Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ILMU DAKWAH

“FIQIH DAKWAH”

Disusun Oleh:
Umi kulsum (2022030101016)
Mauliyani (2022030101015
(2022030101015)
Cici mey hasnawati (2022010101013)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT
UT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) KENDARI
TAHUN 2023

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan kita segala macam nikmat,
diantaranya nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Pancasila
dan Kewarganegaraan ini dengan baik dan tepat waktu.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita habibina wa syafi’ina
Muhammad saw. sebagaimana kita ketahui bahwa beliaulah yang telah merombak umatnya dari
zaman kejahilan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan
sekarang ini.

Dalam rangka melengkapi tugas makalah dari mata kuliah ilmu dakwah pada program studi
Komunikasi dan Penyiaran Islam, kami mengangkat judul “Fiqih Dakwah “ . Kami sangat bersyukur
karena dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses pembuatan makalah ini. Kami sangat
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini .Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan makalah ini.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

17 Maret 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI............................................................................................................................................... 3
BAB I ........................................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang............................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 4
BAB II ....................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ......................................................................................................................................... 5
2.1 Al-Qur’an Dan Hadis Sebagai Sumber Pesan Dan Hukum Dakwah............................................. 5
2.2 Hukum Berdakwah ....................................................................................................................... 6
2.3 Fikih Dakwah Di Antara Fikih Lain ................................................................................................. 9
2.4 Kaidah Prinsip Prinsip Fiqih Dakwah .......................................................................................... 10
BAB III .................................................................................................................................................... 16
PENUTUP ............................................................................................................................................... 16
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 17

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dakwah sekarang menghadapai beragam masalah. Model dakwah pun makin variatif di
banding masa lalu yang hanya dengan model ceramah, khutbah, atau nasehat. Banyak kemudian
ragam istilah yang berkenaan dengan model dakwah, antara lain : dakwah cultural, dakwa structural,
dakwah pembangunan, dakwah pemberdayaan masyarakat, dakwah jurnalistik, dan sebagainya. Akan
tetapi hingga saat ini perkembangan kegiatan dakwah tidak didampingi dengan aspek fiqih, sehingga
masyarakat cendrung tidak perduli dengan nila-nilai yang seharusnya diperhatikan pada unsur-unsur
dakwah, yakni pendakwah, mitra dakwah, metode dakwah, model dakwah, media dakwah, dan
pesan dakwah. Problematika etis ini penting dibahas, mengingat saat ini terjadi pertarungan dan
benturan peradaban di antara berbagai pemikiran. Pemikiran islam juga tidak tunggal, tetapi
bermacam-macam. Yang akhirnya, pandangan tentang dakwah islam juga berbeda antara satu pakar
dengan pakar yang lain. Kita melacak perbedaan itu dalam al-quran dan hadits sebagai sumber
hukum dakwah, sehingga kita mencoba merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang dapat membantu
memecahkan masalah dakwah.

1.2 Rumusan Masalah

A. Bagaimana Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber pesan dan hukum dakwah?

B. Apakah hukum berdakwah?

C. Bagaimana kedudukan fiqih dakwah diantara fiqih lainnya?

D. Apa saja kaidah prinsip prinsip fiqih dakwah?

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Al-Qur’an Dan Hadis Sebagai Sumber Pesan Dan Hukum Dakwah

Pesan dakwah harus berisi kebenaran semata. Persoalan kebenaran telah lama menjadi
polemic antara kaum teolog, filsuf, bahkan para ilmuwan. Dalam islam,kita mengenal kebenaran
hakiki dan kebenaran relatif. Wahyu yang berasal dari Allah SWT adalah satu satunya kebenaran
hakiki.Kebenaran hakiki itulah yang kita kenal dengan kebenaran wahyu. Sedangkan untuk kebenaran
relatif didapatkan dari akal manusia,disebut juga dengan kebenaran akal.

Setiap muslim wajib mengimani kebenaran wahyu yang Allah turunkan. Kemudian
mengaplikasikannya dalam kehidupan. Yakni dengan menjalankannya dalam kehidupan sehari hari
dan mendakwahkannya pada orang lain. Karena kebenaran wahyu itu hakiki maka ia harus diletakkan
pada posisi pertama dan utama,sebab wahyu merupakan suatu hal yang menjadi alat ukur bagi
kebenaran kebenaran lainnya.

Alqur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sehingga
dengan begitu kita dapat mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah pelaku dakwah(pendakwah) itu
sendiri. Sedangkan wahyu yang diterimanya merupakan pesan pesan dakwah yang harus
disampaikannya kepada ummatnya.

Untuk bisa mempraktekan wahyu Allah swt, kita diperintahkan melihat apa yang diucapkan
dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Karena itulah yang dinamakan hadis. Tidak ada alasan
manusia untuk berdalih bahwa wahyu Allah itu tidak manusiawi ,teoritis, konseptual, atau melangit.
Sebab kehidupan Nabi Muhammad SAW sama dengan manusia pada umumnya yaitu bisa merasakan
lapar ketika tidak makan ,sedih ketika masalah tidak ada penyelesainnya, berdarah ketika dilempar
batu, membutuhkan tidur setiap malam dan sebagainya. Semua kehidupan nabi adalah aturan hukum
yang harus diikuti atau biasa kita kenal dengan sunnah. Menurut Al-Qur’an Nabi adalah suri tauladan
terbaik (Uswatun Hasanah). Melalui kehidupan Nabi SAW, islam menjangkau semua aspek
kehidupan manusia.

Kebenaran wahyu tidak mengabaikan kebenaran akal, justru wahyu Al-Qur’an dan hadis
memerlukan akal untuk memahaminya. Memahami Al-Qur’an harus berdasar pada teks ayat. Dimana
untuk memahaminya dengan baik, kita dapat memakai cara ulama hanafiyah yakni dengan memahami
Alquran sesuai dengan terjemahnya (‘ibarah al-nash). Jika masih belum jelas, kita bisa menggali
tafsirnya (isyarah al-nash), jika masih ada kesulitan juga barulah kita menggunakan logika akal (
iqtidla’al-nash, bahkan jika diperlukan kita dapat menyelipkan kata bantu untuk ayat tersebut untuk
membantu kita memahami ayat Al-qur’an.

Selain melalui teks ayat, Al-Qur’an juga dapat dipahami melalui penjelasan dari ayat yang
lain karena masing masing ayat al-qur’an mempunyai keterkaitan satu sama lain. Dalam hal ini akal
berperan dalam menghubungkannya. Demikian pula dengan hadis hadis nabi SAW yang salah satu
fungsinya adalah untuk menjelaskan kandungan makna Al-qur’an. Ada hadis yang memberi
penjelasan dengan menunjuk ayat tertentu dan adajuga hadis nabi yang dikaitkan oleh akal dengan
ayat tertentu.

5
Seluruh ayat Al-Qur’an dan teks hadis adalah pesan dakwah. Dimana ayat Al-Qur’an dan teks
hadis disebut sebagai syariah, sedangkan tafsir keduanya disebut fiqih. Dalam studi fiqih , kebenaran
akal dapat terwujud dalam konsep ijma’ dan qiyas. Banyak definisi tentang ijma’ tetapi yang umum
ijma’ adalah kesepakatan para sahabat nabi saw atas masalah tertentu. Sementara itu, qiyas adalah
menyamakan hukum pada masalah cabang dengan hukum pada masalah pokok, karena ada alasan
yang sama.

Dalam berdakwah, pendakwah tidak boleh meninggalkan akal pikiran. Akal digunakan untuk
menafsirkan kebenaran wahyu yang kemudian diolah sebagai pesan dakwah. Akal juga dimanfaatkan
untuk menjaga etika dakwah dengan menggali hukum yang berkenaan dengan masalah dakwah.
Berdasarkan kemampuan menggali pesan dakwah dari sumber hukum islam, pendakwah dapat
diklasifikasikan menjadi tiga macam :

1. Pendakwah mujtahid yaitu pendakwah yang memiliki kemampuan menggali sendiri secara
mendalam pesan dakwah dari sumber hukum islam.

2. Pendakwah muttabi’ yaitu pendakwah yang tidak memiliki kemampuan seperti kelompok pertama.
Ia mengambil pesan dakwah dari hasil penafsiran para ulama dengan memahami dalil dalil yang
mendasarinya serta mematuhi etika dakwah yang telah ditetapkannya.

3. Pendakwah muqallid yaitu pendakwah yang menyampaikan pesan dakwah tanpa mengetahui dalil
dalil yang mendasarinya, akan tetapi ia sangat yakin akan kebenarannya.

2.2 Hukum Berdakwah

Di antara ayat ayat dakwah yang menyatakan kewajiban dakwah secara tegas adalah surah an-
Nahl ayat 125, surat Ali Imran ayat 104, dan surah al-Maidah ayat 78-79

1. Qs. an-Nahl 125

‫ْ ﱠ‬ ْ ْ ْ ْ َ ّ ٰ ُ ُْ
َ ِ ْ ِ ‫ك با ِ ك َم ِة َوال َم ْو ِع َظ ِة ا َ َس َن ِة َو َ ِادل ُه ْم بال‬َ‫ع ا َس ْيل رب‬
ِ ‫اد‬
ِ ِ ِ ِ ِ

َ ْ َْ َ ُ َ ‫َﱠ‬ َْ َ ُ َ ‫ﱠ‬ ْ َ
‫اح َس ُنۗ ِان َرﱠبك ه َو ا ل ُم ِب َم ْن ضل ع ْن َس ِ ْي ِ ٖ َوه َو ا ل ُم ِبال ُم ْهت ِد ْي َن‬

Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah
mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.

2. QS. Ali-Imran 104

6
ْ
ُ‫ك ُهم‬
َ ُ
َ
َ ْ ْ َ َ ْ َْ
ُ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ ُ ُ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ ُ ْ ‫َ ْ َ ُ ْ ّ ْ ُ ْ ُﱠ ٌ ﱠ‬
‫و كن ِمنكم امة يدعون ِا ا ِ ويأمرون ِبالمعرو ِف وينهون ع ِن المنك ِرۗ واو‬

َ ْ ُ ْ ُْ
‫المﻔ ِلﺤون‬

Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
(berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkarMereka itulah orang-orang yang
beruntung.

3. QS. Al-maidah 78-79

َ ْ ُ َ َْ ُْ َ ‫ْ َ َْ َ ٰ َ َ َ َ ْﱠ‬ َ
ٗ ‫ك َﻔ ُر ْوا م ْنۢ َب ْ ا ْ َ اۤء ْي َل َ ٰ ل َسان َد‬
َ ‫او َد َوع ْي‬ َْ ‫ُ َ ﱠ‬
‫اب ِن مريمۗذ ِك ِبما عصواو نوا يعتدون‬ ِ ِ ِ ِ ِٓ ِ ِ ِ ‫ل ِعن ا‬
َ ُْ َ َْ ُْ َ َ َ ْ َ ُُْ ََ َ ْ ‫َََ َ ْ َ َ ْ ﱡ‬ َ ُْ َ
. ‫ي ناهون عن منك ٍر فعلوهۗ ل ِ ئس ما نوايﻔعلون‬ ‫نوا‬

Orang-orang yang kufur dari Bani Israil telah dilaknat (oleh Allah) melalui lisan (ucapan) Daud
dan Isa putra Maryam. Hal itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak
saling mencegah perbuatan mungkar yang mereka lakukan. Sungguh, itulah seburuk-buruk apa yang
selalu mereka lakukan.

Ayat ayat di atas secara tegas memerintahkan kita untuk melaksanakan dakwah islam.
Perintah tersebut ditunjukkan dalam bentuk kata perintah dan kecaman bagi yang meninggalkan
dakwah. Kata perintah disebut dalam surah an-Nahl ayat 125 dengan kata ”serulah.” Sedangkan
dalam surah Ali Imran ayat 104 kata perintahnya berupa “Dan hendaklah ada di antara kamu
sekelompok orang yang menyeru..”. Perintah pertama lebih tegas dari perintah yang kedua karena
pesan dari perintah pertama lebih jelas, yakni “berdakwalah” , sedangkan pesan dari perintah kedua
hanya “hendaklah ada sekelompok orang yang berdakwah”.

Dalam surat Al-maidah ayat 78-79 tersebut Allah mengecam dengan keras Bani israil yang
meninggalkan dakwah. Mereka tidak memiliki kepedulian sama sekali kepada aktivitas dakwah.
Mereka “ tidak melarang kemungkaran.” Perintah ini juga tidak lebih tegas dibanding kedua ayat di
atas.

Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang dibebani kewajiban dakwah. Pangkal
perbedaan tersebut terletak pada huruf min dalam surah ali Imran ayat 104. Al-ghazali adalah salah
satu ulama yang berpendapat bahwa kewajiban dakwah adalah “fardhu kifayah” yakni hanya
dibebankan atas orang orang yang memiliki kemampuan di bidang agama islam. Selain itu, al-Ghazali
membuat alas an tersendiri. Ia mengatakan :

“Dalam ayat tersebut terdapat penjelasan kewajiban. Firman Allah SWT yang berbunyi "Hendaklah
ada di antara kamu sekolompok orang yang menyeru...(QS. Ali Imran 104)", me- rupakan sebuah
perintah. Pada dasarnya, perintah adalah kewajiban. Dalam ayat itu ada penjelasan bahwa
kebahagiaan terkait dengan kewajiban apabila ia dilaksanakan, Firman Allah, "Mereka adalah orang-

7
orang yang berbahagia", merupakan penjelasan bahwa kewajiban itu adalah fardlu kifayah, bukan
fardlu ain. Karenanya, jika dakwah telah dilaksanakan oleh suatu ke- lompok, maka kewajiban umat
yang lain menjadi gugur. Allah tidak berfirman, "Jadilah masing-masing kalian semua sebagai orang-
orang yang memerintahkan makruf", bahkan berfirman, "Hendaklah di antara kalian ada suatu
kelompok". Manakala ada seorang atau kelompok yang telah melaksanakannya, maka orang lain tidak
menanggung dosa. Kebahagiaan tertentu pada orang-orang yang melaksanakannya dengan gembira.
Jika semua orang duduk saja (tidak melaksanakan dakwah), maka sudah pasti dosanya akan dipikul
oleh semua orang yang memiliki kemampuan (berdakwah)".

Pendapat ini diikuti oleh Ahmad Mahmud, M. Quraish shihab, Ibnu katsir, dan Muhammad
Ahmad al-Rasyid.

Argumentasi lain yang diajukan sebagai penguat hukum fardhu kifayah adalah firman Allah:

ُْ ْ ّ ‫َ ْ َ َ ٌ ّ َ َ َﱠ‬ ُّ ََ َ َ َ ً ‫َﱠ‬ َْ َ ُ ْ ْ َ َ
‫ۤفةۗفل ْو نﻔ َر ِم ْن ِ ِف ْرق ٍة ِّمن ُه ْم طاۤىﻔة ِل تﻔق ُه ْوا ِ ا ِ ِ َو ِل ن ِذ ُر ْوا‬ ‫۞ َو َما ن ال ُمؤ ِم ْون ِل ن ِﻔ ُر ْوا‬
َ َ
َ َ َْ
ࣖ ‫ذ ُر ْون‬ ْ‫َق ْو َم ُه ْم ا َذا َر َج ُع ْوٓا ال ْيه ْم ل َعﱠل ُهم‬
ِ ِ ِ

Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari
setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam
pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali,
agar mereka dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah:122)

Argumentasi rasional (dalil al-aqliy) yang diajukan lebih lanjut adalah bahwa dakwah untuk
mengajarkan kebajikan memerlukan pengetahuan tentang kebaikan itu sendiri. Bagaimana mungkin
orang yang tidak memahami dan membedakan kebaikan dan keburukan menurut islam bisa
berdakwah. Tentu dakwah dari orang yang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang Islam akan
justru menyesatkan.

Berbeda dengan pendapat lainnya yang menyatakan bahwa hukum dakwah adalah fardhu 'ain
yaitu kewajiban bagi setiap muslim tanpa kecuali. Pemahaman ini didasarkan pada kata min pada kata
minkum yang berfungsi sebagai penjelasan ( al-tabyin). Dengan makna ini, kata minkum diartikan
"kamu semua" bukan "sebagian dari kamu" sebagaimana pendapat pertama. Pendapat ini secara
implisit dikemukakan oleh Fakhr al-Din al-Razi. Al-Razi juga memperkuat argumentasinya dengan
sasaran perintah yang bersifat umum pada surat ali Imran ayat 110:

َ ْ ْ ْ ‫ُ ْ ُ ْ َ ْ َ ُﱠ ُ ْ َ ْ ﱠ‬
َ‫كر َو ُت ْؤم ُ ْو َن باﷲۗ َو َل ْو ٰا َمن‬ ُ َ َ ْ َ ََْ ْ ُ ْ َْ َ ْ ُ ُ َ
ِ ِ ِ ِ ‫ام ٍة اخ ِرجت ِ لن ِاس تأمرون ِبالمعرو ِف وتنهون ع ِن المن‬ ‫ك تم‬
َ ْ ُ ْٰ ُ ُ َُ ْ ََ َ ُْ ْ ُْ ُ ُ ْ ْ ُ ‫َ ْ ُ ْ ٰ َ َ َ َ ًْ ﱠ‬
‫ا لهمۗ ِمنهم المؤ ِم ون واك هم الﻔ ِسقون‬ ‫اهل ا ِك ِب ن‬

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh
(berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya

8
Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.

Selain itu, al-Razi juga memaparkan alasan rasional bahwa setiap orang diwajibkan menjauhi semua
hal yang membahayakan keselamatan dirinya. Karenanya, ia mengartikan surat Ali Imran ayat 104
sebagai berikut: "Jadilah kalian sebagai para pendakwah kepada kebajikan, sebagai orang-orang yang
memerintahkan hal yang makruf, dan sebagai orang-orang yang melarang kemungkaran".

Kalau dakwah kita tetapkan hukumnya wajib 'ain maka persoalan yang timbul adalah
kenyataan bahwa tidak semua orang Islam bisa berdakwah karena beberapa keterbatasan. Atau
dengan kata lain tidaklah semua orang memiliki kemampuan berdakwah. Sedangkan kalau hukum
berdakwah wajib kifayah akan berakibat melemahnya tanggung jawab setiap individu muslim untuk
mengemban amanat dakwah. Padahal kelebihan Islam dibanding dengan agama-agama lain dalam
penyebaran agama terletak pada adanya tanggung jawab setiap individu muslim sebagai pendakwah.
Berjuta-juta orang masuk Islam bukan karena ada lembaga dakwah yang secara khusus menyebarkan
Islam. Akan tetapi, lebih banyak karena peran individu- individu muslim yang berdakwah dengan
segala keterbatasannya. Islam masuk ke Indonesia juga bukan karena dakwah oleh lembaga dakwah
melainkan lebih banyak oleh para pedagang muslim yang mengabdikan dirinya sebagai pendakwah
disela-sela kegiatan bisnisnya. Itulah realitas sejarah yang tak terbantah.

Dari kedua pendapat tentang kewajiban berdakwah di atas, ulama Muhammad abu zahrah
memadukan keduanya. Menurutnya fardhu’ain melakukan dakwah secara individual dan fardhu
kifayah melakukan dakwah secara kolektif(berjamaah). Kewajiban dakwah dapat dilakukan secara
bersama. Setiap umat islam harus menyampaikan dakwah, meski dengan pengetahuan agama yang
terbatas. Sekecil apapun kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dapat menjadi andil dalam
kemajuan islam.

Perdebatan antara fardhu kifayah dan fardhu ‘ain dalam kewajiban dakwah adalah hal yang
tidak penting karena keduanya sama. Ulama yang menyatakan fardhu ‘ain memberikan persyaratan
kemampuan berdakwah, sedangkan pendapat yang menyatakan fardhu kifayah menekankan
keharusan ada diantara umat yang memikul kewajiban dakwah.

2.3 Fikih Dakwah Di Antara Fikih Lain

Secara garis besar fikih dikelompokkan dalam dua bidang, yaitu ibadah dan muamalah.
Dimana antara ibadah dan muamalah terdapat karakteristik yang mendasar yakni ibadah berhubungan
dengan Allah SWT sedangkan muamalah dengan selain Allah SWT. Lebih terperinci lagi, fiqih
dakwah dapat diklasifikasikan dalam delapan bidang, yaitu: ibadah murni, muamalah, masalah
keluarga, tindak pidana, peradilan, pemerintahan, hubungan antarnegara, persoalan akhlak.

Dalam perkembangannya, Fikih telah dikaji secara tematis, sehingga muncul istilah-istilah
baru yang merujuk pada masalah Fikih, antara lain: Fikih Kedokteran (terkait dengan masalah medis),
Fikih Wanita (masalah kaum perempuan), Fikih Keuangan Islam (masalah investasi), Fikih
Permainan dan Hiburan (terkait masalah olahraga dan jenis hiburan), dan Fikih Dakwah (masalah
yang terkait dengan kegiatan dakwah). Perkembangan istilah ini selaras dengan perkembangan
masalah yang dikaji Fikih. Masalah tersebut muncul sebagai konsekuensi dari perubahan sosial yang

9
terjadi di masyarakat. Begitu pula, perubahan sosial lebih dominan dipengaruhi oleh perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam Fikih Dakwah, permasalahannya semakin kompleks ketika
diterapkan pada masyarakat modern yang berorientasi pada kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi komunikasi.

Fikih Dakwah dapat dikelompokkan dalam wilayah muamalah.Oleh karena itu, penjelasan
tentang dakwah dalam Al-Qur'an dan hadis tidak terperinci. Pembahasan hidayah (petunjuk Allah)
bukan domain Fikih Dakwah, karena karakteristik Fikih hanya terfokus pada perbuatan pendakwah.
Selain itu, nalar ijtihad dalam Fikih Dakwah lebih luas clan berkembang cepat, karena kecepatan
kecanggihan teknologi komunikasi melebihi teknologi lainnya.

Fiqih dakwah membahas masalah etika dalam dakwah. Kajian ini hanya mengulas hukum
hukum fiqih yang terjadi maupun belum terjadi dalam kegiatan dakwah. Dalam realitas dakwah, ada
aturan yang seharausnya diikuti oleh umat islam, meski dakwah sendiri dikategorikan sebagai
perbuatan baik. Ilmu dakwah membahas apa adanya tentang kajian kegiatan dakwah, sedangkan fiqih
dakwah membahas apa yang seharusnya dilakukan dalam kegiatan dakwah. Dengan kata lain untuk
menemukan strategi dakwah kita butuh mempelajari ilmu dakwah, sedangkan agar dakwah kita
terarah dengan benar dibutuhkan kajian tentang fiqih dakwah.

2.4 Kaidah Prinsip Prinsip Fiqih Dakwah

Fikih dakwah membahas beberapa kaidah pokok yang terdiri dari aturan-aturan atau hukum-
hukum yang harus ditetapkan dalam operasional dakwah sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
Kaidah-kaidahtersebut terbagi kepada dua bentuk, yaitu:

1. Kaidah-kaidah fikih untuk dakwah (al-qawa’idul fiqhiyah li ad-da’wah) yang dijadikan


sebagai instrumen dalam menentukan hukum-hukum atau aturan-aturan yang berkenaan
dengan dakwah.

2. Kaidah prinsif-prinsif dakwah (al-qawa’idu li ad-da’wah), yaitu beberapa kaidah yang


dijadikan sebagai prinsif-prinsif dalam menyusun strategi, metode atau tehnik dalam
pelaksanaan dakwah.

Jum’ah Amin Abdul Aziz telah menguraikan secara detail tentang kaidah prinsif-prinsif
pelaksanaan dakwah tersebut yang mencakup komponen-komponen dakwah, yaitu komponen da’I,
komponen materi, mad’u, metode, situasi dan kondisi lingkungan dakwah, sebagai berikut:

Kaidah Pertama: Prinsif yang berkenaan dengan da’I

1. Memberi keteladanan sebelum berdakwah (al-qudwah qobla ad-da’wah).

Seorang da’I adalah contoh teladan di masyarakat, keteladanannya dapat diteladani dan dapat
juga mengangkat mutu dan kewibawaannya dalam mengajak masyarakat kepada kebaikan.
Keteladanan da’I berarti memulai kebaikan dari diri sendiri kemudian mengajak orang lain untuk
mengikutinya. Keteladanan mencakup iman, amal, akhlak dan sifat-sifat terpuji.

2. Seorang da’I hendaklah muridnya guru, bukan muridnya buku.

10
Jum’ah Amin mengemukakan bahwa da’I lebih utama belajar langsung kepada guru atau
ulama dari pada belajar mmelalui bukunya guru. Ini didasarkan kepada hadis nabi saw. Yang
diriwayatkan oleh Imam Bukari yang menyatakan bahwa Allah swt. Mencabut ilmu bukan
mengangkat ilmu itu dari manusia, tetapi adalah dengan cara mencabut nyawa ulama. Maka ketika
tidak ada lagi orang berilmu, manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang bodoh yang
memberi fatwa menyesatkan . Buku adalah hasil karya guru yang dituliskan. Bagi para da’I yang
bermukim jauh dari kediaman guru (ulama) yang tidak mungkin didatangi secara langsung, maka da’I
dapat juga belajar kepada gurunya melalui buku.

Berkenaan dengan prinsif-prinsif yang berkaitan da’I, para ulama telah menjelaskan beberapa
kriteria dan kometensi da’i. Da’I disyaratkan memiliki beberapa kompetensi, antara lain kompetensi
Subtantif dan kompetensi metodologis. Pendapat lain mengatakan bahwa seorang da’I hendaknya
memiliki kekuatan intelektual (wawasan keilmuan), keterampilan (skill), kekuatan moral (akhlak) dan
kekuatan spritual.

Fawwaz bin Hulayyil menjelaskan kompetensi da’I sebagai berikut:

1. Keikhlasan dalam berdakwah.

2. Dakwah dengan ilmu dan bashiroh dalam agama.

3. Sikap sabar dan santun dalam menghadapi setiap cobaan.

Kaidah Kedua: Prinsif Penetapan Metode Dakwah

1. Mengikat hati sebelum membebani (at-ta’lif qobla at-ta’rif).

Para ahli dakwah menetapkan metode dakwah berdasarkan surat an-Nahl ayat 125 yang
menyatakan bahwa dakwah Islam disampaikan dengan cara hikmah, pengajaran (nasihat) yang baik
dan berdebat dengan cara yang lebih baik. Ini menunjukkan bahwa metode dakwah Islam memiliki
prinsif dakwah humanis. Dakwah bukanlah beban tetapi kebutuhan. Dakwah penuh kelembutan,
penuh pertimbangan, tidak memaksakan serta selalu menjaga kerahasiaan mad’u.

2. Mengenalkan sebelum memberi beban (at-ta’rif qobla at-ta’lif).

Dakwah dimulai dari askpek kognitif sebelum aspek afektif dan psikomotor, yaitu
memberikan informasi dan konfirmasi kepada mad’u sebelum diber kewajiban menjalankan ajaran
Islam. Dengan bekal ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang mad’u akan dapat mengamalkan ajaran
Islam dengan baik.

3. Memudahkan bukan menyulitkan (at-taysir la at-ta’sir).

Strategi dakwah Islam adalah memudahkan dan bukan mempersulit urusan,sesuai dengan
alquran surah al baqarah ayat 185.

4. Memberi pemahaman bukan mendikte (at-tafhim la at-talqin)

Seorang da’I tidaklah orang yang hanya menyampaikan pesan dengan cara mendikte orang,
tetapi hendaklah pesan yang disampaikan dapat memberi pemahaman tentang maksud pesan tersebut.
Penyampaian pesan yang jelas dan detail akan memudahkan mad’u menerima dan memahaminya.

11
Penerimaan mad’u akan pesan-pesan dakwah yang kurang jelas akan dapat menimbulkan
kesalahpahaman dalam menerima pesan sehingga maksud dan tujuan dakwah tidak tercapai.

5. Mendidik bukan mempermalukan (at-tarbiyah la at-ta’riyah).

Berdakwah dilakukan dengan cara mendidik mad’u dengan ajaran Islam. Dalam menghadapi
mad’u yang beraneka ragam bentuk dan karakternya seorang da’I hendaklah menghindari hal-hal
yang dapat menyinggung perasaan mad’u dengan cara membuka aib dan kesalahannya didepan
khalyak.

Kaidah Ketiga: Prinsif Pengelolaan Pesan

1. Penyampaian pesan dakwah secara bertahap (at-tadarruj fi at-taklif).

Pemberian pesan dakwah merupakan bahagian penting dalam dakwah karena setiap pesan yang
disampaikan pada prinsifnya adalah pemberian beban yang harus diamalkan oleh mad’u. Tahapan
dakwah dalam pemberian pesan dakwah sesuai dengan prinsif turunnya alQur’an dengan cara tahap
demi tahap. Hal ini dimaksudkan untuk penyesuaian pembebanan dengan kemampuan mad’u
sehingga masyarakat tidak terkesan memberatkan.

2. Masalah yang Pokok sebelum Cabang (al-Ushulu qobla al-Furu’)

Prinsif ini berdasarkan firman Allah dalam surat Ali Imran (3) ayat 7. Dimana ayat tersebut
menjelaskan bahwa menyampaikan pesan dakwah tentang ayat-ayat muhkamat lebih didahulukan
daripada ayat-ayat yang mutasyabihat, masalah tauhid lebih didahulukan dari masalah lain. Demikian
juga dalam masalah amal-amal yang wajib, lebih dahulu disampaikan dari pada yang amalan yang
sunat-sunat. Masalah penting didahulukan dari masalah biasa. Persoalan yang besar diutamakan dari
persoalan yang kecil. Contoh : kalangan mad’u yang membutuhkan materi pesan tentang shalat wajib
lebih didahulukan dari mad’u yang membutuhkan materi tentang shalat sunat dluha.

3. Pesan tentang membesarkan hati lebih dahulu dari pada memberi ancaman (at-Targhib qobla at-
tarhib.)

Prinsif seperti ini banyak ditemukan dalam al-Qur’an antara lain dalam surat Muhammad
(26) ayat 7-8. Dimana dalam ayat tersebut dengan jelas terlihat bahwa pesan kebaikan yang diterima
oleh orang mukmin (at-targhib) lebih dahulu disampaikan dari pesan ancaman bagi orang kafir karena
kesesatan mereka (at-tarhib). Dengan demikian, seorang da’I hendaknya lebih mengutamakan pesan
pesan yang dapat membangkitkan semangat dan gairah mad’u untuk mengamalkan kebaikan dengan
menyampaikan motivasi tentang amal shaleh dan ganjaran yang diterimanya. Pada prinsifnya apabila
seseorang telah mengamalkan kebaikan seperti shalat, puasa, zakat dan haji, maka dengan sendirinya
dia akan terjauh dari kejahatan.

Dari segi lain, seorang da’I yang terlalu banyak mencela atau mengancam orang kafir,
musyrik dan orang-orang fasik dengan berbagai pesan yang berbentuk ancaman, siksaan dan hukuman
di dunia dan akhirat, mereka dikhawatirkan justru cenderung akan membenci dakwah. Bagi ummat
Islam yang melakukan kemungkaran sekalipun tidak dianjurkan mencela aibnya. Sebab mengungkap
dan mencela aib seseorang disebut ghibah. Rasulullah saw. Dalam menerapkan hukuman bagi wanita
yang berzina disebutkan dalam hadis bahwa Beliau melarang ummat Islam untuk mencaci dan
membeberkan aibnya.

12
Kaidah Keempat: Prinsif Menghadapi Mad’u

Dakwah Islam ditujukan kepada seluruh ummat manusia, baik laki-laki maupun perempuan,
penguasa atau rakyat, orang terdidik atau orang awam, kaum munafik atau orang shaleh, kepada kaum
muslimin atau non muslim. Seorang da’I hendaklah memperhatikan mad’unya dari aspek sosiologis,
psikologis maupun budaya yang dianutnya.

Fawwaz bin Hulayyil as-Suhaimi mengemukakan kaidah yang berhubungan dengan


beberapa prinsif menghadapi perbedaan mad’u sebagai berikut:

1. Prinsif menjaga perbedaan antara berdakwah kepada kaum muslimin dan non muslimin.
Dakwah kepada non muslim dimulai dengan dakwah tauhid kepada Allah swt. Amal yang
dilakukan oleh mereka tidak akan diterima sebelum bersaksi kepada Allah dan Rasul-Nya.

2. Menjaga perbedaan antara berdakwah kepada orang awam dengan ahli hawa’

3. Menjaga perbedaan antara berdakwah kepada penguasa dengan rakyat.

4. Menjaga perbedaan budaya, status ekonomi, usia dan tingkat pendidikan.

Kaidah Kelima: Prinsif Memperhatikan Lingkungan Dakwah

1. Menyesuaikan dakwah Islam dengan perkembangan zaman. Kondisi kaummuslimin pada


masa awal Islam berbeda dengan kondisi umat zaman sesudahnya sampai dengan masa sekarang.
Kondisi ini telah djelaskan Nabi saw. Dalam beberapa hadis, antara lain Beliau mengatakan dalam
hadis riwayat Muslim: “Sesungguhnya tidak ada seorang nabipun sebelumku, melainkan mereka
menunjukkan ummatnya kepada kebaikan yang dia ketahui baik bagi mereka, dan memberikan
peringatan kepada mereka suatu kejelekan yang dia ketahui buruk bagi mereka dan sesungguhnya
ummat kalian in, keselamatannya dia jadikan diawalnya, sementara orang-orang yang ada di akhirnya
akan ditimpa dengan berbagai musibah dan berbagai perkara yang kalian ingkari, lalu datanglah fitnah
yang sebagian darinya akan menjadikan yang lain (terasa) ringan.”

Hadis ini menjelaskan bahwa perkembangan zaman membawa ummat menuju kondisi yang
lebih buruk dengan semakin merebaknya fitnah, bid’ah, permusuhan dan wahan (cinta dunia dan
benci kematian). Demikian juga dampak kemajuan teknologi informasi bagi ummat Islam, di samping
memiliki dampak positif, terdapat juga dampak negatif. Prinsif dakwah dalam menghadapi situasi dan
kondisi ini adalah:

a. Dakwah Islam tidak mungkin dipaksakan mencapai sesuatu yang tidak mungkin dicapai
seperti halnya pada masa shabat nabi saw.;

b. Dakwah Islam tetap terjaga kemurniannya sehingga tidak sampai kehilangan jati diri
karena penyesuaian diri dengan perkembangan zaman;

c. Dakwah Islam harus memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk kemajuan


dakwah dalam wawasan global.

Rasul saw. Memberi pegangan hidup bagi kaum muslimin yang hidup di zaman sekarang
dalam salah satu hadis: “Sesungguhnya akan merebak (setelahku) sikap mementingkan diri sendiri
dan berbagai macam perkara yang kalian ingkari.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah apakah

13
yang anda perintahkan kepada seseorang dari kami yang menjumpainya?” Beliau menjawab:
“Tunaikanlah kewajiban kalian dan mintalah hak kalian kepada Allah.

2. Prinsif penyesuaian dakwah dengan sosial- budaya masyarakat.

Para nabi Allah diutus kepada kaumnya membawa ajaran tauhid dan membawa ajaran yang
sesuai dengan kodisi sosial mereka. Prinsif penyesuaian dakwah dengan bentuk kemungkaran yang
dilakukan ummat digambarkan al-Qur’an antara lain seperti dakwah nabi Sy’aib yang membawa
pesan-pesan tauhid yang murni kepada ummat yang selalu melakukan penipuan terus-menerus dalam
perdagangan mereka, lalu Syu’aib mengajak mereka supaya transaksi dengan kejujuran dalam
timbangan dan takaran. (Q.S. Asy-Syu’ara ayat 181). Demikian juga nabi Luth as. Diutus untuk
mengajak kaumnya kepada tauhid dan supaya meninggalkan homoseksual. (Q.S. Al-A’raf ayat 80-
81). Rasul saw. Ketika menulis surat dakwah ke Romawi, maka dikatakanlah :”Sesungguhnya
mereka tidak akan membaca surat tanpa stempel”, maka beliaupun membuat stempel dari perak.

Hadis dan beberapa tersebut menunjukkan bahwa prinsif dakwah termasuk penyesuaian
pesan dengan masalah yang menimpa mad’u agar mereka keluar dari keterbelakangan menuju
kemajuan. Integrasi dakwah dengan budaya masyarakat yang semakin maju dan multikultural akan
mengangkatke’arifan lokal dalam kontek sosialisasi dakwah humanis. Kaidah yang berkenaan dengan
hal ini ialah : “Meninggalkan kebiasaan lama yang tidak baik dan mengambil hal baru yang lebih
baik.” Prinsif lain yang berhubungan dengan kaidah ini ialah penyesuaian pesan dakwah dengan
tingkat kecerdasan mad’u yang dihadapinya. Prinsif ini menuntut da’I akan kompetensi psikologi,
antropoligi dan sosiologi, komunikasi dan ilmu hukum agar dapat berbicara dengan mad’u sesuai
dengan tingkat kecerdasan, budaya dan kedudukansosial mereka. Kemajuan teknologi informasi
mengakibatkan tingginya peradaban manusia, masyarakat mengetahui informasi global, semakin
tingginya laju transformasi sosial serta terjadinya perubahan gaya hidup masyarakat.

3. Penyesuaian dakwah dengan kondisi sosial- politik

Ulama telah banyak memberi penjelasan dan ijtihad dalam penyesuaian dakwah dengan sosial-politik
suatu negara. Ummat Islam tidak seluruhnya berdomisili di negara Islam, oleh karena itu
bagaimanakah prinsif dakwah dalam menyikapi penguasa dan falsafah negara yang bukan
berdasarkan syariah. Ibnu Taimiyah mengemukakan kewajibkan amar ma’ruf nahi mungkar,
sementara hal itu tidak mungkin tanpa kekuatan dan kepemimpinan, demikian juga dalam penegakan
kewajiban lainnya seperti jihad, penegakan ke’adilan, perayaan Islam, menegakkan hukuman syari’ah
yang semuanya tidak sempurna kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan.”

Bagi ummat Islam yang hidup dalam suatu negara yang bukan Islam atau menjadi masyarakat
minoritas yang tidak memiliki kekuatan, maka prinsif dakwah adalah diperbolehkannya meninggalkan
jihad dan amar ma’ruf dengan kekuatan/kekuasaan dan lisan, akan tetapi semua itu tidak menafikan
ingkar dengan hati. Sikap tersebut wajib dilakukan dalam setiap kesempatan, karena tidak adanya
fitnah yang ditimbulkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun hati wajib mengingkari
dalam berbagai keadaan, karena tidak adanya bahaya kala melakukannya. Syaikh Shalih Fawzan
menyatakan bahwa berinteraksi dengan penguasa kafir, maka sikap yang dilakukan berbeda sesuai
dengan keadaan, jika mereka memiliki kemampuan, dan kekuatan dalam memerangi dan
meruntuhkan kekuasaan mereka, maka hal itu wajib bagi kaummuslimin, bahkan termasuk jihad di
jalan Allah, lalu jika mereka tidak memiliki kemampuan untuk hal itu, maka tidak diperbolehkan bagi
mereka melakukan perlawanan kepada penguasa, karena sikap yang demikian akan mengakibatkan
bahaya bahkan penumpasan terhadap kaum muslimin.

14
Dalam penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kaidah prinsif dakwah Islam di negara yang
bukan Islam atau di negara minoritas kaum muslimin, harus disesuaikan dengan kondisi ummat Islam.
Penegakan syari’at dan jihad serta amar ma’ruf dan nahi mungkar disesuaikan dengan kemampuan,
tidak harus ditegakkan karena kondisi yang kurang menguntungkan bagi keberadaan ummat Islamitu
sendiri. Amar ma’ruf nahi mungkar untuk menghilangkan kerusakan (mafsadah) boleh ditinggalkan,
kalau menimbulkan mafsadah yang lebih besar. Namun kaum muslimin tetap diwajibkan menjalankan
kewajibannya secara pribadi serta membenci dengan hati segala kemungkaran yang ada
dihadapannya.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Seluruh ayat Al-Qur’an dan teks hadis adalah pesan dakwah. Dimana ayat Al-Qur’an dan teks
hadis disebut sebagai syariah, sedangkan tafsir keduanya disebut fiqih. Dalam studi fiqih , kebenaran
akal dapat terwujud dalam konsep ijma’ dan qiyas. Banyak definisi tentang ijma’ tetapi yang umum
ijma’ adalah kesepakatan para sahabat nabi saw atas masalah tertentu. Sementara itu, qiyas adalah
menyamakan hukum pada masalah cabang dengan hukum pada masalah pokok, karena ada alasan
yang sama.

Dalam berdakwah, pendakwah tidak boleh meninggalkan akal pikiran. Akal digunakan untuk
menafsirkan kebenaran wahyu yang kemudian diolah sebagai pesan dakwah. Akal juga dimanfaatkan
untuk menjaga etika dakwah dengan menggali hukum yang berkenaan dengan masalah dakwah.
Berdasarkan kemampuan menggali pesan dakwah dari sumber hukum islam, pendakwah dapat
diklasifikasikan menjadi tiga macam : Pendakwah mujtahid, pendakwah muttabi’, dan pendakwah
muqallid.

Hukum berdakwah terdiri dari dua pendapat yakni fardhu kifayah dan fardhu ‘ain.
Perdebatan antara fardhu kifayah dan fardhu ‘ain dalam kewajiban dakwah adalah hal yang tidak
penting karena keduanya sama. Ulama yang menyatakan fardhu ‘ain memberikan persyaratan
kemampuan berdakwah, sedangkan pendapat yang menyatakan fardhu kifayah menekankan
keharusan ada diantara umat yang memikul kewajiban dakwah.

Kedudukan fiqih dakwah diantara fiqih lainnya yakni Fikih Dakwah dikelompokkan dalam
wilayah muamalah .Oleh karena itu, penjelasan tentang dakwah dalam Al-Qur'an dan hadis tidak
terperinci. Pembahasan hidayah (petunjuk Allah) bukan domain Fikih Dakwah, karena karakteristik
Fikih hanya terfokus pada perbuatan pendakwah.

Adapun, untuk kaidah prinsif-prinsif pelaksanaan dakwah yang mencakup komponen-


komponen dakwah, yaitu komponen da’I, komponen materi, mad’u, metode, situasi dan kondisi
lingkungan dakwah.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ali Aziz, Moh. 2012. Ilmu Dakwah Edisi Revisi. Jakarta : Kencana.

Al-Bayanuniy, Muhammad Abu Al-Fatah. 2010. Ilmu Dakwah Prinsip dan Kode Etik
Berdakwah. Jakarta: Akademia Pressindo.

Al-qur’an Alkarim.

AS, Enjang, Aliyudin. 2009. Dasar-dasar Ilmu Dakwah. Bandung : Widya Padjajaran.

17

Anda mungkin juga menyukai