Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FILSAFAT DAKWAH
Tentang
EPISTEMOLOGI DAKWAH

Disusun oleh :
Kelompok 6

1. Ryan Syahputra (2112040004)


2. Raweni (2112040022)
3. Tiwi Firda Sepvlentin (2112040031)

Dosen pengampu:
Dr. Muhammad Fauzi, M.Ag

PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1444 H / 2022 M
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah
tentang “Bid’ah Yang Tercela Dalam Islam” Dan juga penulis berterima kasih kepada bapak
Dr. Muhammad Fauzi, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Dakwah yang
telah memberikan tugas ini.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai epistemology dakwah. Penulis juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun terhadap penulisan
makalah ini demi perbaikan di masa depan.
Wassalamu’alikum Wr. Wb.

Padang, 10 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR PUSTAKA

Kata Pengantar.............................................................................................................ii

Daftar Isi........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Hakikat Kebenaran Dalam Dakwah....................................................................3
B. Dakwah Dalam Perspektif Islam........................................................................5
C. Dakwah Dalam Perspektif Positifistik................................................................6
D. Dakwah Dalam Perspektif Rasionalistik............................................................7
E. Dakwah Dalam Perspektif Naturalistik..............................................................8
F. Dakwah Dalam Perspektif Fenomenologis.........................................................9
G. Dakwah dalam Perspektif Metafisika.................................................................9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.........................................................................................................11
B. Saran...................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Epistemologi dari bahasa yunani episteme (pengetahuan) dan Logos (ilmu)
adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis
pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan
dibahas dalam bidang Filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana
karakteristiknya, macamnya, serta hubungan dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistemologi Islam adalah filsafat hukum yang menganalisis
hukum Islam secara metodologis dan sistematis, sehingga mendapatkan keterangan
yang mendasar atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan pendekatan
filsafat sebagai alatnya.
Dakwah dan Islam ibarat dua sisi mata uang yang antara satu dengan yang lain
tak dapat dipisahkan. Dakwah adalah merupakan aktivitas orang atau orang-orang
beriman, yang tidak hanya bersentuhan dengan aspek kemanusiaan -sebagai mahluk
yang secara sosiologis harus beraktivitas dalam suatu relasi yang harmonis antara satu
dengan lainnya- tetapi aktivitas tersebut merupakan panggilan suci yang meletakkan
dakwah sebagai suatu kewajiban imani yang diajarkan oleh agama Islam.
Demikian sebaliknya Islam tidak bisa dipisahkan dengan dakwah oleh sebab
dakwah, merupakan bagian dari cara Allah dalam meratakan ajarannya di tengah-
tengah kehidupan umat manusia di muka bumi. Artinya Islam sebagai aqidah (imân),
syariah (islâm), maupun keteraturan (ihsân), oleh Allah Swt didelegasikan kepada
manusia untuk meratakannya dalam kehidupan sehari-hari, melalui aktivitas
dakwahnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa hakikat kebenaran dalam dakwah?
2. Apa yang dimaksud dengan dakwah dalam perspektif islam?
3. Apa yang dimaksud dengan dakwah dalam perspektif positifistik?
4. Apa yang dimaksud dengan dakwah dalam perspektif rasionalistik?
5. Apa yang dimaksud dengan dakwah dalam perspektif naturalistik?
6. Apa yang dimaksud dengan dakwah dalam perspektif fenomenologis?
7. Apa yang dimaksud dengan dakwah dalam perspektif metafisika?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa hakikat kebenaran dalam dakwah
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan dakwah dalam perspektif islam
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan dakwah dalam perspektif
positifistik
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan dakwah dalam perspektif
rasionalistik
5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan dakwah dalam perspektif
naturalistik

1
6. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan dakwah dalam perspektif
fenomenologis
7. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan dakwah dalam perspektif
metafisika

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Kebenaran Dalam Dakwah


Secara fundamental, kebenaran dalam Islam merujuk pada Al-Qur’an yang
menjadi sumber utama ajaran Islam. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menjadi
tuntunan hidup seorang muslim. Segala persoalan kehidupan umat Islam, baik secara
global maupun spesifik, diatur dalam Al-Qur’an. Quraish Shihab menyebut Al-Qur’an
sebagai informasi agung yang diturunkan dari langit ke bumi.1 Di dalamnya terdapat
berita tentang masa lalu dan kabar tentang masa depan. Manusia yang berpegang pada
apa yang disampaikan Allah dalam Al-Qur’an tidak pernah tersesat. Kitab suci al-
Qur’an memuat kebenaran yang tidak hanya diyakini oleh kaum muslimin, tetapi juga
dikagumi oleh non-muslim. Dengan memahami ajaran Al-Qur’an, maka seorang
muslim dapat menemukan kebenaran yang sedang dicarinya.
Di samping memuat kebenaran mutlak, Al-Qur’an juga menyuruh umat Islam,
agar selalu berpikir dan menggunakan akalnya untuk mencari dan memahami
kebenaran. Banyak ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah menyuruh umat
Islam untuk mengoptimalkan potensi akalnya. Tidak sedikit ilmuwan muslim yang
mengikuti al-Qur’an, sehingga mereka melahirkan teori-teori di berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Selain sebagai ilmuwan, banyak di antara mereka yang menjadi filosof.
Mereka melahirkan banyak pemikiran yang tidak bisa dijelaskan oleh ilmu
pengetahuan.2
Pesan yang harus disampaikan dalam kegiatan dakwah harus berupa
kebenaran. Pesan dakwah tidak boleh salah atau sedikit salah. Hasil pengamatan
inderawi, temuan ilmiah, atau analisis filosofis atas suatu peristiwa tidak bisa menjadi
pesan dakwah, mengingat terdapat kemungkinan salah. Berbeda halnya dengan ayat-
ayat suci al-Qur’an maupun hadis-hadis yang sahih. Kedua sumber ajaran Islam ini
patut menjadi pesan dakwah. Tingkat kebenarannya bersifat dan tidak mungkin salah.
Kebenaran yang demikian ini dinamakan oleh al-Qur’an dengan al-hikmah.
Dengan tingkat kebenaran ini, al-Qur’an menjadi ukuran bagi kebenaran hadis yang
sahih. Kemudian, al-Qur’an dan hadis yang sahih menjadi ukuran atas analisis
filosofis, temuan ilmiah, dan pengamatan inderawi. Jika ada temuan ilmiah atau
analisis filosofis yang bertentangan dengan ayat al-Qur’an, maka kebenaran al-Qur’an
yang menjadi pegangan. Kebenaran al-Qur’an tidak hanya menyangkut
kandungannya, tetapi juga eksistensinya. Untuk membuktikan kebenaran eksistensi
al-Qur’an, teori-teori kebenaran yang dipergunakan.
Berdasarkan teori koherensi, al-Qur’an benar-benar datang dari Allah, karena
kandungannya tidak bertentangan dengan kitab-kitab terdahulu, seperti Taurat, Zabur,
dan Injil. Al-Qur’an justru menguak pesan-pesan dalam kitab-kitab terdahulu. Selain
itu, al-Qur’an juga menunjukkan usaha manusia yang merubah kandungan kitab
terdahulu. Menurut teori korespondensi, kandungan al-Qur’an tentang berita-berita
1
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,
2007) 19
2
Muhammad Sholikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, (Yogyakarta: Narasi, 2008) 147

3
terdahulu terkuak kebenarannya setelah temuan arkeologi. Begitu pula, pesan-pesan
umum juga nyata dalam kehidupan. Ini menunjukkan bahwa al-Qur’an bukan berasal
dari manusia, melainkan dari Allah. Dalam teori pragmatis, segala yang beasal dari al-
Qur’an bacaan, tulisan, maupun maknanya- terbukti memberikan manfaat yang luar
biasa.3 Bacaannya ternyata mampu membuat tubuh lebih konsentrasi sesuai temuan
ilmiah. Tidak hanya itu, makna al-Qur’an dipahami oleh manusia dan membentuk
peradaban yang maju. Kemajuan peradaban Barat saat ini juga diilhami oleh al-
Qur’an yang dipelajari orientalis dari ilmuwan muslim abad pertengahan. Inilah
pembuktian al-Qur’an dengan teori performatif. Sebagai gerakan keagamaan, dakwah
tidak bisa lepas dari unsur kebenaran al-Qur’an.
Tujuan dari gerakan dakwah adalah mengantarkan mitra dakwah kepada
kebenaran, agar tidak tersesat dan terjerumus dalam kesalahan. Kebenaran dakwah
adalah kebenaran yang hakiki, mutlak, dan berasal dari Allah, sebagai satu-satunya
sumber kebenaran yang sejati. Di sisi lain, dakwah merupakan gerakan sosial yang
tidak bisa melepaskan diri dari konteks sosial budaya yang melingkupinya. Oleh
karena itu, dalam interaksinya, dakwah menjumpai unsur-unsur kebenaran relatif
yang tersebar di berbagai unsur kehidupan sosial dan budaya.
Penyampaian kebenaran kepada masyarakat yang menjadi mitra dakwah tentu
menjadi permasalahan tersendiri. Tidak semua masyarakat dapat secara langsung
menerima kebenaran yang akan disampaikan kepada mereka. Terdapat beberapa
permasalahan yang harus dipertimbangkan, terutama faktor akseptabelitas masyarakat
terhadap ajaran tersebut. Beberapa masyarakat belum dapat menerima sebuah
kebenaran, karena kebenaran tersebut bertentangan dengan budaya maupun adat
istiadat yang telah dipegang lama. Dalam hal ini, perlu proses akulturasi budaya -atau
bahkan sinkritisme budaya- agar sebuah kebenaran dapat diterima dengan mudah oleh
masyarakat. Penting dicatat bahwa proses tersebut hanya sekedar sebagai bagian dari
proses panjang menuju kebenaran utama yang akan disampaikan kepada masyarakat.
Materi dan metode yang digunakan pun hendaknya memperhatikan aspek-
aspek kebenaran. Dalam teori pragmatisme, kebenaran menjadi benar jika bermanfaat
bagi manusia. Dalam hal ini, ajaran tentang kebenaran harus dapat menumbuhkan
kesadaran masyarakat bahwa apa yang disampaikan tersebut memiliki nilai manfaat
bagi kehidupannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demikian teori
koherensi, sebuah proposisi atau ajaran menjadi benar jika bersesuaian dengan ajaran
lainnya. Ini menuntut konsistensi pelaksanaan dakwah, sehingga tidak terjadi
kontradiksi antara apa yang disampaikan saat ini dengan apa yang telah disampaikan
sebelumnya. Tentu akan menjadi kontra produktif jika apa yang disampaikan oleh
pendakwah bertentangan dengan pendakwah yang lain. Lebih dari itu, dakwah
menjadi gagal manakala pendakwah berbeda dalam ucapan dan tindakan.

B. Dakwah Dalam Perspektif Islam

3
Moh. Ali Aziz, “Signifikansi Ilmu-ilmu Al-Qur’an untuk Pengembangan Ilmu Dakwah” dalam
Jurnal Islamica (Vol. III No. 2 Tahun 2009), 60-68.

4
Dalam QS An-Nahl (16): 125, Allah Swt, menjelaskan pendelegasiannya yang
berbunyi:
َ َّ‫ك بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َموْ ِعظَ ِة ْال َح َسنَ ِة َو َجا ِد ْلهُ ْم بِالَّتِ ْي ِه َي اَحْ َس ۗنُ اِ َّن َرب‬
َ ‫ك ه َُو اَ ْعلَ ُم بِ َم ْن‬
‫ض َّل ع َْن َسبِ ْيلِ ٖه‬ َ ِّ‫ع اِ ٰلى َسبِ ْي ِل َرب‬ ُ ‫اُ ْد‬
َ‫َوه َُو اَ ْعلَ ُم بِ ْال ُم ْهتَ ِد ْين‬
Terjemahan
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik,
dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu,
Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.

Namun demikian, pendelegasian Allah sebagai suatu kewajiban, oleh para ahli
dipahami secara berbeda. Di antaranya ada yang memahami bahwa dakwah adalah
merupakan kewajiban individu yang dikenal dengan fardhu ‘ain, sehingga setiap umat
Islam berkewajiban untuk berdakwah sekalipun hanya satu ayat. Sedang yang lainnya
memahami bahwa perintah untuk berdakwah sebagai aktivitas orang atau orang-orang
beriman tersebut bersifat kolektif yang dikenal dengan fardhu kifậyah, sehingga tidak
semua orang harus melakukan dakwah, sebagian saja sudah dianggup cukup, apalagi
aktivitas dakwah merupakan kerja profesional yang tidak semua orang bisa
melakukannya.
Mereka yang memahami bahwa aktivitas dakwah tersebut sebagai kewajiban
individu atau fardhu ‘ain adalah Imam Fahru al-Din al-Razi, kemudian didukung oleh
A. Hasymi, M. Natsir dan lain-lain, sementara yang memahami sebagai kewajiban
kolektif adalah Al-Ghazali yang kemudian didukung oleh Ahmad Mahnud, Ibn.Katsir,
Quraish Shihab dan lain-lainnya. Di samping kedua pemahaman di atas ada juga yang
memahaminya secara akomodatif, artinya bahwa aktivitas dakwah merupakan
kewajiban individu dan kolektif , fardhu ‘ain dan fardu kifâyaẖ sekaligus seperti yang
dipahami oleh Muhammad Abu Zahro yang kemudian diikuti oleh Ibrahim Imam,
Bassam al-Sibagh, Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni dan lain-lain.4
Perbedaan pemahaman tersebut terjadi tidak hanya karena disebabkan oleh
beberapa realitas teks tentang dakwah yang berbeda tetapi juga karena potensi dan
kesiapan seseorang dalam melakukan aktivitas dakwah tidak sama antara satu dengan
yang lain. Adanya ketidak samaan tersebut, menurut Muhammad Abu Zahro
selayaknya diakomodir dan ditopang oleh Negara sebagai suatu kekuatan yang
terlembagakan. Dengan demikian kewajiban Negaralah untuk melembagakan
aktivitas dakwah dan pengkaderan para da’inya.
Terlepas dari adanya beberapa perbedaan pemahaman di atas, Islam yang
semula lahir di Mekkah lalu disuarakan dan dikumandangkan di Madinah dan
sekarang telah menjadi sebuah agama yang diterima di seluruh penjuru dunia, tak bisa
dipungkiri bahwa semuanya itu adalah berkat dakwah yang dilakukan umat Islam
secara istiqậmah dengan penuh tawakkal kepada Allah Swt. Kini Islam tidak hanya
dipeluk oleh masyarakat di Timur Tengah, tapi sudah masuk ke negara-negara Asia,

4
Moh. Ali Azis, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 145-155.

5
Afrika, Eropa termasuk juga di Australia dan Amerika sehingga tidak salah kalau
dikatakan bahwa Islam adalah agama universal yang dalam bahasa al-qur’an disebut
sebagai rahmatan li al-‘alamîn

C. Dakwah Dalam Perspektif Positifistik


Dalam Kamus Ilmiah Populer, istilah positivisme diartikan sebagai anggapan
bahwa yang berarti itu hanya proposisi analitik yang dapat dibuktikan secara empiris. 5
Sedangkan positivisme dalam kajian filsafat berarti mengenal peristiwa-peristiwa
positif, artinya peristiwa-peristiwa yang dialami manusia.6
Positivisme dalam ilmu pengetahuan, diperkenalkan oleh Auguste Comte
(1798-1857) yang menganalisa perkembangan pengetahuan manusia melalui hukum
tiga tahap yaitu,:
a. tahap teologis atau fiktif.
b. Tahap metafisik atau abstrak dan
c. Tahap positif atau riil.
Dalam tahap teologis, agama menjadi faktor penentu dalam kehidupan dan
pemikiran manusia sedang dalam tahap metafisik, sebagai penentu kehidupan dan
pemikiran itu bergeser ke filsafat menggantikan peran agama. Akhirnya, dalam tahap
positifistik, ilmu kealaman yang riil dijadikan sebagai panutan, menggantikan agama
dan filsafat.
Dakwah dalam prespektif positivisme bila demikian, harus dilihat dari
aktivitas orang beriman dalam merealisasikan konsep dan ajaran Islam dalam tataran
kehidupan yang secara indrawi sudah diterima oleh manusia di seantero dunia seperti
telah dijelaskan pada uraian terdahulu. Keberhasilan keberhasilan dakwah tersebut
menjadi sebuah realitas yang kongkrit dan pasti dan karenanya hal tersebut dapat
diteliti dan diamati sebagai obyek kajian keilmuan yang positifistik.
Dalam positivisme, dakwah sebagai sebuah realitas tentu tidak hanya diamati
dari sudut keberhasilannya saja, ketidak berhasilannyapun juga menjadi bagian dari
sebuah kajian ilmu dakwah. Dengan demikian, dakwah sebagai suatu disiplin ilmu,
tidak hanya berbicara hikmah, amar makruf, nahi mungkar, serta mujadalah secara
deduktif saja tetapi sudah seharusnya menyentuh kepada persoalan perosalan umat
secara induktif seperti, pemberdayaan umat, hak asasi manusia, ekonomi kerakyatan,
kebodohan, kemiskinan, ketidak adilan dan lain-lainnya. Positivisme yang banyak
mengamati persoalan-persoalan realitas, menghendaki agar dakwah sebagai suatu
disiplin ilmu pengetahuan mempunyai obyek studi yang kongkrit dan bisa diamati
secara induktif.
Dengan demikian pemberdayaan umat, hak asasi manusia, ekonomi umat,
kebodohan, kemiskinan, ketidak adilan dan lain-lainnya, dapat didekati dengan ilmu
dakwah dengan segala teori induktif yang diperoleh dari hasil pengamatan dan
penelitian terhadap aktivitas dakwah yang dilakukan. Oleh karena selama ini dakwah
yang dilaksanakan tidak berpijak kepada teori-teori yang bersifat induktif, maka tidak
heran bila kompetensi dakwah sebagai suatu disiplin keilmuan dipertanyakan, tidak
5
Pius A Partanto, M.Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 612
6
H.Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat Dan Agama, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,1987), 99.

6
saja karena ketiadaan teori induktifitasnya tetapi dakwah menjadi tidak mempu
bersaing di tengah hiruk pikuk masyarakat yang mengalami perubahan sangat cepat.

D. Dakwah Dalam Perspektif Rasionalistik


Pendekatan dakwah emosional melahirkan sikap keberagamaan yang
emosional, di mana keyakinan yang tumbuh dalam keberagamaan tersebut didasarkan
atas gairah keagamaan. Pendekatan dakwah rasional melahirkan sikap keberagamaan
yang rasional, di mana keyakinan yang tumbuh dalam keberagamaan tersebut
didasarkan atas penjelasan argumentatif mengenai relevansi ajaran agama dalam
kehidupan.
Efektifitas dua pendekatan tersebut dalam mempengaruhi sikap atau perilaku
seseorang juga berbeda, setidaknya jika didasarkan atas penelitian komunikasi.
Penelitian komunikasi menunjukkan bahwa perubahan sikap lebih cepat terjadi
dengan imbauan emosional. Tetapi, dalam jangka waktu yang lama, imbauan rasional
memberikan pengaruh yang lebih kuat dan stabil. Sederhananya, dakwah yang
menyentuh hati lebih cepat meningkatkan iman, tetapi mudah goyah. Sementara
dakwah yang menyentuh pikiran cenderung lambat tetapi pasti.
Idealnya, dua pendekatan tersebut berjalan beriringan untuk saling
menguatkan, sebagaimana al Quran menyentuh pikiran sebanyak menyentuh hati.
Teladan Nabi juga membuktikan bahwa banyak yang masuk Islam tidak hanya karena
keluhuran budi yang menyentuh hati, tetapi juga argumentasi yang memuaskan
pikiran.
Dua pendekatan tersebut mestinya dikuasai oleh para dai supaya umat
memiliki ketajaman spiritual sekaligus kejernihan berpikir. Sayangnya, bukan perkara
mudah mencapai yang ideal. Perkaranya tidak melulu soal ketidakseimbangan dalam
menggunakan pendekatan, tetapi juga soal penyalahgunaan. Alih-alih digunakan
untuk meningkatkan ketajaman spiritual jamaah, pendekatan emosional justru
dilakukan untuk memanipulasi psikologis masyarakat.
Umat sesungguhnya bisa melihat dengan jelas pendekatan apa yang digunakan
dai atau muballig dalam dakwahnya. Kalau terlalu banyak bicara soal janji surga atau
ancaman neraka, atau apa yang disebut sebagai “kemaslahatan di akhirat”, itu artinya
ia tidak mampu menjelaskan bahwa ajaran agama benar-benar relevan untuk
kehidupan di dunia. Ia tidak mampu menjelaskan secara argumentatif mengapa umat
harus mengikuti atau menjalankan ajaran itu dalam kehidupan di dunia.
Itulah mengapa Ahmad ar-Raisuni menghimbau kepada para aktivis dakwah
agar memahami agama secara mendalam. Menurutnya, seseorang dikatakan
memahami agama secara mendalam apabila memahami tujuan agama (maqashid
syari’ah). Selain memahami problem masyarakat, metode dan media apa yang
digunakan apa dalam berdakwah, dai juga dituntut benar-benar memahami bahwa
agama hadir untuk kemaslahatan di dunia.

E. Dakwah Dalam Perspektif Naturalistik

7
Menurut Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, naturalisme adalah aliran
filsafat yang mengatakan bahwa dunia adalah yang ada atau yang tanpak. 7 Dari
filsafat ini muncul pemahaman tentang pentingnya manusia bertindak secara bebas
tanpa adanya ketergantungan kepada apa yang bersifat supranatural yaitu suatu
kekuatan yang ada di luar alam. Namun demikian, naturalisme modern, sudah
berkembang untuk menerima pemahaman akan realitas proses fisik dan intelektual,
serta menerima adanya proses-proses ini sebagai suatu fenomena dan fakta emperis.
Hampir sama dengan positivisme yang menghentikan segala proses kepada
fakta emperis sebagai sebuah fenomena induktif, pada naturalisme modern sudah
mulai mempertimbangkan adanya proses perkembangan intelektual dan fisik sebagai
sebuah natura (fitrah) kemanusiaan. Artinya, manusia yang hanya berhenti pada
sebuah fenomena induktif tanpa berusaha untuk mengembangakan melalui suatu
proses lebih lanjut, berarti manusia telah mengingkari fitrah kemanusiaannya yang
berusaha untuk menemukan suatu kebahagiaan.
Dakwah yang menginginkan kebahagiaan tidak hanya di dunia tetapi sampai
nanti di akhirat, maka dari perspektif naturalisme, dakwah yang merupakan aktivitas
orang beriman berarti jauh melampaui naturalisme dalam ranah pemahaman dan
pemikiran. Persoalannya, apakah memang demikian di tingkat realitas. Artinya,
apakah proses perkembangan dakwah, baik dari aspek keilmuan maupun dari aspek
pelaksanaan sebuah kewajiban agama, sudah menjawab bebagai tantangan, sehingga
kebahagian dapat terkondisikan dalam tataran kehidupan. Dari aspek keilmuan,
dakwah memang sedang berproses menuju kesempurnaannya, yaitu sebuah disiplin
ilmu yang secara epistemologis, teori-teorinya meupakan perpaduan antara berfikir
deduktif dan induktif dan secara ontologis, berjalan melalui sebuah kajian terhadap
obyek dengan metode kerja studi serta sistematikanya
Sedang dari aspek bahwa dakwah sebagai suatu kewajiban agama, nampaknya
masih belum signifikan dalam proses perkembangannya. Apa yang sering diketahui
dari pelaksanaan dakwah hari ini, merupakan tindak lanjut dari kegiatan dakwah yang
kemaren dan bahkan kemaren lusa dalam suatu volume dan keadaan yang sama.
Artinya, dakwah yang berkembang tidak mampu mengimbangi suatu perubahan yang
sangat cepat dan kalaupun ada masih belum dianggap signifikan. Dakwah belum
semuanya dapat masuk di area-area yang menjadi basis transformasi perubahan dari
sebuah agen kepada masyarakat seperti, politik, ekonomi, kultur, pendidikan, hiburan,
penyiaran dan lain-lainnya.
Sabar memang bagian dari konsep dakwah, namun sebenarnya kalau dikaitkan
dengan konsep naturalisme, sabar tersebut sebaiknya berproses dari sabar akan suatu
penderitaan kepada sabar untuk keluar dari penderitaan itu, menuju suatu persaingan
dengan lingkungan sekitar yang dalam bahasa agama disebut musabaqah fȋ al-khairat
untuk selanjutnya sabar dalam mengembangkan apa yang telah dicapainya seperti
yang disebutkan dalam sebuah hadis bahwa bila hari ini sama dengan yang kemaren
adalah rugi dan bila hari ini lebih baik dari kemaren adalah beruntung dan bila hari ini
lebih jelek dari kemaren adalah binasa.

7
Pius A. Partanto, M.Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, 514

8
F. Dakwah Dalam Perspektif Fenomenologis
Fenomenologi adalah studi untuk mengetahui sesuatu dengan melihat realitas
yang ada sebagai sebuah gejala dari kebenaran yang ingin diketahui. Dakwah dalam
perspektif fenomenologi, dengan demikian adalah studi untuk mengetahui aktivitas
orang beriman dalam mengusahakan berlakunya ajaran Islam pada tataran kehidupan
dengan memperhatikan suatu keadaan yang sebenarnya.
Persoalannya adalah dakwah yang berkembang selama ini tidak
dikembangkan dari suatu studi empiris di mana suatu relaitas dakwah dilaksanakan,
tetapi cenderung dikembangkan dari studi teoritik yang secara deduktif dikembangkan
dari Al-Quran maupun Hadits sehingga dalam perjalanannya ditemukan berbagai
kesenjangan dalam dakwah, baik secara teoritik sebagai studi keilmuan maupun
implementatif sebagai pelaksanaan dari kewajiban agama.
Dalam studi teoretik, tidak ditemukannya berbagai kesimpulan induktif,
menjadikan teori dakwah kehilangan realitasnya, sehingga relevansi dakwah menjadi
tidak tersambung dengan tuntutan penyelesaian terhadap kebingungan dan
kegelisahan umat yang terus menghantui, sebagai akibat dari sebuah perubahan yang
terlalu cepat dalam sebuah kehidupan.
Sementara itu, di tingkat implementatif sebagai suatu kewajiban agama,
dakwah mengalami berbagai kegagalan karena dakwah tidak mampu bersaing di
tengah-tengah perubahan. Tema-tema dakwah yang dikembangkan menjadi tidak
menarik lagi sehingga dakwah mengalami kegugupan-kegugupan ketika harus
bertemu dengan pranata-pranata kehidupan yang telah berubah. Sebagai
konsekwensinya dakwah tidak mampu mencari jawab terhadap penyelesaian berbagai
kebingungan masyarakat yang masih belum siap menghadapi suatu era yang ditandai
oleh persaingan-persaingan di berbagai lini kehidupan yang semakin pragmatis.
Jargon-jargon dakwah yang berkembang cendrung hanya mengarah kepada persoalan
hidup nyaman di akhirat, sementara kebutuhan realistis di dunia tidak terpenuhi.
Dengan tidak mengenyampingkan aspek normatif dari Al-Quran maupun
Hadits, studi fenomenologis dalam pengembangan dakwah, baik dari aspek
fenomenologis-teoritik maupun dari aspek fenomenologis implementatif sebagai
suatu kewajiban agama adalah menjadi suatu keniscayaan dalam rangka
menempatkan dakwah di atas konsep suatu keilmuan yang diharapkan.

G. Dakwah dalam Perspektif Metafisika


Metefisika adalah hakikat yang ada di balik sebuah realitas yang secara
appearance dapat diindra. Dengan demikian apa yang realitas itu mempunyai dua
wajah yaitu realitas yang bersifat eksistensial atau wujud yang tanpak dan yang
bersifat esensial atau hakiki yang tidak tanpak. Metafisika dalam hal ini berusaha
memahami tentang sesuatu yang bersifat esensial yang oleh Plato disebut idea yang
diyakininya sebagai pengetahuan yang tak akan pernah berubah dan kekal abadi.
Dengan demikian, dakwah dalam prespektif metafisika adalah ilmu tentang
aktivitas orang beriman dalam merealisasikan ajaran Islam, yang secara transenden
merupakan kewajiban agama. Dengan demikian nilai sakralitas yang merupakan
noumena dan esensi dari dakwah, menuntun fenomena dan eksestensi dari dakwah itu

9
sendiri. Apa yang hakiki dan yang mulya dari dakwah, membimbing dan menyinari
realitas dakwah itu sendiri. Dakwah yang demikian akan mengembalikan kesejukan
dan kedamaian spiritual yang mulai menghilang dalam tataran kehidupan.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kebenaran dalam kegiatan dakwah mempengaruhi kualitas dakwah. Melalui
konsep kebenaran, kegiatan dakwah dibedakan dengan kegiatan bukan dakwah.
Konsep kebenaran tidak melihat baik dan buruk, tetapi memandang benar dan salah.
Suatu kesalahan, betapapun kebaikannya, harus ditinggalkan. Oleh karena itu, tidak
salah bila pendakwah juga dikatakan sebagai pembela kebenaran. Apa yang
disampaikan harus berupa kebenaran. Metode dan medianya harus sesuai dengan
kebenaran. Pendekatan kepada mitra dakwah juga dalam koridor kebenaran
Sebagai kewajiban agama, dakwah merupakan cara Allah Swt dalam
mendelegasikan kepada umatnya untuk menebarkan kesejukan dan kedamain Islam
dalam kehidupan dan karenanya dakwah di tingkat implementatif harus dipijakkan
kepada kehendak-Nya yang secara normatif telah tertuang dalam Al-Quran dan
Hadits. Sebagai sebuah saint, dakwah merupakan aktivitas orang atau orang-orang
beriman untuk meratakan kesejukan dan kedamaian Islam dalam kehidupa dan
karenanya secara ilmiyah, ilmu dakwah harus merupakan perpaduan antara teori
induktif dan deduktif serta berdiri di atas filosofi yang dikehendaki.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan agar makalah ini
dapat disusun menjadi lebih baik lagi dan bermanfaat untuk kalangan banyak.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ali Aziz, Moh. 2009. “Signifikansi Ilmu-ilmu Al-Qur’an untuk Pengembangan Ilmu
Dakwah” dalam Jurnal Islamica.

Anshari, Endang Saepudin. 2004. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1981
_____________. Wawasan Islam; Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma dan
Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Shihab, M. Quraish. 2007. Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur’an. Bandung:
Mizan.

Sholikhin, Muhammad. 2008. Filsafat dan Metafisika dalam Islam. Yogyakarta: Narasi.

12

Anda mungkin juga menyukai