Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PEMBELAJARAN AL-QUR’AN DAN HADITS DI MI/SD


PADA MASA RASULULLAH

Dosen Pengampu:

Ahmad Ghifari Tetambe, M.Pd.

Oleh Kelompok XII :

Mariana : 19010104097
Nur Ayn : 19010104085
Pingky Yuspika Handrianai : 19010104089

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
KENDARI

2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh

Ahamdulillah, puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas
segala berkah dan rahmat-nya yang telah diberikan, sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul “PEMBELAJARAN AL-QURAN
HADIS PADA MASA RASULULLAH”. Sholawat serta salam kami curahkan
kepada baginda kita semua yakni Rasulullah SAW,semoga kita semua termaksud
golongan umatnya yang akan mendapatkan syafa’atul’udhma kelak di yaumul
akhir. tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada bapak Ahmad Ghifari
Tetambe, M.Pd. sebagai dosen pengampu mata kuliah pembelajaran Al-qur’an
dan Hadist di MI/SD.

Kami berharap dengan hasil maklah yang kami buat bisa bermanfaat bagi
pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih
banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan. Agar
pembuatan makalah selanjutnya akan lebih baik lagi. Terima kasih.

Kendari, 3 Januari 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1

C. Tujuan .............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembelajaran Al-Qur’an Hadits ..................................................... 3

B. Pembelajaran Al-Qur’an Hadits di Masa Rasululah SAW.... ........................... 4

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................... 16

B. Saran .............................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an dan Hadits adalah salah satu dari mata pelajaran pendidikan
agama Islam, yang keberadaannya sangat penting bagi kemajuan pendidikan
Islam di Indonesia khususnya. Al-Qur’an dan Hadis adalah dua pedoman yang
ditinggalkan Rasulullah SAW untuk umat manusia di dunia.
Al-Qur’an amat dicintai oleh kaum muslimin. Hal ini terbukti dengan
perhatian yang amat besar terhadap pemeliharaannya semenjak turunnya di masa
Rasulullah SAW sampai tersusunnya mushhaf sampai akhir zaman.
Ayat Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan mengandung perintah untuk
membaca yang disampaikan malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW,
pengulangan atas perintah tersebut menunjukan betapa pentingnya kemampuan
membaca, karena dengan membaca dapat diperoleh pengetahuan yang
dibutuhkan dan selanjutnya dengan perantara baca tulislah Allah SWT
mengajarkan manusia.
Al-Qur'an-Hadits merupakan sumber utama ajaran Islam, dalam
arti keduanya merupakan sumber akidah-akhlak, syari’ah/fikih (ibadah,
muamalah), sehingga upaya untuk menggali petunjuk yang ada di dalam Al-
Qur’an dan hadits harus terus menerus dilakukan. Proses penggalian makna yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits merupakan tugas setiap muslim, yang
dilakukan tanpa kenal lelah.
Dalam makalah ini akan membahas berbagai hal berkenaan dengan
pembelajaran Al-Qur’an dan Hadits pada masa Rasululloh SAW.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu pembelajaran Al-Qur'an Hadits?
2. Bagaimana pembelajaran Al-Qur'an hadits pada masa Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pemgertian pembelajaran Al-Qur’an Hadits!
2. Untuk mengetahui pembelajaran Al-Qur'an hadits pada masa Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam!

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembelajaran Al-Qur’an Hadits

Pembelajaran adalah proses kerja sama antara guru dan siswa dalam
memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada baik potensi yang bersumber
dari dalam siswa itu sendiri seperti minat, bakat dan kemampuan dasar yang
dimiliki termasuk gaya belajar maupun potensi yang ada di luar siswa untuk
mencapai tujuan belajar tertentu.1
Menurut M. Quraish Shihab, Alquran secara harfiyah berarti bacaan
yang sempurna. Ia merupakan suatu nama pilihan Allah yang tepat, karena tiada
suatu bacaanpun sejak manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang
lalu yang dapat menandingi Alquran, bacaan sempurna lagi mulia.2
Alquran mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun qira’ah berarti
menghimpun huruf-huruf dan kata- kata satu dengan yang lain dalam suatu
ucapan yang tersusun rapih. Quran pada mulanya seperti qira’ah, yaitu mashdar
dari kata qara’a, qira’atan, qur’ana,.3
A
l-Qur’an secara etimologi berarti bacaan atau yang dibaca. Secara
terminologi Al-Qur’an adalah kalam Allah yang menjadi mukjizat dan
diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam bahasa
Arab, yang tertulis dalam mushaf-mushaf yang sampai kepada umat dengan
jalan mutawatir dan membacanya menjadi ibadah serta
dimulai surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.4

Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad


Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun

1
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sintem Pembelajaran,(Jakarta: PT. Fajar Interpratama,
2011), hlm. 26.
2
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), p.3
3
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sintem Pembelajaran,(Jakarta: PT. Fajar Interpratama,
2011), hlm. 26.
4
Fatira Wahidah, ‘Ulum Al-Qur’an (Kendari: CV. Shadra, 2010), hlm. 1-2.

3
sifat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.5 Hadis merupakan salah satu dasar
pengambilan hukum Islam setelah al- Quran. 6

B. Pembelajaran Al-Qur’an dan Hadits pada Masa Rasulullah SAW


 Pembelajaran Al-Qur’an pada Masa Rasulullah SAW
Kondisi umat islam pada masa Rasulullah tidak dapat begitu mendapat
kesulitan dalam memecahkan berbagai macam problematika yang berkaitan
dengan masalah agama, hal tersebut di karenakan setiap terjadi sesuatu
yang memerlukan hukum mereka langsung datang menemui rasulullah dan
bertanya tentang hukum dan sekaligus solusi terhadap masalah- masalah
yang terjadi saat itu, Rasul pun ketika itu langsung mendapatkan wahyu sebagai
penjelas dan yurisprudensi terhadap masalah tersebut. Dengan demikian ijtihad
pada masa rasulullah masih belum dibutuhkan bagi kaum Muslimin,
walaupun demikian ada indikasi bahwa ijtihad itu sudah ada pada masa itu
ini terbukti ketika dibenarkannya Mua’dz bin Jabal oleh Rasulullah untuk
melakukan ijtihad terhadap masalah- masalah yang tidak ada dalam al- Qur’an
dan sunnah Nabi, ketika dia di utus oleh rasulullah untuk menjadi Qadhi ( hakim ) di
7
kota Yaman.

Membahas mengenai sejarah pembelajaran al-Quran hadist di masa Nabi


yang dimulai dari periode Makkah lalu periode Madinah, dengan mengetahui
sejarah yang ada yaitu mengenai peristiwa (event), ruang (space), waktu (time),
tokoh (man) serta perubahan dan keberlangsungan (change and contiunity).
1. Sejarah Pembelajaran Al-Qur’an Hadist Mekkah
Makkah adalah salah satu kota termasyhur dalam sejarah Islam karena di
kota inilah Rasullah terakhir diutus kepada umat manusia, yakni Nabi
Muhammad, dilahirkan pada tahun 570 M. Makkah merupakan sebuah kota
yang terletak di area pegunungan yang panas, tidak ramah dan terjal. Di sana
ditemukan sebuah perkampungan yang terdiri atas rumah- rumah kumuh dan
5
Munzier Supatra, Ilmu Hadis (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 3.
6
Muhammad, Yusuf Musa Al- Madkhal Li Dirasat Al-Fiqhi Al- Islamy ( Bairut: Dar Al- Fikri Al-
Araby,tt), hlm. 69.
7
Abd, Al- Karim Zaidan, Al Wajiz Fi Ushul Al- Fiqhi, ( Bairut: Muassasah Ar- Risalah,
1994) 151

4
becek. Ia menjadi sasaran banjir bandang yang disebabkan oleh hujan lebat yang
turun di kota tersebut.
Berdasarkan nama tempat ini, dikenal sebuah istilah bagi periodesasi
dakwah Nabi yang pertama, periode Makkah (al-fatrah al makkiyyah). Periode ini
merujuk kepada aktifitas Nabi Muhammad selama masih berada di Makkah (pra-
hijrah) hingga beliau melaksanakan hijrah ke Madinah pada tahun 622 M. Periode
ini merupakan masa pembinaan dan pemantapan ke dalam serta penyusunan
kekuatan dakwah. Oleh karena itu, materi-materi dakwah pada periode ini lebih
menitikberatkan kepada masalah aqidah dan keimanan. Hal ini didasarkan pada
fakta bahwa ayat-ayat al-Quran yang diturunkan pada periode ini umumnya
berkaitan dengan masalah tersebut.
Semua wahyu al-Quran diturunkan melalui Malaikat Jibril dan ini yang
disebut dengan al-wahy al-jaly. Dengan kata lain, al-Quran tidak diturunkan
kepada Nabi melalui ilham, dalam tidur (mimpi) atau berbicara secara langsung
dengan Allah tanpa perantara (wdsithah).
Ada dua pendapat mengenai tanggal penurunan wahyu pertama, yaitu:
a. pertama, al-Quran diturunkan pada tanggal 17 Ramadan ketika Nabi berusia
41 tahun. Pendapat ini diikuti oleh Muhammad al-Khudari dan az-Zarqani
dengan beberapa catatan;
b. kedua, ia diturunkan pada tanggal 24 Ramadan ketika Nabi berumur 40
tahun pendapat ini diikuti olehAli Mustafa Yaqub. Mulai saat itu, tiap kali
al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad, beliau menerimanya,
menghafalnya dan membacakannya kepada sahabat laki-laki dan perempuan.
Nabi diperintahkan untuk membacakan dan menyampaikan al-Quran
kepada umatnya dengan pelan (tartil) hingga memudahkan mereka untuk
mendengar bacaan dan menghafalnya. Sesudah para sahabat menghafal ayat-
ayat al-Quran, maka mereka akan menyebarkan apa yang dihafal kepada
anak-anak dan orang lain yang tidak menyaksikan ketika ayat-ayat tersebut
turun kepada Nabi, dengan cara ini tidak ada satu atau dua hari lewat kecuali
wahyu al-Quran sudah dihafal dalam dada sekian sahabat.
Para sahabat as-sdbiqun ila al-is/am adalah orang-orang pertama

5
yang mendengar dan mempelajari al-Quran dari Nabi, seperti isterinya Khadijah,
'Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah dan Abu Bakr ra. Pada mulanya dakwah
Islam disampaikan secara sembunyi-sembunyi melalui dialog dan pembicaraan
dari hati ke hati. Nabi menggunakan metode ini untuk berdakwah kepada
keluarga sendiri yang berada satu rumah dengannya, kemudian terhadap
tetangganya dan kenalan-kenalan akrabnya dengan pendekatan personal.
Karena jumlah orang-orang yang memeluk Islam sudah mencapai sekitar
duapuluhlima orang, Nabi menambah metode dakwah baru penyebaran Islam
dengan menyelenggarakan pengajaran klasik secara tetap di rumah kediaman
sahabat Al-Arqam bin Abi Al-Arqam. Adapun materi yang disampaikan di
tempat itu difokuskan pada masalah keimanan, akhlak dan latihan menghafal
ayat-ayat al-Quran yang telah diwahyukan.
Di antara sahabat yang mengajarkan hafalan dan bacaan al-Quran di
Makkah selain Rasulullah adalah sahabat Khabbab bin al-Artt. Ia mendatangi
muridnya dari rumah ke rumah, sehingga dapat juga dikatakan dia salah satu guru
privat al-Quran di periode Makkah. Dia memeluk Islam sebelum adanya
pengajian di rumah Al-Arqam. Para sahabat yang menjadi muridnya antara lain
adalah 'Abd Allah bin Mas'ud, Sa'id bin Zaid dan Fathimah hint al-Khattab.
Ada beberapa hal penting dari riwayat tersebut.
a. Pertama, pembelajaran al-Quran telah dilakukan oleh beberapa sahabat di
beberapa rumah secara pribadi
b. kedua, ada beberapa sahabat yang mempunyai catatan al-Quran sebagai
koleksi pribadi atau untuk digunakan sebagai sarana belajar al-Quran.
Meskipun situasi keamanan di Makkah tidak stabil, namun setelah Umar
masuk Islam, kaum Muslim merasa sedikit lega. Oleh karena itu, tempat mereka
belajar yang tadinya dirahasiakan di rumah al-Arqam itu kemudian
dipindahkan ke rumah Nabi sendiri.
Sahabat sangat jujur dan teliti dalam hal pembacaan atau pengajaran ayat-ayat
al-Quran, hal ini dapat ditemukan pada kisah lbnu Mas'ud. Suatu ketika ada
kelompok sahabat yang bertanya tentang surat asy-Syu'ara', lbnu Mas'ud
menjawab "surat itu tidak bersama saya (tidak menghafalnya), akan tetapi

6
kalian hams mempelajarinya dari orang yang mengambilnya dari Rasulullah yaitu
Abi 'Abd Allah Khabbab bin al-Artt.

2. Sejarah Pembelajaran Al-Qur’an Periode Madinah


Madinah pada masa pra-Islam disebut Yatsrib. Setelah hijrah kota ini
menjadi rumah Nabi Muhammad. Madinah merupakan sebuah oasis
berjarak 440 km. dari utara Makkah, ia semula adalah permukiman
petani dengan hutan-hutan palem serta tanah pertanian yang tersebar
luas. Penghuninya antara lain adalah orang Arab dan Yahudi. Dengan
bermukimnya Nabi di sana, Yatsrib disebut dengan julukan kota Nabi
(madinah an-Nabi) atau singkatnya Madinah.
Periode Madinah (pasca-hijrah) merupakan periode pembentukan
masyarakat Islam, yaitu masyarakat yang menerapkan ajaran-ajaran dan
sistem Islam, walaupun di antara warganya terdapat orang-orang yang
bukan Muslim. Meskipun antara periode Makkah dan Madinah
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, namun suatu
hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa periode Madinah yang masanya
lebih pendek dari pada periode Makkah itu memberikan hasil yang lebih
gemilang dibandingkan dengan periode Makkah.
Ketika Nabi pindah ke Madinah, aktifitas pertama kali yang dilakukannya
adalah membangun masjid. Tanah masjid Nabi pada asalnya merupakan
sebuah marbad (tempat untuk mengeringkan kurma) milik dua anak
yatim dari Bani Najjar yang bemama Sahl dan Suhail. Nabi membeli
tanah ini dari mereka untuk membangun masjid dan rumah-rumahnya.
Pada masa selanjutnya, masjid ini menjadi pusat pendidikan. Di antara
tempat-tempat pendidikan yang ada di Madinah adalah :

1. Pertama, shuffah.

Shuffah adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk melaksanakan


aktifitas pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi
pendatang baru (muhajirin) yang tergolong miskin dan tidak punya tempat
tinggal. Di sini, para sahabat diajarkan membaca dan menghafal al-Quran

7
secara benar, di samping juga diajarkan materi hukum Islam di bawah
bimbingan langsung dari Nabi. Nabi mengangkat 'Ubadah bin ash-Shamit
sebagai salah satu guru pada sekolah shuffah di Madinah. Dalam sebuah riwayat
dikatakan bahwa beliau pemah mengajar al-Quran dan baca-tulis kepada golongan
dari ah/ ash-shuffah.
Sahabat lain yang mengajar di ash-shuffah adalah 'Abdullah bin Sa'id bin
al-'Ash mengajar bidang studi membaca dan menulis. Ubay bin Ka'b juga
mengajar al-Quran di shujfah, bahkan di antara tenaga pengajarnya
terclapatbeberapa tawanan perang Badr, mereka disuruh mengajar peserta didik
ash-sujfah sebagai tebusannya. Apabila pembelajaran di Madinah ini
dibandingkan dengan pembelajaran di Dar al-Arqam di Makkah, tentulah
pembelajaran di ash-sujfah lebih rapi dan terorganisir. Hal tersebut disebabkan
keadaan di Madinah jauh lebih stabil dibanding ketika Nabi masih di Makkah,
sehingga proses pembelajaran berjalan dengan lancar.
2. Kedua, Dar al-Qurra '.
Dar al-Qurra' ini yang secara etimologis berarti rumah para pembaca
al-Quran. Semula ia merupakan rumah milik Makhramah bin Naufal, namun tidak
ada kejelasan apakah Dar al-Qurra' ini merupakan asrama bagi para qari', tempat
belajar mereka atau tempat tinggal sekaligus tempat belajar. Namun yang akhir ini
agaknya yang lebih mendekati kebenaran di antara nama sahabat yang tinggal di
rumah ini adalah Ibn Umm Maktum.
3. Ketiga, kuttab.
Kuttab berarti tempat belajar atau tempat di mana dilangsungkan kegiatan
tulis-menulis, bentuk jamaknya katatib, biasanya Kuttab ini dipakai sebagai
tempat pendidikan yang dikhususkan bagi anak-anak. Pacla waktu itu,
terclapatbeberapa kuttab di Madinah. Ahmad Syalabi membeclakanantara kuttab
yang khusus untuk mengajar anak-anak baca tulis dan kuttab yang digunakan
untuk mengaji al-Quran dan dasar-dasar agama.
4 . Keempat, masjid.
Semenjak masjid berdiri di zaman Nabi, ia telah dijadikan pusat kegiatan dan
informasi berbagai masalah kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan
maupun sosial clan ekonomi. Namun yang lebih penting adalah sebagai lembaga

8
pendidikan. Sebagai contoh, ketika turun ayat al-Quran, beliau langsung keluar
menuju masjid dan membacakannya kepada para sahabat. Pada saat itu, sudah
terdapat sembilan buah masjid di Madinah yang kemungkinan juga dipakai sebagai
madrasah. Para sahabat sering berkumpul clan duduk dengan bentuk halaqat
(lingkaran) di masjid untuk melakukan tadarus al-Quran. Dalam halaqah
tersebut, proses belajar mengajar dilaksanakan. Di sana, peserta didik duduk
melingkari gurunya. Nabi beberapa kali masuk masjid dan menemukan para
sahabat duduk dalam formasi halaqah, clan dalam beberapa hadis, disebutkan
bahwa Nabi memotivasi para sahabatnya agar bertadarus al-Quran di masjid.
Oleh karena itu, sahabat semangat belajar dan bertadarus al-Quran di masjid
hingga terdengar suara keramaian akibat bacaan sahabat di masjid Nabi,
sehingga Nabi menyuruh mereka agar menurunkan atau merendahkan suara
mereka supaya tidak saling mengganggu yang lain.
5. Kelima, rumah para sahabat.

Rumah para sahabat juga dipakai untuk belajar clan mengajar meskipun
tidak secara rutin. Misalnya apabila Nabi kedatangan tamu-tamu dari daerah
sekitar Madinah, mereka menginap di rumah para sahabat. Seraya menginap,
mereka belajar al-Quran dan ajaran Islam dari Nabi atau sahabat pemilik rumah.
Seperti rumah Ramlah hint al-Harits yang pemah menjadi tempat istirahat. Nabi
pemah mengirimkan beberapa sahabat ke beberapa daerah luar kota Madinah,
misal ketika rombongan dari Yaman meminta dari Nabi agar mengirimkan
bersama mereka seorang yang mengajarkan mereka al-Quran, Nabi mengirimkan
Abi 'Ubaidah, riwayat lain menceritakan bahwa Nabi mengutus Mu'adz dan Abu
Musa ke Yaman sebagai guru al-Qur'an.
Pembelajaran al-Quran di Madinah masih didominasi oleh metode
oral (musyafahah), karena masyarakat Madinah yang menguasai baca tulis sangat
sedikit bahkan lebih sedikit dari masyarakat Makkah. Di antara mereka yang
bisa menulis ketika Nabi hijrah adalah Ubay bin Ka'b, Zaid bin Tsabit, Sa'd
bin 'Ubadah, Rafi' bin Malik. Orang pertama yang menulis untuk Nabi di
Madinah adalah Ubay, ketika Ubay tidak ada atau berhalangan maka Nabi
mengundang Zaid.
Dalam pembelajaran al-Quran, para sahabat mengacu kepada talaqqi
dan pendengaran dari Nabi atau dari sahabat yang menerima dari Nabi.

9
Mereka tidak mengacu kepada shahifah-shahifah karena hal itu akan
menghilangkan atau melewatkan hal yang penting dalam bacaan al-Quran
secara benar yaitu tajwid wa al-ada' atau hal-hal yang berkaitan dengan cara
bacaan. Misalkan cara membaca idgham, imalah dan isymam itu tidak bisa
dipelajari dari tulisan saja. Musyafah atau at-talqin asy-syafahi adalah
salah satu bentuk transmisi sebuah ilmu yang diakui oleh ulama Muslim
khususnya pada al-Quran. Fungsi shahifah-shahifah yang ada pada masa itu
adalah sarana untuk belajar al-Quran atau sebagai koleksi pribadi
khususnya bagi sahabat yang khawatir lupa ayat-ayat al-Quran.
Hasil pendidikan Nabi kepada para sahabat membuahkan banyak
sahabat yang tercatat namanya dalam sejarah sebagai penghafal dan guru
al-Quran, atau dengan istilah awalnya qurra '. Para qari' ini adalah orang
yang akan meneruskan perjalanan pendidikan pengajaran al-Quran pada
generasi selanjutnya. Dengan demikian, al-Quran tetap dihafal, diambil
dan dipelajari secara langsung dari mulut para qari' dan guru. Dari Allah ke
Malaikat Jibril ke Nabi Muhammad, dari Nabi ke Sahabat, dari Sahabat ke
Sahabat lain dan Tabi 'in dan seterusnya sampai kepada kita dengan sanad
yang bersambung kepada Nabi Muhammad.
Semua yang dilakukan oleh Nabi semuanya adalah dalam rangka memperbaiki
dan meningkatkan pola serta kualitas pendidikan dan pengetahuan sahabat
yang mayoritas dari mereka belum dapat membaca clan menulis. Sistem budaya
pendidikan yang diciptakan oleh Nabi sangat memotivasi sahabat dalam hal
belajar, Nabi tidak sekedar berusaha dengan ucapan , akan tetapi juga dengan
tindakan dan action. Sebagai contoh, untuk mendekatkan al-Quran kepada
masyarakat, Nabi menjadikan hafalan beberapa surat al-Quran sebagai mahar
(mas kawin) nikah. Mendahulukan proses pemakaman seorang yang mati syahid
yang hafalnya lebih banyak. Seorang qari' adalah orang yang berhak menjadi
imam sholat. Memberi panji perang kepacla sahabat yang hafalnya paling banyak,
dan masih banyak sekali riwayat-riwayat lain tentang penghargaan Nabi terhadap
qurra' sahabat.8

8
Abdul Jalil, Sejaran Pembelajaran Al-Quran Di Masa Nabi Muhammad,(Insania: Jurnal
Pemikiran Alternatif Pendidikan, 18:1),hlm 1-3.

10
 Pembelajaran Hadits pada Masa Rasulullah SAW
Hadis pada masa dikenal dengan Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yakni masa
turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Keadaan seperti ini menuntut
keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama jaran Islam.
Wahyu yang diturunkan Allah dijelaskan Nabi melalui perkataan,
perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga apa yang didengar dan disaksikan oleh para
sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasulullah SAW
juga memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal, menyampaikan
dan menyebar- luaskan hadis-hadis. Nabi sendiri tidak hanya memerintahkan,
namun beliau juga banyak memberi spirit melalui doa-doanya, dan tak jarang
Nabi juga menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafal hadis
dan menyampaikannya kepada orang lain. Hal itulah yang kemudian memotivasi
para sahabat untuk menghafalkan hadis, disamping para sahabat adalah orang
Arab tulen yang mayoritas tidak bisa baca-tulis, namun demikian mereka
mempunyai kemampuan hafalan yang luar biasa, karena menghafal merupakan
budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya.
Para sahabat pun dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah
SAW sebagai sumber hadis. Tempat yang dijadikan Nabi dalam menyampaikan
hadis sangat fleksibel, terkadang hadis disampaikan ketika Nabi bertemu dengan
sahabatnya di Masjid, pasar, ketika dalam perjalanan, dan terkadang juga di
rumah Nabi sendiri.
Selain itu, ada beberapa cara Rasulullah SAW menyampaikan hadis
kepada para sahabat, yaitu:
1. Pertama, melalui majlis ilmu, yakni temat pengajian yang diadakan oleh Nabi
Muhammad SAW untuk membina para jamaah.
2. Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan
hadis- nya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya
kepada orang lain. Jika hadis yang disampaikan berkaitan dengan persoalan
keluarga dan kebutuhan biologis, maka hadis tersebut disampaikan
melalui istri-istri Nabi sendiri.
3. Ketiga, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, misalnya ketika haji
wada’ dan fath al- Makkah. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H,

11
Nabi menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu
kaum muslimin yang sedang melakukan ibadah haji, isinya terkait dengan
bidang muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan HAM yang meliputi
kemanusiaan, per- samaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan
solidaritas. Selain itu juga ada- nya larangan dari Nabi untuk menumpahkan
darah, larangan riba, menganiaya, dan juga perintah untuk menegakkan
persaudaraan sesama manusia, serta untuk selalu berpegang teguh pada al-
Qur’an dan Hadis.
Respon sahabat dalam menerima dan menguasai hadis tidak selalu sama.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: adanya perbedaan di antara
mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW, dan juga soal
kesanggupan bertanya pada sahabat lain, serta berbedanya waktu masuk Islam
dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasulullah SAW. Ada beberapa sahabat yang
tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasulullah, misalnya
para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun al-Awwalun (Abu Bakar,
Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud),
Ummahat al-Mukminin (Siti Aisyah dan Ummu Salamah), sahabat yang meskipun
tidak lama bersama Nabi, akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat
lainnya secara sungguh-sungguh seperti Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Umar,
Anas ibn Malik, dan Abdullah ibn Abbas yang merupakan sahabat yang secara
sungguh-sungguh mengikuti majlis Nabi, banyak bertanya kepada sahabat lain
meskipun dari sudut usia tergolong jauh dari masa hidup Nabi.
Hadis yang disampaikan Nabi kepada para sahabat melalui beberapa cara,
menurut Muhammad Mustafa Azami ada tiga cara, yaitu:
1. Pertama, menyampaikan hadis dengan kata-kata. Rasul banyak mengadakan
pengajaran-pengajaran kepada sahabat, dan bahkan dalam rangka untuk
memudahkan pemahaman dan daya ingat para sahabat, Nabi mengulang-ulang
perkataannya sampai tiga kali.
2. Kedua, menyampaikan hadis melalui media tertulis atau Nabi mendiktekan
kepada sahabat yang pandai menulis. Hal ini meny- angkut seluruh surat Nabi
yang ditujukan ke- pada para raja, penguasa, gubernur-gubernur muslim.

12
Beberapa surat tersebut berisi tentang ketetapan hukum Islam, seperti
ketentuan tentang zakat dan tata cara peribadatan.
3. Ketiga, menyampaikan hadis dengan mem- praktek secara langsung di
depan para saha- bat, misalnya ketika beliau mengajarkan cara berwudhu,
shalat, puasa, menunaikan ibadah haji dan sebagainya.9
Pada masa Nabi SAW, hadis tidak ditulis secara resmi sebagaimana al-
Qur’an, hal ini dikarenakan adanya larangan dari Nabi. Larangan menulis
hadis dari Rasul sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri,
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Rasulullah SAW telah bersabda, “Janganlah kamu menulis sesuatu yang
berasal daripadaku, kecuali al-Qur’an, dan barangsiapa telah menulis
daripadaku selain al-Qur’an, maka hendaklah ia menghapus- kannya.”
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sahabat Rasul mayoritasnya tidak
bisa baca- tulis. Pernyataan demikian sekaligus menggambarkan bahwa ada
beberapa sahabat yang mahir dalam hal itu, meski bukan mayoritas. M. M.
Azami dalam kitabnya yang berjudul Kuttāb al-Nabī Ṡallā Allāh ‘alaihi
wa Sallam, ada 48 sahabat yang menjadi sekretaris Nabi dan juru tulisnya.10
Pelarangan Nabi dalam penulisan hadis tersebut secara implisit
menunjukkan adanya kekhawatiran dari Nabi apabila hadis yang ditulis akan
bercampur baur dengan catatan ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun demikian, ada juga
riwayat-riwayat yang menyata-kan bahwa pada masa Rasul ada sebagian sahabat
yang memiliki lembaran-lembaran (sahifah) yang berisi tentang catatan hadis,
misalnya Abdullah ibn Amr ibn al-Ash dengan lembarannya yang diberi nama al-
Sahifah al-Shadiqah, dinamakan demikian karena ia menulis secara langsung dari
Rasulullah sendiri, sehingga periwayatannya di percaya kebenarannya. Begitu
juga dengan Ali ibn Abi Thalib dan Anas ibn Malik, keduanya sama-sama
memiliki catatan hadis. Hal ini bukan berarti mereka melanggar akan larangan
Rasul tentang penulisan hadis, namun karena memang ada riwayat lain yang
menyatakan bahwa Rasul mengizinkan para sahabat untuk menulis hadis,
sebagaimana diriwayatkan bahwa para sahabat melarang Abdullah ibn Amr ibn
9
Muhammad Mustafa Azami, Studies In Hadith Methodology and Literature, (Indiana:
American Trust Publications, 1977), Hlm 10.
10
Muḥammad Muṣṭafā al-A‘ẓamī, Kuttāb al-Nabī ṣallā Allāh ‘alaihi wa Sallam, (Beirut: al-
Maktab al-Islāmī, 1398 H), cet. II.

13
al-Ash yang selalu menulis apa saja yang didengarkannya dari Rasulullah, karena
menurut mereka Rasul terkadang dalam keadaan marah, sehingga ucapannya
tidak termasuk ajaran syar’i, tetapi setelah diadukan pada Rasulullah, beliau ber-
sabda:
“Tulislah apa yang kamu dengar da- riku, demi zat yang jiwaku berada
ditangan- Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran.”
Dari sini dapat dilihat bahwa ada dua riwayat yang berbeda, satu riwayat
menyatakan bahwa Nabi melarang penulisan hadis dan di riwayat lain
menyatakan bahwa Rasul mengizinkannya. Dalam memandang hal ini, para
ulama berbeda pendapat, dan
secara garis besar terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa
riwayat yang melarang penulisan hadis dinasakh oleh riwayat yang
mengizinkannya. Menurut mereka, pelarangan penulisan hadis oleh Nabi terjadi
pada awal-awal Islam, karena dikhawatirkan adanya percampuran antara hadis
dan ayat al-Qur’an, jadi hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga kemurnian ayat
al-Qur’an. Namun ketika kekhawatiran tersebut mulai hilang karena para
sahabat telah mengetahui dan terbiasa dengan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an,
sehingga mereka bisa membedakan mana ayat al-Qur’an dan mana yang bukan,
maka Rasul mengizinkan mereka untuk menuliskan hadis. Pendapat kedua
menyatakan bahwa pada dasarnya kedua riwayat tersebut tidak bertentangan.
Mereka menyatakan bahwa larangan itu dikhususkan kepada mereka yang
dikhawa- tirkan akan mencampur adukkan hadis dan al- Qur’an, dan diizinkan
bagi mereka yang tidak dikhawatirkan mencampur adukkan kedua-nya, yaitu
izin seperti yang dilakukan Nabi kepada Abdullah ibn Amr ibn al-Ash. Atau
dalam kata lain Rasul melarang penulisan hadis secara resmi, tetapi tetap
mengizinkan para sahabat menulis hadis untuk diri sendiri. Jadi larangan itu
bersifat umum sedangkan izin hanya berlaku untuk sahabat tertentu.11

11
Leni Andariati, Hadits dan sejarah Perkembangannya., (Diroyah: Jurnal Studi Ilmu Hadits,
2020), hal 155-157.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
belajaran adalah proses kerja sama antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan
ng ada baik potensi yang bersumber dari dalam siswa itu sendiri seperti minat, bakat dan kemampuan
dimiliki termasuk gaya belajar maupun potensi yang ada di luar siswa untuk mencapai tujuan belajar

Kedudukan Al-Qur’an dan Hadits bagi umat Islam sangatlah penting,


sehingga keberadaan Al-Qur’an dan hadits tidak hanya untuk dibaca dan
dihafalkan semata. Al-Qur’an dan hadits penting untuk diketahui isi
kandungannya. Dengan memahami kandungan Al-Qur’an dan Hadits akan
mengantarkan kita untuk mengamalkannya.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Quran yang
merupakan kalam Ilahi diwahyukan kepada Nabi Muhammad selama
sekitar 23 tahun secara berangsur-angsur. Mulai dari wahyu pertama di
Makkah, Nabi telah berusaha dan bersusah-payah untuk menjaga kemurnian
teks Al-Quran sehingga mengajarkan dan menyampaikannya kepada
sahabatnya dengan sempurna dan benar. Para sahabat juga membantu
clalam proses pembelajaran al-Quran kepada sahabat lain dengan berbagai
cara. Sedangkan tempat yang dijadikan sebagai tempat studi al-Quran clan
dasar agama Islam adalah rumah Nabi dan dari al-Arqam.
Dengan kondisi yang stabil dan aman, proses pembelajaran al-Quran di
Madinah berjalan dengan lancar. Shuffah, masjid dan tempat-tempat lain telah
menjadi pusat pendidikan al-Quran clan ilmu keislaman. Para sahabat senior
ikut mengajar di sana clan sebagian lagi dikirim ke beberapa kabilah sebagai
da'i dan pengajar. Dengan berbagai masalah clan terbatasnya sarana pada
masa Nabi, mereka (Nabi clan sahabat) sukses clalam tugas penjagaan clan
pengajaran al-Quran.

B. Saran

15
Pembelajaran memahami kandungan Al-Qur’an dan Hadits sangatlah
penting untuk di suguhkan kepada peserta didik sejak dini. Oleh karena itu,
penulis harap para guru mampu memahamkan peserta didik akan kandungan
dari Al-Qur’an dan Hadits kepada peserta didik dengan cara menggunakan
metode serta media yang menarik agar peserta didik mau belajar dan mudah
memahaminya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al- Karim Zaidan, Abd. (1994). Al Wajiz Fi Ushul Al- Fiqhi. Bairut: Muassasah Ar-
Risalah. hlm 151.
Azami, Mustafa. (1977). Studies In Hadith Methodology and Literature. Indiana:
American Trust Publications. hlm 10.
Jalil, Abdul. (2018). Sejaran Pembelajaran Al-Quran Di Masa Nabi Muhammad.
Insania: Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan. Vol 18:1. hlm 1-3.
Muṣṭafa al-A‘ẓamī, Muḥammad. Kuttāb al-Nabī ṣallā Allāh ‘alaihi wa Sallam, (Beirut:
al-Maktab al-Islāmī, 1398 H), cet. II.
Muṣṭafa, Yusuf Muhammad. Al- Madkhal Li Dirasat Al-Fiqhi Al- Islamy. Bairut: Dar
Al- Fikri Al- Araby. hlm. 69.
Quraish Shihab, M. (1996). Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. hlm 3.
Sanjaya, Wina. (2011). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: PT.Fajar
Interpratama. hlm. 26.
Sanjaya, Wina. (2011). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: PT.Fajar
Interpratama. hlm. 26.
Supatra, Munzier. . (2013) Ilmu Hadis. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. hlm. 3.
Wahidah, Fatira. (2010). ‘Ulum Al-Qur’an. Kendari: CV. Shadra. hlm 1-2.

Anda mungkin juga menyukai