Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

AL-HADIST SEBAGAI SUMBER DAN DALIL HUKUM

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“ Ushul Fiqih ”

Dosen Pengampu :

Muhammad Za'im Muhibbulloh, S.Sy.,M.H.

Disusun Oleh:

Indah Nur Hidayah (192501008)

Siti Qomariyah (192501026)

INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA TUBAN

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji syukur kehadirat Allah atas segala limpahan rahmat, taufik dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah al-hadist sebagai sumber dan dalil
hokum.

Sholawat serta salam tetap kami curahkan kepada Nabi agung Nabi Muhammad SAW,
yang telah menuntun kita dari jaman jahiliyah hingga jaman penuh ilmu.

Kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini berkat ridho Allah swt dan tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak untuk itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan rasa hormat dan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak dan teman-teman yang membantu
pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan baik
materi maupun cara penulisanya. Namun kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan
pengetahuan yang kami miliki sehingga dapat menyelesaikan makalah ini, dan semoga bisa
menjadi manfaat bagi para pembaca.

Tuban, 27 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii


DAFTAR ISI............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Al-Hadist Sebagai Sumber dan Dalil Hukum ...................................................... 2
2.1.1 Pengertian Hadist .............................................................................................. 2
2.2.2 Macam-Macam Al-Hadist atau Al-Sunnah ...................................................... 4
2.2.3 Kehujjahan Al-Hadist atau Al-Sunnah ............................................................. 6
2.2.4 Kedudukan Hadist atau Sunnah Sebagai Dalil Hukum .................................... 8
2.2.5 Fungsi Hadist atau Sunnah Terhadap Ayat-Ayat Hukum................................. 9

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hadist merupakan salah satu sumber ajaran agama Islam yang menduduki posisi sangat
penting, baik secara struktural maupun fungsional. Secara struktual hadis menduduki posisi
kedua setalah Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, baik secara teologis, syariat, akhlak dan
lainnya. Pernyataan hadis berada diurutan kedua setelah Al-Qur’an dapat dipahami dari materi
hadis itu sendiri yang merupakan sabda-sabda Nabi atau setiap sesuatu yang disandarkan
kepada beliau, sedangkan Al-Qur’an merupakan firman Allah Dzat yang mengutus Nabi
Muhammad saw. Sebagai utusan-Nya kepada seluruh alam.

Sedangkan secara fungsional, hadis merupakan penjelas terhadap ayat-ayat Al-Qur’an


yang sebagian besar bersifat umum dan global. Sebagai petunjuk bagi manusia dalam urusan
agama dan dunia, maka tidak mungkin seorang muslim bias memahami dengan baik kehendak
Allah yang tertuang dalam Al-Qur’an yang bersifat global, kecuali memahaminya dengan
petunjuk hadis-hadis Nabi.

Bahkan sedemikian pentingnya hadis-hadis Nabi, sampai-sampai Imam Makhul,


sebagaimana dikutip oleh al-Qurtubi, menyatakan bahwa: “al-Qur’an lebih membutuhkan al-
sunnah (hadis) dibandingkan dengan kebutuhan al-sunnah terhadap al-Qur’an.” Pernyataan
Makhul ini tidak lain karena melihat makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an tidak
akan bias dipahami dengan baik tanpa mengaitkannya dengan petunjuk al-sunnah atau hadis-
hadis Nabi saw., bahkan syariat dalam al-Qur’an akan menjadi tampak kaku tanpa adanya
hadis-hadis Nabi, karena sebagian besar petunjuk lafadz-lafadz yang ada dalam al-Qur’an
bersifat global, mutlak dan umum.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Al-Hadist Sebagai Sumber dan Dalil Hukum?
1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Al-Hadist Sebagai Sumber dan Dalil Hukum.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Al-Hadist Sebagai Sumber dan Dalil Hukum

2.1.1 Pengertian Hadist

Secara etimologi Hadis berasal dari kata al-jadid "sesuatu yang baru" atau khabar
"kabar". Maksudnya jadid adalah lawan dari al-qadim (lama), seakan-akan dimaksudkan
untuk membedakan al-Qur'an yang bersifat qadim.

Sedangkan khabar maksudnya berita, atau ungkapan, pemberitahuan yang


diungkapkan oleh perawi hadis dan sanadnya bersambung selalu menggunakan kalimat
haddatsana (memberitakan kepada kami).

Secara terminology, definisi hadis mengalami perbedaan redaksi dari para ahli
hadis, namun makna yang dimaksud adalah sama. Al-Ghouri memberi definisi sebagai
berikut;

ٍ ‫ ا َ ْوت َ ْق‬, ‫ ا َ ْوفِ ْع ٍل‬, ‫ما أضيف الي النبي ِم ْن قَ ُو ٍل‬


‫رير‬

"Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. dari perkataan, perbuatan, taqrir,
atau sifat. "

Maksud dari qaul (perkataan) adalah ucapan, dan fi’li (perbuatan) ialah perilaku
nabi yang bersifat praktis, dan taqrir (keputusan) sesuatu yang tidak dilakukan nabi tetapi
nabi tidak menginkarinya, dan sifat maksudnya adalah ciri khas dari kepribadian nabi.
Selain pengertian hadis di atas, istilah hadis juga sering disamakan dengan istilah Sunnah.
khabar, dan atsar, sebagaimana berikut:

a) Sunnah
Kata Sunnah berarti jalan yang terpuji. Sunnah ialah segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh Rasulullah saw. berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat fisik, atau
akhlaq, serta perilaku kehidupan baik sebelum diangkat menjadi Rasul (seperti

2
mengasingkan diri yang beliau lakukan di Gua Hira') atau setelah kerasulan beliau. Adapun
menurut "Ulama' Fiqh", Sunnah merupakan segala sesuatu yang datang dari Nabi yang
bukan fardlu dan tidak wajib.

Dari definisi diatas kedu6anya mempunyai nilai yang sama, yakni sama-sama
disandarkan kepada dan bersumber dari Nabi saw. jika dari fungsinya Ulama' hadis
mempertegas bahwa Nabi saw, sebagai teladan kehidupan. Adapun Ulama fiqh
berpendapat bahwa Nabi saw sebagai syar'i yakni sumber hukum Islam.

b) Khabar
Secara bahasa-Naba (berita). Selain itu khabar juga berarti hadis, sebagai mana
telah dijelaskan di atas. Khabar berbeda dengan hadis, hadis adalah sesuatu yang datang
dari Nabi, sedangkan khabar ialah berita yang datang selain dari Nabi. Maka dapat
disimpulakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadis.

c) Atsar
Secara etimologi atsar berarti "sisa atau suatu peninggalan" (baqiyat al-Syai).
Sebagaimana dikatakan di atas bahwa atsar adalah sinonim dari hadis, artinya ia
mempunyai arti dan makna yang sama. Selain itu atsar adalah sesuatu yang disandarkan
kepada sahabat dan tabi'in, yang terdiri dari perkataan atau perbuatan.

Mayoritas Ulama lebih condong atas pengertian khabar dan atsar untuk segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw dan demikian juga kepada Sahabat dan tabi'in.

J66ika ditinjau dari segi makna hadis, maka hadis dapat di bagi menjadi tiga, yaitu
Hadis Qauli, Hadis Fi’li, dan Hadis Taqriri. Adapun macam-macam hadis jika ditinjau
dari penyandarannya maka ada dua macam, yakni Hadis Nabawi (yang disandarkan kepada
Nabi) dan Hadis Qudsi (yang disandarkan kepada Tuhan/ Allah). (Jaya, 2019 : 211)

Adapun secara terminologi, pengertian Sunah dapat dilihat dari tiga disiplin ilmu
sebagai berikut:

1) Ilmu hadis, para ahli hadis mengidentikkan sunah dengan hadis, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik perkataan, perbuatan sebagai perkataan
atau Perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.

3
2) Ilmu ushul fiqh, menurut ulama ahli ushul fiqh sunah adalah segala yang diriwayatkan dari
Nabi Muhammad saw., berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan
Hukum.
3) Ilmu fiqh, pengertian sunah menurut para ulama fiqh hampir Sama dengan pengertian yang
dikemukakan oleh para ahli ushul Fiqh. Akan tetapi, istilah sunah dalam fiqh juga
dimaksudkan Sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan
mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan. ( Bahrudin,
2019 : 32)6

2.2.2 Macam-Macam al-Hadits atau al-Sunnah

Berdasarkan tiga ruang lingkup Sunah Yang disandarkan kepada Rasulullah saw.,
maka Sunah dapat Dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:

1) Sunah qauliyah: ialah sabda Nabi yang disampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian.
Misalnya sabda Nabi sebagai berikut:

َ ُ ‫صلُّ ْوا َك َما َرا ْيت ُ ُم ْو نِ ْي ا‬


‫ص ِلي‬ َ
Hadis di atas termasuk Sunah qauliyah yang bertujuan Memberikan sugesti kepada umat
Islam agar tidak membuat Kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2) Sunah fi’liyah: ialah segala tindakan Rasulullah saw..Sebagai Contoh adalah tindakan
beliau melaksanakan shalat 5 (lima) Waktu sehari semalam dengan menyempurnakan cara-
cara, Syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, Dan sebagainya.
3) Sunah taqririyah; ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya
maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah saw atau bahkan
disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan
yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan
oleh beliau sendiri. (Bahrudin, 2019 : 31)

Ditinjau dari segi keharusan tidaknya mengikuti sunnah, ulama membagi sunnah
menjadi dua macam: sunnah tasyri'iyyah (berdaya hukum) dan ghayru tasyri'iyyah (tidak
berdaya hukum)." Sunnah ghayru tasyri'iyyah adalah sunnah yang tidak berdaya hukum,
tidak harus diikuti, dan tidak mengikat. Yang termasuk dalam kategori ini adalah (1)
ucapan dan perbuatan Rasulullah sebagai manusia biasa, seperti makan, minum, duduk,

4
berpakaian, berbicara, (2) ucapan dan perbuatan Rasulullah yang timbul dari pengalaman
pribadi, seperti urusan pertanian dan kesehatan, (3) ucapan dan perbuatan Rasulullah yang
timbul dari tindakan pribadi dalam keadaan dan lingkungan tertentu, seperti penempatan
pasukan perang. Selain itu, kekhususan kekhususan Rasulullah, seperti beristri lebih dari
empat, juga termasuk dalam kategori ini, yakni tidak mengikat, bahkan tidak boleh diikuti.

Sunnah tasyri'iyyah adalah sunnah yang berdaya. hukum yang mengikat untuk
diikuti. Yang termasuk kategori ini adalah (1) ucapan dan perbuatan Nabi saw. dalam
bentuk penyampaian risalah dan penjelasan terhadap al-Qur'an; dalam hal ini, Nabi
Muhammad berposisi sebagai rasul, (2) ucapan dan perbuatan Nabi saw. dalam
kedudukannya sebagai imam (pemimpin), seperti mengirim pasukan, membagi harta
rampasan, dan (3) ucapan dan perbuatan Nabi dalam kedudukannya sebagi hakim (qadli),
seperti menyelesaikan persengketaan yang terjadi di dalam masyarakat. ( Mansyur, 2020:
24)

Hadits ditinjau dari segi perawi-perawinya (periwayatannya) dari Rasul saw.,


dibagi menjadi tiga macam:

1. Sunnah mutawatirah;
2. Sunnah masyhurah; dan
3. Sunnah ahad.

1. Sunnah mutawatirah adalah Sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw., oleh beberapa
perawi yang menurut kebiasaannya, dan tidak mungkin mereka itu bersepakat berdusta,
disebabakan jumlah mereka yang banyak, sikap amanah mereka, dan berlainannya
orientasi dan lingkungan mereka, kemudian dari kelompok perawi ini , sejumlah perawi
yang sepadan dengannya meriwayatkan Sunnah tersebut, sehingga Sunnah tersebut sampai
kepada kita dengan sanad masing-masing tingkatan dari para perawinya yang merupakan
sekumpulan orang yang tidak mungkin mengadakan kesepakatan untuk berdusta, mulai
dari penerimaan Sunnah itu dari Rasul sampai datang kepada kita (umat). Di antara contoh
Sunnah mutawatir ini adalah Sunnah amaliyah dalam pelaksaan shalat, puasa, haji, azan
dan lain sebagainya.

5
2. Sunnah mashurah adalah Sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw., oleh seseorang
atau dua orang atau tiga orang sahabatnya yang tidak mencapai jumlah mutawatir. Di
antara kategori Hadis ini adalah sebagian Hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab,
atau Abdullah bin Mas’ud, atau Abu Bakar ash-Shiddiq dari Rasulullah saw. Kemudian
dari salah seorang dari mereka itu sejumlah perawi yang tidak mungkin invidu-individunya
bersepakat untuk berdusta meriwayatkan Sunnah tesebut.” Misalnya lafaz Hadis:

ِ ‫اِ نَّ َما ْاْل ْع َما ُل بِا لنِيَا‬


‫ت‬

“Amal-amal itu hanyalah sah dengan niat.”

3. Sunnah ahad adalah Sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw., oleh seseorang yang
tidak mencapai jumlah mutawatir. Misalnya Hadis tersebut diriwayatkan dari Rasulullah
oleh satu orang saja, atau dua orang saja, demikian seterusnya sehingga sampai pada kita
dengan satu sanad yang seluruh tingkatannya adalah perseorangan, bukan sekelompok
yang mutawatir. Sehingga Hadis ahad, jika ingin dijadikan sebagai dasar hukum harus
memenuhi beberapa persyaratan. Berikut ini syarat-syarat Hadis ahad dijadikan sebagai
sumber hukum:
1. Adanya perawi yang adil dan menjaga muru’ah;
2. Adanya akurasi (daya ingatan yang kuat) bagi perawi;
3. Perawinya mendengarkan Hadis dari orang yang Meriwayatkannnya. Misalnya, keduanya
bertemu Langsung (muttasil); dan
4. Matan Hadis itu tidak mengandung syadz, misalnya, bertentangan dengan sesuatu yang
telah menjadi ketentuan ahli Hadis, atau sesuatu yang sudah pasti menurut agama atau
bertentangan dengan dalil yang qat’i dari Al-Qur’an. (Darmawati, 2019: 32)

2.2.3 Kehujjahan al- Hadits atau al-Sunnah

Al-Sunnah merupakan sumber dan dalil hukum Islam. Ada beberapa argumentasi
yang dikemukakan ulama atas kehujjahan al-sunnah. Di antaranya sebagai berikut.

a. Al-Qur'an menyuruh umat Islam untuk menaati Rasulullah saw, sebagaimana yang
dinyatakan dalam surat al-Nisa' (4): 59.

6
ْ ‫سو َل َوا ُ ْو ِلى األ َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم فَ ِا ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي ش‬
‫َيءٍ فَ ُرد ُّْوهُ اِلَى هللا‬ َّ ‫يَا اَيُّ َها ال ِذيْنَ َءا َمنُ ْو ا ا َ ِط ْيعُو ا هللا َو ا َ ِط ْيعُو ا‬
ُ ‫الر‬
‫س ُن ت َأ ْ ِو ْيلا‬
َ ْ‫س ْو ِل ا ِْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُ ْونَ بِاهلل َو ْاليَ ْو ِم األ َ ِخ ِر ذَلِكَ َخي ُْر َوأَح‬
ُ ‫والر‬
ُّ

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.

Al-Qur'an juga menegaskan bahwa menaati Rasulullah sama dengan menaati Allah,
sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Nisa (4): 80.

َ َ‫س ْلنَاك‬
َ ‫علَ ْي ِه ْم َح ِف ْي‬
‫ظا‬ َ ‫ع هللا َو َم ْن ت ََولَى فَ َما أ َ ْر‬ َ َ ‫س ْو َل فَقَ ْد أ‬
َ ‫طا‬ ُ َّ‫َّم ْن ي ُِطعِ ال‬

Barangsiapa yang menta'ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta'ati Allah. Dan
barangsiapa yang berpaling (dari keta'atan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka.

b. Rasulullah sendiri (dalam hadis-hadisnya) memerintahkan umat Islam untuk berpegang


kepada sunnah Rasulullah.
c. Pada waktu Rasulullah masih hidup, para sahabat selalu mengikuti segala sesuatu yang
diperintahkan dan menjauhi segala sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah. Setelah
Rasulullah wafat, apabila mereka tidak mendapatkan ketentuan hukum dalam al-Qur’an,
lalu mereka merujuk kepada hadis-hadis Rasulullah. Hal ini menunjukkan bahwa telah
terjadi ijma sahabat akan kehujjahan sunnah.
d. Pada umumnya al-Qur’an menjelaskan hukum hukumnya secara global, yakni tidak
diperinci. Dengan sejelas-jelasnya. Untuk bisa memahaminya diperlukan penjelasan dari
pihak yang paling otoritatif. Yang mempunyai kewenangan (otoritas)) dalam hal ini adalah
Rasulullah. (Mansyur, 2020: 32)

Sebab Sunnah menjadi sumber hukum yang kedua:

1. Wurudh Al-Qur’an qat’i seluruhnya, sedang Sunnah banyak wurud-nya yang zanny.

7
2. Sunnah merupakan penjelasan terhadap Al-Qur’an, yang dijelaskan sudah barang tentu
menempati tempat yang pertama, dan penjelasannya menempati tempat yang ke dua.
3. Urutan dasar yang digunakan oleh para sahabat yang me nempati Sunnah pada tempat yang
kedua. (Darmawati, 2019: 29)

2.2.4 Kedudukan Hadits atau Sunnah Sebagai Dalil Hukum

Kedudukan Sunah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan
ayat-ayat Alquran dan hadis, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para
sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti Sunah Rasulullah saw. Para
ulama telah sepakat bahwa Sunah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan
hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba'ah (diikuti) yaitu tha'ah dan qurbah
(dalam taat dan tagarrub kepada Allah), misalnya dalam urusan akidah dan ibadah, tetapi
ada juga yang ghair muttaba'ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya ) dan khushushiyyah
(yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan,
makanan yang disukai dan lain sebagainya. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri
lebih dari empat, puasa wishal (menyambung) sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat bakda
ashar.

Hukum-hukum yang dipetik dari Sunah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum


yang di istinbathkan dari Alquran sesuai yang diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32.

]23/‫ب ْال َكافِ ِريْنَ [العمران‬


ُ ‫س ْو َل فَا ِْن ت ََولَّ ْوا فَا َِّن هللا ْلَ ي ُِح‬ َّ ‫قُ ْل أ َ ِط ْيعُو هللا َو‬
ُ ‫الر‬

Artinya: Katakanlah "Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.Al- Nisa: 80,

]08/‫ظ [النساء‬ َ َ‫س ْلنَا ك‬


‫علَ ْي ِه ْم َح ِف ْي ا‬ َ ‫ع هللا َو َم ْن ت ََولَّى فَ َما أ َ ْر‬ َ َ ‫س ْو َل قَ ْد أ‬
َ ‫طا‬ َّ ِ‫َم ْن ي ُِطع‬
ُ ‫الر‬

Artinya: Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan
barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka.

8
‫س ْو ِل‬
ُ ‫الر‬ َ ‫س ْو َل َوأُو ِلى اآلَ ْم ِر ِم ْن ُك ْم فا ِْن تَنَا زَ ْعت ُ ْم فِي‬
َّ ‫ش ْيءٍ فَ ُرد ُّْوهُ الَى هللاِ َو‬ َّ ‫يَاأَيُ َها الَّ ِذيْنَ أ َ َمنُ ْوا أ َ ِطعُوا هللا َوأ َ ِطعُوا‬
ُ ‫الر‬
]95/‫س ُن ت َأ ْ ِو ْيلا [النساء‬ َ ْ‫ا ِْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُ ْونَ بِاهللِ َو ْاليَ ْو ِم اآلَ ِخ ِر ذَلِكَ َخي ٌْر َوأَح‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.

ُ‫سولَه‬ ِ ‫سولُهُ أ َ ْم ارا أ َ ْن يَ ُكونَ لَ ُه ُم الُ َخي َْرة ُ ِم ْن أ َ ْم ِر ِه ْم َو َم ْن يَ ْع‬


ُ ‫ص هللاَ َو َر‬ َ َ‫َو َما َكانَ ِل ُمؤْ ِم ِن َوْلَ ُمؤْ ِمنَ ٍة اِذَا ق‬
ُ ‫ضى هللاُ َو َر‬
]23/‫ضلَْلَ ُمبِ ْينَا [األحزاب‬ َ ‫فَقَ ْد‬
َ ‫ض َّل‬

Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai
Allah dan Rasul -Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Bahrudin,
2019: 33)

2.2.5 Fungsi Hadits atau Sunnah Terhadap Ayat-ayat Hukum

Secara umum fungsi Sunnah adalah sebagai bayan (penjelasan) atau tabyiin
(menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Al Qur'an) seperti ditunjukkan oleh ayat 44 surah an-
Nahl (16):

َ‫اس َما نُ ِز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم يَتَفَ َّك ُرون‬ ِ َ‫الزب ُِر َوأ َ ْنزَ ْلنَا اِلَ ِيك‬
ِ َّ‫الذ ْك َر ِلت ُ َب ِينَ ِللن‬ ِ ‫ِب ْالبَ ِينَا‬
ُّ ‫ت َو‬

Kami telah menurunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menjelaskannya kepada manusia
apa yang diturunkan kepada mereka, dan supaya kamu memikirkannya.

Ada beberapa bentuk fungsi Sunnah terhadap Al-Qur'an:

1. Bayan al-ta’qid: berarti Nabi berperan untuk memperkuat dan menggarisbawahi kembali
apa yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an. Artinya fungsi Nabi dalam hal ini hanya
memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an. Contoh Sabda Nabi:

9
ُ‫علَ ْي ُك ْم فَا ْقد ُِر ْوالَه‬ َ ‫ فَا ِْن‬,‫ َواِذَ َرا َ ْيت ُ ُم ْوهُ فَالَ ْف ِط ُر ْوا‬,‫صو ُم ْوا‬
َ ‫غ َّم‬ ُ َ‫اِذَ َرا َ ْيت ُ ُم ال ِهلَ َل ف‬

Jika kalian melihat hilal (bulan Ramadhan), maka berpuasalah, jika kalian melihat hilal
(bulan Syawal), maka berbukalah berhari raya lah, jika hilal tidak terlihat, maka
genapkanlah (bulan Sya’ban men jadi 30 hari).

Sabda Nabi tersebut, memperkuat kembali ayat QS. Al Baqarah [2]: 185.

ُ َ‫ش ْه َر فَ ْلي‬
ُ‫ص ْمه‬ َّ ‫ش ِهدَ ِم ْن ُك ُم ال‬
َ ‫فَ َم ْن‬

Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.

2. Bayan tafsir; berarti Nabi berperan untuk menjelaskan,Dan merinci hal-hal yang belum
perinci dalam Alqur’an. Yang bersifat mujmal, musytarak, mushkil, dan khafi. Sebagai
contoh perintah ayat-ayat Al-Qur’an, tentang shalat, zakat, disyariatkan jual beli, nikah,
hudud dan lain sebagainya. Sebagaimana dalam Hadis tentang tata cara melaksanakan
shalat.

َ ُ ‫صلُّ ْو َك َما َرا َ ْيت ُ ُم ْونِى ا‬


)‫ص ِلى (رواه البخارى‬ َ

Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.” (Darmawati, 2019: 29)

Misalnya Hadis filiyah (dalam bentuk perbuatan) Rasulullah yang menjelaskan


cara melakukan shalat yang diwajibkan dalam Al-Qur'an dalam Hadis riwayat Bukhari dari
Abu Hurairah, dan demikian pula tentang penjelasannya mengenai masalah haji seperti
dalam Hadis riwayat Muslim dari Jabir. Di samping itu Sunnah Rasulullah juga berfungsi
untuk men-takhsis ayat-ayat umum dalam Al-Qur'an, yaitu menjelaskan bahwa yang
dimaksud oleh Allah adalah sebagian bukan seluruhnya. Contoh:

َ ‫الر ُج ُل بَيْنَ ْال َم ْرأَةِ َو‬


‫ع َّمتِ َها‬ َّ ‫سلَّ َم أ َ ْن يَجْ َم َع‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ع ْن أَبَى ُه َري َْرة َ يَقُو ُل نَ َهى َر‬
َ ِ‫سو ُل هللا‬ َ
‫َوبَيْنَ ْال َم ْرأَةِ ِوخَالَتِ َها‬

"Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW melarang memadu antara seorang wanita
dengan bibinya saudara ayah atau ibu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

10
Hadis tersebut men-takhsis keumuman ayat 24 surah an Nisaa’ sebagai berikut:

‫علَ ْي ُك ْم َوأ ُ ِح َّل لَ ُك ْم َما َو َرا َء ذَ ِل ُك ْم أ َ ْن ت َ ْبتَُُوا ِبأ َ ْم َوا ِل ُك ْم‬


َ ِ‫َاب هللا‬ َ ‫ت أ َ ْي َما نُ ُك ْم ِكت‬ ْ ‫اء اِْلَّ َما َملَ َك‬ ِ ‫س‬ ِ َ‫صنَاتُ ِمن‬
َ ‫الن‬ َ ْ‫َو ْال ُمح‬
‫ض ْيت ُ ْم بِ ِه ِم ْن َب ْع ِد‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم ِف ْي َما ت ََرا‬ َ ‫ضةا َوْلَ ُجنَا َح‬ َ ‫ور ُه َّن فَ ِر ْي‬ َ ‫سا ِف ِحيْنَ فَ َما است َْمت َ ْعت ُ ْم ِب ِه ِم ْن ُه َّن فَاَت ُ ُه َّن أ ُ ُج‬ َ ‫غي ُْر ُم‬ َ َ‫ُمحْ ِس ِنيْن‬
َ ‫ْالفَ ِر ْي‬
َ َ‫ض ِة ا َِّن هللاَ َكان‬
‫ع ِل ْي اما َح ِك ْي اما‬

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-
Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari
istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri istri yang
telah kamu campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana (QS. An-
Nisaa’ [4]: 24)

Ayat ini menegaskan boleh mengawini selain wanita-wanita yang telah disebutkan
sebelumnya, seperti ibu, saudara perempuan, anak saudara, dan lain-lainnya yang tersebut
dalam ayat ke-23 sebelumnya. Sebelum datang Hadis tersebut, berdasarkan kepada
keumuman ayat 24 surah an-Nisaa’, boleh memadu seorang wanita dan bibinya. Persepsi
yang beginilah yang dihilangkan oleh datangnya hadis pen-takhsis tersebut sehingga
maksud ayat tersebut tidak lagi mencakup masalah poligami antara seorang wanita dan
bibinya.

3. Membuat aturan yang bersifat teknis atas sesuatu yang disebutkan pokok-pokoknya di da
lam Al-Qu’ran. Contohnya masalah li’an, misalnya bila mana seorang suami menuduh
istrinya berzina tetapi tidak mampu mengajukan empat orang saksi padahal istrinya itu
tidak mengakuinya, maka jalan keluarnya adalah dengan jalan li’an. Li’an adalah sumpah
empat kali dari pihak suami bahwa tuduhannya adalah benar dan pada kali yang kelima ia
berkata: “La’nat (kutukan) Allah atasku jika aku termasuk ke dalam orang-orang yang

11
berdusta.” Setelah itu istri pula mengadakan lima kali sumpah membantah tuduhan tersebut
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

َ‫ت بِاهللِ اِنَّهُ لَ ِمن‬


ٍ ‫ش َهادَا‬َ ‫ش َها دَة ُ أ َ َح ِد ِه ْم أ َ ْربَ ُع‬ ُ ُ‫ش َهدَا ُء اِْلَّ أ َ ْنف‬
َ َ‫س ُه ْم ف‬ ُ ‫َوالَّ ِذيْنَ يَ ْر ُمونَ أ َ ْز َوا َج ُه ْم َولَ ْم يَ ُك ْن لَ ُه ْم‬
‫اب أ َ َّن ت َ ْش َهدَ أ َ ْربَ َع‬ َ ُ ‫) َويَد َْرأ‬7( َ‫علَ ْي ِه ا ِْن َكانَ ِمنَ ْال َكا ِذبِيْن‬
َ َ‫ع ْن َها ْالعَذ‬ َ ِ‫سةُ أ َ َّن لَ ْعنَةَ هللا‬ ِ ‫) َو ْالخ‬3( َ‫صا ِدقِيْن‬
َ ‫َام‬ َّ ‫ال‬
َّ ‫علَ ْي َها ا ِْن َكانَ ِمنَ ال‬
َ‫صا ِدقِيْن‬ َ ِ‫ب هللا‬
َ ‫ض‬ َ ‫سةَ أ َ َّن‬
َ ‫غ‬ ِ ‫) َو ْالخ‬0( َ‫ت بِا هللِ اِنَّهُ لَ ِمنَ ْال َكا ِذبِيْن‬
َ ‫َام‬ ٍ ‫ش َهادَا‬
َ

(6) Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah
empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk
orang orang yang benar. (7) Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah
atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. (8) Istrinya itu dihindarkan
dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya
itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta,(9) dan (sumpah) yang ke lima:
bahwa laknat Allah atasnya suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.
(QS.an nuur[24]: 6-9)

Dengan dilakukannya li’an, suami lepas dari hukuman qazaf (80 kali dera atas yang
menuduh orang lain berzina tanpa saksi), istri pun bebas dari tuduhan berzina itu. Namun
dalam ayat tersebut tidak dijelaskan apakah hubungan suami istri antara keduanya masih
lanjut atau terputus. Sunnah Rasulullah menjelaskan hal itu, yaitu bahwa di antara
keduanya dipisahkan buat selamanya. (HR. Ahmad dan Abu Daud)

4. Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Al Qur’an. Contohnya Hadis riwayat
al-Nasa’i dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda mengenai keharaman memakan
binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar sebagaimana
disebutkan dalam hadis:

‫السبَاعِ فَأ َ ْكلُهُ َح َرا ٌم‬ َ ‫سلَّ َم قَا َل ُك ُّل ذِي ن‬


ِ ‫َاب ِم ْن‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ َ ‫ع ْن أَبِي ُه َري َْرة‬
َ ِ ‫ع ْن النَّبِي‬ َ

12
“Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW bersabda semua jenis binatang buruan yang
mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar, maka hukum memakannya adalah
haram.” (HR an-Nasa’i) (Effendi, 2017: 111)

5. Membatasi (taqyid) kemutlakan Al-Qur’an. Allah berfir man: “Bagi pencuri lelaki dan
wanita, maka potonglah Tangan dari kedua orang itu.” QS. Al-Maidah [5]: 38.

‫ع ِزي ٌْز َح ِك ْي ٌم‬ َ ‫طعُوا أ َ ْي ِد يَ ُه َما َجزَ ا اء ِب َما َك‬


َ ِ‫سبَا نَ َكاْلَ ِمنَ هللاِ َوهللا‬ َ ‫ارقَةُ فَا ْق‬
ِ ‫س‬َّ ‫ار ُق َوال‬
ِ ‫س‬َّ ‫َوال‬

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ayat tersebut mengandung pengertian mutlak, mencakup seluruh pencurian dan seluruh
pencuri. Namun demikian Sunnah datang membatasi pencurian tersebut, dengan sabda
Rasul saw.:

‫ارقاا فِى ِم َج ٍن قِ ْي َمتُهُ ثَلَ ثَةُ دَ َراه َِم‬


ِ ‫س‬ َ َ‫سلَّ َم ق‬
َ ‫ط َع‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ا َ َّن َر‬
َ ُ‫س ْو َل هللا‬

Bahwa Rasulullah memotong tangan seseorang yang mencuri temeng/perisai, yang


nilainya sebesar tiga dirham (muttfaq ‘alaihi).

Satu dirham sekitar Rp 49.000.

َ َ‫ق اِْلَّ فِى ُربُعِ ِد ْينَا ٍر ف‬


)‫صا ِعداا (رواه مسلم‬ ِ ‫ار‬
ِ ‫س‬ َ ‫ْلَا َ ت ُ ْق‬
َّ ‫ط ُع يَدُال‬

Tidak dipotong tangan pencuri kecuali pada pencurian senilai seperempat dinar atau
lebih.

Juga jika pencuri tersebut telah mengeluarkan barang yang dicurinya dari tempat
penyimpanan, yakni tempat yang biasanya dijadikan tempat penyimpanan harta, dan serta
taqyid-taqyid lainnya yang telah dijelaskan dalam Sunnah.

13
6. Mengkhususkan keumuman Al-Qur’an (takhshish ul ‘amm). Misalnya firman Allah: “Bagi
wanita pezina dan lelaki pezina maka jilidlah masing-masing dari mereka dengan 100 kali
jilidan.” QS. Al-Nur [24]: 2.

‫ش َهادَة ا أ َ َبداا‬ ُ ‫ت ث ُ َّم لَ ْم َيأْتُوا ِبأ َ ْر َب َع ِة‬


َ ‫ش َهدَا َء فَاجْ ِلدُو ُه ْم ث َ َما نِيْنَ َج ْلدَة ا َوْلَ ت َ ْق َبلُوا لَ ُه ْم‬ َ ْ‫َوالَّ ِذيْنَ َي ْر ُم ْونَ ْال ُمح‬
ِ ‫صنَا‬
َ‫َوأُلَئِكَ ُه ُم ْالفَا ِسقُون‬

perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.

Ayat tersebut mengandung pengertian umum untuk seluruh pezina. Kemudian, perbuatan
dan perkataan Rasul datang mengkhususkan keumuman ayat tersebut, yakni, bagi pezina
yang belum menikah (ghayru mutazawiijiin). Mengenai orang-orang yang sudah menikah
(al-mutaza wiijuun), maka bagi mereka dikenai hukum rajam sampai mati. Rasul sendiri
pernah merajam Ma’iz dan Al-Ghami diyyah. Sebagaimana Hadis Rasulullah saw...

‫س بِالنَّ ْف ِس‬
ُ ‫ان َوالنَّ ْف‬ ُ َ‫ الثِي‬.ٍ‫سو ُل هللاِ اِْلَّ بِ ِاحْ دَى ثَلَث‬
َّ ‫ب‬
ِ ‫الز‬ ُ ‫ئ ُم ْس ِل ٍم يَ ْش َهد ُ ا َ ْن ْلَاِلَهَ اِْلَّ الل ُه َواَنَّى َر‬
ٍ ‫ْلَ يَ ِح ُّل دَ ُم ْام ِر‬
َ ‫ار ُق ِلل َج َما‬
)‫ع ِة (رواه مسلم‬ ِ َّ ‫َوالت‬
ِ َ‫اركُ ِل ِد ْينِ َها ل ُمف‬

Tidak halal dara orang Islam yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi
bahwa aku utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari tiga sebab: (1) Orang yang sudah
menikah melakukan zina; (2) Karena membunuh orang; dan (3) Orang yang murtad
meninggalkan agamanya, memisahkan dari jamaah kaum Muslimin.

7. Nabi berperan sebagai legislator atau bayan al-tasyri berarti Nabi saw., memiliki
wewenang menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Qur’an. Contoh tidak
boleh seseorang mengumpulkan memadu seorang wanita dengan ‘ammah’ saudari
bapaknya dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibunya). Demikian juga larangan

14
mengawini seorang wanita yang bersaudara sepersusuan karena ia dianggap muhrim
senasab. Sebagaimana Hadis Rasulullah saw.:
‫ب‬ َ َّ‫ضاعِ َما يَحْ ُر ُم ِمنَ الن‬
ِ ‫س‬ َ ‫الر‬
ِ َ‫يَحْ ُر ُم ِمن‬

Haram lantaran susuan apa yang haram karena keturunan (nasab).(Darmawati, 2019: 30)

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Hadist merupakan sumber hukum
yang kedua. Menurut bahasa Al-Hadist mempunyai beberapa arti, yaitu: jaded yang berarti
baru, Qarib yang berarti dekat, Khabar yang berarti berita. Sedangkan menurut istilah, Al-
Hadist adalah segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa
ucapan, perbuatan, maupun pengakuan. Adapun fungsi Al-Hadist sebagai berikut:

- Sebagai pengukuh atau penguat dari hukum-hukum yang telah ditetapkan di dalam Al-
Qur’an.

- Sebagai penjelas dari hal-hal yang sudah disebutkan di dalam Al-Qur’an.

- Sebagai penjelas dari hal-hal yang tidak/belum dibicarakan di dalam Al-Qur’an.

16
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin, Moh. (2019). Ilmu Ushul Fiqh. Bandar Lampung : Aura.

Ef H. Darmawati. (2019). Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia Group.

fendi, Satria dan M. Zein. (2017). Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Jaya, Septi Aji Fitra. (2019). Al-Qur’an dan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam. INDO-
ISLAMIKA. Vol.9. No.2

Mansyur , Zaenuddin dan Moh. Asyiq Amirulloh. (2020). Ushul Fiqh Dasar. Mataram : Sambil.

17

Anda mungkin juga menyukai