Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

FILSAFAT DAKWAH
“AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER INSPIRASI DAKWAH”

Disusun Oleh:
Kelompok I

Nur Hidaya (18030103006)


Irma Mutmainnah (18030103008)
Iren Rizki Fitria (18030103035)
Rismawati (180301030..)

JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KENDARI
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala limpahan Rahmat, Taufik dan Hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dalam bentuk maupun isi dengan sebaik-baiknya,
walaupun masih banyak kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan dari pengalaman dan ilmu
yang kami miliki. Semoga makalah ini dapat memberi wawasan serta pemahaman tentang topik
yang menjadi judul dari makalah ini yaitu Al-Qur’an Sebagai Sumber Inspirasi Dakwah.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dosen mata kuliah Filsafat Dakwah yang
telah memberikan bimbingannya dan pihak yang telah membantu hingga selesainya tugas mata
kuliah ini.

Kendari, 30 September 2019

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .....................................................................................................................................
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................................
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qur’an dan Filsafat Dakwah ..........................................................................................
B. Kedudukan dan Peran Al-Qur’an ..........................................................................................................
C. Wacana Al-Qur’an tentang Filsafat .......................................................................................................
D. Wacana Al-Qur’an tentang Tuhan ........................................................................................................
E. Diskursus Al-Qur’an tentang Manusia ..................................................................................................
F. Diskursus Al-Qur’an tentang Alam .......................................................................................................

BAB III PENUTUP


Kesimpulan ................................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbahagialah kita sebagai umat Islam karena dalam menjalani hidup ini diberikan buku pedoman yang
yang tidak pernah surut, using, dan ketinggalan zaman, yakni Al-Qur’an al-Karim.
Bahkan, Al-Qur’an bukan hanya diperuntukkan bagi umat Islam, tetapi juga dapat dijadikan petunjuk
bagi umat manusia seluruhnya.
Kemanfaatan Al-Qur’an bagi kehidupan manusia sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri. Jika umat
Islam hanya bangga memiliki Al-Qur’an yang suci dan merasa cukup dengan membaca lapadznya saja,
tetapi tidak menjadikannya sebagai pedoman hidupnya, maka eksistensi dan peran Al-Qur’an hanya
sebatas pemuas kerohanian manusia saja, kurang memberikan perubahan dan pencerahan bagi manusia
itu sendiri. Oleh karena itu, Al-Qur’an perlu dipahami maksudnya dan sekaligus diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari.1

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Al-Qur’an dan Filsafat Dakwah ?
2. Bagaimana Kedudukan dan Peran Al-Qur’an ?
3. Bagaimana Wacana Al-Qur’an tentang Filsafat ?
4. Bagaimana Wacana Al-Qur’an tentang Tuhan ?
5. Bagaimana Diskursus Al-Qur’an tentang Manusia ?
6. Bagaimana Diskursus Al-Qur’an tentang Alam Semesta ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Al-Qur’an dan Filsafat Dakwah
2. Mengetahui Kedudukan dan Peran Al-Qur’an
3. Mengetahui Wacana Al-Qur’an tentang Filsafat
4. Mengetahui Wacana Al-Qur’an tentang Tuhan
5. Mengetahui Diskursus Al-Qur’an tentang Manusia
6. Mengetahui Diskursus Al-Qur’an tentang Alam Semesta

1
Dr. Abdul Basit, M.Ag. Filsafat Dakwah. (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada) hlm 71-72
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Qur’an dan Filsafat Dakwah


1. Pengertian Al Qur’an
Al Qur’an merupakan wahyu Allah Swt. Yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw,
sebagai pedoman hidup umat manusia. Al-qur’an artinya bacaan, yaitu bacaan bagi orang-orang
yang beriman. Bagi umat Islam membaca Al-Qur’an merupakan ibadah.
Dalam hukum Islam, Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang pertama dan utama, tidak boleh
ada satu aturan pun yang bertentangan dengan Al-qur’an, sebagaimana firman Allah dalam surah
an-Nisa [4] ayat 105 berikut.2

“Sungguh, kami telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa


kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah
kepadamu”.

2. Pengertian Filsafat Dakwah


Filsafat Dakwah berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari secara kritis dan mendalam
tentang dakwah dan respon terhadap dakwah yang dilakukan oleh para da’i, sehingga orang yang
di dakwahi dapat menjadi manusia yang beriman serta berakhlak mulia.3

B. Kedudukan dan Peran Al-Qur’an


Menurut Abu al-A’la al-Maudidi bahwa Al-Qur’an merupakan kitab dakwah dan pergerakan. Sebagai
kitab dakwah, Al-Qur’an bukan hanya dijadikan sebagai sumber materi bagi kegiatan dakwah, tetapi
lebih jauh dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam mengembangkan dakwah. Banyak hal yang dapat
dikembangkan dari Al-Qur’an berkaitan dengan pengembangan dakwah seperti misi, materi, strategi,
kegiatan , figure da’i, karakteristik dakwah, dan sebagainya. Sementara sebagai kitab pergerakan, Al-
Qur’an dapat dijadikan sebagai landasan gerak dalam berbagai aktivitas pergerakan dakwah.

2
Bachrul Ilmy. Pendidikan Agama Islam Untuk Sekolah Menengah Kejuruan Kelas X. (Bandung:Grafindo Media
Pratama). hlm 58
3
Dr. H. Agus Ahmad Safei. Sosiologi Dakwah.(Yogyakarta:CV Budi Utama) hlm 47
Agar Al-Qur’an dapat dijadikan kitab dakwah dan kitab pergerakan , maka perlu dikaji lebih dalam
tentang Al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an bukanlah buku karangan dan kitab hukum. Al-Qur’an
merupakan kitab petunjuk, pembeda dan penjelas segala sesuatu.
Prinsip dasar dan misi utama Al-Qur’an sebenarnya tetap sama seperti sediakala, yakni seperti ketika
ia diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., tetapi semangat Al-qur’an itu bisa saja berbeda jika
ditangkap oleh beberapa generasi yang berbeda. Dengan kata lain, ajaran dan semangat Al-Qur’an akan
bersifat universal, rasional, tetapi respon sejarah manusia di mana tantangan zaman yang mereka hadapi
sangat berbeda dan bervariasi , maka secara otomatis akan menimbulkan corak dan warna pemahaman
yang berbeda pula.

C. Wacana Al-Qur’an Tentang Filsafat


Istilah filsafat merupakan istilah asing dan berasal dari baha Yunani, karenanya istilah filsafat
tidak disebut didalam Al-Qur’an. Jika istilah filsafat diartikan dengan makna cinta pada kebijaksanaan,
maka dalam Al-Qur’an istilah tersebut dikenal dengan kata al-hikmah. Kata tersebut menjadi ciri
khusus dari filsafat Islam dan berakar sama dengan sifat Allah Al-Hakim (Maha Bijaksana).
Kata al-hikmah secara etimologi mengandung makna yang banyak dan berbeda-beda, di
antaranya: al-Adl (keadilan), al-Hilm (kesabaran dan ketabahan), al Nubuwwah (kenabian), yang dapat
mencegah seseorang dari kebodohan, yang mencegah seseorang dari kerusakan dan kehancuran, setiap
perkataan yang cocok dengan kebenaran, meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan kebenaran perkara.
Dari makna-makna tersebut, ada satu makna yang menjadi esensi dari kata al-hikmah yang mudah
dipahami secara akal dan dapat dioperasionalisasikan dalam aktivitas dakwah, yakni meletakkan
sesuatu pada tempatnya.
Sebagai metode dakwah, kata al-hikmah berkaitan erat dengan proses dakwah, di mana
dakwah bil-hikmah dimaksudkan sebagai dakwah yang dilakukan dengan terlebih dahulu memahami
secara mendalam segala persoalan yang berhubungan dengan sasaran dakwah, tindakan-tindakan yang
akan dilakukan oleh masyarakat yang menjadi objek dakwah, situasi tempat dan waktu saat dakwa
dilaksanakan dan sebagainya. Karena itu, kata Sayyid Qutb, seorang da’i yang bijaksana (hikmah)
janganlah bertindak sewenang-wenang melampaui hikmah disebabkan karena kebenaran, kekuatan dan
ghiroh yang dimilikinya. Dakwah bil-hikmah juga dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai
macam bentuk metode yang disesuaikan dengan objek dakwahnya.
Sementara, kata al-hikmah yang dikaitkan dengan filsafat, menurut al-Almiri, Luqman adalah orang
pertama yang mendapatkan hikmah, seperti dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat Luqman (31) ayat 12.

”Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmah kepada Luqman”


Luqman adalah orang yang hidup pada zaman Nabi Daud a.s. dan tinggal di negeri Syam. Orang Yunani
yang mengambil dan belajar al-hikmah dari Luqman adalah Empedeklas. Tokoh Yunani lain,
Phytagoras, belajar al-hikmah dari sahabat Nabi Daud di Mesir. Sahabat-sahabat Sulaiman ini adalah
orang-orang yang berasal dari Negeri Syam. Selanjutnya, Socrates dan Plato yang banyak mengambil
hikmah dari Phytagoras.
Kata al-hikmah dipergunakan oleh seorang filsuf, Shadr al Muta’allihin atau yang dikenal dengan nama
Mulla Shadra (1572-1641 M/979-1050 H). beliau mengembangkan konsep empat perjalanan
intelektual dalam hikmah yang memuncak (al-asfar al-‘aqliyah al-arba’ah fi al-hikmah al-
muta’aliyah).
Selain kata al-hikmah, Al-Qur’an juga banyak memberikan dorongan kepada manusia untuk senantiasa
mengembangkan pikiran dan hatinya. Al-Qur’an mendorong manusia untuk memikirkan penciptaan
langit, bumi, manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan sebagainya. Al-Qur’an sangat mencela orang
–orang yang berdifat taqlid dan jumud kepada warisan para leluhurnya sehingga mereka enggan
menggunakan akalnya untuk memikirkan kebenaran dan berpikir bebas guna mencapai kebenaran.

D. Wacana Al-Qur’an tentang Tuhan


Pembahasan tentang Tuhan merupakan pembahasan yang tidak pernah selesai, baik di
kalangan Filsuf, Teologi, Ilmuan, Budayawan, dan para ahli lainnya. Tuhan selalu menarik dibicarakan;
siapa Tuhan, mengapa kita harus menyembah Tuhan, bagaimana kita berhubungan dengan Tuhan,
bagaimana peran Tuhan dalam kehidupan manusia, dan berbagai petanyaan lain yang senantiasa
menghantui diri manusia. Menariknya Tuhan untuk selalu dibicarakan karena Tuhan bersifat non-
empiris, sementara eksistensi dan peran Tuhan dalam kehidupan di alam dunia ini dapat dirasakan oleh
manusia.
Adanya kematian, bencana alam, siang dan malam, musim hujan dan kemarau, serta berbagai
fenomena alam lainnya merupakan simbol-simbol yang menunjukkan adanya peran Tuhan di
dalamnya. Tragedi yang di alami manusia, seperti kematian dan bencana alam, menyebabkan manusia
berupaya untuk mengungkapkan siapa yang berperan dibalik itu semua. Manusia myakini ada kekuatan
di luar diri manusia. Pada konteks inilah manusia meyakini bahwa kekuatan tersebut bersumber dari
roh-roh yang ada di alam, yang kemudian melahirkan paham animism. Selanjutnya, pemikiran manusia
mengalami perkembangan dan manusia meyakini banyaknya kekuatan-kekuatan atau Tuhan-Tuhan
yang membantu hidup manusia, maka lahirlah keyakinan banyak Tuhan atau politeisme.
Jika kita mengajukan pertanyaan, kapan manusia memiliki kesadaran mengenai adanya
eksistensi dan peran Tuhan di alam semesta ini, tampaknya teramat sulit untuk diberikan penjelasan
secara detail dan jelas. Sumber utama yang bisa kita yakini memberikan informasi tentang eksistensi
Tuhan berasal dari teks-teks agama. Adam, di dalam teks Al-qur’an, diyakini sebagai orang pertama
yang mengaku bersalah di hadapan Tuhan dan memohon ampun terhadap dosa-dosa yang dibuatnya.
Dari peristiwa yang dialami Adam inilah yang kemudian berlanjut menjadi proses dramatisasi
kehidupan manusia di alam semesta ini.

Proses kehidupan manusia dalam pencariannya terhadap Tuhan tidak bersifat linear artinya
keyakinan Adam terhadap keesaan Tuhan tidak serta merta menjadikan seluruh manusia memiliki
paham monoteisme (paham satu Tuhan). Potensi negatif atau pembangkangan yang terdapat dalam diri
manusia memungkinkan manusia tidak percaya terhadap Tuhan (atheis dan agnotisme), membuat
Tuhan-Tuhan yang banyak (politeisme), dan pencampuran keyakinan (sinkritesme) antara keyakinan
terhadap Tuhan dengan keyakinan terhadap kekuatan yang lain. Semua itu merupakan sesuatu yang
sangat manusia. Justru dengan adanya potensi tersebut akan memberikan peluang bagi manusia untuk
terus berjuang dalam mencari dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Inilah yang dalam konsep islam
disebut sebagai “ujian” bagi manusia untuk memilih jalan yang terbaik, jalan yang lurus, yakni jalan
yang di Ridhai Tuhan dan jalan yang diberi nikmat.
Pada konteks inilah dakwah islam amat diperlukan untuk memberikan penjelasan tentang
konsepsi Tuhan yang diyakini oleh islam. Tuhan yang diyakini bukan hanya sebagai objek kajian dari
pemikiran manusia saja, melainkan Tuhan yang senantiasa dirasakan kehadirannya dalam diri manusia.
Persoalan tunduk dan patuh kepada Tuhan bagi manusia problem tersendiri. Tuhan yang eksistensinya
sangat abstrak sulit untuk dapat ditangkap oleh manusia yang senantiasa berpikir di alam nyata dan
realitas.

E. Diskursus Al-Qur’an tentang Manusia


Manusia merupakan salah satu makhluk Tuhan yang ada di muka bumi ini. Berbeda dengan
makhluk lainnya seperti binatang, tumbuhan dan malaikat. Keberadaan manusia di muka bumi
menempati posisi utama sebagai khalifah. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah.

“ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “ sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi” (QS Al-Baqarah [2]; 30).
Sebagai seorang khalifah, maka tugas manusia di muka bumi ini adalah memakmurkan alam semesta
ini.
Dalam melakukan amal di dunia, manusia membutuhkan petunjuk atau arah agar amal yang
dikerjakannya tidak sia-sia. Dalam hal ini manusia dapat memanfaatkan akal yang diberikan oleh Tuhan
kepadanya. Akal difungsikan untuk menuntut ilmu dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena itu,
manusia diwajibkan untuk mencari ilmu pengetahuan.
Ilmu yang dimiliki manusia bisa saja dipergunakan oleh manusia untuk mengerjakan amal
yang jelek atau untuk merusak manusia dan alam semesta. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan
yang dilakukan oleh manusia terhadap ilmu, maka manusia perlu perlu dibimbing dengan iman. Iman
merupakan proses pembenaran hati yang dalam aplikasinya perlu diwujudkan dlam amal sehari-hari.
Manusia diciptakan oleh Tuhan bertujuan untuk menjalankan misi sebagai hamba Allah dan
khalfatullah di muka bumi ini. Misi manusia dapat dijalankan dengan baik manakala manusia memilki
iman kepada Allah dan ilmu pengetahuan.

F. Diskursus Al-Qur’an tentang Alam Semesta


Manusia harus mengerahkan dan mencurahkan akalnya untuk mengetahui maksud diciptakan
alam semesta dan sekaligus untuk memahami alam semesta bagi kehidupan manusia. Konsekuensi dari
pemahaman tersebut, maka alam semesta menjadi objek pemahaman sekaligus sumber pelajaran bagi
mereka yang mau berpikir. Allah Swt berfirman

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal” (QS Al-Imran [3]: 190)

Lebih jauh lagi manusia dapat belajar dari kehidupan alam yang penuh harmonis dan penuh
hikmah. Manusia bisa belajar dari kehidupan burung yang dengan penuh semangat dan etos kerja yang
tinggi, tidak mengenal musim hujan atau kemarau, burung terus terbang mencari nafkah untuk
menghidupi anak-anaknya.
Manusia pun terkadang tidak bisa mengelak dari peristiwa-peristiwa alam yang tidak bisa
diprediksi seperti terjadinya gempa, meletusnya gas bumi, munculnya penyakit yang mematikan dan
sebagainya. Semua peristiwa tersebut menunjukkan betapa Tuhan Maha Kuasa, bisa melakukan apa
saja terhadap kehidupan di alam semesta ini. Manusia tidak bisa berlaku sombong dan sewenang-
wenang dalam memanfaatkan alam semesta. Sekalipun manusia adalah makhluk tertinggi dan khalifah
di bumi, namun hubungan manusia terhadap alam harus disertai sikap rendah hati yang sewajarnya,
dengan melihat alam sebagai sumber ajaran dan pelajaran untuk menerapkan sikap tunduk kepada
Allah. Manusia harus menyertai alam alam sekitarnya dalam bertasbih memuji Allah, antara lain
dengan memelihara alam itu dan menumbuhkannya kea rah yang lebih baik dan bukannya melakukan
perusakan dan kerusakan di muka bumi. 4

4
Dr. Abdul Basit, M.Ag. Filsafat Dakwah. (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada) hlm 72-92
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Filsafat Dakwah berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari secara kritis dan mendalam tentang
dakwah dan respon terhadap dakwah yang dilakukan oleh para da’i, sehingga orang yang di
dakwahi dapat menjadi manusia yang beriman serta berakhlak mulia.
2. Menurut Abu al-A’la al-Maudidi bahwa Al-Qur’an merupakan kitab dakwah dan pergerakan.
Sebagai kitab dakwah, Al-Qur’an bukan hanya dijadikan sebagai sumber materi bagi kegiatan
dakwah, tetapi lebih jauh dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam mengembangkan dakwah.
3. Istilah filsafat merupakan istilah asing dan berasal dari baha Yunani, karenanya istilah filsafat tidak
disebut didalam Al-Qur’an. Jika istilah filsafat diartikan dengan makna cinta pada kebijaksanaan,
maka dalam Al-Qur’an istilah tersebut dikenal dengan kata al-hikmah. Kata tersebut menjadi ciri
khusus dari filsafat Islam dan berakar sama dengan sifat Allah Al-Hakim (Maha Bijaksana).
4. Pembahasan tentang Tuhan merupakan pembahasan yang tidak pernah selesai, baik di kalangan
Filsuf, Teologi, Ilmuan, Budayawan, dan para ahli lainnya. Tuhan selalu menarik dibicarakan; siapa
Tuhan, mengapa kita harus menyembah Tuhan, bagaimana kita berhubungan dengan Tuhan,
bagaimana peran Tuhan dalam kehidupan manusia,
5. Dalam melakukan amal di dunia, manusia membutuhkan petunjuk atau arah agar amal yang
dikerjakannya tidak sia-sia. Dalam hal ini manusia dapat memanfaatkan akal yang diberikan oleh
Tuhan kepadanya. Akal difungsikan untuk menuntut ilmu dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Karena itu, manusia diwajibkan untuk mencari ilmu pengetahuan.
6. Manusia harus mengerahkan dan mencurahkan akalnya untuk mengetahui maksud diciptakan alam
semesta dan sekaligus untuk memahami alam semesta bagi kehidupan manusia. Konsekuensi dari
pemahaman tersebut, maka alam semesta menjadi objek pemahaman sekaligus sumber pelajaran
bagi mereka yang mau berpikir.
DAFTAR PUSTAKA

 Dr. Abdul Basit, M.Ag. Filsafat Dakwah. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada

 Bachrul Ilmy. Pendidikan Agama Islam Untuk Sekolah Menengah Kejuruan Kelas X.
Bandung:Grafindo Media Pratama.
 Dr. H. Agus Ahmad Safei. Sosiologi Dakwah. Yogyakarta:CV Budi Utama

Anda mungkin juga menyukai