Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“SUMBER – SUMBER AJARAN ISLAM”

DOSEN PENGAMPU: IMAM FIKRI, S.H., M.Ag.

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4

KHOIRUNNISA SIBARANI (4223311052)


NADIRA KAYLANA DHUHA (4223311018)
NAZLAH INDRI AGISTIA LUBIS (4223311047)
NAZWAH INDRI AGISTA LUBIS (4223311046)

KELAS: PSPM 22 E
MATA KULIAH: AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS

NEGERI MEDAN

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Sumber – sumber Ajaran Islam” dengan baik dan
tepat waktu. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Agama Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi
para pembaca dan juga bagi penulis khususnya pada materi “Sumber – sumber Ajaran Islam”.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Imam Fikri, S.H., M.Ag. selaku dosen
pengampu yang telah memberikan tugas ini serta mendukung kelancaran penyusunan makalah
ini. Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mendapat dorongan serta bimbingan dari
berbagai pihak. Maka dari itu, kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
ikut berkontribusi menyelesaikan tugas ini.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kami memohon kritik dan saran yang membangun guna perbaikan pembuatan tugas di
kemudian hari. Kami juga berharap semoga makalah ini dapat diterima oleh Bapak Dosen dan
teman semua. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih, semoga dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan bagi pembaca.

Medan, 18 April 2024

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN..................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1

C. Tujuan .................................................................................................................... 2

BAB II: PEMBAHASAN ................................................................................................ 3

A. Al- Qur‟an .................................................................................................... 3

B. As- Sunnah ................................................................................................... 6

C. Ijtihad ......................................................................................................... 14

BAB III: PENUTUP............................................................................................ 18

A. Kesimpulan ................................................................................................ 18

B. Saran ........................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber ajaran Islam yang pokok adalah al-Qur‟an dan hadis. Keduanya
memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam. Walaupun
terdapat perbedaan dari segi penafsiran dan aplikasi, namun setidaknya ulama
sepakat bahwa keduanya harus dijadikan rujukan. Dari keduanya ajaran Islam
diambil dan dijadikan pedoman utama. Oleh karena itu, kajian-kajian terhadapnya
tidak pernah keruh bahkan terus berjalan dan berkembang seiring dengan kebutuhan
umat Islam. Akan tetapi terdapat perbedaan yang mendasar antara al-Qur‟an dan
Hadis. Untuk al-Qur‟an, semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara
mutawatir, sedangkan untuk Hadis sebagian periwayatannya berlangsung secara
mutawatir dan sebagian berlangsung secara ahad.1
Selain itu al-Qur‟an sudah ditulis sejak zaman Rasulullah saw dan dilakukan
oleh sekretaris resmi yang di tugaskan langsung oleh Rasulullah. Sedangkan, secara
keseluruhan hadis belum ditulis di zaman Nabi Muhammad saw, bahkan beliau
dalam suatu kesempatan melarang sahabat yang menulis hadis. Namun, upaya
sahabat dalam menulis hadis sudah ada sejak masa Rasulullah saw. Hadis, yaitu
ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan nabi. Tidak diragukan lagi bahwa nabi adalah
manusia yang paling baik dalam memahami maksud-maksud Kitab suci. Dia dapat
secara tepat menafsirkan ayat-ayat tersebut dan bertindak sesuai dengan apa yang
diperintahkannya. Dia juga seorang petunjuk par excellence bagi umat Islam. Umat
Islam akan datang kepada nabi dan bertanya tentang perbagai persoalan dan mencari
petunjuk di hampir semua masalah. Nabi memberikan petunjuk langsung kepada
mereka, atau menunggu wahyu dari Allah. Ketika dia berkata atau bertindak sesuatu,
hal itu secara hati-hati dicatat dan kata-katanya dihafal untuk disampaikan kepada
orang lain.2

1
Syuhudi Ismail, Perkembangan Pemikiran Hadis, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1994), h. 3
2
Asghar Ali EngineerPembebasan Perempuan, Terj. Agus Nuryanto, (Yogyakarta: LKIS, 2003), h. 26-27

1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana penjelasan tentang Al - Quran?
2. Bagaimana penjelasan tentang As - Sunnah?
3. Bagaimana penjelasan tentang ijtihad?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami luas tentang Al - Quran.


2. Untuk mengetahui dan memahami penjelasan tentang As Sunnah.
3. Untuk mengetahui dan memahami penjelasan tentang ijtihad.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Al – Qur’an
1. Defiinisi Al-Qur’an secara bahasa dan istilah
Al-Qur‟an merupakan sumber dari ajaran Islam pertama sebelum hadis. Secara
etimologi Al-Qur‟an, “qara‟a, yaqra‟u qiraa‟atan atau qur‟anan” yakni sesuatu yang
dibaca atau bacaan. Adapun Al-Qur‟an secara terminologi merupakan kalam Allah Swt
yang telah diturunkan (wahyu) kepada Rasul yang terakhir yaitu Nabi Muhammad saw,
melalui malaikat Jibril, dan membacanya dianggap wajib.

Sedangkan secara istilah Al-Qur‟an adalah Firman Allah yang berlafal bahasa
Arab yang mengandung mukjizat diturunkan kepada Nabi saw yang tertulis di dalam
mushaf, yang ditransmisikan secara mutawatir, dianggap sebagai ibadah bagi yang
membacanya, dan dimulai dari surat al-fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas.3

Syaikh Mahmud Syalfut mendefinisikan Al-Qur‟an yaitu “lafal Arab yang


diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada kita secara
Mutawatir”. Sedangkan menurut Muhammad Shubhi shalih Al-Qur‟an merupakan
“kalam mu‟jiz (memiliki kelebihan khusus) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW tertulis dalam mushaf yang disampaikan secara mutawattir dan membacanya
dianggap ibadah”. Berikutnya Muhammad „Ali al-Shabuni berpendapat al-Qur‟an
adalah “kalamullah yang mu‟jiz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan Rasul
terakhir dengan perantara malaikat Jibril as yang ditulis dalam mushaf, disampaikan
kepada kita secara mutawattir, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri surah an-
naas”.

Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran dan hukum merupakan acuan umat Islam
dalam menjalankan kehidupan, semua hal yang terkandung dalam Al-Qur‟an
merupakan kebenaran yang benar dan tidak dapat diubah.4

3
Ma‟rifat, F., Widiastuti, R. S., & Maulida, W. (2023). SUMBER AJARAN DAN HUKUM ISLAM, AL-
QUR‟AN. Religion: Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya, 1(3), 20-28.
4
Listiani, I. (2018). Pengertian dan Sumber Ajaran Islam. In Proceeding Annual Conference on Madrasah
Teacher (Vol. 1).

3
Adapun hukum-hukum yang terkandung dalam Alqur‟an, meliputi:

a) Hukum I‟tiqadiah, yaitu hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah
swt, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab, para Rasul Allah dan kepada hari
akhirat. Ilmu yang mempelajarinya disebut ilmu Tauhid, ilmu Ushuluddin, atau
Ilmu kalam.

b) Hukum Khuluqiah, Yaitu hukum yang berkaitan dengan hukum moral manusia
dalam kehidupan, baik sebagai mahluk individual atau makhluk sosial. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Akhlak atau Tasawuf.

c) Hukum Amaliah, Yaitu hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia
dengan Allah swt, antara sesama manusia, serta manusia dengan lingkungannya.
Ilmu yang mempelajarinya disebut ilmu fiqih.5

Prinsip yang melandasi hukum dalam Al-Qur‟an

Adapun Prinsip-prinsip yang melandasi Hukum dalam Al-Qur‟an, yang dikemukakan


oleh Umar Shihab, yaitu:

1) Tidak menyempitkan.

2) Mengurangi beban.

3) Menetapkan hukum secara bertahap.

4) Sejalan dengan kemashlahatan manusia.

5) Adanya persamaan dan keadilan.6

5
Arsyad, M., Bima, M. A., Fauzy, M. D. R. K., Saputra, M. I., Thaib, M., & Ramadhan, N. K. (2023). AL-
QUR'AN SEBAGAI SUMBER AJARAN DAN HUKUM ISLAM. Religion: Jurnal Agama, Sosial, dan
Budaya, 1(3), 110-118.
6
Ma‟rifat, F., Widiastuti, R. S., & Maulida, W. (2023). SUMBER AJARAN DAN HUKUM ISLAM, AL-
QUR‟AN. Religion: Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya, 1(3), 20-28.

4
2. Kandungan dan Nama – nama lain Al-Qur’an
Al-Quran terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6.236 ayat. Ayat-ayat Al-Quran
yang turun pada periode Mekah (Ayat Makkiyah) sebanyak 4.780 ayat yang
tercakup dalam 86 surat. Sedangkan ada periode Madinah (Ayat Madaniyah)
sebanyak 1.456 ayat yang tercakup dalam 28 surat. Ayat-ayat Makkiyah pada
umumnya mengandung nuansa sastra yang kental karena ayat-ayatnya pendek-
pendek. Isinya banyak mengedepankan prinsip-prinsip dasar kepercayaan
(aqidah) dan akhlak Sedangkan ayat Madaniyah menerangkan aspek syari‟ah,
muamalah dan juga akhlak.

Selain Al-Quran, wahyu ini diberi nama lain oleh Allah, yaitu:

a. Alkitab, berarti sesuatu yang ditulis (Ad-Dukhan, 44:2).

b. Alkalam, berarti ucapan (At-Taubah, 9:6)

c. Az-Zikra, berarti peringatan (Al-Hijr, 15:9).

d. Al-Qasas, berarti cerita-cerita (Ali Imran, 3:62).

e. Alhuda, berarti petunjuk (At-Taubah, 9:33).

f. Al-Furqan, berarti pemisah (Al-Furqan, 25: 1).Almau „izah, berarti


nasehat (Yunus, 10:57) h. Asy-Syifa, berarti obat atau penawar jiwa (Al-
Isra”, 17:82)

g. An-Nur, berarti cahaya (An-Nisa”, 4:174).

h. Ar-Rahmah, berarti karunia (An-Naml,27:77).

i. Al-Mubin, berarti yang menerangkan (Al-Maidah: 15) (Manna‟ Khalil


Qattan: 1996: 18)

Secara garis besar isi kandungan Al-Qur‟an adalah sebagai berikut:

1. Masalah Akidah

Akidah merupakan masalah yang hakiki dalam kehidupan beragama. Akidah


sebagai pondasi bagi keimanan seorang muslim. Akidah yaitu kepercayaan
terhadap keesaan Allah Swt. Contohnya yang ada dalam surah Al-Ikhlas ayat 1-4.

2. Masalah Ibadah

5
Ibadah sebagai bentuk pengabdian seorang hamba kepada sang Pencipta (al-
Khaliq) yakni Allah swt. Pengabdian diartikan sebagai wujud rasa syukur hamba
kepada Penciptanya dengan semua nikmat yang Allah Swt., berikan kepadanya.

3. Masalah Muamalat

Dalam Al-Qur‟an membahas bagaimana cara berhubungan atau interaksi antar


sesama manusia dari berbagai segi kehidupan.

4. Masalah akhlak

Akhlak menurut Al-Ghazali merupakan bawaan yang telah ternanam dalam


jiwa yang melahirkan berbagai macam perbuatan dengan jelas dan gamblang,
tanpa lagi memikirkan dan mempertimbangkan.

5. Masalah Hukum

Isi dari hukum adalah berupa aturan-aturan Allah Swt., yang sudah ditetapkan
untuk kebutuhan dan kebaikan umat manusia.

6. Masalah Sejarah

Berisikan sejarah umat terdahulu, yang diharapkan jadi pelajaran bagi umat
setelahnya.

7. Masalah dasar-dasar Sains

Dalam Al-Qur‟an banyak ayat-ayat yang memberikan gambaran atau isyarat


terhadap dasar- dasar ilmu pengetahuan.7

B. As- Sunnah
1. Pengertian As- Sunnah
As-Sunnah secara terminologi adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
shalallahu alahi wasalam, baik berupa perbuatan, perkataan atau pernyataan di dalam
masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum syariat. Ḥadiṡ menurut bahasa
adalah baru (lawan dari lama), sedangkan menurut istilah adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi shalallahu alahi wasalam, baik berupa ucapan, perbuatan
atau penetapan.8

7
Septianti, U. Al-Qur‟an Sebagai Sumber Ajaran Islam.
8
M Nāṣiruddīn Al Albānī, Ḥadiṡ Sebagai Landasan Akidah Dan Hukum, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2002), hlm.
19-20

6
Ḥadiṡ Nabi merupakan sumber ajaran Islam yang kedua, setelah Al- Qur‟an.
Hal ini dikarenakan ḥadiṡ merupakan penafsiran Al-Qur‟an dalam praktik atau
penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Mengingat bahwa pribadi Nabi
merupakan perwujudan dari Al-Qur‟an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran
Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari- hari. Dilihat dari periwayatannya,
ḥadiṡ berbeda dengan Al-Qur‟an. Al- Qur‟an semuanya diriwayatkan secara
muttawātir, sehingga tidak diragukan lagi kebenaran atau keṣaḥīhannya. Adapun ḥadiṡ
Nabi, sebagiannya diriwayatkan secara muttawātir dan sebagian lainnya secara ahād.
Dengan demikian, jika dilihat dari periwayatannya ḥadiṡ muttawātir tidak perlu diteliti
lagi karena tidak diragukan kebenarannya, adapun ḥadiṡ ahad, masih memerlukan
penelitian. Dengan penelitian itu, akan diketahui, apakah ḥadiṡ yang bersangkutan
dapat diterima periwayatannya ataukah tidak.9
Sunnah secara literal adalah jalan, baik jalan kebaikan ataupun jalan
keburukan, sementara sunnah menurut pemaknaan terminologis para muhadditsin,
sunnah adalah sabda, perbuatan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani) baik
sebelum menjadi Rasulullah SAW. maupun sesudahnya. Berdasar definisi ini, sunnah
merupakan sinonim dari hadis (al-A‟zhami, 1992: 1).10 Para ushuliyyin mendefinisikan
sunnah dengan sabda, perbuatan, ketetapan, sifat yang dapat dijadikan sebagai sumber
syariat. Di sini, dapat dilihat adanya perbedaan mengenai definisi sunnah menurut
ushuliyyin dan sunnah menurut muhadditsin. Jika ushuliyyin hanya berkepentingan
terhadap sunnah sebagai sumber hukum, maka tidak demikian halnya dengan
muhadditsin yang menggolongkan segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah
SAW. sebagai sunnah, baik yang memiliki konsekuensi hukum ataupun tidak.
Sehingga pemaknaan sunnah menurut muhadditsin lebih luas jangkauannya daripada
pemaknaan sunnah menurut ushuliyyin. Hal ini dapat dimengerti mengingat fokus
perhatian para ushuliyyin adalah sunnah dalam kapasitasnya sebagai sumber hukum
Islam. Mereka memandang Rasulullah SAW. sebagai sosok yang menjelaskan hukum
syariat dan meletakkan kaedah-kaedah kepada para mujtahid sepeninggal beliau
(Tarmizi M. Jakfar, 2011: 124).11

9
M. Fadlil Said An Nadwi, Qowā‟idul Asāsīyah Fi „Ilmi Musṭālaḥil Ḥadiṡ, (Surabaya : Al- Hidayah, 2007), hlm.
12
10
Muhammad Musthafa al-A„zami, Dirasat fi al-Hadis an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, (Beirut: Al-Maktab al-
Islami, 1992).
11
Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iyyah menurut yusuf al-Qaradhawi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011).

7
Adapun sunnah menurut para fuqaha adalah suatu sifat hukum atas suatu perbuatan
yang apabila dikerjakan memperoleh pahala, sementara jika ditinggalkan maka
tidaklah berdosa. Pemaknaan ini dilatarbelakangi bahwa para fuqaha memposisikan
sunnah sebagai salah satu hukum syara‟ yang lima yang mungkin berlaku terhadap
suatu perbuatan.

Banyak literatur yang menjelaskan tentang fungsi sunnah yang seluruhnya mengarah
pada tiga fungsi:

1) sunnah berfungsi sebagai bayan ta‟kid, artinya bahwa sunnah memiliki fungsi
memperkokoh uraian hukum yang telah ditetapkan dalam al-Qur‟an, seperti perintah
menunaikan shalat, zakat, puasa, dan haji.
2) sunnah berfungsi sebagai bayan tafshil/bayan tafsir, di sini sunnah berfungsi
menjelaskan dan memerinci petunjuk yang global dalam al-Qur‟an, seperti tata cara
menunaikan shalat dan menjalankan ibadah haji.
3) sunnah berfungsi sebagai bayan tasyri‟, mengandung maksud bahwa sunnah dapat
menentukan suatu hukum secara mandiri yang belum dijelaskan kepastian hukumnya
oleh al- Qur‟an, seperti hukum menghimpun pernikahan antara bibi dan keponakan
perempuan yang dijelaskan melalui hadis Rasulullah SAW.

Landasan lain menjadikan sunnah sebagai sumber hukum Islam adalah perintah
Allah swt. dalam al-Qur‟an untuk menaati Rasulullah SAW. (QS. Ali „Imran: 32) dan
menjadikan kehidupannya sebagai model yang baik dan mengikutinya (QS. Al-Ahzab:
21 & al-Hasyr: 7). Juga, adanya kesepakatan (ijma‟) para sahabat bahwa menjadi
kewajiban umat Islam untuk mematuhi apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW., baik
ketika beliau masih hidup atau sesudah wafat. Selain itu, secara rasional al-Qur‟an
memerintahkan mengerjakan kewajiban seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Akan
tetapi al-Qur‟an tidak menjelaskan tata cara pelaksanaannya, sehingga umat Islam
harus merujuk kepada penjelasan Rasulullah SAW. melalui sunnah beliau (Barkatullah
& Preasetyo, 2006: 13).12

12
Abdul Halim Barkatullah & Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus
Berkembang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

8
fungsi sunnah tidaklah sama kuatnya dengan fungsi al-Qur‟an dalam hierarki sumber
hukum Islam. Al- A‟zhami menuturkan bahwa fungsi dan otoritas Rasulullah SAW.
sebagaimana yang diungkap al-Qur‟an adalah: Pertama, Rasulullah SAW. merupakan
penjelas al-Qur‟an (QS. An-Nahl: 44). Kedua, Rasulullah SAW. memiliki otoritas
membuat suatu hukum (legislator). Dalam hal ini, Rasulullah SAW. memiliki
wewenang memprakarsai hal-hal tertentu yang kemudian dinyatakan al-Qur‟an
sebagai praktik masyarakat muslim yang baku, seperti praktik azan. Ketiga, Rasulullah
SAW. menjadi model perilaku masyarakat muslim (QS. Al-Ahzab: 21). Keempat,
Rasulullah SAW. merupakan pribadi yang ditaati (QS. an-Nisa‟: 59 & 64; Ali „Imran:
32 & 132) (al-A‟zhami, 1992: 12).13

2. Klasifikasi Sunnah
Ushuliyyin mengklasifikasikan kepada tiga bagian, yaitu:
a. Sunnah qauliyyah
adalah sunnah dalam bentuk sabda yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
kepada para sahabat, lalu para sahabat ini menyampaikan kepada para sahabat
lainnya. Misalnya, tatkala Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya segala
perbuatan itu tergantung pada niatnya.” Pada dasarnya sunnah qauliyyah ini
bersifat umum yang berlaku untuk Rasulullah SAW. sendiri dan juga berlaku bagi
umat pada masa itu serta masa-masa sesudahnya. Ini dikarenakan sejatinya sabda
Rasulullah SAW. tidak terikat dengan waktu. Kecuali jika ada keterangan lain yang
menjelaskan bahwa sabda rasulullah itu berlaku untuk orang tertentu atau hanya
berlaku untuk masa tertentu pula. Karena bagaimanapun juga, sabda Rasulullah
SAW. yang dikutip secara resmi dan kemudian tertulis maka akan menjadi sumber
hukum, meskipun pada mulanya bisa jadi hanya sabda yang bersifat pribadi dan
untuk tujuan khusus. Seperti ketika Rasulullah bersabda kepada istrinya, “Mari
tidur sebab hari sudah larut malam.” Jika sabda Rasulullah SAW. kepada istrinya
ini kemudian disampaikan oleh sang istri kepada orang lain dan kemudian tersebar
luas hingga menjadi berita dari Rasulullah SAW., maka dapat menjadi sumber
hukum dalam bentuk anjuran untuk pergi tidur jika hari memang sudah larut
malam (Amir Syarifuddin, 2000: 78).14

13
Muhammad Musthafa al-A„zami, Dirasat fi al-Hadis an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, (Beirut: Al-Maktab al-
Islami, 1992).
14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000).

9
b. Sunnah fi‟liyyah,
adalah sunnah dalam bentuk tindakan atau perbuatan yang dilaksanakan dan
diteladankan oleh Rasulullah SAW., seperti tindakan Rasulullah SAW. dalam
meneladankan gerakan shalat, pentasharrufan zakat, dan manasik haji. Tidak hanya
itu masih banyak tindakan Rasulullah SAW. lainnya seperti beliau mewajibkan diri
sendiri untuk selalu melaksanakan shalat dhuha, shalat witir, dan shalat tahajjud di
tiap malam. Maka kemudian para ushuliyyin mengkaji kembali aktifitas fisik
Rasulullah SAW. apakah mengikat sebagai hukum bagi umatnya ataukah tidak. Ini
dikarenakan perbuatan Rasulullah SAW. dapat dipilah menjadi tiga: (1) Perbuatan
dan tingkah laku beliau SAW. sebagai manusia biasa. (2) perbuatan Rasulullah
SAW. yang memiliki petunjuk yang menjelaskan bahwa perbuatan itu khusus
berlaku bagi beliau saja. (3) perbuatan dan tingkah laku yang terkait dengan
penjelasan hukum bagi umat.

c. Sunnah taqririyah,
adalah sunnah dalam bentuk ketetapan beliau SAW., tatkala para sahabat sedang
melakukan suatu perbuatan di hadapan beliau atau sepengetahuan beliau SAW.
namun didiamkan atau tidak dicegah, maka hal itu merupakan pengakuan dari
Rasulullah SAW. Seperti peristiwa ketika para sahabat memakan dhab, dan
Rasulullah SAW. mengetahui dan tidak melarang mereka. Diamnya Rasulullah
SAW. dalam hal ini dimaknai bahwa beliau pernah melarang perbuatan itu
sebelumnya dan tidak diketahui pula keharamannya. Diamnya Rasululah SAW.
dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah ibahah atau meniadakan keberatan
untuk diperbuat. Sebab jika perbuatan itu dilarang, namun Rasulullah SAW.
mendiamkannya padahal beliau mampu untuk mencegahnya, maka berarti
Rasulullah SAW. berbuat kesalahan, padahal beliau adalah seorang yang terhindar
dari kesalahan (ma‟shum) (Syarifuddin, 2000: 81).15

15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000).
10
Sedangkan muhadditsin menambahkan satu klasifikasi sunnah, yaitu sunnah
washfiyyah, yakni sunnah dalam bentuk sifat moral dan sifat fisik Rasulullah SAW.
Sunnah washfiyyah ini tidak menjadi domain perhatian ushuliyyin. Meski demikian,
baik ushuliyyin maupun muhadditsin sama-sama bersepakat bahwa apapun yang
disabdakan, diperbuat, dan ditetapkan Rasulullah SAW. tidak terlepas dari tuntunan
wahyu. Rasulullah SAW. tidak berbuat atas keinginan sendiri. Oleh karenanya, apapun
yang bersumber dari Rasulullah SAW. dapat dijadikan teladan bagi umat Islam.

3. Sunnah dan Kekuatan Hukumnya


Sunnah tasyri‟iyyah memiliki kekuatan hukum yang mengikat untuk diikuti
oleh umat Islam. Adapun ruang lingkup dari sunnah tasyri‟iyyah ini telah dijelaskan di
atas dan mencakup tiga bidang utama, yaitu: aqidah, amaliyah ibadah, dan akhlak.
Sunnah yang memiliki kekuatan hukum terkait aqidah memiliki syarat yang sangat
ketat. Ini dikarenakan aqidah merupakan kepercayaan dan keyakinan yang pasti, dan
tidak ada yang dapat menghasilkan keyakinan yang pasti itu kecuali yang pasti pula.
Sehingga sunnah yang berdaya hukum dalam bidang aqidah harus dihasilkan dari
sunnah yang pasti (qath‟i), baik dari segi asal mula kemunculan sabda (wurud) nya,
lafaznya, dan petunjuk hukum (dilalah)nya. Sunnah jenis ini dapat ditemukan dalam
sunnah shahihah mutawatirah yang sangat terbatas jumlahnya.
Sunnah shahihah mutawatirah adalah sunnah yang memenuhi syarat
keshahihan dan kemutawatiran suatu hadis. Syarat keshahihan tersebut meliputi:
memiliki ketersambungan sanad, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan kuat
hafalannya (dhabith), tidak ada kejanggalan dan cacat. Sedangkan syarat mutawatir
adalah diriwayatkan oleh banyak orang dari gurunya yang juga jumlahnya banyak
demikian seterusnya hingga sampai kepada Rasulullah SAW. dengan ketentuan
masing-masing periwayat tersebut dinilai sebagai orang-orang terpercaya yang
menurut adat dan kebiasaannya mereka sangat mustahil bersekongkol dalam dusta.
Para periwayat harus mengetahui secara pasti apa yang disampaikannya, berdasar
pengamatan dan pengalaman dia sendiri, bukan berdasar pengalaman orang lain.

11
Sebagaimana kategori pertama, sunnah yang terkait dengan amaliyah ibadah baik
mahdhah (ibadah antara manusia dengan Allah) ataupun ghayr mahdhah (ibadah sosial
antar manusia) juga mengharuskan bersumber dari sunnah shahihah. Menurut Amir
Syarifuddin, hukum yang diperoleh dari sunnah dalam bentuk ini disebut sebagai fiqh
sunnah, sedangkan hadisnya disebut hadis ahkam. Hadis-hadis dalam bentuk inilah
yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh para fuqaha setelah al-Qur‟an
(Syarifuddin, 2000: 94-95).16 Kategori sunnah yang kedua, sunnah yang terkait dengan
akhlak biasanya lebih longgar persyaratannya. Ini dikarenakan sangat beragamnya
bentuk akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Seluruh sunnah dalam bentuk
akhlak ini pada umumnya memiliki dasar dalam al-Qur‟an. Sunnah berfungsi untuk
memperjelas dan merincinya sehingga menjadi mudah dicerna dan diteladani oleh
umat Islam.
Kekuatan sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua hal: wurud dan
dilalahnya. Dari segi wurudnya, kekuatan sunnah mengikuti kebenaran
pemberitaannya, yang terdiri dari mutawatir dan ahad, lalu ahad dibedakan lagi
menjadi gharib, aziz, dan masyhur. Disebut sebagai khabar ahad atau berita perorangan
ini dikarenakan jumlah periwayat yang menyampaikan berita itu tidak mencapai
jumlah mutawatir. Sehingga kebenarannya pun tidak meyakinkan dan kekuatan
hukumnya bersifat zhanni.
Adapun kekuatan hukum khabar ahad untuk dijadikan dalil, terdapat perbedaan
pendapat di kalangan para ulama. Mayoritas ulama termasuk Abu Hanifah, Malik,
Syafi‟i, dan Ahmad menerima khabar ahad untuk dijadikan dalil dalam beramal dan
menetapkan hukum jika terpenuhi syarat-syarat kesahihan hadis sebagaimana tersebut
di atas.
Tidak hanya kualitas periwayat dalam rangkaian mata rantai periwayatan (sanad) nya
saja yang harus diperhatikan dalam penerimaan sunnah sebagai dalil hukum, namun
juga harus dicermati kualitas isi berita (matan)nya. Dalam hal ini, as- Siba‟i (2001:
250-251)17 menjelaskan bahwa kriteria matan yang shahih adalah sebagai berikut:
1) Matan hadis tidak boleh mengandung kata-kata yang aneh, yang tidak pernah
diucapkan oleh seorang ahli retorika atau penutur bahasa yang baik.
2) Tidak boleh bertentangan dengan pengertian-pengertian rasional yang aksiomatik,
yang sekiranya tidak mungkin ditakwilkan.

16
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000).
17
Musthafa ss-Siba„i, As-Sunnah wa Makanatuha fi ats-Tasyri‟ al- Islami, (Cairo: Dar as-Salam, 2001).
12
3) Tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam hukum dan akhlaq.
4) Tidak boleh bertentangan dengan indera dan kenyataan.
5) Tidak boleh bertentangan dengan hal yang aksiomatik dalam kedokteran dan ilmu
pengetahuan.
6) Tidak mengandung hal-hal yang sudak dipastikan tidak dibenarkan dalam agama.
7) Tidak bertentangan dengan hal-hal yang rasional dalam prinsip-prinsip
kepercayaan („aqidah) tentang sifat- sifat Allah dan para Rasul-Nya.
8) Tidak bertentangan dengan sunnatullah dalam alam dan manusia.
9) Tidak mengandung hal-hal tak masuk akal yang dijauhi oleh mereka yang berfikir.
10) Tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an atau dengan sunnah yang meyakinkan, atau
yang telah menjadi kesepakatan umat (ijma„) yang telah diketahui secara pasti
dalam agama yang tidak mengandung kemungkinan takwil.
11) Tidak bertentangan dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang diketahui dari
zaman Rasulullah SAW.
12) Tidak boleh bersesuaian dengan mazhab rawi yang giat mempropagandakan
mazhabnya sendiri.
13) Tidak boleh berupa berita tentang peristiwa yang terjadi dengan kesaksian
sejumlah besar manusia, namun periwayat tersebut hanya seorang diri
meriwayatkannya.
14) Tidak boleh timbul dari dorongan emosional, yang membuat periwayat tersebut
meriwayatkannya.
15) Tidak boleh mengandung janji berlebihan dalam pahala untuk perbuatan kecil atau
berlebihan dalam ancaman yang keras untuk perkara ringan.
Dari segi dilalahnya, sunnah dibedakan menjadi qath‟i dan zhanni. Maksud
qath‟i di sini adalah sunnah yang memberikan penjelasan terhadap hukum dalam al-
Qur‟an secara tegas, jelas dan terperinci sehingga tidak memberikan peluang
pemahaman yang lain. Sedangkan zhanni adalah penunjukan yang tidak pasti
dikarenakan sunnah tidak memberikan penjelasan secara tegas dan terperinci terhadap
hukum yang ada dalam al-Qur‟an, sehingga menimbulkan berbagai kemungkinan
pemahaman dan silang pendapat. Sunnah yang memiliki kekuatan hukum qath‟i ini
adalah sunnah yang diriwayatkan secara mutawatir (Syarifuddin, 2000: 101-102).18

18
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000).
13
C. Ijtihad
Ijtihad telah dikenal dan dipraktekkan oleh umat Islam semenjak zaman
Rasulullah saw. masih hidup, dan terus berkembang pada masa sahabat serta generasi-
generasi berikutnya. Para sahabat melakukan ijtihad selain karena mendapat dorongan
dan bimbingan Nabi saw., juga atas inisiatif dari kalangan sahabat itu sendiri. Cukup
banyak riwayat yang dapat dirujuk yang menunjukkan upaya yang dilakukan oleh para
sahabat dalam berijtihad. Misalnya riwayat yang menceritakan ijtihad Umar tentang
hal yang membatalkan puasa dan ijtihad tersebut secara hukum telah dibenarkan oleh
Nabi saw.19
Adapun hadist lainnya yang memperkuat kedudukan diperbolehkannya melakukan
ijtihad adalah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh „Amr bin „Ash, ra. Ia
mendengar Rasulullah bersabda: “Apabila seorang hakim menetapkan hukum melalui
ijtihad dan benar maka ia diberikan dua pahala, sedangkan apabila ia salah maka diberi
satu pahala.” Dan hadist yang yang cukup populer tentang ijtihad adalah berkaitan
dengan Mu‟az bin Jabal ketika akan diangkat sebagai qadhi di Yaman. Saat terjadi
dialog dengan Nabi, “Apakah yang kau lakukan jika kepadamu diajukan suatu
perkara?”. Mu‟az menjawab, “ Akan kuputuskan menurut ketentuan hukum yang ada
dalam al-Qur‟an.” “ Kalau tidak ada di dalam al-Qur‟an?”, tanya Nabi selanjutnya.
“Akan aku putuskan menurut hukum yang ada di dalam sunnah Nabi,” jawab Mu‟az. “
Kalau tidak (juga) kau jumpai dalam sunnah dan juga dalam al-Qur‟an?”, Nabi
mengakhiri pertanyaannya. Mu‟az menjawab, “Aku akan berijtihad dengan seksama”.
Rasulullah mengakhiri dialog dengan Mu‟az sambil berkata, “Segala puji hanya untuk
Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan RasulNya jalan yang diridlai
Rasul Allah”. Dari hadits tersebut dapat kita simpulkan, bahwa ijtihad menempati
posisi ketiga sebagai sumber hukum setelah al-Qur‟an dan al- Sunnah.

19
An-Na‟im, Abdullahi Ahmed. Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy danAmiruddin Arrani, Yogyakarta :
LKiS, 1994.
14
Dalam hadist ini dikisahkan Umar telah mencium istrinya pada saat ia dalam keadaan
berpuasa, dan kejadian ini dilaporkannya kepada Nabi saw.. Maka terjadilah dialog
antara Umar dengan Rasulullah. Nabi bersabda : “Apakah pendapatmu jika engkau
berkumur dengan air, sedangkan engkau dalam keadaan puasa?” Dijawab Umar :
“Menurutku tidak mengapa (tidak batal puasa)”. Nabi bersabda: “Kalau begitu
teruskan puasamu”. Dalam hadist ini terlihat bagaimana Nabi membenarkan ijtihad
yang dilakukan Umar, kendatipun ijtihad ini pada akhirnya dapat digolongkan sebagai
sunnah taqriry (penetapan Nabi).

1. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata berbahasa Arab “‫ ”دهج‬yang berarti
“pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh sesuatu dari berbagai urusan”.
Ringkasnya, ijtihad berarti “sungguh-sungguh” atau “bekerja keras dan gigih untuk
mendapatkan sesuatu”. Sedangkan secara teknis menurut Abdullahi Ahmed An-
Na‟im ijtihad berarti penggunaan penalaran hukum secara independen untuk
memberikan jawaban atas sesuatu masalah ketika al- Qur‟an dan al-Sunnah diam
tidak memberi jawaban. Lebih jauh ia mengatakan bahwa ijtihad telah menuntun
para perintis hukum pada kesimpulan dimana konsensus masyarakat atau para
ulama atas suatu masalah harus dijadikan sebagai salah satu sumber syari‟ah. Dan
al-Qur‟an dan Sunnah itu yang mendukung dan mendasari ijtihad sebagai sumber
syari‟ah.
Lebih dari itu, penggunaan ijtihad dalam pengertian umum sangat relevan
dengan interpretasi al-Qur‟an dan al-Sunnah. Ketika suatu prinsip atau syari‟ah
didasarkan pada makna umum atas suatu teks al-Qur‟an dan al- Sunnah, maka teks
dan prinsip (aturan) syari‟ah itu harus dihubungkan dengan penalaran hukum.
Sebab bagaimana pun juga sulit untuk dibayangkan, ketika suatu teks al-Qur‟an
atau al-Sunnah -betapapun jelas dan rincinya-, tidak lagi memerlukan ijtihad untuk
interpretasi dan penerapanya dalam situasi konkrit.

15
Dari sisi ini menurut Abdullahi Ahmed, jelaslah bahwa ijtihad adalah
konsep yang fundamental dan sangat aktif dalam pembentukan syari‟ah selama
abad VIII dan IX M. Begitu syari‟ah matang sebagai sistem perundang- undangan,
dan pengembangan berbagai prinsip dan aturan yang segar dirasakan sudah cukup,
maka ruang ijtihad tampak menyempit menuju titik kepunahannya.20

Fenomena ini dikenal dalam sejarah yurisprudensi Islam sebagai


tertutupnya pintu ijtihad. Namun banyak ulama kontemporer menuntut dibukanya
kembali pintu ijtihad tersebut. Adapun secara terminologis, definisi ijtihad yang
dikemukakan oleh ahli ushul fiqh adalah: “Pengarahan segenap kesanggupan oleh
seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-
hukum syar‟i”. Pada pengertian ini ijtihad memiliki fungsi mengeluarkan (istinbat)
hukum syar‟i, sehingga ijtihad tersebut tidak berlaku di lapangan teologi dan
akhlaq. Dan pengertian ijtihad menurut ulama ushul fiqh inilah yang dikenal oleh
masyarakat luas. Adalah Ibrahim Hosen yang dalam hal ini mewakili kelompok
ahli fiqh dalam definisi ijtihad membatasinya dalam bidang fiqh saja, yaitu bidang
hukum yang berhubungan dengan amal. Sedangkan bagi sebagian ulama lainnya,
seperti Ibn Taimiyah mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku dalam dunia tasawuf.
Demikian juga pendapat Harun Nasution yang mengatakan ijtihad di dalam fiqh
merupakan definisi ijtihad dalam arti sempit, sementara dalam arti luas ijtihad juga
berlaku di bidang politik, akidah, tasawuf, dan juga filsafat.21

Orang-orang yang melakukan ijtihad, dinamakan mujtahid, dan harus memenuhi


beberapa syarat. Muhammad Musa mengelompokkan syarat-syarat mujtahid
menjadi empat kelompok yaitu:
1. Syarat-syarat umum, diantaranya:
2. Baliqh
3. Berakal
4. Sehat jasmani dan rohani
5. Kuat daya nalarnya
6. Bener-bener beriman

20
Abdullahi Ahmed an-Na‟im, Dekonstruksi Syari‟ah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani (Yogyakarta:
LkiS, 1994), hlm.54.
21
Amir Mu‟allim dan Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1997), hlm. 39-41.
16
2. Syarat-syarat pokok, diantaranya:
a. Memahami tentang Al-Qur‟an
Al-Qur‟an adalah sumber hukum Islam primer di mana sebagai fondasi
dasar hukum Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui Al-
Qur‟an secara mendalam. Barangsiapa yang tidak mengerti Al-Qur‟an sudah
tentu ia tidak mengerti syariat Islam secara utuh.
b. Mengerti tentang sunah
As-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari
Nabi SAW.
c. Mengetahui ilmu Diroyah Hadist
Ilmu Diroyah menurut Al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan
memisahkan Hadist yang shahih dari yang rusak dan Hadist yang bisa diterima
dari Hadist yang ditolak.
d. Mengetahui Hadist yang nasikh dan mansukh
Mengetahui Hadist yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar
seorang mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu Hadist yang sudah jelas
dihapus hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti Hadist yang
membolehkan nikah mut‟ah di mana Hadist tersebut sudah dinasakh secara
pasti oleh Hadist-Hadist lain.
e. Mengetahui maksud-maksud hukum
Seorang mujtahid harus mengerti tentang maksud dan tujuan syariat,
yang mana harus bersendikan pada kemaslahatan umat. Dalam arti lain,
melindungi dan memelihara kepentingan manusia. menghindari fatwa yang
berseberangan dengan nash tersebut.22

22
Mu‟allim, Amir dan Yusdani. Ijtihad: Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi, Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1997.
17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hakikatnya, Ajaran Islam merupakan kumpulan dari berbagai prinsip- prinsip
kehidupan, ajaran mengenai bagaimana seharusnya manusia dapat menjalankan
kehidupannya di dunia yang fana ini, satu prinsip dengan yang lainnya saling terkait
sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan. Bukan
bahwa ada satu nilai yang dapat berdiri sendiri. Oleh karena itu, pada dasarnya Islam
adalah satu sistem, paket nilai, satu paket yang saling terkait antara satu dengan satu
yang lainnya, membentuk teori teori Islam yang baku.

Al-Quran merupakan sumber dasar ajaran Islam yang pertama dan utama
karena al-Quran memiliki nilai-nilai yang absolut (mutlak) yang telah Allah Swt
turunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. Nilai esensi dari kitab
suci Al-Quran yaitu selamanya akan abadi dan relevan pada perkembangan zaman,
tanpa adanya perubahan sama sekali tidak terpengaruh oleh waktu. Sunnah
mempunyai dua manfaat pokok dalam dunia pendidikan yang pertama, as-Sunnah
dapat menjelaskan kesempurnaan dan konsep pendidikan Islam sesuai konsep al-
Quran, dan penjelasan al-Quran lebih rinci. Kedua, dalam menentukan metode
pendidikan as-Sunnah mampu menjadi contoh yang tepat. Sunnah berisi juga syariat
dan akidah. Dalam segala aspek, sunnah mengandung petunjuk (pedoman) bagi
kemaslahatan hidup manusia, untuk membina umat menjadi muslim yang bertakwa
atau manusia seutuhnya. Ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupan berpikir
untuk menetapkan hukum syara' dengan cara istimbath dari Al-Quran dan Sunnah.
Lapangan ijtihad adalah pada persoalan persoalan yang tidak dijelaskan secara tuntas
oleh Al-Quran dan Sunnah terutama menyangkut perkembangan ilmu dan peradaban
umat manusia. Disepakati para ulama bahwa ijtihad tidak boleh merambah pada
dimensi ibadah mahdhah seperti shalat, puasa dan lainnya.

B. Saran
Kami berharap dengan adanya makalah ini, pembaca dapat lebih memahami
dan mengetahui mengenai manusia dalam pandangan Islam. Kami juga menyarankan
kepada pembaca agar mencari lebih dalam lagi mengenai materi yang kami sajikan
18
agar pengetahuan yang didapat semakin bertambah. Kami sebagai penulis menyadari
bahwa makalah ini masih belum sempurna dan masih banyak kesalahan serta
kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat untuk para pembaca dalam menambah wawasan mengenai materi
yang kami sajikan yaitu manusia dalam pandangan Islam.

19
DAFTAR PUSTAKA

Syuhudi Ismail, Perkembangan Pemikiran Hadis, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1994), h. 3


Asghar Ali EngineerPembebasan Perempuan, Terj. Agus Nuryanto, (Yogyakarta: LKIS,
2003), h. 26-27
Ma‟rifat, F., Widiastuti, R. S., & Maulida, W. (2023). SUMBER AJARAN DAN HUKUM
ISLAM, AL-QUR‟AN. Religion: Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya, 1(3), 20-
28.
Listiani, I. (2018). Pengertian dan Sumber Ajaran Islam. In Proceeding Annual Conference on
Madrasah Teacher (Vol. 1).
Arsyad, M., Bima, M. A., Fauzy, M. D. R. K., Saputra, M. I., Thaib, M., & Ramadhan, N. K.
(2023). AL-QUR'AN SEBAGAI SUMBER AJARAN DAN HUKUM ISLAM.
Religion: Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya, 1(3), 110-118.
Ma‟rifat, F., Widiastuti, R. S., & Maulida, W. (2023). SUMBER AJARAN DAN HUKUM
ISLAM, AL-QUR‟AN. Religion: Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya, 1(3), 20-28.
M Nāṣiruddīn Al Albānī, Ḥadiṡ Sebagai Landasan Akidah Dan Hukum, (Jakarta : Pustaka
Azzam, 2002), hlm. 19-20
M Nāṣiruddīn Al Albānī, Ḥadiṡ Sebagai Landasan Akidah Dan Hukum, (Jakarta : Pustaka
Azzam, 2002), hlm. 19-20
M. Fadlil Said An Nadwi, Qowā‟idul Asāsīyah Fi „Ilmi Musṭālaḥil Ḥadiṡ, (Surabaya : Al-
Hidayah, 2007), hlm. 12
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami ḥadiṡ Nabi SAW, (Bandung : Karisma, 1993), hlm.
17
Muhammad Musthafa al-A„zami, Dirasat fi al-Hadis an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, (Beirut:
Al-Maktab al-Islami, 1992).
Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iyyah menurut yusuf al-Qaradhawi,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011).
An-Na‟im, Abdullahi Ahmed. Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin
Arrani, Yogyakarta : LKiS, 1994.
Mu‟allim, Amir dan Yusdani. Ijtihad: Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
Abdullahi Ahmed an-Na‟im, Dekonstruksi Syari‟ah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin
Arrani (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm.54.

20

Anda mungkin juga menyukai