Anda di halaman 1dari 27

Al-Qur’an, As- Sunnah, dan Ijtihad sebagai

Inspirasi Peradaban
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
yang Dibina Oleh Rosyida Nurul Anwar, S.Pd., M.Pd.I.

Oleh:
Perdana Miftachul Hudaa 1902112002

UNIVERSITAS PGRI MADIUN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDKAN FISIKA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat,
Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah pendidikan agama islam dengan judul "Al-Qur’an,As-sunnah dan Ijtihad
sebagai Inspirasi Peradaban" tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin saya upayakan dan didukung bantuan


berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu
tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu saya dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh
karena itu, dengan lapang dada saya membuka selebar-lebarnya pintu bagi para
pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah
ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini


dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan saya dapat menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-
makalahselanjutnya.

                                                                     Madiun,  Maret 2020

                                                                             Penyusun

i|Page
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................i
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
Latar Belakang...............................................................................................................1
Rumusan Masalah..........................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................1
PEMBAHASAN...............................................................................................................1
Ragam Corak Dalam Penafsiran al-Qur’an....................................................................1
Corak Lughawi...........................................................................................................1
Corak Filsafat.............................................................................................................1
Corak Ilmiah..............................................................................................................1
Corak Fikih................................................................................................................1
Corak Tasawuf...........................................................................................................1
Corak al-Adabi wa al-Ijtima’i....................................................................................1
Dialektika Gaya Bahasa al-Qur’an dan Konteks Budaya Arab......................................1
Merekonstruksi penafsiran al Qur`an sebagai inspirasi budaya......................................1
Paradigma Baru..........................................................................................................1
BAB III.............................................................................................................................1
PENUTUP.........................................................................................................................1
Kesimpulan....................................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................1

ii | P a g e
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang di dalamnya memuat ajaran moral
universal bagi umat manusia sepanjang masa.Ajaran moral itu yang menjadi
landasan hidup manusia di dunia.Sedangkan As- sunnah adalah jalan yang di
tempuh oleh rasulullah dan para sahabatnya, baik ilmu, keyakinan, ucapan,
perbuatan, maupun penetapan.keduanya merupakan sumber rujuan agama islam.

Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks,
selalu berkembang sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya
al-Qur’an dan As-sunnah selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan
diinpretasikan dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi
sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna
terdalam dari al-Qur’an.Al-Qur’an di dalamnya sudah sangat lengkap dan tidak
ada satu kekurangan, jikalau ada kekurangan munurut seseorang, maka itu bukan
disebabkan al-Qur’an yang tidak sempurna, melainkan hanya pengetahuan
manusia sajalah yang belum sempurna.

Pada mulanya usaha penafsiran al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat


terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung
oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan perkembangan masyarakat,
berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam.
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau
penafsiran yang beraneka ragam coraknya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Ragam Corak Dalam Penafsiran al-Qur’an?
2. Bagaimana Dialektika Gaya Bahasa al-Qur’an dan Konteks Budaya
Arab?

1|Page
3. Merekonstruksi penafsiran al Qur`an sebagai inspirasi budaya ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Ragam Corak Dalam Penafsiran al-Qur’an


Pada abad pertengahan, berbagai corak ideologi penafsiran mulai muncul,
yakni pada masa akhir dinasti Umayyah dan awal dinasti Abbasiyah. Momentum
ini menemukan masa emasnya terutama pada masa pemerintahan khalifah kelima
dinasti Abbasiyah, yaitu Harun al-Rashid (785-809 M). Sang khalifah
memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Tradisi
ini kemudian dilanjutkan oleh khalifah berikutnya yaitu al-Makmun (813-830 M).
Dunia Islam pada saat itu bisa jadi merupakan puncak kemajuan dalam peta
pemikiran dan pendidikan serta peradaban, masa ini dikenal dengan zaman
keemasan (the golden age).

Disisi lain, ilmu yang berkembang di tubuh umat Islam selama periode
abad pertengahan yang bersentuhan langsung dengan keislaman adalah ilmu fiqih,
ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa, sastra dan filsafat. Karena banyaknya
orang yang berminat besar dalam studi setiap disiplin ilmu itu yang menggunakan
basis pengetahuanya sebagai kerangka dalam memahami al-Qur’an, serta mencari
dasar yang melegitimasi teori-teorinya dari al-Qur’an, maka muncullah kemudian
tafsir fiqih, tafsir i’tiqadi, tafsir sufi, tafsir ilmi, tafsir falsafi dan lain-lain.

Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah
penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang
mufasir ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya,bahwa
kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir. Kata
kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran atau ide
tersebut. Kecenderungan inilah yang kemudian muncul ke permukaan pada
periode abad pertengahan.

2|Page
Kitab-kitab tafsir yang berhasil dikaryakan oleh sarjana-sarjana muslim
pada masa itu antara lain seperti tafsir Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Ayat al-
Qur’an karya Ibnu Jarir al-Thabari (923 M), al-Kasysyaf karya Zamakhshari
(1144 M) yang bercorak ideologi Mu’tazilah, kemudian Mafatih al-Ghaibkarya
Fakhr al-Din al-Razi (1209 M) dengan corak teologi sunni, dan Tafsir al-Jalalain
karya al-Mahalli (1459 M) bersama al-Suyuti (1505 M) dengan corak lughawi.

Muhammad Husein al-Dhahabi mengatakan bahwa setiap orang yang


membaca kitab-kitab tafsir dengan berbagai macam coraknya tidak akan memiki
keraguan bahwa segala hal yang berkaitan dengan kajian-kajian tafsir tersebut
telah dibahas dan dirintis oleh mufasir-mufasir terdahulu. Adapun corak-corak
tafsir yang berkembang dan populer hingga masa modern ini adalah sebagai
berikut:

1. Corak Lughawi
Corak lughawi adalah penafsiran yang dilakukan dengan
kecenderungan atau pendekatan melalui analisa kebahasaan. Tafsir model
seperti ini biasanya banyak diwarnai dengan kupasan kata per kata (tahlil al-
lafz}), mulai dari asal dan bentuk kosa kata (mufradat), sampai pada kajian
terkait gramatika (ilmu alat), seperti tinjauan aspek nahwu, sarf, kemudian
dilanjutkan dengan qira’at. Tak jarang para mufasir juga mencantumkan bait-
bait syair arab sebagai landasan dan acuan.Oleh karena itu, seseorang yang
ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui
bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-
beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Dengan
mengetahui bahasa al-Qur’an, seorang mufasir akan mudah untuk melacak
dan mengetahui makna dan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an sehingga akan
mampu mengungkap makna di balik kalimat tersebut. Bahkan Ahmad
Shurbasi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sarf, etimologi,
balaghahdan qira’at) sebagai syarat utama bagi seorang mufasir.Di sinilah,
urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an. Diantara
kitab tafsir yang menekankan aspek bahasa atau lughahadalah Tafsir al

3|Page
Jalalain karya bersama antara al-Suyuti dan al-Mahalli, Mafatih al-Ghaib
karya Fakhruddin al-Razi, dan lain-lain.

2. Corak Filsafat
Di antara pemicu munculnya keragaman penafsiran adalah
perkembangan kebudayaan dan pengetahuan umat Islam. Bersamaan dengan
itu pada masa Khilafah Abbasiyah banyak digalakkan penerjemahan buku-
buku asing ke dalam bahasa arab. Di antara buku-buku yang diterjemahkan
tersebut adalah buku-buku filsafat, yang pada gilirannya dikonsumsi oleh
umat Islam.

3. Corak Ilmiah
Corak ini muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena itu muncul usaha-usaha penafsiran al-Qur’an yang sejalan dengan
perkembangan ilmu yang terjadi. Di samping itu, al-Qur’an juga dianggap dan
diyakini mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. al-Qur’an mendorong
umat Islam untuk memerdekakan akal dari belenggu keraguan, melepaskan
belenggu-belenggu berfikir, dan mendorongnya untuk mengamati fenomena
alam. Allah ta’ala telah mendorong kita untuk mengamati ayat-ayat kauniyah,
di samping ayat-ayat qur’aniah, oleh karena itu, dalam al-Qur’an kita temukan
ayat-ayat seperti Al Qur’an surat Al An’am ayat 97-98 :

ِ ‫ت ْالبَ ِّر َو ْالبَحْ ِر ۗ قَ ْد فَص َّْلنَا اآْل يَا‬


‫ت لِقَوْ ٍم يَ ْعلَ ُمون‬ ِ ‫َوه َُو الَّ ِذي َج َع َل لَ ُك ُم النُّجُو َم لِتَ ْهتَدُوا بِهَا فِي ظُلُ َما‬

ِ ‫ع ۗ قَ ْد فَص َّْلنَا اآْل يَا‬


َ‫ت لِقَوْ ٍم يَ ْفقَهُون‬ ٍ ‫َوه َُو الَّ ِذي أَ ْنشَأ َ ُك ْم ِم ْن نَ ْف‬
ٌ ‫س َوا ِح َد ٍة فَ ُم ْستَقَرٌّ َو ُم ْستَوْ َد‬

Artinya : Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu


menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya
Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang
mengetahui (ayat 97). Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri,
maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami
jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui. (ayat
98).

4|Page
Beberapa ayat di atas mendorong manusia untuk berfikir dan
memahami al-Qur’an secara mendalam. Keberadaan ayat yang memiliki
ketelitian redaksi mengindikasikan bahwa ayat-ayat seperti ini ditujukan
bagi kelompok tertentu yang mampu berfikir secara mendalam. Merekalah
yang dibebani untuk menyingkapnya karena hanya mereka yang mampu
melakukannya, sebagaimana hanya ahli Balaghah-lah yang dapat
mengungkap keindahan bahasa al-Qur’an. Dengan semangat ini,
bermunculan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat kauniah dengan bertolak
dari proposisi pokok-pokok bahasa, berdasarkan kapasitas keilmuan yang
mereka miliki dan hasil pemikiran dan pengamatan langsung terhadap
fenomena-fenomena alam. Menurut Muhammad Shahrur, sebagaimana
dikutip oleh Abdul Mustaqim, untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an yang
berisi informasi ilmu pengetahuan diperlukan “ta’wil ‘ilmi” (penafsiran
secara ilmiah).

Dengan demikian, posisi Nabi Muhammad SAW. sebagai Nabi


sebenarnya belum melakukan takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
berisi informasi ilmu pengetahuan tersebut. Nabi hanya diberi tugas untuk
menyampaikannya kepada manusia tanpa menakwilkannya. Kalaupun
Nabi melakukan takwil, maka takwil itu merupakan sesuatu yang nisbi,
sesuai dengan konteks zamannya.

Berangkat dari paradigma ini, penakwilan terhadap al-Qur’an harus


dilakukan secara terus menerus sesuai perkembangan dan kemajuan zaman
dan ilmu pengetahuan. Asumsi ini berlandaskan pada konsep thabat al-
nash wa taghayyur al-muhtawa (bahwa teks al-Qur’an itu tetap, sedangkan
pemahaman mengenai kandungannya bersifat dinamis). Masih menurut
Shahrur, dengan melakukan takwil, seseorang akan dapat membuktikan
kemu’jizatan al-Qur’an, tidak saja dari aspek linguistic atau keindahan
bahasa, akan tetapi juga dari aspek saintifik dan sisi keilmiahannya. Hal ini
karena al-Qur’an tidak hanya untuk orang arab, melainkan untuk seluruh
manusia.

5|Page
Hanya saja, perlu digarisbawahi, bahwa meskipun ayat-ayat al-
Qur’an bisa di takwil oleh manusia, namun yang dapat menakwilkan
secara sempurna hanyalah Allah, sebab pengetahuan Allah bersifat
sempurna dan mutlak, sedangkan hasil takwil yang dilakukan oleh
manusia bersifat relatif, karena pengetahuan manusia juga bersifat nisbi.
Sebagai konsekuensinya, takwil harus bersifat “sairurah” (on going
process) berkembang terus-menerusseiring kemajuan dan perkembangan
teori ilmu pengetahuan.Tokoh yang dipercayai gigih dalam mendukung
tafsir ‘ilmi adalah :

a. al-Ghazali (1111 M).


Dalam dua kitabnya, yaitu Ihya’ Ulum al-Din dan Jawahir
al-Qur’an ia banyak mengemukakan pendapatnya beserta alasan-
alasan yang mendukung.al-Ghazali juga mengatakan : “segala
macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu maupun yang
kemudian, baik yang telah diketahui maupun belum, semua
bersumber dari al-Qur’an al-Karim”.Hal ini menurut al-Ghazali,
karena segala macam ilmu termasuk dalam af’al Allah dan sifat-
sifat-Nya, sedangkan al-Qur’an menjelaskan tentang zat, af’al, dan
sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak terbatas, dan di dalam al-
Qur’an terdapat isarat-isarat menyangkut prinsip-prinsip
pokoknya.Hal terakhir ini, antara lain, dibuktikan dengan
mengemukakan ayat, “Apabila aku sakit maka Dia-lah yang
mengobatiku” (QS 26:80). Obat dan penyakit, menurut al-Ghazali
tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang berkecimpung di
bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan
isarat tentang ilmu kedokteran.

6|Page
b. Fakhruddin al-Razi, (1209 M),
meskipun ia tidak sepenuhnya sependapat dengan al-
Ghazali, namun dalam kitabnya, Mafatih al-Ghaib, ia banyak
melakukan pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu
alam, astronomi, kedokteran, dan sebagainya. Sampai-sampai,
kitab tafsirnya tersebut dinilai secara berlebihan sebagai
mengandung segala sesuatu kecuali tafsir.

c. Tantawi Jauhari (1870-1940)


dalam karyanya Tafsir al-Jawahir, bahkan sebelumnya,
Muhammad Rashid Rida (1865-1935) dengan Tafsir al-Manar-nya,
dinilai berusaha juga membuktikan hal tersebut. Menurut penilaian
Ignaz Goldziher, ia berusaha membuktikan bahwa al-Qur’an
mencakup segala hakikat ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-
pendapatkontemporer (pada masanya), khusunya di bidang filsafat
dan sosiologi.

4. Corak Fikih
Sebagaimana corak-corak lain yang mengalami perkembangan dan
kemajuan dengan berbagai macam kritik dan pro kontranya,corak fiqhi
merupakan corak yang berkembang. Tafsir fiqhi lebih popular disebut tafsir
ayat al-Ahkamatau tafsir ahkamkarena lebih berorientasi pada ayat-ayat
hukum dalam al-Qur’an.

Dilihat dari sisi pro-kontranya, tafsir corak fiqhi merupakan jenis corak
yang banyak diterima hampir semua mufasir.Tafsir ini berusia sudah sangat
tua, karena kelahirannya bersamaan dengan kelahiran tafsir al-Qur’an itu
sendiri. Banyak sekali judul kitab yang layak untuk disebutkan dalam deretan
daftar nama-nama kitab tafsir ayat al-Ahkam, baik dalam bentuk tahlili
maupun maudu’i, antara lain Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas (917-980 M),
seorang faqihmazhab Hanafi. Ahkam al-Qur’an karya ibn al-‘Arabi (1075-
1148 M). al-Jami’ li ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi (1272 M). ahkam al-

7|Page
Qur’ankarya al-Shafi’i (204 H.). dan masih banyak lagi karya tafsir di bidang
fikih atau Tafsir Ahkam.

Contoh tafsir fiqhi antara lain adalah: kalimat ‫ مكلجرأو‬dalam masalah


wudhu’ yang terdapat dalam surah al-Maidah ayat 6. Jika dibaca
mansub(fathah) maka yang wajib dilakukan pada kaki ketika berwudhu’
adalah membasuh bukan mengusap. Akan tetapi jika majrur (kasrah) maka
yang wajib hanya mengusap.

5. Corak Tasawuf
Menurut Quraish Shihab, corak ini muncul akibat munculnya gerakan-
gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap
materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
Disamping karena dua faktor yang dikemukakan oleh Qurais Shihab di atas,
faktor lain adalah karena berkembangnya era penerjemahan karya-karya
filsafat Yunani di dunia Islam, maka muncul pula tafsir-tafsir sufi falsafi.
Antara lain adalah Tafsir al-Qur’an karya Sahal ibn Abdillah al-Tustari
(283H). Tafsir ini dinilai oleh sebagian orang tidak memuaskan karena tidak
lebih dari 200 halaman dan tidak lengkap mengapresiasi al-Qur’an 30 juz.

Kemudian muncul pula Haqaiq al-Tafsir karya Abu Abdurrahman al-


Sulami (412 H). Namun tafsir ini dinilai oleh Ibnu Salah dan al-Dhahabi
sebagai tafsir yang banyak mengadung kecacatan, bahkan dituduh banyak
bid’ah, berbau shi’ah dan banyak memuat hadis palsu (maudu’).Demikian
pula al-Dhahabi dalam kitab Tazkirah al-Huffaz pernah berkomentar bahwa
kitab Haqaiq al-Tafsir banyak terdapat takwil kaum batini. Ibnu Taimiyah
dalam kitab Minhaj al-Sunnah menyatakan bahwa kitab tersebut banyak dusta.
Ada juga pula Lataif al-Isharat karya Abd al-Karim ibn Hawazin ibn Abd al-
Malik ibn Talhah ibn Muhammad al-Qushairi (374 H-465 H).

8|Page
6. Corak al-Adabi wa al-Ijtima’i
al-Adabi wa al-Ijtima’i terdiri dari dua kata, yaitu al-Adabi dan al-
Ijtima’i. Corak tafsir yang memadukan filologi dan sastra (tafsir adabi), dan
corak tafsir kemasyarakatan. Corak tafsir kemasyarakatan ini sering
dinamakan juga ijtima’i.Kata al-Adabi dilihat dari bentuknya termasuk
masdar(infinitif) dari kata kerja (madi) aduba, yang berarti sopan santun, tata
krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang
dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam
kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu,
istilah al-adabi bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-Ijtima’i
bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan
kemasyarakatan/sosial. Jadi secara etimologis tafsir al-Adabi al-Ijtima’i adalah
tafsir yang berorientasi pada sosial-kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan
tafsir sosio-kultural.

Kepopuleran corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh


(1849-1905).Corak tafsir al-Adabi al-Ijtima’iadalah corak tafsir yang
menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung
dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-
penyakit masyarakat atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-
ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang
mudah dimengerti tapi indah didengar.

Jadi, corak penafsiran al-Adabi al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang


berorientasi pada budaya kemasyarakatan. Suatu corak penafsiran yang
menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian
redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu
redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian
merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang
berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.

9|Page
B. Dialektika Gaya Bahasa Al-Qur’an dan Konteks Budaya Arab
Menurut Abd al-Qahir al-Jurjani (471 H) majaz adalah kebalikan haqiqah.
Sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa
mengundang kemungkinan makna lain disebut dengan haqiqah. Sedangkan majaz
adalah sebaliknya, yaitu perpindahan makna dasar ke makna lainnya, atau
pelebaran medan makna dari makna dasar karena ada alasan tertentu. Secara
teoritik, majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju yang literer,
atau dari yang denotatif menuju yang konotatif karena ada alasan-alasan tertentu.
Misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 19 :

ۢ ‫صبعهُم فى ءا َذانهم م ٱلص َّٰوعق ح َذر ْٱلم ت ۚ وٱهَّلل مح‬


ٌ‫يط‬ ِ ُ ُ َ ِ ْ‫َ ِ ِ َ َ َ و‬ َ‫ق يَجْ َعلُونَ أَ ٰ َ ِ َ ْ ِ ٓ َ ِ ِ ِّ ن‬ ٌ ‫ب ِّمنَ ٱل َّس َمٓا ِ™ء فِي ِه ظُلُ ٰ َم‬
ٌ ْ‫ت َو َر ْع ٌد َوبَر‬ َ ‫أَوْ َك‬
ٍ ِّ‫صي‬
َ‫بِ ْٱل ٰ َكفِ ِرين‬

Artinya : “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai
gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya,
karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputiorang-
orangyangkafir”.

“Mereka menyumbat telinganya dengan (anak) jarinya”.Kata “asabi`” di


atas secara leksikal maknanya adalah jari-jari. Kiranya mustahil bagi orang-orang
munafik Mekkah menyumbat telinganya dengan semua jari karena takut bunyi
guntur yang mematikan. Tetapi yang dimaksud “asabi`” dalam ayat tersebut
adalah sebagian dari jari-jari, bukan semuanya. Pemahaman semacam ini
berdasarkan konsep teori di atas disebut dengan majaz, salah satu alasannya
adalah menyampaikan ungkapan dalam bentuk plural (jama`) namun yang
dimaksudkan adalah sebagian saja.
Andaikata itu pun bisa terjadi, yaitu menutup telinga dengan semua jarinya
pasti dilakukan karena mereka benar-benar mengalami ketakutan yang luar biasa.
Situasi ini digambarkan oleh al-Qur’an karena pada awal misi kenabian
Muhammad di Mekkah banyak orang yang menyatakan “beriman” kepada Nabi,
tetapi mereka masih menyembunyikan kekafiran di dalam hatinya (munafik).
Kondisi keyakinan mereka dipaparkan begitu panjang lebar dalam al-Qur’an,
khususnya dalam surat al-Baqarah.

10 | P a g e
Kalau kita mengamati secara cermat ungkapan-ungkapan dalam al-Qur’an,
maka akan ditemukan beberapa ayat yang menggunakan bentuk penghalusan
bahasa (eufimisme). Barangkali ungkapan tersebut muncul karena ada beberapa
faktor, baik yang bersifat historis maupun bersifat etis. Konsekuensi logis dari
ungkapan itu akan menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para mufassir.
Karena kebanyakan gaya bahasa eufimisme berimplikasi menjadi sebuah bahasa
yang multi interpretatif (ambigu). Misalnya saja dalam surat al-Nisa‘ ayat 43
disebutkan:

ٍ ِ‫صاَل ةَ َوأَ ْنتُ ْم ُسكَا َر ٰى َحتَّ ٰى تَ ْعلَ ُموا َما تَقُولُونَ َواَل ُجنُبًا إِاَّل عَابِ ِري َسب‬
‫يل َحتَّ ٰى تَ ْغتَ ِسلُوا ۚ َوإِ ْن‬ َّ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَ ْق َربُوا ال‬
‫طيِّبًا فَا ْم َسحُوا‬َ ‫ص ِعيدًا‬ َ ‫ض ٰى أَوْ َعلَ ٰى َسفَ ٍر أَوْ َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أَوْ اَل َم ْستُ ُم النِّ َسا َء فَلَ ْم تَ ِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬َ ْ‫ُك ْنتُ ْم َمر‬
‫بِ ُوجُو ِه ُك ْم َوأَ ْي ِدي ُك ْم ۗ إِ َّن هَّللا َ َكانَ َعفُ ًّوا َغفُورًا‬

Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir
atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah
yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.”

Secara leksikal kata “lamastum” berarti saling menyentuh, tetapi jika


melihat konteks keseluruhan ayat maka yang dimaksudkan dengan “lamastum”
menurut jumhur ulama adalah berhubungan badan (jama`tum), sekalipun ada
sebagian berpendapat lain, yaitu menyentuh. Penggunaan majaz pada ayat di atas
sangat dimaklumi. Sebab secara geografis, keadaan alam Arabia yang kering dan
tandus sangat memaksa orang-orang Arab untuk hidup berpindah-pindah (nomad)
guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebiasaan ini membuka peluang yang
cukup besar akan terjadinya peperangan antara satu kabilah dengan kabilah
lainnya. Sikap permusuhan antara kabilah ini menyebabkan munculnya sifat
buruk, yaitu mereka tidak menyukai anak perempuan karena tidak bisa diajak
berperang dan hidup keras. Mereka berharap anak keturunan laki-laki yang

11 | P a g e
banyak untuk regenerasi dalam kesatuan kabilah. Karena hanya dengan itu
kekuatan dan kehormatan kabilah dapat terjaga.

Dikarenakan faktor cuaca yang tidak bersahabat dan suasana kehidupan


yang gersang, maka harapan yang menyelimuti kehidupan mereka terkontaminasi
oleh khayalan-khayalan kotor yang mengakibatkan timbulnya al-shahwah al-
hayawaniyah (nafsu binatang). Munculnya nafsu binatang ini bersamaan dengan
gaya hidup nomad (tanaqqul) yang harus mereka jalani sangat berpengaruh
terhadap karakter dan tabiat mereka, yaitu terbentuknya sikap mendua terhadap
wanita. Seringkali mereka menaruh rasa cinta kepada wanita lain, dan bahkan
lebih dari pada itu mereka menyukai hidup “berpoligami”.

Kondisi ini seringkali mengilhami para penyair untuk menuangkan karya


sastranya dengan bertemakan al-ghazal (romance). Jadi, perbincangan mengenai
kecantikan seorang wanita di kalangan para penyair Jahili bukan merupakan
sesuatu yang tabu. Bahkan dalam pandangan mereka tema al-ghazal tak ubahnya
seperti garam dalam masakan.

Karena latar seperti itu sehingga bahasa-bahasa al-Qur’an yang


membicarakan tentang perempuan dan yang terkait dengannya selalu
menggunakan bahasa yang halus, sopan, dan etis. Secara psikologis, kalau bahasa
yang digunakan itu vulgar atau sesuai dengan konteksnya mungkin akan
memancing munculnya sifat-sifat di atas yang sudah menjadi karakter hidup
mereka. Karena itu, untuk memendam sifat-sifat tersebut al-Qur’an sengaja
menyampaikan dengan bahasa yang sopan. Begitu pula dalam ayat al-Qur’an
ketika Allah membicarakan kedudukan dan posisi seorang isteri di hadapan sang
suami ia digambarkan seperti ladang tempat bercocok tanam (harth). Perhatikan
ayat berikut:

َ‫ث لَ ُك ْم فَأْتُوا َحرْ ثَ ُك ْم أَنَّ ٰى ِش ْئتُ ْم ۖ َوقَ ِّد ُموا أِل َ ْنفُ ِس ُك ْم ۚ َواتَّقُوا هَّللا َ َوا ْعلَ ُموا أَنَّ ُك ْم ُماَل قُوهُ ۗ َوبَ ِّش ِر ْال ُم ْؤ ِمنِين‬
ٌ ْ‫نِ َسا ُؤ ُك ْم َحر‬

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka


datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki”
(QS:Al Baqoroh:223).

12 | P a g e
Secara harfiah memahami ayat di atas seakan-akan ada kebebasan bagi
sang suami. Namun tidak demikian, sekalipun dalam kenyataannya superioritas
laki-laki terhadap perempuan sangat mendominasi saat itu, tetapi Islam telah
memberikan aturan yang jelas dan adil. Seorang isteri diibaratkan seperti ladang
karena pada ayat sebelumnya (ayat 222) membicarakan kondisi perempuan yang
menstruasi. Islam memberikan tuntunan bahwa perempuan yang sedang
menstruasi tidak boleh diperlakukan seperti dalam keadaan normal. Maka untuk
melunakkan dan meluluhkan hati mereka al-Qur’an menggambarkan seorang
isteri seperti ladang jika ia dalam keadaan suci.

Dalam fenomena masyarakat Arab ladang memang menjadi simbol


ketenangan dan kemakmuran hidup. Peperangan yang terjadi antar kabilah salah
satunya disebabkan karena mereka berebut ladang sebagai sumber mata
pencaharian. Supaya mereka tetap mencintai isterinya seperti semula maka ia
digambarkan dalam al-Qur’an seperti ladang. Sebab dalam tradisi masyarakat
Arab pra-Islam apabila isteri dalam keadaan menstruasi ia ditinggalkan begitu saja
dan tidak diberi nafkah. Tradisi dan budaya yang mendeskriditkan posisi
perempuan ini kemudian diperbaiki oleh Islam dengan cara yang halus agar kaum
perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum laki-laki.

Sementara gaya bahasa tashbih, menurut Ahmad Badawi berfungsi untuk


memperjelas makna serta memperkuat maksud dari sebuah ungkapan. Sehingga
orang yang mendengarkan pembicaraan bisa merasakan seperti pengalaman
psikologis si pembicara. Dalam persoalanpersoalan yang berkaitan dengan
eskatologi al-Qur’an seringkali menggunakan gaya bahasa tashbih (simile).
Karena bahasa metaforis memiliki kekuatan yang bisa mempertemukan antara
ikatan emosional dan pemahaman kognitif sehingga seseorang dimungkinkan
untuk mampu melihat dan merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang teks.
Menurut analisa psikolinguistik, metafor dan bahasa ikonografik yang disajikan
al-Qur’an sangat efektif untuk menghancurkan kesombongan masyarakat Jahili
yah Arab kala itu yang tingkat sastranya dikenal sangat tinggi.

13 | P a g e
Perhatikan firman Allah yang melukiskan peristiwa hari kiamat dalam surat al-
Qari‘ah ayat 1-5,

ِ َ‫ارعَة ُ ْٱلق‬
ِ ‫ارعَة‬ ِ َ‫ارعَة ُ َما ْٱلق‬
ِ َ‫اش ْٱل َم ْبثُوث ِ َو َمٓا أَ ْد َر ٰىكَ َما ْٱلق‬
ِ ‫يَوْ َم يَ ُكونُ ٱلنَّاسُ ك َْٱلفَ َر‬

‫َوتَ ُكونُ ْٱل ِجبَا ُل ك َْٱل ِعه ِْن ْٱل َمنفُوش‬


artinya: “Hari kiamat Apakah hari kiamat itu?”

“Tahukah kamu apakah hari kiamat itu?”

“Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?”

“Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran,”

“dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.”

Tidak ada seorang pun yang mengetahui seperti apa hari kiamat itu?
Masyarakat Arab yang menjadi sasaran pertama kali al-Qur’an diturunkan adalah
sebuah komunitas yang memiliki watak kaku, berhati keras dan berpikiran sempit
yang terkungkung oleh pengunungan dan padang pasir yang gersang, serta tidak
ada tanaman yang tumbuh maka untuk meneguhkan keyakinan mereka bahwa
kehidupan di dunia adalah fana. Allah menggambarkan hari kiamat seperti anai-
anai yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-
hamburkan.

Dalam keyakinan kita, sebagai seorang muslim tentu hari kiamat tidak
sama persis seperti illustrasi dalam ayat-ayat di atas. Tetapi hal itu perlu dipahami,
bahwa peristiwa-peristiwa ghaib seringkali diilustrasikan dengan sesuatu yang
konkrit, karena konteks masyarakat yang dihadapi Nabi memiliki karakter dan
watak yang keras. Karena latar demikian itu, maka hari kiamat dipersamakan
dengan sesuatu yang tampak oleh penglihatan mereka. Dengan maksud agar
mereka bisa membaca dan menghayati sehingga tumbuh keyakinan kuat terhadap
ajaran Islam. Juga dalam firman Allah yang menggambarkan sifat-sifat penghuni
neraka lantaran mereka tidak mensyukuri ni‘mat yang diberikan. Perhatikan surat
al-A‘raf ayat 179 berikut:

14 | P a g e
ِ ‫نس ۖ لَهُ ْم قُلُوبٌ اَّل يَ ْفقَهُونَ ِبهَا َولَهُ ْم أَ ْعي ٌُن اَّل يُ ْب‬ ْ
َ‫ان اَّل يَ ْس َمعُون‬
ٌ ‫صرُونَ بِهَا َولَهُ ْم َءا َذ‬ ِ ِ ‫َولَقَ ْد َذ َرأنَا لِ َجهَنَّ َم َكثِيرًا ِّمنَ ْٱل ِجنِّ َوٱإْل‬
ٓ ٓ
َ ِ‫ضلُّ ۚ أُ ۟و ٰلَئ‬
َ‫ك هُ ُم ْٱل ٰ َغفِلُون‬ َ ِ‫بِهَٓا ۚ أُ ۟و ٰلَئ‬
َ َ‫ك َكٱأْل َ ْن ٰ َع ِم بَلْ هُ ْم أ‬

Artinya :“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam


kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayatayat Allah), dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.

Kandungan tashbih dalam ayat di atas adalah “ula`ik ka al-an`am”


(mereka seperti binatang ternak). Sebuah gaya bahasa yang ringkas, padat, jelas,
dan penuh dengan makna. Orangorang yang kufur terhadap ni`mat Allah, seperti
orang yang dikaruniai hati tapi tidak dipergunakan untuk berpikir, dikaruniai
penglihatan tapi tidak dipergunakan untuk melihat kebesaran-Nya, dan dikaruniai
telinga tapi tidak dipergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah, maka Allah
cukup mempersamakan mereka dengan satu ungkapan, yaitu “binatang ternak”,
bahkan lebih sesat.

Secara sosiologis, Allah mempersamakan mereka dengan binatang ternak


karena pada umumnya masyarakat Arab memelihara binatang-binatang ternak dan
itu menjadi simbol kekayaan. Dan bahkan dalam al-Qur’an ada satu surat yang
diberi nama surat “al-An‘am” (binatang ternak). Dengan seringnya mereka
melihat binatang ternak, maka akan menjadi mudah untuk mengetahui sifat-
sifatnya yang buruk dan tidak manusiawi itu. Yang pada akhirnya mereka bisa
membandingkan antara orang-orang yang pandai bersyukur dan orang-orang yang
kufur, yang dideskripsikan dalam al-Qur’an seperti binatang ternak. Contoh lain
bentuk ungkapan tashbih juga ditemukan dalam surat al-Nur ayat 39:

ُ ‫ب بِقِي َع ٍة يَحْ َسبُهُ الظَّ ْمآنُ َما ًء َحتَّ ٰى إِ َذا َجا َءهُ لَ ْم يَ ِج ْدهُ َش ْيئًا َو َو َج َد هَّللا َ ِع ْن َدهُ فَ َوفَّاهُ ِح َسابَهُ ۗ َوهَّللا‬
ٍ ‫َوالَّ ِذينَ َكفَرُوا أَ ْع َمالُهُ ْم َك َس َرا‬
ِ ‫َس ِري ُع ْال ِح َسا‬
‫ب‬

Artinya :“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana


fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang

15 | P a g e
dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun.
Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya
perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-
Nya” (QS:24:39).

Melihat kondisi geografi tanah Arab yang sulit untuk mendapatkan air,
maka dalam ayat di atas Allah mempersamakan amal-amal orang kafir seperti
fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air dan bila didatangi tidak
didapatinya. Satu gambaran yang benar-benar membuat mereka untuk berpikir
mendalam, bahwa apa yang mereka lakukan selama ini tidak mendapatkan
balasan sedikit pun. Mempersamakan amal-amal orang kafir dengan fatamorgana
karena di tempat mereka hidup sangat sulit untuk mendapatkan air, dan itu
menjadi sumber kehidupan masyarakat Arab secara keseluruhan. Dengan
persamaan itu akan membuat mereka lebih nyata untuk membaca fenomena alam
yang kemudian direfleksikan kepada keyakinannya yang selama ini dianggap
benar

Bagaimana al-Qur’an memberikan kabar gembira kepada orang yang beriman dan
berbuat kebaikan? Perhatikan ayat berikut:

۟ ُ‫وا ِم ْنهَا ِمن ثَم َر ٍة رِّ ْزقًا ۙ قَال‬


‫وا ٰهَ َذا‬ ۟ ُ‫ت تَجْ رى ِمن تَحْ تِهَا ٱأْل َ ْن ٰهَ ُر ۖ ُكلَّما رُزق‬ ٰ َّ ٰ ‫وا ٱل‬۟ ُ‫وا َو َع ِمل‬
۟ ُ‫َوبَ ِّشر ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
َ ِ َ ِ ٍ َّ‫ت أَ َّن لَهُ ْم َجن‬
ِ ‫صلِ ٰ َح‬ َ ِ
ٰ َ ٰ ۟ ُ ْ ِ ‫ٱلَّ ِذى‬
َ‫رُزقنَا ِمن قَ ْب ُل ۖ َوأتُوا بِ ِهۦ ُمتَ َشبِهًا ۖ َولَهُ ْم فِيهَٓا أ ْز ٰ َو ٌج ُّمطَه ََّرةٌ ۖ َوهُ ْم فِيهَا َخلِ ُدون‬

Artinya :“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman


dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-
buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, inilah yang pernah
diberikan kepada kami dahulu. Mereka diberi buah-buahan yang serupa
dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal
di dalamnya” (QS:2;25).

Sebuah perumpamaan yang dapat memikat hati masyarakat Arab, jika


mereka beriman dan berbuat baik maka baginya surga yang penuh dengan air,
buah-buahan, dan isteri-isteri. Tidak bersahabatnya kondisi alam membuat mereka

16 | P a g e
kekurangan sumber air, serta tandusnya tanah padang pasir mengakibatkan
sulitnya untuk mendapatkan bahan makanan. Peperanganpeperangan yang terjadi
di antara mereka banyak disebabkan oleh kebutuhan pokok tersebut, dan bahkan
dipicu oleh kecintaan kepada seorang wanita.

Kebutuhan fisik berupa air dan buah-buahan, serta kebutuhan biologis


berupa isteri-isteri (bentuk jamak) merupakan fenomena dan realita yang
menimpa masyarakat Arab. Untuk menggugah keyakinannya, agar mereka mau
beriman kepada ajaran yang dibawa Nabi dan kemudian diwujudkan dalam
bentuk perbuatan nyata maka al-Qur’an menyampaikan dengan gaya bahasa
tashbih. Surga yang digambarkan suatu tempat yang penuh dengan air,
buahbuahan, dan isteri-isteri adalah bentuk perumpamaan yang dapat memberikan
stimulus, membangkitkan sugesti, dan menjadi dambaan dalam hidup mereka.

Sedangkan kinayah adalah mengungkapan kata, tetapi yang dimaksud


bukan makna dari kata itu, sekalipun bisa dibenarkan kalau dipahami sesuai
dengan makna dasarnya. Misalnya dalam pribahasa Arab: “Tangan panjang” Di
kalangan orang Arab sangat popular istilah “al-yad al- tawilah” untuk menyebut
(sebagai kinayah) kepada seseorang yang suka memberi atau membantu. Tetapi
kalau “al-yad al-tawilah” dipahami sebagai tangan yang panjang, sesuai dengan
makna dasarnya juga tidak salah, inilah kinayah. Perhatikan pula dalam surat al-
Zukhruf ayat 18:

َ ‫أَ َو َم ْن يُنَ َّشأ ُ فِي ْال ِح ْليَ ِة َوهُ َو فِي ْال ِخ‬
‫ص ِام َغ ْي ُر ُمبِي ٍن‬

Artinya: “Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam
keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam
pertengkaran”.

Menurut Fadal Hasan, ayat tersebut diturunkan kepada Nabi yang


dilatarbelakangi oleh kebiasaan orang Arab Jahiliyah yang membenci anak-anak
perempuan dan menguburnya hiduphidup. Selain itu, mereka juga menyangka
bahwa malaikat itu anak perempuan Allah. Kemudian ayat tersebut diturunkan
sekaligus memperkuat kebodohan dan kedangkalan pemikiran mereka. Dalam

17 | P a g e
ungkapan ayat di atas “man yunashsha` fi al-hilyah” (orang yang dibesarkan
dalam keadaan berperhiasan) adalah kinayah bagi seorang perempuan. Karena
yang sering berhias dan berdandan, serta tidak memiliki kekuatan dalam
pertengkaran adalah orang perempuan. Jadi, konteks ayat di atas sebagai kinayah
bagi orang perempuan Arab Jahili yang memiliki kebiasaan berhias diri dan tidak
punya kekuatan, sekalipun sifat-sifat itu juga terdapat pada perempuan zaman
sekarang.

Dan masih banyak ditemukan dalam al-Qur’an, misalnya kehadiran Nabi,


al-Qur’an, keimanan, bahkan Allah sendiri sering disimbolkan dengan kata al-Nur
(cahaya). Menurut sebagian kritikus sastra bahwa dalam beberapa karya sastra
Jahili bahasa yang dituangkan memiliki nilai imajinasi yang tinggi. Faktor ini
muncul karena para sastrawan Jahili terbiasa hidup di pegunungan, jauh dari
sumber air, dan kondisi tanah yang tidak menguntungkan maka untuk menggapai
kehidupan yang menyenangkan mereka mengeksploitasikan melalui
gubahangubahan karya sastra, sekalipun itu terjadi dalam dunia imajinasi.
Munculnya gaya bahasa majaz, tashbih, istia‘rah, dan sebagainya menjadi sarana
untuk meningkatkan kualitas imajinasi yang dikembangkan. Sehingga sangat
beralasan, apabila al-Qur’an menyampaikan pesan moral kepada mereka
menggunakan gaya bahasa yang sudah mereka pahami.

C. Merekonstruksi penafsiran al Qur`an sebagai inspirasi budaya


Nuzul Alquran mempunyai makna sangat signifikan bagi umat, tidak saja
karena Alquran merupakan sumber utama ajaran Islam, tetapi juga merupakan
sumber inspirasi pembangunan peradaban berkemajuan. Jika pada masa lalu umat
Islam sukses mewujudkan peradaban Islam kosmopolitan berkat inspirasi
Alquran, mengapa umat Islam masa kini belum mampu mewujudkan peradaban
rahmatan lil ‘alamin dengan inspirasi Alquran yang sama?

Wahyu pertama (QS al-‘Alaq [96]: 1-5) yang turun kepada Nabi Muhammad
SAW sejatinya menginstruksikan pentingnya pengembangan budaya literasi sebagai basis
pembangunan peradaban. Etos iqra’: membaca, berpikir kritis dan kreatif, meneliti, dan
mengembangkan sains dan teknologi merupakan sendi utama tegaknya peradaban.

18 | P a g e
Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, jika Mesir mewariskan peradaban pascakematian
(piramid, artefak-artefak kuburan megah peninggalan Firaun), Yunani mewariskan
peradaban intelektual (filsafat), Islam membangun peradaban ilmu, dalam bentuk
peradaban teks dan pemikiran.

Peradaban teks sesungguhnya merupakan hasil interaksi dan dialektika antara


ayat-ayat Quraniyyah dan ayat-ayat kauniyah dengan etos intelektualisme dan spirit
dialog keilmuan. Dengan budaya dialog, Islam pascakenabian mampu berdialog dengan
peradaban Yunani dan Persia.

Bahkan, dalam banyak hal bisa bersinergi dengan keduanya sehingga pada masa
keemasannya, Islam tidak hanya tampil sebagai agama, tetapi juga menjadi peradaban
berkemajuan yang sangat disegani dunia. Oleh karena itu, peradaban Islam masa depan
idealnya adalah peradaban ilmu, teknologi, dan sistem kehidupan yang damai, harmoni,
penuh toleransi, dan inklusif, berbasis iman, ilmu, dan amal saleh.

Dalam konteks ini, Alquran sebagai inspirasi peradaban harus diaktualisasikan


melalui pendidikan Islam holistik integratif. Kata kunci pemajuan peradaban Islam adalah
simbiosis mutualisme antara ulama dan umara, ilmu dan kekuasaan. Sinergi ulama dan
umara’, kekuasaan dan pendidikan, terbukti membuahkan dinamika keilmuan yang
sangat pesat, sehingga dalam waktu relatif singkat kemajuan peradaban Islam dalam
berbagai bidang dapat diwujudkan.

Sinergi pendidikan Islam dan kebijakan politik yang mendukung pengembangan


ilmu, teknologi, seni, dan budaya di satu pihak dan pemikiran keislaman di lain pihak,
terbukti melahirkan peradaban berkemajuan dan berkeadaban pada masa lalu.

 Paradigma Baru
Inspirasi Alquran untuk pemajuan peradaban dapat diaktualisasikan, apabila
umat Islam memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan paradigma baru dalam
berinteraksi dengan Alquran. Paradigma baru dimaksud adalah perubahan paradigma
dari membaca verbal (tilawah) menuju membaca penuh pemahaman dan kesadaran.

Target membaca Alquran, terutama pada bulan Ramadhan, tidak sekadar


mengkhatamkan bacaan Alquran dari surah al-Fatihah hingga surah an-Nas, tapi
harus dibarengi dengan proses kognisi (pemahaman), afeksi (penyadaran dan
penghayatan), dan psikomotorik (aktualisasi dan pengamalan).

19 | P a g e
Paradigma tersebut juga perlu dikembangkan dari qira’ah wa’iyah menjadi
harakah ilmiah wa insaniyyah (gerakan ilmu dan kemanusiaan). Pembacaan Alquran
dengan pemahaman, penghayatan, penyadaran, dan pengamalan akan menjadi efektif
dan membuahkan hasil, jika ditindaklanjuti dengan gerakan sistemis dengan visi dan
misi yang jelas dalam membangun peradaban. Dengan kata lain, Alquran harus
menjadi inspirasi gerakan pemikiran dan sosial kemanusiaan berkeadaban dalam
rangka mewujudkan peradaban agung.

Paradigma tilawah menuju qira’ah wa’iyah, lalu dari qira’ah wa’iyah menuju
harakah ‘ilmiyyah penting diorientasikan kepada pemajuan peradaban. Melalui
integrasi pembacaan ayat-ayat Quraniyyah dan ayat-ayat kauniyyah idealnya dapat
dikembangkan gerakan pemajuan peradaban profetik, bervisi kenabian, dan bermisi
keumatan.

Ayat-ayat Alquran dibaca dan dimaknai dalam spirit transformasi keilmuan


dan kemanusiaan dari kemunduran dan keterbelakangan menjadi kemajuan, dari
kemiskinan menuju kemakmuran dan kesejahteraan, dari ketimpangan menuju
keadilan sosial, dan dari budaya kekerasan dan perang menjadi budaya damai,
toleransi, harmoni, dan persatuan dalam bingkai NKRI.

Dalam konteks ini, gagasan Islam berkemajuan yang dicita-citakan oleh


pendiri Muhammadiyah menarik dijadikan sebagai salah satu referensi
pengembangan paradigma tersebut. Gagasan tersebut intinya adalah bagaimana
menjadikan “teologi al-Ma’un” sebagai keyakinan kuat sekaligus strategi praksis
dalam membumikan pesan-pesan Alquran bagi kehidupan umat manusia.

Ketika murid-muridnya “protes” karena pelajaran Alquran tidak kunjung


dipindah ke surat baru, KH Ahmad Dahlan bertanya kepada mereka, “Sudahkah
kalian mengamalkan pesan surah al-Ma’un dalam kehidupan sosial?” Tentu saja,
mereka menjawab belum, sehingga Dahlan bersama mereka menginisiasi gerakan
membangun panti asuhan anak yatim, pusat-pusat kesejahteraan umat, dan wadah
layanan sosial kemanusiaan. Peradaban Islam berkemajuan digerakkan melalui spirit
al-Ma’un yang tidak sekadar dibaca, dihafal, dipahami, tetapi juga digerakkan dalam
bentuk pengamalan nyata dan karya kemanusiaan yang mencerahkan dan
memberdayakan.

20 | P a g e
Paradigma tersebut juga menghendaki pentingnya integrasi gerakan tajdid
pemikiran yang bervisi gerakan perdaban. Teologi al-Ma’un, sebagai satu model
gerakan inspiratif, merupakan landasan berpikir, bergerak, dan bertindak dalam
memahami dan mengaktualisasikan Islam sebagai agama dan peradaban.

Praksis dari teologi al-Ma’un yang diteladankan Dahlan ini tidak saja
menginspirasi dan memotivasi warga persyarikatan, karena Islam yang diperkenalkan
bukan sekadar Islam wacana, melainkan Islam rahmatan lil ‘alamin yang membumi
secara nyata dan berdaya guna bagi kemanusiaan.

Oleh karena itu, inpirasi Alquran untuk aktualisasi peradaban Islam rahmatan
lil ‘alamin penting dijadikan sebagai komitmen moral dan kesediaan menjadi teladan
yang terbaik bagi semua, sehingga terwujud baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur
(negeri berperadaban maju, gemah ripah loh jinawi, dan mendapat ampunan Tuhan)
melalui khaira ummah di bumi Indonesia tercinta.

Komitmen ini menghendaki kesadaran kolektif untuk menjadikan multifungsi


Alquran itu menginspirasi kehidupan umat dan bangsa. Sebagai petunjuk, Alquran
harus dibaca untuk memandu kehidupan manusia menuju jalan kebenaran,
kedamaian, keselamatan, dan kebahagiaan, bukan dibaca sekadar untuk mendapat
pahala akhirat.

Sebagai penjelas, Alquran harus dibaca dan dimaknai dengan pendekatan


intertekstualitas secara komprehensif, agar pesan moral Alquran dapat menginspirasi
pembangunan peradaban. Sebagai al-furqan (pembeda), Alquran harus dijadikan
sebagai ”hakim” yang menetapkan standar kebenaran, kebaikan, dan keadilan.
Sebagai syifa’ (penawar, terapi), Alquran harus dibaca sebagai problem solving,
terhadap berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan. Dan sebagai rahmah,
multidimensi ajaran kasih sayang Alquran penting diaktualisasikan dalam rangka
mewujudkan Islam rahmatan lil ’alamin.

Pemajuan peradaban ilmu, teknologi yang berkeadaban tidak hanya dilandasi


akidah tauhid, aplikasi norma-norma syariat, dan aktualisasi nilai-nilai akhlak Islami
dalam kehidupan, tetapi juga disemangati berbagai sendi utama tegaknya peradaban
itu sendiri, yaitu inovasi dan kreativitas ilmiah dan inovasi seni
Peradaban bangsa ini akan berjaya dengan inspirasi Alquran, apabila sistem politik,

21 | P a g e
administrasi negara, sistem militer, ekonomi, sosial, peradilan, etos intelektualisme,
dan kebudayaan dikembangkan secara dinamis dan produktif. Di atas semua itu,
sistem pendidikan, budaya riset, pengembangan sains dan teknologi yang diinspirasi
Alquran harus berkualitas unggul dan berdaya saing tinggi.

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan
corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah
penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang
mufasir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa
kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir. Kata
kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran atau ide
tersebut. Kecenderungan inilah yang kemudian muncul ke permukaan pada
periode abad pertengahan. Adapun corak-corak tafsir yang berkembang dan
populer hingga masa modern ini adalah sebagai berikut: Corak Lughawi, Corak
Filsafat ,Corak Ilmiah,Corak Fikih,Corak Tasawuf, dan Corak al-Adabi wa al-
Ijtima’i.

Menurut Abd al-Qahir al-Jurjani ( 471 H ) majaz adalah kebalikan


haqiqah. Sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa
mengundang kemungkinan makna lain disebut dengan haqiqah. Sedangkan majaz
adalah sebaliknya, yaitu perpindahan makna dasar ke makna lainnya, atau
pelebaran medan makna dari makna dasar karena ada alasan tertentu.

Dalam konteks ini, Alquran sebagai inspirasi peradaban harus diaktualisasikan


melalui pendidikan Islam holistik integratif. Kata kunci pemajuan peradaban Islam adalah
simbiosis mutualisme antara ulama dan umara, ilmu dan kekuasaan. Sinergi ulama dan
umara’, kekuasaan dan pendidikan, terbukti membuahkan dinamika keilmuan yang

22 | P a g e
sangat pesat, sehingga dalam waktu cukup singkat kemajuan peradaban Islam dalam
berbagai bidang dapat diwujudkan.

Sinergi pendidikan Islam dan kebijakan politik yang mendukung pengembangan


ilmu, teknologi, seni, dan budaya di satu pihak dan pemikiran keislaman di lain pihak,
terbukti melahirkan peradaban berkemajuan dan berkeadaban pada masa lalu.

DAFTAR PUSTAKA

23 | P a g e
Akmansyah. (2015, Agustus 2). AL-QUR’AN DAN AL-SUNNAH SEBAGAI. Dipetik Maret 15,
2020, dari googleusercontent:
https://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:dB5_oR4rbCAJ:https://media.neliti.com/media/publications/69511-ID-
al-quran-dan-al-sunnah-sebagai-dasar-
ide.pdf+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-b-d

Damhuri, E. (2018, Mei 31). Alquran Inspirasi Peradaban. Retrieved Maret 16, 2020,
from republika:
https://www.republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/05/31/p9k05n440-
alquran-inspirasi-peradaban

Hairillah. (2015, Desember 23). Kedudukan As-sunnah Dan Tantangannya Dalam Hal
Aktualisasi Hukum Islam. Dipetik Maret 20, 2020, dari neliti:
https://www.neliti.com/id/publications/57828/kedudukan-as-sunnah-dan-
tantangannya-dalam-hal-aktualisasi-hukum-islam

Kusroni. (2019, Februari 1). MENGENAL RAGAM PENDEKATAN, METODE, DAN CORAK.
Retrieved Maret 20, 2020, from googleusercontent:
https://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:qS7lx5x68A8J:https://media.neliti.com/media/publications/285179-
mengenal-ragam-pendekatan-metode-dan-cor-
68651bd3.pdf+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-b-d

muzakki, a. (2014, Januari 4). Dialektika Gaya Bahasa al-Qur’ân dan Budaya Arab Pra-
Islam: Sebuah Kajian Sosiologi Bahasa. Dipetik Maret 12, 2020, dari
researchgate:
https://www.researchgate.net/publication/286415169_Dialektika_Gaya_Bahasa
_al-Qur'an_dan_Budaya_Arab_Pra-Islam_Sebuah_Kajian_Sosiologi_Bahasa

24 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai