perjalan di tanah kelahirannya". Makna- nya
melakukan perjalanan bathin dengan meninggalkan segala
bentuk ketidak sempurnaannya sebagai manusia menuju
kesadaran akan hakikatnya sebagai mahluk yang mulia.
4. Khalwat "Sepi di tengah keramaian".
5. "Ingat atau menyebut". Berzikir terus menerus mengingat
Allah SWT, baik zikir Ism al-Dzat (menyebut nama Allah
10

SWT) maupun zikir nafi Isbat (Menyebut La Ilaha Illa


Allah)

d. Tarekat Khalwatiyah
Nama tersebut diambil dari nama seorang sufi pejuang Makassar
yaitu Muhammad Yusuf bin Abdullah Abu Mahasin al-Taj al-Khalwaty
al-Makassary. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tarekat ini
yang hadir bersama kita. Keduanya dikenal dengan nama Tarekat
Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman.
Adapun dasar ajaran Tarekat khalwatiyah adalah:
1. Yaqza, maksudnya kesadaran akan dirinya sebagai makhluk
yang hina di hadapan Allah SWT yang maha agung.
2. Taubah, memohon ampun atas segala dosa.
3. Muhasabah, menghitung-hitung atau introspeksi diri.
4. Inabah, berhasrat kembali kepada Allah SWT.
5. Tafakkur, merenung tentang kebesaran Allah SWT.
6. I'tisam, selalu bertindak sebagai Khalifah Allah SWT di
bumi.
7. Firar, lari dari kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak
berguna.
8. Riyadah, melatih diri dengan beramal sebanyak-
banyaknya.
9. Tasyakkur, selalu bersyukur kepada Allah SWT dengan
mengabdi dan memujinya.
10. Sima', mengkonsentrasikan seluruh anggota tubuh dan
mengikuti perintah-perintah Allah SWT terutama
pendengaran

e. Tarekat Syattariyah
Pendirinya tarekat Syaikh Abd Allah SWT al-Syathary. Jika
ditelusuri lebih awal lagi tarekat ini sesunggguhnya memiliki akar
11

keterkaitan dengan tradisi Transoxiana, karena silsilahnya


terhubungkan kepada Abu Yazid al-Isyqi, yang terhubungkan lagi
kepada Abu yazid al-Bustami dan Imam Ja‟far Shadiq.
Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir dalam ajarannya.
Para pengikut tarekat ini mencapai tujuan-tujuan mistik melalui
kehidupan asketisme atau zuhud. Untuk menjalaninya seseorang
terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar
(orang yang terpilih) dan Abrar (orang yang terbaik).

f. Tarekat Sammaniyah
Didirikan oleh Muhammad bin Abdul Karim al-Madani al-Syafi‟i
al samman, lahir di Madinah dari keluarga Quraisy. Di kalangan
muridnya ia lebih dikenal dengan nama al-Sammany atau Muhammad
Samman. Beliau banyak menghabiskan hidupnya di Madinah dan
tinggal di rumah bersejarah milik Abu Bakar As-Siddiq.
Adapun ajaran-ajaran pokok yang terdapat Tarekat ini adalah:
1. Tawassul, Memohon berkah kepada pihak-pihak tertentu
yang dijadikan wasilah (perantara) agar maksud bisa
tercapai. Obyek tawasul tarekat ini adalah Nabi Muhammad
SAW, keluarganya, para sahabatnya, asma-asma Allah
SWT, para Auliya, para ulama Fiqih, para ahli Tarekat,
para ahli Makrifat, kedua orang tua.
2. Wahdat al-Wujud, merupakan tujuan akhir yang mau
dicapai oleh para sufi dalam mujahadahnya. Wahdatul
wujud merupakan tahapan di mana ia menyatu dengan
hakikat alam yaitu Hakikat Muhammad atau nur
Muhammad.
3. Nur Muhammad, merupakan salah satu rahasia Allah SWT
yang kemudian diberinya maqam. Nur Muhammad adalah
pangkal terbentuknya alam semesta dan dari wujudnya
terbentuk segala makhluk.
12

4. Insan Kamil, dari segi syariat Wujud Insan kamil adalah


Muhammad dan dari segi hakekat adalah Nur Muhammad
atau hakekat Muhammad, Orang Islam yang berminat
menuju Tuhan sampai bertemu sam- pai bertemu denganya
harus melewati koridor ini yaitu mengikuti jejak langkah
Muhammad.

g. Tarekat Tijaniyah
Didirkan oleh syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani, lahir di
'Ain Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko. Syaikh
Ahmad Tijani diyakini sebagai wali agung yang memiliki derajat
tertinggi, dan memiliki banyak keramat. Menurut pengakuannya,
Ahmad Tijani memiliki Nasab sampai kepada Nabi Muhammad SAW,
silsilah dan garis nasabnya adalah Sayyid Ahmad bin Muhammad bin
Salim bin al-Idl bin salim bin Ahmad bin Ishaq bin Zain al Abidin bin
Ahmad bin Abi Thalib, dari garis sitti Fatimah al-Zahra binti
Muhammad Rasulullah Saw.
Ajaran Tarekat ini cukup sederhana, yaitu:
1. Perlu adanya perantara (wasilah) antar manusia dan Tuhan.
Perantara itu adalah dirinya sendiri dan para
pengganti/wakil/naibnya.
2. Pengikut-pengikutnya dilarang keras mengikuti guru-guru lain
yang manapun, bahkan ia dilarang pula untuk memohon
kepada wali di manap diriya.

h. Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah


Tarekat ini adalah merupakan tarekat gabungan dari tarekat
Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah (TQN). Tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah yang terdapat di Indonesia bukanlah hanya merupakan
suatu penggabungan dari dua tarekat yang berbeda yang diamalkan
bersama-sama. Tarekat ini lebih merupakan sebuah tarekat yang baru
13

dan berdiri yang di dalamnya unsur- unsur pilihan dari Qadiriyah dan
juga Naqsyabandiyah, telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru.
Tarekat ini didirikan oleh Orang Indonesia Asli yaitu Ahmad Khatib
Ibn al-Ghaffar Sambas, yang bermukim dan mengajar di Makkah pada
pertengahan abad kesembilan belas.
Tarekat ini mengajarkan tiga syarat yang harus dipenuhi orang
yang sedang berjalan menuju Allah SWT, yaitu:
1. Zikir diam dalam mengingat
2. Merasa selalu diawasi oleh Allah SWT di dalam hatinya
3. Pengabdian kepada Syaikh8

3. Perkembangan Tarekat di Nusantara

Perkembangan Tarekat tersebut dapat dibagi ke dalam empat periode.


Yaitu periode pertama, abad ke-1 dan ke-2 H. periode kedua, abad ke-3 dan
ke-4 H. periode ketiga, abad ke-5 H. dan periode keempat, abad ke6 H dan
seterusnya (Asmaran As, 1994: 249). Pembagian periode ini dilihat
berdasarkan proses perubahan masyarakat Islam dari generasi kegenerasi
yang dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dan fenomena keberagamaan
masyarakat Islam yang dari generasi ke generasi.

a. Periode Pertama (abad ke-1 dan ke-2 H)

Gerakan tasawuf pada masa ini timbul sebagai bentuk


kekahawatiran terhadap perubahan mental masyarakat di masa itu.
Kondisi masyarakat pada masa abad pertama Hijriyah pasca nabi SAW
dan para sahabat mengalami perubahan besar dari aspek sosial dan
ekonomi, Dalam hal spiritual, masyarakat lebih banyak berbicara
tentang teologi dan. formulasi syariat, sehingga mulai melupakan
persoalan-persoalan kerohanian. Kondisi ini ditandai dengan

8
Zulkifli dan Jamluddin, Akhlak Tasawwuf, (Yogyakarta: KALIMEDIA, 2018), hlm.
129-146.
14

berkembangnya budaya hedonism. di tengah-tengah masyarakat. Para


tokoh sufi melihat kehidupan masayarakat saat itu mulai cenderung
hidup bermewah-mewahan. Gerakan tasawuf yang dimotori oleh para
sahabat. tabi'in serta tabi tabi'in senantiasa mengingatkan tentang
hakikat hidup ini, dan berupaya menanamkan semangat beribadah, dan
melakukan pola hidup sederhana atau zuhud. Termasuk dalam periode
ini adalah Hasan al Bashri (110 H) dengan konsep khauf, dan Rabi'ah al
'Adawiyah (185 H) dengan konsep cintanya.

b. Periode Kedua (abad ke-3 dan ke-4 H)

Pada periode ini ajaran tasauf memasuki babak baru. Ajaran.


tasawur pada periode ini tidak hanya terbatas pada pembinaan moral,
sebagaimana yang diajarkan para Zahid di masa periode pertama.
Dalam pandangan Hamka, pada masa abad ke 3 dan ke-4, ilmu tasawuf
telah berkembang dan telah memperlihatkan isinya yang dapat
dibagikan kepada tiga bagian, yaitu ilmu jiwa, ilmu akhlak dan ilmu
ghaib (metafisika). Menurut Abubakar Atjeh, jika pada abad ke-2 ajaran
tasawuf menekankan pada kezuhudan (asceticism), maka pada abad ke-
3 orang-orang sudah masuk pada pembicaraan tentang wusul dan ittihad
dengan Tuhan (mistikisme).

c. Periode ketiga (abad ke-5 H)

Memasuki abad ke 5, kedua bentuk ajaran tasawuf yakni tasawuf


sunni dan tasawuf falsafi yang berkembang pada periode kedua, maka
pada periode ketiga ini terjadi pembaharuan di dalamnya. Karena
ternyata tasawuf sunni makin berkembang, sementara tasawuf falsafi
mulai tenggelam dan baru muncul kembali di saat lahirnya para sufi
yang sekaligus seorang filosof. Tarekat seperti ini mulai bermunculan
disebabkan oleh karena pada periode tersebut telah terjadi kehampaan
spiritual sehingga untuk mengembalikan semangat spiritual itu maka
dilakukan upaya pendekatan diri kepada Allah dalam bentuk tarekat,
15

sekalipun pada periode ini kuantitas pengamalan tarekat masih cukup


terbatas.

d. Periode keempat (abad ke-6 H. dan seterusnya)

Pada periode ini adalah munculnya kembali ajaran tasauf falsafi


secara sempurna, dimana pada periode sebelumnya (abad ke V) ajaran
ini tenggelam. Ajaran tasawuf falsafi pada periode abad ke VI
mengalami perkembangan yang sempurna dimana ajaran tqasauwuf ini
sudah cukup detail dan mendalam dalam segi praktek, pengajaran dan
ide. Hal tersebut dapat terilhat dari tulisan Ibnu Arabi dalam bukunya al
Futuhat al Makkiyah dan Fusus al Hikam. Perkembangan tasawuf pada
periode ini secara signifikan turut berpengaruh pada perkembangan
tarekat itu sendiri. Dari hasil kajian oleh sebagian penulis bahwa
lahirnya gerakan tarekat sebenarnya diawali pada abad keenam Hijriah

Berdasarkan penejelasan perkembangan tasawuf di atas, maka


dapat disimpulkan bahwa di awal perkembangannya, utamanya pada
abad kel dan ke-2 Hijriah tarekat masih merupakan jalan spiritual yang
dilalui oleh seorang salik menuju hakikat, dengan kata lain tarekat
dalam pengertian yang pertama. Nanti pada abad selanjutnya, abad
ketiga dan keempat Hijriah, merupakan cikal bakal munculnya tarekat-
tarekat. Dan selanjutnya pada abad keenam Hijriah terjadi perubahan
arah dalam perkembangan tarekat dengan munculnya beberapa
kelompokkelompok tarekat yang diawali dengan datangnya Syaikh
Abdul Qadir al Jailani (w. 561 H/1166 M) dengan sistem tarekat
Qadiriahnya (sekaligus menjadi tarekat pertama).9

4. Tujuan dan Amalan – amalan dalam Tarekat

Tarekat sebagai organisasi para salik dan sufi, pada dasarnya memiliki
tujuan yang satu, yaitu taqarrub pada Allah. Akan tetapi sebagai organisasi

9
Rahmawati, Tarekat dan Perkembangannya, Jurnal IAIN Kendari, Vol. 7, No. 1, 2014,
hlm. 89-95.
16

para salik yang kebanyakan diikuti masyarakat awam, dan para talib al-
mubtadin, maka akhirnya dalam tarekat terdapat tujuan- tujuan antara dan
tujuan-tujuan lain yang diharapkan akan dapat mendukung tercapainya
tujuan pertama dan utama tersebut. Sehingga secara garis besar dalam
tarekat terdapat tiga tujuan yang masing-masing melahirkan tata- cara dan
jenis-jenis amaliah kesufian. Ketiga tujuan pokok tersebut adalah:

a. Tazkiyat al – Nafs

Tazkiyat al-Nafs atau penyucian jiwa adalah suatu upaya


pengkondisian jiwa agar merasa tenang, tentram dan senang berdekatan
dengan Allah (ibadah), dengan penyucian jiwa dari semua kotoran dan
penyakit hati atau penyakit jiwa. Tujuan ini merupakan persyaratan yang
harus dipenuhi oleh seorang salik atau ahli tarekat.

Tazkiyat al-Nafs ini pada tataran prakteknya, kemudian melahirkan


beberapa metode yang merupakan amalan-amalan kesufian, seperti dzikr,
atagah, menetapi syari'at, dan mewiridkan amalan-amalan sunnah
tertentu serta berprilaku zuhud dan wara'.

b. Taqarrub Ila Allah

Mendekatkan diri kepada Allah sebagai tujuan utama para sufi dan
ahli tarekat. Cara-cara tersebut dilaksanakan disamping pelaksanaan dan
upaya mengingat Allah (zikir) secara terus menerus, sehingga sampai tak
sedetik pun lupa kepada Allah. Di antara cara yang biasanya dilakukan
oleh para pengikut tarekat, untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah
dengan lebih efektif dan efisien. Seperti tawassul, muraqabah, dan
khalwat.

c. Tujuan – tujuan Lain

Sebagai jam'iyah yang menghimpun para calon sufi (salik), yang


kebanyakan terdiri dari masyarakat awam, dan tidak sedikit yang
berpredikat mubtadii'n. Maka dalam tarekat terdapat amalan-amalan yang
17

merupakan konsumsi masyarakat awam. Amalan-amalan tersebut


kebanyakan bertujuan duniawi, tetapi justru amalan - amalan inilah yang
biasanya mendominasi aktifitas para salik, sehingga tidak banyak ahli
tarekat yang dapat meningkat maqamnya sampai tataran sufi besar atau
mencapai magam al-ma'rifat. Di antara amalan-amalan tersebut adalah:
wirid, manaqib, ratib, dan hizib.10

10
Kharisudin Aqib, Al – Hikmah, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), hlm. 35-42.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Berasal


dari gerakan zuhud yang personal, selanjutnya berkembang menjadi gerakan
tasawuf massif yang melahirkan kelompok dan ordo-ordo tertentu. Berawal
abad kedua hijriyah sikap asketism yang tumbuh adalah apresiasi terhadap
perilaku kehidupan Nabi Muhammad yang penuh sahaja. Beliau sebagai model
'abid sejati menginspirasi para sahabat yang hidup pada masanya untuk
melakukan praktik-praktik ibadah sebagai proses pendakian jiwa menuju
Allah.

Dalam proses sejarah masuknya tarekat-tarekat yang berasal dari luar itu
ke Indonesia, banyak ulama dari kalangan bangsa Indonesia sendiri sebagai
pelaku utamanya dengan melalui jalur Arab Saudi atau jalur Mekah dan
Madinah. Perkembangan tarekat di Indonesia adalah berawal sejak abad ke-16
Masehi, tapi dalam lintasan sejarah perkembangannya itu telah mengalami
kondisi yang pasang surut, sebagai akibat dari adanya faktor-faktor tertentu
yang mempengaruhinya. Tarekat dalam lintasan sejarah Islam di Indonesia,
selain pengaruhnya ada yang bersifat positif, terdapat pula hal-hal yang kurang
menguntungkan bagi Islam dan umatnya sebagai pengaruh negatif yang
ditimbulkannya.

B. Saran

Demi kesempurnaan makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran


yang membangun dari para pembaca sebagai bahan evaluasi untuk ke
depannya. Sehingga bisa bermanfaat bagi banyak orang.

18
DAFTAR PUSTAKA

Al Barsany, Noer Iskandar. (2001). Tasauf Tarekat dan Para Suf. Jakarta: Sri
Gunting.

Aqib, Kharisudin. (1997). Al – Hikmah. Surabaya: Dunia Ilmu.

Mubarak dan Mutawakkil. (2019). Tarekat dalam Al – Qur‟an. Tafsere Journal.


Vol. 7. No. 1.

Mulyati, Sri. (2006). Mengenal dan Memahami Tarekat - tarekat Muktabarah di


Indonesia. Jakarta: Kencana.

Rahmawati. (2014). Tarekat dan Perkembangannya. Jurnal IAIN Kendari. Vol. 7.


No. 1.

Suherman. (2019). Perkembangan Tsawuf dan Kontribusinya di Indonesia. Jurnal


Ilmiah Research Sains. Vol. 5. No. 1.

Zulkifli dan Jamluddin. (2018). Akhlak Tasawwuf. Yogyakarta: KALIMEDIA.

19

Anda mungkin juga menyukai