Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ILMU DAKWAH

Dosen Pengampuh : Prof.Dr.H.Syarifuddin Ondeng, MA


Disusun Oleh:
Nama : Dahlia Usman
Nim : (02320210139)

PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2024
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya dari Tuhan Yang
Maha Esa atas selesainya penyusunan makalah Ilmu dakwah. Tak lupa, saya ucapkan terimakasih
kepada Bapak Prof.Dr.H. Syarifuddin Ondeng, MA selaku pembimbing kami dalam pembelajaran
mata kuliah Ilmu Dakwah.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi tugas mata kuliah Ilmu Dakwah
serta untuk memberikan pemahaman dan menambah wawasan bagi orang yang membacanuya. Penulis
menyadari akibat keterbatasan pengalaman penulis, maka tulisan ini masih memiliki banyak
kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua
pihak demi kesempurnaan makalah ini. Harapan penulis semoga tulisan yang penuh kesederhanaan ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.

Makassar, 28 Maret 2024

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................................................. 5
BAB II ....................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 6
2.1 AL-QUR’AN ................................................................................................................... 6
2.1.1 Pengertian Al-Qur’an................................................................................................. 6
2.1.2 Otentisitas Al-Qur’an................................................................................................. 6
2.1.3 Isi Kandungan Al-Qur’an .......................................................................................... 7
2.1.4 Fungsi dan Peranan Al-Qur’an .................................................................................. 8
2.2 HADITS......................................................................................................................... 10
2.2.1 Pengertian Ilmu Hadits ............................................................................................ 10
2.2.2 Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits ........................................................................ 10
2.2.3 MACAM-MACAM HADITS ................................................................................. 13
2.2.4 FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN ...................................................... 14
2.2.5 MANFAAT MEMPELAJARI ILMU HADITS ...................................................... 14
2.3 RA’YU ULAMA ........................................................................................................... 15
2.3.1 Pengertian Ra’yu ..................................................................................................... 15
2.3.2 Pemahaman teks hukum secara konseptual ............................................................. 15
2.3.3 Al-Ra’yu Sebagai Sumber Hukum .......................................................................... 16
BAB III.................................................................................................................................... 18
PENUTUP............................................................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 18

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam yang berisi firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw, dengan perantara malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami dan
diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia (KBBI, 2008:44). Umat
Islam percaya bahwa Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang
diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad Saw melalui perantara Malikat Jibril.
Tujuan utama diturunkan Al-Qur’an adalah untuk menjadikan pedoman manusia dalam
menata kehidupan supaya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat. Agar tujuan itu dapat
direalisasikan oleh manusia, maka Al-Qur’an dating dengan petunjuk-petunujuk, keterangan-
keterangan dan konsep-konsep, baik yang bersifat global maupun yang bersifat terinci, yang
tersurat maupun tersirat dalam berbagai persoalan dan bidang kehidupan (Nurdin, 2006:1). Al-
Qur’an mengandung pelajaran yang baik untuk dijadikan peruntun dalam pergaulan antara satu
golongan manusia, antara keluarga dengan sesame, antara murid dengan guru, antara manusia
dengan Tuhan.
Sedangkan Hadits bermakna seluruh sikap, perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW
dalam menerapkan ajaran Islam serta mengembangkan kehidupan umat manusia yang benar-
benar membawa kepada kerahmatan bagi semua alam, termasuk manusia dalam
mengaktualisasikan diri dan kehidupannya secara utuh dan bertanggung jawab bagi
keselamatan dalam kehidupannya. Kedudukan al-Sunnah dalam kehidupan dan pemikiran
Islam sangat penting, karena di samping memperkuat dan memperjelas berbagai persoalan
dalam Al-Qur’an, juga banyak memberikan dasar pemikiran yang lebih kongkret mengenai
penerapan berbagai aktivitas yang mesti dikembangkan dalam kerangka hidup dan kehidupan
umat manusia.

Sebelum berbicara tentang pengertian, jenis, dan perkembangan ilmu hadits, terlebih
dahulu akan dijelaskan secara singkat, kapan ilmu hadits muncul. Ilmu hadits muncul sejak masa
Rasulullah SAW dan perhatian para sahabat terhadap hadits atau sunnah sangat besar. Demikian
juga perhatian generasi berikutnya seperti Tabi’in, Tabi’ Tabi’in, dan generasi setelah Tabi’in.
Mereka memelihara hadits dengan cara menghapal, mengingat, bermudzakarah, menulis,
menghimpun, dan mengodifikasikannya ke dalam kitab-kitab hadits yang tidak terhitung
jumlahnya. Akan tetapi, di samping gerakan pembinaan hadits tersebut, timbul pula kelompok
minoritas atau secara individual berdusta membuat hadits yang disebut dengan hadits mawdhû’
(hadits palsu). Maksudnya menyandarkan sesuatu yang bukan dari Nabi, kemudian dikatakan
dari Nabi SAW.
Dalam pembentukkan hukum, fikih tidak akan dapat berdiri tanpa “ushulnya”, berbeda
dengan ushul yang dapat berdiri sendiri tanpa fikih, karena ia adalah dasarnya. Oleh sebab itu,
usul fikih adalah ilmu yang sangat penting dalam menghasilkan hukum islam yang responsive
dan adaptable terhadap permasalahan kontemporer, karena ilmu ini membahas tentang metode-
metode, dasar-dasar, pendekatan-pendekatan, dan teori-teori yang digunakan dalam memahami
ajaran islam. Hal inilah yang menjadikannya menempati posisi sentral dalam studi ke-islaman,
sehingga seringkali disebut sebagai “the queen of Islamic science”. Dari kaidah-kaidah yang
lahir yang dirumuskan oleh para mujahid islam dalam disiplin ilmu ini, membawa dampak

4
hukum yang dapat mengakomodir, antara necessity of life dengan tujuan hidup manusia di
akhirat kelak.
Dalam kajian ilmu usul fikih, masalah otoritas dan kapasitas akal dalam mencoba
mencari Solusi/mencari ketetapan hukum dari setiap permasalahn baru yang timbul, namun tidak
terdapat nas yang jelas untuk menjadi dalilnya, menjadikan ra’yu sebagai salah satu solusi dalam
menjawab problematika kontemporer umat islam. Namun, para ulama berbeda pendapat dalam
penggunaan ra’yu jenis ini sebagai dalil hukum, para ahlipun membuat klasifikasi ra’yu. Jumhur
sepakat mendahulukan ra’yu yang tetap mengambil dalil dari premis mayor yang terdapat dalam
teks-teks kitab suci sebagai ra’yu yang dapat diterima.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat tiga permasalahan yang dapat
dikemukakan.
1. Apa pengertian Al-Qur’an?
2. Bagaimana otentisitas Al-Qur’an?
3. Apa isi kandungan Al-Qur’an?
4. Apa fungsi dan peran Al-Qur’an?
5. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan Hadits?
6. Menjelaskan tentang Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits?
7. Menjelaskan Macam-macam Hadits?
8. Menjelaskan Fungsi hadits terhadap Al-qur’an?
9. Menjelaskan manfaat mempelajari Ilmu Hadits?
10. Apa yang dimaksud dengan Ra’yu?
11. Bagaimana pemahaman teks hukum secara konseptual ra’yu?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah diatas tujuan penulisan ini adalah untuk membahas
tentang:
1. Pengertian Al-Qur’an
2. Otentisitas Al-Qur’an
3. Isi kandungan Al-Qur’an
4. Fungsi dan peran Al-Qur’an
5. Pengertian Hadits
6. Sejarah Perkembangan Hadits
7. Macam-macam Hadits
8. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
9. Manfaat ilmu Hadits
10. Pengertian ra’yu
11. Teks hukum konseptual ra’yu

5
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 AL-QUR’AN
2.1.1 Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitas suci bagi umat islam. Selain kitab suci, Al-Qur’an juga merupakan
sumber hukum utama dalam ajaran agama islam. Al-Qur’an berisi tentang aturan-aturan kehidupan
manusia di dunia yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW lewat perantaraan malaikat Jibril.

Al-qur’an memiliki kedudukan yang sangat tinggi bagi penganut agama islam, sehingga umat
islam akan sangat marah apabila ada orang atau pihak yang mencoba melecehkan Al-Qur’an. Lalu,
bagaimana pengertian Al-Qur’an itu sendiri? Disini, akan dijelaskan pengertian Al-Qur’an menurut
Bahasa dan istilah. Dengan adanya kedua pengertian tersebut diharapkan memberikan informasi yang
baik bagi anda dan sebagai pembaca.

Secara Bahasa (etimologi), Al-Qur’an berasal dari Bahasa arab yaitu qur’an, Dimana kata
qur’an secara Bahasa berarti becaan karena seluruh isi dalam Al-Qur’an adalah ayat-ayat firman Allah
dalam bentuk bacaan yang berbahasa arab. Sedangkan pengertian Al-Qur-an menurut istilah
(terminology) ialah firman Allah yang berbentuk mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
melalui malaikat Jibril yang tertulis dalam mushahif, yang diriwayatkan kepada kita dengan mutawatir
merupakan ibadah bila membacanya, dimulai dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-
Naas.

Ada juga menurut pendapat ahli yang berpendapat paling kuat yang di kemukakan Dr.Subhi Al
Salih berarti Bacaanasal kata Al-Qur’an itu berbentuk Masdar dengan arti islam maful yaitu maqru
(dibaca).. konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surah Al-Qur’an sendiri yakni
pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya : “sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di
dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan kami. (Karena
itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.

Definisi atau pengertian Al-Qur’an menurut Bahasa dan istilah di atas merupakan kata sepakat
antara ulama dan para ahli ushul. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT sebagai tata aturan bagi
kehidupan semua bangsa, petunjuk yang benar untuk semua makhluk, tanda bukti atas kebenaran
Rasulullah Muhammad SAW, dalil yang atas kenabian dan risalanya. Dan sebagai hujjah yang tetap
tegak hingga hari kemudian.

2.1.2 Otentisitas Al-Qur’an


Al-Qur’an Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di
antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang koentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab
yang selalu dipelihara. Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhum (Sesungguhnya Kami
yang menurunkan Al-Qur’an dan Kamilah Pemelihara-pemeliharanya-Nya).

Tetapi, dapatkah kepercayaan itu didukung oleh bukti-bukti lain? Dan, dapatkah bukti-bukti itu
menyakinkan manusia, termasuk mereka yang tidak percaya akan jaminan Allah di atas? Tanpa ragu
kita mengiyakan pertanyaan di atas, karena seperti yang ditulis oleh almarhum ‘Abdul-Halim Mahmud,
mantan Syaikh Al-Azhar: “Para orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukkan kelemahan Al-
qur’an, tidak mendapatkan celah unutk meragukan keontikannya. Hal ini disebabkan oleh bukti-bukti
kesejarahan yang mengantarkan mereka kepada kesimpulan tersebut.

6
Ada kutipan pendapat seorang ulama besar Syi’ah kontenporer, Muhammad Husain Al-
Thabathaba’iy, yang menyatakan bahwa Sejarah Al-Qur’an demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya
sampai masa kini. Ia dibaca oleh kaum Muslim sejak dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya
Al-Qur’an tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keontentikannya. Kitab Suci tersebut lanjut
Thabathaba’iy memperkenalkan dirinya sebagai firman-firman Allah dan membuktikan hal tersebut
dengan menantang siapa pun untuk Menyusun seperti keadaannya. Ini sudah cukup menjadi bukti,
walaupun tanpa bukti-bukti kesejarahan. Salah satu bukti bahwa Al-Qur’an yang berada di tangan kita
sekarang adalah Al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. Tanpa pergantian atau perubahan
-tulis Thabathaba’iy lebih jauh- adalah berkaitan dengan sifat dan ciri-ciri yang diperkenalkannya
menyangkut dirinya, yang tetap dapat ditemui sebagaimana keadaannya dahulu.

Dr. Mustafa Mahmud, mengutip pendapat Rasyad Khalifah, juga mengemukakan bahwa dalam
Al-Qur’an sendiri terdapat bukti-bukti sekaligus jaminan akan keontentikannya.

Huruf-huruf hija’iyah yang terdapat pada awal beberapa surah dalam Al-Qur’an adalah jaminan
keutuhhan Al-Qur’an sebagaimana diterima oleh Rasulullah saw. Tidak terlebih dan atau berkurang satu
huruf dari kata yang digunakan oleh Al-Qur’an. Kesemuannya habis terbagi 19, sesuai dengan jumlah
huruf-huruf B(i)sm Ali(a)h Al-R(a)hm(a)n Al-R(a)him. (Huruf a dan I dalam kurung tidak tertulis dalam
aksara Bahasa Arab).

2.1.3 Isi Kandungan Al-Qur’an


Aqidah, ibadah, akhlak, hukum, Sejarah dan dorongan untuk berfikir dalam garis besar/inti sari
al-qur’an.

Al-Qur’an adalah kitab suci agama islam untuk seluruh umat muslim di seluruh dunia dari awal
diturunkan hingga waktu penghabisan spesies manusia di dunia baik di bumi maupun di luar angkasa
akibat kiamat besar.

Di dalam surat-surat dan ayat-ayat alqur’an terkandung kandungan yang secara garis besar
dapat kita bagi menjadi beberapa hal pokok atau hal utama beserta pengertian atau arti definihuZsi dari
masing-masing kandungan inti sarinya, yaitu sebagaimana berikut ini :

1. Aqidah
Aqidah adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti wajib
dimiliki oleh setiap orang di dunia. Al-Qur’an mengajarkan akidah tauhid kepada kita yaitu
menanamkan keyakinan terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah tidur dan tidak
beranak-pinak. Percaya kepada Allah SWT adalah salah satu butir rukun iman yang pertama.
Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang kafir.
2. Ibadah
Ibadah adalah taat, tunduk, ikut atau nurut dari segi Bahasa. Dari pengertian “fuqaha” ibadah
adalah segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau dikerjakan untuk mendapatkan ridho dari
Allah SWT. Bentuk ibadah dasar dalam ajaran agama islam yakni seperti yang tercantum dalam
lima butir rukun islam. Mengucapkan dua kalimat syahadat, sholat lima waktu, membayar
zakat, puasa di bulan suci Ramadhan dan beribadah pergi haji bagi yang telah mampu
menajalankannya.
3. Akhlak
Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau akhyatul
karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah SWT mengutus Nabi
Muhammad SAW tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlak. Setiap manusia
harus mengikuti apa yang diperintahkanNya dan menjauhi larangan-Nya.

7
4. Hukum-Hukum
Hukum yang ada di Al-qur’an adalah memberi suruhan atau perintah kepada orang yang
beriman untuk mengadili dan memberikan penjatuhan hukuman hukum pada sesame manusia
yang tebukti bersalah. Hukum dalam islam berdasarkan Al-qur’an ada beberapa jenis atau
macam seperti jinayat, mu’amalat, munakahat, faraidh dan jihad.
5. Peringatan/Tadzkir
Tadzkir atau peringatan adalah sesuatu yang memberi peringatan kepada manusia akan
ancaman Allah SWT berupa siksa neraka atau waa’id. Tadzkir juga bisa berupa kabar gembira
bagi orang-orang yang beriman kepadaNya dengan balasan berupa nikmat surga Jannah atau
waa’ad. Di samping itu ada pula gambaran yang menyenangkan di dalam alqur’an atau disebut
juga targhib dan jebalikannya gambaran yang menakutkan dengan istilah lainnya tarhib.
6. Sejarah/Kisah
Sejarah atau kisah adalah cerita mengenai orang-orang yang terdahulu baik yang mendapatkab
kejayaan akibat taat kepada Allah SWT serta ada juga yang mengalami kebinasaan akibat tidak
taat atau ingkar terhadap Allah SWT. Dalam menjalankan kehidupan sehari-sehari sebaiknya
kita mengambil polajaran yang baik-baik dari Sejarah masa lalu atau dengan istilah lain ikibar.
7. Dorongan Untuk Berpikir
Di dalam al-qur’an banyak ayat-ayat yang mengulas suatu bahasan yang memerlukan
pemikiran manusia untuk mendapatkan manfaat dan juga membuktikan kebenarannya,
terutama mengenai alam semesta.

2.1.4 Fungsi dan Peranan Al-Qur’an


Al-Qur’an adalah wahyu Allah (Asy-Syuura[42]:7) yang berfungsi sebagai:

Demikian Kami Wahyukan kepada Al-Qur’an dalam Bahasa Arab, supaya kamu memberi
peringatan kepada ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya [1340]
serta memberi peringatan (pula) tentang hari terkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya.
Segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.

[1340] Maksudnya : penduduk dunia seluruhnya.

1. Mukjizat bagi Rasulullah Muhammad saw (17:88; 10:38)

Artinya: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-
Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun
Sebagian mereka menjadi pembantu bagi Sebagian yang lain” atau (patutkah) mereka
mengatakan “Muhammad membuat-buatnya.” (Q.S Al-Israa[88]).

8
Artinya: “(Kalau benar yang kamu katakana itu), maka cobalah datangkan sebuah surat
seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain
Allah, jika kamu orang yang benar.” (Q.S Yunur ayat [88])

2. Pedoman hidup bagi setiap Muslim (4:105; 5:49,50; 45:20)

Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkan kita kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antata manusia denga napa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang
yang khianat.” (Q.S An-Nisaa[105])

Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian yang
dilakukan Thu’mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi.
Thu’mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu
orang yahudi. Hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu’mah kepada Nabi SAW dan mereka
meminta agar Nabi membela Thu’mah dan menghukum orang-orang Yahudi, kehidupan
mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu’mah, Nabi sendiri hamper-hampir
membenarkan tuduhan Thu’mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi.

3. Korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya (5:48,15; 16:64) dan
bernilai abadi

9
Artinya : “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu
ujian [421] terhadap kita-kitab yang lain itu; maka putuskannlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah dating kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu [422], Kami
berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat Kebajikan. Hanya kepada Allah-
lah kemabali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.” (Al-Maidah[48])

[421]Maksudnya : Al-Qur’an adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang
diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya. [422]Maksudnya: umat Nabi Muhammad SAW dan
umat-umat yang sebelumnya.

2.2 HADITS
2.2.1 Pengertian Ilmu Hadits
Dari segi Bahasa ilmu hadits terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadits. Secara sederhana ilmu
artinya pengetahuan, knowledge dan science. Sedangkan hadits artinya segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW, baik dari perkataan, perbuatan, maupun persetujuan.

Para ulama ahli hadits banyak yang memberikan definisi ilmu hadits, di antaranya Ibnu Hajar
Al-Asqalani: Adalah mengetahui kaidah-kaidah yang dijadikan sambungan untuk mengetahui
(keadaan) perawi dan yang diriwayatkan. Atau ilmu yang mempelajari tentang keterangan suatu hal
yang dengan hal itu kita dapat mengetahui bahwa hadits itu diterima atau tidak. Atau definisi yang lebih
ringaks: Kaidah-kaidah yang mengetahui keadaan perawi dan yang diriwayatkannya.

Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadits adalah ilmu yang membicarakan
tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Perawi adalah orang-orang yang
membawa, menerima, dan menyampaikan berita dari Nabi, yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu
hadits.

Bagaimana sifat-sifat mereka, apakah bertemu langsung dengan pembawa berita atau tidak,
bagaimana sifat kejujuran dan keadilan mereka, dan bagaimana daya ingat mereka, apakah sangat kuat
atau lemah. Sedangkan maksud yang diriwayatkan (marwi) terkadang guru-guru perawi yang membawa
berita dalam sanad suatu hadits atau isi berita (matan) yang diriwayatkan, apakah terjadi keganjilan jika
dibandingkan dengan sanad atau mantran perawi yang lebih kredibel (tsiqah). Dengan mengetahui hal
tersebut, dapat diketahui mana hadits yang shahih. Ilmu yang berbicara tentang hal tersebut disebut
ilmu hadits. Ilmu hadits ini kemudian terbagi menjadi dua macam, yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu
hadits Dirayah.

2.2.2 Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits


Sesuai dengan perkembangan hadits, ilmu hadits selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah
SAW, sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Ilmu hadits muncul bersamaan dengan
mulainya periwatan hadits yang disertai dengan tingginya perhatian dan selektivitas sahabat dalam
menerima Riwayat yang sampai kepada mereka. Dengan cara yang sangat sederhana, ilmu hadits
berkembang sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi.

10
Pada masa Nabi SAW masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadits tidak ada persoalan karena
jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah mereka langsung bertemu dengan
beliau untuk mengecek kebenarannya atau menemui sahabat lain yang dapat dipercaya untuk
mengonfirmasinya. Setelah itu, barulah mereka menerima dan mengamalkan hadits tersebut.

Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadits, tetapi para peneliti hadits
memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Alquran dan hadits Rasulullah S.A.W. Misalnya firman Allah
S.W.T dalam Q.S. Al-Hujurat/49: 6 “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu.”

Demikian juga dalam Q.S. Al Baqarah/2: 282 “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki di antara. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya.”

Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang datang dibawa
seorang fasik yang tidak adil. Tidak semua berita yang dibawa seseorang dapat diterima sebelum
diperiksa siapa pembawanya dan apa isi berita tersebut. Jika pembawanya orang yang jujur, adil, dan
dapat dipercaya maka diterima. Akan tetapi sebaliknya, jika pembawa berita itu orang fasik, tidak
objektif, pembohong dan lainlain, maka tidak diterima karena akan menimpakan musibah terhadap orang
lain yang menyebabkan penyesalan dan merugikan.

Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits
karena konsentrasi mereka kepada Alquran yang baru dikodifikasi pada masa Abu Bakar tahap awal,
khalifah Abu Bakar tidak mau menerima suatu hadits yang disampaikan oleh seseorang, kecuali orang
tersebut mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya. Dan
masa Utsman tahap kedua, masa ini terkenal dengan masa taqlîl ar-riwayâh (pembatasan periwayatan),
para sahabat tidak meriwayatkan hadits kecuali disertai dengan saksi dan bersumpah bahwa hadits yang
ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah SAW.
Para sahabat merupakan rujukan yang utama bagi dasar ilmu riwayah hadits. Yakni, karena
hadits pada masa Rasulullah SAW merupakan suatu ilmu yang didengar dan didapatkan langsung dari
beliau, maka setelah beliau wafat hadits di sampaikan oleh para sahabat kepada generasi berikutnya
dengan penuh semangat dan perhatian sesuai dengan daya hafal mereka masing-masing. Para sahabat
juga telah meletakkan pedoman periwayatan hadits untuk memastikan keabsahan suatu hadits. Mereka
juga berbicara tentang para rijal-nya, hal ini mereka tempuh supaya dapat diketahui hadits makbul untuk
diamalkan dan hadits yang mardud untuk ditinggalkan. Dan dari sini muncullah mushthalah al-hadits.
Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadits karena orangnya masih
jujur-jujur dan saling mempercayai satu dengan yang lain. Akan tetapi, setelah terjadinya konflik fisik
(fitnah) antar elite politik, yaitu antara pendukung Ali dan Mu’awiyah dan umat berpecah menjadi
beberapa sekte; Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan hadits
(hadits mawdhû’) dari masingmasing sekte dalam rangka mencari dukungan politik dari masa yang lebih
luas. Melihat kondisi seperti hal di atas para ulama bangkit membendung hadits dari pemalsuan dengan
berbagai cara, di antaranya rihlah checking kebenaran hadits dan mempersyaratkan kepada siapa saja
yang mengaku mendapat hadits harus disertai dengan sanad. Sebagaimana ungkapan ulama hadits ketika
dihadapan suatu periwayatan: Sebutkan kepada kami para pembawa beritamu. Ibnu Al- Mubarak
berkata: Isnad/sanad bagian dari agama, jikalau tidak ada isnad sungguh sembarang orang akan berkata
apa yang dikehendaki.

11
Keharusan sanad dalam penyertaan periwayatan hadits tidak diterima, tuntutan yang sangat kuat
ketika Ibnu Asy-Syihab Az-Zuhri menghimpun hadits dari para ulama di atas lembaran kodifikasi.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa periwayatan hadits tidak di terima, kecuali disertai sanad. Pada
periode Tabi’in, penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya
masalah-masalah matan yang para Tabi’in hadapi.

Demikian juga dikalangan ulama-ulama hadits selanjutnya. Perkembangan ilmu hadits semakin
pesat ketika ahli hadits membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan perawi hadits kuat atau
tidak (dhâbit), bagaimana metode penerimaan dan penyampaiaan (thammul wa adâ), hadits yang kontra
bersifat menghapus (nâsikh dan mansûkh) atau kompromi, kalimat hadits yang sulit dipahami (gharîb al-
hadîts), dan lain-lain. Akan tetapi, aktivitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan
(syafawî) dari mulut ke mulut dan tidak tertulis.

Ketika pada pertengahan abad kedua Hijriyah sampai abad ketiga Hijriyah, ilmu hadits mulai di
tulis dan dikodifikasi dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri
sendiri, masih campur dengan ilmu-ilmu lain atau berbagai buku atau berdiri secara terpisah. Tetapi pada
dasarnya, penulisan hadits baru dimulai pada abad kedua Hijriyah. Imam Syafi’i adalah ulama pertama
yang mewariskan terori-teori ilmu haditsnya secara tertulis sebagaimana terdapat dalam karyanya.
Misalnya ilmu hadits bercampur dengan ilmu ushul fiqih, seperti dalam kitab Ar-Risâlah yang ditulis
oleh Asy-Syafi’i, atau campur dengan fiqih seperti kitab Al-Umm. Dan solusi hadits-hadits yang kontra
dengan diberi nama Ikhtilâf Al-Hadîts karya Asy-Syafi’I (w. 204 H). Hanya saja, teori ilmu haditsnya
tidak terhimpun dalam pembahasan kitab Ar-Risâlah dan kitab Al-Umm.

Sesuai dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadits yang disebut pada masa kejayaan atau
keemasan hadits, yaitu pada abad ketiga Hijriyah, perkembangan penulisan ilmu hadits juga pesat, karena
perkembangan keduannya secara beriringan. Namun, penulisan ilmu hadits masih terpisah- pisah, belum
menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, ia masih dalam bentuk bab-bab saja. Mushthafa As-
Siba’I mengatakan orang pertama kali menulis ilmu hadits adalah Ali bin Al-Madani, syaikhnya Al-
Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi.7 Dr. Ahmad Umar Hasyim juga menyatakan bahwa orang pertama yang
menulis ilmu hadits adalah Ali bin Al-Madani dan permasalahannya sebagaimana yang ditulis oleh Al-
Bukhari dan Muslim.8.

Di antara kitab-kitab ilmu hadits pada abad ini adalah kitab Mukhtalif Al-Hadîts, yaitu Ikhtilâf
Al-Hadîts karya Ali bin Al-Madani, dan ta’wîl Mukhtalif Al-Hadîts karya Ibnu Qutaibah (w. 276 H).
Kedua kitab tersebut ditulis untuk menjawab tantangan dari serangan kelompok teolog yang sedang
berkembang pada masa itu, terutama dari golongan Mu’tazilah dan ahli bid’ah. Di antara ulama ada yang
menulis ilmu hadits pada mukadimah bukunya seperti Imam Muslim dalam kitab Shahîh-nya dan At-
Tirmidzi pada akhir kitab Jâmi’-nya. Diantara mereka Al-Bukhari menulis tiga Târîkh, yaitu At-Târîkh
Al-Kabîr, At-Târîkh AlAwsâth dan At-Târîkh Ash-Shaghîr, Muslim menulis Thabaqât At-Tâbi’in dan
Al-‘Ilal, AtTirmidzi menulis Al-Asmâ’ wa Al-Kunâ dan KitâbAt-Tawârikh, dan Muhammad bin Sa’ad
menulis Ath-Thabaqât Al-Kubrâ. Dan di antara mereka ada yang menulis secara khusus tentang
periwayat yang lemah seperti Ad-Dhu’afâ’ ditulis oleh Al-Bukhari dan Ad-Dhu’afâ’ ditulis oleh An-
Nasa’i, dan lain-lain.

Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadits yang ditulis oleh para ulama abad ke-3 Hijriyah ini, namun
buku-buku tersebut belum berdiri sendiri sebagai ilmu hadits, ia hanya terdiri dari bab-bab saja.
Perkembangan ilmu hadits mencapai puncak kematangan dan berdiri sendiri pada abad ke-4 H yang
merupakan penggabungan dan penyempurnaan berbagai ilmu yang berkembang pada abad-abad
sebelumnya secara terpisah dan berserakan. Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin
Khalad Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H) adalah orang yang pertama kali memunculkan ilmu hadits yang

12
berdiri sendiri dalam karyanya Al-Muhaddits Al-Fâshil bain Ar-Râwî wa Al-Wâî. Akan tetapi, tentunya
tidak mencakup keseluruhan permasalahan ilmu, kemudian diikuti oleh Al-Hakim Abu Abdullah An-
Naisaburi (w. 405 H) yang menulis Ma’rifah “ulûm Al-Hadîts tetapi kurang sistematik, Al-Khathib Abu
Bakar Al-Baghdadi (w. 364 H) yang menulis Al-Jâmi li Adâb Asy-Syaikh wa As-Sâmi’ dan kemudian
diikuti oleh penulis-penulis lain.
Ringkasan Perkembangan Pembukaan Ilmu Hadits :

No. Masa Karakteristik


1 Masa Nabi Muhammad SAW Telah ada dasar-dasar ilmu hadits.
2 Masa Sahabat Timbul secara lisan, secara eksplisit.
3 Masa Tabi’in Telah timbul secara tertulis, tetapi belum terpisah dengan ilmu
lain.
4 Masa Tabi’ Tabi’in Ilmu hadits telah timbul secara terpisah dari ilmu-ilmu lain, tetapi
belum menyatu.
5 Masa setelah Tabi’ Tabi’in (abad ke- Berdiri sendiri sebagai ilmu hadits.
4 H)

2.2.3 Macam-Macam Hadits


Ditinjau dari segi perawinya, hadits terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.

1. Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari
kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan dipastkan di antara mereka tidak
bersepakat dusta. Contohnya adalah hadits yang artinya: “Dari Abu Humairah ra. Bahwa
Rasulullah saw. Bersabda: Bagaimana berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya
adalah neraka.” (H.R. Bukhari, Muslim)
2. Hadits Masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih yang
tidak mencapai derajat mutawatr, namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian
banyak tabi’in sehingga tidak mungkin bersepakat dusta. Contoh hadits jenis ini adalah hadits
yang artnya, “Orang Islam adalah orang-orang yang tidak mengganggu orang lain dengan lidah
dan tangannya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmizi).
3. Hadits Ahad
Hadits ahad adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi,
sehingga tidak mencapai derajat mutawatr.
Dilihat dari segi kualitas orang yang meriwayatkannya (perawi), hadits dibagi ke dalam
tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Hadits sahih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam
penelitannya, sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw., tidak tercela, dan tidak
bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadits ini dijadikan sebagai
sumber hukum dalam beribadah (hujjah).
2. Hadits hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat
hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama sepert hadits
sahih, hadits ini dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.
3. Hadits da’if, yaitu hadits yang tidak memenuhi kualitas hadits sahih dan hadits hasan. Para
ulama mengatakan bahwa hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, tetapi dapat
dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah.

13
4. Hadits Maudu’, yaitu hadits yang bukan bersumber kepada Rasulullah saw. atau hadits palsu.
Dikatakan hadits padahal sama sekali bukan hadits. Hadits ini jelas tidak dapat dijadikan
landasan hukum, hadits ini tertolak
2.2.4 Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Fungsi hadits terhadap al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu sebagai berikut.
1. Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum
Contohnya adalah ayatal-Qur’anyang memerintahkansalat. Perintah salat dalam al-Qur’an masih
bersifat umum sehingga diperjelas dengan hadits-hadits Rasulullah saw. tentang salat, baik
tentang tata caranya maupun jumlah bilangan raka’at-nya. Untuk menjelaskan perintah salat
tersebut, misalnya keluarlah sebuah hadits yang berbunyi, “salatlah kalian sebagaimana kalian
melihat aku salat”. (H.R. Bukhari)
2. Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur’an
Seperti dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian melihat
bulan, maka berpuasalah!” Kemudian ayat tersebut diperkuat oleh sebuah hadits yang berbunyi,
“... berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
3. Menerangkan maksud dan tujuan ayat yang ada dalam al-Qur’an
Misal, dalam Q.S. at-Taubah/9:34 dikatakan, “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak,
kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab
yang pedih!” Ayat ini dijelaskan oleh hadits yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan zakat
kecuali supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakat.” (H.R. Baihaqi)
4. Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an
Maksudnya adalah bahwa jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur’an, diambil
dari hadits yang sesuai. Misalnya, bagaimana hukumnya seorang laki-laki yang menikahi
saudara perempuan istrinya. Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah saw.:
Artinya: “Dari Abi Humairah ra. Rasulullah saw. Bersabda: “Dilarang seseorang mengumpulkan
(mengawini secara Bersama) seorang Perempuan depan saudara dari ayahnya serta seorang
Perempuan dengan saudara Perempuan dari ibunya.” (H.R. Bukhari)

2.2.5 Manfaat Mempelajari Ilmu hadits


Banyak sekali faedah dan manfaat yang diperoleh dalam mempelajari ilmu hadits, di antaranya
sebagai berikut:
1. Mengetahui istilah-istilah yang disepakati ulama hadits dalam penelitian hadits. Demikian juga
dapat mengenal nilai-nilai dan kriteria hadits; mana hadits dan mana yang bukan hadits.
2. Mengetahui kaidah-kaidah yang disepakati para ulama dalam menilai, menyaring (filterasi) dan
mengklasifikasi ke dalam beberapa macam, baik dari segi kuantitas maupun kualitas sanad dan
matan hadits sehingga dapat menyimpulkan mana hadits yang diterima dan mana hadits yang
ditolak.
3. Mengetahui usaha-usaha dan jerih payah yang ditempuh para ulama dalam menerima dan
menyampaikan periwayatan hadits, kemudian menghimpun dan mengodifikasi ke dalam
berbagai kitab hadits.
4. Mengenal tokoh-tokoh ilmu hadits, baik dirâyah maupun riwâyah yang mempunyai peran
penting dalam perkembangan pemeliharaan hadits sebagai sumber syari’ah Islamiyah sehingga
hadits terpelihara dari pemalsuan tangantangan kotor yang tidak bertanggung jawab.
Seaindainya terjadi hal tersebut, mereka pun dapat mengungkap dan meluruskan yang
sebenarnya
5. Mengetahui hadits yang shahîh, hasan, dha’îf, muttashil, mursal, munqati’, mu’dal, maqlûb,
masyhûr, gharîb, ‘azîz mutawâtir, dan lain-lain.
Demikian pentingnya ilmu hadits untuk dipelajari bagi semua umat Islam, terutama bagi yang
ingin mempelajari ilmu agama secara dalam sehingga tidak goyah dalam menghadapi goyangan iman
yang meragukan otentisitas hadits.

14
2.3 RA’YU ULAMA
2.3.1 Pengertian Ra’yu
Secara etimologi kata ra’yu berasal dari bahasa arab yang berarti “melihat”. Menurut Abu
Hasan kata ra’yu memiliki arti: pengelihatan dan pandangan dengan mata atau hati, segala sesuatu yang
dilihat oleh manusia, jamaknya al-Ara’. Secara terminologi, ra’yu menurut Muhammad, yaitu segala
sesuatu yang diutamakan manusia setelah melalui proses berfikir dan merenung. Lebih spesifik lagi,
apa yang diungkapkan oleh Mahmud Hamid ‘Usman, seorang pakar usul fikih, mendefinisikan makna
dari kata ra’yu, sebagai berikut:
Mahmud hamid ‘Usman juga menutip beberapa pendapat ulama yang menjelaskan tentang
makna ra’yu diantaranya yaitu:
1. Al-baji, yang memberikan penjelasan tentang perbedaan antara ra’yu dan ijihad, menurut Al-
Baji:

2. Ibn Khuwaiz Mandad berpendapat:

3. Ibn Qayyim berpendapat :

Dari beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa ra’yu merupakan “hasil dari
suatu perenungan dan pemikiran yang bertujuan untuk memberikan Solusi terhadap suatu permasalahan
hukum yang belum pernah ada sebelumnya di dalam nas untuk kemaslahatan hidup manusia dengan
menggunakan kaedah yang telah ditetapkan”.
Ra’yu sebagai sumber hukum islam. Ra’yu adalah salah satu cara umat Islam untuk menetapkan
suatu hukum dari permasalahan-permasalahan kontenporer yang belum didapati dalam Al-Qur’an dan
Hadits. Manusia memiliki akal yang mampu berfikir secara konprehensif dengan tetap berpegang teguh
pada Al-qur’an dan ra’yu memiliki perbedaan dalam pengertiannya. Akal adalah subjek (alat/pelaku
yang melakukan pemikiran), sedangkan ra’yu adalah, suatu hasil/obyek dari proses pemikiran yang
bertujuan untuk mencari kebenaran/Solusi dari suatu hukum yang tidak ada di dalam Al-qur’an dan
Hadits.
2.3.2 Pemahaman teks hukum secara konseptual
Pemahaman teks hukum secara kontekstual, berarti mencoba memahami ayat/kalimat yang
terdapat di dalam Al-qur’an dan hadits terutama yang berhubungan dengan hukum untuk dapat
diaplikasikan dalam kehidupan manusia sesuai pada zaman Dimana Al-qur’an itu berbeda. Pentingnya
memahami teks hukum secara kontekstual karena segala hukum yang tergantung di dalamnya, adalah
untuk kemaslahatan bagi umat manusia. Melangganya adalah petaka bagi manusia itu sendiri.

15
Butuh pemahaman yang dalam, Upaya penafsiran yang komprehensif agar apa yang dimaksud
dalam suatu teks ayat dapat dipahami dengan lebih baik. Meskipun tidak aka nada yang dapat
menafsirkan ayat dengan author centre interpretation. Namun usaha manusia “untuk dapat lebih
mendekati” makna Al-Qur’an dalam arti memahami teks hukum dalam konteks kekinian tentu sangat
urgen, mengingat berbagai macam perubahan yang begitu drastis dari sejak zaman Al-qur’an diturunkan
sampai pada zaman modern saat ini.

Namun tidak ada yang perlu di khawatir kan dalam menjawab tantangan globalisasi saat ini,
karena Al-qur’an adalah shalihun fi kulli zaminin wa makanin. Oleh sebab itu, disinilah salah satu fungsi
akal dan ra’yu dalam memerankan tugasnya. Permasalahan kontemporer, tentu dapat terjawab melalui
analis yang dilakukan oleh akal, dengan tetap berdasarkan Al-qur’an dan hadis.

2.3.3 Al-Ra’yu Sebagai Sumber Hukum


Keabsahan al-ra’yu sebagai sumber hukum Islam bersumber dari riwayat hadis tentang
diutusnya Muaz bin Jabal ke Yaman oleh Nabi saw. Ketika sahabat Mu’az bin Jabal diutus oleh Nabi
saw ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau diizinkan oleh Nabi saw untuk
menggunakan ra’yu. Hal ini dijelaskan dalam riwayat sebagai berikut :
َ َ َ َ َ ََ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ ً َ ُ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َّ َ َ َ ُ َ َّ َ
‫ض لك قضاء‬ ‫ض ِإذا عر‬
‫ألما أراد أن يبعث معاذا ِإَل اليم ِن قال كيف تق ِ ي‬e ‫اّلل‬ ِ ‫ول‬ ‫أن رس‬
َ
‫اّلل‬
ِ ‫ول‬ َ َ ِ َ ‫ال َأ ْقض بك َتاب‬
ُ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ َّ ُ َ َ َ َ ‫ال َفإ ْن َل ْم َتج ْد ف ك َتاب‬ َ ‫َق‬
ِ ‫ رس‬e ‫اّلل قال ف ِبسن ِة قال ف ِإن لم ت ِجد‬
ِ ِ ِ ‫ِ ِي‬ ِ ‫اّلل ق‬ ِ ِِ ‫ِ ي‬
َ ُ ُ َ َ َ َ َ ُ َ ْ َ ُ ََ َْ ُ َ ْ َ َ َ َ َ ََ َ ُ َ َّ ُ
‫اّلل‬
ِ ‫ول‬ ‫ فضب رس‬e ‫اّلل قال أجت ِهد رأ ِي يي وَل آلو صدره‬ِ ‫اب‬ِ ‫وَل ِ يف ِكت‬e ‫اّلل‬
ِ ‫ول‬ ِ ‫ِ يف سن ِة رس‬

Artinya: Ketika Rasulullah saw hendak mengutus Mu’az ke Yaman, maka Rasulullah saw bertanya: Apa
yang kau lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus diputuskan? Jawabnya: Aku
memutuskannya berdasarkan Alquran. Ditanya lagi, bagaimana jika tidak ada (kau) temukan dalam
Alquran?. Jawabnya: Dengan Sunnah Rasulullah saw. Ditanya lagi, bagaimana jika tidak terdapat dalam
al-Sunnah? Jawabnya : aku akan berijtihad dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara
pun tanpa putusan. (dengan jawab-jawaban itu), maka Rasulullah saw menepuk dadanya (Mu’az).

Berdasarkan riwayat di atas, dipahami bahwa yang dilakukan Mu’az dalam menetapkan hukum
adalah secara terstruktur mulai dari Alquran, hadis, lalu al-ra’yu (akal pikirannya).
Dalam perkembangan ilmu Islam, dikenal tiga kelompok yang meng-gunakan ra’yu, yaitu para
ahli fikir teologi (mutakallimun), para ahli fikir bidang hukum (fuqaha), dan para ahli fikir filsafat murni
(filosof). Ketika kelompok tersebut sama-sama memfungsikan akal untuk melakukan kegiatan berfikir
dan menalar. Namun karena bidang garapannya berbeda, maka masing-masing kelompok memounyai
dan mengembangkan metode yang berbeda.
Metode penalaran para ahli fikir di bidang hukum disebut ijtihad. sementara itu, para ahli fikir
di bidang teologi disebut nazar yang sasarannya memantapkan akidah tentang Allah, alam ghaib, rasul
dan wahyu yang merupakan sendiri dasar keimanan, untuk menjauhkan keraguan yang sewaktu-waktu
menggoda pikiran manusia.
Pertanyaan yang muncul kemudian, sampai dimana peranan akal (al-ra’yu) dalam hukum Islam
? Jawabannya menurut H. Minhajuddin adalah peranan akal ditetapkan secara khusus kepada hal-hal
yang berhbungan dengan kehidupan perorangan dan masyarakat dalam segenap lapangan kehidupan
sosial, ekonomi, politik, dan berbegai aktivitsanya. Adapun hal-hal yang sudah nasnya dengan jelas
atau qat’iy, maka hal itu kita wajib terima sebagai ta’abbudy. Selanjutnya, Al-Gazāli berpendapat
bahwa akal pikiran termasuk sandaran utama untuk mengeluarkan (menetapkan) hukum-hukum syariat.

16
Sekiranya, hukum-hukum sesuatu tidak ada nashya dan tidak pula didapatkan dalam ijma’, maka akal
lah yang memegang peranan penting.[7]
Sepeninggal Nabi saw, memang banyak sahabat yang menggunakan akal dalam menetapkan
hukum. Khalifah Abū Bakar (w. 13 H) ketika meng-hadapi suatu kasus, beliau mencari pemecahannya
dalam Alquran. Jika tidak terdapat dalamnya, maka dia mencari di hadis, dan jika dia tidak menemukan-
nya maka dia kumpulkan beberapa tokoh ulama sahabat untuk diajak ber-musyawarah. Hal yang sama
dilakukan juga oleh Umar, bahkan beliau pernah mengirin surat perintah ke Abū Mūsa al-Asyari ketika
itu menjadi Qadhi di Basrah, sebagai berikut :

‫ إعرف األشباه واألمثال‬،‫ الفهم فيما تلجلج فى صدرك مما ليس فى كتاب وال سنة‬،‫الفهم‬

‫وقس األمور عند ذلك‬


Artinya: Pahamilah, pahamilah menurut apa yang ada dalam gejolak hatimu (pakailah rasio) tentang
apa yang tidak terdapat dalam Alquran dan sunnah. Kenalilah hal-hal yang serupa dan yang sama, dan
ketika itu kiaskanlah dan bandingkanlah satu sama lain.
Praktek penggunaan al-ra’yu yang disebutkan terakhir, dikembangkan Abdullah bin mas’ud
yang pindah ke Irak kemudian mengajar ulama-ulama di sana, dan ulama-ulama di tempat lain juga
selalu menggunakan ra’yu mereka ketika dalam persoalan hukum tidak ditemukannya dalam sumber
pokok hukum Islam, yakni Alquran dan hadis.

17
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Al-Qur’an adalah salah satu kalam Allah SWT. yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW.
dan arti “qur’an” berarti “bacaan” yaitu pedoman seluruh umat islam diseluruh penjuru dunia yang
dipakai sebagai petunjuk, pegangan dan lain sebagainya, didalam baik melakukan ibadah, budi pekerti
dan lain-lain
. Al-Qur’an merupakan kitab yang keontetikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang
selalu dipelihara. Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun (Sesungguhnya Kami yang
menurunkan Al-Qur’an dan Kamilah Pemelihara-pemelihara-Nya).
Dari segi bahasa ilmu hadis terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadis. Secara sederhana ilmu
artinya pengetahuan, knowledge dan science. Atau ilmu hadis adalah ilmu yang mempelajari tentang
keterangan suatu hal yang dengan hal itu kita dapat mengetahui bahwa hadis itu diterima atau tidak.
Pada dasarnya, penulisan ilmu hadis baru dimulai sejak abad ke 2 Hijriyah. Sejarah
perkembangan dari masa Nabi Muhammad telah ada dasar-dasar ilmu hadis serta pada masa Nabi masih
hidup penulisan hadis dilarang keras oleh Nabi, karena khawatir akan bercampur dengan Al-Quran
dengan hadis. Pada masa sahabat para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis karena
konsentrasi mereka kepada Alquran yang baru dikodifikasi pada masa Abu Bakar tahap awal dan masa
Utsman tahap kedua, pada masa sahabat ilmu hadis timbul secara lisan atau secara eksplisit. Pada masa
Tabi’in (abad ke-4 H) telah timbul secara tertulis, tetapi belum terpisah dengan ilmu lain. Pada masa
Tabi’ Tabi’in, imu hadis telah timbul secara terpisah dari ilmu-ilmu lain, tetapi belum menyatu.
Sedangkan, pada masa setelah Tabi’ Tabi’in ilmu hadis berdiri sendiri sebagai ilmu hadis.
Dengan hadits dirayah kita dapat mengetahui masalah-masalah untuk mengetahui layak atau
tidaknya seorang perawi dalam meriwayatkan sebuah hadits. Dengan dua ilmu tersebut kita dapat
mengetahui sejarah tentang turun temurunnya sebuah hadits.

Dalam mengahadapi berbagai permasalahan kontenporer yang tidak terdapat dalam nas Al-
qur’an dan hadits, ra’yu dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam yang diakui keabsahannya.
Namun demikian, tentu saja Al-qur’an dan Hadits harus tetap menjadi acuan utama dalam menguasai
akal dalam istinbat hukum islam.

18

Anda mungkin juga menyukai