Inspirasi Peradaban
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
yang Dibina Oleh Rosyida Nurul Anwar, S.Pd., M.Pd.I.
Oleh:
Perdana Miftachul Hudaa 1902112002
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat,
Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah pendidikan agama islam dengan judul "Al-Qur’an,As-sunnah dan Ijtihad
sebagai Inspirasi Peradaban" tepat pada waktunya.
Penyusun
i|Page
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................i
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
Latar Belakang...............................................................................................................1
Rumusan Masalah..........................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................1
PEMBAHASAN...............................................................................................................1
Ragam Corak Dalam Penafsiran al-Qur’an....................................................................1
Corak Lughawi...........................................................................................................1
Corak Filsafat.............................................................................................................1
Corak Ilmiah..............................................................................................................1
Corak Fikih................................................................................................................1
Corak Tasawuf...........................................................................................................1
Corak al-Adabi wa al-Ijtima’i....................................................................................1
Dialektika Gaya Bahasa al-Qur’an dan Konteks Budaya Arab......................................1
Merekonstruksi penafsiran al Qur`an sebagai inspirasi budaya......................................1
Paradigma Baru..........................................................................................................1
BAB III.............................................................................................................................1
PENUTUP.........................................................................................................................1
Kesimpulan....................................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................1
ii | P a g e
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang di dalamnya memuat ajaran moral
universal bagi umat manusia sepanjang masa.Ajaran moral itu yang menjadi
landasan hidup manusia di dunia.Sedangkan As- sunnah adalah jalan yang di
tempuh oleh rasulullah dan para sahabatnya, baik ilmu, keyakinan, ucapan,
perbuatan, maupun penetapan.keduanya merupakan sumber rujuan agama islam.
Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks,
selalu berkembang sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya
al-Qur’an dan As-sunnah selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan
diinpretasikan dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi
sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna
terdalam dari al-Qur’an.Al-Qur’an di dalamnya sudah sangat lengkap dan tidak
ada satu kekurangan, jikalau ada kekurangan munurut seseorang, maka itu bukan
disebabkan al-Qur’an yang tidak sempurna, melainkan hanya pengetahuan
manusia sajalah yang belum sempurna.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Ragam Corak Dalam Penafsiran al-Qur’an?
2. Bagaimana Dialektika Gaya Bahasa al-Qur’an dan Konteks Budaya
Arab?
1|Page
3. Merekonstruksi penafsiran al Qur`an sebagai inspirasi budaya ?
BAB II
PEMBAHASAN
Disisi lain, ilmu yang berkembang di tubuh umat Islam selama periode
abad pertengahan yang bersentuhan langsung dengan keislaman adalah ilmu fiqih,
ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa, sastra dan filsafat. Karena banyaknya
orang yang berminat besar dalam studi setiap disiplin ilmu itu yang menggunakan
basis pengetahuanya sebagai kerangka dalam memahami al-Qur’an, serta mencari
dasar yang melegitimasi teori-teorinya dari al-Qur’an, maka muncullah kemudian
tafsir fiqih, tafsir i’tiqadi, tafsir sufi, tafsir ilmi, tafsir falsafi dan lain-lain.
Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah
penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang
mufasir ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya,bahwa
kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir. Kata
kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran atau ide
tersebut. Kecenderungan inilah yang kemudian muncul ke permukaan pada
periode abad pertengahan.
2|Page
Kitab-kitab tafsir yang berhasil dikaryakan oleh sarjana-sarjana muslim
pada masa itu antara lain seperti tafsir Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Ayat al-
Qur’an karya Ibnu Jarir al-Thabari (923 M), al-Kasysyaf karya Zamakhshari
(1144 M) yang bercorak ideologi Mu’tazilah, kemudian Mafatih al-Ghaibkarya
Fakhr al-Din al-Razi (1209 M) dengan corak teologi sunni, dan Tafsir al-Jalalain
karya al-Mahalli (1459 M) bersama al-Suyuti (1505 M) dengan corak lughawi.
1. Corak Lughawi
Corak lughawi adalah penafsiran yang dilakukan dengan
kecenderungan atau pendekatan melalui analisa kebahasaan. Tafsir model
seperti ini biasanya banyak diwarnai dengan kupasan kata per kata (tahlil al-
lafz}), mulai dari asal dan bentuk kosa kata (mufradat), sampai pada kajian
terkait gramatika (ilmu alat), seperti tinjauan aspek nahwu, sarf, kemudian
dilanjutkan dengan qira’at. Tak jarang para mufasir juga mencantumkan bait-
bait syair arab sebagai landasan dan acuan.Oleh karena itu, seseorang yang
ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui
bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-
beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Dengan
mengetahui bahasa al-Qur’an, seorang mufasir akan mudah untuk melacak
dan mengetahui makna dan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an sehingga akan
mampu mengungkap makna di balik kalimat tersebut. Bahkan Ahmad
Shurbasi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sarf, etimologi,
balaghahdan qira’at) sebagai syarat utama bagi seorang mufasir.Di sinilah,
urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an. Diantara
kitab tafsir yang menekankan aspek bahasa atau lughahadalah Tafsir al
3|Page
Jalalain karya bersama antara al-Suyuti dan al-Mahalli, Mafatih al-Ghaib
karya Fakhruddin al-Razi, dan lain-lain.
2. Corak Filsafat
Di antara pemicu munculnya keragaman penafsiran adalah
perkembangan kebudayaan dan pengetahuan umat Islam. Bersamaan dengan
itu pada masa Khilafah Abbasiyah banyak digalakkan penerjemahan buku-
buku asing ke dalam bahasa arab. Di antara buku-buku yang diterjemahkan
tersebut adalah buku-buku filsafat, yang pada gilirannya dikonsumsi oleh
umat Islam.
3. Corak Ilmiah
Corak ini muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena itu muncul usaha-usaha penafsiran al-Qur’an yang sejalan dengan
perkembangan ilmu yang terjadi. Di samping itu, al-Qur’an juga dianggap dan
diyakini mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. al-Qur’an mendorong
umat Islam untuk memerdekakan akal dari belenggu keraguan, melepaskan
belenggu-belenggu berfikir, dan mendorongnya untuk mengamati fenomena
alam. Allah ta’ala telah mendorong kita untuk mengamati ayat-ayat kauniyah,
di samping ayat-ayat qur’aniah, oleh karena itu, dalam al-Qur’an kita temukan
ayat-ayat seperti Al Qur’an surat Al An’am ayat 97-98 :
4|Page
Beberapa ayat di atas mendorong manusia untuk berfikir dan
memahami al-Qur’an secara mendalam. Keberadaan ayat yang memiliki
ketelitian redaksi mengindikasikan bahwa ayat-ayat seperti ini ditujukan
bagi kelompok tertentu yang mampu berfikir secara mendalam. Merekalah
yang dibebani untuk menyingkapnya karena hanya mereka yang mampu
melakukannya, sebagaimana hanya ahli Balaghah-lah yang dapat
mengungkap keindahan bahasa al-Qur’an. Dengan semangat ini,
bermunculan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat kauniah dengan bertolak
dari proposisi pokok-pokok bahasa, berdasarkan kapasitas keilmuan yang
mereka miliki dan hasil pemikiran dan pengamatan langsung terhadap
fenomena-fenomena alam. Menurut Muhammad Shahrur, sebagaimana
dikutip oleh Abdul Mustaqim, untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an yang
berisi informasi ilmu pengetahuan diperlukan “ta’wil ‘ilmi” (penafsiran
secara ilmiah).
5|Page
Hanya saja, perlu digarisbawahi, bahwa meskipun ayat-ayat al-
Qur’an bisa di takwil oleh manusia, namun yang dapat menakwilkan
secara sempurna hanyalah Allah, sebab pengetahuan Allah bersifat
sempurna dan mutlak, sedangkan hasil takwil yang dilakukan oleh
manusia bersifat relatif, karena pengetahuan manusia juga bersifat nisbi.
Sebagai konsekuensinya, takwil harus bersifat “sairurah” (on going
process) berkembang terus-menerusseiring kemajuan dan perkembangan
teori ilmu pengetahuan.Tokoh yang dipercayai gigih dalam mendukung
tafsir ‘ilmi adalah :
6|Page
b. Fakhruddin al-Razi, (1209 M),
meskipun ia tidak sepenuhnya sependapat dengan al-
Ghazali, namun dalam kitabnya, Mafatih al-Ghaib, ia banyak
melakukan pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu
alam, astronomi, kedokteran, dan sebagainya. Sampai-sampai,
kitab tafsirnya tersebut dinilai secara berlebihan sebagai
mengandung segala sesuatu kecuali tafsir.
4. Corak Fikih
Sebagaimana corak-corak lain yang mengalami perkembangan dan
kemajuan dengan berbagai macam kritik dan pro kontranya,corak fiqhi
merupakan corak yang berkembang. Tafsir fiqhi lebih popular disebut tafsir
ayat al-Ahkamatau tafsir ahkamkarena lebih berorientasi pada ayat-ayat
hukum dalam al-Qur’an.
Dilihat dari sisi pro-kontranya, tafsir corak fiqhi merupakan jenis corak
yang banyak diterima hampir semua mufasir.Tafsir ini berusia sudah sangat
tua, karena kelahirannya bersamaan dengan kelahiran tafsir al-Qur’an itu
sendiri. Banyak sekali judul kitab yang layak untuk disebutkan dalam deretan
daftar nama-nama kitab tafsir ayat al-Ahkam, baik dalam bentuk tahlili
maupun maudu’i, antara lain Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas (917-980 M),
seorang faqihmazhab Hanafi. Ahkam al-Qur’an karya ibn al-‘Arabi (1075-
1148 M). al-Jami’ li ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi (1272 M). ahkam al-
7|Page
Qur’ankarya al-Shafi’i (204 H.). dan masih banyak lagi karya tafsir di bidang
fikih atau Tafsir Ahkam.
5. Corak Tasawuf
Menurut Quraish Shihab, corak ini muncul akibat munculnya gerakan-
gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap
materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
Disamping karena dua faktor yang dikemukakan oleh Qurais Shihab di atas,
faktor lain adalah karena berkembangnya era penerjemahan karya-karya
filsafat Yunani di dunia Islam, maka muncul pula tafsir-tafsir sufi falsafi.
Antara lain adalah Tafsir al-Qur’an karya Sahal ibn Abdillah al-Tustari
(283H). Tafsir ini dinilai oleh sebagian orang tidak memuaskan karena tidak
lebih dari 200 halaman dan tidak lengkap mengapresiasi al-Qur’an 30 juz.
8|Page
6. Corak al-Adabi wa al-Ijtima’i
al-Adabi wa al-Ijtima’i terdiri dari dua kata, yaitu al-Adabi dan al-
Ijtima’i. Corak tafsir yang memadukan filologi dan sastra (tafsir adabi), dan
corak tafsir kemasyarakatan. Corak tafsir kemasyarakatan ini sering
dinamakan juga ijtima’i.Kata al-Adabi dilihat dari bentuknya termasuk
masdar(infinitif) dari kata kerja (madi) aduba, yang berarti sopan santun, tata
krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang
dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam
kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu,
istilah al-adabi bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-Ijtima’i
bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan
kemasyarakatan/sosial. Jadi secara etimologis tafsir al-Adabi al-Ijtima’i adalah
tafsir yang berorientasi pada sosial-kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan
tafsir sosio-kultural.
9|Page
B. Dialektika Gaya Bahasa Al-Qur’an dan Konteks Budaya Arab
Menurut Abd al-Qahir al-Jurjani (471 H) majaz adalah kebalikan haqiqah.
Sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa
mengundang kemungkinan makna lain disebut dengan haqiqah. Sedangkan majaz
adalah sebaliknya, yaitu perpindahan makna dasar ke makna lainnya, atau
pelebaran medan makna dari makna dasar karena ada alasan tertentu. Secara
teoritik, majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju yang literer,
atau dari yang denotatif menuju yang konotatif karena ada alasan-alasan tertentu.
Misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 19 :
Artinya : “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai
gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya,
karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputiorang-
orangyangkafir”.
10 | P a g e
Kalau kita mengamati secara cermat ungkapan-ungkapan dalam al-Qur’an,
maka akan ditemukan beberapa ayat yang menggunakan bentuk penghalusan
bahasa (eufimisme). Barangkali ungkapan tersebut muncul karena ada beberapa
faktor, baik yang bersifat historis maupun bersifat etis. Konsekuensi logis dari
ungkapan itu akan menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para mufassir.
Karena kebanyakan gaya bahasa eufimisme berimplikasi menjadi sebuah bahasa
yang multi interpretatif (ambigu). Misalnya saja dalam surat al-Nisa‘ ayat 43
disebutkan:
ٍ ِصاَل ةَ َوأَ ْنتُ ْم ُسكَا َر ٰى َحتَّ ٰى تَ ْعلَ ُموا َما تَقُولُونَ َواَل ُجنُبًا إِاَّل عَابِ ِري َسب
يل َحتَّ ٰى تَ ْغتَ ِسلُوا ۚ َوإِ ْن َّ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَ ْق َربُوا ال
طيِّبًا فَا ْم َسحُواَ ص ِعيدًا َ ض ٰى أَوْ َعلَ ٰى َسفَ ٍر أَوْ َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أَوْ اَل َم ْستُ ُم النِّ َسا َء فَلَ ْم تَ ِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُمواَ ُْك ْنتُ ْم َمر
بِ ُوجُو ِه ُك ْم َوأَ ْي ِدي ُك ْم ۗ إِ َّن هَّللا َ َكانَ َعفُ ًّوا َغفُورًا
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir
atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah
yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
11 | P a g e
banyak untuk regenerasi dalam kesatuan kabilah. Karena hanya dengan itu
kekuatan dan kehormatan kabilah dapat terjaga.
َث لَ ُك ْم فَأْتُوا َحرْ ثَ ُك ْم أَنَّ ٰى ِش ْئتُ ْم ۖ َوقَ ِّد ُموا أِل َ ْنفُ ِس ُك ْم ۚ َواتَّقُوا هَّللا َ َوا ْعلَ ُموا أَنَّ ُك ْم ُماَل قُوهُ ۗ َوبَ ِّش ِر ْال ُم ْؤ ِمنِين
ٌ ْنِ َسا ُؤ ُك ْم َحر
12 | P a g e
Secara harfiah memahami ayat di atas seakan-akan ada kebebasan bagi
sang suami. Namun tidak demikian, sekalipun dalam kenyataannya superioritas
laki-laki terhadap perempuan sangat mendominasi saat itu, tetapi Islam telah
memberikan aturan yang jelas dan adil. Seorang isteri diibaratkan seperti ladang
karena pada ayat sebelumnya (ayat 222) membicarakan kondisi perempuan yang
menstruasi. Islam memberikan tuntunan bahwa perempuan yang sedang
menstruasi tidak boleh diperlakukan seperti dalam keadaan normal. Maka untuk
melunakkan dan meluluhkan hati mereka al-Qur’an menggambarkan seorang
isteri seperti ladang jika ia dalam keadaan suci.
13 | P a g e
Perhatikan firman Allah yang melukiskan peristiwa hari kiamat dalam surat al-
Qari‘ah ayat 1-5,
ِ َارعَة ُ ْٱلق
ِ ارعَة ِ َارعَة ُ َما ْٱلق
ِ َاش ْٱل َم ْبثُوث ِ َو َمٓا أَ ْد َر ٰىكَ َما ْٱلق
ِ يَوْ َم يَ ُكونُ ٱلنَّاسُ ك َْٱلفَ َر
Tidak ada seorang pun yang mengetahui seperti apa hari kiamat itu?
Masyarakat Arab yang menjadi sasaran pertama kali al-Qur’an diturunkan adalah
sebuah komunitas yang memiliki watak kaku, berhati keras dan berpikiran sempit
yang terkungkung oleh pengunungan dan padang pasir yang gersang, serta tidak
ada tanaman yang tumbuh maka untuk meneguhkan keyakinan mereka bahwa
kehidupan di dunia adalah fana. Allah menggambarkan hari kiamat seperti anai-
anai yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-
hamburkan.
Dalam keyakinan kita, sebagai seorang muslim tentu hari kiamat tidak
sama persis seperti illustrasi dalam ayat-ayat di atas. Tetapi hal itu perlu dipahami,
bahwa peristiwa-peristiwa ghaib seringkali diilustrasikan dengan sesuatu yang
konkrit, karena konteks masyarakat yang dihadapi Nabi memiliki karakter dan
watak yang keras. Karena latar demikian itu, maka hari kiamat dipersamakan
dengan sesuatu yang tampak oleh penglihatan mereka. Dengan maksud agar
mereka bisa membaca dan menghayati sehingga tumbuh keyakinan kuat terhadap
ajaran Islam. Juga dalam firman Allah yang menggambarkan sifat-sifat penghuni
neraka lantaran mereka tidak mensyukuri ni‘mat yang diberikan. Perhatikan surat
al-A‘raf ayat 179 berikut:
14 | P a g e
ِ نس ۖ لَهُ ْم قُلُوبٌ اَّل يَ ْفقَهُونَ ِبهَا َولَهُ ْم أَ ْعي ٌُن اَّل يُ ْب ْ
َان اَّل يَ ْس َمعُون
ٌ صرُونَ بِهَا َولَهُ ْم َءا َذ ِ ِ َولَقَ ْد َذ َرأنَا لِ َجهَنَّ َم َكثِيرًا ِّمنَ ْٱل ِجنِّ َوٱإْل
ٓ ٓ
َ ِضلُّ ۚ أُ ۟و ٰلَئ
َك هُ ُم ْٱل ٰ َغفِلُون َ ِبِهَٓا ۚ أُ ۟و ٰلَئ
َ َك َكٱأْل َ ْن ٰ َع ِم بَلْ هُ ْم أ
ُ ب بِقِي َع ٍة يَحْ َسبُهُ الظَّ ْمآنُ َما ًء َحتَّ ٰى إِ َذا َجا َءهُ لَ ْم يَ ِج ْدهُ َش ْيئًا َو َو َج َد هَّللا َ ِع ْن َدهُ فَ َوفَّاهُ ِح َسابَهُ ۗ َوهَّللا
ٍ َوالَّ ِذينَ َكفَرُوا أَ ْع َمالُهُ ْم َك َس َرا
ِ َس ِري ُع ْال ِح َسا
ب
15 | P a g e
dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun.
Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya
perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-
Nya” (QS:24:39).
Melihat kondisi geografi tanah Arab yang sulit untuk mendapatkan air,
maka dalam ayat di atas Allah mempersamakan amal-amal orang kafir seperti
fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air dan bila didatangi tidak
didapatinya. Satu gambaran yang benar-benar membuat mereka untuk berpikir
mendalam, bahwa apa yang mereka lakukan selama ini tidak mendapatkan
balasan sedikit pun. Mempersamakan amal-amal orang kafir dengan fatamorgana
karena di tempat mereka hidup sangat sulit untuk mendapatkan air, dan itu
menjadi sumber kehidupan masyarakat Arab secara keseluruhan. Dengan
persamaan itu akan membuat mereka lebih nyata untuk membaca fenomena alam
yang kemudian direfleksikan kepada keyakinannya yang selama ini dianggap
benar
Bagaimana al-Qur’an memberikan kabar gembira kepada orang yang beriman dan
berbuat kebaikan? Perhatikan ayat berikut:
16 | P a g e
kekurangan sumber air, serta tandusnya tanah padang pasir mengakibatkan
sulitnya untuk mendapatkan bahan makanan. Peperanganpeperangan yang terjadi
di antara mereka banyak disebabkan oleh kebutuhan pokok tersebut, dan bahkan
dipicu oleh kecintaan kepada seorang wanita.
َ أَ َو َم ْن يُنَ َّشأ ُ فِي ْال ِح ْليَ ِة َوهُ َو فِي ْال ِخ
ص ِام َغ ْي ُر ُمبِي ٍن
Artinya: “Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam
keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam
pertengkaran”.
17 | P a g e
ungkapan ayat di atas “man yunashsha` fi al-hilyah” (orang yang dibesarkan
dalam keadaan berperhiasan) adalah kinayah bagi seorang perempuan. Karena
yang sering berhias dan berdandan, serta tidak memiliki kekuatan dalam
pertengkaran adalah orang perempuan. Jadi, konteks ayat di atas sebagai kinayah
bagi orang perempuan Arab Jahili yang memiliki kebiasaan berhias diri dan tidak
punya kekuatan, sekalipun sifat-sifat itu juga terdapat pada perempuan zaman
sekarang.
Wahyu pertama (QS al-‘Alaq [96]: 1-5) yang turun kepada Nabi Muhammad
SAW sejatinya menginstruksikan pentingnya pengembangan budaya literasi sebagai basis
pembangunan peradaban. Etos iqra’: membaca, berpikir kritis dan kreatif, meneliti, dan
mengembangkan sains dan teknologi merupakan sendi utama tegaknya peradaban.
18 | P a g e
Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, jika Mesir mewariskan peradaban pascakematian
(piramid, artefak-artefak kuburan megah peninggalan Firaun), Yunani mewariskan
peradaban intelektual (filsafat), Islam membangun peradaban ilmu, dalam bentuk
peradaban teks dan pemikiran.
Bahkan, dalam banyak hal bisa bersinergi dengan keduanya sehingga pada masa
keemasannya, Islam tidak hanya tampil sebagai agama, tetapi juga menjadi peradaban
berkemajuan yang sangat disegani dunia. Oleh karena itu, peradaban Islam masa depan
idealnya adalah peradaban ilmu, teknologi, dan sistem kehidupan yang damai, harmoni,
penuh toleransi, dan inklusif, berbasis iman, ilmu, dan amal saleh.
Paradigma Baru
Inspirasi Alquran untuk pemajuan peradaban dapat diaktualisasikan, apabila
umat Islam memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan paradigma baru dalam
berinteraksi dengan Alquran. Paradigma baru dimaksud adalah perubahan paradigma
dari membaca verbal (tilawah) menuju membaca penuh pemahaman dan kesadaran.
19 | P a g e
Paradigma tersebut juga perlu dikembangkan dari qira’ah wa’iyah menjadi
harakah ilmiah wa insaniyyah (gerakan ilmu dan kemanusiaan). Pembacaan Alquran
dengan pemahaman, penghayatan, penyadaran, dan pengamalan akan menjadi efektif
dan membuahkan hasil, jika ditindaklanjuti dengan gerakan sistemis dengan visi dan
misi yang jelas dalam membangun peradaban. Dengan kata lain, Alquran harus
menjadi inspirasi gerakan pemikiran dan sosial kemanusiaan berkeadaban dalam
rangka mewujudkan peradaban agung.
Paradigma tilawah menuju qira’ah wa’iyah, lalu dari qira’ah wa’iyah menuju
harakah ‘ilmiyyah penting diorientasikan kepada pemajuan peradaban. Melalui
integrasi pembacaan ayat-ayat Quraniyyah dan ayat-ayat kauniyyah idealnya dapat
dikembangkan gerakan pemajuan peradaban profetik, bervisi kenabian, dan bermisi
keumatan.
20 | P a g e
Paradigma tersebut juga menghendaki pentingnya integrasi gerakan tajdid
pemikiran yang bervisi gerakan perdaban. Teologi al-Ma’un, sebagai satu model
gerakan inspiratif, merupakan landasan berpikir, bergerak, dan bertindak dalam
memahami dan mengaktualisasikan Islam sebagai agama dan peradaban.
Praksis dari teologi al-Ma’un yang diteladankan Dahlan ini tidak saja
menginspirasi dan memotivasi warga persyarikatan, karena Islam yang diperkenalkan
bukan sekadar Islam wacana, melainkan Islam rahmatan lil ‘alamin yang membumi
secara nyata dan berdaya guna bagi kemanusiaan.
Oleh karena itu, inpirasi Alquran untuk aktualisasi peradaban Islam rahmatan
lil ‘alamin penting dijadikan sebagai komitmen moral dan kesediaan menjadi teladan
yang terbaik bagi semua, sehingga terwujud baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur
(negeri berperadaban maju, gemah ripah loh jinawi, dan mendapat ampunan Tuhan)
melalui khaira ummah di bumi Indonesia tercinta.
21 | P a g e
administrasi negara, sistem militer, ekonomi, sosial, peradilan, etos intelektualisme,
dan kebudayaan dikembangkan secara dinamis dan produktif. Di atas semua itu,
sistem pendidikan, budaya riset, pengembangan sains dan teknologi yang diinspirasi
Alquran harus berkualitas unggul dan berdaya saing tinggi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah
penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang
mufasir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa
kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir. Kata
kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran atau ide
tersebut. Kecenderungan inilah yang kemudian muncul ke permukaan pada
periode abad pertengahan. Adapun corak-corak tafsir yang berkembang dan
populer hingga masa modern ini adalah sebagai berikut: Corak Lughawi, Corak
Filsafat ,Corak Ilmiah,Corak Fikih,Corak Tasawuf, dan Corak al-Adabi wa al-
Ijtima’i.
22 | P a g e
sangat pesat, sehingga dalam waktu cukup singkat kemajuan peradaban Islam dalam
berbagai bidang dapat diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
23 | P a g e
Akmansyah. (2015, Agustus 2). AL-QUR’AN DAN AL-SUNNAH SEBAGAI. Dipetik Maret 15,
2020, dari googleusercontent:
https://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:dB5_oR4rbCAJ:https://media.neliti.com/media/publications/69511-ID-
al-quran-dan-al-sunnah-sebagai-dasar-
ide.pdf+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-b-d
Damhuri, E. (2018, Mei 31). Alquran Inspirasi Peradaban. Retrieved Maret 16, 2020,
from republika:
https://www.republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/05/31/p9k05n440-
alquran-inspirasi-peradaban
Hairillah. (2015, Desember 23). Kedudukan As-sunnah Dan Tantangannya Dalam Hal
Aktualisasi Hukum Islam. Dipetik Maret 20, 2020, dari neliti:
https://www.neliti.com/id/publications/57828/kedudukan-as-sunnah-dan-
tantangannya-dalam-hal-aktualisasi-hukum-islam
Kusroni. (2019, Februari 1). MENGENAL RAGAM PENDEKATAN, METODE, DAN CORAK.
Retrieved Maret 20, 2020, from googleusercontent:
https://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:qS7lx5x68A8J:https://media.neliti.com/media/publications/285179-
mengenal-ragam-pendekatan-metode-dan-cor-
68651bd3.pdf+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-b-d
muzakki, a. (2014, Januari 4). Dialektika Gaya Bahasa al-Qur’ân dan Budaya Arab Pra-
Islam: Sebuah Kajian Sosiologi Bahasa. Dipetik Maret 12, 2020, dari
researchgate:
https://www.researchgate.net/publication/286415169_Dialektika_Gaya_Bahasa
_al-Qur'an_dan_Budaya_Arab_Pra-Islam_Sebuah_Kajian_Sosiologi_Bahasa
24 | P a g e