Di Susun Oleh:
KELOMPOK 2
MUHAMAD DIAS
AJENG
FITRI
FISABILILLAH
JURUSAN PARIWISATA
PROGRAM STUDI
PERHOTELAN
Sukabumi, 2024
i
KATA PENGANTAR
Penulisan makalah ini memiliki tujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Pendidikan Agama Islam dengan tema konsep tentang ajaran agama islam. Yang
mana di dalam makalah ini kami menjelaskan mengenai kisah-kisah para nabi beserta
mengulas pesan moral dari akhlak para nabi agar umat islam dapat meneladaninya.
Namun, kami sadar bahwa makalah ini penuh dengan kekurangan. Oleh karena itu,
kami sangat berharap kritik dan saran konstruktif demi penyempurnaan makalah ini.
Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat serta mampu memenuhi harapan
berbagai pihak. Aamiin.
Penyusun
Terima kasih
Dengan hormat,
Kelompok 2
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB 1.....................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................1.1
B. Rumusan Masalah................................................................................................1.2
C. Tujuan..................................................................................................................1.3
BAB II....................................................................................................................4
KONSEP SUMBER AJARAN ISLAM..................................................................4
A. Alqur’an Sumber Ajaran Ilahi.................................................................................4
BAB III..................................................................................................................8
MAQASID AL - SHARI’AH ( TUJUAN TUJUAN SYARI’AT .............................8
A. Pengertian Maqasid Al - Shari’ah.............................................................................8
BAB IV.................................................................................................................12
PENUTUP............................................................................................................12
A. Kesimpulan...........................................................................................................12
B. Saran.....................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................17
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.Untuk memahami konsep sumber ajaran agama Islam.
2.Untuk mengetahui karakteristik sumber ajaran agama Islam.
3.Untuk mengetahui relevansi konsep sumber ajaran agama Islam dalam
pengembangan sumber ajaran PAI.
4.Untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan agama IsIam.
5.Sebagai penambahan wawasan dan pengetahuan tentang sumber sumber
ajaran agama IsIam.
6.untuk memperkuat iman dan ketakwaan umat IsIam.
3
terkemuka dari berbagai tradisi dan waktu. Dengan melakukan analisis yang
mendalam, makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih
komprehensif tentang esensi dan implikasi dari konsep-konsep tersebut dalam
konteks kehidupan manusia.
Selain itu, melalui penelusuran filosofis ini, kita juga bertujuan untuk
merangsang pikiran kritis dan refleksi mendalam tentang aspek-aspek fundamental
dari keberadaan manusia, seperti hubungan dengan yang transenden, sifat
eksistensial, dan makna hidup. Dengan demikian, diharapkan makalah ini dapat
menjadi landasan bagi pembaca untuk melakukan pemikiran yang lebih dalam
tentang peran Tuhan dan agama dalam memandu tindakan dan nilai-nilai dalam
kehidupan sehari-hari.
B. Ruang Lingkup
Makalah ini berfokus pada analisis filosofis tentang konsep Tuhan dan
agama, dengan mempertimbangkan berbagai pandangan dan sudut pandang dari
para pemikir terkemuka dalam sejarah filsafat dan teologi. Ruang lingkup
penelitian mencakup eksplorasi tentang sifat Tuhan, konsep tentang keberadaan
yang transenden, peran agama dalam kehidupan manusia, dan implikasi filosofis
dari aspek-aspek ini dalam berbagai konteks budaya dan sejarah.
Dalam konteks agama, makalah ini akan menyelidiki peran agama dalam
membentuk identitas individu dan kelompok, serta dampaknya dalam mendorong
perilaku etis dan nilai-nilai dalam masyarakat. Melalui penggunaan kerangka kerja
filosofis, kami akan mencoba untuk memahami bagaimana keyakinan-keyakinan
agama memengaruhi cara manusia memandang diri mereka sendiri, dunia di
sekitar mereka, dan hubungan mereka dengan kekuatan transenden yang diyakini
ada.
.
5
BAB II
KONSEP SUMBER AJARAN ISLAM
Kata AlQur’an secara harfiah atau secara mendasar memiliki artian sebagai
“bacaan sempurna”, seperti yang tercantumkan pada QS. Al-Qiyamah (75) ayat
17-18 yang artinya:"Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkan (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai
membacakannya, maka ikutilah bacaanya itu".Dan definisi Al-Qur’an secara
istilah yang lengkap dikemukakan oleh Khalaf (1980: 46), yaituFirman Allah
Subhanahu wata'ala yang diturunkan melalui malaikat Jibril, ke dalam hati Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan menggunakan bahasa Arab,
disertai dengan kebenaran dan dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal
pengakuannya sebagai Rasul, agar dijadikan sebagai petunjuk di samping
merupakan ibadah bagi pembacanya.Dari definisi yang di atas, ada beberapa hal
penting yang dapat kita diambil. Pertama, Al-Qur’an sebagai hujjah (argumentasi)
tentang kerasulan Muhammad. Al-Qu’an juga berfungsi sebagai mukjizat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan melemahkan argumentasi para
penentang kerasulan Muhammad dan kebenaran Islam. Sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah Subhanahu wata'ala didalam QS. Al-Isra’ (17) ayat 88
yang artinya: "Katakanlah, Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa (dengan) AlQur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat
yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama
lain.”.Kedua, membaca Al-Qur’an bernilai sebagai beribadah. Hal ini pun
mendorong umat muslim untuk membaca Al-Quran untuk dijadikan sebagai salah
satu amalan beribadah walaupun banyak dikalangan umat muslim yang tidak
mengerti artinya atau tidak dapat menulis dengan hurufnya (hijaiyah). Ketiga,
AlQur’an diriwayatkan secara mutawatir yang artinya wahyu Al-Qur’an harus
diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut kebiasaan mereka sepakat
berdusta.Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat, dan lebih dari 6.000 ayat yang
ada didalamnya. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam secara bertahap-tahap melalui malaikat Jibril dalam kurun 23
6
tahun 2 bulan 22 hari, dengan rincian waktu 13 tahunketika Nabi masih berada di
Mekkah sebelum berhijrah dan 10 tahun ketika Nabi sudah berhijrah dan tinggal di
Madinah. Suratsurat AlQur’an yang diturunkan ketika Nabi Muhammad Shallallah
‘Alaihi wa Sallam masih berada di Mekkah dan belum berhijrah ke Madinah
disebut sebagai surat Makkiyah. Dan surat-surat yang diturunkan ketika Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah berhijrah ke Madinah disebut
sebagai surat Madaniyyah. Secara garis besar, isi dari kandungan Al-Qur’an
mencakup hal-hal berikut.
1.Aqidah (Tauhid), Aqidah adalah ajaran yang mengesakan Allah
Subhanahu wata'ala dan semua keyakinan yang berkaitan atau berhubungan
dengan Allah Subhanahu wata'ala.
2.Syariat (baik ibadah maupun muamalah), Al-Qur’an mengajarkan
perintah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wata'ala dan berbuat baik
kepada sesame manusia sebagai menifestasi ketauhidan.
3.Akhlak dan semua ruang lingkupnya, menghiasi diri dengan melakukan
hal-hal yang baik dan menjauhi sifat-sifat yang tercela.
4.Kisah kisah umat manusia yang ada di masa lalu, seperti kisah para nabi
terdahulu.
5.Beritaberita yang memberitahu kehidupan pada saat di akhirat kelak.
6.Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan hukum-hukum (sunnatullah) yang
berlaku bagi alam semesta, termasuk manusia.Allah Subhanahu wata'ala pun juga
telah menjamin kemurnian dan kesucian AlQur’an. Allah Subhanahu wata'ala
berfiman pada QS. Al-Hijr (15) ayat 9,Artinya: Sesungguhnya Kamilah yang
menurunkan AlQur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.
Sejarah mencatat ada du acara yang diterapkan oleh Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam memelihara Al-Qur’an, yaitu dengan cara
melalui “hafalan” dan melalui “catatan”. Artinya, ketika ada sebuah ayat yang
turun, ayat itu langsung “dicatat” oleh penulis wahyu dan “dihafal” oleh para
sahabat, dan pada masa pemerintahan khalifah pertama, Abu Bakar AshShiddiq,
dikarenakan banyaknya penghafal AQur’an yang mati syahid, atas saran dari
Umar bin Khattab, AlQur;an yang ditulis pada masa Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dikumpulkan kembali dalam satu mushaf. Tugas itu pun
diberikan kepada Zaid bin Tsabit. Pada zaman khalifah ketiga, khalifah Utsman
binAffanmemerintahkanZaidbinTsabituntukmenyatukanAlQur’ankedalamdialekQ
uraisydan.diperbanyak untuk dikirim ke berbagai wilaya yang sudha dikuasai
Islam dikarenakan hampirmunculnya pertikaian dalam bacaan Al-Qur’an.Dalam
7
2.Metode tafsir ijmali, penafsiran yang secara singkat dan global tanpa uraian
panjang lebar sehingga penjelasan dari tafsir ini dapat mudah dipahami.
3.Metode tafsir muqaran, penafsiran yang memilih ayat AlQur’an kemudian
mengemukakan penafsiran para ulama dengan membandingkan penafsirannya dari
segala segi.
4.Metode tafsir maushu’I, yang menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an yang
berbicara suatu masalah lalu mengkajinya dari berbagai segi hingga masalah yang
dibahas itu terjawab dengan tuntas.
8
Sunnah secara bahasa berarti tradisi, kebiasaan, dan adat-istiadat. Dan dalam
istilah ilmu hadits, Sunnaha adalah segala keseluruhan yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berupa perkataan
(qauliyah), perbuatan (fi’liyah), dan penetapan (taqririyah). Sunnah terkadang juga
disebut dengan hadits, karena kedua istilahtersebut mengarah kepada pernyataan
yang sama. Hanya saja, Sunnah lebih spesifik dan khusus karena merupakan soal-
soal yang praktis yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Dengan kata lain, Sunnah adalah jejak langkah Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang terbentuk melalui tindakan-tindakan atau
ucapan-ucapan. Sedangkan hadits adlaah sebuah berita atau reportase tentang
ucapan,perbuatan, dan hal ihwal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Di samping istilah Sunnah dan hadits, ada pula istilah khabar (berita) dana tsar
(bekas sesuatu). Khabar dipandang oleh sebagian ahli hadits itu sama saja dengan
Hadits. Istilah khabar juga digunakan untuk hadits marfu’ (nisbah ke Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), mauquf (nisbah ke sahabat), dan
maqthu’ (nisbah ke tabi’in). sedangkan Atsar adalah sesuatu yang datang dari
sahabat (mauquf), tabi’in (maqthu), dan orang-orang sesudahnya.Pada zama
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hadits pada dasarnya tidak
diperintahkan untuk ditulis, bahkan pernah dilarang oleh Rasulullah
Shallallahu‘Alaihi wa Sallam agar tulisan hadits dan AlQur’an itu tak bercampur.
Tetapi, seletah para sahabat memahami, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
pun membiarkannya saja. Pada saat itu, yang menuliskan hadits masih sangatlah
sedikit, dan kumpulan tulisan-tulisan hadits tersebut dinamakan sebagai shahifah.
Pada zaman Umar bin Abdul Aziz, khalifah ke-8 dari dinasti bani umayyah timbul
inisiatif secara resmi untuk menulis dan membukukan (tadwin) hadits. Dengan
demikian, pemeliharaan hadits sejak zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam dan para sahabatnya adalah dengan menggerakkan penghafalan,
penulisan, serta pengumpulan. Dan kemudian ditingkatkan dengan adanya
pembukuan (tadwin).Pembukuan hadits mencapai puncaknya pada fase perawi,
usaha ini dipelopori oleh Ishaq bin Rahawaih dan kemudian disempurnakan oleh
Al-Bukhari dan Muslim. Haditshadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam pun dibagi menjadi beberapa kategori yang terpenting, yaitu pembagian
hadits yang ditinjau dari perawi dan pembagian hadits yang ditinjau dari kualitas
hadits.
9
Pembagian hadits yang ditinjau dari perawi terbagi menjadi dua, sebagai berikut.
1.Hadits mutawatir
Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut adat mustahil
2.Hadits ahad
a.Hadits masyhur
Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih. Tetapi belum mencapai
tingkatan mutawatir.
b.Hadits ‘aziz
c.Hadits gharib
Kemudian pembagian hadits yang ditinjau dari segi kualitasnya, hadits ini terbagi
1.Hadits shahih
Hadits yang tingkatnya tertinggi dari penerimaan suatu hadits, hadits shahih ini
janggal (syaz).
2.Hadits hasan
Hadits ini hampir sama tingkatannya dengan shahih. Tetapi perbedaannya hanya
ditingkat dhabith dari perawinya. Yang dimana hadits shahih itu tam dhabith atau
sempurna. Sedangkan hadits hasan itu qalil dhabith atau kurang dhabithnya.
3.Hadits dha’if
Menurut Tajun Nashr dalam buku Ijma sebagai Dalil Syari Ketiga, secara bahasa
kata ijma memiliki dua arti. Pertama, ijma adalah niat dari seseorang untuk
melakukan sesuatu dan memutuskannya. Kedua, ijma adalah kesepakatan
beberapa orang untuk melakukan sesuatu.Adapun menurut istilah syar'i
sebagaimana menurut mayoritas ulama ushul fiqih adalah kesepakatan para
mujtahid dari umat Muhammad SAW setelah wafatnya beliau pada suatu masa
mengenai hukum syar'i.Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan
Wahab Khallaf, merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para
mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah
SAW terhadap suatu hukum syara' mengenai suatu kasus atau peristiwa.
Salah satu dalil mengenai ijma terdapat dalam firman Allah SWT surah An Nisa
ayat 59,
ٰٓيَاُّيَه ا اَّل ِذ ْيَن ٰا َم ُن ْٓو ا َاِط ْيُع وا َهّٰللا َو َاِط ْيُع وا الَّرُس ْو َل َو ُاوِلى اَاْلْم ِر ِم ْنُك ْۚم َف ِاْن َتَن اَز ْعُتْم ِفْي َش ْي ٍء َف ُر ُّد ْو ُه ِاَلى ِهّٰللا
٥٩ ࣖ َو الَّرُسْو ِل ِاْن ُكْنُتْم ُتْؤ ِم ُنْو َن ِباِهّٰلل َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر ٰذ ِلَك َخْيٌر َّو َاْح َس ُن َتْأِوْياًل
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nabi Muhammad) serta ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an)
dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang
demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di
akhirat)." Selain itu, dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud
dan Tirmidzi yang artinya, "Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan
kesalahan."
Syarat-Syarat Ijma
Ulama yang melakukan ijma harus mencapai derajat mujtahid. Disebutkan dalam
Al Wajiz Fii Ushulil Fiqhi karya Wahbah az-Zuhaili, berikut beberapa syarat ijma:
11
Macam-Macam Ijma
Ijma terdiri dari beberapa macam. Menurut Moch Firdy Adi S dalam buku Fiqih
untuk Pemula, macam-macam ijma dibedakan berdasarkan waktu dan cara
pengambilannya.
1. Ijma qouliah, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum
suatu peristiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing secara jelas, baik
melalui lisan, perbuatan, atau tulisan dan menerangkan pendapatnya untuk
mendapatkan persetujuan.
2. Ijma sukuti, yaitu ijma yang dilakukan secara diam-diam. Artinya, sebagian
para mujtahid suatu masa menyampaikan pendapatnya secara jelas, sedangkan
sebagian lainnya tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut
mengenai persetujuan atau perbedaannya.
1. Ijma salaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat terhadap suatu masalah
pada masa tertentu.
2. Ijma ulama Madinah, yaitu kesepakatan para ulama Madinah pada masa
tertentu.
3. Ijma ulama Kuffah, yaitu kesepakatan para ulama Kuffah tentang suatu
permasalahan.
4. Ijma Khulafaur Rasyidin, yaitu kesepakatan di antara khalifah yang empat (Abu
Bakar, Umat, Utsman, dan Ali) pada suatu masalah.
5. Ijma Ahlu Bait, yaitu kesepakatan keluarga Nabi Muhammad dalam suatu
permasalahan.Kedudukan Ijma sebagai Sumber Hukum Islam
Ijma adalah sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur'an dan hadits.
Sofiandi mengatakan dalam buku Ushul Fiqh Easy, para ulama sepakat
menyatakan bahwa ijma sah untuk dijadikan sebagai dalil hukum.
12
Qias adalah satu dari empat sumber hukum Islam yang disepakati para ulama. Dalam
hal ini, qiyas menempati posisi keempat, setelah Al Quran, hadits, dan ijma.Secara
bahasa, kata qiyas ( ) قياسberasal dari akar kata qaasa-yaqishu-qiyaasan ()قياسا يقيس قاس
yang artinya pengukuran. Para ulama ushul fiqih mendefinisikan qiyas dalam redaksi
yang beragam namun memiliki makna yang sama.
Menurut istilah qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak memiliki nash hukum
dengan sesuatu yang ada nash hukum berdasarkan kesamaan illat atau kemaslahatan
yang diperhatikan syara. Qiyas juga dapat diartikan sebagai kegiatan melakukan
padanan suatu hukum terhadap hukum lain.Al Ghazali dalam al-Mustashfa
mengartikan qiyas adalah menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu
yang lain dalam menetapkan hukum atau meniadakan hukum dari keduanya.
Penetapan atau peniadaan ini dilakukan karena adanya kesamaan di antara keduanya.
Dalam buku Ushul Fiqih Jilid I yang ditulis oleh Amir Syarifudin, dijelaskan bahwa
kasus-kasus tertentu yang hukumnya ditetapkan Allah SWT sering memiliki kesamaan
dengan kasus lain yang hukumnya tidak ditetapkan. Sehingga, atas kesamaan sifat
tersebut, maka hukum yang sudah ditetapkan dapat diberlakukan kepada kasus serupa
yang lain.
Imam Syafi'i menyebut kedudukan qiyas lebih lemah daripada ijma. Sehingga, qiyas
menduduki tempat terakhir dalam kerangka sumber hukum Islam. Dalam kitab Ar-
Risalah karangannya, Imam Syafi'i mengatakan bahwa antara qiyas dan ijtihad adalah
dua kata yang bermakna satu.
Berikut dasar penggunaan dan rukun qiyas
A. Dasar penggunaan qiyas
Mayoritas ulama melakukan qiyas atas dasar perintah untuk mengambil pelajaran atau
berijtihad. Menurut jumhur ulama, qiyas termasuk mengambil pelajaran dari suatu
peristiwa. Dikutip dari buku Qiyas: Sumber Hukum Syariah Keempat oleh Ahmad
Sarwat, dasar qiyas juga merujuk pada surat An Nisa ayat 59, yaitu perintah untuk
kembali kepada Allah dan Rasul.
ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َاِط ْيُعوا الَّرُسْو َل َو ُاوِلى اَاْلْم ِر ِم ْنُك ْۚم َفِاْن َتَناَز ْعُتْم ِفْي َش ْي ٍء َفُر ُّد ْو ُه ِاَلى ِهّٰللا َو الَّرُس ْو ِل ِاْن
٥٩ - ࣖ ُكْنُتْم ُتْؤ ِم ُنْو َن ِباِهّٰلل َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر ٰذ ِلَك َخْيٌر َّو َاْح َس ُن َتْأِو ْياًل
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa: 59)
Dalam tafsir Mafatih Al-Ghaib, Al-Fahru ar-Razi menafsirkan bahwa maksud dari
mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul dalam ayat tersebut adalah perintah
untuk menggunakan qiyas. Pendapat ini diperkuat dengan penggunaan Quran dan
13
Sunnah Rasulullah SAW dalam qiyas, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit
dalam istilah qiyas.
Dikutip dari buku Ushul Fiqih oleh Amrullah Hayatudin, qiyas terdiri dari empat
rukun dan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Antara lain sebagai berikut:
1. Ashl
Ashl adalah kasus lama yang sudah ada ketetapan hukumnya baik dalam nash maupun
ijma. Ashl sering disebut sebagai musyabbah bih atau yang diserupai dan maqis 'alaih
atau tempat mengqiyaskan. Dalam arti sederhana, ashl adalah kasus yang akan
digunakan sebagai ukuran atau pembanding.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ashl untuk dapat dijadikan qiyas. Ashl harus
memiliki hukum yang bersifat tetap. Ketetapan hukum tersebut harus berdasar pada
jalur sam'isyar'i bukan aqli. Jalur ini juga digunakan untuk mengetahui illat pada ashl.
Selain itu, ketetapan hukum pada ashl harus bukan berdasarkan qiyas, melainkan
karena nash atau ijma. Ashl juga tidak diperbolehkan keluar dari aturan-aturan qiyas.
2. Far'u
Far'u adalah kasus yang akan dicari hukumnya atau disamakan dengan kasus yang
sudah ada hukumnya. Beberapa syarat yang menjadikan far'u dapat ditetapkan dalam
qiyas antara lain far'u belum memiliki hukum yang ditetapkan berdasarkan nash atau
ijma, harus ditemukan illat ashl pada far'u dengan kadar sempurna dan tidak boleh
kurang dari kadar illat yang terdapat pada ashl.
3. Hukum Ashl
Hukum ashl adalah hukum syara yang ditetapkan oleh nash dan dikehendaki untuk
menetapkan hukum terhadap far'u.
4. Illat
Secara bahasa, illat dapat diartikan sebagai hujjah atau alasan. Illat menjadi landasan
dalam hukum ashl. Dalam pengertian lain, illat disebut juga dengan kemaslahatan
yang diperhatikan syara. Illat inilah yang menjadi salah satu pertimbangan dalam
melakukaqiyas
14
BAB III
Maqashid Syariah terdiri dari dua kata, yaitu maqashid dan syariah.
1. Maqashid
Kata maqashid adalah bentuk jamak dari bentuk tunggal maqshid dan imaqshad
keduanya berupa masdar
mimi yang punya bentuk fi‟il madhi qashada. Secara bahasa maqashid ini punya
beberapa arti, diantaranya al-i‟timad, al-um , ityan asy-syai‟, dan juga istiqamatu at-
tariq.
dapat disimpulkan, bahwa kata al-qashd, dipakaikan untuk pencarian jalan yang lurus
dan keharusan berpegang kepada jalan itu. Kata al-qashd itu juga dipakaikan untuk
menyatakan bahwa suatu perbuatan atau perkataan mestillah dilakukan dengan
memakai timbangan keadilan, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula selalu sedikit,
tetapi diharapkan mengambil jalan tengah. Pemakaian makna tidak berlebih-lebihan
dan tidak terlalu longgar dalam memaknai nash. Dengan demikian, maqashid adalah
sesuatu yang dilakukan dengan penuh pertimbangan dan ditujukan untuk mencapai
sesuatu yang dapat mengantarkan seseorang kepada jalan yang lurus (kebenaran), dan
kebenaran yang didapatkan itu mestilah diyakininya serta diamalkannya secara teguh.
Selanjutnya dengan melakukan sesuatu itu diharapkan dapat menyelesaikan masalah
yang dihadapinya dalam kondisi apapun.
2. Syariah
Kata syariah secara bahasa bisa kita awali dari kamus-kamus bahasa arab bermakna ad-
din, al-millah, al-minhaj, at-thariqah, dan as-sunnah. Adapun kata syariah secara
bahasa berarti maurid al-maalladzi tasyra‟u fihi al-dawab (tempat air mengalir, di mana
hewan-hewan minum dari sana). Seperti dalam hadis Nabi, fa asyra‟a naqatahu, artinya
adkhalaha fi syariah al-ma (lalu ia memberi minum untanya, artinya ia memasukkan
unta itu ke dalam tempat air mengalir). Kata ini
juga berarti masyra‟ah al-ma (tempat tumbuh dan sumber mata air). Pemakaian kata al-
syariah dengan arti tempat tumbuh dan sumber mata air bermakna bahwa
15
ditetapkanNya. Dengan demikian, maqashid al-syariah itu merupakan tujuan dan kiblat
dari hukum syara‟, dimana semua mujtahid harus menghadapakan perhatiannya ke
sana. Salah satu prinsip yang dikedepankan dalam maqashid al-syariah adalah
mengambil jalan tengah dan tidak berlebih-lebihan dalam mengaplikasikannya, karena
maslahah yang akan diwujudkan itu harus mengacu kepada wahyu, tidak semata-mata
hasil pemikiran semata. Keberadaan maqashid al-syariah, sebagai sebuah teori hukum,
juga berawal dari kesepakatan mayoritas ulama dan mujtahid (ijma‟). Dari sisi ijma‟
dapat dilihat ulama-ulama salaf dan khalaf, dari dahulu sampai sekarang, menyepakati
bahwa syariat islam itu mengandung kemudahan dan meniadakan taklif yang tidak
disanggupi oleh umat. Maqashid al-syariah yang merupakan penelusuran terhadap
tujuan-tujuan Allah SWT dalam menetapkan hukum, mesti mendapatkan perhatian
yang besar. Dari sisi logika berpikir, ketika tujuan-tujuan tersebut diketahui oleh
mujtahid, atas dasar itulah dilakukan pemahaman hukum islam dan untuk selanjutnya
digunakan dalam pengembangan hukum islam dalam rangka menjawab permasalahan
hukum islam yang baru. Hal ini mengingat terbatas dalildalil hukum yang terdapat
dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi SAW, sedangkan permasalahan yang dihadapi
umat tidak pernah habishabisnya. Tanpa mengetahui maqashid al-syariah hukum islam
akan mengalami stagnasi dan dikhawatirkan penetapan hukum tidak akan mencapai
sasaran yang diinginkan oleh Allah SWT, dan lebih lanjut
Pada dasarnya, maqasid al-syari'ah adalah rahasia dan target yang ada dan diinginkan
Allah dalam menetapkan hukum. Ini merupakan inti dari teori maqasid al-syari'ah,
yang berfokus pada mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau
menarik manfaat dan menolak madharat.
الصَّــالُة ِع ـَم ــاُد الـِّدْيِن َفـَم ْن أَقاَم ـَها َفـَقـْد أَقاَم الـِّدْيَن َو َم ـْن َتَر َك ــَها َفـَقـْد َهـَد َم الـِّدْيَن
“Shalat adalah tiang agama. Barang siapa mendirikan shalat, maka ia menegakkan
agama, dan barang siapa meninggalkan shalat, maka ia merobohkan agama“
Akal adalah sesuatu yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Inilah salah
satu yang menyebabkan manusia menjadi makhluk dengan penciptaan terbaik
dibandingkan yang lainnya. Akal akan membantu manusia untuk menentukan mana
yang baik dan buruk.
Kemaslahatan utama yang dilindungi syariat melalui poin ini adalah keberlangsungan
suatu generasi manusia, untuk mencegahnya dari kepunahan, dengan upaya-upaya
yang mengacu pada kebaikan di dunia dan akhirat.
Pembahasan perkara harta lebih ke arah interaksi dalam muamalah. Menjaga harta adalah
dengan memastikan bahwa harta yang kamu miliki tidak bersumber dari yang haram.
Serta memastikan bahwa harta tersebut didapatkan dengan jalan yang diridhai Allah
bukan dengan cara bathil.
18
BAB IV
TEOLOGI DAN FILSAFAT AGAMA
3. Hubungan antara teologi dan filsafat agama: Teologi dan filsafat agama
berhubungan satu sama lain. Ia menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kehidupan agama. Teologi dan filsafat agama berkaitan satu
sama lain dalam menjelaskan konsep Tuhan dan agama.
4. Peran teologi dan filsafat agama: Teologi dan filsafat agama memiliki peran
yang penting dalam menjelaskan konsep Tuhan dan agama. Ia menjadi dasar
bagi para pemahaman tentang konsep Tuhan dan berperan dalam
membentuk pemahaman tentang kekuatan, kemampuan, dan kemuliaan
Tuhan.
Kritik terhadap konsep Tuhan dari perspektif filsafat adalah salah satu aspek
penting dalam menjelaskan konsep Tuhan dan agama. Berikut ini beberapa kritik
terhadap konsep Tuhan dari perspektif filsafat:
Kritik terhadap konsep Tuhan dari perspektif filsafat adalah salah satu aspek
penting dalam menjelaskan konsep Tuhan dan agama. Ia menjadi dasar bagi para
pemahaman tentang konsep Tuhan dan berperan dalam membentuk pemahaman
tentang kekuatan, kemampuan, dan kemuliaan Tuhan.
BAB V
KESIMPULAN
A. Ringkasan Temuan
Dalam analisis filosofis tentang konsep Tuhan dan agama, kami telah
menjelaskan beberapa konsep dasar tentang Tuhan, sejarah pemikiran tentang
Tuhan dan agama, peran agama dalam sejarah dan budaya manusia, hubungan
antara teologi dan filsafat agama, dan pendekatan teologis terhadap pemahaman
tentang Tuhan. Kami juga telah menjelaskan beberapa kritik terhadap konsep
Tuhan dari perspektif filsafat, serta pendekatan teologis terhadap pemahaman
tentang Tuhan.
Implikasi dari analisis filosofis tentang konsep Tuhan dan agama adalah
bahwa konsep Tuhan dan agama memiliki hubungan yang penting dengan sejarah,
budaya, teologi, dan filsafat. Kritik terhadap konsep Tuhan dari perspektif filsafat
menunjukkan bahwa konsep Tuhan dan agama memiliki beberapa sisi yang perlu
diperhatikan, serta pendekatan teologis terhadap pemahaman tentang Tuhan
menunjukkan bahwa kepercayaan dalam Tuhan dapat didasari oleh berbagai faktor.
Penelitian masa depan dalam analisis filosofis tentang konsep Tuhan dan
agama dapat mencakup beberapa aspek, seperti hubungan antara konsep Tuhan dan
agama dengan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Penelitian juga dapat
mencakup kritik terhadap konsep Tuhan dari perspektif antropologi, sejarah, dan
filosofi. Selain itu, penelitian juga dapat mencakup pendekatan teologis terhadap
pemahaman tentang Tuhan dari perspektif budaya, etika, dan filosofi.
23
DAFTAR PUSTAKA
Kant, Immanuel. 1998. "Religion Within the Limits of Reason Alone." New York:
HarperCollins.
Feuerbach, Ludwig. 1957. "The Essence of Christianity." New York: Harper &
Row.
Nietzsche, Friedrich. 1961. "The Gay Science." New York: Vintage Books.
James, William. 1902. "The Varieties of Religious Experience." New York: Collier
Books.
Whitehead, Alfred North. 1929. "Religion in the Making." New York: Macmillan.
Hick, John. 1984. "The Metaphysics of Morals." New Haven: Yale University
Press.
Taylor, Charles. 1989. "Sources of the Self: The Making of the Modern Identity."
Cambridge: Harvard University Press.
Habermas, Jürgen. 1992. "The Inclusion of the Other." Cambridge: Polity Press.