Anda di halaman 1dari 17

MAKRIFAT

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Imam Fuadi, M.Ag

Oleh :
Eka Yuliana Nurohmah (1880506230027)

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
OKTOBER 2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
Hidayah-Nya. Tidak lupa shalawat serta salam tetap terlimpahkan kepada
baginda Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa‟atnya di akhirat
nanti. Dalam penyusunan Makalah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
dengan judul “Makrifat” ini, penyusun sedikit mengalami hambatan namun
penyusun menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan dalam materi ini tidak
lain dari bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak, Sehubungan
dengan penyusunan makalah ini maka penyusun mengucapkan terimakasih
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, yang telah memberikan sarana
prasarana untuk penulis menyelesaikian tugas penyusunan makalah ini.
2. Bapak Prof. Dr. H. Akhyak, M.Ag, selaku Direktur Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung yang telah memberikan
pelayanan akademik kepada seluruh mahasiswa.
3. Bapak Prof. Dr. H. Imam Fuadi, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam.
4. Civitas Akademika Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung.
5. Teman-teman mahasiswa pascasarjana khususnya kelas PAI A
Selanjutnya demi kesempurnaan penyusunan dalam menyelesaikan
Makalah berikutnya, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak sehingga dapat menyelesaikan dengan baik dan sempurna. Mudah-mudahan
dengan adanya Makalah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam yang berjudul
“Makrifat” ini dapat menambah wawasan bagi semua pihak sehingga dapat
memetik isi yang terkandung didalamnya.
Tulungagung, 9 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ..................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii

BAB I : PENDAHULUAN.............................................................................................. 1

A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 2
C. Tujuan ...................................................................................................................... 2

BAB II : PEMBAHASAN .............................................................................................. 3

A. Pengertian Makrifat ................................................................................................. 3


B. Tokoh-Tokoh yang Mengembangkan Makrifat.................................................... ..4
C. Cara Memperoleh Makrifatullah ............................................................................. 8
D. Hubungan Ilmu dan Tahap-Tahapannya dalam Marifatullah ............................... 10

BAB III : PENUTUP..................................................................................................... 13

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 13
B. Saran ..................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang komprehensif dan universal. Islam sebagai
agama yang komprehensif, artinya tidak hanya membahas perihal ibadah saja,
melainkan juga menjelaskan bagaimana seharusnya manusia berlaku dan
berperilaku yang disebut akhlak ini memiliki cakupan akhlak terhadap Allah,
makhluk dan alam. Dalam hal hubungan antara Tuhan dan manusia yang
diatur dengan ilmu akhlak ini, terdapat salah satu pembahasan yang cukup
mernarik yaitu kajian tentang al-ma‟rifah atau makrifat yang berarti
mengetahui atau mengenal sesuatu.1
Kajian tentang makrifat yang merupakan bagian dari kajian akhlak
tasawuf ini sudah seyogyanya dipelajari dan dikaji lebih dalam, mengingat
pentingnya sebagai manusia untuk mengenal Sang Pencipta, yang bermuara
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tentu, sebagai manusia yang ber-tittle
sebagai Abdullah dan Khafilatullah dimuka bumi harus memiliki arah dan
tujuan yang jelas dalam hidupnya, supaya kehidupan yang hanya sebatas
mampir minum saja, melainkan lebih daripada itu. Kehidupan dunia
hendaknya dimanfaatkan sebagaimana mestinya untuk mencari bekal
kehidupan selanjutnya.
Jalan bertasawuf inilah, yang nantinya akan menjadi salah satu pintu
yang membawa manusia mencapai derajat insan kamil atau manusia paripurna
dengan jalan mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Sang Pencipta, untuk
mencapai hierarki tertinggi kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya yang
disebut dengan makrifat. Maka dari itu, penulis merasa perlu untuk mengkaji,
menganalisis, dan memaparkan lebih dalam kajian mengenai makrifat yang
dalam persepektif tasawuf.

1
Nasrul HS, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), Cet. I, Hlm. 192

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian pengertian makrifat?
2. Siapa saja tokoh-tokoh yang mengembangkan makrifat?
3. Bagaimana cara memperoleh makrifatullah ?
4. Bagaimana hubungan ilmu dan tahap-tahapannya dalam makrifatullah?

C. Tujuan
1. Memaparkan pengertian pengertian makrifat.
2. Memaparkan tokoh-tokoh yang mengembangkan makrifat.
3. Memaparkan cara memperoleh makrifatullah.
4. Memaparkan hubungan ilmu dan tahap-tahapannya dalam makrifatullah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Makrifat
Istilah makrifat berasal dari kata al-ma‟rifatyang berarti mengetahui
atau mengenal sesuatu. Dari segi bahasa ma'rifah berasal dari kata arafa,
ya'rifu, irfan, ma'rifah yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Dan dapat
pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih
tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya.2
Ma'rifah adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang
bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui
rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup
mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud
berasal dari yang satu. Adapun makrifat dalam istilah tasawuf berarti
pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang tuhan yang diperoleh melalui
sanubari.3
Makrifat juga diartikan sebagai pengetahuan atau pengalaman secara
langsung atas Realitas Mutlak Tuhan. Dimana sering digunakan untuk
menunjukan salah satu maqam (tingkatan) atau hal (kondisi psikologis) dalam
tasawuf. Oleh karena itu, dalam wacana sufistik, ma‟rifat diartikan sebagai
pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Dalam tasawuf, upaya
penghayatan ma‟rifat kepada Allah SWT (ma‟rifatullah) menjadi tujuan utama
dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf.4 Makrifah adalah pengetahuan
tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui
pancaran-pancaran vahaya-Nya yang dimasukan Tuhan ke dalam hati seorang
sufi. Dengan demikian ma‟rifah berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan).5
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa makrifat
merupakan pengetahuan atau pengalaman untuk mengenal sesuatu yang dalam

2
A.R Idham Kholid, “Firasat, Makrifat Dan Mukasyafat Dalam Perspektif Tasawuf”,
Jurnal YAQZHAN, Vol. 4. No. 2, Desember 2018, Hlm. 269
3
Ibid., hlm. 269
4
Siti Rohmah, Akhlak Tasawuf, (Jawa Tengah: Penerbit NEM, 2021), hlm. 151
5
Ibid., Hlm. 169

3
hal ini objeknya bukan hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih kepada batin
yang diperoleh melalui sanubari.
B. Tokoh-Tokoh yang Mengembangkan Makrifat
Adapun tokoh-tokoh yang mengmabngkan makrifat diantaranya sebagai
berikut.
1. Al-Ghazali
Imam al-Ghazali terkenal seorang pemikir besar, seorang pengikut
mazhab fiqh Syafi'i dan teologi Asy‟ariyah.6 Dia adalah ilmuwan
berwawasan luas dan seorang peneliti yang penuh semangat.
Kehidupannya adalah sebuah kisah perjuangan mencari kebenaran. Apa
yang menarik perhatian dalam sejarah hidup Imam al-Ghazali adalah
kehausannya terhadap segala pengetahuan serta keinginannya untuk
mencapai keyakinan dan mencari hakikat kebenaran segala sesuatu.
Pengalaman intelektual dan spiritualnya berpindah-pindah dari ilmu kalam
ke falsafah, kemudian ke Ta'limiah Batiniyah dan akhirnya mendorong ke
tasawuf.7
Imam al-Ghazali dalam mencari makrifat, selalu menyelaraskan
akal dengan naqli. Ia berpendapat bahwa akal manusia tidak mungkin
menemukan hakikat keimanan hanya melalui ilmu yang dimilikinya. Oleh
sebab itu untuk mengetahui hakikat keimanan, akal tidak dapat berdiri
sendiri, melainkan harus dibantu oleh ilmu syari‟at yang bersumber dari
al-Qur‟an. Kedudukan al-Qur‟an bagi akal seperti halnya hubungan erat
antara cahaya dan mata. Tanpa cahaya mata tidak mungkin melihat
sesuatu. Demikian juga akal tidak mungkin mengetahui hakikat keimanan
tanpa al-Qur‟an. Imam al-Ghazali menghentikan akal pada batas-batas
tertentu, dan kemudian di luar batas akal menyerahkan sepenuhnya pada
hukum al-Qur‟an.8
Menurut Al-Ghazali, pencapaian kebenaran itu mutlak harius
melalui ma‟unah (bantuan) Allah berupa hidayah. Inilah pandangan
sufistik Al-Ghazali yang cenderung menafikkan kebenaran selain

6
Victor Said Basil, Al-Ghazali Mencari Ma‟rifah, hlm. 15
7
Amin Syukur Dan Masharuddin, Intelektualisme Tasawuf, (Tt), hlm. 138
8
Victor Said Basil, Al-Ghazali Mencari Ma‟rifah, hlm. 15

4
kebenaran Tuhan. Oleh karena itu, pencapaian kebenaran yang absolut
dapat dapat dicapai dengan melalui pendekatan diri kepada Allah, melalui
kasyf. Dari pandangan ini, Al-Ghazali menegaskan bahwa sumber utama
ilmu adalah Allah, dan tidak ada kebenaran lain di dunia ini yang hakiki
kecuali kebenaran yang bersumber dari Allah, baik tertulis melalui suci
kitab sebagaimana telah dijelaskan, maupun tidak tertulis melalui alam dan
sekitarnya.9
Berdasarkan pemaparan tessebut dapat dipahami menurut Al-
Ghazali bahwa makrifat tidak mungkin diperoleh hanya dengan akal
manusia saja, tanpa sebuah ilmu syariat yang bersumber dari al-Qur‟an.
Akal tidak mungkin mengetahui hakikat keimanan tanpa al-Qur‟an. Imam
Al-Ghazali menghentinkan akal dengan batas tertentu, dan menyerahkan
semua yang di luar akal kepada hukum Al-Quran. Penulis memaknai
bahwa makrifat ini dapat dicapai dengan ilmu dan akal, namun kembali
lagi kepada hak preogratif Tuhan dimana Dia menurunkan dan
mengingkan seseorang untuk mendapat cahaya-Nya dengan ilmu Tuhan
yang diluar nalar manusia.
2. Zu al-Nun al-Misri
Dalam tasawuf Zu al-Nun al-Misri dipandang sebagai bapak
paham ma‟rifat, karena ia adalah pelopor paham ma‟rifat dan orang yang
pertama kali menganalisis ma‟rifat secara konseptual.
Zu al-Nun al-Misri berhasil memperkenalkan corak baru tentang
ma‟rifat dalam bidang sufisme Islam. Ia membedakan antara ma‟rifat
sufiyah dengan ma‟rifat aqliyah. Ma‟rifat yang pertama menggunakan
pendekatan qalb yang biasanya digunakan para sufi, sedangkan ma‟rifat
yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para
teolog. Adapun beberapa pandangannya tentang hakikat makrifat yaitu
sebagai berikut.10

9
Nunu Burhanuddin, “Prinsip Epistemologi Makrifat dalamTasawuf Bagi Penguatan
Karakter”, Jurnal FUADUNA; Jurnal Kajian Keagamaan dan Kemasyarakatan, Vol. 4, No. 02
Juli-Desember tahun 2020
10
Siti Rohmah, Akhlak Tasawuf,.., hlm. 165

5
a. Sesungguhnya ma‟rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan
Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula
ilmu-ilmu burhan dan nazar milik para hakim, mutakalimin dan ahli
balaghah, tetapi ma‟rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki
para Waliyullah. Hal ini karena mereka adalah orang yang
menyaksikan Allah SWT dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya
apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
b. Ma‟rifat yang sebenarnya adalah ketika Allah SWT meyinari hatimu
dengan cahaya ma‟rifat yang murni seperti halnya matahari tidak dapat
dilihat kecuali dengan cahayanya. Salah seorang hamba mendekat
kepada Allah SWT sehingga ia merasa dirinya hilang, lebur dalam
kekuasaan- Nya, mereka merasa hamba, mereka bicara dengan ilmu
yang telah diletakan Allah SWT pada lidah mereka, mereka melihat
dengan penglihatan Allah SWT, den berbuat dengan perbuatan Allah
SWT.11
Pandangan Zu al-Nun di atas menjelaskan bahwa ma‟rifat kepada
Allah SWT tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian
pembuktian, tetapi dengan jalan ma‟rifat batin, yakni Allah SWT
menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan. Melalui
pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas
dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Allah
SWT, sampai akhirnya ia sepenuhnya hidup didalam-Nya dan lewat diri-
Nya.12
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa
menjelaskan bahwa ma‟rifat kepada Allah SWT tidak dapat ditempuh
melalui pendekatan akal dan pembuktian pembuktian, tetapi dengan jalan
ma‟rifat batin

11
Siti Rohmah, Akhlak Tasawuf,.., hlm. 165
12
Ahmad Bangun Nasution Dan Royani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf, Pengenalan,
Pemahaman, Dan Pengaplikasiannya, Disertai Biografi Dan Tokoh -Tokoh Tasawuf, hlm. 238-
239

6
3. Ibn Tamymiyyah
Dalam menjelaskan ma‟rifat Ibn Taymiyyah membaginya menjadi
tiga tingkatan, antara lain:
a. Tingkatan ilm al-yaqin yang diperoleh melalui berita atau penalaran
dan diumpamakan seperti orang yang mendengar tentang manisnya
madu berdasarkan informasi orang lain.
b. Tingkatan „ain al-yaqin yang diperoleh melalui penyaksian dan
diumpam akan seperti orang yang mengetahui manisnya madu
berdasarkan hasil dari penglihatan serta analisisnya.
c. Tingkatan haqq al-yaqin,yang diperoleh dengan mengambil pelajaran
langsung (al-i‟tibar) dan diumpamakan seperti orang yang mengetahui
manisnya madu secara langsung. Tingkatan terakhir merupakan yang
paling tinggi nilainya dan diperoleh ahl al-ma‟rifah yang ditengarai
sebagai perasaan cita rasa batin (az-zau/al-wujdan).13
Ma‟rifat dalam pandangan Ibn Taimiyyah harus diperoleh lewat
petunjuk wahyu dan upaya-upaya penyucian diri serta tenggelam dalam
dzikir, sehingga dalam kondisi tertentu hati dapat menerima ma‟rifat yang
bersifat ilhami. Dia selalu mengingatkan bahwa praktik-praktik ritual
tasawuf itu hanya dibenarkan manakala merupakan derivasi dan refleksi
dari ajaran yang ada dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah.14
Berdasarkan pemaparan tersebut, makrifat menurut Ibnu Taymiyyah
diperoleh melalui wahyu dan upaya-upaya penyucian diri melalui dzikir,
sehingga hati mendapat ma‟rifat yang bersifat ilhami atau langsung atas
pemberian Allah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa makrifat para sufi bukanlah hasil
penalaran spekulatif melainkan hasil dari penyaksian langsung terhadap Allah
SWT. Makrifat adalah menetapkan eksistensi Allah, transendensi kesucian,
sifat-sifat dengan sebenarnya, juga bentuk penyaksian batin dan keyakinan
sebagai buah dari ibadah. Inti makrifat adalah kelemahan untuk mencapai
makrifat hakiki, karena yang dapat mengenal Allah hanyalah Allah sendiri,

13
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyyah Atas Rancang Bangun
Tasawuf, (Surabaya, PT. Tamprina Media Grafika, 2007), hlm.155
14
Sitirohmah, Akhlak Tasawuf, …, hlm. 169

7
sedangkan makhluk hanya dapat mengenalnya sesuai kemampuan mereka,
maka kelemahan dalam bermakrifat adalah makrifat.15
C. Cara Memperoleh Makrifatullah
Ritual atau proses yang digunakan oleh kaum sufi untuk menempuh jalan
sedekat-dekatnya (makrifat) kepada Allah yaitu melalui beberapa cara melalui
dzikir dan suluk.16 Makrifatullah dipandang dari segi cara memperolehnya
terdiri dari dua jenis yaitu secara ilmu pengetahuan („ilm) dan secara perasaan
(hali, yang tentu saja tetap melibatkan secara penuh nalar-rasio dan
manajemen kalbu).17
Mengenal Allah secara ilmiah menjadi dasar dari semua berkah di dunia
dan akhirat, karena yang paling pokok dan pentig bagi manusia di setiap saat
dan segala keadaan adalah pengetahuan tentang Allah. Pencapaian makrifat
dengan cara ini bersesuaian dengan firman Allah dalam QS. Adz-Zariyat ayat
56 yang artinya “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaka mereka mengabdi kepada-Ku”. Atau dengan kata lain “agar mereka
bisa mengenal-Ku”. Sehingga dengan mengenal hal itulah akan muncul etos
peribadatan. Manusia yang sudah memasuki kesadaran ini melaksanakan efek
makrifat melalui ilmu pengetahuan ini, tergolong sebagai orang yang dipilih
Allah. Kalbu mereka telah dihidupkan oleh-Nya dengan Diri-Nya Sendiri
(Allah).
Sumber lain ajaran makrifat adalah dua buah hadits Qudsi dari Abi
Hurairah yang diriwayatkan al-Bukhari yang artinya: “….. dan hamba-Ku
senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan
sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku
menjadi (alat) pendengarannya yang ia mendengar, dengan alat itu menjadi
(alat) penglihatannya yang ia melihat dengan alat itu, menjadi tangannya
yang dengannya ia memukul, dan kakinya yang dengannya ia berjalan”dan
hadis lainnya yang artinya “dan sebuah hadis yang bermakna “Barangsiapa

15
Moh. Isom Mudin, Konsep Makrifat Ibnu Altaillah al-Askandari, Jurnal Kalimah : Studi
Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 14, No. 2, Septe,ber 2016, hlm. 169
16
Nurbaety Mustahele, Makrifat Dalam Al-Quran (Studi Atas Tafsir Al-Azhar), (Skripsi :
Tidak Diterbitkan, 2017), hlm. 89
17
Muhammad Sholikhin, Rahasia Hidup Makrifat, Selalu Bersama Allah, (Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo Kompas, 2013), hlm. 55

8
mendekati Ku satu meter maka Aku akan mendekatinya sehasta. Dan
barangsiapa mendekati-Ku sehasta maka Aku akan mendekatinya sedepa”
serta hadits lain yang artinya “Pada mulanya Aku merupakan misteri yang
tersimpan dan belum dikenal kemudian Aku rindu ingin dikenal lalu Aku
ciptakan makhluk dan Aku berkenalan dengan mereka, akhirnya merekapun
mengenalku.18
Makrifatullah merupakan kehidupan hatu melalui Tuhan dan berpalinnya
pikiran-pikiran manusia dari semua yang bukan Tuhan. Dari perspektif ini,
maka martabat dan nili kehidupan setiap orang bergantung pada makrifatnya.
Yang tidak makrifatullah, tidak memiliki nili sama sekali bagi proses
kehidupan secara keseluruan.
Para ahli teolog, fuqaha memberikan nama makrifat terhadap semua
“pengetahuan yang benar” (al-ilm) yang membawa kepada Tuhan. Sementara
para ulama suri menyebut perasaan yang benar (hal) terhadap Tuhan untuk
makrifatullah. Sehingga bagi para sufi, makrifatullah jauh lebih utama
daripada al-ilm, sedangkan perasaan yang benar (al-hal) merupakan hasil dari
pengetahuan yang benar. Dan konsekuensinya, pengetahuan yang benar tidak
sama dengan perasaan yang benar. Yakni orang yang tidak mempunyai
pengetahuan tentang Tuhan, bukanlah ahli makrifat (arif). Tetapi orang
mungkin saja mempunyai pengetahuan tentang Tuhan tanpa menjadi ahli
makrifat. 19
Maka, makrifatullah tidak begitu saja terjadi pada orang yang memiliki
ilmu pengetahuan tentang sufi atau ilmu tentang makrifat, Sufilog belum tentu
sufi. Sementara seorang sufi yang arif billah, belum tentu memiliki ke dalam
teoritis yang mempuni di bidang sufi. Di sini, seorang sufi, atau untuk
menjadikan seorang sufi yang menempuh perjalanan rohani kepada Allah,
tidak harus memiliki kedalaman ilmu sufisfme. Sebab waktunya akan habis
untuk memperlajari ilmu sufi dan makrifat. Namun, kebutaan akan ilmu

18
A. Zaini Dahlan, Siti Chamamah Soeratno dan Sangidu, dan Ahmad Musyidi, “Konsep
Makrifat menurut Al-Ghazali dan Ibnu Arabi: Antisipatif Radikalisme Keagamaan Bebasisi
Epistemologi”, Jurnal Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013, hlm. 72
19
Muhammad Sholikhin, Rahasia Hidup…, hlm.55

9
tentang makrifat, juga menyebabkan seseorang tidak akan mungkin menjadi
sufi.20
Sehingga untuk menjadi seorang sufi yang memiliki kesempuraan
makrifatullah, haruslah mendasarkan perjalanan rohani pada sistematika yang
telah tertata menurut teori ilmu sufi, namun boleh secara seperlunya saja.
Penerjunan diri dan tenggelam dalam perjalanan rohani, terlibat langsung
dalam pengalaman spiritual mengarungi samudra makrifatullah adalah suatu
kemestian yang harus ditempuh. Tentu akan menjadi lebih sempurna lagi, jika
bisa, mampu dan tidak berat sebelah; seseorang menjadi sufi, sekaligus
sufilog. Sehingga pengalaman spiritual yang diperolehnya bisa lebih objektif
secara akademis dan keilmuan. Sementara doktrin dan ajarannya adalah hasil
yang mengendap dari pengalaman perjalanan rohani yang sempurna, dan
pengetahuan yang mendalam tentang sufi dan makrifatullah.21
Berdasarkan pemaparan teserbut diatas dapat diketahui bahwa
makrifatullah tidak begitu saja terjadi pada seseorang, melainkan melalui
beberapa cara sebagaimana telah dijelaskan diatas melalui proses menggali
ilmu dan dibarengi dengan perjalanan rohani atau spiritual yakni dengan cara
mendekatkan diri kepada tuhan melalui dzikir dan suluk. Ilmu dalam
memahami makrifat sangat diperlukan, namun ketika hanya sebatas
mempelajari ilmu makrifat saja, belum tentu seseorang akan menemukan
kemakrifatan itu sendiri. Sehingga, penulis dapat katakan bahwa kita bisa
memperlajari, menyelami, dan mengamalkan ilmu tentang makrifat dan
melaksanakan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Tuhan, akan
tetapi perolehan atas kemakrifatan itu sendiri tidak bisa dipastikan oleh
seseorang manusia. Sebab makrifatullah diberikan kepada hamba-hamba yang
dihendaki Allah dan dengan cara yang dipilih Allah.
D. Hubungan Ilmu dan Tahap-Tahapannya dalam Makrifatullah
Mengenal Allah (makrifatullah) mempunyai berbagai tingkatan
diantaranya sebagai berikut.
1. Sebagai akibat yang diperolenya, ia mengetahuinya sebagai berasal dari
Pelaku Mutlak, yaitu Allah.
20
Muhammad Sholikhin, Rahasia Hidup…, hlm.55
21
Ibid., hlm. 56

10
2. Setiap akibat yang berasal dari Pelaku Mutlak, ia mengetahui dan
menyadarinya sebagai hasil dari sifat tertentu Allah (sisinilah pendalaman
tentang asma‟ dan sifat Allah yang berintikan 99 asmaul husna menjadi
sangan penting bagi yang ingin memasuki dunia makrifat)
3. Dalam keagungan setiap sifat-Nya, ia mengetahui maksud dan tujuan
Allah
4. Sifat ilmu Allah, ia ketahui dalam makrifatnya sendiri, sehingga ia tidak
terjebak dalam lingkangkaran ilmu („ilm), makrifat (ma‟rifah), dan
eksistensi.22
Sehingga sematin tinggi tingkat kedekatan seseorang dengan Allah, maka
makin tampak efek-efek keagungan-Nya. Umumnya ilmu diperoleh melalui
ketidaktahuan, dalam arti ilmubaru bisa diperoleh jika seseorang menyadari
ketidaktahuannya, Dalam kesadaran inilah, dalam proses perolehan makrifat,
seseorang hamba akan larut dalam kerohanian, yang menyatu dengan
ketakjuban dengan Allah.
Semua itulah yang dimasud debagai ilmu ihwal makrifat („ilm al-
ma‟rifah), dan bukan makrifat itu sendiri. Sebab makrifat adalah masalah
keterpesonaan dan keterpukauan yang penjelasan tentangnya pastu tidak
sempurna. Sehingga penjelasan kuta tentang makrifat hanyalah sebagai
pengantar untuk menuju pengalaman makrifatullah. Ini dikarenakan tanpa
ilmu, makrifat tentu mustahil terjadu, dan ilmu tanpa makrifat tentu saja tidak
mengantarkan seseorang pada Kesempurnaan.
Adapun hubungan antara ilmu (sufi) dengan makrifat, mempunyai
beberapa bentuk:
1. Ilmu tentang makrifat („ilm al-ma‟rifah);
2. Makrifat tentang ilmu (ma‟rifah al-„ilm);
3. Ilmu makrifat tentang makrifat („ilm makrifah al-ma‟rifah)
Dari ketiganya, yang paling sempurnya adalah yang ketiga. Karena
didalamnya terkandung secara sempurna tentang pengenalan atas diri dan
pengenalan atas Allah. Inilah kunci dari ungkapan “man „arafa nasfahu faqaf

22
Muhammad Sholikhin, Rahasia Hidup…, hlm.56

11
„arafa Rabbahu” yang artinya “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia
mengenal Tuhannya.”23
Berdasarkan pemaparan teserbut dapat disintesiskan makna bahwa dalam
menggapai makrifat seorang harus melalui upaya-upaya, dalam hal ini tentu
harus dibarengi dengan ilmu makrifat. Ilmu makrifat bertalian erat dengan
aktivitas yang akan dilakukan sebagai wujud upaya dalam menggapai makrifat.
Walaupun pada dasarnya ilmu makrifat tidak bisa menjadi jaminan untuk
mendapatkan makrifatullah, minimal ketika berproses menuju makrifat
seseorang tidak salah kaprah. Berberapa kajian tersebut bila diakumulasikan,
maka penulis dapat menarik bernang merah bahwa makrifatullah adalah hak
prerogratif Allah, yang artinya Dia sendiri yang memberikan pancaran sinar
Makrifat-Nya kepada hamba-hamba yang dikehendakinya. Sebagai manusia
yang mencari jati dirinya, tentu hal ini sudah bukan lagi berada pada tataran
wilayah manusia. Maka dari itu, makrifat hanya akan dicapai bila Tuhan sudah
berkehendak menyingkap tabir dari mata hati hamba-Nya.

23
Muhammad Sholikhin, Rahasia Hidup…, hlm. 59

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Makrifat meruapakan pengetahuan atau pengalaman untuk mengenal
sesuatu yang dalam hal ini objeknya bukan hal-hal yang bersifat zahir,
tetapi lebih kepada batin yang diperoleh melalui sanubari.
2. Tokoh yang mengembangkan makrifat diantaranya adalah Al-Ghazali, Zu
al-Nun al-Misri dan Ibnu Taymiyyah. Al-Ghazali menjelaskan bahwa
dalam mencari makrifat, akal saja tidak cukup untuk menemukan
keimanan, melainkan harus dibantu oleh ilmu syariat yang terdapat dalam
Al-Quran. Sedangkan menurut Zu al-Nun al-Misri, ma‟rifat kepada Allah
SWT tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian
pembuktian, tetapi dengan jalan ma‟rifat batin. Adapun menurut Ibnu
Taymiyyah makrifat diperoleh diperoleh melalui wahyu dan upaya-upaya
penyucian diri melalui dzikir, sehingga hati mendapat ma‟rifat yang
bersifat ilhami atau langsung atas pemberian Allah.
3. Makrifatullah tidak begitu saja terjadi pada seseorang, melainkan melalui
proses menggali ilmu dan melalui perjalanan rohani atau spiritual dengan
cara dzikir dan suluk.
4. Hubungan ilmu terhadap tahap-tahap makrifat yaitu ilmu menjadi dasar
pijakan seseorang untuk menggapai makrifat, walau kepastian akan
makrifatullah tidak bisa dipastikan.
B. Saran
Kami selaku pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna. Makalah berkaitan dengan makrifat ini diharapkan akan menambah
khazanah keilmuan pembaca serta dapat memantik pembaca untuk
mengkajian lebih luas mengenai makrifatullah. Adapun saran yang dapat
disampaikan yakni pembahasan mengenai makrifat dikaji lebih dalam, dan
dikembangkan baik studi literatur supaya mendapat gambaran secara utuh dan
menyeluruh. Maka dari itu diperlukan kajian yang lebih agar dapat
memberikan sumbangsih pengetahuan yang medalam bagi pembaca.

13
DAFTAR PUSTAKA

Kholid, A.R Idham. 2018. “Firasat, Makrifat Dan Mukasyafat Dalam Perspektif
Tasawuf”, Jurnal YAQZHAN, Vol. 4. No. 2, Desember

Nasution, Ahmad Bangun dan Royani Hanun Siregar. Akhlak Tasawuf,


Pengenalan, Pemahaman, Dan Pengaplikasiannya, Disertai Biografi Dan
Tokoh -Tokoh Tasawuf

Syukur, Amin dan Masharuddin, Intelektualisme Tasawuf,

Masyharuddin. 2007. Pemberontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyyah Atas


Rancang Bangun Tasawuf. Surabaya : PT. Tamprina Media Grafika

Sholikhin, Muhammad. 2013. Rahasia Hidup Makrifat, Selalu Bersama Allah,


Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kompas, 2013

HS, Nasrul. 2015. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Aswaja Pressindo

Mustahele, Nurbaety. 2017. Makrifat Dalam Al-Quran (Studi Atas Tafsir Al-
Azhar). Skripsi : Tidak Diterbitkan

Rohmah, Siti. 2021. Akhlak Tasawuf. Jawa Tengah: Penerbit NEM

Basil, Victor Said . Tt. Al-Ghazali Mencari Ma‟rifah : T.d

Mudin, Moh. Isom. 2016. Konsep Makrifat Ibnu Altaillah al-Askandari, Jurnal
Kalimah : Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 14, No. 2, September

Dahlan, A. Zaini, Siti Chamamah Soeratno dan Sangidu, dan Ahmad Musyidi.
2013. “Konsep Makrifat menurut Al-Ghazali dan Ibnu Arabi: Antisipatif
Radikalisme Keagamaan Bebasisi Epistemologi”, Jurnal Kawistara, Vol. 3,
No. 1, April

Burhanuddin, Nunu. 2020. “Prinsip Epistemologi Makrifat dalamTasawuf Bagi


Penguatan Karakter”, Jurnal FUADUNA; Jurnal Kajian Keagamaan dan
Kemasyarakatan, Vol. 4, No. 02 Juli-Desember

14

Anda mungkin juga menyukai