Anda di halaman 1dari 92

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat allah SWT. Yang telah melimpahkan
rahmat-Nya. Berkat karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktu yang telah ditentukan. Shalawat dan salam tidak lupa kami hanturkan
kepada baginda alam Nabi Muhammad SAW, yang telah menerangi alam
semesta.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada ibu Dosen Masri’ah M.Ag
yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami, dan tidak luput
juga kami ucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman yang ikut
menyumbang pikirannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami memohon maaf kepada ibu Dosen Masri’ah M.Ag khususnya dan
umumnya maupun isinya, kami mengharap kritik dan sarannya yang bersifat
membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya makalah ini. kepada
para pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam penulisan
makalah ini, baik dari segi bahasa maupun tulisannya kami mohon maaf.
Terakhir kata, semoga dengan munculnya makalah ini dapat menambah
wawasan bagi para pembaca terutama bagi kami sendiri. Dan, mendorong para
pembaca untuk lebih giat dalam menuntut ilmu.

Cirebon, 2 Maret 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................1
DAFTAR ISI......................................................................................................................2
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN................................................................................................................5
2.1 Pengertian Studi Islam.............................................................................................5
2.2 pengalaman keagamaan............................................................................................6
2.3 Studi islam dan orientalis.........................................................................................7
2.4 Studi islam sebagai disiplin mandiri.........................................................................8
BAB III............................................................................................................................10
PENUTUP.......................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan................................................................................................................10
3.2 Kritik dan saran......................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................11

2
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.
Didalamnya terdapat petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia
menyikapi hidup ini secara bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.
Seiring dinamika dan perkembangan zaman. Studi Islam dapat melalui
segala hal yang berkaitan dengan persoalan kehidupan. Sebagaimana islam
telah memberikan kesempatan secara luas kepada manusia untuk
menggunakan akal pikirannya secara maksimal sehingga menjadi pribadi yang
mandiri dan berkualitas.
Melalui pendekatan yang bersifat rasional dan objektif. Studi islam dapat
memberikan alternative terhadap pemecahan masalah, menjawab tantangan
dan tuntunan zaman modern maupun era globalisasi sekarang ini, dengan tetap
berpegang teguh pada ajaran agama Islam yang asli yaitu al-Qur’an dan as-
Sunnah. Serta dapat memberikan pedoman dan pegangan hidup bagi umat
islam agar tetap menjadi seorang muslim sejati.
Di dalam makalah ini akan membahas tentang pengertian studi islam,
pengalaman keagamaan, studi islam dan orientalis, serta studi islam sebagai
disiplin mandiri.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan studi Islam?
2. Bagaimana hubungan studi Islam dan orientalis?
3. Bagaimana pengalaman keagamaan dalam kehidupan?
4. Apa tujuan studi Islam dalam disiplin mandiri?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara orientalis dan studi Islam
2. Menerapakan kebiasaan yang baik dalam kehidupan beragama

3
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Studi Islam

Studi islam dalam bahasa inggris “Islamic Studies” sedangkan dalam


bahasa arab darasah islamiyah. Ditinjau dari segi pengertian studi islam adalah
ilmu pendidikan yang membahas tentang seluk-beluk berhubungan dengan agama
baik praktik secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, ajaran ataupun sepanjang
sejarah. Di dalamnya juga terdapat pembagian ilmu yang kaitan nya dengan studi
islam diantaranya filsafat, tasawuf, sejarah, al-Qur’an, tafsir dan fiqih.

Selain itu, kata studi islam sendiri merupakan gabungan dari dua kata,
yaitu kata studi dan kata islam. Studi adalah kegiatan yang memiliki maksud
untuk mencapai pengetahuan dalam meningkatkan kreativitas. Sedangkan kata
islam, secara etimologi berasal dari kata bahasa arab yaitu aslama-yuslimu-
islaman yang berarti selamat. Dan ada yang berpendapat bahwa islam yaitu
menguatkan diri dan berserah kepada yang maha kuasa untuk menjalankan segala
perintah dan menjauhi larangan nya. Pengertian islam demikian sejalan dengan
firman Allah swt dalam Qs. Al-Baqarah (2): 112

“ (tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah,


sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi tuhan nya dan tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”.

Islam dipahami sebagai ajaran yang tenang, damai dan diridhoi Allah.
Karena islam, nama agama nya diberikan langsung oleh Allah yang
menurunkannya. Seorang ulama di Indonesia yang dikenal dengan Habib Adnan
dan orang yang paling toleran di masyarakat Bali tetap menyatakan bahwa Islam
adalah paling istimewa dari sudut penamaannya. Beliau menyatakan: “ satu-
satunya agama yang tidak menggunakan nama sesuai dengan nama
penganjurnya/nama tempat agama itu adalah islam . Agama hindu diberi nama
hindu karena ia diturunkan di tanah Hindustan. Kristen adalah nama yang sesuai

4
dengan nama penganjurnya jesus kristus. Agama yahudi diberi nama demikian
karena diturunkan kepada bangsa yahudi. Hanya Islam yang tidak bernama
Muhammad, Agama Arabia tau Agama Quraisy. Dari nama itu saja kita dapat
pemahaman yang kuat bahwa Islam memang tidak diturunkan hanya untuk
sekelompok masyarakat, Islam diturunkan untuk semua umat manusia.

Dalam kenyataan nya studi Islam tidak hanya dipelajari oleh kalangan
umat Islam namun diluar kalangan umat Islam juga. Sehingga keduanya memiliki
tujuan dan motivasi berbeda. Di kalangan umat Islam memiliki tujuan untuk
mendalami ajaran-ajaran Islam dengan melaksanakan dan mengamalkannya pada
orang lain dengan tujuan mencari ridho Allah. Sedangkan kalangan di luar umat
Islam memiliki tujuan untuk mempelajari seluk beluk dan praktik-praktik
keagamaan. Hal ini bisa dimanfaatkan dengan tujuan tertentu baik positif ataupun
negatif.

2.2 Pengalaman Keagamaan

Pengalaman keagamaan adalah sebuah pengalaman yang dianggap oleh


pelaku pengalaman tersebut sebagai aspek batiniah. Artinya meyakini bahwa tidak
hanya dengan praktik dalam pengamalan nya namun berbagai doktrin yang baik
juga diajarkan . Pelaku pengalaman tersebut tidak menerima jika yang dialaminya
disebabkan oleh faktor lingkungan yang ada disekitarnya. Ada yang menganggap
pengalaman adalah hasil dari dialog Tuhan dengannya dan ditafsirkan berdasarkan
doktrin-doktrin agama. Namun hal ini bukan berarti bahwa apa yang dialaminya
betul-betul memiliki realitas, karena mungkin yang dialaminya telah tercampur
dengan imajinasi-imajinasi diri sendiri, atau boleh jadi disesatkan oleh syaitan.
Namun, demikian halnya pengalamannya masih bisa disebut dengan pengalaman
keagamaan.

Di dalam pengalaman keagamaan terdapat manusia dan agama. Rudolf


otto menyatakan bahwa agama merupakan ungkapan dari perasaan ketuhannan

5
atau sensus numinus. Rudolf otto juga menyatakan bahwa dalam diri manusia
terdapat suatu pembawaan, suatu kecenderungan, dan sebuh nisus yaitu untuk
memuja dan merespon pernyataan dan Tuhan. Adanya sensus numinis
menunjukan bahwa pengalaman keagamaan terdapat dalam diri manusia perasaan
keagamaan yang terdapat dalam diri manusia merupakan segi yang bersifat tetap,
dan universal dalam kehidupan mentalnya. Pengalaman keagamaan merupakan
aspek batin hubungan antara manusia dengan tuhan.

Menurut Rudolf otto terdapat beberapa kualitas pengalaman suci, yaitu :

1. Seseorang merasa mendapat suatu kesucian pasti tiada mungkin terjangkau


oleh pengalaman lahir.
2. Sesorang di liputi dengan perasaan kagum dan takut.

Adapun kriteria untuk mengetahui pegalaman keagamaan merupakan respon


terhadap apa yang dialaminya sebagai realitas tertinggi dan melibatkan suatu
komitmen yang mendorong manusia dalam perilaku tertentu.

2.3 Studi islam dan orientalis


“Orientalisme” berasal dari kata-kata “Orient” yang berarti timur. Orang-
orang yang mempelajari atau mendalami ilmu-ilmu tersebut “Orientalis” atau ahli
ketimuran. Orientalis ialah segolongan sarjana-sarjana barat yang mendalami
bahasa-bahasa dunia timur dan kesusastraannya, dan mereka juga menaruh
perhatian besar terhadap agama-agama dunia timur, sejarahnya, adat istiadat dan
ilmu-ilmunya.

Sejarah orientalisme pada masa-masa pertama adalah pertarungan antara


dunia barat nasrani abad pertengahan dengan dunia timur Islam, baik keagamaan
maupun ideologi. Bagi dunia barat nasrani, Islam merupakan problema masa
depan secara keseluruhan di Eropa.

Edward Said menyatakan orientalisme sebagai bentuk penggambaran


tentang tradisi timur, baik dilakukan oleh para akademisi maupun oleh para
seniman. Dalam melakukan kajian terhadap dunia timur, kajian para orientalis

6
cenderung fanatik terhadap agama dan fanatik dalam rasial. Sehinga emosianal
dan latar belakang sangat menentukan terhadap kajian yang telah dilakukan baik
itu dalam bentuk penelitian, sastra, ataupun sejarah.

Oleh karena itu pembahasan-pembahasan mereka penuh kekeliruan dan


kebohongan-kebohongan, dimana para pembacanya harus berhati-hati, bahkan
banyak persoalan-persoalan bahasa dan kesustraan serta sejarah yang disalah
gunakan dari kebenaran Kajian orientalisme mempunyai kajian khusus
diantaranya

1. orientalisme adalah suatu kajian yang mempunyai ikatan yang sangat erat
hubungannya dengan kolonial barat, khusunya kolonial inggris dan
prancis.
2. Orientalisme merupakan gerakan yang mempunyai ikatan kuat dengan
gerakan kristenisai. Mereka di persiapkan secara khusus, bekerja sama
dengan orientalisme yahudi untuk mempelajari tentang bahasa Arab,
Islam, dan kaum muslimin dengan tujuan yang beragam.

Al-Qur’an merupakan target utama serangan orientalis dan misionaris yahudi-


kristen, setelah mereka gagal melakukan sirah dan sunnah Rasulullah SAW.
Mereka mempertanyakan status kenabian Rasul SAW, meragukan kebenaran
riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari legenda dan
cerita fiktif belaka. Dalam hal rasm dan qiraat dalam Al-Qur’an para orientalis
juga salah memahaminya sehingga mereka membuat kesimpulan sendiri dengan
melakukan teks gundul ini menyebabkan variasi membaca.

2.4 Studi islam sebagai disiplin mandiri

Selain sebagai ajaran yang berkenaan dengan berbagai kehidupan dengan


ciri-ciri yang khas, islam juga sebagai sebuah disiplin ilmu, yaitu keislaman.
Didalamnya terdapat al-Qur’an/tafsir, hadis, ilmu kalam, filsafat , tasawuf, hukum
Islam, sejarah dan kebudayaan serta Pendidikan Islam.

7
Islam memiliki berbagai aspek diantaranya aspek teologi, aspek moral,
aspek ibadah, aspek mistimisme, aspek sejarah dan sebagainya. hal ini
mengajarkan bahwa islam mengajarkan pentingnya toleransi, perdamaian,
kebersamaan, kerja keras, demokratis, adil antara urusan dunia dan akhirat.

Selanjutnya agama dan kehidupan keagamaan yang terbentuk bersama


dalam pertumbuhan dan perkembangan akal serta budi daya manusia disebut
agama budaya. Sementara itu sepanjang kehidupan manusia di muka bumi sejak
awal sejarahnya, Allah telah memberi petunjuk melalui Rasulnya tentang agama
dan keagamaan yang benar (ajaran tauhid) disebut dengan agama samawi yang
dapat berkembang untuk mewujudkan suatu sistem budaya dan peradaban
manusia.

Perilaku keagamaan tumbuh dan berkembang dengan adanya rasa


ketergantungan terhadap kekuatan ghaib yang dirasakan. Sehingga harus
berkomunikasi dan memohon bantuan dan pertolongan kepada kekuatan ghaib
tersebut. Adapun firah manusia di dunia ini sebagai makhluk yang berakal untuk
bersikap baik terhadap Allah dan sesamanya agar terciptanya suatu keamanan dan
kedamaian, jadi selalu intropeksi dan mengubah diri menjadi pribadi yang baik.

8
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Studi Islam adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang suatu
keislaman seperti akidah, akhlak, tasawuf, filsafat dan lain sebagainya. adapun
tujuan studi islam yaitu untuk menunjukan relasi islam dengan berbagai
kehidupan manusia, menjelaskan spirit (jiwa) seperti pesan moral dan value yang
terkandung dalam studi islam, respon islam terhadap berbagai paradigma baru
dalam kehidupan sebagai akibat dari kemajuan ilmu dan teknologi serta
munculnya filsafat dan pemikiran baru yang berhubungan dengan visi , misi dan
tujuan Pendidikan islam.

3.2 Kritik dan saran


agar pada pembaca untuk mempelajari lebih dalam dengan membaca
masing-masing karena pemakalah masih banyak kekurangan dalam menjelaskan
ataupun dalam tulisan nya.

9
KELOMPOK 2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan agama yang terakhir sebagai penutup semua agama yang
telah ada. Islam merupakan agama rahmatal lil ‘alamin untuk semua umat. Islam
itu dibawakan oleh nabi Muhammad SAW yang mendapatkan wahyu dari Allah.
Untuk tahu Islam lebih dalam muncullah ilmu yang dinamakan Studi Islam akan
tetapi, Studi islam itu sendiri merupakan bidang kajian yang cukup lama. Ia telah
ada bersama dengan sebuah adanya agama Islam. Maka dari itu Studi Islam
menimbulkan berbagai permasalahan yang umum pada apa pengertian Studi
Islam? apa ruang ruang dan jarak atau objek Studi Islam? Bagaimana kira dan
persiapan dalam Studi Islam?

Sepanjang dinamika dan perkembangan zaman, kesempatan untuk pelayanan


untuk Studi Islam bisa melalui semua hal. Sebenarnya tentang pelayanan Studi
Islam, Islam memberikan kesempatan secara luas kepada manusia untuk
menggunakan akal pikirannya secara maksiamal untuk mempelajarinya, namun
jangan sampai penggunaanya melampaui batas dan keluar dari rambu-rambu
ajaran Allah SWT.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan agama?
2. Apa saja yang melatar belakangi perlunya manusia terhadap agama?
3. Apa saja pendekatan dalam memahami agama?
4. Apa yang dimaksud agama sebagai hidayah?

10
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama

Banyak ahli menyebutkan agama bersal dari bahasa Sansakerta, yaitu “a”
yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Maka agama berarti tidak
kacau (teratur). Dengan demikian agama itu adalah peraturan yang mengatur
keadaan manusia, maupun mengenai sesuatu yang gaib, mengenai budi pekerti
dan pergaulan hidup bersama.1

1. Menurut Drajat (2005) agama adalah proses hubungan manusia yang


dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih
tinggi dari pada manusia.
2. Menurut Glock dan Stark, agama sebagai sistem simbol, sistem
keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembaga, yang
kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai
yang paling maknawi (Ultimate Mean Hipotetiking).2
3. Menurut Hadikusuma dalam Bustanuddin Agus sebagai ajaran yang
diturunkan oleh Tuhan untuk petunjuk bagi umat dalam menjalani
kehidupannya. Ada juga yang menyebut agama sebagai suatu ciri
kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua
masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang
memenuhi untuk disebut “agama” yang terdiri dari beberapa tipe-tipe
simbol, citra, kepercayaan dan nilai-nilai spesifik dengan mana
makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka yang di
dalamnya juga mengandung komponen ritual.3
Ada beberapa istilah lain dari agama, antara lain religi, religion (Inggris),
religie (Belanda), religio/relegare (Latin) dan dien (Arab). Kata religion
(Inggris), religie (Belanda) adalah kata yang berasal dari bahasa induk dari

1 Faisal Ismail. Paradigma kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis, (Jogyakarta:
Titian Ilahi Press: 1997). Hal 28
2 Daradjat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : Bulan Bintang. 2005. Hal 10
3 Ishomuddin. Pengantar Sosiologi Agama. (Jakarta Ghalia Indonesia: 2002). Hal 29

11
kedua bahasa tersebut, yaitu bahasa Latin “religio” dari akar kata “relegage”
yang berarti mengikat.4
Menurut Cicero, relegage berarti melakukan suatu perbuatan dengan
penuh penderitaan, yakni jenis laku peribadatan yang dikerjakan berulang-
ulang dan tetap. Lactancius mengartikan kata relegage sebagai mengikat
menjadi satu dalam persatuan bersama.5 Dalam Bahasa Arab, agama dikenal
dengan kata ad-din dan al-millah. Kata ad-din sendiri mengandung berbagai
arti. Bisa berarti al-mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-izz (kejayaan),
al-dzull (kehinaan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al-adat
(kebiasaan), al-ibadat (pengabdian), al-qahr wa al-sulthan (kekuasaan dan
permerintahan), at-tadzallulwa al-khudu (tunduk dan patuh), at-tha’at (taat), al-
islam at-tauhid (penyerahan dan mengesakan Tuhan).6
Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan
religiusitas. Glock dan Stark merumuskan religuisitas sebagai komitmen
religius (yang berhubungan dengan agama atau keyakinan iman), yang dapat
dilihat melalui aktifitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan
agama atau keyakinan iman yang dianut. Religuisitas sering kali diidentikkan
dengan keberagaman. Religuilitas diartikan sebagai seberapa jauh
pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan
kaidah, dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya.
Bagi seorang muslim, religiulitas dalam Islam menyangkut lima hal yakni
aqidah, ibadah, amal, akhlak (ihsan) dan pengetahuan. Aqidah menyangkut
keyakinan kepada Allah, Malaikat, Rasul dan seterusnya.
Ibadah menyangkut pelaksanaan hubungan antar manusia dengan Allah.
Amal menyangkut pelaksanaan manusia dengan sesama makhluk. Akhlak
merujuk pada spontanitas tanggapan atau perilaku seseorang atau rangsangan
yang hadir padanya, sementara ihsan merujuk pada situasi dimana seseorang
merasa sangat dekat dengan Allah Ta’ala.
Ihsan merupakan bagian dari akhlak. Bila akhlak positif seseorang
mencapai tingkatan yang optimal, maka ia memperoleh berbagai pengalaman

4 Dadang Kahmad. Sosiologi Agama. (Bandung PT. Remaja Rosdakarya: 2002). Hal 13
5 Faisal Ismail. Paradigma kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis, (Jogyakarta:
Titian Ilahi Press: 1997). Hal 28
6 Dadang Kahmad. Sosiologi Agama. (Bandung PT. Remaja Rosdakarya: 2002). Hal 13

12
dan penghayatan keagamaan, itulah ihsan dan merupakan akhlak tingkat tinggi.
Selain keempat hal diatas, ada lagi hal penting harus diketahui dalam
religiusitas Islam yakni pengetahuan keagamaan seseorang.7

B. Latar Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama

Sekurang- kurangnya ada tiga alasan yang melatar belakangi perlunya


manusia terhadap agama. Ketiga alasan tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut yaitu:
1. Fitrah manusia.

Dalam konteks hal ini di antara ayat Al-Qur’an dalam surat ar-
Rum ayat 30 bahwa ada potensi fitrah beragama yang terdapat pada
manusia. Dalam hal ini dapat ditegaskan bahwa insan adalah manusia
yang menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak
diketahuinya. Manusia insan secara kodrati sebagai ciptaan Tuhan yang
sempurna bentuknya dibanding dengan makhluk lainnya sudah
dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran
dan kebaikan yang terpancar dari ciptaan-Nya. Lebih jauh Musa Asy’ari
dalam buku Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an yang
dikutip oleh Nata bahwa pengertian manusia yang disebut insan, yang
dalam al-Qur’an dipakai untuk menunjukkan lapangan kegiatan
manusia yang amat luas adalah terletak pada kemampuan menggunakan
akalnya dan mewujudkan pengetahuan konseptualnya dalam kehidupan
konkret. Hal demikian berbeda dengan kata basyar yang digunakan
dalam al-Qur’an untuk menyebut manusia dalam pengertian
lahiriyahnya yang membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat
tinggal, hidup yang kemudian mati.

Informasi mengenai potensi beragama yang dimiliki oleh manusia


itu dapat dijumpai dalam ayat 172 surat al- A’raf bahwa manusia secara
fitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama.
Hal demikian sejalan dengan hadits Rasulullah SAW yang menyatakan
bahwa setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama).

7 Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada. 2002. Hal 247-249

13
Beberapa hipotesis yang diajukan mengenai pertumbuhan agama
pada manusia. Sebagian mengatakan bahwa agama adalah produk rasa
takut dan sebagai akibatnya terlintaslah agama dalam kehidupan
manusia. Hipotesis lainnya mengatakan bahwa agama adalah produk
dari kebodohan. Hal ini sesuai dengan wataknya selalu cenderung untuk
mengetahui sesuatu yang terjadi di alam ini. Hipotesis lainnya
mengatakan bahwa agama adalah pendambaannya kepada keadilan dan
keteraturan, ketika manusia menyaksikan banyaknya kezaliman dan
ketidak adilan dalam masyarakat dan alam. Agama mengambil bagian
pada saat- saat yang paling penting dan pada pengalaman hidup. Agama
mengesahkan perkawinan, agama berada dalam kehidupan pada saat-
saat yang khusus maupun pada saat- saat yang paling mengerikan. 8
“Dengan demikian manusia sepanjang masa senantiasa beragama,
karena manusia adalah makhluk yang memiliki fitrah beragama yang
oleh C.G.Jung disebut naturaliter religiosa (bakat beragama).” 9 Dari
uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa latar belakang perlunya manusia
pada agama karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk
beragama. Potensi beragama ini perlu pembinaan, pengarahan,
pengembangan dengan cara mengenalkan agama kepada setiap
manusia.

2. Kelemahan dan kekurangan manusia.

Menurut Quraish Shihab, bahwa dalam pandangan al-Qur’an, nafs


diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung
serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena
itu sisi dalam manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan untuk
diberi perhatian lebih besar. Di antara ayat yang menjelaskan hal ini
terdapat dalam surat al-Syams ayat 7-8, bahwa “ Demi nafs serta
penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kafasikan dan
ketaqwaan”.
8 Keene, Michael. Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: Kanisius), 2006
9 Arifin, HM. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. (Jakarta: Golden Trayon Press),
1998

14
Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi
agar manusia melalui nafs menangkap makna baik dan buruk. Di sini
berbeda dengan terminologi kaum Sufi bahwa nafs adalah sesuatu yang
melahirkan sifat tercela dan prilaku buruk dan dalam hal ini sama
dengan pengertian yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Lebih jauh Qurash Shihab berpendapat bahwa kendatipun
nafs berpotensi positif dan negatif, namun diproleh pula isyarat bahwa
pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi
negatifnya, hanya saja dorongan dan daya tarik keburukan lebih kuat
dari pada daya tarik kebaikan.

Dalam literatur teologi Islam kita jumpai pandangan kaum


Mu’tazilah yang rasionalis, karena banyak mendahulukan akal dalam
memperkuat argumentasinya dari pada wahyu. Namun demikian,
mereka sepakat bahwa manusia dengan akalnya memiliki kelemahan.
Akal memang dapat mengetahui yang baik dan buruk, tetapi tidak
semua yang baik dan buruk dapat diketahui oleh akal. Dalam hubungan
ini, kaum Mu’tazilh mewajibkan kepada Tuhan agar menurunkan
wahyu dengan tujuan agar kekurangan akal dapat dilengkapi oleh
wahyu dalam ini agama. Dengan demikian secara tidak langsung kaum
Mu’tazilah memandang bahwa manusia memerlukan wahyu (agama).

3. Tantangan manusia.

Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama karena


manusia dalam kehidupannya menghadapi berbagai tantangan baik
yang datang dari dalam amupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat
berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan (lihat QS 12:5; 17:53).
Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya- upaya
yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin
memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan
biaya, tenaga dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk
kebudayaan yang di dalamnya mengandung misi menjauhkan manusia
dari tuhan. Kita misalkan membaca ayat yang berbunyi “ Sesungguhnya

15
orang- orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi
orang dari jalan Allah (QS al-Anfal,36).

Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat- obat terlarang dan lain


sebagainya dibuat dengan sengaja.” Pada zaman semakin sekuler ini
agama memainkan peranan penting terhadap kehidupan berjuta- juta
manusia”.10 Untuk itu upaya mengatasi dan membentengi manusia
adalah dengan mengajarkan mereka agar taat menjalankan agama.
Godaan dan tantangan hidup demikian itu, sangat meningkat, sehingga
upaya mengagamakan masyarakat menjadi penting.11

C. Berbagai Pendekatan Dalam Memahami Agama

Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam


suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
Dalam hubungan ini, Jalaluddir Rahmat mengatakan bahwa agama dapat
diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang
diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka
paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu
penelitian ilmu sosial, penelitian legalistik atau penelitian filosofis.12

1. Pendekatan Teologis Normatif


Dalam kamus Inggris Indonesia, kata theology diartikan ilmu
agama.13 Sedangkan menurut Harun Nasution teologi adalah ilmu yang
membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Sedangkan Kata
normatif berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti norma, ajaran,
acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk, yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.14

10 Keene, Michael. Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: Kanisius), 2006


11 Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2011
12 Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1990), cet, II, hal. 92.
13 John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979), hlm. 586.
14 John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979) hlm. 396.

16
Pendekatan normatif adalah pendekatan yang memandang agama
dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya
belum terdapat pemikiran manusia. Dalam pendekatan normatif ini
agama dilihat sebagai suatu kebenaran yang mutlak dari Tuhan yang di
dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara
harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan
menggunakan kerangka ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu
keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap
sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.

2. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud
praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan
masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya, dengan kata lain bahwa cara-cara yang
digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah
digunakan pula untuk memahami antropologi dalam kaitan ini
sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih mengutamakan
pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.
Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke
lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya
membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada
dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan.di bidang
sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model
matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian
historis.15

3. Pendekatan Historis
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki
keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
15 M. Darwam Raharji, “Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan” dalam M. Taufik
Abdullah dan M.Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990),
hlm. 19.

17
Dari sini maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari
konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan
orang yang memahaminya.

Dalam hubungan ini kuntowijiyo telah melakukan studi yang


mendalam terhadap agama yang dalam hal ini islam, menurut
pendekatan sejarah. Ketika dia mempelajari Al-Quran ia sampai kepada
kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al-Quran itu menjadi dua
bagian . bagian pertama berisi kosep-konsep, dan bagian yang kedua
berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan. dalam bagian pertama ini
kita mengenal banyak sekali konsep baik yang bersifat abstrak maupun
konkrit konsep tentang Allah, tentang Malaikat, tentang Akhirat,
tentang Makruf dan sebagainya bersifat Abstrak sedangkan konsep
yang konkrit dan dapat diamati, misalnya konsep tentang fuqara (orang-
orang fakir), dhuafa (orang lemah) mustakbirun atau penguasa.16

4. Pendekatan kebudayaan
Sutan takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsure-unsur yang
berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat
istiadat dan segala kecakapan lain yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat.17
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia
dengan menggunakan dan menyerahkan segenap potensi batin yang
dimilikinya. Didalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan,
keyakinan, seni, moral, adat istiadat dan sebagainya. Kebudayaan dapat
juga digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tatanan
empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang terjadi
dimasyarakat. Pengamalan agama yang terdapat dimasyarakat tersebut
diperoses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui
penalaran, misalnya kita membaca kitab fiqih, maka fiqih yang

16 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991), cet. 1 hlm.
328.
17 Sultan Takbir ALsyahbanna, Antropologi Baru, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), Cet. III Hlm. 207.

18
merupakan pelaksanaan dari nash al-Qur'an maupun hadits sudah
melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan
demikian, agama menjadi membudaya atau membumi ditengah-tengah
masyarakat.
Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan
dengan kebudayaan yang berkembang dimasyarakat tempat agama itu
berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebuadayaan
tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajarana agama.

5. Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa
seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut
Zakiah Daradjat,18 perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi
karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya.

Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat


keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga
dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama kedalam jiwa
seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu agama ini
akan menentukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Misalnya dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji, dan
ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa.

Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru


yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. Itulah
sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat menjelaskan
gejala atau sikap keagamaan seseorang.

D. Agama Sebagai Hidayah

Hidayah adalah sebab utama keselamatan dan kebaikan hidup manusia di


dunia dan akhirat. Sehingga barangsiapa yang dimudahkan oleh

18 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), cet. I, hlm.76.

19
Allah Ta’ala untuk meraihnya, maka sungguh dia telah meraih keberuntungan
yang besar dan tidak akan ada seorangpun yang mampu mencelakakannya.

Allah Ta’ala berfirman:

‫ضلسلل فنرأوُلنئس ن‬
{‫ك هررم اللنخاَسسرروُنن‬ ‫ار فنهرنو اللرملهتنسديِ نوُنملن ير ل‬
‫}نملن ينلهسد ا‬

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat
petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang
disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi (dunia dan
akhirat)” (QS al-A’raaf:178).

Hidayah secara bahasa berarti ar-rasyaad (bimbingan) dan ad-


dalaalah (dalil/petunjuk).19 Adapun secara syar’i, maka Imam Ibnul Qayyim
membagi hidayah yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala menjadi empat
macam:

1. Hidayah yang bersifat umum dan diberikan-Nya kepada semua


makhluk, sebagaimana yang tersebut dalam firman-Nya:

{َ‫طىَ ركال نشليءء نخللقنهر ثرام هنندى‬


‫}نقاَل ننربَبنناَ الاسذيِ أنلع ن‬

“Musa berkata: “Rabb kami (Allah Ta’ala) ialah (Rabb) yang telah
memberikan kepada setiap makhluk bentuk kejadiannya, kemudian
memberinya petunjuk” (QS Thaahaa: 50).

Inilah hidayah (petunjuk) yang Allah Ta’ala berikan kepada


semua makhluk dalam hal yang berhubungan dengan kelangsungan
dan kemaslahatan hidup mereka dalam urusan-urusan dunia, seperti
melakukan hal-hal yang bermanfaat dan menjauhi hal-hal yang
membinasakan untuk kelangsungan hidup di dunia.

19 Lihat kitab “al-Qaamuushul muhiith” (hal. 1733).

20
2. Hidayah (yang berupa) penjelasan dan keterangan tentang jalan yang
baik dan jalan yang buruk, serta jalan keselamatan dan jalan
kebinasaan. Hidayah ini tidak berarti melahirkan petunjuk Allah yang
sempurna, karena ini hanya merupakan sebab atau syarat, tapi tidak
mesti melahirkan (hidayah Allah Ta’ala yang sempurna). Inilah makna
firman Allah:

{َ‫}نوُأناماَ ثنرمورد فنهنندلينناَهرلم نفاَلستننحبَبوا اللنعنمىَ نعنلىَ اللهرندى‬

“Adapun kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi


mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk” (QS
Fushshilat: 17).

Artinya: Kami jelaskan dan tunjukkan kepada mereka (jalan


kebenaran) tapi mereka tidak mau mengikuti petunjuk.

3. Hidayah taufik, ilham (dalam hati manusia untuk mengikuti jalan yang
benar) dan kelapangan dada untuk menerima kebenaran serta
memilihnya. Inilah yang disebutkan dalam firman-Nya:

‫ك نعلنليسهلم نحنسنرا ء‬
{‫ت‬ ‫ضبَل نملن يننشاَرء نوُينلهسديِ نملن يننشاَرء نفلَ تنلذهن ل‬
‫ب ننلفرس ن‬ ‫}فإن ا ير س‬

“Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan


memberi hidayah (taufik) kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS
Faathir: 8).

4. Puncak hidayah ini, yaitu hidayah kepada Surga dan Neraka ketika
penghuninya digiring kepadanya. Allah Ta’ala berfirman tentang
ucapan penghuni Surga:

‫يِ لنلولْ أنلن هنندانناَ ا‬


‫ار لنقنلد نجاَنء ل‬
{َ‫ت رررسرل نرببننا‬ ‫نوُنقاَرلوا اللنحلمرد سالس الاسذيِ هنندانناَ لسهننذا نوُنماَ ركاناَ لسننلهتنسد ن‬
‫}سباَللنح ب‬
‫ق‬

21
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kami ke (Surga)
ini, dan kami tidak akan mendapat hidayah (ke Surga) kalau
sekiranya Allah tidak menunjukkan kami” (QS al-A’raaf: 43).

Adapun tentang penghuni Neraka, Allah Ta’ala berfirman:

‫ سمببلن ردوُسن اسبب نفاَلهببردوُهرلم إسلنببىَ س‬.‫ظلنرمببوا نوُأنلزنوُانجهرببلم نوُنمبباَ نكبباَرنوا ينلعبرببردوُنن‬
{‫صببنراسط‬ ‫الحرشرروُا الاسذينن ن‬
‫}اللنجسحيسم‬

“Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta teman-teman yang


bersama mereka dan apa yang dahulu mereka sembah selain Allah,
lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke Neraka” (QS ash-Shaaffaat:
22-23)”20

20 Lihat kitab “Bada-i’ul fawa-id” (2/271-273) dengan ringkasan dan tambahan.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya,


dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan atau
perintah dari kehidupan. Menurut agama islam, agama merupakan petunjuk
Tuhan kepada manusia agar manusia tahu apa yang harus dikerjakannya semasa
di dunia, sehingga kelak bisa selamat kembali kepada Tuhannya. Bagi
kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Salah
satu tujuan agama adalah membentuk jiwanya berbudi pekerti dengan adab yang
sempurna, baik dengan Tuhannya maupun lingkungan masyarakat. Agama itu
bermacam-macam, agama samawy seperti Nasrani, Islam, Yahudi, dan agama
thabi’i seperti budha, hindu dan konghuchu.

23
KELOMPOK 3

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW.
sebagaimana kita pahami yaitu suatu istilah untuk menunjukan bahwa adanya
hubungan antara manusia dengan Tuhan yang satu ataupun dengan Tuhan yang
lainnya. juga agama merupakan faktor penting bagi kehidupan setiap individu.
Dengan adanya agama, tentu membawa kita pada suatu ajaran atau aturan yang
baik, karena sepanjang sejarah setiap agama mengajarkan kebaikan.

Islam adalah rahmat, hidayah, dan petunjuk bagi manusia yang


merupakan jalan terbaik sampai akhir zaman juga sebagai penutup agama yang
telah ada, Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin yang di tunjukan untuk
semua umat, Dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW yang mendapat wahyu dari
Allah. Untuk mengetahui Islam lebih dalam maka muncullah ilmu yang
dinamakan Studi Islam.

Studi Islam merupakan bidang kanjian yang cukup lama, karena


bersamaan dengan adanya agama Islam. Kesempatan untuk mempelajari studi
Islam dapat melalui segala hal, berkaitan dengan persoalan tentang mempelajari
Studi Islam, Islam memberikan kesempatan secara luas kepada manusia untuk
menggunakan akal pikirannya secara maksimal untuk mempelajarinya, namun
jangan sampai penggunaannya melampaui batas dan keluar dari rambu-rambu
ajaran Allah SWT. Adapun beberapa pokok penjelasan yang akan di sampaikan
pemakalah kali ini diantaranya: Pengertian Islam, sistematika ajaran Islam,
karekteristik ajaran Islam, pandangan hidup, proses pewarisan Islam, dan
pandangan dunia terhadap Islam.

24
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pengertian Islam?
2. Apa yang di maksud sumber ajaran Islam?
3. Apa yang dimaksud dengan karakteristik ajaran Islam?
4. Apa yang dimaksud pandangan hidup ajaran Islam?
5. Jelaskan proses pewarisan Islam?
6. Bagaimana pandangan dunia terhadap Islam?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Islam
2. Untuk mengetahui sumber ajaran Islam
3. Untuk mengetahui karakteristik ajaran Islam
4. Untuk mengetahui oandangan hidup ajaran Islam
5. Untuk menjelaskan proses pewarisan Islam
6. Untuk mengetahui pandangan dunia terhadap Islam

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Islam

25
Pertama Islam berasal dari kata al-salamu, al-salmu, dan al-silmu,
yang berarti menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh. Dengan demikian
“Islam” mengandung sikap penyerahan diri, pasrah, tunduk, dan patuh dari
manusia terhadap Tuhannya atau makhluk terhadap Khalik, Tuhan Yang Maha
Esa. Sikap tersebut tidak hanya berlaku bagi hambaNya (manusia), tetapi juga
merupakan hakikat dari seluruh alam, yaitu sikap penyerahan diri, pasrah, tunduk
dan patuh ciptaan (makhluk) kepada penciptanya (khalik). Begitu juga langit dan
bumi (benda mati) adalah taat, patuh, dan pasrah kepada Tuhan. Seperti halnya
dalam QS. Fushilat:11

‫ض ٱوئت تي أععا ط أووع عععا أ وأو‬ ‫و أ‬ ‫قععا أ أ‬


‫ل لهأععا وأل تلأور ت‬ ‫خانن فأ أ‬
‫ي دد أ‬
‫ماءت وأه ت أ‬ ‫م ٱوست أوأىى إ تألى ٱل س‬
‫س أ‬ ‫ثد س‬
‫ن‬ ‫ها أقال أأتا أ أت و أيأنا أ‬
‫طائ تتعي أ‬ ‫ك أور ه‬
Artinya : kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih
merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah
kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". keduanya
."menjawab: "Kami datang dengan suka hati
Demikian pula segala apa yang ada di langit dan di bumi, baik berupa benda mati
maupun benda hidup seperti dalam QS. An-Nahl: 49

‫و أ‬ ‫ول تل سدهه ي أوس د د‬


‫ة وأهدعع وم أل‬ ‫داب سععةة وأٱول أ‬
‫مل أىئ تك أعع د‬ ‫مععن أ‬ ‫مععا فتععي ٱلأور ت‬
‫ض ت‬ ‫ت وأ أ‬
‫موىأ ت‬
‫س أى‬ ‫جدد أ‬
‫ما تفي ٱل س‬ ‫أ‬
‫ن‬‫ي أوست أوكب تدرو أ‬

Artinya “ dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit
dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) Para malaikat, sedang
.”mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri

Semua makhluk, baik berupa benda mati, maupun benda hidup,


berjalan secara alami, teratur, seimbang dan mengikuti ketentuan tuhan yang
berupa “hukum alam” (sunatullah). Sehingga hukum-hukum itu di jadikan
pedoman dan kemudian di gunakan oleh manusia dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Sikap taat, patuh, tunduk dan pasrah kepada Tuhan merupakan unsur
kemanusiaan yang alami atau fitri dan sejati, serta merupakan kesatuan
kenabian/kerasulan dan ajara para Nabi hingga pada Rasul terakhir yakni Nabi

26
Muhammad SAW berasal dari kata al-silmu atau al-salmu yang berarti damai dan
aman. Hal ini mengandung makna bahwa orang yang Islam berarti orang yang
masuk dalam perdamaian dan keamanan, dan seorang muslim adalah orang yang
membuat perdamaian dan keamanan dengan tuhan, manusia, dirinya sendiri, dan
alam. Damai dengan Tuhan berarti tunduk dan patuh secara menyeluruh kepada
kehendakNya. Damai dengan manusia tidak hanya berarti meninggalkan
perbuatan jelek dan tidak menyakitkan orang lain, tetapi juga berbuat baik kepada
orang lain, karena manusia tidaklah terlepas dari ketergantungan kepada orang
lain. Damai dengan dirinya sendiri berarti selalu memelihara diri dan menjaganya
dari barbagai macam ancaman dan siksaan atau penderitaan, apakah berupa
penyakit (jasmani atau rohani) atau lain-lainya. Sedangkan damai dengan alam
berarti memelihara, memakmurkan, dan membudayakan alam, serta
memanfaatkannya selaras dengan sifat dan kondisi dari alam itu sendiri, dan tidak
merusaknya atau melanggar hukum-hukum alam (sunatullah). Pengertian seperti
itu dapat dipahami dari firman Allah dalam QS. Al-Baqarah:208.

‫شويط ىأنهن‬ ‫سولم ت أ‬ ‫أ‬


‫خط دوىأ ت‬
‫ت ٱل س‬ ‫ة وأأل ت أت سب تدعوا ا د‬
‫كافس ه‬ ‫خدلوا ا تفي ٱل س‬
‫مدنوا ا ٱود د‬
‫ن أءا أ‬‫ذي أ‬ ‫ي ىأأي يأها ٱل س ت‬
‫هۥ ل أك د وم ع أد دنوو ي‬
‫متبينن‬ ‫إ تن س د‬
Artinya :” Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.Sesungguhnya
.”syaitan itu musuh yang nyata bagim

Ketiga Islam bearasal dari kata as-salamu dan salamatu yang berarti
bersih dan selamat dari kecacatan-kecatatan lahir batin, pengertian ini di pahami
dari firman Allah dalam QS: Asy-Syu’ara: 89

‫قول ة‬ ‫أ‬
‫ستليةم‬
‫ب أ‬ ‫مون أأتى ٱلل س أ‬
‫ه بت أ‬ ‫إ تسل أ‬
Artinya : “kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih
Manusia terdiri dari dua substansi yaitu jasad dan roh. Jasad manusia
tunduk, patuh dan pasrah kepada sunatullah atau ajaran-ajaran Allah yang berlaku
di alam, sedangkan roh manusia manusia sudah melakukan perjanjian dengan
tuhan dan siap untuk tunduk, patuh, dan pasrah kepadaNya. Semuanya ini
merupakan fitrah bagi manusia. Selama manusia senantiasa menjaga diri dan

27
memelihara fitrahnya, serta pilihannya mengarah kepada kecacatan lahir maupun
batin, dan selamat dunia akhirat. Sebaliknya kalau manusia dalam perjalanan
hidupnya menyimpang dari fithrahnya, dan pilihan hidupnya mengarah pada
pilihan buruk (dosa), maka dia akan sengsara tidak selamat, dan tidak bahagia
hidupnya lahirbatin dunia ahirat.21
B. Sumber Ajaran Islam
Sumber hukum Islam adalah wahyu Allah SWT yang di tuangkan dalam
Al-Qur’an, Sunah Rasul, ijtihad. Penegasan Al-Qur’an terhadap sunah Rasul
dalam beberapa ayat di tunjukan agar Sunah Rasul dapat menjadi perantara dan
penjelas untuk dapat memahami ayat-ayat yang global tersebut. Rasulullah telah
menjadi uswatun hasanah dalam melaksanakan ajaran Al-Qur’an (QS:al-
Ahzab:21) :
‫لقد كاَن لكم في رسو ل ا أسوة حسنه لمن كاَن ير جو ا وُاليوم ال حر وُذكر ا كثير ا‬
Artinya :” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”
1. Al-Quran Sebagai Sumber Ajaran Islam
a. Pengertian Al-Qur’an
Kata Al-Qur’an secara lughawi merupakan bentuk kata yang muradhif
dengan kata Al-Qira’ah yaitu bentuk mashdar dari fi’il madhi qara’a yang
berarti bacaan arti qara’a ialah mengumpulkan atau menghimpun huruf dan
kata-kata dalam suatu ucapan yang tersusun rapih. seperti yang di sebut dalam
firman Allah pada QS: al-Qiyamah: 17-18 yang artinya :
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. apabila Kami telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu”. Adapun pengertian Al-Qur’an
secara terminologis adalah kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang
di turunkan kepada nabi Muhammad SAW. yang di tulis dalam mushaf dan di
riwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah. 22
b. Kandungan Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam mempunyai satu sendi utama
yang essensial, berfungsi memberi petunjuk ke jalan sebaik-baiknya
sebagaimana Allah berfirman: “sesungguhnya Al-Qur’an memberi petunjuk

21 Dr. H. Dideik ahmad supadie .M.M dan Sarjuni S.Ag.M.Hum, pengantar study islam, 2012,
depok, rajawalipress hal
22 PROF. DR. H. Abuddin Nata, MA. Studi Islam komprehensif . jakarta, prenada media group,
hal 25

28
menuju jalan yang sebaiknya”. kemudian isi Al-Qur’an secara garis besar
memuat antara lain: Akidah, syari’ah (ibadah dan muamalah), akhlak, kisah-
kisah masa lampau, berita-berita yang akan datang, dan pengetahuan lainnya.
Adapun fungsi Al-Qur’an meliputi hal-hal sebagai berikut : 1.
petunjuk manusia 2. Rahmat dan hidayah bagi alam semesta 3. Mu’jizat Nabi
Muhammad SAW 4. Pengajaran dari Allah 5. Obat penyakit hati 6. penguat dan
penutup adanya kitab-kitab suci lainya.23
2. Sunah/ Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam:
a. Pengertian Sunah/Hadits
Menurut bahasa hadits mempunyai beberapa arti antara lain: jadid
lawan qadim (baru), qarib (dekat), khabar (warta). Hadits dalam arti khabar
sering di jadikan acuan dalam penyebutan hadits secara bahasa.
Sebagaimana firman Allah “maka hendaklah mereka mendatangkan suatu
khabar yang sepertinya jika mereka orang yang benar”. (QS: 53;34).
Menurut istilah ahli hadits, hadits adalah segala ucapan Nabi, segala
perbuatan Nabi, dan segala keadaan Nabi.
Sunah secara etimologi berarti jalan yang di lalui. Sedangkan
menurut terminologi ialah segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi
baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan.24 Istilah hadist dan sunah
sering dimaksudkan sama tetapi oleh sebagian ahli hadist di jelaskan, bahwa
hadits mengandung pengertian lebih luas, sedangkan sunah lebih spesifik
yaitu segala sesuatu yang menyangkut pribadi nabi yang di muat dalam
hadits Nabi. Sedangkan berita yang sekalipun di muat didalam hadits, tetapi
menyangkut pribadi sahabat Nabi di sebut atsar sahabat, jadi apabila kita
mendalami hadits Nabi, maksudnya adalah segala sesuatu tentang pribadi
Nabi atau sunah Nabi.
b. Pembagian Sunnah
Sunah terbagi menjadi 3 bagian :
1) . Sunah qauliyah (perkataan) contoh: segala amalan itu mengikuti niat
(orang yang meniatkan). Hr Bukhari Muslim.
2) . Sunah fi’liyah (perbuatan) contohnya: cara-cara mendirikan sholat, cara
mengerjakan amalan haji, adab berpuasa, dan memutuskan perkara
berdasarkan saksi dan berdasarkan sumpah “Ambilah dariku cara-cara
mengerjakan haji”. Hr Muslim dari Jabir.

23 ibid hal 98.


24 Drs. Atang Abd.Hakim, MA. Metodologi studi Islam. bandung, PT Remaja Rosdakarya,hal 83

29
3) . Sunah taqriyah. Membenarkan atau tidak mengingkari sesuatu yang di
perkuat oleh seorang sahabat, atau diberitakan kepada beliau, lalu tidak
menyanggah atau tidak menyalahkan serta menunjukan bahwa beliau
meridhainya. contohnya: Nabi membenarkan ijtihad para sahabat mengenai
urusan mereka sholat ashar di bani Quraidhah. Nabi bersabda “jangan kamu
melakukan sholat, melainkan di bani Quraidhah”.
3. Ijtihad Sebagai Sumber Ajaran Islam.
a. Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa ialah pencurahan segenap kesanggupan
untuk mendapatkan sesuatu dari berbagai urusan atau perbuatan. Kata
ijtihad berasal dari kata jahhada yang artinya berusaha keras atau berusaha
sekuat tenaga. Secara harfiah mengandung arti sama. Secara teknis di
tetapkan bagi seorang ahli hukum dengan keampuan akalnya berusaha keras
untuk menentukan pendapat di lapangan hukum mengenai hal yang pelik
dan meragukan.25
1) . Landasan ijtihad
Dalam Islam akal sangat di hargai. Banyak ayat Al-Quran yang
menyatakan untuk mempergunakan akal, sebagaimana dalam ayat:
”sesungguhnya penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda orang yang berakal”. (QS.:3:190). Bukti bahwa
ijtihad pernah di lakukan oleh para sahabat yakni pada masa nabi seperti yang
diriwayatkan oleh Al-Baghawi dari Muadz bin Jabal “pada waktu Rasulullah
mengutus Muadz bin Jabal ke yaman, Nabi bersabda untuknya bagaimana
engkau diserahi urusan peradilan? jawabnya: saya menetapkan perkara
berdasarkan Al-Qur’an. Sabda Rasulullah selanjutnya bagaimana kalau kau tak
mendapati dalam Al-Qur’an? jawabnya: dengan sunah Rasul. Sabda Nabi
selanjutnya bila dalam sunah pun tak kau dapati? jawabnya: saya akan
mengerahkan kesanggupan saya untuk menetapkan hukum dengan pikiran
saya. akhirnya Nabi menepuk dada dengan mengucapkan segala puji bagi
Allah yang memberikan taufiq pada utusan (muadz). 26
2) . Macam-Macam Ijtihad
Di tinjau dari pelakunya ijtihad dibagi menjadi dua, yaitu:

25 Opcit hal 95
26 R. Abuy sodikin, memahami sumber ajaran Islam, jurnal al-qalam vol 20 no 98-99 edisi jul-
desember 2003 hal 5

30
a) Ijtihad perorangan yakni ijtihad yang di lakukan oleh seorang mujtahid
dalam suatu persoalan hukum.
b) Ijtihad jama’i yakmi ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok mujtahidin
dalam menganalisa suatu masalah untuk menemukan suatu ketetapan
hukum.

C. Sistematika Ajaran islam (Aqidah, Syariah dan Akhlak) dalam Islam.


Aqidah adalah keyakinan atau keimanan yang mengikat hati seseorang
terhadap sesuatu yang diyakini dan diminati selama hidupnya. Dalam
berakidah tidak boleh setengah hati tetapi harus meyakinya sepenuh hati tanpa
adanya keraguan sedikitpun dalam hatinya.
Aqidah dalam Al-Qur’an dapat di jabarkan dalam surat (Al-Maidah,
5:15-16) yang berbunyi “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari
Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuk
orang-orang yang mengikuti keridhaanNya ke jalan keselamatan, dan dengan
kitab itu pula Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada
cahaya yang terang benderang dengan seizinNya dan menunjuki mereka ke
jalan yang lurus” istilah syariah dalam konteks kajian hukum islam lebih
menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupakan hasil dari
proses tasyri’.
Kata Tasyri’ adalah bentuk dari masdar dari ‘syara’ yang berarti
menciptakan air dan menetapkan syaria’ah. sedangkan istilah ulama fiqih
menetapkan norma-norma hukum untuk menata kehidupan manusia baik dalam
hubungannya dengan Allah SWT, maupun dengan manusia lainya. Dan kata
syariah itu sendiri menurut bahasa adalah” jalan tempat keluarnya air untuk
diminum”. Lalu bangsa Arab mengartikan kalimat tersebut untuk konotasi yang
lurus. Dan pada saat itu dipakai dalam pembahan hukum jadi bermakna segala
sesuatu yang di syaratkan Allah kepada hambaNya, sebagai jalan lurus untuk
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Menurut Manna al-Qathan istilah syariah itu mencakup aspek akidah dan
akhlak selain aspek hukum. Sebagaimana yang telah di katakan “segala
ketentuan Allah SWT yang disyari’tkan bagi hamba-hambaNya”. Dengan

31
pengertian ini Manna al-Qathan ingin membedakan antara syari’at sebagai
ajaran dari Allah SWT. Dengan perundang-undangan hasil pemikiran manusia.
Secara etmologis kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlak, yang
merupakan bentuk dari jama’ dari kata khuluk yang artinya budi pekerti ,
peringai, tingkah laku atau tabi’at.
Secara terminologis definisi tentang akhlak. menurut al-Ghazali “akhlak
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Dapat di simpulkan bahwa Akidah, syariah dan akhlak pada dasarnya
merupakan satu kesatuan dalam ajaran Islam. Ketiga unsur tersebut dapat
dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Akidah sebagai sistem kepercayaan
yang bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan, menggambarkan sumber dan
hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai sistem nilai berisi
peraturan yang menggambarkan fungsi agama.
Sedangkan akhlak sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan
yang hendak dicapai agama. Muslim yang baik adalah orang yang memiliki
akidah yang lurus dan kuat yang mendorongnya untuk melaksanakan syariah
yang hanya ditujukan pada Allah sehingga tergambar akhlak yang terpuji pada
dirinya. Atas dasar hubungan itu, maka seseorang yang melakukan suatu
perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi oleh akidah atau keimanan, maka orang
itu termasuk ke dalam kategori kafir. Seseorang yang mengaku berakidah atau
beriman, tetapi tidak mau melaksanakan syariah, maka orang itu disebut fasik.
Sedangkan orang yang mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi
dengan landasan akidah yg tidak lurus disebut munafik. 27

D. Karakteristik ajaran islam


1 Islam sebagai agama prophetic, revealed religion, mission religion, agama
wahyu, agama samawi, merupakan penyempurnaan, penutup risalah para
Nabi.

27 Machallafri I, yusrotul R, linda AS . pokok-pokok pajaran islam. (makalaah diajukan untuk


memenuhi tugas matakuliah studi islam, jember, 2015) hal 3-8.

32
2 Islam sebagai din dan tamaddun sekaligus, bersifat enternal, universal,
mencakup semua sendi kehidupan manusia baik dimensi vertikal maupun
horizontal.
3 Islam adalah agama yang mengakui adanya pluralitas, keaneka ragaman
keyakinan, kepercayaan, agama, manusia. Sehingga Islam mengakui
eksistensi agama lain. Akan tetapi, Islam menolak paham pluralisme agama
terhadap hakikat yang sama, yakni sama-sama pasrah, patuh, dan tunduk
sepenuhnya kepada Tuhan (note pluralisme) untuk menuju pada Tuhan yang
satu, terdapat berbagai jalan. Islam melihat bahwa pasrah dan tunduk kepada
Tuhan harus melalui cara yang ditentukan oleh Allah, yang dalam hal ini
telah terangkum dalam din al-Islam. Segala bentuk kepatuhan kepada
Tuhan, yang tidak sesuai dengan cara-cara dalam Islam merupakan sebuah
jalan yang sesaat.
4 Islam merupakan agama yang terbuka bisa di kaji dari berbagai keilmuan.
Sehingga bagi ummat Islam Al-Qur’an yang merupaka sumber utama ajaran
Islam, merupakan grand theory dalam pengembangan ilmu pengetahuan.28
E. Pandangan Hidup Ajaran Islam
Menempatkan manusia pada posisi sebagai makhluk Allah yang
bertugas sebagai hamba Allah yang berfungsi sebagai Khalifah di bumi.
Kedudukan itu menentukan watak hubungan antara Allah dan manusia adalah
hubungan antara khalik dan makhluk, antara tuan dan budak. Dengan demikian
akidah tauhid memberikan pandangan hidup kepada manusia tentang realitas
kehidupan, yakni bahwa:
1. Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah.
2. Manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan tujuan hanya untuk
mengabdi dan berbakti kepada Allah SWT. Firman Allah SWT dalam QS.
Az-Zariyat:56
‫ن‬
‫دو ت‬ ‫ن وأٱولتإن أ‬
‫س إ تسل ل تي أوعب د د‬ ‫ت ٱول ت‬
‫ج س‬ ‫خل أوق د‬
‫ما أ‬
‫وأ أ‬
Artinya : dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.
3. Tujuan penciptaan manusia untuk beribadah dan berbakti hanya kepada
Allah SWT. Mengarahkan kepada manusia bahwa tidak ada satu
kehidupan yang keluar dari pengabdian dan kebaktiannya kepada Allah.
Hidup yang baik dan benar adalah hidup penuh ketundukan dan kepatuhan
28 Prof.Dr.H abudin Nata, M.A, metodologi Studi Islam, 2013, jakarta¸PT RajaGrafindo persada,
hal 50

33
kepadaNya. Pengagungan dan, pemujaan, dan penghormatan kepada selain
Allah adalah perbuatan Sirik, serta penghiatan terhadap seluruh isi
perjanjian yang terdapat dalam kalimat syadah uluhiyah. Selama manusia
hidup selama itu pula manusia terikat oleh kontrak perjanjian dengan
Allah. Karena itu, balasan manusia, baik balasan kebaikan maupun
keburukan akan diterima manusia setelah meninggal dunia sedangkan
sebagai batas akhir kontrak perjanjian dengan Allah yaitu ketika di akhirat
kelak.
4. Allah sebagai Stanford Of Judgement (Ukuran Nilai).
5. Manusia setelah menempuh jalan hidup yang baik dan benar, yaitu hidup
penuh ketundukan dan kepatuhan kepada Allah semata, maka dia harus
senantiasa berada pada nilai ibadah, nilai kebaikan, dan nilai kebenaran.
Satu-satunya dzat yang berhak menetapkan nilai ibadah yaitu Allah SWT.
Dengan kata lain bahwa nilai berdasarkan akidah tauhid adalah apa yang
diridhai (mardhiatillah). Segala sesuatu yang diridhai Allah adalah baik
dan benar serta mengandung nillai ibadah. Ukuran nilai ini merupakan inti
yang di sekelilingnya berputar seluruh tindakan dan perbuatan moral
manusia.
6. Allah sebagai titik tujuan arah hidup manusia
7. Allah sebagai pembebas manusia dari perbudakan
8. Sesorang yang berakidah tauhid yaitu mengakui dan meyakini bahwa
Allah adalah Rabb al-‘alamin dan satu-satunya yang harus disembah,
berarti Dia telah memasuki alam bebas merdeka dari segal perbudakan
manusia, harta, tahta, dan Tuhan lainya, termasuk Tuhan hawa nafsunya
sendiri.29
F. Proses Pewarisan Islam

Sejarah penyebaran agama Islam di dunia di mulai sejak Nabi


Muhammad SAW memulai dakwah di Mekkah. Kali ini kita akan membahas
secara ringkas sejarah dan penyebaran agama Islam. Ulasan ini didapat dari
berbagai sumber.

1. Sejarah Awal

29 Drs. H. Dideik ahmad supadie .M.M hal 130

34
Islam muncul di jazirah Arab pada abad ke-7 masehi ketika Nabi
Muhammad SAW mendapat wahyu dari Allah SWT Setelah wafatnya
Rasullullah SAW kerajaan Islam berkembang sampai samudra Atlantik di barat
dan Asia Tengah di timur. Lama-kelamaan umat islam terpecah dan terdapat
banyak kerajaan-kerajaan islam lain yang muncul.

Namun demikian, kemunculan kerajaan-kerajaan islam seperti


kerajaan Umayyah, kerajaan Abbasiyyah, kerajaan Seljuk/Turki Seljuk,
kekhalifahan Ottoman, kemaharajaan Mughal, India, dan Kesultanan Melaka
telah menjadi kerajaaan yang kuat dan besar di dunia. Peradaban sebagai
tempat belajar ilmu telah mampu mewujudkan satu Tamadun islam yang
agung. Banyak ahli-ahli sains, ahli-ahli filsafat dan sebagainya muncul dari
negeri-negeri islam terutama pada Zaman Emas Islam.

Pada abad ke-18 dan ke-19 masehi, banyak kawasan-kawasan islam


jatuh ke tangan penjajah Eropa. Setelah Perang Dunia I, kerajaan Ottoman
menjadi kekaisaran terakhir yang tumbang. Sebelum kedatangan islam Jazirah
Arab merupakan sebuah kawasan yang dilewati oleh jalur sutera. Kebanyakan
orang bangsa Arab merupakan penyembah berhala dan ada sebagian
merupakan pengikut agama kristen dan yahudi. Mekah ialah tempat suci bagi
bangsa Arab ketika itu karena di situ terdapatnya berhala-berhala agama
mereka dan juga terdapat telaga Zamzam dan terakhir yang paling penting
adalah Kaabah.

Nabi Muhammad SAW dilahirkan di Mekah pada tahun Gajah (570


atau 571 masihi). Beliau merupakan seorang anak yatim sesudah ayahnya
Abdullah bin Abdul Muthalib dan ibunya Aminah binti Wahab meninggal
dunia. Beliau dibesarkan oleh pamannya yaitu Abu Thalib. Baginda
kemudiannya menikah dengan Siti Khadijah dan menjalani kehidupan yang
bahagia.

Namun demikian, ketika Nabi Muhammad SAW berusia lebih kurang


40 tahun, beliau didatangi oleh malaikat Jibril AS. Setelah itu beliau
berdakwah mengajarkan ajaran islam secara tertutup kepada rekan-rekan

35
terdekatnya yang dikenal sebagai “As-sabiqun Al-awwalun (Orang-orang
pertama yang memeluk islam)”. Setelah itu berdakwah secara terbuka kepada
seluruh penduduk Makkah. Pada tahun 622 masehi, Beliau dan pengikutnya
pindah ke Madinah dan Peristiwa ini disebut Hijrah. Peristiwa lain yang terjadi
setelah hijrah adalah dimulainya kalender hijriyah.

Dakwah Nabi Muhammad SAW semakin meluas, bahkan Beliau telah


memenangi banyak pertempuran walaupun ada di antaranya tentara islam yang
tewas. Lama kelamaan orang-orang islam menjadi kuat dan berhasil
menaklukkan kota Makkah. Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW seluruh
jazirah Arab di bawah penguasaan orang islam.

2. Khalifah Rasyidin

Khalifah Rasyidin atau Khulafaur Rasyidin memilki arti pemimpin


yang baik diawali dengan kepemimpinan Abu Bakar, dan dilanjutkan oleh
kepemimpinan Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib.
Pada masa ini umat Islam mencapai kestabilan politik dan ekonomi. Abu Bakar
memperkuat dasar-dasar kenegaraan umat Islam dan mengatasi pemberontakan
beberapa suku-suku Arab yang terjadi setelah meninggalnya Nabi. Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib berhasil memimpin
balatentara dan kaum Muslimin pada umumnya untuk mendakwahkan Islam,
terutama ke Syam, Mesir, dan Irak. Dengan takluknya negeri-negeri tersebut,
banyak harta rampasan perang dan wilayah kekuasaan yang dapat diraih oleh
umat Islam.

3. Masa Kekhalifahan Selanjutnya

36
Setelah periode Khalifah Rasyidin, kepemimpinan umat Islam
berganti dari tangan ke tangan dengan pemimpinnya yang juga disebut
"khalifah", atau kadang-kadang "amirul mukminin", "sultan", dan sebagainya.
Pada periode ini khalifah tidak lagi ditentukan berdasarkan orang yang terbaik
di kalangan umat Islam, melainkan secara turun-temurun dalam satu dinasti
sehingga banyak yang menyamakannya dengan kerajaan misalnya
kekhalifahan Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, hingga Bani Utsmaniyyah.
Besarnya kekuasaan kekhalifahan Islam telah menjadikannya salah satu
kekuatan politik yang terkuat dan terbesar di dunia pada saat itu. Timbulnya
tempat-tempat pembelajaran ilmu-ilmu agama, filsafat, sains, dan tata bahasa
Arab di berbagai wilayah dunia Islam telah mewujudkan satu kontinuitas
kebudayaan Islam yang agung.

Banyak ahli-ahli ilmu pengetahuan bermunculan dari berbagai negeri-


negeri Islam, terutamanya pada zaman keemasan Islam sekitar abad ke-7
sampai abad ke-13 masehi.Luasnya wilayah penyebaran agama Islam dan
terpecahnya kekuasaan kekhalifahan yang sudah dimulai sejak abad ke-8,
menyebabkan munculnya berbagai otoritas-otoritas kekuasaan terpisah yang
berbentuk "kesultanan"; misalnya Kesultanan Safawi, Kesultanan Turki Seljuk,
Kesultanan Mughal, Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Malaka, yang
telah menjadi kesultanan-kesultanan yang memiliki kekuasaan yang kuat dan
terkenal di dunia.

Meskipun memiliki kekuasaan terpisah, kesultanan-kesultanan


tersebut secara nominal masih menghormati dan menganggap diri mereka
bagian dari kekhalifahan Islam. Pada kurun ke-18 dan ke-19 masehi, banyak
kawasan-kawasan Islam jatuh ke tangan penjajah Eropa. Kesultanan
Utsmaniyyah (Kerajaan Ottoman) yang secara nominal dianggap sebagai
kekhalifahan Islam terakhir dan tumbang selepas Perang Dunia I.

4. Penyebaran Agama Islam

Penyebaran Islam dimulai tak lama setelah kematian nabi Islam,


Muhammad pada 632. Perdagangan yang terhubung ke banyak daerah telah

37
membantu dalam penyebaran Islam. Selama hidupnya, komunitas Muslim di
Semenanjung Arab hadir karena konversi ke Islam. Pada abad-abad pertama
Islam masuk dan memiliki pertumbuhan cepat dibawah Kekhalifahan Rasyidin
dan Umayyah.

Dinasti muslim segera didirikan dan selanjutnya kerajaan seperti Bani


Abbasiyah, Murabitun, Seljuk Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia
serta Utsmani yang terbesar dan terkuat di dunia. Dunia Islam memiliki pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang canggih dimasa itu, ilmuwan, wisata,
astronomi, dokter, dan filsuf telah memberikan kontribusi bagi keemasan
Islam. Perdagangan dan politik telah menyebabkan penyebaran Islam dari
Makkah hingga Cina dan Indonesia, dimana komunitas Islam terbesar menetap
disana.

5. Islam Di Nusantara

Cikal bakal keberadaan Islam di Nusantara telah dirintis pada periode


abad ke-1 hingga ke-5 H atau abad ke-7 hingga ke-8 M. Pada periode ini, para
pedagang dan mubaligh membentuk komunitas Islam. Para mubaligh
memperkenalkan dan mengajarkan Islam kepada penduduk setempat tentang
Islam. Ajaran-ajaran Islam tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Islam mengajarkan toleransi terhadap sesama manusia, saling


menghormati dan tolong menolong.
b. Islam mengajarkan bahwa dihadapan Allah, derajat semua manusia sama,
kecuali takwanya.
c. Islam mengajarkan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, Maha
Pengasih dan Penyayang, dan mengharamkan manusia saling berselisih,
bermusuhan, merusak, dan saling mendengki.
d. Islam mengajarkan agar manusia menyembah hanya kepada Allah dan
tidak menyekutukannya serta senantiasa setiap saat berbuat baik terhadap
sesama manusia tanpa pilih kasih.

38
Ajaran Islam ini sangat menarik perhatian penduduk Indonesia.
Dengan demikian, dakwah dan pengaruh Islam makin meluas, baik di kalangan
masyarakat biasa, maupun bangsawan atau penguasa. Proses Islamisasi
diperkirakan sudah berlangsung sejak “bersentuhan” dengan Aceh, kerajaan
Islam Samudra Pasai berdiri pada pertengahan abad ke-13 M sehingga
perkembangan masyarakat muslim di Malaka semakin pesat. Ibnu Batutah
menceritakan, Sultan Kerajaan Samudra Pasai, Sultan Al Malik Az Zahir
dikelilingi oleh ulama dan mubaligh Islam.

Sementara itu di Jawa proses penyebaran Islam sudah berlangsung


sejak abad ke-11 M dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di
Leran Gresik yang bertahun 475 H/1082 M. Pengaruh Islam yang masuk ke
Indonesia bagian timur, terutama Maluku, tidak dapat dipisahkan dari jalur
perdagangan yang terbentang sepanjang pusat lalu lintas pelayaran
internasional di Malaka, Jawa, dan Maluku.

Menurut Tome Pires, masyarakat yang masuk Islam di Maluku


dimulai kira-kira tahun 1460-1465 M. Mereka datang dan menyebarkan
pembelajaran Islam melalui perdagangan, dakwah, dan perkawinan. Di
Sulawesi, terutama bagian selatan, sejak abad 15 M sudah didatangi oleh
pedagang-pedagang muslim yang kemungkinan berasal dari Malaka, Jawa, dan
Sumatra. Pada abad ke-16 di daerah Goa sebuah kerajaan terkenal di daerah itu
telah terdapat masyarakat muslim.30

G. Pandangan Dunia terhadap Islam


Islam adalah salah satu agama yang memiliki penganut terbesar di
dunia, sehingg islam menjadi agama yang mengandalkan masa sebagai faktor
utama dalam pengembangannya. Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa
menciptaan kedamaian baik dari individu, keluarga, masyarakat secara nasional
bahkan internasional. Islam juga mengajarkan dan menjungjung tinggi
toleransi ummat beragama, akan tetapi mengapa di dunia, islam adalah agama
teroris, dan selalu melakukan teror di seluruh pelosok dunia dunia.

30 Qosim A. Ibrohim dan Muhammad A. Saleh. Buku pintar sejarah Islam. 2010. Jakarta . zaman
hal 60-70

39
kesalahan persepsi inilah yang menjadikan pandangan terhadap Islam
atau ada pihak-pihak tertentu yang ingin merusak Islam. Dalam masalah ini
kita perlu berfikir tentang kesalahan persepsi maupun pihak yang ingin
merusak Islam. Yang perlu di lakukan adalah intropeksi diri sejauh mana kita
telah berpartisipasi dalam menciptakan perdamaian, baik dalam lingkungan
masyarakat maupun disekala universal.
Tidak ada satupun agama di muka bumi yang mengajarkan kepada
umatnya untuk melakukan pengrusakan, kerusuhan dan teror. Semua agama
mengajarkan untuk senantiasa menciptakan kedamaian dalam hidup. Jika hal
itu terjadi pengrusaka maupun teror, itu bukan karena agamanya yang
mengjarkan demikian akan tetapi, itu adalah murni kesalahan seseorang yang
kebetulan memeluk salah satu agama tertentu. Dengan demikian Islam
bukanlah agama teroris , aksi teror dan aksi teror yang terjadi di beberapa
daerah di indonesia bahkan di beberapa Negara itu murni sesalahan individu,
yang keberulan mereka memeluk agama Islam31.

31 Drs. H. Dideik ahmad supadie .M.M hal 138

40
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Islam brasal dari kata al-salamu, al-salmu, dan al-silmu, yang berarti
menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh. Dengan demikian “Islam”
mengandung sikap penyerahan diri, pasrah, tunduk, dan patuh dari manusia
terhadap Tuhannya atau makhluk terhadap Khalik, Tuhan yang Maha Esa.
Sikap tersebut tidak hanya berlaku bagi hambaNya (manusia), tetapi juga
merupakan hakikat dari seluruh alam, yaitu sikap penyerahan diri, pasrah,
tunduk dan patuh ciptaan (makhluk) kepada penciptanya (khalik).
Sumber hukum islam adalah wahyu Allah SWT yang di tuangkan
dalam Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan ijtihad. Penegasan Al-Qur’an terhadap
sunnah Rasul dalam beberapa ayat di tunjukan agar Sunnah rasul dapat
menjadi perantara dan penjelas untuk dapat memahami ayat-ayat yang global
tersebut. Rasulullah telah menjadi uswatun hasanah dalam melaksanakan
ajaran Al-Qur’an. Sumber-sumber tersebut akan sesuai dan terlaksana melalui
aqidah, syariat dan akhlak atau yang biasa kita sebut dengan sistematika ajaran
Islam.
Karakter Islam sebagai din dan tamaddun sekaligus, bersifat enternal,
universal, mencakup semua sendi kehidupan manusia baik dimensi vertikal
maupun horizontal dan mampu menjadikan Manusia menempuh jalan hidup
yang baik dan benar, yaitu hidup penuh ketundukan dan kepatuhan kepada
Allah semata, maka dia harus senantiasa berada pada nilai ibadah, nilai
kebaikan, dan nilai kebenaran. Satu-satunya Dzat yang berhak menetapkan
nilai ibadah, nilai baik-buruk, dan nilai benar-salah adalah Allah SWT. Dengan
kata lain bahwa nilai berdasarkan akidah tauhid adalah apa yang
diridhai( mardhiatillah). Segala sesuatu yang diridhai Allah adalah baik dan

41
benar serta mengandung nillai ibadah. ukuran nilai ini merupakan inti yang di
sekelilingnya berputar seluruh tindakan dan perbuatan moral manusia.
Islam kini telah menjadi agama yang kuat, kaum muslim telah benar-
benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya, kaidah-kaidah agama telah begitu
mengakar dalam hati setiap muslim. Allah Swt telah menghilangkan bentuk
kedzaliman yang biasa menimpa dua jenis manusia yang lemah yakni wanita
dan anak-anak. Allah menyantuni keduanya dengan rahmat dan kearifanNya
serta dengan penuh keadilan yakni dengan mengembalikan hak waris mereka
secara penuh.
Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa menciptaan kedamaian
baik dari individu, keluarga, masyarakat secara nasional bahkan internasional
Islam juga mengajarkan dan menjungjung tinggi toleransi ummat beragama,
akan tetapi mengapa di dunia, Islam adalah agama teroris, dan selalu
melakukan teror di seluruh pelosok dunia dunia. Dalam masalah ini kita perlu
berfikir tentang kesalahan persepsi maupun pihak yang ingin merusak Islam.
Yang perlu di lakukan adalah intropeksi diri sejauh mana kita telah
berpartisipasi dalam menciptakan perdamaian, baik dalam lingkungan
masyarakat maupun disekala universal.
Tidak ada satupun agama dimuka bumi yang mengajarkan kepada
umatnya untuk melakukan pengrusakan, kerusuhan dan teror. Semua agama
mengajarkan untuk senantiasa menciptakan kedamaian dalam hidup. Jika hal
itu terjadi itu bukan karena agamanya yang mengjarkan demikian akan tetapi,
itu adalah murni kesalahan seseorang yang kebetulan memeluk salah satu
agama tertentu.

B. SARAN

Dari sekian pembahasan, pemakalah masih merasa bahwa ini masih


ada banyak kekurangan ada baiknya para pembaca menelaah kembal apa

42
yang telah pemakalah tulis sehingga mampu menyempurnakan apa yang telah
pemakalah

43
KELOMPOK 4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya bahwa Al-
Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukan bagi
manusia, dan bagian dari rukun iman yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
Saw, melalui perantara malaikat Jibril. Al-Quran mengajarkan segala aspek
kehidupan, mulai dari penjelasan tentang Agama, hukum, pendidikan,
perkawinan, ekonomi, sosial, budaya, bahkan banyak lagi penjelasan yang tersirat
dan tersurat maknanya.
Sebagai umat Islam, hendaknya kita mengetahui ilmu Al-Qur’an, salah
satunya mengetahui pengertian Al-Qur’an, nama lain dari Al-Qur’an, kandungan
isi Al-Qur’an, fungsi Al-Qur’an, dan bagaimana cara mengetahui kemurnian Al-
Qur’an.
Karena beberapa sebab itu, penulis menyusun makalah ini, sebagai usaha
untuk lebih mengenal kitab suci umat Islam yaitu Al-Qur’an, untuk menambah
ilmu baru, dan untuk memenuhi tugas struktural.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Al-Quran?
2. Apa sajakah nama lain dari Al-Qur’an?
3. Apa kandungan isi Al-Qur’an?
4. Apakah fungsi Al-Qur’an?
5. Bagaiamana cara mengetahui kemurnian Al-Qur’an?

C. Manfaat
1. Untuk mengetahui pengertian Al-Qur’an.

44
2. Untuk mengetahui nama lain dari Al-Qur’an.
3. Untuk mengetahui kandungan isi Al-Qur’an.
4. Untuk mengetahui fungsi Al-Qur’an.
5. Untuk mengetahui kemurnian Al-Qur’an.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an secara etimologi Al-Qu’an berasal dari kata “qara’a-
yaqra’u qira’atan, atau qur’anan” yang berarti mengumpulkan (al-jam’u)
dan menghimpun (al-dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian
ke bagian lain secara teratur. Dikatakan Al-Qur’an karena ia berisikan inti
sari semua kitabullah dan inti sari dari ilmu pengetahuan.
Sedangkan Al-Qur’an secara termilogis menurut berbagai pendapat
yaitu sebagai berikut:
a. Manna Al-Qaththan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan bernilai
ibadah bagi yang membacanya.
b. Abdul Wahab Khallaf memberikan pengertian Al-Qur’an secara
lebih lengkap. Menurutnya, Al-Qur’an adalah firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, melalui perantara
malaikat Jibril, menggunakan lafdz bahasa Arab, isinya dijamin
kebenarannya, undang-undang bagi seluruh manusia, memberi
petunjuk bagi mereka dan menjadi sarana untuk melakukan
pendekatan diri dan kepada Allah dengan membacanya. Ia
terhimpun dalam mushaf, dimulai dari suarah Al-Fatihah sampai
dengan diakhiri An-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir
dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan serta
terjaga dari perubahan dan pergantian.”
c. Syekh Muhammad Muhammad Abduh mendefisikana Al-Qur’an
sebagai kalam mulia yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi yang
paling sempurna (Muhammad Saw) , ajarannya mencakup

45
keseluruhan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulia
yang esensinya tidak dimengerti, kecuali bagi orang yang berjiwa
dan berakal cerdas.”

Dari berbagai definisi tersebut, kita dapat mengetahui bahwa Al-


Qur’an adalah kitab suci yang isinya mengandung firman Allah, turunya
secara bertahap melalui malaikat Jibril, pembawanya Nabi Muhammad
Saw, susunannya dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah
An-Nas, bagi yang membacanya bernilai ibadah, fungsinya antara lain
sebagai hujjah atau bukti yang kuat atas kerasulan Nabi Muhammad Saw,
keberadaannya hingga kini masih terpelihara dengan baik, dan
pemasyarakatannya dilakukan secara berantai dari satu generasi ke
generasi lain dengan tulisan maupun lisan.32

B. Nama lain dari Al-Qur’an


Selain dinamakan Al-Qur’an, kitab ini memiliki banyak nama lain.
Maksudnya, nama lain sebagai nama julukan (sebutan) yang biasa
digunakan untuk menyebut Al-Qur’an. Menurut Amin Suma, dengan
adanya nama julukan ini menunjukkan kemuliaan itu sendiri. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh As-Suyuti, “Fa’inna kasratul asma tadullu
‘ala asyrafil musamma.” Bahwa sesungguhnya banyak nama itu
mengisyaratkan kemuliaan sesuatu yang diberi nama.
Al-Qur’an itu mempunyai banyak nama. Menurut Abdul Ma’ali
Syaizalah,ada 55 nama bagi Al-Qur’an, menurut Hasan al-Haraly ada 90
nama Al-Qur’an. Tetapi menurut Subhi al Shalih bahwa penyebutan nama-
nama Al-Qur’an yang sekian banyak itu dianggap berlebih-lebihan.
Sehingga bercampur aduk antara nama Al-Qur’an dan sifat-sifatnya.
Diantara nama-nama Al-Qur’an yaitu Al-Qur’an, Al-Kitab, Al-Furqan,
Az-Dzikir, dan Al-Tanzil.33
1. Al-Qur’an
32 Rosihon Anwar dan Badruzzaman M. Yunus, Pengantar Studi Islam, CV. Pustaka Setia,
Bandung, 2017, hlm. 164-165.
33 Muhaimin, Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, PRENADA
MEDIA, Jakarta, 2007, hlm. 83.

46
Al-Quran artinya bacaan. Nama Al-Qur’an ini sebagaimana
ditemukan dalam firman Allah berikut.
“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya
diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang benar dengan yang batil)...” (QS. Al- Baqarah [2]:
15)

2. Al-Kitab atau Kitabullah


Al-Kitab atau kitabullah artinya buku atau kitab. Nama Al-
kitab ini sebagaimana dapat kita temukan dalam surah Al-Baqarah
ayat 2 dan suarah Al-Anbiya’ ayat 10.
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya,
petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”(QS. Al-Baqarah [2]: 2)
“Sungguh telah Kami turunkan kepadamu sebuah Kitab
(Al-Qur’an) yang didalamnya terdapat peringatan bagimu. Maka
apakah kamu tidak mengerti?”(QS. Al-Anbiya’ [21]: 10)

3. Al-Furqan
Al-Furqan artinya pembeda. Maksudnya pembeda antara
yang hak dan yang hak (benar). Nama Al-Furqan sebagaimana
tercantum dalam firman-Nya berikut ini.
“Maha Agung Allah yang menurunkan Al-Furqan kepada
hambaNya, agar ia menjadi peringatan kepada seluruh alam”
(QS. Al-Furqan [25]: 1)

4. Adz-Dzikir
Adz-Dzikir artinya peringatan. Nama Adz-Dzikir
sebagimana tercantum dalam firman-Nya berikut ini.
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan
pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9)

5. At-Tanzil
At-Tanzil artinya yang diturunkan. Sebagaimana tercantum
dalam firman Allah berikut ini.

47
“Dan Sungguh Al-Qur’an) ini benar-benar diturunkan oleh
Tuhan seluruh alam” (QS. Asy-Syu’ara [26]:192)34

C. Kandungan isi Al-Qur’an


Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, kurang lebih
selama 23 tahun dalam dua fase, yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau
hijrah ke Madinah (Makiyah), dan 10 tahun pada fase hijrah ke Madinah
(Madaniyah). Isi Al-Qur’an terdiri atas 114 surat, 6236 ayat, 74437
kalimat, dan 325345 huruf.
Dari keseluruhan isi Al-Qur’an itu, pada dasarnya mengandung
pesan-pesan sebagai berikut:
a. Masalah tauhid, kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir,
qadha dan qadhar, dan sebagainya.
b. Masalah ibadah, tentang ibadah khas (shalat, puasa) dan ibadah
umum (pernikahan, hukum, perekonomian, dan sebagainya)
c. Masalah janji dan ancaman, yaitu janji dengan balasan yang baik
bagi yang berbuat baik, ancaman bagi mereka yang berbuat jahat.
d. Jalan menuju kebahagian dunia dan akhirat, berupa ketentuan yang
harus dipenuhi untuk mencapai keridhaan Allah.
e. Riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu, baik
bangsa, tokoh maupun Nabi dan Rasul Allah.
f. Ilmu pengetahuan, baik tentang ketuhanan dan agama, manusia,
masyarakat, dan alam.
Selanjutnya, Abdul Wahab Khalaf memerinci pokok-pokok kandungan
(pesan-pesan) Al-Qur’an dalam 3 kategori, yaitu:
1) Masalah kepercayaan (i’tiqadiyyah), yang berhubungan dengan
rukun iman.
2) Masalah etika (khuluqiyyah)berkaitan dengan hal-hal yang
dijadikan perhiasan bagi seseorang untuk berbuat keutamaan dan
meninggalkan kehinaan.
3) Masalah perbuatan dan ucapan (‘amaliyah), terbagi kedalam dua
macam, yaitu:
 Masalah ibadah, berkaitan dengan rukun Islam, nazar,
sumpah, dan ibadah-ibadah lainnya yang mengatur
hubungan anata manusia dengan Allah.

34 A. Munir dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam, RINEKA CIPTA, Jakarta, 2013, hlm. 25-27.

48
 Masalah Mu’amalah, berkaitan dengan hubungan manusia
dengan manusia, baik perorangan maupun kelompok.35

D. Fungsi Al-Qur’an
Secara umum fungsi Al-Qur’an adalah memberikan pedoman bagi
umat manusia agar mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Sementara itu, diantara fungsi Al-Qur’anmenurut para ulama,
sebagai al-huda (pemberi petunjuk), ar-rahman (pemberi kasih sayang), al-
furqon (menjadi pembeda), al-tibyan (menjadi penjelas), al-busyra
(menjadi kabar gembira), al-musaddiq (pembenaran), an-nur (pemberi
cahaya), syifa’un lima fis-sudur (sebagai obat penyejuk hati), dan al-
mau’izah (pemberi nasihat).
1. Al-Huda
Al-Qur’an sebagai al-huda (pemberi petunjuk) bagi rang yang
beriman dan bertaqwa,dalam menjalani hidup dan kehidupannya.
Perhatikan firman Allah SWT. Berikut ini:
‫ب فسليسه هرددىَ لسللرمتاقسلينن‬ ‫ك اللسكتن ر‬
‫ب نلْنرلي ن‬ ‫نذلس ن‬
“Kitab (Al-Qur’an)ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertakwa”. (Q.S Al-Baqarah [2] : 2)

2. Ar-Rahman
Al-Qur’an sebagai ar-rahman (pemberi kasih sayang), maksudnya
adalah keberuntungan yang diberikan ALLAh SWT, dalam bentuk kasih
sayang-Nya. Perhatikan firman ALLAH SWT. Berikut ini :
‫ب الللحسكليسم هرددىَ نوُنرلحنمةد لسللرملحسسنسلينن‬
‫ت اللسكتن ن‬ ‫تسلل ن‬
‫ك انين ر‬
“Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hikmat, sebagai petunjuk
dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. (Q.S Luqman [31] :
2-3)

3. Al-Furqon
Al-Qur’an berfungsi sebagai al-furqon, artinya sebagai pembeda
antara yang benar dan batil, yang halal dan haram, yang baik dan yang
buruk, yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

4. Al- Tibyan

35 Ibid., hlm. 166-167.

49
Al-Qur’an berfungsi sebagai al-tibyan yakni sebagai penjelas.
Maksudnya, penjelas segala sesuatau yang disampaikan Allah. Perhatikan
firman Allah AWT. Berikut ini :
..... ‫ب تسلبنياَدناَ لسركبل نشءئ اوُهرددىَ نوُنرءحنمةد نوُبرلشنرىَ لسللرملسلسسملينن‬
‫ك لالسكتن ن‬
‫نوُننازللنناَ نعلنلي ن‬
“.. Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan
segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang byang berserah diri (muslim).” (Q.S An-Nahl [16] : 89)

5. Al-Busyra
Al-Qur’an berfungsi sebagai al-busyra sebagai pemberi kabar
gembira. Dalam hal ini, memberi kabar gembira bagi setiap hamba-Nya
yang telah berbuat baik.
6. Al-Mutasaddiq
Al-Qur’an berfungsi sebagai al-musaddiq artinya pembenar
terhadap kitab-kitab Allah SWT terdahulu, yakni Zabur, Taurat dan Injil.
Dengan demikian, Al-Qur’an memberikan pengakuan tehadap kitab-kitab
tersebut, bahwa semuanya merupakan kitab suci dari Allah SWT. Sebelum
adanya perubahan pada kitab-kitab tersebut.

7. An-Nur
Al-Qur’an berfungsi sebagai an-nur artinya pemberi cahaya.
Maksudnya, bahwa Al-Qur’an merupakan cahaya yang dapat menerangi
kegelapan kehidupan dalam menempuh jalan menuju keselamatan yang
hakiki, baik dunia maupun akhirat.
8. Syifa’un lima fis-sudur
Al-Qur’an berfungsi sebagai syifa’un lima fis-sudur, artinya Al-Qur’an
dapat dijadikan sebagai obat penyejuk hati atau penawar yang gersang lagi
sakit. Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai obat penyejuk hati atau rohani
kita yang sakit, yaitu dengan mengamalkan ajarannya.

9. Al-Mau’izah
Al-Qur’an berfungsi sebagai al-mau’izah artinya pemberi nasihat.
Maksudnnya, Al-Qur’an merupakan pembimbing bagi umat Islam agar
mendapatkan keselamatan serta sebahagiaan dunia akhirat.36

36 Nurwadjah Ahmad, Ulumul Qur’an, CV. Arfino Raya, Bandung, 2015, hlm. 24-27.

50
Diantara fungsi Al-Qur’an diatas, Al-Qur’an juga mempunyai
fungsi sebagai :
(1) bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran ajarannya;
(2) petunjuk akidah dan kepercayaan yang hatus dianut oleh manusia,
yang tersimpul dalam keimanan akan keesan Allah dan kepercayaan akan
kepastian adanya hari pembalasan;
(3) petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jaan menerangkan
norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia
dalam kehidupannya secara individual dan kolektif;
(4) petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar
hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan
dan sesama manusia. Atau dengan kata lain, Al-Qur’an adalah petunjuk
bagi seluruh mnusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahgiaan hidup
di dunia dab di akhirat.
Syekh Muhammad Abduh, sebagai bapak pemandu aliran
rasionalis, masih mendudukan fungsi Al-Qur’an yang tertinggi. Dalam
arti, walaupun akal sehat mampu mengetahuiyang benra dan yang salah,
yang baik dan yang buruk, tetapi ia tidak mampu mengetahui hal-hal yang
ghaib. Disinilah letak fungsi dan peranan Al-Qur’an.
Demikian juga, Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim yang
memberikan keputusan terakhir mengenai perselisihan dikalangan para
pemimpin, dan lain-lain. Sekaligus sebagai korektor yang mengoreksi ide,
kepercayaan, undang-undang yang salah dikalangna umat beragama. Oleh
karena itu, Al-Qur’an merupakan penguat bagi kebenran kitab-kitab suci
terdahulu yang dianggap positif, dan memodifikasi ajaran-ajaran yang
usang dengan ajaran-ajaran baru yang dianggap lebih positif.37

E. Kemurnian Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab yang autentisitasnya atau
kemurniannya dijamin oleh Al-Qur’an dan senantiasa diperihara sampai
akhir zaman. Didalam QS. al-Hijr ayat 9 dinyatakan:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti
Kami (pula) yang memeliharanya.”

37 Ibid., hlm. 85-86.

51
Untuk menunjukan bukti-bukti autentisitasnya Al-Qur’an dapat
digunakan dengan berbagai pendekatan, yaitu dengan melihat ciri-ciri dan
sifat dari Al-Qur’an itu sendiri, serta melihat dari aspek kesejahteraannya
dan pengakuan-pengakuan pihak cendikiawan nonmuslim terhadap
kebenaran Al-Qur’an itu sendiri.

a) Dilihat dari ciri-ciri dalam Al-Qur’an


 Keunikan Redaksi Al-Qur’an
Al-Qur’an dipandang sebagai mukjizat Nabi Saw,
yang berfungsi untuk melegitimasi kerasulannya.
Kemukjizatannya itu tidak hanya terbatas pada makna-
makna objektif yang terkandung di dalamnya, tetapi juga
lafal dan redaksinya merupakan kutipan langsung dari
firman Allah, karena itu tidak mungkin ditemukan adanya
keganjilan-keganjilan redaksinya. Dan kalau terjadi
demikian, misalnya karena adanya ulah dari manusia yang
berusaha mengganti dan menggubahnya, maka akan segera
diketahui bahwa itu bukanlah redaksi Al-Qur’an.
 Kemukjizatan Al-Qur’an
Kemukjizatan (i’jaz) adalah menetapkan
kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum adalah
ketidak mampuan mengerjakan sesuatu, sebagai lawan
kemampuan, sehingga apabila kemukjizatan telah terbukti,
maka nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang
melemahkan). Dan mukjizatnya adalah sesuatu hal yang
lauar biasayang muncul dari para Nabi atau Rasul yang
disertai dengan tantangan dan selamat dari perlawanan.
Al-Qur’an digunakan oleh Nabi Saw, untuk
menantang orang-orang pada masa beliau dan generasi
sesudah yang tidak percaya akan kebenaran Al-Qur’an
sebagai firman Allah (bukan ciptaan Muhammad) dan
tidak percaya akan risalah Nabi Sawdan ajaran yang
dibawanya.

52
Adapun segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an
setidaknya dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: (1) aspek
keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya, yaitu aspek
susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dari
sastra bahasa Arab, (2) isyarat-isyarat ilmiahnya, yakni
aspek ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang
disyaratkanya, (3) aspek pemberitaan-pemberitaan
gaibnya, termasuk didalamnya ramalan-ramalan yang
diungkapkan yang sebagian telah terbukti kebenarannya.”

b) Autentisitas Al-Qur’an Dilihat Dari Kesejarahan


Menurut M.Quraisy Shihab, bahwa ada beberapa faktor
yang mendukung pembuktian keautentisitasnya Al-Qur’an dilihat
dari aspek kesejarahannya, yaitu bahwa:
1) Masyarakat yang hidup pada masa turunnya Al-Qur’an
adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis,
sehingga satu-satunya andalan mereka adalah hafalan.
2) Masyarakat Arab (pada masa turunnya Al-Qur’an) dikenal
srbagai masyarakat yang sejahtera dan bersahaja, sehingga
mereka memiliki waktu luang yang cukup guna untuk
menambah ketajaman pikiran dan hafalan.
3) Masyarakat Arab sangat cenderung membanggakan
kesastraan, mereka melakukan perlombaan dalam bidang
ini dalam waktu-waktu tertentu. Al-Quran mencapai
tingkat tinggi dari segi kindahan bahasanya, dan sangat
mengagumkan, bukan saja bagi kaum muslim, tetapi juga
orang kafir. Bahkan, dalam berbagai riwayat menyatakan
bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik sering secara sembunyi-
sembunyi mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
dibacakan kaum muslim.
4) Al-Qur’an, demikian pula Rasulullah menganjurkan
kapada kaum muslim untuk memperbanyak membaca dan

53
mempelajari Al-Qur’an dan anjuran tersebut diterima
dengan hangat.
5) Ayat-ayat Al-Qur’an turun untuk berldiadog dengan
mereka , mengomentari keadaan dan peristiwa yang
mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan
mereka. Disamping itu, ayat-ayat Al-Qur’an turun sedikit
demi sedikit. Hal itu mempermudah pencernaan maknanya
dan proses penghafalannya.
6) Dalam Al-Qur’an, demikian pula hadis-hadis Nabi,
ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para
sahabatnya untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalam
menyampaikan berita, lebih-lebih berita tersebut
merupakan firman-firman Allah atau sabda Rasul-Nya.

Dari segi sejarahnya pengumpulan Al-Qur’an ada dua


pengertian yang harus dipahami, yaitu:
 Pertama, pengumpulan dalam arti hifduhuhu
(penghafalannya dalam hati) sehubungan dengan ini,
sewaktu turun wahyu (ayat-ayat Al-Qur’an) Rasulullah
menghafal nya dan memahaminya.Rulullah adalah hafidz
(penghafal) pertama kali dan merupakan contoh paling baik
bagi para sahabat dalam menghafal, sebagai realisasi
kecintaan mereka pada pokok agama dan sumber risalah.
 Kedua, pengumpulan Al-Qur’an dalam kitabuhu kullihi
(penulisan semuanya), baik dengan memisah-misahkan
ayat-ayat dan surat-suratnya , atau menertibkan ayat-ayat
semata dan setaiap surat ditulis dalam satu lembaran secara
terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya
dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang
menghimpun semua surat, sebagiannya ditulis sesudah
bagian lain.

54
Dengan demikian, di masa Nabi terdapat tiga unsur yang
saling melengkapi guna memelihara auntentitas Al-Qur’an, yaitu :
1. Hafalan dari para sahabat
2. Kepingan naskah-naskah tulisan yang diperintah Nabi
3. Kepingan naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang
pandai menulis dan membaca atas inisiatif masing-masing.
Dan kemudian, kepingan naskah-naskah tulisan itu baru
dihimpun dalam bentuk “kitab” (mushaf pada masa
pemerintahan Abu Bakar)

c) AutentisitasAl-Qur’an Dilihat Dari Pengakuan Cendikiawan


Non-Muslim
Banyak cendikiawan non-muslimyang mengakui secara
objektif, jujur, dan ikhlas mengenai autetisitas Al-Qur’an,
diantaranya:
1. G. Margoliouth, dalam bukunya Dekaracht van den Islam
menyatakan: “Adapun Al-Qur’an itu menempati kedudukan
yag maha penting dibarisan agama-agama yang besar
diseluruh dunia. Meskipun Al-Qur’an itu sangat muda
usianya, tetapi ia menempati bagian terpenting dalam ilmu
kitab. Ia dapat menghasilkan suatu akibat yang tidak pernah
dan tidak akan dapat seseorang menghasilkanya.”

2. Joseph Charles Mardus, seorang cendikiawan Perancis


dalam bukunya L’Alocoran menyatakan: “Gaya bahasa Al-
Qur’an seakan-akan gaya bahasa al-Khalik sendiri. Karena,
gaya bahasa itu mengandung esensi dari al-Khalik yang
menjadi sumbernya, tentulah mengandung sifat-sifat.
Kenyataannya jelas menunjukkan bahwa penulis-penulis
yang sangat ragupun menyerah kepada keindahannya.”

3. George Sale, seorang cendikiawan Inggris, yang


pendapatnya dikutip oleh Joseps Charles Merdus dalam
bukunya Preliminary Discourse menyatakan, bahwa:

55
“Diseluruh dunia diakuki bahwa Al-Qur’an tertulis dalam
bahasa Arab dengan gaya paling tinggi, paling murni,
diakui sebagai standar bahasa arab, dan tidak dapat ditiru
oleh pena manusia. Oleh krena itu, diketahui sebagi
mukjizat yang besar, lebih besar dari pada membangkitkan
orang mati, dan itu saj sudah cukup meyakinkan dunia
bahwa kitab itu berasal dari Tuhan. Dengan mukjizat ini,
Muhammad tampil untuk menguatkan nubuatnya, terang-
terangan menentang sastrawan-sastrawan Arab yang paling
cakap yang pada masa itu ada beribu-ribu, yang itu
pekerjaan nya serta ambisi mereka hanya untuk ketinggian
gaya bahasa untuk menciptakan satu pasal saja yang dapat
dibandingkan dengan gaya bahasa Al-Qur’an.”38

BAB III
38 Ibid., hlm. 86-106.

56
PENUTUP

1. Kesimpulan
Al-Qur’an adalah kitab suci yang isinya mengandung firman Allah,
turunya secara bertahap melalui malaikat Jibril, pembawanya Nabi
Muhammad Saw, susunannya dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri
dengan surah An-Nas, bagi yang membacanya bernilai ibadah, fungsinya
antara lain sebagai hujjah atau bukti yang kuat atas kerasulan Nabi
Muhammad Saw, keberadaannya hingga kini masih terpelihara dengan
baik, dan pemasyarakatannya dilakukan secara berantai dari satu generasi
ke generasi lain dengan tulisan maupun lisan.
Kitab ini memiliki banyak nama lain. Maksudnya, nama lain
sebagai nama julukan (sebutan) yang biasa digunakan untuk menyebut Al-
Qur’an. Menurut Amin Suma, dengan adanya nama julukan ini
menunjukkan kemuliaan itu sendiri. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
As-Suyuti, “Fa’inna kasratul asma tadullu ‘ala asyrafil musamma.”
Bahwa sesungguhnya banyak nama itu mengisyaratkan kemuliaan sesuatu
yang diberi nama.
Abdul Wahab Khalaf memerinci pokok-pokok kandungan (pesan-
pesan) Al-Qur’an dalam 3 kategori, yaitu:
1) Masalah kepercayaan (i’tiqadiyyah), yang berhubungan dengan
rukun iman.
2) Masalah etika (khuluqiyyah), berkaitan dengan hal-hal yang
dijadikan perhiasan bagi seseorang untuk berbuat keutamaan dan
meninggalkan kehinaan.
3) Masalah perbuatan dan ucapan (‘amaliyah)
Al-Qur’an merupakan kitab yang autentisitasnya atau
kemurniannya dijamin oleh Al-Qur’an dan senantiasa diperihara sampai
akhir zaman. Didalam QS. al-Hijr ayat 9 dinyatakan:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti
Kami (pula) yang memeliharanya.”
Untuk menunjukan bukti-bukti autentisitasnya Al-Qur’an dapat
digunakan dengan berbagai pendekatan, yaitu dengan melihat ciri-ciri dan

57
sifat dari Al-Qur’an itu sendiri, serta melihat dari aspek kesejahteraannya
dan pengakuan-pengakuan pihak cendikiawan nonmuslim terhadap
kebenaran Al-Qur’an itu sendiri.

KELOMPOK 5
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang menjadi


sumber ajaran Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi
petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk memberikan kesejahteraan
dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Al-Quran
juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya. Al-
Qur’an bagaikan samudra yang tidak pernah kering airnya, gelombangnya tidak
pernah reda, kekayaan dan khazanah yang dikandungnya tidak pernah habis, dapat
dilayari dan selami dengan berbagai cara, dan memberikan manfaat dan dampak
luar biasa bagi kehidupan manusia. Di dalamnya terdapat dokumen historis yang
merekam kondisi sosio ekonomis, religious, ideologis, politis, dan budaya dari
peradaban umat manusia. Dari sini muncullah ilmu-ilmu untuk mengkaji Al-
Qur’an dari berbagai aspeknya, termasuk di dalamnya ilmu tafsir. Makalah ini
akan membahas tentang ilmu tafsir meliputi sejarah dan perkembangannya, serta
corak dan metode dalam penafsiran.
Allah SWT mewahyukan Al-Qur’an kepada Muhammad SAW, bukan
sekedar sebagai inisiasi kerasulan, apalagi suvenir atau nomenklatur. Secara
praksis, Al-Qur’an bagi Nabi Muhammad SAW, merupakan inspirasi etik
pembebasan yang menyinari kesadaran dan gerakan sosial dalam membangun
masyarakat yang sejahtera, adil dan manusiawi. Redaksi ayat-ayat Al-Qur’an,
sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau
maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal inilah yang
kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran.
1.2 Rumusan Masalah

58
 Apa saja macam – macam ilmu tafsir Al- Qur’an itu ?
 Bagaimana mengguakan metode penafsiran yang efektif ?
 Apa saja metode yang di gunakan dalam penafsiran ?
1.3 Tujuan
 Memahami cara atau metode penafsiran.
 Dapat mengetahui maksud dari ayat yang di tafsirkan.
 Dapat mengamalkan tafsiran Al-quran dalam kehidupan sehari-hari.

59
‫الباب الثانى‬
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir
Para pakar ilmu tafsir Al-Quran banyak memberi pengertian baik secara
etimologi, maupun terminologi terhadap tafsir. Tafsir secara etimologi (bahasa),
berasal dari kata “tafsīr” diambil dari kata “fassara – yufassiru - tafsīrān” yang
berarti keterangan atau uraian.39 Sedangkan Tafsir menurut terminologi (istilah),
sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan yang dikutip oleh Manna‟ al-Qaṭān ialah
ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur‟an, tentang
petunjuk-petunjuk, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika
tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal
yang melengkapinya.40 Hal ini didasarkan pada firman Allah Sûrah al-Furqân: 33
‫توتل َتيفأتتوُتنتك َبتمتثل َإلل َجفئتناِتك َباِفلتحقق َتوتأفحتستن َتتففسسيِراًر‬
‫س س‬ ‫س ل س س‬
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling
baik penjelasannya”. (Q.S Al-Furqan: 33)
Sementara itu, pengertian tafsir secara terminologi memiliki beberapa
definisi yang diungkapkan oleh beberapa ahli sebagai berikut:

a. Menurut al-Kilabi dalam at-Tashil


‫الاتفسسيررنشلررح القراسن وُبياَرن معناَهر وُالْفصاَرح بماَ يقضيه بن ب‬
ُ‫صسه أو‬
‫إشاَرتسه أوُ نحدوا‬
“Tafsir adalah uraian yang menjelaskan al-Qur’an, menerangkan
maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nash, isyarat
atau tujuannya.”
b. Menurut az-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan
‫التفسيرربياَرن معاَنىَ القراسن وُاستخرارج احكاَسمسه وُسحنكسمسه‬
“Tafsir adalah menerangkan makna-makna al-Qur’an dn mengeluarkan
hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.”
c. Menurut asy-Syeikh Thahir al-Jazairi
39. Az-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulumil Quran. Kairo. 1972. Hal. 167
40 . Jalaluddin As-Suyuti, al-itqan fi Ulumil Quran. 1983. Hal. 143

60
‫ق عندالساَمع بماَ هو أفصح‬
‫التفسيرفىَ الحقيقة إنماَ هوشرح اللفظ المستقل س‬
‫ت‬ ‫عنده بماَ يرادفهر أوُ يقاَربهر أوُله دلْلةة عليه باَحدىَ طر س‬
‫ق الذلْلْ س‬
“Tafsir pada hakikatnya adalah mensyarahkan lafadz yang sukar
difahamkan oleh pendengar dengan uraian yang menjelaskan maksud.
Yang demikian itu adakalanya menyebut muradifnya, atau yang
mendekatinya, atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu
jalan dalalah (petunjuk).”
d. Menurut al-Jurjany
,‫ وُفىَ الشرح توضيح معنىَ الْية‬.‫ف وُالظهاَر‬ ‫التفسيرفىَ الصل الكش ر‬
‫شلأنهاَوُقضتهاَ وُالسبب الذىَ نزلت فيه بلفظ يدل عليه دلْلةد ظاَهرة‬
“Tafsir pada asalnya ialah membuka dan melahirkan. Dalam istilah
syara’ ialah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab
diturunkannya ayat, dengan lafadz yang menunjuk kepadanya secara
terang.”41

Dengan demikian, secara umum maksud kata tafsir adalah usaha untuk
memperjelas dan memahami teks dan makna al-Qur’an. Dalam Tafsir al-Bahr al-
Muhith menjelaskan bahwa tafsir sebagai ilmu yang membahas tata cara
mengucapkan lafadz al-Qur’an, menggali maknanya, memahami hukum, dan
kontekstualnya, yang dikandung oleh struktur kalimat, serta ilmu penunjang
lainnya.42

Hal serupa diungkapkan oleh adz-Dzarqani dan adz-Dzahabi yang


memaknai tafsir sebagai upaya kajian terhadap ahwal dan dilalah al-Qur’an untuk
memahami maksud dan kehendak Allah sesuai dengan kapasitas kemampuan
manusia.43 Pada hakikatnya, tafsir merupakan usaha untuk memperjelas teks guna
memahami al-Qur’an sekaligus memahami maksud Allah swt.

Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa tafsir al-Qur’an


merupakan cara untuk memahami al-Qur’an dengan cara interpretasi, penakaran,

41. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, PT Pustaka. Semarang, 2000.
Hal. 171
42. John Hayes, Pedoman Penafsiran Al-Kitab. Jakarta, 1993. Hal. 26
43. As-suyuti, al-Itqan fi Ulumil Quran. Hal. 168

61
dan ijtihad terhadap nilai-nilai makna, maksud, tujuan, serta hikmah yang
terkandung didalam al-Qur’an. Tujuan utamanya adalah agar kita dapat
memahami al-Qur’an. Ilmu tafsir merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling
mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan
Kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah, serta petunjuk dan pembeda
dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan
berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Kebutuhan akan tafsir
semakin mendesak lantaran untuk kesempurnaan beragama dapat diraih apabila
sesuai dengan syari’at, sedangkan kesesuaian dengan syari’at banyak bergantung
pada pengetahuan terhadap Al-Qur’an, atau kitabullah.

B. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir


1) Tafsir pada Masa Klasik
Agar mempermudah pembahasan mengenai perkembangan tafsir pada
masa klasik, penulis akan memetakan dalam tiga pembahasan, yakni Tafsir pada
masa Nabi dan Sahabat, Tafsir pada masa tabi’in dan Tafsir pada masa kodifikasi
(pembukuan).
 Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Kegiatan penafsiran telah dimulai sejak Nabi Muhammad masih hidup. Nabi
pun menjadi sosok sentral dalam penafsiran al-Qur’an. Bagi para sahabat, untuk
mengetahui makna al-Qur’an tidaklah terlalu sulit. Karena mereka langsung
berhadapan dengan Nabi sebagai penyampai wahyu, atau kepada sahabat lain
yang lebih mengerti. Jika terdapat makna yang kurang dimengerti, mereka segera
menanyakan pada Nabi. Sehingga ciri penafsiran yang berkembang kalangan
sahabat adalah periwayatan yang dinukil dari Nabi. Hal ini mempertegas firman
Allah Sûrah al-Nahl: 44 bahwa Nabi diutus untuk menerangkan kandungan ayat
al-Qur’an.
‫ل‬ ‫ت ل‬ ‫ت ت‬ ‫قف‬ ‫تف ف ت‬
‫توأنتزلتناِ َسإلفيتك َاًل سذكتر َسلتتتبسقيِتن َسلللناِسس َتماِ َن ق سزتل َسإلفيسهفم َتولتعلتهفم َتيتتتفكترون‬
Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat “
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
.”memikirkan

62
Sedikit sekali kalangan sahabat yang menggunakan penafsiran bil ra’yî dalam
menafsirkan al-Qur’an. Diantara sahabat yang dengan tegas menolak penggunaan
akal dalam penafsiran adalah Abû Bakar dan Umar ibn Khattâb. Abû Bakar
:pernah berkata
‫ا َتماِتل َتأفعتلمت‬ ‫ت‬ ‫ت‬ ‫ت ل تف ت ل ت ت ل ت ت ت ل ت تف‬
‫ض َتسقلسنيِ َو َأي َسماِلء َتسظلسنيِ سإذاً َقلت َسفيِ َسكتاِسب َ س‬
‫أي َأر ل‬
“Bumi manakah yang menampung aku dan langit manakah yang
menaungi aku, apabila aku mengatakan mengenai kitab Allah sesuatu yang tidak
aku ketahui”
Ia mengatakan demikian tatkala orang bertanya tentang makna Abbân.
Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa Abû Bakar tidak membenarkan
sesuatu mengenai kitab Allah jika ia menggunakan ijtihad, bil ra’yî. Tetapi ada
pula beberapa sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad bil ra’yî selain
dengan riwayat, yaitu Ibn Mas’ûd dan Ibn Abbâs. Secara garis besar para sahabat
berpegang pada tiga hal dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu al-Qur’an sendiri,
Nabi Muhammad sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an, dan ijtihad.
Pada era ini ilmu tafsir tidak dibukukan sama sekali, karena pembukuan
dimulai pada abad ke-2 H.44 Tafsir pada era ini merupakan salah satu cabang dari
hadits, kondisinya belum tersusun secara sistematis, dan masih diriwayatkan
secara acak untuk ayat-ayat yang berbeda.
 Tafsir pada masa tabi’in
Setelah generasi sahabat berlalu, muncul mufassir sesudahnya, para
tabi’in. Tafsir pada masa tabi’in sudah mengalami perbedaan mendasar dari
sebelumnya. Jika pada masa sahabat periwayatan didasarkan pada orang tertentu
saja (Nabi dan sabahat sendiri), maka penafsiran Al-Quran yang berkembang pada
masa tabi’in mulai banyak bersandar pada berita-
berita israiliyyât dan nasrâniyyât. Selain itu penafsiran tabi’in juga terkontaminasi
unsur kawasan ataupun mazhab. Itu disebabkan para tabi’in yang dahulu belajar
dari sahabat menyebar ke berbagai daerah.

44. Muhammad Husain, At-tafsir Wal mufassirun. 1967. Hal. 20

63
Menurut Ibn Taimiyah, bahwa sepandai-pandainya ulama tabi’in dalam
urusan tafsir adalah sahabat-sahabat Ibn Abbâs dan Ibn Mas’ûd dan ulama
Madinah seperti Zaîd ibn Aslâm dan Imam Malîk ibn Anas. Lebih lanjut, Ibn
Taimiyah memandang bahwa Mujâhid adalah mufassir yang besar. Sehingga al-
Syafi’i dan Imam Bukhari berpegang padanya. Namun ada pula pandangan yang
menolak penafsiran Mujâhid. Hal ini dikarenakan bahwa Mujâhid banyak
bertanya pada ahli kitab. Selain dianggap banyak mengutip riwayat ahli kitab,
Mujahid juga dikenal sebagai mufassir yang memberi porsi luas bagi kebebasan
akal dalam menafsirkan al-Qur’an. Para ulama berbeda pendapat mengenai
penafsiran yang berasal dari tabi’in jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan
sedikitpun dari nabi ataupun sahabat.
 Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan)
Pasca generasi tabi’in, tafsir mulai dikodifikasi (dibukuan).Masa
pembukuan tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani
Abbasiyah (sekitar abad 2 H). Pada permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai
penulisan tafsir dengan mengumpulkan hadist-hadist tafsir yang diriwayatkan dari
para tabi’in dan sahabat. Mereka menyusun tafsir dengan menyebut ayat lalu
mengutip hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut dari sahabat dan tabi’in.
Sehingga tafsir masih menjadi bagian dari kitab hadis. Diantara ulama yang
mengumpulkan hadis guna mendapat tafsir adalah: Sufyân ibn Uyainah (198 H),
Wakî’ ibn Jarrah (196 H), Syu’bah ibn Hajjâj (160 H), Abdul Rozaq bin Hamam
(211 H).
Penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitab-kitab hadis. Sehinggga tafsir
menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara sistematis sesuai dengan tartib
mushaf. Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibn Majah (w. 273 H), Ibn
Jarîr al-Thabâri (w. 310 H), Ibn Abî Hatîm (w. 327 H), Abu Syaikh ibn Hibbân (w.
369 H), al-Hakîm (w. 405 H) dan Abû Bakar ibn Mardawaih (w. 410 H).
 Tafsir pada Abad Pertengahan
Perkembangan tafsir abad pertengahan dimulai sejak abad ke-9 M hingga
abad ke-19 M. Pada abad ini, perkembangan ilmu pengetahuan berada pada masa
keemasan (the golden age). Perkembangan penafsiran tidak lepas dari

64
perkembangan ilmu pengetahuan pada saat tafsir tersebut ditulis. Tafsir kemudian
sarat dengan disiplin-disiplin ilmu yang mengetarinya dan kecenderungan
toelogis, terlebih bagi sang mufassir. Al-Qur’an pun seringkali dijadikan untuk
melegitimasi kepentingan-kepentingan mazhab/aliran tertentu.
Diantara kitab-kitab tafsir “akbar” yang muncul pada era keemasan
Islam/abad pertengahan antara lain: Jamî’ al-Bayân an Ta’wîl al-Qur’ân karya Ibn
Jarîr al-Thabarî (w. 923 M/310 H); al-Kasysyâf an Haqâ’iq al-Qur’ân karya Abû
al-Qasîm Mahmûd ibn Umar al-Zamakhsyari (w. 1144 M/528 H); Mafâtih al-
Ghaib karya Fakhruddîn ar-Râzi (w. 1209 M/605 H) dan Tafsîr Jalâlaîn karya
Jalâluddîn Mahallî (w. 1459 M) dan Jalâluddîn al-Suyûti (w. 1505 M).
Pada perkembangan selanjutnya muncul tafsir karya Ibn Arabi (638 H)
yang juga kerap mendapat kritikan. Hal ini disebabkan Ibn Arabi menafsirkan al-
Qur’an untuk mendukung pahamnya, wahdatul wujud. Kelahiran Imâduddîn
Ismail ibn Umar ibn Katsîr pada 700 H/1300 M, juga memberi sumbangan bagi
munculnya tafsir abad ini. Kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang terdiri sepuluh
jilid menjadi karya termasyhur selain kitab-kitab lainnya yang ia tulis. Pada abad
ini muncul pula tafsir Jamî’ al-Ahkâm al-Qur’ân karya Abdullah al-Qurtubî (671
H).
Selain nama-nama di atas, masih banyak lagi mufassir kitab tafsir yang
muncul pada abad pertengahan ini. Masing-masing memiliki karakter yang
menjadi khas penulis tafsir tersebut. Sebagaimana yang penulis utarakan di atas,
bahwa pada abad pertengahan terjadi akulturasi budaya karena penyebaran Islam
ke penjuru dunia, maka hal ini turut menimbulkan perbedaan penafsiran yang
didasari perbedaan mazhab dan tempat.

2.) Tafsir pada era Modern


Akulturasi budaya pada abad pertengahan cukup dirasa memberi pengaruh
pada penafsiran al-Qur’an abad itu. Demikian pula pada masa modern, kehadiran
kolonialisme dan pengaruh pemikiran barat pada abad 18-19 M sangat
mempengaruhi para mufassir era ini. Perkembangan ilmu pengetahuan diduga

65
kuat menjadi faktor utama penafsir dalam memberi respon. Ciri berpikir rasional
yang menjadi identitas era modern kemudian menjadi pijakan awal para penafsir.
Mereka umumnya meyakini bahwa umat Islam belum memahami spirit al-Qur’an,
karenanya mereka gagal menangkap spirit rasional al-Qur’an.
Atas dasar pemikiran yang bersifat rasionalistik, kebanyakan dari pemikir
Muslim modern menafsirkan al-Qur’an dengan penalaran rasional, dengan jargon
penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau kembali pada al-Qur’an.
Menurut Baljon dalam bukunya yang berjudul Modern Muslim Koran
Interpretation, mengatakan bahwa yang apa yang disebut tafsir modern adalah
usaha yang dilakukan para mufassir dalam menafsirkan ayat guna menyesuaikan
dengan tuntunan zaman. Karenanya segala pemikiran yang terkandung dalam al-
Qur’an segera dirasakan membutuhkan penafsiran ulang. Lebih lanjut Baljon
menambahkan bahwa tuntutan ini dirasakan perlu akibat persentuhan dengan
peradaban asing kian lebih intensif.
Salah satu mufassir era ini adalah Muhammad Abduh (1849-1905), ia
adalah tokoh Islam yang terkenal. Abduh mulai menulis tafsir al-Qur’an atas
saran muridnya, Rasyid Ridha. Meskipun pada awalnya ia merasa keberatan,
akhirnya ia menyetujui juga. Uraian Abduh atas al-Qur’an mendapatkan perhatian
dari salah seorang orientalis, J. Jomier. Menurutnya analisis yang dilakukan
Abduh cukup mendalam serta hal yang berbeda dari ulasan Abduh adalah
keinginannya yang nyata untuk memberikan ajaran moral dari sebuah ayat.
Selain Abduh, ialah Thanthâwi Jauhari (w. 1940) yang tidak terlalu banyak
memberi komentar, tetapi ulasan-ulasanya dalam tafsir al-Qur’an dapat dijadikan
pegangan ilmu Biologi atau ilmu pengetahuan lainnya bagi masyarakat. Sehingga
kitab tafsirnya, Al-Jawâhir fi al-Tafsir digadang-gadang sebagai tafsir bercorak
ilmi (santifik).
Di Indonesia juga muncul beberapa mufassir dan kitab tafsirnya. Antara
lain: Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya Mahmud Yunus(1899)dan Kasim
Bakri, Tafsîr al-Furqân karya Ahmad Hasan (w. 1887-1958), Tafsîr al-
Qur’ân karya Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin HS, Tafsîr al-Nûr al-Majîdkarya

66
Hasbi al-Siddiqi (1904-1975), Tafsîr al-Azhâr karya Buya Hamka (1908-1981)
dan Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.

B. Metode Tafsir
Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau
jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bahasa Arab
menerjemahkannya dengan manhaj dan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut
mengandung arti: bahwa metode tafsir al-Quran tersebut berisi seperangkat
tatanan dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan alQur‟an. Adapun
metodologi tafsir adalah analisis ilmiah tentang metode-metode menafsirkan al-
Qur‟an. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa metode tafsir adalah
cara yang ditempuh penafsir dalam menafsirkan al-Quran berdasarkan aturan dan
tatanan yang konsisten dari awal hingga akhir. Studi tentang metodologi tafsir
masih terbilang baru dalam khazanah intelektual umat Islam. Ilmu metode
dijadikan objek kajian tersendiri jauh setelah tafsir berkembang pesat. Oleh karena
itu, tidaklah mengherankan jika metodologi tafsir tertinggal jauh dari kajian tafsir
itu sendiri. Dalam perkembangan metodologi selanjutnya, Ulama‟-ulama‟
mengklasifikasikan metode-metode penafsiran al-Qur‟an menjadi empat:

1. Metode Taḥlīliīy
Metode tafsir Taḥlīliīy juga disebut metode analisis yaitu metode
penafsiran yang berusaha menerangkan arti ayat-ayat al-Quran dengan
berbagai seginya, berdasarkan urutan ayat dan surat dalam al-Qur‟an
muṣḥaf Utsmani dengan menonjolkan pengertian dan kandungan
lafadz-lafadznya, hubungan ayat dengan ayatnya, sebab-sebab
nuzulnya, hadits-hadits Nabi Saw. yang ada kaitannya denga ayat-ayat
yang ditafsirkan itu, serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama
lainnya. Dalam melakukan penafsiran, mufassir (penafsir)
memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang
terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan
menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat. Sehingga

67
terlihat seperti pembahasan yang parsial, dari tiap-tiap ayat yang
ditafsirkan oleh para mufassir
a. Langkah-Langkah Metode Taḥlīliīy
Dalam menafsirkan al-Qur‟an, mufassir biasanya
melakukan sebagai berikut: 1) Menerangkan hubungan
(munāsabah) baik antara satu ayat dengan ayat lain maupun antara
satu surah dengan surah lain. 2) Menjelaskan sebab-sebab turunya
ayat (asbāb al- nuzūl). 3) Menganalisis mufradat (kosa kata) dan
lafal dari sudut pandang bahasa Arab. Untuk menguatkan
pendapatnya, terutama dalam menjelaskan mengenai bahasa ayat
bersangkutan, mufassir kadang kadang juga mengutip syair-syair
yang berkembang sebelum dan pada masanya. 4) Memaparkan
kandungan ayat secara umum dan maksudnya. 5) Menerangkan
unsur-unsur fashāḥah, bayān dan i‟jāznya, bila dianggap perlu.
Khususnya, apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung
keindahan balāgah. 6) Menjelaskan hukum yang bisa ditarik dari
ayat yang dibahas, khususnya apabila ayat-ayat aḥkām, yaitu
berhubungan dengan persoalan hukum. 7) Menerangkan makna
dan maksud syara‟ yang terkandung dalam ayat bersangkutan.
Sebagai sandarannya, mufassir mengambil manfaat dari ayat-ayat
lainnya, hadits Nabi SAW, pendapat para sahabat dan tabi‟in, di
samping ijtihad mufassir sendiri. Apabila tafsir ini bercorak
altafsīr al-„ilmi (penafsiran dengan ilmu pengetahuan), atau al-
tafsīr aladābi al-ijtimā‟i mufassir biasanya mengutip pendapat para
ilmuwan sebelumnya, teori-teori ilmiah modern, dan lain
sebagainya.
Metode Taḥlīliīy kebanyakan dipergunakan para ulama
masa-masa klasik dan pertengahan. Contoh-contoh Kitab Tafsir
yang menggunakan metode Taḥlīliīy yaitu, Al-Jāmi‟ li Aḥkām al-
Qur‟an karangan Syaikh Imam al-Qurṭūbi, Jāmi‟ al-Bayān „an
Takwīl Ayyi al-Qur‟an, karangan Ibn Jarīr alThabariy, Tafsīr al-
Qur‟an al-„Aẓīm, karangan al-Hāfidz Imad al-Din Abi alFida‟

68
Ismāil bin Katsȋr al-Quraisyi al-Danasyqi, dan Al-Mīzān fi Tafsīr
al-Qur‟an, karangan al-„Allamah al-Sayyid Muhammad Husyan
al- Thabaṭaba‟i.
2. Metode Ijmālī
Metode Ijmālī adalah menafsirkan al-Qur‟an dengan cara
menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an dengan singkat dan global, yaitu
penjelasannya tanpa menggunakan uraian atau penjelasan yang
panjang lebar, dan kadang menjelaskan kosa katanya saja. Menurut
Asy-Syibarsyi, sebagaimana yang telah dikutip oleh Badri Khaeruman,
mendefinisikan bahwa metode tafsir ijmali adalah sebagai cara
menafsirkan al-Qur‟an dengan mengetengahkan beberapa persoalan,
maksud dan tujuan yang menjadi kandungan ayat-ayat al-Qur‟an.
Dengan metode ini mufassir tetap menempuh jalan sebagaimana
metode Taḥlīliīy, yaitu terikat kepada susunan-susunan yang ada di
dalam muṣḥaf Ustmani. Hanya saja dalam metode ini mufassir
mengambil beberapa maksud dan tujuan dari ayat-ayat yang ada secara
global Dengan metode ini mufassir menjelaskan makna ayat-ayat al-
Quran secara garis besar. Sistematika mengikuti urutan surah-surah al-
Quran dalam muṣḥaf Ustmani, sehingga makna-makna dapat saling
berhubungan. Dalam menyajikan makna-makna ini mufassir
menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-Qur‟an sendiri
dengan menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat penghubung,
sehingga memberi kemudahan kepada para pembaca untuk
memahaminya. Dengan kata lain makna yang diungkapkan itu
biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-
pola yang diakui jumhur ulama‟, dan mudah dipahami orang. Dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan metode ini, mufassir juga
meneliti, mengkaji, dan menyajikan asbāb al-nuzūl atau peristiwa
yang melatarbelakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti hadits-
hadits yang berhubungan dengannya. Contoh-contoh Kitab Tafsir yang
menggunakan Metode Ijmālīadalah ialah Tafsīr al-Jalālain karya Jalal
al-Din al-Suyuṭi dan Jalal al-Din alMahally, al-Tafsīr al-Mukhtaṣar

69
karya Commite Ulama (Produk Majlis Tinggi Urusan Ummat Islam),
ṣafwah al-Bayān li Ma‟aniy al-Qur‟an karya Husnain Muhammad
Makhmut, dan Tafsīr al-Qur‟an karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh
al-Fairuz Abady.
3. Metode Muqāran
Metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an
yang yang membahas suatu masalah dengan cara membandingkan
antara ayat dengan ayat atau antar ayat dengan hadis baik dari segi isi
maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama‟ tafsir
dengan menonojolkan segi perbedaan tertentu dari obyek yang
dibandingkan.45 Macam-macam Metode Muqāran ini menjadi tiga
bagian yaitu:
 Perbandingan ayat al-Qur‟an dengan ayat lain yang memiliki
persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang
berbeda, atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah
atau kasus yang (diduga) sama. Pertentangan makna di antara ayat-
ayat al-Quran dibahas dalam ilmu al-nasikh wa al-mansukh.
Dalam mengadakan perbandingan ayat dengan ayat yang berbeda
redaksi di atas ditempuh beberapa langkah: (1) menginventarisasi ayat-
ayat al-Quran yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang
sama atau yang sama dalam kasus berbeda, (2) mengelompokkan ayat-
ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksi, (3) meneliti
setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan
kasuskasus yang dibicarakan ayat bersangkutan, dan (4) melakukan
perbandingan.
 Perbedaan-perbedaan redaksi yang menyebabkan adanya nuansa
perbedaan seringkali disebabkan perbedaan konteks pembicaraan ayat
dan konteks turunnya ayat bersangkutan. Karena itu, ilmu al-
munasabah dan „ilm asbāb al-nuzūl sangat membantu melakukan al-
tafsir al- muqāran dalam hal perbedaan ayat tertentu dengan ayat lain.
Namun, esensi nilainya pada dasarnya tidak berbeda Perbandingan
ayat al-Qur‟an dengan Hadits. Dalam melakukan perbandingan ayat
45. Louis Ma’luf. Al-Munjid Fil Lughoh. Beirut, 2002. Hal. 21

70
al-Qur‟an dengan hadits yang terkesan berbeda atau bertentangan ini,
langkah pertama yang harus ditempuh adalah menentukan nilai hadits
yang akan diperbandingkan dengan ayat al-Qur‟an. Hadits itu
haruslah shahih. Hadits dhaif tidak diperbandingkan, karena
disamping nilai otentitasnya rendah, dia justru semakin bertolak.
karena pertentangannya dengan ayat al-Qur‟an. Setelah itu mufassir
melakukan analisis terhadap latarbelakang terjadinya perbedaan atau
pertentangan antara keduanya.46
 Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lain33 Mufassir
membandingkan penafsiran ulama‟ tafsir, baik ulama‟ salaf maupun
khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an, baik yang bersifat
manqūl (pengutipan) maupun yang bersifat ra‟yu (pemikiran). Dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an tertentu ditemukan adanya
perbedaan di antara ulama‟ tafsir. Perbedaan itu terjadi karena
perbedaan hasil ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan dan sudut
pandang masing-masing. Sedangkan dalam hal perbedaan penafsiran
mufassir yang satu dengan yang lain, mufassir berusaha mencari,
menggali, menemukan dan mencari titik temu di antara perbedaan-
perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat
setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Contoh-contoh Kitab Tafsir dengan metode muqaran ialah Durrat
al-Tanzīl wa Qurrat al-Takwīl (Mutiara al-Qur‟an dan Kesejukan al-
Takwīl), karya al-Khātib al-Iskāfi, Al-Burhān fī Tajwih Mutasyabih
al-Qur‟an (Bukti Kebenaran dalam Pengarahan Ayat-ayat Mutasyabih
al-Qur‟an), karangan Tāj al-Qara‟ al-Kirmāni.47

4. Metode Mauḍū’i
Metode mauḍū‟i ialah metode yang membahas ayat-ayat al-
Qur‟an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua
ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan
tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbāb al-

46. Abdr.Kholid. Usulut Tafsir wa Qowaiduhu. 1994. Hal. 54


47. Muhammad Husain, At-tafsir Wal mufassirun. 1967. Hal. 58

71
nuzūl, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan
tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari
al-Qur‟an, hadis, maupun pemikiran rasional.
Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur‟an tidak dilakukan ayat demi
ayat, melainkan mengkaji al-Qur‟an dengan mengambil sebuah tema
khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis
yang dibahas oleh alQur‟an. Prinsip utama dari metode tematik adalah
mengangkat isu-isu doktrinal kehidupan, isu sosial ataupun tentang
kosmos untuk dikaji dengan teori alQur‟an, sebagai upaya menemukan
jawaban dari al-Qur‟an terkait tema tersebut. Dari pengertian di atas,
akan timbul dua pemahaman terkait metode mauḍū‟i. Pertama,
penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur‟an dengan
menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema
ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan
tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai
masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua,
penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang
dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur‟an
dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian
menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik
petunjuk al-Qur‟an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
Menurut al-Farmawiy metode mauḍū‟i ada dua bentuk penyajian
yaitu:
 Mauḍū‟i Surat yaitu menjelaskan suatu surah secara
keseluruhan dengan menjelaskan isi kandungan surah tersebut,
baik yang bersifat umum atau khusus dan menjelaskan
keterkaitan antara tema yang satu dengan yang lainnya,
sehingga surah itu nampak merupakan suatu pembahasan yang
sangat kokoh dan cermat. Langkah-langkah Mauḍū‟i yang
ditempuh untuk menentukan metode mauḍū‟i surat, Muṣṭafā
Muslim mengklasifikasikan menjadi empat langkah yaitu: a)

72
Pengenalan nama surat, b) Deskripsi tujuan surat dalam al-
Qur‟an, c) Pembagian surat ke dalam beberapa bagian, dan d)
Penyatuan tema-tema ke dalam tema utama.
Contoh kitab tafsir dengan metode ini adalah karya Syaikh
Mahmud Syaltut (Tafsīr al-Qur‟an al-Karīm), karya
Muhammad al-Ghazali (Naḥwa Tafsīr al-Mauḍū‟i li suwar
alQur‟an al-karīm), dan Karya al-Husaini Abu Farhah (al-
Futūḥāt al-Rabbāniyyah fī al-Tafsīr alMauḍū‟i li al-āyāt al-
Qur‟āniyyah). Mauḍū‟i atau Tematik Metode kedua ini
menghimpun pesan-pesan al-Qur‟an yang terdapat tidak hanya
pada satu surat saja. Tafsir dengan metode mauḍū‟i ialah
menjelaskan konsep al-Qur‟an tentang suatu masalah/tema
tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat alQur‟an yang
membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat
tersebut di kaji secara komprehensif, mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbāb al-nuzūl-nya,
munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para mufassir
tentangr makna masing-masing ayat secara par sial, serta
aspek-aspek lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat
tersebut dipandang sebagai satu kesatuan yang integral
membicarakan suatu tema (mauḍū‟i) tertentu didukung oleh
berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasioanal.
Langkah-langkah Mauḍū‟i atau Tematik Langkah-langkah
yang ditempuh dalam metode yang kedua ini adalah, Memilih
atau menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara
tematik, Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan
dengan masalah yang ditetapkan, ayat makiyyah dan
madaniyyah, Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut
menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan
mengenai latarbelakang turunnya ayat atau asbāb al-nuzūl,
Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam
masingmasing suratnya, Menyusun tema bahasan di dalam

73
kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh (outline),
Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila
dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin
sempurna dan semakin jelas, dan Mempelajari ayat-ayat
tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara
menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
mengkompromikan antara pengertian yang „ām dan khāṣ,
antara yang muṭlaq dan yang muqayyad, mengsinkronkan ayat-
ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat yang
nāsikh dan mansūkh, sehingga semua ayat tersebut bertemu
pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau
tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-
maknab yang sebenarnya tidak tepat.
Contoh-contoh Kitab Tafsir dengan metode mauḍū‟i atau
tematik yaitu, Karya Syeikh Mahmud Syaltut ‫كتاَب مه هدىَ القرأن‬,
Karya Ustadz Abbas Mahmud al-„Aqqad ‫المرأج في القرأن‬, Karya
Ustadz Abu al-A‟la al-Maududy ‫الرتاَ فبي القبرأن‬, Karya Ustadz
Muhammad Abu zahrah ( )‫العقيببدج فببي القببرأن‬, dan Karya Dr.
Ahmad kamal Mahdy ‫آياَخ القسم في القرأن‬

C. Corak Tafsir
Dalam bahasa Indonesia kosa kata corak menunjuk berbagai
konotasi antara lain bunga atau gambar-gambar pada kain, anyaman dan
sebagainya. Dalam kamus Indonesia Arab, kosakata corak diartikan
dengan ‫( لون‬warna) dan ‫( شكل‬bentuk). Menurut Nashruddin Baidan corak
tafsir adalah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide
tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Dari sini disimpulkan
bahwa corak tafsir adalah ragam, jenis dan kekhasan suatu tafsir.48 Dalam
pengertian yang lebih luas adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai
sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual
seseorang mufassir, ketika menjelaskan maksud-maksud dari al-Qur‟an.

48. John Hayes, Pedoman Penafsiran Al-Kitab. Jakarta, 1993. Hal. 135

74
Penggolongan suatu tafsir pada suatu corak tertentu bukan berarti hanya
memiliki satu ciri khas saja, melainkan setiap mufassir menulis sebuah
kitab tafsir sebenarnya telah banyak menggunakan corak dalam hasil
karyanya, namun tetap saja ada corak yang dominan dari kitab tafsirnya,
sehingga corak yang dominan inilah yang menjadi dasar penggolongan
tafsir tersebut. Para ulama‟ tafsir mengklasifikasikan beberapa corak
penafsiran al-Qur‟an antara lain adalah:
1.) Corak Sufi Penafsiran yang dilakukan oleh para sufi pada umumnya
diungkapkan dengan bahasa mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak
dapat dipahami kecuali orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk
menghayati ajaran taṣawuf. Corak ini ada dua macam yaitu:
a. Taṣawuf Teoritis, Aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-
Qur‟an berdasarkan teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran-
ajaran orang-orang sufi. Penafsir berusaha maksimal untuk
menemukan ayat-ayat al-Qur‟an tersebut, faktor-faktor yang
mendukung teori, sehingga tampak berlebihan dan keluar dari
dhahir yang dimaksudkan syara‟ dan didukung oleh kajian bahasa.
Penafsiran demikian ditolak dan sangat sedikit jumlahnya. Karya-
karya corak ini terdapat pada ayat-ayat al-Qur‟an secara acak yang
dinisbatkan kepada Ibnu Arabi dalam kitab al-futuhat makkiyah
dan al-Fushuh.
b. Taṣawuf Praktis, yang dimaksud dengan taṣawuf praktis adalah
tasawuf yang mempraktekan gaya hidup sengsara, zuhud dan
meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah. Para tokoh aliran ini
menamakan tafsir mereka dengan al-Tafsir al-Isyari yaitu
menta‟wilkan ayat-ayat, berbeda dengan arti dhahir-nya berdasar
isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh para
pemimpin suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti
dhahir yang dimaksudkan. Di antara kitab tafsir tasawuf praktis ini
adalah Tafsīr al-Qur‟anul Karīm oleh Tusturi dan Haqāiq al-Tafsīr
oleh al-Sulami.

75
2.) Corak Falsafi, adalah cara penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an dengan
menggunakan teori-teori filsafat. Penafsiran ini berupaya
mengompromikan atau mencari titik temu antara filsafat dan agama
serta berusaha menyingkirkan segala pertentangan di antara keduanya.
Di antara ulama yang gigih menolak para filosof adalah Hujjah al-
Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang mengarang kitab al-Isyarat
dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka. 49 Tokoh yang juga
menolask filsafat adalah Imam Fakhr Ad-Din Ar-Razi, yang menulis
sebuah kitab tafsir untuk menolak paham mereka kemudian diberi
judul Mafātiḥ al-Gaib. Kedua, kelompok yang menerima filsafat
bahkan mengaguminya. Menurut mereka, selama filsafat tidak
bertentangan dengan agama Islam, maka tidak ada larangan untuk
menerimanya. ulama yang membela pemikiran filsafat adalah adalah
Ibn Rusyd yang menulis pembelaannya terhadap filsafat dalam
bukunya at-Taḥāfut at-Taḥāfut, sebagai sanggahan terhadap karya
Imam al-Ghazali yang berjudul Taḥāfut alFalāsifah.
3.) Corak Fiqih atau Hukum yaitu akibat perkembangannya ilmu fiqih,
dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan
berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan
penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. Salah satu
kitab tafsir fiqhi adalah kitab Ahkām al-Qur‟an karangan al-Jasshash.
4.) Corak Sastra adalah tafsir yang didalamnya menggunakan kaidah-
kaidah linguistik. Corak ini timbul akibat timbul akibat banyaknya
orang non-Arab yang memeluk Agama Islam serta akibat kelemahan
orang Arab sendiri dibidang sastra yang membutuhkan penjelasan
terhadap artikandungan Al-Qur‟an dibidang ini. Corak tafsir ini pada
masa klasik diwakili oleh Zamakhsyari dengan Tafsirnya al-Kasyāf.
5.) Corak Ilmiy Tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan
pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum dari temuan-temuan ilmiah
yang didasarkan pada al-Qur‟an. Banyak pendapat yang menyatakan
bahwa al-Qur‟an memuat seluruh ilmu pengetahuan secara global.

49. Muhammad Husain, At-tafsir Wal mufassirun. 1967. Hal. 73

76
Salah satu contoh kitab tafsir yang bercorak Ilmiy adalah kitab Tafsīr
al-Jawāhir, karya Tanṭawi Jauhari.
6.) Corak al-Adāb al-Ijtimā‟i Tafsir yang menekankan pembahasannya
pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Dari segi sumber
penafsirannya tafsir becorak al-Adāb alIjtimā‟i ini termasuk Tafsīr bi
al-Ra‟yi. Namun ada juga sebagian ulama yang mengategorikannya
sebagai tafsir campuran, karena presentase atsar dan akat sebagai
sumber penafsiran dilihatnya seimbang. Salah satu contoh tafsir yang
bercorak demikian ini adalah Tafsīr al-Manar, buah pikiran Syeikh
Muhammad Abduh yang dibukukan oleh Muhammad Rasyid Ridha.

77
‫الباب الثانى‬
(PENUTUPAN)
A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas pemakalah dapat menyimpulkan bahwa
secara umum maksud kata tafsir adalah usaha untuk memperjelas dan
memahami teks dan makna al-Qur’an dengan menjelaskan bahwa tafsir
sebagai ilmu yang membahas tata cara mengucapkan lafadz al-Qur’an,
menggali maknanya, memahami hukum, dan kontekstualnya, yang
dikandung oleh struktur kalimat, serta ilmu penunjang lainnya. metode
tafsir adalah cara yang ditempuh penafsir dalam menafsirkan al-Qur‟an
berdasarkan aturan dan tatanan yang konsisten dari awal hingga akhir.
Ulama‟-ulama‟ mengklasifikasikan metode-metode penafsiran al-Qur‟an
menjadi empat yaitu metode Tahilli, Maudhu’I, Ijmali, dan Muqaran.

KELOMPOK 6

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits adalah segala perkataan dan perbuatan nabi Muhammad
SAW dan hal ihwalnya. Hadits sebagai hukum islam yang kedua setelah
al-qur’an, sebab hadits mempunyai posisi sebagai penjelas, karena hadits
merupakan sumber hukum islam maka umat islam hendaknya
mempelajarinya.
Dengan meyakini dan mengamalkannya akan membawa kepada
keridhoan Allah SWT. Bahwasannya umat islam dianjurkan untuk iqra’
(bacalah) supaya pengetahuannya bertambah, maka dari itu sebagai umat
islam harus belajar memahami dan mengetahui isi kandungan hadits dari
Rasulullah SAW serta mengamalkannya kepada generasi-generasinya,
karena dengan mempelajarinya akan melestarikan hadits dari Rasulullah
SAW.

78
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hadits?
2. Apa istilah-istilah dalam hadits?
3. Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kualitasnya?
4. Apa saja fungsi hadits terhadap Al-Qur’an?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui dan memahami pengertian hadits
2. Mengetahui istilah-istilah dalam hadits
3. Mengetahui pembagian hadits ditinjau dari segi kualitasnya
4. Mengetahui fungsi hadits terhadap Al-Qur’an

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits
Menurut ahli Bahasa, Al-Hadits adalah al-jadid (baru), al-khabar
(berita), dan al-qarib (dekat). Dalam mengartikan al-hadits para
muhadditsin berbeda pendapat, terdapat dua pendapat yakni definisi al-
hadits secara sempit dan luas.
1. Secara sempit

‫ما اضيف ال اللنبّ صلل ال عليه و سللمّ من قول او فعل او تقرير او‬

‫صفة‬ Artinya :
“ sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW,
baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat.”
2. Secara luas
Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad, sahabat, tabi’in baik berupa perkataan, perbuatan,
pernyataan, sifat maupun keadaan.

79
Hadits juga sering disebut dengan al-khabar yang berarti berita,
yaitu sesuatu yang dipercayakan dan dipindahkan dari seseorang kepada
orang lain, sama maknanya dengan hadits. Hadits dengan pengertian
khabar sebagaimana diatas dapat dilihat pada beberapa ayat al-Qur’an,
seperti QS. Al-Thur (52):34, QS. Al-Kahfi (18): 6 dan QS. Ad-Dhuha
(93): 11. Sedangkan menurut istilah (terminology), para ahli juga
memberikan definisi yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang
disiplin ilmunya. 50

Menurut ahli hadits, pengertian hadits ialah:

‫اقوال اللنبّ صلل ال عليه وسللمّ و افعاله واحواله‬

“Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”

Yang dimaksud dengan “hal ihwal” ialah segala yang diriwayatkan


dari Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah
kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya. Sebagian muhadditsin
berpendapat bahwa pengertian hadis diatas merupakan pengertian yang
sempit, menurutnya hadits mempunyai cakupan pengertian yang lebih
luas , tidak terbatas apa yang disandarkan kepada nabi SAW (hadits
marfu’) saja melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para
sahabat (hadits mauquf), dan tabi’in (hadits maqhtu).

Sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadits adalah:

‫أقواله وأفعاله وتقريراته الت تثبت الحكام و تقلررّها‬

“Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang


berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.” Berdasarkan
pengertian hadits menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadits adalah segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik ucapan, perbuatan maupun

50 Munzier Suparta, Ilmu hadis, Rajawali pers, Jakarta, 2016, hlm. 1-2.

80
ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan
Allah yang disyariatkan kepada manusia.51

B. Istilah-istilah Hadits
Hadis memiliki padanan kata atau muradif yang beragam
dengannya. Istilah-istilah yang dianggap kaum muhadditsin yaitu Sunnah,
Khabar dan Atsar. Secara umum ketiga istilah itu dipakai untuk maksud
yang sama yaitu hal-hal yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan,taqrir
dan hal ihwal Nabi Muhammad. Namun dalam perkembangan selanjutnya,
diantara ketiga istilah itu memang memiliki makna yang sedikit berbeda.
(pengantar ilmu hadis).
a. Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti “jalan atau jalan yang dijalani”baik
jalan itu terpuji atau tidak. Sesuatu yang sudah tradisi atau menjadi
kebiasaan dinamai sunnah, walaupun tidak baik. (memahami ilmu hadis).
Arti sunnah ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang
mengatakan “ Barang siapa yang membawa sunnah (jalan) kebaikan
dalam islam, baginya pahala sunnah itu dan pahala dari orang yang
mengikuti sesudahnya tanpa berkurang pahala sdikitpun. Dan barang
siapa yang membuat sunnah (jalan) buruk dalam islam (tidak sesuai
dengan syari’at agama), maka baginya dosa sunnah itu dan dosa dari
orang yang mengikuti sunnahnya sesudahnya tanpa berkurang dosanya
sedikitpun.” Dilihat dari konteks ini, sumber sunnah tidak hanya oleh
Nabi. Siapa saja dapat membuat sunnah. Sunnah akan mulai tampak
perbedaannya ketika ia disandingkan dengsn kata Rasulillah, sehingga
menjadi sunnah rasulullah.
Berkaitan dengan persoalan diatas wajar kalau kemudian muncul
suatu anggapan bahwa salah satu kegagalan umat islam mutaakhirin dalam
merespons perkembangan kekinian adalah, dimatikannya sunnah dalam
terminology umum. Masyarakat hanya membatasi pengertian sunnah
sebagai hanya bersumber dari Nabi. Sunnah seharusnya bukan hanya
bersumber dari Nabi Muhammad saja, tetapi siapapun dapat membuatnya.

51 Munzier Suparta, Ilmu hadis, Rajawali pers, Jakarta, 2016, hlm. 2-3.

81
Memang harus diakui bahwa kecenderungan yang berkembang saat ini
adalah bahwa sunnah sama dengan hadis. (pengantar ilmu hadis)
Sunnah menurut muhaditsin ialah : segala sesuatu yang dinukilkan
dari Nabi SAW, baik berupa perkataaan, perbuatan, maupun berupa taqrir,
pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu
sebelum Nabi SAW, maupun sesudahnya. (memahami ilmu hadis)

Lain halnya menurut Dr. Subhi Shalih, ia membedakan antara


hadits dan sunnah. Hadis ialah segala peristiwa yang disandarkan kepada
Nabi SAW walaupun sekali atau dua kali beliau melakukannya sepanjang
hidupnya, dan walau satu orang saja yang meriwayatkannya. Sedangkan
sunnah ialah sesuatu yang dilakukan oleh Nabi tidak sekali – dua kali,
tetapi dilakukan terus menerus dan dinukilkan keapada kita dari zaman ke
zaman dari jalan mutawatir.52

b. Khabar
Khabar dari segi bahasa berarti berita yang benar. Kata ini
merupakan lawan dari insya. Insya berarti suatu berita yang mengandung
kemungkinan benar dan dusta. Menurut ahli hadis, makna Khabar hampir
sama dengan Atsar dan Hadis. Perbedaanya terletak hanya dari sisi
pengertian istilah ulama hadis yang membatasi khabar hanya bersumber
dari sahabat dan Nabi, tidak sampai pada tabi’in. tetapi ulama muhaditsun
yang berasal dari Khurasan mengkhususkan arti Atsar dengan apa-apa
yang dating dari nabi sahabat saja (mauquf) dan Khabar sebagai berasal
dari Nabi (marfu’) saja.(pengantar ilmu hadis). Selain itu pula orang yang
meriwayatkan hadits dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan
sejarah dinamakan akhbary. Oleh karenanya, menurut mereka khabar
berbeda dengan hadis. (memahami ilmu hadis )

c. Atsar
Atsar dari segi bahasa berarti “bekas sesuatu”, “sisa sesuatu”, “sisa
waktu” atau “sesuatu yang dinukilkan”. Dari segi istilah atsar berarti
52Aminuddin, dkk, pendidikan agama islam, Ghalia Indonesia, Bogor, 2014, hlm. 56-58.

82
segala ucapan, perbuatan, taqrir dan hal ihwal tentang Nabi, sahabat dan
tabi’in. Atsar cakupannya lebih luas. Sumber rujukan atsar tidak terbatas
hanya pada nabi, tetapi sahabat dan tabi’in.
C. kualitas hadits
Ditinjau dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua, yaitu hadits maqbul dan
hadits mardud.
1. Hadits Maqbul
Maqbul menurut Bahasa berarti ma’khuz (yang diambil) dan
mushaddaq (yang dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut
istilah adalah:

‫ت فليله قل‬
‫جويبع بشبروولط الوققبببوولل‬ ‫مقاتقبقوا فقبقر و و‬
“Hadits yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan.”
Syarat-syarat penerimaan suatu hadits menjadi hadits yang maqbul
berkaitan dengan sanadnya, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan
oleh rawi yang adil lagi dhabith, dan juga berkaitan dengan matannya
tidak syadz dan tidak ber’illat. Hadits maqbul dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu hadits shahih dan hasan. Lebih rincinya akan
dijelaskan berikut ini.53
a) Hadits Shahih
1. Pengertian Hadits Shahih
Yang dimaksud dengan hadits shahih menurut muhadditsin,
ialah

‫غيببر بمقعللل قولق شاقذذ‬ ‫ل‬ ‫ماق نقبقلبه عودلل قتا م ال ل ل ل‬


‫ضوبط بمتلصبل اللسنقد قو‬ ‫بق‬
“Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber’illat dan tidak
janggal.”
2. Syarat-syarat Hadits Shahih
A. Sanadnya bersambung
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rangkaian
para perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai
kepada pertama (para sahabat) yang menerima hadits

53Munzier Suparta, Ilmu hadis, Rajawali pers, Jakarta, 2016, hlm. 124-126

83
langsung dari Nabi SAW, bersambung dalam
periwayatan.
B. Perawinya adil
Dengan demikian, maka yang dimaksudkan dengan
perawi dalam periwayatan sanad hadits adalah bahwa
semua perawinya, disamping harus Island an baligh,
juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Senantiasa melaksanakan segala perintah agama dan
meninggalkan semua larangannya.
b. Senantiasa menjauhi perbuatan-perbuatan dosa
kecil.
c. Senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang
dapat menodai muru’ah, yakni suatu sikap kehati-
hatian dari melakukan perbuatan yang sia-sia atau
perbuatan dosa.
C. Perawinya Dhabith
Kata ‘dhabith’ menurut bhasa adalah yang kokoh,
yang kuat, yang hafal dengan sempurna. Seorang
perawi dikatakan dhabit apabila perawi tersebut
mempunyai daya ingatan dengan sempurna terhadap
hadits yang diriwayatkannya.54
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, perawi yang
dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap
apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu
menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala
diperlukan.
Adapun sifat-sifat kedhabitan perawi, menurut para
ulama dapat diketahui melaluyi
1. Kesaksian para ulama;
2. berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan
riwayat dari orang lain yang telah dikenal
kedhabitannya.
D. Tidak syadz (Janggal)

54 Munzier Suparta, Ilmu hadis, Rajawali pers, Jakarta, 2016, hlm. 126-132

84
Maksud syadz disini adalah hadits yang
bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau
lebih tsiqqoh, pengertian ini yang dipegang oleh As-
Syafi’i dan diikuti oleh kebanyakan para ulama lainnya.
Melihat pengertian syadz diatas dapat dipahami,
bahwa hadits yang tidak syadz adalah hadits yang
matannya tidak bertentangan dengan hadits lain yang
lebih kuat atau lebih tsiqqoh.
E. Tidak ber’illat
Ialah hadits-hadits yang didalamnya tidak terdapat
kesamaran atau keragu-raguan. Illat hadits dapat terjadi
baik pada sanad maupun pada matan atau pada
keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, illat
yang paling banyak, terjadi pada sanad.

3. Macam-macam Hadits Shahih


a. Shahih li dzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat
atau sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna.
b. Shahih li ghairihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara
sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadis
maqbul.55
Hal itu bisa terjadi karena ada beberapa hal
,misalnya perawinya sudah diketahui adil tapi dari sisi
kedhabitannya dinilai kurang . hadits ini menjadi shahih
karena ada hadits lain yang sama atau sepadan (redaksinya)
diriwayatkan melalui jalur lain yang setingkat atau lebih
sahih.
b) Hadits Hasan
1. Pengertian Hadits Hasan
Menurut Ibnu Hajar hadits hasan adalah hadits yang telah
memenuhi lima persyaratan hadits sahih sebagaimana disebutkan
terdahulu , hanya saja bedanya pada hadis hasan daya ingatan

55Munzier Suparta, Ilmu hadis, Rajawali pers, Jakarta, 2016, hlm. 133-134

85
perawinya kurang sempurna. Dengan kata lain, dapat disebutkan
bahwa hadits hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi tidak begitu kuat daya
ingatnya, bersambungnya sanad, dan tidak terdapat “illat serta
kejanggalan pada matannya. Dengan demikian, hadis hasan ini
menempati posisi diantara hadis sahih dan hadits dha’if.
2. Syarat-syarat Hadits Hasan
a. Sanadnya bersambung
b. perawinya adil
c. perawinya dhabith, tetapi kualitas ke dhabitannya dibawah
kedhabitan perawi hadits
d. tidak terdapat kejanggalan atau syadzkan
e. Tidak berillat
3. Macam-macam Hadits Hasan
a. Hadits Hasan lidzatihi
Hadits hasan lidzatihi adalah hadits yang sanadnya
bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabith, meskipun
tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada
keganjilan (syadz) dan cacat (illat) yang merusak. Hadits hasan
lidzatihi ini bisa baik derajatnya menjadi hadits shahih
lighairihi bila ada hadits lain yang sejenis diriwayatkan melalui
jalur sanad yang lain.56
b. Hasan li ghairihi
Hasan li ghairihi ini terjadi dari hadits dhaif jika banyak
periwayatannya, sementara para perawinya tidak diketahui
keahliannya dalam meriwayatkan hadits, akan tetapi tidak
sampai kepada derajat fasiq atau tertuduh suka berbohong atau
sifat-sifat jelek lainnya.
2. Hadits Mardud
Mardud menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang
“tidak diterima”. Sedangkan menurut istilah ialah:
‫فقبوقبد تلك الشروط او بعضها‬
“Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat
hadits maqbul.”
a) Hadits Dha’if
56 Munzier Suparta, Ilmu hadis, Rajawali pers, Jakarta, 2016, hlm. 141-146

86
1. Pengertian Hadits Dhaif
Kata dha’if menurut bahasa berarti lemah. Secara istilah
ialah
‫ما فقد شرطا أو اكثر من شروط الصحيح أو السن‬
“Hadits yang hilang satu syarat atau lebih dari syarat-
syarat hadits shahih atau hadits hasan.”
2. Sebab-sebab Hadits Dhaif Tertolak
Para ahli hadits mengemukakan sebab-sebab tertolaknya
hadits dari dua jurusan, yaitu:
a. Sanad Hadits
Dari sisi sanad hadis ini diperinci kedalam dua bagian:
1. Ada kecacatan pada perawinya baikmeliputi keadilanya
maupu kedhabitannya, yag diuraikan 10 macam:
a) Dusta, hadits yag rawinya dusta disebut maudhu’
b) Tertuduh dusta. Hadits yag rawinya tertuduh dusta disebut
matruk
c) Fasiq
d) Banyak salah
e) Lengah dalam menghafal, hadits ya disebut mukar
f) Banyak wahamnya (purbasangka), hadits nya disebut
mu’allal57
g) Menyalahi riwayat yang leih tsiqqoh atau dipercaya,
haditsnya diseut mudraj bila ada penambahan suatu sisipan,
disebut maqlub bila diputarbalikkan, disebut mudhtharib bila
rawinya yang tertukar-tukar, disebut muhharaf bila yang
tertukar adalah huruf-syakal, disebut hadits mushahhaf bila
perubahan itu meliputi titik kata.
h) tidak diketahui identitasnya, hadist nya disebut mubham
i) Penganut bid’ah, hadits nya disebut hadits mardud
j) Tidak baik hafalannya, hadits nya disebut hadits syadz dan
mukhtalith.
2. Sanadnya tidak bersambung
a) Gugur pada sanad pertama, hadits nya disebut hadits
mu’allaq
b) Gugur pada sanad terakhir (sahabat), hadistnya disebut
hadits mursal

57 Munzier Suparta, Ilmu hadis, Rajawali pers, Jakarta, 2016, hlm. 125-161.

87
c) Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan,
hadistnya disebut hadits mudhal
d) Jika rawi yang digugurkan tidak berturut-turut disebut
hadits munqhati.’
b. Matan Hadits
1) Hadits Mauquf
2) Hadits Maqhtu

3. Macam-macam hadis dha’if


a. Pada sanad
1. Dha’if karena tidak bersambung sanadnya
a) Hadits Munqathi
b) Hadits Mu’allaq
c) Hadits Mursal
d) Hadits Mu’dhal
e) Hadits Mudallas
2. Dha’if karena tiadanya syarat adil
a) Hadits Maudhu
b) Hadits Matruk dan Munkar
3. Dha’if karena tiadanya dhabith
a) Hadits Mudraj
b) Hadits Maqlub
c) Hadits Mudhtharib
d) Hadits mushahhaf dan muharraf
4. Dha’if karena kejanggalan dan Kecacatan
a) Hadits Syadz
b) Hadits Mu’allal
b. Dhaif dari segi matan
1) Hadits Maudhu
2) Hadits Maqhtu

D. Fungsi hadis terhadap al-Qur’an


1. Bayan at-Taqrir
Bayan at-taqrir disebut juga dengan bayan at-ta’kid dan bayan at-
itsbat. Maksudnya ialah berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-
hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur’an.
Contoh:
Rasulullah SAW bersabda “ tidak diterima shalat seseorang yang
berhadats sebelum ia berwudhu.”58
Hadits ini mentaqrir ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 6:

58 Asep Herdi, memahami ilmu hadits, tafakur, Bandung, 2014, hlm. 3-6

88
‫صب بقلب بلة ب فبقبا وغ بلس بلببوا بوبجببوقه ببك بومّ ب قوأقبيوبلد بيقببك بومّ ب إلبقلب ب‬ ‫يبقبا أقبيب بقهببا ا بلبلذببي قن ب آ قم بنببوا إلبقذببا قببوم بتببومّ ب إلبقلب ب ال ل‬
‫ا لوبم برا فلب ب بلق ب وا وم بسب ب ببح بوا بلبرءببولسب ب ببك بمّ ب وأقبورّبجبلقببكب ب بمّ ب إلبقلب ب ب ب ا لوبقك بوعبببق ب و ل‬
‫يب ب ب ب ن قوإلبون ب بك بون بتبب ب بومّ ب بج بنببببب ب ببا‬ ‫و‬ ‫و ق‬ ‫بب‬ ‫ق ق‬ ‫قق‬
‫ض بىى ب أقبوو ب قع بلقب بىى ب قسب بقف بلر ب أقبوو ب قج ببا ءقب أقبقحب بلد ب لم بون ببكب بومّ ب لمب بقن ب ا لوبغقببا ئلبلطب‬ ‫فبقبا طبلبلهب ببروا ن قوإلبون ب بك بون بتببومّ ب قم بور ق‬
‫صب ب ب بعلببي بدببا طقبيب بببب ب ببا فبقبا وم بقسب ب ب ببحبوا‬ ‫ل‬
‫أقبوو ب قلب بقم بوسب ب ب بتبببمّ ب ال نبي بقس ب ب ببا ءقب فق بلقب ب ب بومّ ب قتب ب ب ب ببد بوا قم ب ب ببا ءبب فقببتق بيقبلمب ببمب ب ب بوا ق‬
‫بلببوبجب ببوله ببك بومّ ب قوأقبيوب بلدببي بك بومّ ب لم بون ب بهبب ن قمب ببا يببلريب ببد ب ال بل ب بهبب للبيقبوج بقع ب بقل ب قع بلقبوي ببك ب بومّ ب لم ب بون ب قحب بقرلج ب قو ىلبق بلكب بونب‬
‫يببلري بد ب للبيببطقبيهب بقربك بومّ ب قوللبيببتلبلمّب ب نلبوع بقم بتقبهبب قع بلقبوي ببك بومّ ب لقبقع ب بل ببك بومّ ب تقبوش ببك ببروقن ب‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.”
2. Bayan at-tafsir
Bayan at-tafsir adalah memberikan rincian dan tafsiran terhadap
ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan persyaratan ayat-
ayat al-Qur’an yang masih mutlak, dan memberikan penentuan khusus
ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum. Di dalam al-Qur’an tidak
dijelaskan jumlah dan bagaimana cara-cara melaksanakan shalat, tidak
diperinci nishab-nishab zakat dan juga tidak dipaparkan cara-cara
melakukan ibadah haji. Akan tetapi hal itu telah ditafshil (dijelaskan
seacara terperinci) dan ditafsirkan secara jelas-jelasnya oleh hadis
(kebanyakan dalam hal ini, Nabi memberikan contoh secara praktis dan

89
diikuti dengan perintah agar hal itu dijalankan seperti apa yang telah
dijalankan oleh Nabi sendiri).59
Al-Qur’an mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak,
dalam surat al-Ma’idah ayat 3:

‫ت ب قع بلقبوي ببكب ب ب ببمّ ب ا لوبقم بوي بتقب ب ب بةبب قوا ل ب ب بلدب ببم ب قوقلو ب ب ب ببمّ ب ا وللب بون بلزي ب ب بلر ب قوقمب ب ببا أببلهب ب ب بللب ب للبغقب ولي ب ب ب ب ال لب ب ب بله ب ببل ب ب بلهب‬
‫بح بيرقمب ب ب ب و‬
‫قوا لوببم بون بقخ بنلبق بةبب قوا لوبقم بووقبببوقذ بةبب قوا لوببمببتق بقريدب بيقبةبب قوال نبل بلطببي قح بةبب قوقمببا أقبقك بقل ب ال لس ب بببببع ب إلبللب ب قم ببا ذقلكب بوي بتبب بومّب‬
‫سب‬ ‫ب‬ ‫ب ب وأقبون ب تقبسببتق بوق بلس بم بوا بلببا ولقب بوزقلب بلم ب ۚ ىقذب بللببكب بمّ ب فلبسب بق ب ۗ ا لوببي ب بوم ب ي بئل‬
‫ب‬ ‫وقمببا ذبببلبح ب قع بلقببى ال نبي ب ب ل‬
‫و و ل قوق ق ق‬ ‫ب‬ ‫و‬ ‫صب ق‬ ‫ق‬ ‫ق‬
‫ل‬ ‫ل لل‬ ‫ل‬
‫ت ب لقببكب ب بومّب‬ ‫ا بلب ب بذببي قن ب قك بقفب ب ببروا مب ب بون ب دببي ن ببكب ب بومّ ب فقبقلب ب قتوب بقش ب ب بووبه بومّ ب قوا وخ بقشب ب بوون ب ۚ ا لوببيق ب ب بووقم ب أقبوك بقم بولب ب ب ب‬
‫ت ب لقببكب ببمّ ب ا وللب بوسب بقلب بقم ب لدببي نب ببا ۚ فقبقمب بلن ب ا و‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫ضب بطببلرب ب‬ ‫ت ب قع بلقبوي ببكب بومّ ب ن بوع بقمبلت ب ب قوقرّضب ببي ب‬ ‫دببي نقببكب بومّ ب قوأقبوتبق بومب ب ب‬
‫ف ب لللب ب ولثب ب ۙ فقبلإ بلنب ب ال بل بهقب قغ ببفببولرّ ب قرّلحببي لمّ ب‬ ‫لفب ب قموب بم بص بلة ب قغب وبي بر ب م بتقبجببا نلب ل‬
‫ق ب ق‬ ‫ق ق‬
Artinya:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging


hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali
yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib
dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk
(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada
mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Kemudian hadis mentaqyidkan kemutlakannya dan mentakhsiskan


keharamannya beserta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah
59 Asep Herdi, memahami ilmu hadits, tafakur, Bandung, 2014, hlm. 3-6

90
dengan sabdanya sebagai berikut yang artinya ; “ Tidak boleh bagi kita
dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai
itu ialah ikan tawar dan bangkai belalang, sedangkan dua macam darah
itu ialah hati dan limpa.”

3. Bayan at-Tasyri’
Bayan at-Tasyri’ ialah mewujudka suatu hukum atau ajaran-ajaran
yang tidak didapati dalam al-Qur’an. Bayan ini disebut juga bayan za’id
ala al kitab al-karim. Misalnya larangan berpoligami bagi seorang
terhadap seorang wanita dengan bibiknya, seperti yang disabdakannya:
“ Tidak boleh seseorang mengumpulkan ( memadu ) seorang wanita
dengan bibinya ( saudara perempuan bapaknya ) dan seorang wanita
dengan (wanita saudara ibunya ).” ( H.R. Bukhari dan Muslim)

4. Bayan an-Nasakh
Kata an-Nasakh secara bahasa bermacam-macam arti, bias berarti
al-ibtal (membatalkan), al-ijalah ( menghilangkan) atau at-Tahwil
(memindahkan) atau at-Taqyir (mengubah) menurut pendapat yang
dapat dipegang, dari Ulama Mutaqaddimin bahwa yang disebut bayan
an-Nasakh ialah adanya dalil syara’ (yang dapat menghapuskan
ketentuan yang telah ada), karena datangnya dalil berikutnya. Diantara
contoh hadits yang diajukan oleh para ulama adalah hadis tentang tidak
adanya wasiat bagi ahli waris. Menurut mereka, hadits tersebut
menasakh firman Allah surat al-Baqarah ayat 180 yang artinya;
“ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”60

60 Cecep Sumarna,Yusuf Saefullah, Pengantar Ilmu Hadis, Pustaka Bani Quraisy

91
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut ahli Bahasa, Al-Hadits adalah al-jadid (baru), al-khabar
(berita), dan al-qarib (dekat). Dalam mengartikan al-hadits para
muhadditsin berbeda pendapat, terdapat dua pendapat yakni definisi al-
hadits secara sempit dan luas.
Hadis memiliki padanan kata atau muradif yang beragam
dengannya. Istilah-istilah yang dianggap kaum muhadditsin yaitu
Sunnah, Khabar dan Atsar.
Kualitas hadits terbagi menjadi dua yaitu maqbul dan mardud,
hadis maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits shahih dan hasan
sedangkan hadits mardud ialah hadits dha’if
Fungsi hadits terhadap Al quran diantaranya; Bayan at-taqrir,
bayan at-tafsir, bayan at-tasyri dan bayan an-nasakh.

92

Anda mungkin juga menyukai