Disusun oleh
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan Rahmat dan
Hidayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat waktu. makalah ini
berjudul “Teori-teori dakwah lintas budaya” Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas mata Kuliah Dakwah Lintas Budaya,Selanjutnya saya ucapkan
Terima Kasih kepada Ibu Baiti Awaliyah M.Pd sebagai Dosen Mata Kuliah Dakwah
Lintas Budaya yang telah banyak memberikan bantuan dengan arahan dan petunjuk
yang sangat jelas sehingga mempermudah saya menyelesaikan Tugas ini. Terima
Kasih juga kepada teman-teman seperjuangan yang telah mendukung selesainya
Makalah ini tepat waktu. Saya menyadari bahwa Makalah ini Masih jauh dari
sempurna.oleh karena itu, saya sangat terbuka pada kritik dan saran yang membangun,
sehingga Makalah ini bisa lebih baik lagi. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan Ilmu Pengetahuan kita semua.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW merupakan agama dakwah,
yakni agama yang membawa ajaran-ajarannya untuk disampaikan kepada umat
manusia. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan langsung oleh alQur’an “Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya....(QS. al-Maidah: 67).
Konsekuensi logis dari keberadaan Islam sebagai agama dakwah, maka Islam
membutuhkan sekali eksistensi dan peran dakwah. Dakwah merupakan sarana vital
bagi proses perkembangan dan kemajuan Islam baik pada masa sekarang maupun di
masa yang akan datang. Bahkan, al-Faruqi menyatakan bahwa Islam tidak bisa
menolak dakwah jika Islam memiliki kekuatan intelektual. Menolak dakwah berarti
menolak kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan orang lain terhadap apa yang
diklaim sebagai kebenaran Islam. Tidak menuntut persetujuan berarti tidak serius
dengan klaim itu atau berarti menyatakan klaim itu subyektif, partikularis atau relatif
secara mutlak, karena itu tidak berlaku bagi orang lain selain pembuat klaim itu
sendiri.
Oleh karena itu, dakwah merupakan sebuah keharusan bagi umat Islam. Apalagi
setelah Rasulullah wafat, kewajiban dakwah menjadi sebuah keniscayaan dan menjadi
doktrin Ilahiah yang dinyatakan langsung di dalam al-Qur’an surat alImran ayat 104
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung”. Bagi seorang muslim, dakwah merupakan
darah bagi tubuhnya. Artinya dakwah merupakan keharusan bagi seorang muslim
untuk melaksanakannya.
Dakwah, menurut M. Qurash Syihab, adalah seruan atau ajakan kepada keinsafan
atau usaha mengubah situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi
maupun masyarakat. Manifestasi dakwah Islam dapat dilihat dari mempengaruhi cara
berpikir, bersikap, dan bertindak dalam kaitannya dengan kehidupan pribadi dan
sosial. Disini keberadaan dakwah Islam senantiasa dihadapkan kepada realitas sosial
yang mengitarinya. Dalam menyikapi hal tersebut, maka dakwah Islam paling tidak
diharapkan berperan dalam dua arah. Pertama, mampu memberikan out put terhadap
masyarakat dalam arti memberikan dasar filosofi, arah dan dorongan untuk
membentuk realitas baru yang lebih baik.
Kedua, dakwah Islam harus dapat mengubah visi kehidupan sosial dimana sosio
kultural yang ada tidak hanya dipandang sebagai suatu kelaziman saja, tetapi juga
dijadikan kondusif bagi terciptanya baldatun tayyibatun wa rabbun ghofuur.
4
Dakwah di sini dikhususkan dalam pembahasan dakwah lintas budaya, yaitu proses
dakwah yang melibatkan pelaku dakwah atau da’i dan objek dakwah atau mad’u dari
budaya yang berbeda. Proses dakwah yang berbeda dari latar belakang budaya antara
da’i dan mad’u harus menjadi perhatian khusus. Seorang da’i yang terjun di dalam
masyarakat yang majemuk harus memperhatikan hal-hal yang menjadi unsur-unsur
dalam berdakwah. Selain itu, pendekatan secara psikologis dirasa perlu supaya antara
da’i dan mad’u tidak ada jarak dan bisa memahami mad’u secara sosial emosi.
Dasar ayat dalam dakwah lintas budaya bisa diambil dalam AlQur’an surat Al-
Hujurat ayat 13, yang menjelaskan bahwa Allah SWT tidak membedakan antara umat
yang satu dengan yang lain. Pada hakikatnya semua umat ciptaan-Nya sama, yang
membedakan hanyalah keimanan dan ketaqwaan pada Allah SWT. Dari ayat tersebut
seorang da’i bisa mengambil pelajaran, ketika berdakwah hendaknya tidak melihat
mad’u dari harkat, martabat maupun sosial budaya. Inti dari berdakwah yaitu
mengajak dan mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat umum.
Proses dakwah lintas budaya tidak bisa lepas dari proses komunikasi lintas budaya,
yang mana keduanya itu saling berhubungan. Di dalam dakwah lintas budaya
mengenal beberapa teori untuk interaksi antara da’i dan mad’u. Teori-teori tersebut
yaitu :
1. Resistance Theory (Teori Resistensi) atau teori penolakan. Dasar asumsi teori
ini adalah bahwa setiap aktivitas dakwah akan selalu menghadapkan variabel
da’i dan mad’u. Ketika interaksi terjadi penentangan bahkan sikap dan respons
penolakkan tak terelakan khususnya penolakan dari mad’u. Penolakkan
tersebut adalah konsekuensi logis akibat proses difusi budaya dari budaya yang
berbeda. Ada beberapa kemungkinan apabila teori resistensi ini terjadi.
Misalnya, terjadi gejolak budaya pada level mad’u begitu juga gejolak pada diri
sang da’i, atau terjadi gejolak antara da’i dan mad’u dalam suatu kondisi.
Terjadi dominasi salah satu kekuatan gagasan dan budaya baik pada da’i
maupun mad’u.
5
terjadi karena gagasan dan budaya baru itu dianggap lebih baik dan
menjanjikan terhadap perbaikan nasib hidup masyarakat. Standar suatu budaya
masyarakat itu dianggap baik adalah apabila gagasan dan budaya itu telah teruji
pada praktik masyarakat nyata. Karena penerimaan suatu budaya kemungkinan
terjadi pada masyarakat mad’u yang jauh lebih mapan dan maju, kemudian
diikuti dan diitiru oleh masyarakat lainnya dengan motivasi yang sama.
Peniruan adalah langkah awal umumnya penerimaan suatu budaya baru atau
budaya lain yang kemudian dipraktikkan.
1.3 Tujuan
6
BAB II
PEMBAHASAN
Islam sebagai agama dakwah Merujuk pada konsep bahwa ajaran Islam tidak hanya
diterapkan secara pribadi, tetapi juga memiliki dimensi penyebaran dan penyiaran
kepada orang lain. Agama ini mendorong umatnya untuk berpartisipasi aktif dalam
menyampaikan prinsip-prinsip dan ajaran Islam kepada individu atau masyarakat yang
belum mengenal atau memahami agama tersebut. Tujuan utama dakwah dalam Islam
adalah untuk mengedepankan pemahaman dan penerimaan terhadap nilai-nilai Islam
sebanyak mungkin orang.
7
Dalam hakikatnya, dakwah Lintas Budaya menuntut kesesuaian dalam pendekatan
berdakwah, di mana penggunaan budaya menjadi bagian integral dari strategi dakwah.
Pendekatan ini diarahkan untuk menjembatani perbedaan kondisi sosial budaya,
penyesuaian keberagaman, dan memastikan bahwa pesan-pesan agama Islam dapat
diterima dan dipahami dengan baik oleh masyarakat sasaran. Oleh karena itu,
pendekatan dakwah Lintas Budaya menjadi krusial karena memahami dan
menghormati konteks masyarakat setempat merupakan kunci keberhasilan dalam
menyampaikan ajaran agama kepada beragam kelompok dan komunitas.
Wilayah kajian dalam Dakwah lintas Budaya yakni mencakup berbagai bentuk
Interaksi beberapa kebudayaan. Baik itu dalam bidang antropologi budaya, sosial,
politik, ekonomi, filsafat, sastra, bahasa, musik, dan media massa. Selain itu
perbedaan budaya, persinggungan budaya yang memicu proses inkulturasi, akulturasi,
asimilasi. Itu juga merupakan wilayah kajian dalam dakwah Lintas Budaya. Karena
dakwah itu juga harus disesuaikan dengan kondisi setempat. Sebagaimana diterangkan
dlm QS. Ibrahim:4 yang berbunyi:
Dari firman Allah tersebut, “Bahasa kaumnya” dalam ayat ini tidak terbatas hanya
pada segi bahasa. Akan tetapi juga dikaitkan dengan keadaan, kondisi dan budaya
setempat. Maka Rasul yang di utus oleh Allah dalam menyampaikan dakwahnya
strateginya disesuaikan dengan kultur budaya setempat. Sebagaimana cara
berdakwahnya Nabi Nuh, Nabi Musa dengan Nabi Muhammad terdapat beberapa
perbedaan dalam pola strategi . Karena tantangan yang dihadapi bentuknya berbeda-
beda dengan kondisi kaumnya yang berbeda pula. Akan tetapi terdapat persamaan
tujuan Dakwah tersebut. Yakni mengajak kepada ketauhidan dengan menyembah
Allah semata.
Selain itu wilayah kajian dari Dakwah lintas budaya ini juga tidak hanya
menganalisis perbedaan akan tetapi juga persamaannya yang tentunya dari persamaan-
persamaan tersebut terdapat celah-celah untuk lebih mudah dalam menyampaikan
risalah Islam. Melalui berbagai pendekatan Psikologis, Sosiologis dan Lintas Budaya.
8
4. Ragam teori dakwah
Dalam pengembangan dakwah sebagai ilmu terasa sangat tidak mungkin tanpa
dibarengi dengan adanya penemuan dan pengembangan kerangka teori dakwah.
Dengan ditemukannya teori – teori dakwah yang telah menyebabkan keberhasilan
dakwah masa lalu( dengan penelitian reflektif- penafsiran maudhu’i ) dapat di uji
kembali relevensi teori dengan fakta dakwah yang ada pada saat sekarang (dengan
metode riset dakwah partisipatif) dan kemungkinan yang akan terjadi dimasa depan
(dengan metode riset kecenderungan gerakan dakwah).
Makna dakwah tidak hanya sekedar menyeru atau mengajak manusia, tetapi juga
mengubah manusia sebagai pribadi maupun kelompok agar dapat tumbuh dan
berkembang sesuai dengan fitrahnya. Dalam rangka menegakkan dakwah sehingga
ajaran Islam diketahui, dipahami,dihayati dan dilaksanakan oleh umat diperlukan juru
dakwah yang berkualitas. Juru dakwah tersebut adalah orang yang mengerti hakikat
islam dan mengetahui apa yang sedang berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Keberhasilan kegiatan dakwah sangat ditentukan oleh kualitas dan kepribadian
seorang da’i. Dengan kualitas dan kepribadian tersebut seorang da’I akan
mendapatkan kepercayaan dan citra yang positif di mata mad’u baik individu atau
masyarakat.
Citra yang berhubungan dengan seorang da’I dalam perspektif komunikasi sangat
erat kaitanya dengan kredibilitas yang dimilikinya. Kredibilitas sangat menentukan
citra seseorang. Teori citra da’I menjelaskan penilaian mad’u terhadap kredibilitas da’I
apakah da’I mendapat penilaian positif atau negatif, dimata mad’unya. Persepsi mad’u
baik positif maupun negatif sangat berkaitan erat dengan penentuan penerimaan
informasi atau pesan yang disampaikan da’i. Semakin tinggi kredibilitas da’I maka
semakin mudah mad’u menerima pesan-pesan yang disampaikannya, begitu juga
sebaliknya. Kredibilitas seseorang tidak tumbuh dengan sendirinya, tidak secara
instan, tetapi harus dicapai melalui usaha yang terus menerus, harus dibina dan
dipupuk, serta konsisten sepanjang hidup. Dakwah dalam salah satu bentuknya
melalui lisan, ada empat cara seorang da’I dinilai oleh mad’unya :
Seorang da’I dinilai dari reputasi yang mendahuluinya, apa yang sudah seorang
da’I lakukan dan memberikan karya-karya, jasa dan sikap akan memperbaiki atau
menghancurkan reputasi seorang da’i. Mad’u menilai da’I melalui informasi atau
pesan-pesan yang disampakan seorang da’i. Cara memperkenalkan diri seorang da’I
juga berpengaruh dengan pandangan kredibilitas seorang da’I oleh mad’u. Ungkapan
kata-kata yang kotor, tidak berarti atau rendah menunjukan kualifikasi seseorang. Cara
penyampain pesan dari da’I kepada mad’u sangat penting untuk pemahaman pesan
yang ditangkap mad’u, sebab apabila cara penyampaiannya tidak sistematis maka
akan kurang efektif di mata mad’u. Penguasaan materi dan metodologi juga kemestian
yang harus dimiliki seorang da’i. Dari cara-cara diatas menyimpulkan bahwa seorang
da’I harus sikap yang baik agar menjadi suri tauladan bagi mad’unya, bahkan dari cara
9
memperkenalkan dirinyapun dinilai, bertutur kata yang baik, menyampaikan pesan
dengan sistematis, efektif dan memiliki penguasaan materi, seperti dalam firman Allah
surat At-Taubah : 122
َ َو َما َكانَ ٱ ْل ُمؤْ ِمنُونَ ِليَن ِف ُروا َكافَّة ۚ فَلَ ْو َّل نَفَ َر ِمن ُك ِل فِ ْرقَة ِم ْن ُه ْم
طائِفَة ِليَتَفَقَّ ُهوا فِى
َِين َو ِليُنذ ُِروا قَ ْو َم ُه ْم ِإذَا َر َجعُوا ِإلَ ْي ِه ْم لَ َعلَّ ُه ْم يَحْ ذَ ُرون
ِ ٱلد
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.
• Kebersihan batin
• Kecerdaasan mental
• Keberanian mental
Rasulullah Muhammad SAW sosok figur da’I yang paling ideal, Beliau memiliki
ketiga kriterian di atas. Sehingga beliau memiliki citra positif di masyarakat. Beliau
selalu memberikan solusi yang adil ketika terjadi perselisihan. Ketika diangkat
menjadi Rasul beliau menjadi suri tauladan dalam berbagai aspek seperti aqidah,
ibadah, muamalah dan akhlaq, terpancar kesejatian, menjadi figur nyata bagi
masyarakatnya, dan segala kesempuranaan yang dimilikinya, beliau mampu menjadi
pemimpin agama sekaligus negara. Kurang dari 23 tahun beliau mampu melakukan
perubahan dari kejahiliahan kepada peradaban dunia yang tinggi.
Teori medan dakwah adalah teori yang menjelaskan situasi teologis, kultural dan
struktural mad’u saat pelaksanaan dakwah islam. Dakwah islam adalah sebuah ikhtiar
Muslim dalam mewujudkan islam dalam kehidupan pribadi , keluarga, komunitas, dan
masyarakat dalam semua segi kehidupan sampai terwujudnya masyarakat yang terbaik
atau dapat disebut sebagai khairul ummah yaitu tata sosial yang mayoritas
masyarakatnya beriman, sepakat menjalan dan menegakkan yang ma’ruf dan secara
berjamaa’ah mencegah yang munkar.
10
Setiap Nabiyullah daalam melaksanakan dakwah selalu menjumpai system dan
struktur masyarakat yang di dalamnya sudah ada al-mala yaitu penguasa masyarakat,
al-mutrafin yaitu penguasa ekonomi masyarakat konglomerat dan kaum al-
mustad’afin yaitu masyarakat yang umumnya tertindas atau di lemahkan hak-haknya.
Keinginan subjektif manusia atau disebut dengan nafsu yang menentukan semua
orientasi hidup biasanya dominan oleh keinginan subjektif al-malanya. Secara
Sunnatullah kekuasaan dalam masyarakat akan didominasi oleh seseorang atau
sekelompok orang yang dipandang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu menurut
masyarakat yang bersangkutan sampai membentuk kepemimpinan masyarakat yang
sah. Kekuatan dan kepemimpinan masyarakat akan mudah goyah jika tidak
memperoleh dukungan kaum aghniya yang mengendalikan roda perekonomian
masyarakat. Pola kerja sama antara kaum al-mala dan al-mutrafin melahirkan kaum
al-mustad’afin yang mereka adalah kaum yang serba kekurangan yang direkayasa
untuk tetap lemah. Dari struktur sosial di atas ketika merespon dakwah para Nabiullah
memiliki kecenderungan bahwa kaum al-mala dan al-mutrafin selalu menolak dakwah
islam.
Respon positif dalam dakwah islam biasanya diperoleh dari kaum al-musthad’afin.
Hal tersebut disebabkan oleh posisi mereka yang dilemahkan hak-haknya dan
kejernihan hatinya yang sedikit berpeluang melakukan kejahatan secara sengaja telah
menyebabkan hati mereka mudah menerima dakwah islam. Dalam menghadapi segala
bentuk struktur masyarakat seperti kaum al-mala, al-mutrafin, dan al-mustad’afin
dalam medan dakwah seorang da’I perlu menerapkan etika-etika sebagia berikut:
• Ilmu
Hendaknya memiliki pengetahuan amar ma’ruf nahi munkar dan perbedaan diantara
keduanya. Yaitu memiliki pengeetahuan tentang orang-orang yang menjadi sasaran
perintah (amar) meupun orang-orang yang menjadi objek cegah (nahi). Alangkah
indahnya apabila amar ma’ruf dan nahi mungkar didasari dengan ilmu semacam ini,
yang dengannya akan menunjukkan orang ke jalan yang lurus dan dapat
mengantarkan mereka kepada tujuan.
• Sabar
Hendaklah bersabar dan menahan diri dari segala perlakuan buruk. Karena tabiat jalan
dakwah memang demikian. Apabial seorang da’I tidak memiliki kesabaran dan
menahan diri, ia akan lebih banyak merusak dari pada memperbaiki. Sebagaimana
firman Allah SWT :
11
صا َب َك ۖ ِإ َّن َٰذَ ِل َك
َ َ علَ َٰى َما أ ْ ع ِن ٱ ْل ُمن َك ِر َوٱ
َ ص ِب ْر ِ صلَ َٰوة َ َوأْ ُم ْر ِبٱ ْل َم ْع ُر
َ َوف َوٱ ْنه َّ ى أ َ ِق ِم ٱلَّ ََٰ َيبُن
ورِ ع ْز ِم ٱ ْْل ُ ُم َ ِم ْن
Artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah).
Dari itu Allah swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya, yang mereka adalah penghulu
para da’I dan pelopor amar ma’ruf nahi mungkar, untuk senantiasa bersabar.
Ada beberapa tahapan dakwah Rasulullah dan para sahabatnya yang dapat
dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama, tahap pembentukan (takwin). Kedua,
tahap penataan (tandhim). Ketiga, tahap perpisahan dan pendelegasian amanah
dakwah kepada kepada generasi penerus. Pada setiap tahapan memiliki kegiatan
dengan tantangan khusus dengan masalah yang dihadapi. Dalam hal ini dapat
dinyatakan ada beberapa model dakwah sebagai proses perwujudan realitas
ummatan khairan.
Pada tahapan ini kegiatan utamanya adalah dakwah bil lisan (tabligh) sebagai
ihtiar sosialisasi ajaran tauhid kepada masyarakat Makkah. Interaksi Rasulullah
Saw dengan mad’u mengalami ekstensi secara bertahap: keluarga terdekat,
ittishal fardhi dan kemudian kepada kaum musyrikin, ittishal jama’i. Sasarannya
bagaimana supaya terjadi internalisasi Islam dalam kepribadian mad’u,
kemudian apa yang sudah diterima dan dicerna dapat diekspresikan dalam
ghirah dan sikap membela keimanan (akidah) dari tekanan kaum Quraisy.
Hasilnya sangat signifikan, para elite dan awam masyarakat menerima dakwah
Islam.
Tahap tanzhim merupakan hasil internalisasi dan eksternalisasi Islam dalam bentuk
institusionalisasi Islam secara komprehensip dalam realitas sosial. Tahap ini diawali
dengan hijrah Nabi Saw ke Madinah (sebelumnya Yastrib). Hijrah dilaksanakan
setelah Nabi memahami karakteristik sosial Madinah baik melalui informasi yang
diterima dari Mua’ab Ibn Umair maupun interaksi Nabi dengan jama’ah haji peserta
Bai’atul Aqabah. Dari strategi dakwah, hijrah dilakukan ketika tekanan kultural,
struktural, dan militer sudah sedemikian mencekam, sehingga jika tidak dilaksanakan
hijrah, dakwah dapat mengalami involusi kelembagaan dan menjadi lumpuh.
12
Hijrah dalam proses dakwah Islam menjadi sunnatullah. Mad’u (masyarakat) diajak
memutus hubungan dari lingkungan dan tata nilai yang dhalim sebagai upaya
pembebasan manusia untuk menemukan jati dirinya sebagaimana kondisi fitrinya
yang telah terendam lingkungan sosio-kultural yang tidak Islami. Hal ini berarti
merupakan peristiwa “menjadi” muslim dalam sejarah sebagai perwujudan “muslim”
dalam dunia fitri. Semuanya menunjukkan bahwa tanpa hijrah secara komprehensif
maka kegiatan dakwah kehilangan akar alamiahnya: kembali ke fitri.
Pada tahap ini ummat dakwah (masyarakat binaan Nabi Saw) telah siap menjadi
masyarakat yang mandiri dan, karena itu, merupakan tahap pelepasan dan perpisahan
secara manajerial. Apa yang dilakukan Rasulullah Saw ketika haji wada’ dapat
mencerminkan tahap ini dengan kondisi masyarakat yang telah siap meneruskan
Risalahnya.
Penulis secara khusus meneliti dakwah islam dengan pendekatan teori sistem umum
(The general system theory) yang hasilnya antara lain menyatakan :
1) Dakwah Islam adalah suatu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem yang
saling berhubungan,bergantung dan berinteraksi dalam mencapai tujuan
dakwah.
2) Dakwah Nabi Muhammad SAW berjalan menurut alur sistem dakwah yang
diarahkan Allah SWT yang menjadi sunnah Allah yang berlaku dalam dakwah
islam yang bersifat tetap,obyetktif dan universal.
3) Dakwah Islam sebagai suatu sistem yang memiliki masukan utama berupa
materi pokok dakwah dari wahyu Allah (Al-Qur'an) dan As-Sunnah. Ketika
mengkonversikan keluaran menjadi, baik dalam ranah pribadi, keluarga,
kelompok, masyarakat, dan negara, telah menimbulkan kemelut dan goncangan
sosial yang besar di tengah tata sosial, budaya, dan peradaban yang telah
mapan di tengah masyarakat.
4) Momentum berkembangnya dakwah islam adalah karena adanya keluaran
berupa negara yang menjadikan syari’ah sebagai otoritas tertinggi dalam
menilai dan mengatur kehidupan masyarakat dan negara.
Budaya telah menjadi bagian integral dari masyarakat Indonesia sebelum masuknya
Islam, terutama di lingkungan komunitas Hindu-Budha di mana Islam belum dikenal.
Sejumlah kelompok masih memegang keyakinan animisme dan dinamisme.
Khususnya di masyarakat Jawa, yang memiliki nuansa mistis yang masih sering
diamalkan. Pembagian budaya dapat dilihat dalam tiga fase, yakni budaya Jawa pra
Hindu-Budha, di mana struktur masyarakat pada periode tersebut terutama didasarkan
13
pada hukum adat dan sistem keagamaan animisme dinamisme, yang menjadi inti
budaya yang mendominasi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Keterikatan yang
kuat pada hukum adat membuat masyarakatnya bersifat statis dan konservatif. Pada
fase budaya Hindu Jawa, terlihat pengaruh kuat dari budaya India (Hindu). Pengaruh
Hindu-Buddha di masyarakat Jawa bersifat ekspansif, dan proses akulturasi membawa
dampak tidak hanya pada sistem budaya, tetapi juga mempengaruhi aspek keagamaan.
6. Definisi akulturasi
14
7. Penyebaran dan pelembagaan dakwah di jawa
Dakwah Islam dapat dilihat melalui interaksi dengan lingkungan sosial budaya
setempat, berkembang dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan nonkompromis
dan pendekatan kompromis. Pendekatan nonkompromis Merujuk pada dakwah
Islam yang tetap mempertahankan identitas agama dan tidak bersedia menerima
15
budaya luar kecuali jika budaya tersebut sejalan dengan ajaran Islam. Sementara
itu, pendekatan kompromis, yang juga dikenal sebagai pendekatan akomodatif,
merupakan suatu usaha untuk menciptakan suasana damai dan toleran, di mana
umat Islam bersedia hidup berdampingan dengan pengikut agama dan tradisi lain
yang berbeda, tanpa menyumbangkan prinsip agama dan tradisi masing-masing
(pendekatan budaya).
Menurut Babad Janah Djawi, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh
Wali Songo, yaitu sembilan tokoh seperti Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik),
Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Surabaya, Makdhun Ibrahim (Sunan Bonang),
Sunan Drajat, Sunan Giri atau Raden Paku yang menciptakan nyanyian
Asmarandana, Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq, Sunan Muria atau Raden Prawoto
16
yang menggubah lagu-lagu Jawa seperti Sinom atau Kinanthi, Sunan Gunung Jati
atau Syarif Hidayatullah, dan Sunan Kalijaga atau Raden Syahid. Sejak saat itu,
terjadi peralihan dari zaman Hindu-Budha ke zaman para wali (zaman Kejawen).
Komunikasi antar budaya adalah proses komunikasi yang terjadi antara orang-
orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, baik itu perbedaan ras,
etnik, sosial ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan tersebut. Kebudayaan
merupakan cara hidup yang berkembang dan dianut oleh masyarakat serta
berlangsung dari generasi ke generasi. Komunikasi antar budaya melibatkan berbagai
aspek komunikasi, termasuk bahasa verbal dan non-verbal, norma-norma sosial, nilai-
nilai, keyakinan, dan praktik-praktik yang dipahami dan digunakan oleh kelompok
budaya yang berbeda. Dalam proses komunikasi antar budaya, perbedaan-perbedaan
ini dapat mempengaruhi cara pesan disampaikan, diterima, dan diinterpretasi.
Komunikasi antar budaya adalah proses komunikasi yang terjadi ketika individu
atau kelompok dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi, bertukar
informasi, dan berkomunikasi satu sama lain Ini mencakup segala aspek komunikasi,
termasuk bahasa verbal dan non-verbal, norma-norma sosial, nilai-nilai, keyakinan,
dan praktik-praktik yang dipahami dan digunakan oleh kelompok budaya yang
berbeda. Penting untuk diingat bahwa budaya mencakup berbagai elemen seperti
agama, bahasa, tradisi, norma perilaku, sistem nilai, dan sejarah yang membedakan
satu kelompok dari yang lain. Ketika individu atau kelompok dari budaya yang
berbeda berkomunikasi, perbedaan-perbedaan ini dapat mempengaruhi cara pesan
disampaikan, diterima, dan diinterpretasi. Fungsi komunikasi antar budaya meliputi:
1) Membantu individu merasa lebih percaya diri dalam berinteraksi dengan orang
dari budaya lain.
2) Memberikan rasa kepercayaan diri dalam melintasi situasi budaya dan
membantu individu merasa lebih nyaman dalam situasi yang beragam.
3) Kreasi individu untuk memperkenalkan ide, nilai-nilai, dan praktik budaya
mereka kepada orang dari budaya lain, sehingga memperluas pemahaman
tentang keragaman budaya di seluruh dunia.
4) Berbicara kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dalam konteks antar
budaya menjadi aset berharga dalam dunia kerja yang semakin global.
17
Dengan memahami komunikasi antar budaya, kita dapat menciptakan pemahaman
yang lebih baik satu sama lain dan mencegah ketidakpahaman budaya yang mungkin
menimbulkan konflik dan perbedaan.
Komunikasi lintas budaya adalah proses komunikasi yang terjadi antara individu
yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Setiap budaya memiliki sistem
nilai yang berbeda-beda dan mempengaruhi tujuan hidup individu. Cara
berkomunikasi juga dipengaruhi oleh budaya, seperti bahasa, aturan, dan
norma. Komunikasi dan kebudayaan saling terkait dan memperhatikan variasi langkah
dan cara manusia berkomunikasi antar komunitas manusia atau kelompok
sosial. Komunikasi lintas budaya mencoba melakukan pendekatan dengan berbagai
cara, seperti psikologis, sosiologis, kritik budaya, dialog budaya, dan lain-
lain. Tujuannya adalah memberikan pemahaman bersama dan mencoba untuk
memahami akan keragaman budaya di Indonesia. Komunikasi lintas budaya juga
berusaha menciptakan hubungan yang harmonis dan menciptakan hubungan yang
komplementer. Komunikasi lintas budaya fokus pada atribut sosial, pola pikir, dan
budaya dari kelompok-kelompok yang berbeda dari orang-orang. Hal ini juga
melibatkan pemahaman budaya yang berbeda, bahasa, dan adat istiadat orang-orang
dari negara-negara lain.
Komunikasi merupakan hal yang saling berkaitan dengan perilaku manusia dan
kepuasan terpenuhinya untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Setiap orang yang
membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain dan kebutuhan ini dapat terpenuhi
dengan pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan
manusia yang tanpa komunikasi akan terlindungi. Teori komunikasi antar budaya,
yang dikembangkan oleh Edward T. Hall, menyatakan bahwa komunikasi dan budaya
memiliki hubungan yang sangat erat. Hall mengatur bahwa komunikasi konteks tinggi
(budaya konteks tinggi) dan budaya konteks rendah (budaya konteks rendah) memiliki
perbedaan dalam cara komunikasi dan interaksi antar individu. Pada konteks budaya
konteks tinggi, komunikasi melibatkan lebih banyak perilaku non-verbal, intonasi
suara, gerakan tangan, pemahaman masyarakat yang lebih kontekstual, lebih ramah,
dan toleran terhadap budaya. Dalam konteks budaya konteks rendah, komunikasi
melibatkan pesan yang lebih langsung, jelas, dan terus terang. Dalam aktivitas
dakwah, pengkajian dengan pendekatan komunikasi konteks tinggi dan komunikasi
konteks rendah dapat membantu dalam menjangkau audiens dari berbagai
budaya. Oleh karena itu, penting bagi penghidup dalam aktivitas dakwah untuk
memahami perbedaan budaya dan mengembangkan kemampuan komunikasi yang
efektif dalam konteks antar budaya.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah satu teori pentingnya pentingnya akulturasi, di mana dakwah tidak hanya
bersifat religius, tetapi juga mempertimbangkan dan memadukan unsur-unsur budaya
lokal. Ada pula pendekatan dakwah yang menekankan kompromi, di mana penyebaran
ajaran Islam dilakukan dengan memperhatikan keberagaman dan kaidah-kaidah lokal,
tanpa mengorbankan esensi ajaran agama.
Makalah ini juga membahas peran para tokoh, seperti wali-wali yang menanamkan
dakwah melintasi budaya dalam sejarah Islam di Indonesia. Para wali ini memilih
pendekatan yang sesuai dengan keadaan budaya setempat, memanfaatkan seni dan
tradisi sebagai sarana dakwah.
Dengan menyajikan berbagai teori dan pendekatan ini, makalah ini memberikan
pemahaman yang lebih mendalam mengenai kompleksitas dan dinamika dakwah
lintas budaya. Kesimpulan dari makalah ini menekankan pentingnya pemeliharaan
ajaran Islam dengan konteks budaya setempat sebagai strategi yang efektif dalam
menyebarkan nilai-nilai agama.
B. Saran
Saya sebagai penulis makalah menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam
menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yanglebih banyak yang
tentunya dapat di pertanggung jawabkan, untuk itu penulis menginginkan saran dari
anda. Saran bisa berupa kritik atau saran terhadap penulisan, terima kasih atas saran
dan kritik anda semua dan semoga makalah ini bisa bermanfaat.
19
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Mahmud Ali Abdul Halim, Dakwah Fardhiyah, (Jakarta : Gema Insani Press
1995) hlm 27-29
Hosen, MN (2018). “Dakwah Lintas Budaya: Analisis Historis dan Prospektif.” Jurnal
Ilmiah Syi'ar, 18(2), 134-150.
Muhtadi, A. (2019). “Akulturasi Islam dengan Tradisi Lokal dalam Wacana Dakwah
Lintas Budaya.” Jurnal Ilmu Dakwah, 21(1), 1-18.
20