Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA

“Dasar-dasar Ilmu Al-Qur’an”

Dosen Pengajar : Mufidul Abror, S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh:

Kelompok 3 – Teknik Sipil B

M. Muzayin (021910057)
Sya’I Ramadhan (021910066)
Imam Sakroni (021910084)
Muhammad Choirul Mustofa (021910093)

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
2019

i
KATA PENGANTAR

Segala puji kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat
limpahan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Dasar-
dasar Ilmu Al-Qur’an” yang merupakan salah satu tugas mata kuliah Pendidikan
Agama Islam pada semester dua Universitas Islam Lamongan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pengajar mata kuliah
Pendidikan Agama Islam Bapak Mufidul Abror, S.Pd., M.Pd. yang telah
memberikan tugas ini sehingga pengetahuan kami dalam menulis makalah
semakin bertambah dan sangat bermanfaat bagi kelanjutan perkuliahan kami di
kemudian hari. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada semua pihak
atas segala bantuan dalam menyelesaikan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami sampaikan permohonan maaf karena
kami menyadari bahwa masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca kami terima dengan senang hati demi
penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah yang kami buat bisa memberi
manfaat dan memperluas pengetahuan bagi para pembaca.

Lamongan, Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................i

KATA PENGANTAR......................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah...........................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................3

2.1 Makiyah dan Madaniyah.................................................................3


2.2 Muhkam dan Mutasyabih...............................................................7
2.3 I’jazul Qur’an..................................................................................11
2.4 Asbabun Nuzul................................................................................15
2.5 ‘Amm dan Khosh............................................................................19

BAB III PENUTUP..........................................................................................26

3.1 Kesimpulan.....................................................................................26
3.2 Saran...............................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................27

iii
4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semua bangsa berusaha keras untuk melestarikan warisan pemikiran


dan nilai-nilai kebudayaannya. Tak terkecuali umat islam, mereka sangat
memperhatikan kelestarian risalah Muhammad yang memuliakan semua umat
manusia. Itu disebabkan risalah Muhammad bukan sekedar risalah ilmu dan
pembaharuan yang hanya mendapat perhatian sepanjang akal menerimanya.
Tetapi, di atas itu semua, ia merupakan agama yang melekat pada akal dan
terpatri dalam hati. Ya, Al-Quran, kalam Tuhan juga mukjizat terbesar yang
dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan umat Islam,
tentunya harus dipahami secara mendalam.
Pemahaman Al-Quran dapat diperoleh dengan mendalami atau
menguasai ilmu-ilmu yang tercangkup dalam ‘ulumul qur’an. Dan menjadi
salah satu bagian dari cabang keilmuan ‘ulumul qur’an adalah ilmu yang
membahas tentang ayat Makiyah atau Madaniyah, Muhkam dan Mutasyabih
ayat, I’jazul Qur’an yang merupakan bagian dari ilmu tafsir yang mempelajari
tentang segala sesuatu yang menyangkut kemukjizatan Al-Qur’an, tentang
memahami konteks Sosio-historisnya melalui pembelajaran Asbabun Nuzul
ayat-ayat Al-Qur’an, juga kaidah-kaidah kebahasaan dalam Al-Qur’an,
khususnya dalam hal lafadz ‘Am dan Khash yang itu semua bersifat penting
untuk dipelajari.
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin yang menjadi sumber
ajaran Islam yang pertama dan utama yang harus diimani serta diaplikasikan
dalam kehidupan agar memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Oleh
karena itu, sebagai seorang muslim kita harus mempelajarinya dengan
sungguh-sungguh, terlebih pada ‘ulumul qur’an yang bila tidak
menguasainya, banyak faedah yang tidak dapat dipetik, dan yang hendak
mengetahui Al-Qur’an tanpa memahami apa ‘ulumul qur’an itu, bisa-bisa

1
terjebak ke dalam kesalahan yang fatal. Selain itu banyak sekali hikmah yang
dapat kita ambil untuk menambah keimanan kita setelah mempelajari dan
mengetahui apa ‘ulumul qur’an itu. Dan diharapkan setelah kita
memahaminya kita dapat lebih mencintai Al-Qur’an dan mengamalkannya
dengan benar dalam setiap aspek kehidupan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Makiyah dan Madaniyah ?
2. Apa pengertian Muhkam dan Mutasyabih ?
3. Apa pengertian I’jazul Qur’an ?
4. Apa pengertian ‘Am dan Khash ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Makiyah dan Madaniyah secara luas.
2. Mengetahui pengertian Muhkam dan Mutasyabih secara luas.
3. Mengetahui pengertian I’jazul Qur’an secara luas.
4. Mengetahui pengertian ‘Am dan Khash secara luas.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Makiyah dan Madaniyah


2.1.1 Definisi
Perbedaan makkiyah dan madaniyah sangat mendapat perhatian
dari para ahli ilmu al-qur’an disebabkan korelasi ayat makiyah dan
madaniyah yang menimbulkan konsekuensi hukum syariah. Apabila ayat
hukum itu turun di Makkah maka akan terhapus hukumnya oleh ayat-ayat
yang diturunkan di Madinah. Konsekuensi ini menuntut para ahli untuk
berupaya menentukan setepat mungkin masalah makiyah dan madaniyah.
Maka para ahli ilmu al-qur’an berbeda pendapat dalam menentukan
defenisi makkiyah dan madaniyah terdapat empat pendekatan dalam
mendefinisikan makiyah dan madaniyah.
Pertama, pendekatan historis (mulahadzatu zamanin nuzul) yaitu :
teori yang berorientasi pada sejarah masa turunnya wahyu. Ulama
mendifinisikan makkiyah adalah ayat yang diturunkan di Makkah
sekalipun turunnya setelah hijrah, sedangkan madaniyah adalah ayat yang
turun di Madinah.
Kedua, pendekatan geografis (mulahadzatu makanin nuzul) teori
ini berorientasi pada tempat turunnya ayat. Maka ayat makiyah ialah ayat
yang turun di Makkah dan sekitarnya seperti Mina dan Arafah atau
Hudaibiyah. Sedangkan madaniyah adalah ayat yang turun di Madinah dan
sekitarnya seperti Uhud, Quuba dan Salwa.
Ketiga, pendekatan obyek (mulahadzatul mukhotobin fin nuzul)
teori ini berorientasi kepada obyek yang ditunjukkan oleh ayat. Maka
makiyah ialah ayat yang ditunjukkan bagi orang-orang Makkah. Menurut
pendapat ini bahwa firman allah yang menyeru kepada seluruh manusia :
ya ayyuhannas adalah makiyah. Sedangkan ayat yang ditunjukkan kepada
orang-orang mukmin : ya ayyuhalladzina aamanuu adalah madaniyah.
Keempat, pendekatan konstektual (mulahadzatu  maa
tadammanathu assuratu), teori ini berorientasi kepada kandungan ayat

3
maupun surat termaksud. Dengan demikian setiap surat mengandung
kisah-kisah lama, konsep tauhid, suri tauladan dan semacamnya termasuk
makiyah, sedangkan yang mengandung pembentukan masyarakat, hukum,
ekonomi, dan semacamnya termasuk madaniyah.
2.1.2 Perbedaan Makiyah dan Madaniyah
Ciri-ciri khusus surat makiyah :
a. Mengandung ayat sajdah (Al-A’raf : 206, A-Nahl : 149, An-Nahl : 50,
Al-Isra’ : 107, Al-Isra’ : 108, Al-isra’ : 109, Maryam : 85, Al-Furqan :
60).
b. Terdapat lafal kalla sebagian besar ayatnya (Al-Humazah :4).
c. Terdapat seruan dengan ya ayyuhannasu.
d. Mengandung kisah nabi-nabi dan umat-umat yang telah lalu, kecuali
surat Al-Baqarah (surat Al-A’raaf : kisah Nabi Adam dengan iblis,
kisah Nabi Nuh dan kaumnya, kisah Nabi Shalih dan kaumnya, kisah
Nabi Syu’aib dan kaumnya, kisah Nabi Musa dan Firaun).
e. Terdapat kisah adam dan iblis, contohnya dalam surat Al-A’raf : 11
yang artinya : “sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (adam),
lalu kami bentuk tubuhmu, kemudian kami katakana kepada malaikat :
bersujudlah kamu kepada adam. Maka merekapun bersujud kecuali
iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.”
f. Semua atau sebagian suratnya diawali huruf tahajji seperti Qaf (‫ق‬ (,
Nun ( ‫ن‬ ), Haa Mim ( ‫حم‬ ), Shood (‫)ص‬.
g. Ayat-ayatnya dimulai dengan huruf terpotong-potong (al-ahraf al-
muqatha’ah atau fawaatihussuwar), seperti‫ الم‬  (surat Ar-
Rum:1),  ‫الر‬ (surat Hud :1), kecuali Q.S Al-Baqoroh dan Ali ‘Imron.
Ciri-ciri umum surat makiyah :
a. Ayat-ayatnya pendek, surat-suratnya pendek (An-Nass 6 ayat, Al-
Ikhlas 4 ayat, Al-Falaq 5 ayat, Al-Lahab 5 ayat), nada perkataannya
keras dan agak bersajak (surat Al-Ashr).
b. Mengandung seruan pokok-pokok iman kepada Allah, hari akhir dan
menggambarkan keadaan surga dan neraka.

4
c. Menyeru manusia berperangai mulia dan berjalan lempang di atas
jalan kebajikan (An-Nahl, = akhlak-akhlak baik).
d. Mendebat orang-orang musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan
pendirian mereka (surat Al-Kahfi ayat 102-108).
e. Banyak terdapat lafadz sumpah. (surat Al-Anbiyaa’ : 57)
Ciri-ciri khusus surat madaniyyah :
a. Di dalamnya ada izin berperang atau ada penerangan tentang hal
perang dan penjelasan tentang hukum-hukumnya. (QS. Al-Ahzab =
tentang perang ahzab / khandaq).
b. Di dalamnya terdapat penjelasan bagi hukuman-hukuman tindak
pidana, fara’id, hak-hak perdata, peraturan-peraturan yang bersangkut
paut dengan bidang keperdataan, kemasyarakatan dan
kenegaraan. (QS. An-Nur = tentang hukum-hukum sekitar masalah
zina, li’an, adab-adab pergaulan di luar dan di dalam rumah tangga.
QS. Al-Ahzab = tentang hukum zihar, faraid).
c. Di dalamnya tersebut tentang orang-orang munafik (surat An-Nur ayat
47-53 tentang perbedaan sikap orang-orang munafik dengan sikap
orang-orang muslim dalam bertakhim kepada Rasul).
d. Di dalamnya didebat para ahli kitab dan mereka diajak tidak berlebih-
lebihan dalam beragama, seperti terdapat dalam surat Al-Baqarah, An-
Nisa’, Ali Imran, At-Taubah dan lain-lain.
Ciri-ciri umum surat madaniyyah :
a. Suratnya panjang-panjang, sebagian ayatnya pun panjang serta jelas
menerangkan hukum (QS. Al-Baqarah surat dan ayatnya panjang, dan
didalamnya terdapat hukum haji dan umrah, hukum qishas, hukum
merubah kitab-kitab Allah, hukum haid, iddah, hukum bersumpah,
hukum arak dan judi).
b. Menjelaskan keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang menunjukkan
kepada hakikat-hakikat keagamaan.

5
2.1.3 Fungsi Memahami Ilmu Makiyah dan Madaniyah
1. Membantu dalam menafsirkan Al-qur’an
Pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa di seputar turunnya Al-
Qur’an tentu sangat membantu dalam memahami dan menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran, kendatipun ada teori yang mengatakan bahwa
yang harus menjadi patokan adalah keumuman redaksi ayat dan
bukan kehususan, sebab dengan mengetahui kronologis Al-Quran
pula, seorang mufassir dapat memecahkan makna kontradiktif dalam
dua ayat yang berbeda, yaitu dengan pemecahan konsep nasikh-
mansukh yang hanya bisa diketahui melalui kronologi Al-Quran.
2. Pedoman bagi langkah-langkah dakwah
Setiap kondisi tentu saja memerlukan ungkapan-ungkapan yang
relevan. Ungkapan-ungkapan dan intonasi berbeda yang digunakan
ayat-ayat makkiyah dan ayat-ayat madaniyyah memberikan informasi
metodologi bagi cara-cara menyampaikan dakwah agar relevan
dengan orang yang diserunya. Oleh karena itu, dakwah Islam berhasil
mengetuk hati dan menyembuhkan segala penyakit rohani orang-
orang yang diserunya. Di samping itu, setiap langkah-langkah dakwah
memiliki objek kajian dan metode-metode tertentu, seiring dengan
perbedaan kondisi sosio-kultural manusia. Periodisasi makkiyah dan
madaniyyah telah memberikan contoh untuk itu.
3. Memberi informasi tentang sirah kenabian
Penahapan turunnya wahyu seiring dengan perjalanan dakwah
nabi, baik di Makkah atau di Madinah, dimulai sejak diturunkannya
wahyu pertama sampai diturunkannya wahyu terakhir. Al-Quran
adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah nabi itu. Informasinya
tidak bisa diragukan lagi.
4.  Mengetahui dan mengerti sejarah pensyariatan hukum-hukum Islam
(Taarikhut Tasyri’) yang amat bijaksana dalam menetapkan
peraturan-peraturan.

6
2.2 Muhkam dan Mutasyabih
2.2.1 Definisi
Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan Muhkam dan Mutasyabih dalam
buku studi Ilmu-Ilmu Qur’an, bahwa menurut bahasa Muhkam berasal dari
kata ‫ حكمت الد ابة واحكمت‬yang artinya “saya menahan binatang itu”, juga bisa
diartikan,”saya memasang ‘hikmah’ pada binatang itu”. Hikmah dalam
ungkapan ini berarti kendali. Muhkam berarti (sesuatu) yang dikokohkan,
jadi kalam Muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya.
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari 2
(dua) hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain, karena adanya
kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Jadi,
tasyabuh Al-Kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena
sebagainya membetulkan sebagian yang lain.
Sedangkan menurut terminologi (istilah), muhkam dan mutasyabih
diungkapkan para ulama, seperti berikut ini :
1. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui
dengan gamblang, baik melalui takwil ataupun tidak. Sedangkan ayat-
ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui
Allah, seperti saat kedatangan hari kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-
huruf muqatha’ah (Kelompok Ahlussunnah).
2. Ibn Abi Hatim mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang
harus diimani dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah
ayat yang harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan.
3. Mayoritas Ulama Ahlul Fiqh yang berasal dari pendapat Ibnu Abbas
mengatakan, lafadz muhkam adalah lafadz yang tak bisa ditakwilkan
melainkan hanya satu arah/segi saja. Sedangkan lafadz yang
mutasyabbih adalah lafadz yang bisa ditakwilkan dalam beberapa
arah/segi, karena masih sama.
Dari pengertian-pengertian ulama diatas, sudah dapat disimpulkan
bahwa inti pengertian dari ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang
maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak menimbulkan pertanyaan
jika disebutkan. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat muhkam

7
itu nash (kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang
dan tegas) dan zhahir (makna lahir). Adapun pengertian dari ayat-
ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas. Yang
termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabih adalah mujmal (global),
mu’awwal (harus ditakwil), musykil dan mubham (ambigius).
2.2.2 Sebab-Sebab Adanya Ayat Mutasyabbih
Dikatakan dengan tegas, bahwa sebab adanya ayat Muhkam dan
Mutasyabih ialah karena Allah SWT menjadikan demikian. Allah
membedakan antara ayat – ayat yang Muhkam dari yang Mutasyabih, dan
menjadikan ayat Muhkam sebagai bandingan ayat yang Mutasyabih.
Pada garis besarnya sebab adanya ayat – ayat Mutasyabihat dalam Al
– Qur’an ialah karena adanya kesamaran maksud syara’ dalam ayat –
ayat-Nya sehingga sulit dipahami umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat
lain, disebabkan karena bisa ditakwilkan dengan bermacam – macam dan
petunjuknya pun tidak tegas, karena sebagian besar merupakan hal – hal
yang pengetahuanya hanya dimonopoli oleh Allah SWT saja. Adapun
adanya ayat Mutasyabihat dalam Al – Qur’an desebabkan 3 (tiga) hal :
1. Kesamaran Lafal, kesamaran Lafal Mufrad, dibagi menjadi 2 (dua) :
a. Kesamaran lafal Mufrad Gharib (asing), contoh : Lafal dalam ayat
31 surat Abasa : kata Abban jarang terdapat dalam Al – Qur’an,
sehingga asing. Kemudian dalam ayat selanjutnya , ayat 32 :
(untuk kesenangan kamu dan binatang – binatang ternakmu),
sehingga jelas dimaksud Abban adalah rerumputan.
b. Kesamaran Lafal Mufrad yang bermakna Ganda. Kata Al –
Yamin bisa bermakna tangan kanan, keleluasan atau sumpah.
c. Kesamaran dalam Lafal Murakkab, kesamaran dalam lafal
Murakkab itu disebabkan karena lafal yang Murakkab terlalu
ringkas, terlalu luas atau karena susunan kalimatnya kurang tertib.
2. Kesamaran pada Makna Ayat
Kesamaran pada makna ayat seperti dalam ayat – ayat yang
menerangkan sifat – sifat Allah, seperti sifat rahman rahim-Nya, atau
sifat qudrat iradat-Nya, maupun sifat – sifat lainnya. Dan seperti

8
makna dari ihwal hari kiamat, kenikmatan surga, siksa kubur, dan
sebagainya manusia bisa mengerti arti maksud ayat-Nya, sedangkan
mereka tidak pernah melihatnya.
3. Kesamaran pada Lafal dan Makna Ayat
Seperti, ayat 189 surat Al – Baqarah yang artinya: “Dan bukanlah
kebijakan memasuki rumah – rumah dari belakangnya, akan tetapi
kebijakan itu ialah kebijakan orang – orang yang bertakwa”. Sebab
kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya, karena terlalu
ringkas, juga terjadi pula pada maknanya, karena termasuk adat
kebiasaan khusus orang Arab. Hingga dalam memahami ayat ini akan
sulit bagi orang-orang yang bukan termasuk orang Arab. Dan
sejatinya ayat ini adalah diperuntukkan untuk orang yang sedang
melakukan ihrom baik haji maupun umroh.
2.2.3 Macam-macam Ayat Mutasyabihat
Menurut Abdul Jalal, macam – macam ayat Mutasyabihat ada 3 (tiga)
macam :
1.  Ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat
manusia, kecuali Allah SWT. Contoh, Artinya : “Dan pada sisi Allah–
lah kunci – kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya,
kecuali Dia sendiri” (Q.S. Al – An’am : 59)
2.    Ayat-ayat yang Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang
dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contoh :
pencirian mujmal, menentukan mutasyarak, mengqayyidkan yang mutlak,
menertibkan yang kurang tertib, dst.
3.    Ayat-ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar
ilmu dan sains, bukan oleh semua orang, apa lagi orang awam. Hal ini
termasuk urusan – urusan yang hanya diketahui Allah SWT dan orang –
orang yang rosikh (mendalam) ilmu pengetahuan.
2.2.4 Faidah Ayat-ayat Muhkamat dan Ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam pembahasan ini perlu dijelaskan faidah atau hikmah ayat-
ayat muhkam lebih dahulu sebelum menerangkan faedah ayat-ayat
mutasyabihat.

9
1. Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
a. Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan
bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang
sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi
mereka.
b. Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga
memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya
agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
c. Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan
mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya
telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk
diamalkan.
d. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam
mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan
sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus
menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah
yang lain.
2. Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat
a.  Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba
untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana
Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya
akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji,
tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan
menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada
naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana
bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan
ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat
mutasyabih itu.
b. Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat
mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan “wa ma
yadzdzakkaru ila ulu al-albab” sebagai cercaan terhadap orang-
orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah

10
memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya,
yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk
mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata
“rabbana la tuzighqulubana”. Mereka menyadari keterbatasan
akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.
c. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar
apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan
kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan
Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui
segala sesuatu.
d. Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra
dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa
kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu
ciptaan Allah SWT.
e. Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang
bermacam-macam. 
3 I’jazul Qur’an
2.3.1 Definisi
Kata i’jaz diambil dari akar kata a’jaza - yu’jizu – i’jazan yang
secara harfiyah (bahasa) berarti lemah, tidak mampu, tidak berdaya. Yang
dimaksud i’jaz dalam pembicaraan ini ialah menampakkan kebenaran
Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan menampakkan
kelemahan orang arab untuk  menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu
Al-Qur’an. Dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka.
Adapun Manna’ Al Qatthan mendefinisikan dengan hal serupa
yaitu “amrun khariqun lil’addah maqrunun bit tahaddiy salimun anil
mu’aradhah” yaitu suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai
dengan unsur tantangan, dan tidak dapat ditandingi.
Sedangkan Al-Thushi mendefinisikan mu’jizat dengan terjadinya
sesuatu yang tidak  bisa terjadi yang disertai dengan pemberontakan
terhadap adat kebiasaan dan hal itu sesuai dengan tuntutan. Pengertian ini
adalah pengertian mu’jizat dari segi istilah sebagaimana yang diugkapkan

11
Az zarqani, mu’jizat adalah sesuatu yang membuat manusia tidak mampu
baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk mendatangkan
yang seperti itu, dan pengertian mu’jizat menurut Dr.Tantowi ialah ilmu
yang membahas tentang keunggulan Al-Qur’an dan menyikap ilmu yang
ada di dalamya yang dapat diungkap oleh ilmu pengetahuan di era
modern.
Sedangkan kalimat I’jazul Qur’an itu sendiri merupakan bentuk
idhafah, menurut Imam Zarqani “I’jazul Qur’an secara bahasa berarti di
tetapkannya Al Qur’an itu melemahkan bagi yang akan menandinginya.
Adapun pengertian mu’jizat menurut theology (mutakallimin) adalah
munculnya sesuatu hal yang berbeda dengan kebiasaan yang terjadi di
dunia (khariqun adah) untuk menunjukkan kebenaran kenabian
(nubuwwah) para ulama.
2.3.2 Sejarah Perkembangan I’jazul Qur’an
Ada ulama yang berpendapat, orang yang pertama kali menulis
I’jazul Quran ialah Abu Ubaidah (wafat 208 H) dalam kitab Majazul
Quran. Lalu disusul oleh Al-farra (wafat 207 H) yang menulis
kitab Ma’anil Quran. Kemudian disusul Ibnu Quthaibah yang mengarang
kitab Ta’wilu Musykikil Qur’an.
Pernyataan terebut dibantah Abdul Qohir Al-Jurjany dalam
kitabnya Dalailul I’jaz, bahwa semua kitab tersebut di atas bukan ilmu
I’jazul Qur’an, melainkan sesuai dengan nama judul-judulnya itu.
Menurut Dr. Subhi Ash-sholeh dalam kitabnya Mabahis fi Ulumil
Qur’an, bahwa orang yang pertama kali membicarakan ijazul Qur’an
adalah imam Al-jahidh (wafat 255 H), ditulis dalam kitab Nuzhumul
Qur’an, hal ini seperti diisyaratkan dlam kitabnya yang lain, Al Hayyam.
Lalu disusul muhammad bin Zaid Al-wasithy (wafat 306 H) dalam kitab
I’jazul Qur’an yang banyak mengutip isi kitab Al-jahidh tersebut di atas.
Kmudian dilanjutkan Imam Arrumany (wafat 384 H). Dalam kitab Al-
i’jaz yang isinya mengupas segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an. Lalu
disusul oleh Al-Qadhy Abu bakar Al-baqillany (wafat 403 H) dalam kitab
I’jazul Qur’an , yang isinya mengupas segi-segi kebhalagahan Alquran, di

12
samping segi-segi kemukjizatanya. Kitab ini sangat populer. Kemudian
disusul Abdul Qohir Al-jurjany (wafat 471 H) dalam kitab Dala’alul
i’jaz dan Asrarul Balaghah.
Para pujangga modern seperti Musthofa Shodiq Ar-Rofi’y menulis
tentang ilmu ini dalam kitab Tarikhul Adabil Arabi dan prof. Dr. Sayyid
Quthub dalam buku At-tashwirul fanni fil qur’an dan At-ta’birul fanni fil
Qur’an.
2.3.3 Macam-macam I’jazul Qur’an
Dalam menjelaskan macam-macam I’jazil Qur’an ini-pun para
ulama berbeda pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan tinjauan
masing-masing dari mereka. Setidaknya ada beberapa poin I’jazul
Qur’an, yaitu seperti berikut ini :
a. I’jazul Balaghi yaitu kemukjizatan segi sastra balaghahnya. Al-
Qur’an adalah suatu kitab yang sangat piawai dalam ilmu Balaghah.
Sebab setiap kalimat yang ada dalam Al-Qur’an dapat mewakili suatu
makna dan maksud dari kalimat tersebut.
b.  I’jazut Tasyri’i  yaitu kemukjizatan segi pensyariatan ajarannya.
Ajaran-ajarannya yang selalu eksis dalam situasi dan kondisi apapun.
Cara pensyariatannya yang simpatik dan menarik tanpa ada
pemaksaan.
c.  I’jazul Ilmi yaitu kemukjizatan dalam segi ilmu pengetahuan. Jumlah
ayat-ayat tentang ilmu dalam Al-quran mencapai 750 ayat yang
mencakup berbagai cabang ilmu pengetahuan
d. I’jaz di bidang pemberitaannya tentang hal-hal yang ghaib. Ghaib di
sini ada 4 yaitu,  Ghaib berita-berita zaman dahulu yang menceritakan
tetang waktu terdahulu,  Ghaib tetang masa dating, Ghaib tetang
kenyataan-kenyataan ilmiah yang baru diketahui kebenarannya ribuan
tahun setelah Al-Qur’an diturunkan, dan Ghaib tentang kejadian-
kejadian besar yang akan menimpa kaum muslim sepeninggal
Rasulullah SAW.
e. I’jaz dari segala perubahan, segala sesuatu yang ada di dunia ini mesti
mengalami perubahan, harus tunduk pada hukum dunia, mengalami

13
usia usang, tetapi Al-Qur’an tidak pernah tunduk pada hukum dunia,
Al-Qur’an tidak pernah usang.
f.  I’jazul Adadi, yaitu kemukjizatan bilangan-bilangan dalam Al-
Qur’an. I’jaz ini baru ditemukan. Misalnya, sholat wajib ada lima
waktu., ternyata ketika di teliti kalimat shalawat (jamak dari sholat)
yang berkaitan dengan sholat wajib, di jumpai bilangannya ada lima
kalimat dalam al-Qur’an. Kemudian Sholat lima waktu ini ada 17
rekaat, Abu Zahra meneliti kalimat fardhu ini di dalam Al-Qur’an,
dan semua kalimat fardhu dengan berbagai derajatnya berjumlah 17
kalimat. Lalu kalimat qasr (memendekkan bilangan rekaat dalam
sholat ketika dalam perjalanan), di sebutkan dalam al-Qur’an
sebanyak 11 kali, ternyata ketika dihitung jumlah rekaat dalam sholat
qasr sehari semalam, juga 11 rekaat, yaitu, Zuhur 2, Ashar2, Magrib
3, Isya’ 2, dan Subuh2. Kalimat tawaf, tercatat dalam Al-Qur’an ada
tujuh kalimat. Itu adalah sebagian dari mukjizat bilangan dala Al-
Qur’an.
2.3.4 Tujuan dan Fungsi I’jazul Qur’an
Tujuan I’jazul Qur’an antara lain :
1. Membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW yang membawa
mukjizat kitab Al-Qur’an itu adalah benar-benar seorang Nabi atau
Rasul Allah. Beliau diutus untuk menyampaikan ajaran-ajaran Allah
SWT kepada umat manusia dan untuk mencanangkan tantangan
supaya menandingi Al-Qur’an kepada mereka yang ingkar.
2. Membuktikan bahwa kitab Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu
Allah SWT, bukan buatan malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi
Muhammad SAW. Sebab seandainya Al-Qur’an itu buat Nabi
Muhammad yang seorang ummi (tidak pandai menulis dan
membaca), tentu pujangga-pujangga Arab yang profesional,di mana
mereka tidak hanya pandai menulis danmembaca tetapi juga ahli
dalamsastra, gramatikal bahasa arab, dan balaghahnya akan bisa
membuat seperti Al-Qur’an,sehingga jelaslah bahwa Al-Qur’an itu
bukan buatan manusia.

14
3. Menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghah bahasan
manusia,karena terbukti pakar-pakar pujangga sastra dan seni bahasa
Arab tidak ada yang mempu mendatangkan kitab tandingan yang
sama seperti Al-Qur’an,yang telah ditantangkan kepada mereka
dalamberbagai tingkat dan bagian Al-Qur’an.
4. Menunjukkan kelemahan daya upaya dan rekayasa umat manusia
yang tidak sebanding dengan keangkuhan dan kesombongannya.
Fungsi I’jazul Qur’an antara lain :
1. Mu'jizat bagi Rasulullah Muhammad SAW.
2. Pedoman hidup bagi setiap Muslim.
3. Korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang
sebelumnya.
4. Al-Qur’an tidak diragukan lagi sebagai pedoman hidup bagi setiap
muslim. Di dalamnya terdapat ayat-ayat yang mengajak pada
kebajikan dan kebenaran, menuju hidup yang lebih baik. Tidak hanya
berisi tata cara berinteraksi dengan Sang Pencipta, melainkan juga
etika bermu’amalah dengan sesama manusia, maupun dengan
makhluk lainnya.. Ada kalanya penyebutan di Al Quran secara global
saja, dan  Hadits Nabi Muhammad SAW berfungsi sebagai
penjelasnya.
5. Karena diturunkan terakhir atau pamungkas, maka Al Quran
berfungsi sebagai korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab
Allah yang sebelumnya. Sementara sebagai mu’jizat Rasulullah
Muhammad SAW, Al Quran sudah tidak ada tandingannya lagi,
bahkan jika seluruh makhluk bersekutu untuk membuat sebuah surat
yang sama dengan al Quran.
2.4 Asbabun Nuzul
2.4.1 Definisi
Asbabun Nuzul merupakan bentuk Idhafah dari kata “asbab” dan
“nuzul”. Secara etimologi Asbabun Nuzul adalah Sebab-sebab yang
melatar belakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena
yang melatar belakangi terjadinya sesuatu bisa disebut Asbabun

15
Nuzul, namaun dalam pemakaiannya, ungkapan Asbabun Nuzul
khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar
belakangi turunya al-qur’an, seperti halnya asbab al-wurud yang
secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadist.
Sedangkan secara terminologi atau istilah, Asbabun Nuzul dapat
diartikan sebagai sebab-sebab yang mengiringi diturunkannya ayat-
ayat Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW karena ada suatu
peristiwa yang membutuhkan penjelasan atau pertanyaan yang
membutuhkan jawaban. Banyak pengertian terminologi yang
dirumuskan oleh para ulama’, diantaranya :
1. Menurut Az-Zarqani : Asbabun Nuzul adalah khusus atau sesuatu
yang terjadi serta ada hubunganya dengan turunya ayat Al-Qur’an
sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.
2. Ash-Shabuni : Asbabun Nuzul adalah peristiwa atau kejadian
yang menyebabkan turunya satu atau beberapa ayat mulia yang
diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan
agama.
3. Shubhi Shalih : Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi
sebab turunnya satu atau beberapa ayat. Al-qur’an (ayat-
ayat)terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respons
atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum disaat
peristiwa itu terjadi.
4. Manna’ al-Qhathan: Asbabun Nuzul adalah peristiwa-peristiwa
yang menyebabkan turunya Al-Qur’an berkenaan dengannya
waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa
pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.
5. Al-Wakidy : Asbabun Nuzul adalah peristiwa sebelum turunya
ayat, walaupun “sebelumnya” itu masanya jauh, seperti adanya
peristiwa gajah dengan surat Al-Fiil.
2.4.2 Sejarah Perkembangan Ilmu Asbabun Nuzul
Sejak zaman sahabat pengetahuan tentang Asbabun Nuzul
dipandang sangat penting untuk bisa memahami penafsiran Al-Qur’an

16
yang benar. Karena itu mereka berusaha untuk mempelajari ilmu ini.
Mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang sebab-sebab turunya ayat
atau kepada sahabat lain yang menjadi saksi sejarah turunnya ayat-
ayat Al-Qur’an. Dengan demikian pula para tabi’in yang datang
kemudian, ketika mereka harus menafsirkan ayat-ayat hukum, mereka
memerlukan pengetahuan Asbabun Nuzul agar tidak salah dalam
mengambil kesimpulan.
Dalam perkembangannya ilmu asbabun nuzul menjadi sangat
urgen. Hal ini tak lepas dari jerih payah perjuangan para ulama’ yang
mengkhususkan diri dalam upaya membahas segala ruang lingkup
sebab nuzulnya Al-Qur’an. Diantaranya yang terkenal yaitu Ali bin
Madini, Al-wahidy dengan kitabnya Asbabun Nuzul, Al-Ja’bary yang
meringkas kitab Al wahidi, Syaikhul Islam Ibn Hajar yang mengarang
sebuah kitab mengenai asbabun nuzul. Dan As-Suyuthi mengarang
kitab Lubabun Nuqul fi Asbab An-Nuzul, sebuah kitab yang sangat
memadai dan jelas serta belum ada yang mengarang.
2.4.3 Macam-macam Asbabun Nuzul
1. Banyaknya nuzul dengan satu sebab
Terkadang banyak ayat turun, sedangkan sebabnya hanya satu.
Dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu
banyak ayat yang turun didalam berbagai surat berkenaan dengan satu
peristiwa. Contohnya ialah apa yang di riwayatkan oleh Said bin
Mansur, ‘Abdurrazaq, Tirmidzi, Ibn jarir, Ibnul Munzir, Ibn Abi
Hatim, tabrani, dan Hakim yang mengatakan shahih, dari Ummu
salamah, ia berkata : “Rasullullah, aku tidak mendengar Allah
menyebutkan kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah. Maka
Allah menurunkan : maka tuhan mereka memperkenankan
permohonanya (dengan firman) : “sesungguhnya aku tidak menyia-
nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-
laki ataupun perempuan : (karena) sebagian kamu adalah turunan
dari sebagian yang lain... (Ali ‘Imran [3]:195).

17
2. Penurunan ayat lebih dahulu daripada sebab
Az-Zarkasyi dalam membahas fi ulumil qur’an karya Manna’
Khalil Al Qattan mengemukakan satu macam pembahasan yang
berhubungan dengan sebab nuzul yang dinamakan “penurunan ayat
lebih dahulu daripada hukum (maksud) nya.” Contoh yang diberikan
dalam hal ini tidaklah menunjukkan bahwa ayat itu turun mengenai
hukum tertentu, kemudian pengalamanya datang sesudahnya. Tetapi
hal tersebut menunjukan bahwa ayat itu diturunkan dengan lafadz
mujmal (global), yang mengandung arti lebih dari satu, kemudian
penafsiranya dihubungkan dengan salah satu arti-arti tersebut,
sehingga ayat tadi mengacu pada hukum yang datang kemudian.
Misalnya firman Allah : Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan diri (dengan beriman) [87]:14). Ayat tertsebut
dijadikan dalil untuk zakat fitrah. Diriwayatkan oleh baihaqi dengan
disanadkan kepada Ibn Umar, bahwa ayat itu turun berkenaan dengan
zakat Ramadhon ( Zakat Fitrah), kemudian dengan isnad yang marfu’
Baihaqi meriwayatkan pula keterangan yang sama. Sebagian dari
mereka barkata : aku tidak mengerti maksud pentakwilan yang seperti
ini, sebab surah itu Makki, sedang di Makkah belum ada Idul fitri dan
zakat.”
3. Beberapa ayat turun mengenai satu orang
Terkadang seorang sahabat mengalami peristiwa lebih datri satu
kali, dan al-qur’an pun turun mengenai setiap peristiwanya. Karena
itu, banyak ayat yang turun mengenai setiap peristiwanya. Karena itu,
banyak ayat yang turun mengenainya sesuai dengan banyaknya
peristiwa yang terjadi. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari
tentang berbakti kepada kedua orang tua. Dari sa’d bin Abi Waqqas
yang mengatakan : “ada empat ayat al-qur’an turun berkenaan
denganku. Pertama, ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan
makan dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad, lalu Allah
menurunkan : “dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada

18
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamumengikutio
keduanya dan pergauilah keduanya didunia dengan baik”
(luqman[31]:15).
2.4.4 Fungsi Ilmu Asbabun Nuzul Dalam Memahami Al-Qur’an
1. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian
dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an.
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga memiliki keraguan umum.
3. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an.
4. Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun.
5. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk
memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya.
6. Penegasan bahwa Al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT, bukan
buatan manusia.
7. Penegasan bahwa Allah benar-benar memberi pengertian penuh
pada Rasulullah dalam menjalankan misi risalahnya.
8. Mengetahui makna serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam
Al-Qur’an.
9. Seseorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan
khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat aitu harus
diterapkan.
10. Mengetahui secara jelas hikmah disyariatkannya suatu hukum.
2.5 ‘Amm dan Khash
2.5.1 Definisi
‘Amm ialah suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukan
suatu makna yang pantas (boleh) dimasukan pada makna itu dengan
mengucapkan sekali ucapan saja. Menurut istilah dalam ushul fiqih,
‘Amm adalah lafadz yang mencakup akan semua apa saja yang
masuk padanya dengan satu ketetapan dan sekaligus. Seperti kita
katakan “arrijal”, maka lafaz ini meliputi semua laki-laki. Sedangkan,
Lafaz khusus adalah lafazd yang dibuat untuk menunjukan satu satuan
tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis, seperti

19
laki-laki atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas,
seperti tiga belas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok dan
lafadz lain yang menunjukan jumlah satuan dan tidak menunjukan
cakupan kepada seluruh satuannya.
Khushush adalah keadaan lafadz yang mencakup sebagian makna
yang pantas baginya dan tidak untuk semuanya. Dengan demikian
dapat dibedakan antara khas dan khushush, meskipun dalam
pengertian bahasa Indonesia sering disamakan. Pengertian khas yang
dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh lafaz. Sedangkan
pengertian khushush adalah apa yang dikhususkan menurut ketentuan
bahasa, bukan berdasarkan kemauan.
2.5.2 Pembagian ‘Amm
1. Lafadz umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil
atau indikasi yang menunjukan tertutupnya kemungkinan ada
takhsis (pengkhususan). Misalnya, ayat 6 Surat Hud:
‫ين‬
ٍ ‫ب م ُِب‬ ِ ْ‫َو َما مِنْ دَ ا َّب ٍة فِي اأْل َر‬
ٍ ‫ض إِاَّل َعلَى هَّللا ِ ِر ْزقُ َها َو َيعْ لَ ُم مُسْ َت َقرَّ َها َومُسْ َت ْودَ َع َها ۚ ُك ٌّل فِي ِك َتا‬
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumu melainkan
Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat
berdiam binatang itu dan temapat penyimpanannya. Semua
tertulis dalamkitab yang nyata (Lauh Mahfuz)”. (QS. Hud/11: 6)
Yang dimaksud binatang melata dalam ayat tersebut adalah
umum, mencakup seluruh jenis binatang tanpa kecuali, karena
diyakini bahwa setiap yang melata di permukaan bumi adalah
Allah yang memberi rezekinya.
2. Lafadz umum padahal yang dimaksud adalah makna khusus
karena ada indikasi yang menunjukan makna seperti itu. Seperti,
ayat 120 Surat At-Taubah :
۟ ‫ُول ٱهَّلل ِ َواَل يَرْ َغب‬
‫ُوا بِأَنفُ ِس ِه ْم‬ ِ ‫وا عَن َّرس‬ ۟ ُ‫ب أَن يَتَ َخلَّف‬
ِ ‫َما َكانَ أِل َ ْه ِل ْٱل َم ِدينَ ِة َو َم ْن َحوْ لَهُم ِّمنَ ٱأْل َ ْع َرا‬
‫صةٌ فِى َسبِي ِل ٱهَّلل ِ َواَل يَطَٔـُ„ُٔونَ َموْ ِطئًا‬ َ ‫صبٌ َواَل َم ْخ َم‬ َ َ‫صيبُهُ ْم ظَ َمأ ٌ َواَل ن‬ َ ِ‫عَن نَّ ْف ِس ِهۦ ۚ ٰ َذل‬
ِ ُ‫ك بِأَنَّهُ ْم اَل ي‬
‫ُضي ُع أَجْ َر‬
ِ ‫صلِ ٌح ۚ إِ َّن ٱهَّلل َ اَل ي‬
َ ٰ ‫ب لَهُم بِِۦه َع َم ٌل‬ َ ِ‫ار َواَل يَنَالُونَ ِم ْن َع ُد ٍّو نَّ ْياًل إِاَّل ُكت‬ َ َّ‫يَ ِغيظُ ْٱل ُكف‬
َ‫ْٱل ُمحْ ِسنِين‬

20
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang
Arab Baduwi yang berdiam disekitar mereka, tidak turut menyertai
Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka
lebih mencintai diri mereka dari pada mencintai diri Rasul”. (At-
Taubah/9: 120)
Ayat tersebut menunjukan makna umum, yaitu setiap penduduk
Madinah dan orang-orang Arab sekitarnya termasuk orang-orang
sakit dan orang-orang lemah harus turut menyertai Rasulullah 
pergi berperang. Namun yang dimaksud oleh ayat tersebut
bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah orang-orang yang
mampu.
3. Lafadz umum yang terbebas dari indikasi, yaitu bahwa makna
umumnya adalah sebagian cakupannya. Seperti ayat 228 Surat Al-
Baqarah :
‫ات َي َت َربَّصْ َن ِبأ َ ْنفُسِ ِهنَّ ثَاَل َث َة قُرُو ٍء‬ َ ‫َۚ و ْالم‬
ُ ‫ُطلَّ َق‬
“Dan wanita – wanita yang di talak hendaklah menahan diri
( menunggu ) tiga kali quru. ( QS.al-baqarah/2:228)
Lafal umum dalam ayat tersebut yaitu al-muthallaqat (wanita –
wanita yang di talak), maksudnya yaitu terkhusus bagi wanita yang
di talak dan sudah digauli. terbebas dari indikasi yang
menunjukkan bahwa yang di maksud adalah makna umumnya itu
atau sebagian cakupannya.
2.5.3 Macam-macam Lafadz Khash
1. Mukhasis Muttashil, adalah apabila makna satu dalil yang
mengkhususkan berhubungan erat pada kalimat umum
sebelumnya. Macam-macam Mukhasis Muttashil :
a. Pengecualian (‘Istitsna’), seperti contoh ayat 2-3 Surat Al-Ashr
:
َ ‫اص ْوا ِب ْال َح ِّق َو َت َوا‬
َّ ‫ص ْوا ِبال‬
‫صب ِْر‬ 7ِ ‫ِين آَ َم ُنوا َو َعمِلُوا الصَّال َِحا‬
َ ‫ت َو َت َو‬ َ ‫إِنَّ اإْل ِ ْن َس‬
َ ‫ان لَفِي ُخسْ ٍر إِاَّل الَّذ‬

21
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.
Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan
nasehat menasehati agar mentaati kebenaran serta nasehat
menasehati agar menetapi kesabaran”.
Jadi, yang dikhususkan pada ayat tersebut adalah orang-
orang yang beriman dan yang beramal sholeh. Pengkhususan
pada ayat tersebut adalah dengan jalan pengecualian, yakni
dengan memakai huruf tsana’.
b. Syarat, seperti contoh ayat 228 Surat Al-Baqoroh:
ِ‫َۚ و ُبعُولَ ُتهُنَّ أَ َح ُّق ِب َر ِّدهِنَّ فِي ٰ َذل َِك إِنْ أَ َرادُوا إِصْ اَل حً ا ۚ َولَهُنَّ م ِْث ُل الَّذِي َعلَي ِْهنَّ ِب ْال َمعْ رُوف‬
“….dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah”.
Dalam ayat tersebut dikatakan lebih berhak kembali pada
istrinya. Maksudnya adalah dalam masa iddah. Tetapi dengan
syarat bila kembalinya itu dengan maksud.
c. Sifat, seperti contoh ayat 93 Surat An-Nisa’ :

)93:‫ َو َم ْن قَت ََل ُم ْؤ ِمنًا خَ طَأ ً فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة (النساء‬ 
“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman”
Sifat yang mengkhususkan dalam ayat tersebut adalah sifat
mukmin yang diremehkan, itu harus/dikhususkan pada hamba
yang mukmin.
d. Kesudahan, seperti contoh ayat 222 Surat Al-Baqoroh :
‫َۖ واَل َت ْق َربُوهُنَّ َح َّت ٰى َي ْطهُرْ َن‬
“….dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci…,”
e. Sebagai ganti keseluruhan (Badal Ba’dhu Min Kulli), seperti
contoh ayat 97 Surat Ali-Imran :
‫اع إِلَ ْي ِه َس ِبياًل‬ ِ ‫َوهَّلِل ِ َعلَى ال َّن‬
ِ ‫اس ِح ُّج ْال َب ْي‬
َ ‫ت َم ِن اسْ َت َط‬

22
“….mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadaan perjalan ke
baitullah”.
Lafadz man dan sesudahnya dalam ayat tersebut,
mengkhususkan keumuman sebelumnya.
2. Mukhasis Munfashil, adalah dalil umum atau makna dalil yang
mengkhususkannya masing-masing berdiri sendiri, yakni tidak
berkumpul tetapi terpisah. Mukhasis Munfashil ada beberapa
macam :
a. Kitab ditakhsis dengan kitab, seperti ayat 228 Surat Al-
Baqoroh :
‫ات َي َت َربَّصْ َن ِبأ َ ْنفُسِ ِهنَّ ثَاَل َث َة قُرُو ٍء‬ َ ‫َو ْالم‬
ُ ‫ُطلَّ َق‬
“wanita-anita yang ditalak hendanya menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’”.
Ayat tersebut umum, tercakup juga wanita yang hamil,
maka turunlah ayat yang mengkhususkan bagi wanita hamil
yaitu ayat 4 Surat At-Tholaq :
َ ‫ال أَ َجلُهُنَّ أَنْ َي‬
َّ‫ضعْ َن َحمْ لَهُن‬ ُ ‫َوالاَّل ئِي َل ْم َيحِضْ َن ۚ َوأُواَل‬
ِ ‫ت اأْل َحْ َم‬
“….dan begitu perempuan-perempuan yang tidak haid, dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
adalah sampai mereka melahirkan kandungannya”.
b. Kitab ditakhsis dengan Sunnah, seperti ayat 11 Surat An-
Nisa’
ُ
ِ ‫يُوصِ ي ُك ُم هَّللا ُ فِي أَ ْواَل ِد ُك ْم ۖ ل َِّلذ َك ِر م ِْث ُل َح ِّظ اأْل ْن َث َيي‬
‫ْن‬
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian seorang anak lelaki
sama dengan bagian dua anak perempuan”.
Ayat tersebut bersifat umum, yakni mencakup anak yang
kafir, kemudian dating hadits yang mengkhususkannya
berbunyi :
ُ ‫الَ َي ِر‬
‫ث المُسْ ِل ُم ال َكاف َِر َوالَ ال َكا ِف ُر المُسْ ِل َم‬

23
“Tidak boleh mewarisi seorang muslim pada seorang kafir,
dan tidak boleh juga seorang kafir pada seoang muslim”
(HR. Bukhori)
c. Sunnah ditakhsis dengan kitab, seperti contoh hadits nabi :
َ ‫دَث َح َّتى َي َت َوضَّأ‬
َ ْ‫صال َة أَ َح ِد ُك ْم إ َذا أَح‬
َ ُ ‫ال َي ْق َب ُل هَّللا‬
“Allah tidak menerima sholat seorang di antara kamu bila
masih berhadats hingga berwudhu” (HR. Bukhori, Muslim)
Hadits tersebut umum, yakni termasuk dalam keadaan
tidak dapat memperoleh air, kemudian dikhususkan oleh
ayat 6 Surat Al Maidah :
‫ء َفلَ ْم َت ِجدُوا‬7َ ‫ض ٰى أَ ْو َعلَ ٰى َس َف ٍر أَ ْو َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم م َِن ْالغَائِطِ أَ ْو اَل َمسْ ُت ُم ال ِّن َسا‬
َ ْ‫َوإِنْ ُك ْن ُت ْم َمر‬
‫ِيدا َط ِّيبًا‬
ً ‫صع‬ َ ‫َما ًء َف َت َي َّممُوا‬
“Dan jika kamu sakit/sedang dalam musafir/dating dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan
kemudian kamu tidak mendapat air. Maka bertayammumlah
kamu dengan tanah yang bersih…”
d. Sunnah ditakhsis dengan sunnah, sebagai contoh hadits nabi
َ ‫ت ال َّس َما ُء َو ْال ُعيُونُ أَ ْو َك‬
‫ان َع َث ِر ًّيا ْال ُع ْش ُر‬ ْ ‫فِي َما َس َق‬
“Tanaman yang dengan siraman hujan, (zakatnya) adalah
sepersepuluh”. (HR. Bukhari, Muslim)
Hadits tersebut ditakhsis dengan hadits yang berbunyi :
‫صدَ َق ٌة‬ ٍ ‫مْس أَ ْوس‬
َ ‫ُق‬ ِ ‫ُون َخ‬ َ ‫َولَي‬
َ ‫ْس فِي َما د‬
“Tidak wajib zakat (tanaman) yang kurang dari lima
wasaq”. (HR. Bukhori, Muslim)
e. Mentakhsis dengan Qiyas

“Menunda-nunda pembayaran bagi orang yang mampu, halal


dilanggar kehormatannya dan boleh dihukum”. (HR. Ahmad)
Hadits tersebut adalah umum, yakni siapa saja yang
menunda-nunda pembayaran hutang, padahal ia mampu
untuk membayar termasuk ibu/bapak. Kemudian

24
dikhususkan yakni bukan termasuk ibu/bapak, dengan jalan
mengqiyaskan firman Allah dalam ayat 23 Surat Al-Isra’ :
ٍّ‫َفاَل َتقُ ْل لَ ُه َما أُف‬
“Janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
‘ah’”.
Tidak boleh memukul melanggar kehormatan kedua
orang tua adalah hasil Qiyas dari larangan mengucap ‘ah’
terhadapnya. Karena memukul atau melanggar kehormatan
lebih tinggi kadar menyakitkannya daripada mengucap ‘ah’.
Qiyas yang demikian dinamakan Qiyas Qulawi. Sebagian
ulama’ berpandangan bahwa yang demikian bukan
dinamakan Qiyas Qulawi, tetapi disebut Mafhum
Muwafaqoh.

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
‘Ulumul Qur’an berbeda dengan ilmu Tafsir karena ‘UlumulQur’an
berobyek pada Al-Qur’an dari segi yang bermacam-macam sedangkan ilmu
Tafsir hanya berobyek dari segi pemahaman maknanya saja. Di era globalisasi
ini tentu kita mengalami kesulitan dalam memahami Al-Qur’an,, agar kita bisa
memahaminya maka kita harus mempunyai alat untuk membongkarnya. Dan
alat yang paling tepat untuk keperluan tersebut adalah ‘Ulumul Qur’an.
‘Ulumul Qur’an disebut juga sebagai Ilmu Ushulat Tafsir yakni ilmu yang
membahas dasar dan pokok penjelasan Al-Qur’an secara umum. Sejarah telah
mencatat bahwa pada abad I dan II H. Kecuali Utsman dan Ali r.a. Terdapat
pula banyak ‘ulama yang diakui sebagai perintis kelahiran ilmu yang
kemudian hari dinamakan ilmu Asbaban Nuzul, Ilmu Gharib Al-Qur’an, Ilmu
Tafsir Al-Qur’an dan sebagainya.
2.2 Saran
Sebagai umat Islam kita harus memperdalam lagi pengetahuan tentang
Al-Qur’an karena pada zaman modern ini banyak sekali masyarakat yang
enggan mengetahui tentang Al-Qur’an.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat
memberikan inspirasi sehingga ada, aamiin.

26
DAFTAR PUSTAKA

- Myrealblo. 2015.Ulumul Quran Makkiyah dan Makiyyah


http://myrealblo.blogspot.com/2015/11/ulumul-quran-makkiyah-dan-
makiyyah.html
- Myrealblo. 2015. Ulumul Quran Ilmu Asbabun Nuzul
http://myrealblo.blogspot.com/2015/11/ulumul-quran-ilmu-asbabun-
nuzul.html
- Myrealblo. 2015. Ulumul Quran Ijazul Quran
http://myrealblo.blogspot.com/2015/11/ulumul-quran-ijazul-quran.html
- Ebdaaprilia. 2013 Makalah Ulumul Quran Muhkam Mutasyabih
https://ebdaaprilia.wordpress.com/2013/05/21/makalah-ulumul-quran-
muhkam-mutasyabih/
- Kumpulanmakalahkuliahlengkap. 2017. Makalah Ulumul Quran
Pengertian Urgensi
http://kumpulanmakalahkuliahlengkap.blogspot.com/2017/02/makalah-
ulumul-quran-pengertian-urgensi.html

27

Anda mungkin juga menyukai