Anda di halaman 1dari 3

Judul BUDAYA KEMISKINAN DI KOTA SURAKARTA

(Studi Etnografi di Pinggir Rel Palang Joglo, Kadipiro)

Jurnal Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,

Volume & Halaman Vol. 32, No. 2 Halaman 64-78

Tahun Juli 2017

Penulis Oleh: Yuniar Christy Aryani,Ahmad Zuber

Reviewer Devinta Maharani Shafira Putri

Tanggal 15 Februari 2023

Tujuan Penelitian Mengetahui bentuk budaya kemiskinan pada masyarakat yang tinggal
pada lokasi bantaran rel palang Joglo Kadipiro menurut sudut
pandangan sosiologi

Subjek Penelitian Masyarakat yang tinggal pada lokasi bantaran rel palang Joglo
Kadipiro

Sumber data  Data primer: dikumpulkan dengan teknik wawancara, dan


teknik observasi (pengamatan langsung) tentang budaya
kemiskinan khususnya di bantaran rel palang Joglo Kadipiro.
 Data sekunder: Melalui buku, kepustakaan, majalah/jurnal,
dokumen, arsip serta sumber-sumber dari internet.

Metode Penelitian Penelitian pada jurnal ini termasuk pada penelitian kualitatif, dengan
pendekatan etnografi.

Hasil Penelitian Warga yang tinggal di pinggir rel ini memiliki berbagai alasan, salah
satunya adalah ikut mertua, dan juga mereka yang tinggal pada area
pinggir rel kereta hanya memiliki hak atas bangungan, setelah
lamanya mereka tinggal pada pinggir rel, membuat mereka merasa
nyaman walaupun lokasi tersebut kumuh, riskan, dan tercemar suara
kereta api. Menurut 4 tingkatan kemiskinan oleh Oscar Lewis, pada
level kemiskinan individu, masyarakat tersebut merasa pasrah dan
menerima nasib sebagai orang miskin, pada level keluarga tidak
terlalu cocok dengan ciri-cirinya, pada level kelompok, kemiskinan
pada masyarakat tersebut ditandai dengan susunan rumah berhimpit
dan berdinding tripleks dan kayu, pada level masyarakat, terdapat
sarana kredit yang disebut bank plecit untuk peminjaman uang untuk
kebutuhan sehari-hari warga. Tingkat pendidikan dari warga yang
tinggal pada area rel kereta api rendah, rata-rata pendidikan setara
SD/SMP bagi orang tua, rata-rata anak mereka hanya hingga jenjang
SMA/SMK. Pekerjaan dari masyarakat tersebut adalah buruh hingga
pedagang. Munculnya pemukiman pada pinggir rel palang Joglo ini
sudah ada sejak puluhan tahun, kemungkinan besar disebabkan oleh
urbanisasi dari warga dari luar kota (desa) untuk mencari kerja di kota
Solo, namun tidak mampu untuk bersaing mencari pekerjaan (kalah
dalam keterampilan maupun syarat pendidikan) dan tidak sanggup
membeli rumah sendiri, sehingga terpaksa mendirikan bangunan
ilegal pada pinggiran rel meski mengetahui bahwa tanah tempat
mereka dirikan merupakan milik PJ KAI, dan dapat digusur kapanpun.
Faktor eksternal yang menyebabkan timbul budaya kemiskinan pada
area pinggiran rel palang Joglo adalah Urbanisasi, tanah ilegal,
pembagian bantuan tidak merata. Pada faktor pembagian bantuan
yang tidak merata, sebagai contoh program bantuan raskin justru
membuat masyarakat miskin jadi bergantung pada program tersebut.
Sedangkan faktor internal yang menyebabkan budaya miskin di
pinggir rel palang Joglo adalah rendahnya pendidikan, minim
keterampilan, dan sikap pasrah menerima nasib dari warga. Banyak
warga merupakan lulusan SD/SMP susah untuk mencari pekerjaan
sektor formal, sehingga banyak warga yang bekerja menjadi buruh
serabutan, pabrik atau bengkel. Faktor internal lainnya adalah
kemiskinan menurun antar generasi. Menurut pengurus LKM Bina
Karya Sejahtera, ada pola pikir warga pinggir rel bahwa kepemilikan
rumah di pinggir rel itu merupakan hal yang patut dibanggakan
walaupun ilegal, jika dibandingkan tidak memiliki tempat tinggal sama
sekali.

Kelebihan Dapat mengetahui faktor-faktor internal maupun eksternal yang


menimbulkan budaya kemiskinan pada warga pinggir rel palang Joglo
Kadipiro.

Kekurangan Dalam jurnal ini kurang membahas tentang bagaimana upaya


penindaklanjutan oleh pemerintah dan pembuktian pada faktor
kemiskinan generational.

Kesimpulan Budaya kemiskinan pada warga pinggiran rel palang joglo Kadipiro ini
disebabkan oleh miskin dari generasi ke generasi, dan sikap pasrah
dari warga tersebut. Warga yang tinggal pada area tersebut memiliki
habit kolektif yaitu sama sama tidak terganggu akan kawasan kumuh
dan tercemar suara kereta api, memiliki kebiasaan yang sama, dan
kelas sosial yang sama. Warga menyadari bahwa tempat mereka
tinggal secara ilegal namun mereka tetap tinggal pada area tersebut
karena tidak memiliki pilihan lain (keterbatasan pendapatan karena
faktor keterbatasan pendidikan). Pada faktor eksternal, area kumuh
tersebut muncul sejak lama akibat urbanisasi, tanah ilegal, pembagian
bantuan tidak merata. Namun warga mengaku siap apabila digusur
oleh PJ KAI sewaktu-waktu, mereka memiliki pola pikir lebih baik
tinggal pada tempat ilegal daripada tidak memiliki tempat tinggal
sama sekali.

Anda mungkin juga menyukai