Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

INOVASI PEMBELAJARAN AL QUR’AN DAN HADITS


Tentang

KEDUDUKAN HADITS DALAM ISLAM

Disusun dan Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Inovasi Pembelajaran Al Quran
dan Hadits
Program Pascasarjana Pendidikan Agama Islam (PAI)

Oleh Kelompok IX :

Sapri Al Gafar
Nim. 20010003

Zulhadri
Nim. 20010059

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan karunia-Nya
kami penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan judul “Kedudukan Hadits
Dalam Islam” yang diajukan untuk pemenuhan tugas pada mata kuliah Inovasi
Pembelajaran Al Quran dan Hadits. Makalah ini tidak mungkin selesai tanpa adanya bantuan
dari berbagai pihak.

Oleh karena itu selayaknya kami penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Julhadi selaku Dosen pengampu Mata Kuliah Inovasi Pembelajaran Al Quran
dan Hadits.
2. Rekan-rekan sejurusan pada program Pascasarjana Pendidikan Agama Islam

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini di
kemudian hari. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi bagi pembaca

Padang, 16 Januari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1


A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 2
BAB II. PEMBAHASAN .........................................................................................3
A. PENGERTIAN HADITS....................................................................... 3
B. HADITS SEBAGAI HUJJAH DALAM AGAMA
DAN SEBAGAI DALIL HUKUM ........................................................ 5
C. HADITS SEBAGAI ALAT BANTU MEMAHAMI
ALQURAN DAN MEMPERJELAS KEUMUMAN
AYAT ALQURAN ............................................................................... 7
BAB III. PENUTUP.................................................................................... ....... 13
A. Kesimpulan ................................................................................. ....... 13
B. Saran ........................................................................................... ....... 13

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia diciptakan sebagai khalifah dimuka bumi ini sebagai pemelihara
kelangsungan mahluk hidup dan dunia seisinya. Dalam rangka itulah Allah membuat
sebuah undang-undang yang nantinya manusia bisa menjalankan tugasnya dengan baik,
manakala ia bisa mematuhi perundang-undangan yang telah dituangkan-Nya dalam kitab
suci Al-Qur’an.
Pada kitab suci AlQuran telah dicakup semua aspek kehidupan, hanya saja,
berwujud teks yang bersifat global, sehingga dibutuhkan penjelas sekaligus penyempurna
akan eksistensinya. Maka, Allah mengutus seorang nabi (Muhammad SAW) untuk
menyampaikannya, sekaligus menyampaikan risalah yang ia emban. Dari beliau inilah
selanjutnya lahir yang namanya hadits, yang mana kedudukan dan fungsinya amat
sangatlah urgen sekali.
Terkadang, banyak yang memahami agama setengah setengah, dengan dalih
kembali pada ajaran islam yang murni, yang hanya berpegang teguh pada sunnatullah
atau Al-Qur’an, lebih-lebih mengesampingkan peranan al Hadits, sehingga banyak yang
terjerumus pada jalan yang sesat, dan yang lebih parah lagi, mereka tidak hanya sesat
melainkan juga menyesatkan yang lain.
Oleh karena itu, mau tidak mau peranan penting hadits terhadap Al-Qur’an dalam
melahirkan hukum Syariat Islam tidak bisa di kesampingkan lagi, karena tidak mungkin
umat Islam memahami ajaran Islam dengan benar jika hanya merujuk pada Al-Qur’an
saja, melainkan harus diimbangi dengan Hadits, lebih-lebih dapat disempurnakan lagi
dengan adanya sumber hukum Islam yang mayoritas ulama’ mengakui akan
kehujahannya, yakni ijma’ dan qiyas. Sehingga, seluruh halayak Islam secara umum
dapat menerima ajaran Islam seccara utuh dan mempunyai aqidah yang benar, serta dapat
dipertangungjawabkan semua praktik peribadatannya kelak.
Maka pada pembahasan makalah ini kami akan membahas bagaimana kedudukan
hadits dalam Islam serta urgensi hadits dalam memperjelas perintah yang tertuang di
dalam Al Quran.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latas belakang di atas maka, yang menjadi pokok bahasan dalam
rumusan masalah ini yaitu :
1. Apa pengertian hadits?
2. Hadits sebagai hujjah dalam agama dan sebagai dalil hukum?
3. Hadits sebagai alat bantu memahami ayat Al Quran?
4. Hadits merinci keumuman Al Quran !

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HADITS
Kata hadits berasal dari kata hadits , jamaknya ahadits, hidtsan dan
hudtsan.Namun yang terpopuler adalah ahadits, dan lafal inilah yang sering dipakai oleh
para ulama hadits selama ini. Dari segi bahasa kata ini memiliki banyak arti, diantaranya
al-jadid (sesuatu yang baru) yang merupakan lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang
lama). Bisa diartikan pula sebagai al-khabar (berita) dan al-qarib (sesuatu yang dekat).
Ilmu hadis : ilmu tentang memindah dan meriwayatkan apa saja yang
dihubungkan dangan Rasulullah saw, baik mengenai perkataan beliau ucapkan, atau
perbuatan yang beliau lakukan, atau pengakuan yang beliau ikrarkan (yakni berupa
sesuatu yang dilakukan di depan nabi saw, perbuatan itu tidak dilarang olehnya) atau
sifat-sifat nabi saw, termasuk tingkah laku beliau sebelum menjadi rasul atau sesudahnya,
atau menukil/meriwayatkan apa saja yng dihubungkan kepada sahabat atau tabi’in. 1
Secara terminologi, ahli hadis, ahli Ushul dan Ulama Fiqh berbeda pendapat
dalam memberikan pengertian hadis. Di kalangan ahli hadis sendiri ada beberapa defenisi
yang antara satu dengan yang lainnya agak berbeda. Ada yang mendefenisikan bahwa
hadis adalah:

“Segala perbuatan Nabi SAW, perbuatan dan Ihwalnya”

Yang termasuk “Hal Ihwal” ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW. Seperti
yang berkaitan dengan Himmah (kemauan), karakteristik, sejarah kelahiran dan
kebiasaan-kebiasaannya. Ulama ahli hadis lainnya mendefenisikan dengan :

“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir (pernyataan, pengakuan) maupun sifatnya”

Ada juga yang mensefinisikan dengan :

”Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan perbuatan,
pengakuan (taqrir) maupun sifatnya”

1
Muhammad A. Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009), hlm. 37
3
Yang sama dari ketiga pengertian di atas, adalah bahwa hadis didefenisikan
dengan segala yang disandarkan kepada Nabi SAW baik perkataan maupun perbuataan.
Sedangkan yang berbeda dari ketiganya adalah pada penyebutan terakhir. Ada yang
menyebutkan hal ihwal atau sifat Rasul sebagai hadis, ada yang tidak dan ada yang
menyebutkan taqriri (pernyataan, pengakuaan Rasul secara eksflisit sebagai bagian dari
bentuk–bentuk hadis, bahkan ada yang memasukan secara eksplisit ke dalam aqwal atau
af`alnya).2
Sementara itu para ahli Ushul mengemukakan defenisi hadis dengan rumusan
yang nampak berbeda yaitu :

"Segala perkataan Nabi SAW. Perbuatan dan ketetapannya selain al-Qur’an al-
Karim yang dapat dijadikan sebagai dalil untuk penetapan hukum syara”.

Dengan pengertian ini, hadis menurut ahli ushul nampak hanya terbatas pada
perkataan Nabi, serta tidak termasuk perbuatan, taqrir dan hal ihwal atau sifat-sifatnya.
Namun demikian perkataan Nabi yang dimaksud oleh ahli ushul dapat dimakhlumi
kerena bentuk-bentuk hadis yang lain terkadang disampaikan oleh Nabi dalam bentuk
perkataan untuk menjelaskan perbuatan beliau, seperti perintah untuk melaksanakan
shalat dan manasik haji. Dengan kata lain bahwa hadis menurut mereka adalah segala
penjelasan Nabi SAW. Yang dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara`
hukum Taklif: (1) Wajib,(2) Haram, (3) Mandub, (4) Makruh dan (5) Mubah sesuai
dengan sighat yang ditunjuknya.
Terlepas dari perbedaan di atas, yang jelas bahwa pengertian hadis yang telah
dikemukan oleh kedua kelompok ulama masih dalam rumusan yang terbatas dan sempit,
yaitu pada sesuatu yang disandarkan pada Rasul SAW,. Tanpa menyinggung prilaku dan
ucapan sahabat ataupun tabi`in. padahal di antara ulama hadis ada yang mendefenisikan
hadis mempunyai pengertian yang lebih luas, yang tidak terbatas pada sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW semata (hadis Marfu`), melainkan juga segala yang
disandarkan kepada sahabat (hadis Mauquf) dan tabi`in (hadis Maqthu`). Hal ini
sebagaimana ditulis oleh al-Tirmisi sebagai berikut:

2
Afifah dkk, Katalog Dalam Terbitan (KDT) Studi Ilmu Hadits, ISBN : 978-602-6879-37-0. Hal. 2
4
”Dikatakan (dari Ulama ahli hadis) bahwa hadis itu bukan hanya untuk sesuatu yang
marfu`(sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW), melain biasa juga untuk
sesuatu yang mauquf, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa
yang disandarkan kepada tabi`in.3

B. HADITS SEBAGAI HUJJAH DALAM AGAMA DAN SEBAGAI DALIL


HUKUM
Yang dimaksud dengan kehujjahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan
Hadits yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil al- syar’i), sama dengan
Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Hadits
adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-
Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum
Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber
hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Hadits sebagai sumber hukum
Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapai juga murtad hukumnya.
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang
di perintahkan oleh Al-Qur’an juga untuk memudahkan dalam menentukan
(menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali
tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila hadits
tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan
kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan
zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini
tersebut hanya berbicara secara global dan umum. Dan yang menjelaskan secara
terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-
kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal
(mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan
Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya
didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan
tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam
kembali kepada As-Sunnah dalam menghadapi permasalahannya.
Asy-Syafi’i berkata :

3
Ibid. hal. 3
5
Artinya : “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan
tersesat selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”(HR. Malik).

Perkataan imam Syafi’i ini memberikan pengertian bahwa segala pendapat


para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan
hadits Nabi SAW. Dan apa yang dikategorikan pengertian bahwa segala pendapat
para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam Asy- Syafi’i ini juga dikatakan oleh
para ulama yang lainnya. Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan
sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya
pada masa sebelum kerasulannya. 4

Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum


Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli :

a. Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai
dan menerima segala yang datang dari Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman
hidup. Diantaranya adalah :

Perhatikan firman Allah SWT. Dalam surat Ali-Imran ayat 32 dibawah ini:

Artinya: “Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling,


maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS:Ali Imran :
32).

Masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis menjelaskan tentang


permasalahan ini. Dari beberapa ayat di atas telah jelas bahwa perintah mentaati
Allah selalu dibarengi dengan perintah taat terhadap Rasul-Nya. Begitu juga
sebaliknya dilarang kita durhaka kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya.
b. Dalil Hadits
Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan
dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-
Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah sabdanya:

4
RISALAH, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam P-ISSN : 2085-2487. E-ISSN : 2614-3275. Vol. 5
No 1 Februari 2019. Hal . 133
6
Artinya : “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan
tersesat selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”(HR. Malik).
Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup
setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan
dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.
1) Kesepakatan Ulama’ (Ijma’)
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua
setelah Al-Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan
mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan
sejak jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masa-
masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya.
2) Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)
Kerasulan Muhammad SAW, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam.
Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang
datang dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif
sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau
menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak
dibimbing oleh wahyu. 5

C. HADITS SEBAGAI ALAT BANTU MEMAHAMI AL QURAN DAN


MEMPERJELAS KEUMUMAN AYAT AL QURAN
Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam
islam, antara satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan
satu kesatuan. Al-qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-
ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu kehadiran hadis, sebagai
sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan keumuman isi al-Qur’an tersebut. Hal
ini sesuai dengan firman Allah SWT :

Artinya : “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.”(QS. An-Nahl : 44)

5
Ibid. hal. 134
7
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Rasul SAW bertugas memberikan penjelasan
tentang kitab Allah. Penjelasan Rasul itulah yang dikategorikan sebagai al hadits.
Manusia tidak dapat memahami al quran tanpa melalui hadits. Al Quran bersifat umum
disisi lain hadits bersifat merincikan keumuman Al Quran.

Dalam konteks ini penulis akan memberikan contoh serta gambaran tentang
bagaimana hadits menjelaskan isi al-Quran:
1. Al-Quran telah menghalalkan makananyangbaik-baik (Qs.5:1), dan megharamkan
yang kotor- kotor (Qs.7:156) tetapi di antara keduanya (di antara yang baik- baik dan
yang kotor-kotor) itu ada terdapat beberapa hal yang tidak jelas atau syuhbat, yang
samar- samar (tidak nyata baik dan tidak nyata buruknya). Ukuran baik dan buruk pun
menurut pandangan manusia akan berbeda. Oleh sebab itu, Rasul SAW yang
menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk itu, dengan istilah halal dan
haramnya. Beliau mengharamkan segala hewan- hewan (binatang-binatang) buas,
yang mempunyai taring, dan burung-burung yang mempunyai kuku yang mencakar
dan yang menyambar, demikian juga beliau mengharamkan keledai jinak (bukan
keledai hutan), karena semua itu termasuk binatang yang kotor-kotor dan yang keji-
keji. 6
2. Al-Qur`ân telah menghalalkan segala minuman yang tidak memabukan, dan
mengharamkan segala mi- numan yang memabukkan. Di antara yang tidak
memabukkan dan yang memabukkan ada beberapa macam minuman, yang
sebenarnya tidak memabukkan, tetapi dikuatirkan kalau-kalau memabukkan juga,
seperti tuak dari ubi, tuak kedelai, tuak labu, atau tuak yang ditaruh dalam bejana
yang dicat dengan ter dari dalamnya (al- Muzaffat), juga yang ditaruh di dalam
batang kayu yang dilobangi (al- Naqir), dan yang serupa dengan minuman yang
memabukkan dan membawa kebinasaan. kemudian Rasulullah SAW kembali
menghalalkan segala sesuatu yang tidak memabukkan.
3. Al-Qur’an telah membolehkan daging hewan-hewan yang ditangkap oleh hewan-
hewan pemburu yang sudah diajar dengan patuh dan mengerti. Jelas, apabila hewan
pemburu itu belum terlatih, maka haramlah memakan hewan dari hasil buruan (yang
ditangkapnya), karena dikuatirtkan bahwa hewan yang ditangkapnya itu buat dirinya
sendiri. Kemudian timbul pertanyaan yang beredar antara dua masalah yaitu: apabila
hewan pemburu itu sudah terlatih, tetapi buruan itu ditangkapnya untuk dirinya
sendiri, tidak untuk tuan yang menyuruh-nya, denga tanda- tanda bahwa buruannya
itu telah dimakannya sendiri sekalipun sedikit, maka bagaimanakah hukumnya?
Sunnah RasulullahSAW, menjelaskan bahwa jika buruan itu dimakan oleh anjing

6
TASAMUH, Jurnal Fungsi Hadits Terhadap Al Quran, Volume 12 No 2 Juni 2015
8
pemburu, maka kaum muslimin dilarang memakannya, karena dikuatirkan hewan
yang ditangkapnya itu untuk dirinyasendiri.
4. Al-Quran melarang orang yang sedang ihram memburu buruan dengan muthlaq,
artinya tidak memakai syarat, apabila larangan itu diabaikannya, maka diwajibkan
jaza (balasan) atas orang yang melanggarnya (membunuhnya). Tetapi larangan
memburu itu dikecualikan bagi orang yang halal, artinya bagi yang tidak
mengerjakan ihram. Pengecualian itu dengan muthlaq juga. Kemudian timbul
pertanyaan: Bagaimana hukumnya orang yang sedang ihram itu memburu dengan
tidak disengaja? Oleh Rasul SAW dijelaskan bahwa memburu buruan bagi orang
yang sedang ihram itu, sama saja, hukumnya antara yang sengaja dengan yang tidak
disengaja, dalam kewajibannya menunaikan denda atau dam.7

Fungsi al-Hadits terhadap al- Quran sebagai bayan itu difahami oleh ulama dengan
berbagai pemahaman, antara lain sebagai berikut:
1. Bayan Taqrir
Bayan taqrir ialah al-Hadits yang berfungsi menetapkan, memantapkan, dan
mengokohkan apa yang telah ditetapkan al- Quran, sehingga maknanya tidak perlu
dipertanyakan lagi. Ayat yang di taqrir oleh al-Hadits tentu saja yang sudah jelas
maknanya hanya memerlukan penegasan supaya jangan sampai kaum muslimin salah
menyim-pulkan. Contoh: Firman Allah SWT:

“Barangsiapa yang menyaksikan bulan ramadhan mak hendaklah shaum” (Q.S. 2 :


185)

Ditegaskan oleh Rasulullah SAW :

“Shaumlah kalian karena kalian melihat tanda awal bulan Ramadhan dan
berbukalah kalian karena melihat awal bulan syawal (HR. Muslim)

7
Bisri Affandi.“DirasaJ Islamiyyah (Ilmu Tafsir & HadiJs)”.(CV AnekaBahagia Offset, 1993). Hal
.81

9
Hadits di atas dikatakan bayân taqrîr terhadap ayat al-Quran, karena maknanya
sama dengan al- Quran, hanya lebih tegas ditinjau dari bahasanya maupun
hukumnya. 8

2. Bayan Tafsir
Bayan tafsir berarti menjelaskan yang maknanya samar, merinci ayat yang
maknanya global atau mengkhususkan ayat yang maknanya umum. Sunnah yang
berfungsi bayân tafsir tersebut terdiri dari (1) tafshil- al-mujmal, (2) tabyin al-
musytarak,(3) takhshish al-’am.
a) Tafshil al Mujmal

Hadists yang berfungsi tafshil mujmal ialah yang merinci ayat al-Qur`ân yang
maknanya masih global.
Contoh :
Tidak kurang dari 67 ayatAl quran yang langsung memeriintahkan shalat tapi
tidak dirinci bagaimana pelaksanaannya, berapa rakaat yang haris dilakukan, serta
apa yang harus dibaca pada setiap gerakan. Rasulullah SAW dengan sunnahnya
memperagakan shalat dengan rinci, hingga beliau bersabda:

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”

b) Tabyin al musytarak
Ialah men- jelaskan ayat al-Qur`ân yang mengandung kata bermakna ganda.
Contoh: Firman Allah SWT:

“wanita yang diceraikan hendaklah menunggu masa iddah selama tiga quru’” (Q.S. 2 :
228)

Kata quru’ dijelaskan oleh Rasulullah SAW :

“Thalaq hamba sahaya ada dua dan iddahnya dua kali haidl. Hr. Abu dawud, al-
Turmudzi, dan al- Daruquthni

8
Ash-Shiddieqy, Problema Hadits Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam. (Jakarta : Bulan Bintang.
1994) hal. 45
10
Dalam ketentuan hokum hamba sahaya itu berlaku setengah bagi orang merdeka,
jika hadits ini menetapkan dua kali haidl maka menurut sebagian pendapat maka
kata “haidhataani” itu merupakan penjelas dari Qar’in yang musytarak. Sehingga
kesimpulannya bahwa wanita yang dicerai itu iddahnya tiga kali haidl.

c) Takhsish al ‘am

yaitu hadits yang mengkhususkan atau mengecualikan ayat yang bermakna


umum. Contoh :

”diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi” (Q.S. 5 : 3)

Dalam ayat ini tidak ada kecuali, semua bangkai dan darah diharamkan untuk
dimakan. Sunnah Rasulullah SAW mentakhshish atau mengecualikan darah dan
bangkai tertentu. Sabda Rasululah saw:

“Telah dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Yang
dimaksud dua macam bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai belalang,
sedangkan yang dimaksud dua macam darah adalah ati dan limpa”.( HR. Ahmad,
Ibnu Majah dan Al Bayhaqi)

3. Bayan Tabdila
Bayân Tabdîl ialah menggantihukum yang telah lewat keberlakuannya. Dalam
istilah lain dikenal dengan nama nâsikh wa mansukh. Banyak ulama yang berbeda
pendapat tentang keberadaan hadits atau sunnah men-tabdil al-Qur`ân. Na-mun pada
dasarnya bukan berbeda dalam menyimpulkan hukum, melainkan hanya terletak
pada penetapan istilahnya saja.
Contoh sunnah yang dianggap Bayân Tabdîl oleh pendapat yang mengakuinya
ialah dalam bab zakat pertanian. Dalam ayat al Quran tidak diterangkan batasan nisab
zakat melainkan segala penghasilan wajib dikeluarkan zakatnya.

11
Sedangkan dalam sunnah Rasul ditandaskan:

“Tidak ada kewajiban zakat dari hasil pertanian yang kurang dari lima wasak” .Hr.
al-Bukhari dan Muslim.9

Imam Syafi’i berpendirian bahwa fungsi as-Sunnah terhadap al- Quran itu adalah
sebagai (1) Bayan Tafshil atau perinci ayat yang mujmal (2) Bayan Takhshish atau
pengkhusus yang yang bersifat umum, (3) bayân ta’yien yaitu menetapkan makna yang
dimaksud dari suatu ayat yang memungkinkan memiliki beberapa makna seperti
menjelaskan yang musytarak, (4) bayân tasyri’ yaitu sunnah yang berfungsi tambahan
hukum yang tidak tercantum dalam al-Qur`ân. Contohnya: dalam al- Quran telah
ditetapkan bahwa yang haram dimakan itu hanyalah bangkai, darah, daging babi dan
yang disembelih bukan karena Allah (Qs.6:145). Sedangkan dalam beberapa riwayat
sunnah diterangkan bahwa Rasul melarang memakan binatang buas, yang berbelalai,
burung menyambar, dan yang hidup di air dan di darat, (5) bayan nasakh, yaitu
mengganti hukum yang tidak berlaku lagi seperti diuraikan pada bayân tabdil.

Ibnul-Qayim berpendapat bah- wa fungsi as-Sunnah terhadap al- Qur`ân adalah


sebagai (1) bayân ta’kid atau penguat seperti bayân taqrir yang telah dijelaskan di atas
(2) bayân tafsir, (3) bayân tasyri’,(4) bayân takhshish, dan (5) bayân taqyied, yaitu
menentukan sesuatu yang dalam ayat bisa bermakna mutlak, seperti seruan Allah
tentang kewajiban shalat secara mutlak berlaku pada siapa pun. Sedangkan sunnah
mentaqyid wanita yang sedang haidl dari yang mutlak tersebut. Wanita yang haidl tidak
diwajibkan shalat dan tidak diwajibkan mengganti. 10

Dengan memperhatikan beberapa pendapat di atas, tampaklah betapa pentingnya


sunnah terhadap al-Quran, terutama memberikan kemudahan bagi kaum muslimin untuk
memahami isi al-Quran. Jika Rasulullah SAW tidak memberikan penjelasan tentang ayat
al-Quran, tentu saja akan menimbulkan berbagai kendala dan kesulitan dalam
melaksanakan al-Quran. Itulah mungkin salah satu makna dari fungsi Rasul sebagai
rahmat bagi mu’minin bahkan bagi alam semesta.

9
Ibid. 46
10
Agus Sholahuddin, Ulumul Hadits (Bandung : Pustaka Setia. 2001). Hal. 56
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan-pembahasan diatas maka dapat disimpulkan beberapa poin penting,
yaitu:
1. Hadits merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam setelah Al-Quran
sebagai sumber utama, hadits juga sebagai pedoman hukum serta ajaran- ajaran
yang terdapat dalam Al-Qur'an. Hadits adalah sumber hukum Islam (pedoman
hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur'an. Bagi mereka yang telah
beriman terhadap Al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis
harus percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka
yang menolak kebenaran Hadits sebagai sumber hukum Islam, bukan saja
memperoleh dosa, tetapai juga murtad hukumnya.
2. Kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa
dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli : dalil Al-Qur'an, dalil Hadits, Ijma'
dan Ijtihad. Kehujjahan hadits dapat dipahami dari 7 aspek yaitu: Ishmah, sikap
sahabat terhadap sunnah, Al-Qur'an, Al- Sunnah, Kebutuhan Al-Qur'an terhadap
al-sunnah, realitas – sunnah sebagai wahyu dan Ijma'
3. Fungsi hadits terhadap Al-Qur'an yaitu: bayan tafsir, bayan taqrir, bayan tasyri'
dan bayan an-nasakh

4. Saran
Dengan mempelajari dan memahami bagaimana kedudukan hadits dalam
Islam diharapkan pembaca dapat memahami tentang bagaimana pentingnya hadits
sebagai sumber hukum kedua setelah Al Quran, dan dapat memahami bahwa untuk
melaksanakan perintah yang ada dalam Al Quran kita membutuhkan contoh dan
teladan yang dibawa oleh Nabi SAW melalui haditsnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Afifah dkk, Katalog Dalam Terbitan (KDT) Studi Ilmu Hadits, ISBN : 978-602-6879-37-0.

Agus Sholahuddin, Ulumul Hadits Bandung : Pustaka Setia. 2001.

Ash-Shiddieqy, Problema Hadits Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam. Jakarta : Bulan
Bintang. 1994.

Bisri Affandi.“DirasaJ Islamiyyah (Ilmu Tafsir & HadiJs)”.CV Aneka Bahagia Offset,
1993.

Muhammad A. Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009.

RISALAH, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam P-ISSN : 2085-2487. E-ISSN : 2614-3275.
Vol. 5 No 1 Februari 2019.

TASAMUH, Jurnal Fungsi Hadits Terhadap Al Quran, Volume 12 No 2 Juni 2015

Anda mungkin juga menyukai