Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TEORI-TEORI DAKWAH LINTAS BUDAYA

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Dakwah Lintas Budaya
Dosen Pengampu : Baiti Awaliyah, M.PD

Disusun oleh

1. M. Faqih Azkian : 2341030019


2. M.Nopal Sawaludin : 2341030008
3. Mindera Wijaya : 2341030021

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PRODI MANAJEMEN DAKWAH
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan Rahmat dan
Hidayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat waktu. makalah ini
berjudul “Teori-teori dakwah lintas budaya” Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas mata Kuliah Dakwah Lintas Budaya,Selanjutnya saya ucapkan
Terima Kasih kepada Ibu Baiti Awaliyah M.Pd sebagai Dosen Mata Kuliah Dakwah
Lintas Budaya yang telah banyak memberikan bantuan dengan arahan dan petunjuk
yang sangat jelas sehingga mempermudah saya menyelesaikan Tugas ini. Terima
Kasih juga kepada teman-teman seperjuangan yang telah mendukung selesainya
Makalah ini tepat waktu. Saya menyadari bahwa Makalah ini Masih jauh dari
sempurna.oleh karena itu, saya sangat terbuka pada kritik dan saran yang membangun,
sehingga Makalah ini bisa lebih baik lagi. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan Ilmu Pengetahuan kita semua.

Bandar Lampung, 24 September 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

MAKALAH TEORI-TEORI DAKWAH LINTAS BUDAYA ............................................. 1


KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
1.1 Latar belakang masalah ....................................................................................................... 4
1.2 Rumusan masalah ................................................................................................................. 6
1.3 Tujuan .................................................................................................................................... 6
BAB II .................................................................................................................................................... 7
1. Definisi islam sebagai agama dakwah ...................................................................................... 7
2. Pengertian Dakwah Lintas Budaya........................................................................................... 7
3. Wilayah kajian dakwah lintas budaya....................................................................................... 8
4. Ragam teori dakwah .................................................................................................................. 9
a. Teori citra Da’i ...................................................................................................................... 9
b. Teori medan dakwah........................................................................................................... 10
c. Teori proses dan tahapan dakwah ..................................................................................... 12
5. Akulturasi budaya jawa sebagai strategi dakwah ................................................................... 13
6. Definisi akulturasi.................................................................................................................... 14
7. Penyebaran dan pelembagaan dakwah di jawa .................................................................. 15
8. Teori komunikasi antar budaya ............................................................................................... 17
BAB III................................................................................................................................................. 19
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 19
B. Saran ......................................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………...20

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW merupakan agama dakwah,
yakni agama yang membawa ajaran-ajarannya untuk disampaikan kepada umat
manusia. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan langsung oleh alQur’an “Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya....(QS. al-Maidah: 67).

Konsekuensi logis dari keberadaan Islam sebagai agama dakwah, maka Islam
membutuhkan sekali eksistensi dan peran dakwah. Dakwah merupakan sarana vital
bagi proses perkembangan dan kemajuan Islam baik pada masa sekarang maupun di
masa yang akan datang. Bahkan, al-Faruqi menyatakan bahwa Islam tidak bisa
menolak dakwah jika Islam memiliki kekuatan intelektual. Menolak dakwah berarti
menolak kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan orang lain terhadap apa yang
diklaim sebagai kebenaran Islam. Tidak menuntut persetujuan berarti tidak serius
dengan klaim itu atau berarti menyatakan klaim itu subyektif, partikularis atau relatif
secara mutlak, karena itu tidak berlaku bagi orang lain selain pembuat klaim itu
sendiri.

Oleh karena itu, dakwah merupakan sebuah keharusan bagi umat Islam. Apalagi
setelah Rasulullah wafat, kewajiban dakwah menjadi sebuah keniscayaan dan menjadi
doktrin Ilahiah yang dinyatakan langsung di dalam al-Qur’an surat alImran ayat 104
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung”. Bagi seorang muslim, dakwah merupakan
darah bagi tubuhnya. Artinya dakwah merupakan keharusan bagi seorang muslim
untuk melaksanakannya.

Dakwah, menurut M. Qurash Syihab, adalah seruan atau ajakan kepada keinsafan
atau usaha mengubah situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi
maupun masyarakat. Manifestasi dakwah Islam dapat dilihat dari mempengaruhi cara
berpikir, bersikap, dan bertindak dalam kaitannya dengan kehidupan pribadi dan
sosial. Disini keberadaan dakwah Islam senantiasa dihadapkan kepada realitas sosial
yang mengitarinya. Dalam menyikapi hal tersebut, maka dakwah Islam paling tidak
diharapkan berperan dalam dua arah. Pertama, mampu memberikan out put terhadap
masyarakat dalam arti memberikan dasar filosofi, arah dan dorongan untuk
membentuk realitas baru yang lebih baik.

Kedua, dakwah Islam harus dapat mengubah visi kehidupan sosial dimana sosio
kultural yang ada tidak hanya dipandang sebagai suatu kelaziman saja, tetapi juga
dijadikan kondusif bagi terciptanya baldatun tayyibatun wa rabbun ghofuur.

4
Dakwah di sini dikhususkan dalam pembahasan dakwah lintas budaya, yaitu proses
dakwah yang melibatkan pelaku dakwah atau da’i dan objek dakwah atau mad’u dari
budaya yang berbeda. Proses dakwah yang berbeda dari latar belakang budaya antara
da’i dan mad’u harus menjadi perhatian khusus. Seorang da’i yang terjun di dalam
masyarakat yang majemuk harus memperhatikan hal-hal yang menjadi unsur-unsur
dalam berdakwah. Selain itu, pendekatan secara psikologis dirasa perlu supaya antara
da’i dan mad’u tidak ada jarak dan bisa memahami mad’u secara sosial emosi.

Dasar ayat dalam dakwah lintas budaya bisa diambil dalam AlQur’an surat Al-
Hujurat ayat 13, yang menjelaskan bahwa Allah SWT tidak membedakan antara umat
yang satu dengan yang lain. Pada hakikatnya semua umat ciptaan-Nya sama, yang
membedakan hanyalah keimanan dan ketaqwaan pada Allah SWT. Dari ayat tersebut
seorang da’i bisa mengambil pelajaran, ketika berdakwah hendaknya tidak melihat
mad’u dari harkat, martabat maupun sosial budaya. Inti dari berdakwah yaitu
mengajak dan mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat umum.

Proses dakwah lintas budaya tidak bisa lepas dari proses komunikasi lintas budaya,
yang mana keduanya itu saling berhubungan. Di dalam dakwah lintas budaya
mengenal beberapa teori untuk interaksi antara da’i dan mad’u. Teori-teori tersebut
yaitu :

1. Resistance Theory (Teori Resistensi) atau teori penolakan. Dasar asumsi teori
ini adalah bahwa setiap aktivitas dakwah akan selalu menghadapkan variabel
da’i dan mad’u. Ketika interaksi terjadi penentangan bahkan sikap dan respons
penolakkan tak terelakan khususnya penolakan dari mad’u. Penolakkan
tersebut adalah konsekuensi logis akibat proses difusi budaya dari budaya yang
berbeda. Ada beberapa kemungkinan apabila teori resistensi ini terjadi.
Misalnya, terjadi gejolak budaya pada level mad’u begitu juga gejolak pada diri
sang da’i, atau terjadi gejolak antara da’i dan mad’u dalam suatu kondisi.
Terjadi dominasi salah satu kekuatan gagasan dan budaya baik pada da’i
maupun mad’u.

2. Acculturation Theory (teori akulturasi) atau teori percampuran. Dalam dasar


ayat dakwah lintas budaya jelas memberi pengertian bahwa Allah menciptakan
manusia dari berbagai suku dan bangsa, ras, bahasa bahkan agama agar saling
mengenal dan tukar informasi, prestasi, saling berdialog, dan bekerja sama.
Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka sudah menjadi fitrah bahwa
manusia saling kontak dan berkomunikasi. Dalam proses komunikasi inilah
manusia saling melempar latar belakang budaya yang telah mereka pelajari
menjadi suatu budaya sebagai identitasnya. Dari landasan teori ini,
percampuran budaya karena interaksi manusia akan kehadiran bentuk budaya
baru merupakan suatu keniscayaan.
3. Receptie Theory (teori resepsi), yaitu menerima sepenuhnya atau menerima
sebagian gagasan budaya yang lain dan baru harus menjadi budaya masyarakat
setempat terlebih dahulu adalah landasan utama teori ini. Penerimaan bisa

5
terjadi karena gagasan dan budaya baru itu dianggap lebih baik dan
menjanjikan terhadap perbaikan nasib hidup masyarakat. Standar suatu budaya
masyarakat itu dianggap baik adalah apabila gagasan dan budaya itu telah teruji
pada praktik masyarakat nyata. Karena penerimaan suatu budaya kemungkinan
terjadi pada masyarakat mad’u yang jauh lebih mapan dan maju, kemudian
diikuti dan diitiru oleh masyarakat lainnya dengan motivasi yang sama.
Peniruan adalah langkah awal umumnya penerimaan suatu budaya baru atau
budaya lain yang kemudian dipraktikkan.

4. Complementary Theory (teori komplementer), yaitu pembaharuan budaya


masyarakat. Dewasa ini tak sepenuhnya suatu budaya baru atau budaya lain
dapat diterima pihak suatu masyarakat (dependent) dengan mulus bahkan bisa
terjadi penolakkan. Akan tetapi penolakkan tidak akan berlangsung lama,
lambat laun, setahap demi setahap, sebagian budaya luar dan baru itu diterima
bahkan dijadikan model dalam hubungan interaksi antarmasyarakat. Sehingga,
budaya baru atau budaya lain itu dengan cepat diterima oleh masyarakat.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana konsep-konsep teori akulturasi lintas budaya dapat diterapkan


dalam konteks dakwah lintas budaya?
2. Bagaimana teori komunikasi antar budaya dapat digunakan untuk merancang
strategi dakwah yang efektif dalam menyampaikan pesan lintas budaya?
3. Bagaimana teori-teori dakwah lintas budaya dapat membantu dalam merancang
program dakwah yang inklusif dan mendukung keragaman budaya?

1.3 Tujuan

1. Mengidentifikasi dan menganalisis konsep-konsep teori komunikasi lintas


budaya yang dapat diterapkan dalam upaya dakwah lintas budaya.
2. Meneliti apakah terdapat perbedaan signifikan dalam penerimaan pesan
dakwah lintas budaya antara masyarakat yang memiliki budaya yang berbeda
berdasarkan teori dimensi tinggi dan rendah.

6
BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi islam sebagai agama dakwah

Islam sebagai agama dakwah Merujuk pada konsep bahwa ajaran Islam tidak hanya
diterapkan secara pribadi, tetapi juga memiliki dimensi penyebaran dan penyiaran
kepada orang lain. Agama ini mendorong umatnya untuk berpartisipasi aktif dalam
menyampaikan prinsip-prinsip dan ajaran Islam kepada individu atau masyarakat yang
belum mengenal atau memahami agama tersebut. Tujuan utama dakwah dalam Islam
adalah untuk mengedepankan pemahaman dan penerimaan terhadap nilai-nilai Islam
sebanyak mungkin orang.

Dakwah dapat dilakukan melalui berbagai cara, termasuk pengajaran, diskusi,


pemberian contoh melalui perilaku, serta penggunaan media dan teknologi modern.
Konsep ini menekankan pentingnya peran setiap individu Muslim dalam menyebarkan
ajaran Islam sebagai bagian dari kewajiban agama mereka untuk membimbing dan
membantu orang lain menuju pemahaman dan penerimaan Islam.

Dalam konteks akulturasi budaya, Islam sebagai agama dakwah memungkinkan


proses integrasi dan perpaduan antara ajaran agama dengan nilai-nilai budaya lokal.
Hal ini tidak berarti menggantikan budaya setempat, melainkan menciptakan suatu
keselarasan dalam mana ajaran Islam dapat diterima dan diimplementasikan dalam
konteks kebudayaan yang ada. Oleh karena itu, melalui proses dakwah, terjadi
dinamika saling pengaruh antara ajaran Islam dan budaya setempat, menciptakan
akulturasi budaya yang memungkinkan keberagaman tetap terjaga. Contohnya, dalam
bentuk seni, arsitektur, atau tradisi lokal yang diakomodasi dan diintegrasikan dengan
prinsip-prinsip Islam tanpa menghilangkan identitas budaya asli.

2. Pengertian Dakwah Lintas Budaya

Dakwah Lintas Budaya Merujuk pada penelaahan proses berdakwah yang


mengajak individu untuk menyampaikan pesan-pesan agama Islam dan perilaku
Islami, sesuai dengan konsep budaya yang tengah berkembang di lingkungan
masyarakat. Inti dari dakwah Lintas Budaya terletak pada kemampuan kita dalam
menyampaikan ajaran agama dengan menggunakan budaya sebagai materi, metode,
alat, dan strategi, yang selaras dengan kondisi budaya dari pihak yang menjadi sasaran
dakwah (mad'u). Hal ini mendasarkan pada pemahaman bahwa setiap individu,
tempat, wilayah, dan lingkungan memiliki kerangka sosial budaya yang unik,
sehingga pendekatan dakwah harus disesuaikan dengan kekhasan kondisi sosial
budaya tersebut.

7
Dalam hakikatnya, dakwah Lintas Budaya menuntut kesesuaian dalam pendekatan
berdakwah, di mana penggunaan budaya menjadi bagian integral dari strategi dakwah.
Pendekatan ini diarahkan untuk menjembatani perbedaan kondisi sosial budaya,
penyesuaian keberagaman, dan memastikan bahwa pesan-pesan agama Islam dapat
diterima dan dipahami dengan baik oleh masyarakat sasaran. Oleh karena itu,
pendekatan dakwah Lintas Budaya menjadi krusial karena memahami dan
menghormati konteks masyarakat setempat merupakan kunci keberhasilan dalam
menyampaikan ajaran agama kepada beragam kelompok dan komunitas.

3. Wilayah kajian dakwah lintas budaya

Wilayah kajian dalam Dakwah lintas Budaya yakni mencakup berbagai bentuk
Interaksi beberapa kebudayaan. Baik itu dalam bidang antropologi budaya, sosial,
politik, ekonomi, filsafat, sastra, bahasa, musik, dan media massa. Selain itu
perbedaan budaya, persinggungan budaya yang memicu proses inkulturasi, akulturasi,
asimilasi. Itu juga merupakan wilayah kajian dalam dakwah Lintas Budaya. Karena
dakwah itu juga harus disesuaikan dengan kondisi setempat. Sebagaimana diterangkan
dlm QS. Ibrahim:4 yang berbunyi:

ِ ‫ان قَ ْو ِم ِهۦ ِليُ َب ِينَ لَ ُه ْم ۖ فَي‬


‫ُضل ٱ َّّللُ َمن َيشَا ُء َو َي ْهدِى َمن‬ ِ ‫س‬َ ‫سول ِإ َّّل ِب ِل‬ ُ ‫س ْلنَا ِمن َّر‬ َ ‫َو َما أ َ ْر‬
‫يز ٱ ْل َح ِكي ُم‬
ُ ‫َيشَا ُء ۚ َو ُه َو ٱ ْل َع ِز‬

Artinya: Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa


kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka
Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa
yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.

Dari firman Allah tersebut, “Bahasa kaumnya” dalam ayat ini tidak terbatas hanya
pada segi bahasa. Akan tetapi juga dikaitkan dengan keadaan, kondisi dan budaya
setempat. Maka Rasul yang di utus oleh Allah dalam menyampaikan dakwahnya
strateginya disesuaikan dengan kultur budaya setempat. Sebagaimana cara
berdakwahnya Nabi Nuh, Nabi Musa dengan Nabi Muhammad terdapat beberapa
perbedaan dalam pola strategi . Karena tantangan yang dihadapi bentuknya berbeda-
beda dengan kondisi kaumnya yang berbeda pula. Akan tetapi terdapat persamaan
tujuan Dakwah tersebut. Yakni mengajak kepada ketauhidan dengan menyembah
Allah semata.

Selain itu wilayah kajian dari Dakwah lintas budaya ini juga tidak hanya
menganalisis perbedaan akan tetapi juga persamaannya yang tentunya dari persamaan-
persamaan tersebut terdapat celah-celah untuk lebih mudah dalam menyampaikan
risalah Islam. Melalui berbagai pendekatan Psikologis, Sosiologis dan Lintas Budaya.

8
4. Ragam teori dakwah

Dalam pengembangan dakwah sebagai ilmu terasa sangat tidak mungkin tanpa
dibarengi dengan adanya penemuan dan pengembangan kerangka teori dakwah.
Dengan ditemukannya teori – teori dakwah yang telah menyebabkan keberhasilan
dakwah masa lalu( dengan penelitian reflektif- penafsiran maudhu’i ) dapat di uji
kembali relevensi teori dengan fakta dakwah yang ada pada saat sekarang (dengan
metode riset dakwah partisipatif) dan kemungkinan yang akan terjadi dimasa depan
(dengan metode riset kecenderungan gerakan dakwah).

a. Teori citra Da’i

Makna dakwah tidak hanya sekedar menyeru atau mengajak manusia, tetapi juga
mengubah manusia sebagai pribadi maupun kelompok agar dapat tumbuh dan
berkembang sesuai dengan fitrahnya. Dalam rangka menegakkan dakwah sehingga
ajaran Islam diketahui, dipahami,dihayati dan dilaksanakan oleh umat diperlukan juru
dakwah yang berkualitas. Juru dakwah tersebut adalah orang yang mengerti hakikat
islam dan mengetahui apa yang sedang berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Keberhasilan kegiatan dakwah sangat ditentukan oleh kualitas dan kepribadian
seorang da’i. Dengan kualitas dan kepribadian tersebut seorang da’I akan
mendapatkan kepercayaan dan citra yang positif di mata mad’u baik individu atau
masyarakat.

Citra yang berhubungan dengan seorang da’I dalam perspektif komunikasi sangat
erat kaitanya dengan kredibilitas yang dimilikinya. Kredibilitas sangat menentukan
citra seseorang. Teori citra da’I menjelaskan penilaian mad’u terhadap kredibilitas da’I
apakah da’I mendapat penilaian positif atau negatif, dimata mad’unya. Persepsi mad’u
baik positif maupun negatif sangat berkaitan erat dengan penentuan penerimaan
informasi atau pesan yang disampaikan da’i. Semakin tinggi kredibilitas da’I maka
semakin mudah mad’u menerima pesan-pesan yang disampaikannya, begitu juga
sebaliknya. Kredibilitas seseorang tidak tumbuh dengan sendirinya, tidak secara
instan, tetapi harus dicapai melalui usaha yang terus menerus, harus dibina dan
dipupuk, serta konsisten sepanjang hidup. Dakwah dalam salah satu bentuknya
melalui lisan, ada empat cara seorang da’I dinilai oleh mad’unya :

Seorang da’I dinilai dari reputasi yang mendahuluinya, apa yang sudah seorang
da’I lakukan dan memberikan karya-karya, jasa dan sikap akan memperbaiki atau
menghancurkan reputasi seorang da’i. Mad’u menilai da’I melalui informasi atau
pesan-pesan yang disampakan seorang da’i. Cara memperkenalkan diri seorang da’I
juga berpengaruh dengan pandangan kredibilitas seorang da’I oleh mad’u. Ungkapan
kata-kata yang kotor, tidak berarti atau rendah menunjukan kualifikasi seseorang. Cara
penyampain pesan dari da’I kepada mad’u sangat penting untuk pemahaman pesan
yang ditangkap mad’u, sebab apabila cara penyampaiannya tidak sistematis maka
akan kurang efektif di mata mad’u. Penguasaan materi dan metodologi juga kemestian
yang harus dimiliki seorang da’i. Dari cara-cara diatas menyimpulkan bahwa seorang
da’I harus sikap yang baik agar menjadi suri tauladan bagi mad’unya, bahkan dari cara

9
memperkenalkan dirinyapun dinilai, bertutur kata yang baik, menyampaikan pesan
dengan sistematis, efektif dan memiliki penguasaan materi, seperti dalam firman Allah
surat At-Taubah : 122

َ ‫َو َما َكانَ ٱ ْل ُمؤْ ِمنُونَ ِليَن ِف ُروا َكافَّة ۚ فَلَ ْو َّل نَفَ َر ِمن ُك ِل فِ ْرقَة ِم ْن ُه ْم‬
‫طائِفَة ِليَتَفَقَّ ُهوا فِى‬
َ‫ِين َو ِليُنذ ُِروا قَ ْو َم ُه ْم ِإذَا َر َجعُوا ِإلَ ْي ِه ْم لَ َعلَّ ُه ْم يَحْ ذَ ُرون‬
ِ ‫ٱلد‬
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.

Kredibilitas juga erat kaitannya dengan kharisma, walau demikian kredibilitas


dapat ditingkatkan sampai batas optimal. Seorang da’I yang berkredibilitas tinggi
adalah seseorang yang mmepunyai kopetensi di bidangnya, integritas kepribadian,
ketulusan jiwa, serta mempunyai status yang cukup walau tidak harus tinggi. Apa
kredibilitas ini dimiliki seorang da’I, maka da’I tersebut akan memiliki citra positif
dihadapan mad’unya. Dalam rangka mengoptimalkan kredibilitas dan membangun
citra positif seorang da’I perlu melingkupi tiga dimensi diantaranya yaitu :

• Kebersihan batin
• Kecerdaasan mental
• Keberanian mental

Rasulullah Muhammad SAW sosok figur da’I yang paling ideal, Beliau memiliki
ketiga kriterian di atas. Sehingga beliau memiliki citra positif di masyarakat. Beliau
selalu memberikan solusi yang adil ketika terjadi perselisihan. Ketika diangkat
menjadi Rasul beliau menjadi suri tauladan dalam berbagai aspek seperti aqidah,
ibadah, muamalah dan akhlaq, terpancar kesejatian, menjadi figur nyata bagi
masyarakatnya, dan segala kesempuranaan yang dimilikinya, beliau mampu menjadi
pemimpin agama sekaligus negara. Kurang dari 23 tahun beliau mampu melakukan
perubahan dari kejahiliahan kepada peradaban dunia yang tinggi.

b. Teori medan dakwah

Teori medan dakwah adalah teori yang menjelaskan situasi teologis, kultural dan
struktural mad’u saat pelaksanaan dakwah islam. Dakwah islam adalah sebuah ikhtiar
Muslim dalam mewujudkan islam dalam kehidupan pribadi , keluarga, komunitas, dan
masyarakat dalam semua segi kehidupan sampai terwujudnya masyarakat yang terbaik
atau dapat disebut sebagai khairul ummah yaitu tata sosial yang mayoritas
masyarakatnya beriman, sepakat menjalan dan menegakkan yang ma’ruf dan secara
berjamaa’ah mencegah yang munkar.

10
Setiap Nabiyullah daalam melaksanakan dakwah selalu menjumpai system dan
struktur masyarakat yang di dalamnya sudah ada al-mala yaitu penguasa masyarakat,
al-mutrafin yaitu penguasa ekonomi masyarakat konglomerat dan kaum al-
mustad’afin yaitu masyarakat yang umumnya tertindas atau di lemahkan hak-haknya.

Keinginan subjektif manusia atau disebut dengan nafsu yang menentukan semua
orientasi hidup biasanya dominan oleh keinginan subjektif al-malanya. Secara
Sunnatullah kekuasaan dalam masyarakat akan didominasi oleh seseorang atau
sekelompok orang yang dipandang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu menurut
masyarakat yang bersangkutan sampai membentuk kepemimpinan masyarakat yang
sah. Kekuatan dan kepemimpinan masyarakat akan mudah goyah jika tidak
memperoleh dukungan kaum aghniya yang mengendalikan roda perekonomian
masyarakat. Pola kerja sama antara kaum al-mala dan al-mutrafin melahirkan kaum
al-mustad’afin yang mereka adalah kaum yang serba kekurangan yang direkayasa
untuk tetap lemah. Dari struktur sosial di atas ketika merespon dakwah para Nabiullah
memiliki kecenderungan bahwa kaum al-mala dan al-mutrafin selalu menolak dakwah
islam.

Respon positif dalam dakwah islam biasanya diperoleh dari kaum al-musthad’afin.
Hal tersebut disebabkan oleh posisi mereka yang dilemahkan hak-haknya dan
kejernihan hatinya yang sedikit berpeluang melakukan kejahatan secara sengaja telah
menyebabkan hati mereka mudah menerima dakwah islam. Dalam menghadapi segala
bentuk struktur masyarakat seperti kaum al-mala, al-mutrafin, dan al-mustad’afin
dalam medan dakwah seorang da’I perlu menerapkan etika-etika sebagia berikut:

• Ilmu

Hendaknya memiliki pengetahuan amar ma’ruf nahi munkar dan perbedaan diantara
keduanya. Yaitu memiliki pengeetahuan tentang orang-orang yang menjadi sasaran
perintah (amar) meupun orang-orang yang menjadi objek cegah (nahi). Alangkah
indahnya apabila amar ma’ruf dan nahi mungkar didasari dengan ilmu semacam ini,
yang dengannya akan menunjukkan orang ke jalan yang lurus dan dapat
mengantarkan mereka kepada tujuan.

• Rifq (lemah lembut)

Hendaklah memiliki jiwa rifq, sebagaimana sabda Rasulullah Saw


“Tidaklah ada kelemah lembutan dalam sesuatu kecuali menghiyasinya dan tidaklah
ada kekerasan dalam sesuatu kecuali memburukannya” (HR. Muslim)

• Sabar

Hendaklah bersabar dan menahan diri dari segala perlakuan buruk. Karena tabiat jalan
dakwah memang demikian. Apabial seorang da’I tidak memiliki kesabaran dan
menahan diri, ia akan lebih banyak merusak dari pada memperbaiki. Sebagaimana
firman Allah SWT :

11
‫صا َب َك ۖ ِإ َّن َٰذَ ِل َك‬
َ َ ‫علَ َٰى َما أ‬ ْ ‫ع ِن ٱ ْل ُمن َك ِر َوٱ‬
َ ‫ص ِب ْر‬ ِ ‫صلَ َٰوة َ َوأْ ُم ْر ِبٱ ْل َم ْع ُر‬
َ َ‫وف َوٱ ْنه‬ َّ ‫ى أ َ ِق ِم ٱل‬َّ َ‫َٰ َيبُن‬
‫ور‬ِ ‫ع ْز ِم ٱ ْْل ُ ُم‬ َ ‫ِم ْن‬
Artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah).

Dari itu Allah swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya, yang mereka adalah penghulu
para da’I dan pelopor amar ma’ruf nahi mungkar, untuk senantiasa bersabar.

c. Teori proses dan tahapan dakwah

Ada beberapa tahapan dakwah Rasulullah dan para sahabatnya yang dapat
dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama, tahap pembentukan (takwin). Kedua,
tahap penataan (tandhim). Ketiga, tahap perpisahan dan pendelegasian amanah
dakwah kepada kepada generasi penerus. Pada setiap tahapan memiliki kegiatan
dengan tantangan khusus dengan masalah yang dihadapi. Dalam hal ini dapat
dinyatakan ada beberapa model dakwah sebagai proses perwujudan realitas
ummatan khairan.

▪ Model Dakwah dalam Tahap Pembentukan (Takwin)

Pada tahapan ini kegiatan utamanya adalah dakwah bil lisan (tabligh) sebagai
ihtiar sosialisasi ajaran tauhid kepada masyarakat Makkah. Interaksi Rasulullah
Saw dengan mad’u mengalami ekstensi secara bertahap: keluarga terdekat,
ittishal fardhi dan kemudian kepada kaum musyrikin, ittishal jama’i. Sasarannya
bagaimana supaya terjadi internalisasi Islam dalam kepribadian mad’u,
kemudian apa yang sudah diterima dan dicerna dapat diekspresikan dalam
ghirah dan sikap membela keimanan (akidah) dari tekanan kaum Quraisy.
Hasilnya sangat signifikan, para elite dan awam masyarakat menerima dakwah
Islam.

▪ Tahap Penataan Dakwah (Tandzim)

Tahap tanzhim merupakan hasil internalisasi dan eksternalisasi Islam dalam bentuk
institusionalisasi Islam secara komprehensip dalam realitas sosial. Tahap ini diawali
dengan hijrah Nabi Saw ke Madinah (sebelumnya Yastrib). Hijrah dilaksanakan
setelah Nabi memahami karakteristik sosial Madinah baik melalui informasi yang
diterima dari Mua’ab Ibn Umair maupun interaksi Nabi dengan jama’ah haji peserta
Bai’atul Aqabah. Dari strategi dakwah, hijrah dilakukan ketika tekanan kultural,
struktural, dan militer sudah sedemikian mencekam, sehingga jika tidak dilaksanakan
hijrah, dakwah dapat mengalami involusi kelembagaan dan menjadi lumpuh.

12
Hijrah dalam proses dakwah Islam menjadi sunnatullah. Mad’u (masyarakat) diajak
memutus hubungan dari lingkungan dan tata nilai yang dhalim sebagai upaya
pembebasan manusia untuk menemukan jati dirinya sebagaimana kondisi fitrinya
yang telah terendam lingkungan sosio-kultural yang tidak Islami. Hal ini berarti
merupakan peristiwa “menjadi” muslim dalam sejarah sebagai perwujudan “muslim”
dalam dunia fitri. Semuanya menunjukkan bahwa tanpa hijrah secara komprehensif
maka kegiatan dakwah kehilangan akar alamiahnya: kembali ke fitri.

▪ Tahap Pelepasan dan Kemandirian

Pada tahap ini ummat dakwah (masyarakat binaan Nabi Saw) telah siap menjadi
masyarakat yang mandiri dan, karena itu, merupakan tahap pelepasan dan perpisahan
secara manajerial. Apa yang dilakukan Rasulullah Saw ketika haji wada’ dapat
mencerminkan tahap ini dengan kondisi masyarakat yang telah siap meneruskan
Risalahnya.

▪ Teori Analisa Sistem Dakwah

Penulis secara khusus meneliti dakwah islam dengan pendekatan teori sistem umum
(The general system theory) yang hasilnya antara lain menyatakan :

1) Dakwah Islam adalah suatu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem yang
saling berhubungan,bergantung dan berinteraksi dalam mencapai tujuan
dakwah.
2) Dakwah Nabi Muhammad SAW berjalan menurut alur sistem dakwah yang
diarahkan Allah SWT yang menjadi sunnah Allah yang berlaku dalam dakwah
islam yang bersifat tetap,obyetktif dan universal.
3) Dakwah Islam sebagai suatu sistem yang memiliki masukan utama berupa
materi pokok dakwah dari wahyu Allah (Al-Qur'an) dan As-Sunnah. Ketika
mengkonversikan keluaran menjadi, baik dalam ranah pribadi, keluarga,
kelompok, masyarakat, dan negara, telah menimbulkan kemelut dan goncangan
sosial yang besar di tengah tata sosial, budaya, dan peradaban yang telah
mapan di tengah masyarakat.
4) Momentum berkembangnya dakwah islam adalah karena adanya keluaran
berupa negara yang menjadikan syari’ah sebagai otoritas tertinggi dalam
menilai dan mengatur kehidupan masyarakat dan negara.

5. Akulturasi budaya jawa sebagai strategi dakwah

Budaya telah menjadi bagian integral dari masyarakat Indonesia sebelum masuknya
Islam, terutama di lingkungan komunitas Hindu-Budha di mana Islam belum dikenal.
Sejumlah kelompok masih memegang keyakinan animisme dan dinamisme.
Khususnya di masyarakat Jawa, yang memiliki nuansa mistis yang masih sering
diamalkan. Pembagian budaya dapat dilihat dalam tiga fase, yakni budaya Jawa pra
Hindu-Budha, di mana struktur masyarakat pada periode tersebut terutama didasarkan

13
pada hukum adat dan sistem keagamaan animisme dinamisme, yang menjadi inti
budaya yang mendominasi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Keterikatan yang
kuat pada hukum adat membuat masyarakatnya bersifat statis dan konservatif. Pada
fase budaya Hindu Jawa, terlihat pengaruh kuat dari budaya India (Hindu). Pengaruh
Hindu-Buddha di masyarakat Jawa bersifat ekspansif, dan proses akulturasi membawa
dampak tidak hanya pada sistem budaya, tetapi juga mempengaruhi aspek keagamaan.

Ketika Islam belum mencapai Indonesia, kebudayaan di negeri ini sudah


berkembang dan bahkan menjadi tradisi bagi beberapa suku, seperti budaya Jawa.
Budaya Jawa telah ada sejak sebelum Islam tiba, dengan masyarakat Jawa yang masih
mempercayai unsur mistis, mengikuti aliran animisme dan dinamisme. Mereka
berpendapat bahwa nenek moyang adalah pemimpin spiritual, dan berbagai tradisi
seperti selametan dan ruwatan dilakukan untuk meminta keselamatan dan
perlindungan dari berbagai bencana.Namun, ketika Islam akhirnya tiba di Indonesia,
prosesnya berlangsung secara bertahap. Masyarakat secara perlahan dipengaruhi oleh
dakwah para wali yang menyampaikan ajaran Islam melalui kebudayaan, termasuk
seni pewayangan. Ini akhirnya berhasil menarik minat masyarakat untuk memeluk
Islam tanpa menghilangkan tradisi-tradisi sebelumnya. Sebaliknya, terjadi pelestarian
di mana tradisi-tradisi tersebut tetap ada namun dengan nuansa keagamaan yang lebih
kuat.

6. Definisi akulturasi

Akulturasi merujuk pada penggabungan unsur-unsur budaya yang berbeda untuk


membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan identitas kebudayaan asli.
Berbeda dengan asimilasi, yang melibatkan penggabungan dua kebudayaan baru
dengan menghilangkan kebudayaan yang sudah ada. Sebagai contoh akulturasi
budaya, dapat contohkan perpaduan antara musik Melayu dan musik Spanyol, yang
menghasilkan musik keroncong. Musik keroncong merupakan gabungan dari kedua
jenis musik tersebut namun tetap mempertahankan ciri khasnya. Sebagai contoh
akulturasi di Indonesia, dapat dilihat dalam sistem dakwah melalui wayang dan seni
bangunan masjid dengan atap tumpang. Ini menunjukkan adanya akulturasi antara
Islam dan budaya Hindu. Peran Kebudayaan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. suatu hubungan pedoman antar manusia atau kelompoknya.
b. Wadah untuk menyalurkan perasaan dan kemampuan-kemampuaan lain.
c. Sebagai pembimbing kehidupan dan penghidupan manusia.
d. Pembeda manusia dan binatang.
e. Petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harusbertindak dan berprilaku
di dalam pergaulan.
f. Pengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana harus bertindak, berbuat.
g. Sebagai modal dasar pembangunan.

14
7. Penyebaran dan pelembagaan dakwah di jawa

Islam tiba, berkembang, dan mengakar di Nusantara melalui proses yang


panjang. Pergumulan dalam proses Islamisasi di Nusantara setidaknya menghasilkan
empat teori besar tentang asal-usul, waktu, dan tempat masuknya serta perkembangan
Islam di Nusantara.

• Teori pertama menyatakan bahwa Islam datang dari anak benua


India. Teori ini awalnya diperkenalkan oleh GWJ Drewes, kemudian
dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Drewes beralasan bahwa orang-orang
Arab bermazhab Syafi'I yang menetap di Gujarat dan Malabar,
mengembangkan Islam di Nusantara. Paling tidak, indikator yang jelas adalah
kesamaan antara orang Islam yang menetap di Malabar dan Gujarat dengan
terdapat orang Islam Nusantara.
• Teori kedua menyatakan bahwa Islam masuk ke nusantara berassal dari
Bengal, sebagaimana dikemukakan oleh SQ Fatimi. ia beranggapan bahwa
teori batu nisan di makam Malik al-shalih sama sekali berbeda dengan makan
yang ada di Gujarat. Akan tetapi, batu nisan Fatimah binti maimun di leran
jawa timur bertahun 475 H/1082 M, justru memiliki kesamaan batu nisan di
Bengal. Teori ini mengandung kelemahan, sebab antara Bengal dan nusantara
terdapat perbedaan mazhab, yaitu wilayah di Bengal bermazhab hanafihingga
muslim di nusantara bermazhab syafi'i.
• Teori ketiga menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui
Colomader dan Malabar. Sejarahwan yang berpendapat demikian adalah
Thomas W. Arnold. Ia berpendapat wilayah ini memiliki kesamaan mazhab
dengan wilayah Nusantara pada waktu itu. Teori ini mendapat dukungan dari
Morrison, yang berpendapat bahwa tidak mungkin Islam datang ke Nusantara
dari Gujarat, karena secara politis tidak mungkin Gujarat menjadi sumber
penyebaran pada saat itu, karena belum menjadi pusat perdagangan yang
menghubungkan antara wilayah Nusantara dengan wilayah Timur Tengah.
• Teori keempat menyatakan bahwa Islam berasal dari sumber aslinya,
yaitu Arab. Sejarahwan Asia Tenggara yang menyatakan teori ini adalah
Naquib al-Attas. Teori ini beranggapan bahwa untuk melihat Islam di Asia
Tenggara itu datang dari mana, maka yang harus dipertimbangkan adalah
kajian terhadap teks-teks atau sastra Islam Melayu Indonesia dan sejarah
panjang Melayu terhadap berbagai istilah atau konsep kunci yang digunakan
oleh para penulis Islam di Asia Tenggara pada abad ke-10-11 H/16-17 M.
Pendapat ini selaras dengan hasil kesimpulan seminar sejarah masuknya Islam
di Indonesia di Aceh, yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia
melalui saluran langsung dari Arab abad pertama Hijriyah, dan daerah-daerah
yang awalnya masuk Islam adalah Aceh.

Dakwah Islam dapat dilihat melalui interaksi dengan lingkungan sosial budaya
setempat, berkembang dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan nonkompromis
dan pendekatan kompromis. Pendekatan nonkompromis Merujuk pada dakwah
Islam yang tetap mempertahankan identitas agama dan tidak bersedia menerima

15
budaya luar kecuali jika budaya tersebut sejalan dengan ajaran Islam. Sementara
itu, pendekatan kompromis, yang juga dikenal sebagai pendekatan akomodatif,
merupakan suatu usaha untuk menciptakan suasana damai dan toleran, di mana
umat Islam bersedia hidup berdampingan dengan pengikut agama dan tradisi lain
yang berbeda, tanpa menyumbangkan prinsip agama dan tradisi masing-masing
(pendekatan budaya).

Dalam melakukan dakwah, para wali cenderung memilih pendekatan


kompromis, mengingat adanya tradisi nenek moyang masyarakat Jawa yang
menjadi latar belakang mereka. Para wali memulai upaya dakwahnya di kalangan
masyarakat yang lebih rendah melalui daerah pesisir yang berada jauh dari
pengaruh Majapahit. Para wali bersama dengan masyarakat pedesaan membangun
tradisi atau budaya baru, dengan pesantren sebagai basis kekuatan. Pembentukan
kekuatan ini akhirnya mampu bersaing dengan kekuatan dan kebesaran kerajaan
Jawa Hindu yang lambat laun mengalami penurunan dan pada akhirnya mengalami
keruntuhan.

Deskripsi tentang kehidupan manusia dalam mencari Tuhan sering kali


disimbolkan melalui pertunjukan wayang. Pertunjukan wayang tersebut umumnya
mengangkat lakon-lakon yang mencerminkan ajaran-ajaran syariat, dengan tujuan
membawakan penonton ke dalam nuansa keagamaan. Oleh karena itu, wayang
dianggap sebagai bagian dari upacara keagamaan yang bertujuan mengajarkan
prinsip-prinsip ilahi. Seorang dalang dalam pertunjukan wayang diibaratkan
sebagai figur yang dapat memerankan peran dan menentukan nasib para tokoh
(wayang). Representasi ini diartikan secara ortodoks sebagai deskripsi puitis
mengenai takdir.

Kedatangan Islam membawa perubahan signifikan dalam masyarakat dan


mengalihkan bentuk sosial menuju ke arah yang lebih baik. Sebagai contoh, Sunan
Kalijaga, dalam usahanya untuk Islamisasi tanah Jawa, menggunakan pendekatan
budaya dengan memanfaatkan seni pewayangan untuk menentang feodalisme yang
ada di Kerajaan Majapahit. Dalam seni pewayangan, ia berupaya menggunakan
unsur lokal sebagai media dakwah, mengadakan perubahan pada lakon, fisik, dan
alat-alat pertunjukan. Keahlian kreatif Sunan Kalijaga dalam menciptakan
pertunjukan wayang akhirnya berhasil menarik minat masyarakat untuk
menyaksikan pertunjukan tersebut. Akibatnya, mereka kemudian bersedia
memeluk agama Islam, sesuai dengan syarat yang dianjurkan oleh Sunan Kalijaga,
yaitu dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Strategi dakwah Sunan Kalijaga
melalui seni wayang terbukti efektif, memungkinkan Islam tersebar luas, karena
Islam pada dasarnya dapat menunjukkan wajahnya yang akomodatif.

Menurut Babad Janah Djawi, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh
Wali Songo, yaitu sembilan tokoh seperti Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik),
Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Surabaya, Makdhun Ibrahim (Sunan Bonang),
Sunan Drajat, Sunan Giri atau Raden Paku yang menciptakan nyanyian
Asmarandana, Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq, Sunan Muria atau Raden Prawoto

16
yang menggubah lagu-lagu Jawa seperti Sinom atau Kinanthi, Sunan Gunung Jati
atau Syarif Hidayatullah, dan Sunan Kalijaga atau Raden Syahid. Sejak saat itu,
terjadi peralihan dari zaman Hindu-Budha ke zaman para wali (zaman Kejawen).

8. Teori komunikasi antar budaya

Komunikasi antar budaya adalah proses komunikasi yang terjadi antara orang-
orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, baik itu perbedaan ras,
etnik, sosial ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan tersebut. Kebudayaan
merupakan cara hidup yang berkembang dan dianut oleh masyarakat serta
berlangsung dari generasi ke generasi. Komunikasi antar budaya melibatkan berbagai
aspek komunikasi, termasuk bahasa verbal dan non-verbal, norma-norma sosial, nilai-
nilai, keyakinan, dan praktik-praktik yang dipahami dan digunakan oleh kelompok
budaya yang berbeda. Dalam proses komunikasi antar budaya, perbedaan-perbedaan
ini dapat mempengaruhi cara pesan disampaikan, diterima, dan diinterpretasi.

Komunikasi merupakan aktivitas yang saling melengkapi perilaku manusia dan


kebutuhan sosial manusia untuk berinteraksi satu sama lain. Setiap individu
memerlukan hubungan sosial dengan orang lain dan kebutuhan ini dapat terpenuhi
dengan pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan
manusia yang tanpa komunikasi akan terlindungi.

Komunikasi antar budaya adalah proses komunikasi yang terjadi ketika individu
atau kelompok dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi, bertukar
informasi, dan berkomunikasi satu sama lain Ini mencakup segala aspek komunikasi,
termasuk bahasa verbal dan non-verbal, norma-norma sosial, nilai-nilai, keyakinan,
dan praktik-praktik yang dipahami dan digunakan oleh kelompok budaya yang
berbeda. Penting untuk diingat bahwa budaya mencakup berbagai elemen seperti
agama, bahasa, tradisi, norma perilaku, sistem nilai, dan sejarah yang membedakan
satu kelompok dari yang lain. Ketika individu atau kelompok dari budaya yang
berbeda berkomunikasi, perbedaan-perbedaan ini dapat mempengaruhi cara pesan
disampaikan, diterima, dan diinterpretasi. Fungsi komunikasi antar budaya meliputi:

1) Membantu individu merasa lebih percaya diri dalam berinteraksi dengan orang
dari budaya lain.
2) Memberikan rasa kepercayaan diri dalam melintasi situasi budaya dan
membantu individu merasa lebih nyaman dalam situasi yang beragam.
3) Kreasi individu untuk memperkenalkan ide, nilai-nilai, dan praktik budaya
mereka kepada orang dari budaya lain, sehingga memperluas pemahaman
tentang keragaman budaya di seluruh dunia.
4) Berbicara kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dalam konteks antar
budaya menjadi aset berharga dalam dunia kerja yang semakin global.

17
Dengan memahami komunikasi antar budaya, kita dapat menciptakan pemahaman
yang lebih baik satu sama lain dan mencegah ketidakpahaman budaya yang mungkin
menimbulkan konflik dan perbedaan.
Komunikasi lintas budaya adalah proses komunikasi yang terjadi antara individu
yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Setiap budaya memiliki sistem
nilai yang berbeda-beda dan mempengaruhi tujuan hidup individu. Cara
berkomunikasi juga dipengaruhi oleh budaya, seperti bahasa, aturan, dan
norma. Komunikasi dan kebudayaan saling terkait dan memperhatikan variasi langkah
dan cara manusia berkomunikasi antar komunitas manusia atau kelompok
sosial. Komunikasi lintas budaya mencoba melakukan pendekatan dengan berbagai
cara, seperti psikologis, sosiologis, kritik budaya, dialog budaya, dan lain-
lain. Tujuannya adalah memberikan pemahaman bersama dan mencoba untuk
memahami akan keragaman budaya di Indonesia. Komunikasi lintas budaya juga
berusaha menciptakan hubungan yang harmonis dan menciptakan hubungan yang
komplementer. Komunikasi lintas budaya fokus pada atribut sosial, pola pikir, dan
budaya dari kelompok-kelompok yang berbeda dari orang-orang. Hal ini juga
melibatkan pemahaman budaya yang berbeda, bahasa, dan adat istiadat orang-orang
dari negara-negara lain.
Komunikasi merupakan hal yang saling berkaitan dengan perilaku manusia dan
kepuasan terpenuhinya untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Setiap orang yang
membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain dan kebutuhan ini dapat terpenuhi
dengan pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan
manusia yang tanpa komunikasi akan terlindungi. Teori komunikasi antar budaya,
yang dikembangkan oleh Edward T. Hall, menyatakan bahwa komunikasi dan budaya
memiliki hubungan yang sangat erat. Hall mengatur bahwa komunikasi konteks tinggi
(budaya konteks tinggi) dan budaya konteks rendah (budaya konteks rendah) memiliki
perbedaan dalam cara komunikasi dan interaksi antar individu. Pada konteks budaya
konteks tinggi, komunikasi melibatkan lebih banyak perilaku non-verbal, intonasi
suara, gerakan tangan, pemahaman masyarakat yang lebih kontekstual, lebih ramah,
dan toleran terhadap budaya. Dalam konteks budaya konteks rendah, komunikasi
melibatkan pesan yang lebih langsung, jelas, dan terus terang. Dalam aktivitas
dakwah, pengkajian dengan pendekatan komunikasi konteks tinggi dan komunikasi
konteks rendah dapat membantu dalam menjangkau audiens dari berbagai
budaya. Oleh karena itu, penting bagi penghidup dalam aktivitas dakwah untuk
memahami perbedaan budaya dan mengembangkan kemampuan komunikasi yang
efektif dalam konteks antar budaya.

Dalam aktivitas dakwah, pemahaman komunikasi antar budaya memungkinkan


penyebut agama untuk menyesuaikan pesan dan metode komunikasi sesuai dengan
budaya tujuan. Misalnya, dalam mengajarkan orang-orang di suatu negara dengan
budaya yang berbeda, penyebut agama harus menyesuaikan cara komunikasi dan
pesan yang disampaikan agar lebih sesuai dengan budaya mereka. Selain itu,
pemahaman komunikasi antar budaya juga memungkinkan penyebut agama untuk
menghadapi tantangan dan hambatan dalam proses akulturasi, seperti berkomunikasi
dengan orang-orang lain yang memiliki budaya yang berbeda.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Makalah “Teori-teori Dakwah lintas Budaya” menguraikan dan menganalisis berbagai


pandangan terhadap dakwah dalam konteks perpaduan antara ajaran Islam dan
keberagaman budaya lokal. Dalam penyampaian dakwahnya, ditemukan beberapa
teori yang memberikan perspektif berbeda terkait asal usul, cara penyebaran, dan
adaptasi Islam dengan budaya setempat.

Salah satu teori pentingnya pentingnya akulturasi, di mana dakwah tidak hanya
bersifat religius, tetapi juga mempertimbangkan dan memadukan unsur-unsur budaya
lokal. Ada pula pendekatan dakwah yang menekankan kompromi, di mana penyebaran
ajaran Islam dilakukan dengan memperhatikan keberagaman dan kaidah-kaidah lokal,
tanpa mengorbankan esensi ajaran agama.

Makalah ini juga membahas peran para tokoh, seperti wali-wali yang menanamkan
dakwah melintasi budaya dalam sejarah Islam di Indonesia. Para wali ini memilih
pendekatan yang sesuai dengan keadaan budaya setempat, memanfaatkan seni dan
tradisi sebagai sarana dakwah.

Dengan menyajikan berbagai teori dan pendekatan ini, makalah ini memberikan
pemahaman yang lebih mendalam mengenai kompleksitas dan dinamika dakwah
lintas budaya. Kesimpulan dari makalah ini menekankan pentingnya pemeliharaan
ajaran Islam dengan konteks budaya setempat sebagai strategi yang efektif dalam
menyebarkan nilai-nilai agama.

B. Saran

Saya sebagai penulis makalah menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam
menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yanglebih banyak yang
tentunya dapat di pertanggung jawabkan, untuk itu penulis menginginkan saran dari
anda. Saran bisa berupa kritik atau saran terhadap penulisan, terima kasih atas saran
dan kritik anda semua dan semoga makalah ini bisa bermanfaat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Mahmud, Ali Abdul Halim.1995.Dakwah Fardhiyah.Jakarta: Gema Insani


Press

Prof. Dr. Arifin, Anwar.2011.Dakwah Kontemporer Sebuah Studi


Komunikasi.Yogyakarta : Graha Ilmu.

Prof. Dr. Mahmud Ali Abdul Halim, Dakwah Fardhiyah, (Jakarta : Gema Insani Press
1995) hlm 27-29

Al-Amri, Limyah, and Muhammad Haramain. “Akulturasi IslamDalam Budaya


Lokal.” Kuriositas: Media Komunikasi Sosial Dan Keagamaan10, no. 2
(November 24, 2017): 87–100. https://doi.org/10.35905/kur.v10i2.594.

Abdullah. 2012. Dakwah Kultural dan Struktural. Bandung: Citapustaka Media


Perintis.Anshari, Saifudin. 1969. Pokok Pokok Pikiran Tentang Islam. Bandung:
Pelajar.

Abdullah, TA (2015). “Pentingnya Pendekatan Akulturasi dalam Dakwah Lintas


Budaya.” Jurnal Dakwah Tabligh, 16(2), 123-136.

Azra, A. (2006). "Wali Songo: Menyemai Islam di Nusantara." Mizan.

Hosen, MN (2018). “Dakwah Lintas Budaya: Analisis Historis dan Prospektif.” Jurnal
Ilmiah Syi'ar, 18(2), 134-150.

Muhtadi, A. (2019). “Akulturasi Islam dengan Tradisi Lokal dalam Wacana Dakwah
Lintas Budaya.” Jurnal Ilmu Dakwah, 21(1), 1-18.

Qomar, M. (2010). "Islam, Agama Kebudayaan: Studi Fenomenologis Akulturasi


Islam di Indonesia." Pustaka Pelajar.

Shihab, MQ (2001). “Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan


Umat.” Lentera Hati.

Suparlan, P. (2016). "Islamisasi Jawa: Sejarah dan Perdebatan." Pustaka Pelajar.


Tim Penyusun

20

Anda mungkin juga menyukai