Anda di halaman 1dari 19

A.

Teori Stres

Stres merupakan fenomena psikofisik yang bersifat manusiawi, dalam arti bahwa stres itu bersifat
inheren dalam diri setiap orang dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Stres dialami oleh setiap
orang, dengan tidak mengenal jenis kelamin, usia, kedudukan, jabatan atau status sosial ekonomi. Stres
bisa dialami oleh seorang bayi, anak-anak, remaja atau dewasa; dialami oleh pejabat atau warga
masyarakat biasa; dialami oleh pengusaha atau karyawan; dialami oleh orang tua atau anak; dialami
oleh guru maupun siswa; dan dialami oleh pria maupun wanita.

Contoh Kasus Stres

"Setelah melahirkan anak pertama, saya mengalami post partum blues dan menolak bayi saya. Kadang
saya membiarkannya menangis sampai dia diam sendiri karena kecapaian atau tertidur. Saya juga sering
memarahinya untuk kesalahan yang sepele atau bahkan dia tidak bersalah sama sekali. Saya
memarahinya, karena merasa terganggu.

Setelah melewati masa itu, saya bisa menyayanginya dengan baik. Tetapi dampak perlakuan saya
padanya cukup hebat. Dia jadi tidak p diri, takut melakukan sesuatu, dan selalu bertanya kepada saya
untuk hal-hal sepele. Pernah kami jalan-jalan ke museum transportasi, TMII. Saat mendengar bunyi
kereta, dia lari dan bersembunyi ketakutan sambil menutup telinganya. Padahal saya, ayahnya, dan
kedua adiknya ada di dekatnya. Saya merasa sudah menjadi monster untuknya. Dia tidak percaya, saya
bisa melindunginya" (Majalah wanita UMMI No. 2/XV Juni-Juli 2003/1424). percaya

Stres dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap individu. Pengaruh positif, yaitu
mendorong individu untuk melakukan sesuatu, mem bangkitkan kesadaran, dan menghasilkan
pengalaman baru. Sedangkan pengaruh negatif, yaitu menimbulkan perasaan-perasaan tidak percaya
diri, penolakan, marah, atau depresi; dan memicu berjangkitnya penyakit sakit kepala, sakit perut,
insomnia, tekanan darah tinggi, atau stroke.

Pengaruh negatif dari stres itu, dapat disimak dari contoh kasus di atas. Kasus tersebut menunjukkan
bahwa sikap penolakan dan perlakuan seorang ibu yang kasar terhadap anak, dapat menyebabkan stres
bagi anak tersebut. Stres anak yang berkepanjangan ternyata berpengaruh negatif bagi perkembangan
kepribadiannya, yaitu bersifat kurang percaya diri, dan takut melakukan sesuatu.
Teori dasar tentang stres dapat disimpulkan ke dalam tiga variabel pokok, yaitu sebagai berikut (Ray
Woolfe dan Windy Dryden, 1998: 530-532; James W. Greenwood, III & James W. Greenwood,Jr.,
1979:30).

Variabel Stimulus, atau engineering approach (pendekatan kerekayasaan) yang mengonsepsikan stres
sebagai suatu stimulus atau tuntutan yang mengancam (berbahaya), yaitu tekanan dari luar terhadap
individu yang dapat menyebabkan sakit (mengganggu kesehatan). Dalam model ini, stres dapat juga
disebabkan oleh stimulasi eksternal baik sedikit maupun banyak. Variabel Respons, atau physiological
approach (pendekatan fisiologis) yang didasarkan kepada model triphase dari Hans Selye. Dia lahir di
Vienna yang menghabiskan karier profesionalnya di Universitas McGill di Montreal. Dia
mengembangkan konsep yang lebih spesifik tentang reaksi manusia terhadap stressor, yang dia
namakan GAS (General Adaptation Syndrome), yaitu mekanisme respons tipikal tubuh dalam merespons
rasa sakit, ancaman atau stressor lainnya. GAS terdiri atas tiga tahap, yaitu: (a) reaksi alarm, yang terjadi
ketika organisme merasakan adanya ancaman, yang kemudian meresponsnya dengan "fight" atau
"flight"; (b) resistance, yang terjadi apabila stres itu berkelanjutan, di sini terjadi perubahan fisiologis
yang melakukan keseimbangan sebagai upaya mengatasi ancaman; dan (c) exhaustion, yang terjadi jika
stres terus berkelanjutan di atas periode waktu tertentu, sehingga organisme mengalami sakit (menurut
Selye, organisme memiliki keterbatasan untuk melawan (fight) stres). Dia mendefinisikan stres sebagai
"the state which manifests it self by the GAS," atau "the nonspecific response of the body to any
demand made upon it." Selanjutnya dia mengemukakan bahwa stres merupakan hal yang esensial bagi
kehidupan. Tanpa stres tidak ada kehidupan, namun kegagalan dalam mereaksi stressor merupakan
pertanda kematian. Variabel Interaktif, yang meliputi dua teori berikut.

3.

a. Teori Interaksional. Teori yang memfokuskan pembahasan nya kepada aspek-aspek: (1) keterkaitan
antara individu dengan lingkungannya, dan (2) hakikat hubungan antara tuntutan pekerjaan dengan
kebebasan mengambil keputusan. Namun penelitian-penelitian terakhir mengindikasikanbahwa
terdapat bukti yang lemah yang mendukung hubungan antara tuntutan-tuntutan spesifik dengan sakit.
Teori Transaksional yang memfokuskan pembahasannya kepada aspek-aspek kognitif dan afektif
individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya, serta gaya-gaya "coping" yang dilakukannya. Salah
satu teori yang terkenal dari teori transaksional ini adalah teori dari Lazarus dan Folkman (1984).
Mereka mendefinisikan stres sebagai "hasil (akibat) dari ketidakseimbangan antara tuntutan dan
kemampuan." Pengertian ini mengimplikasikan bahwa apabila tuntutan itu lebih besar dari kemampuan
yang dimiliki individu, maka dia akan mengalami stres. Tetapi sebaliknya, apabila kemampuan individu
lebih besar dari tuntutan, atau dia memiliki kesanggupan untuk mengatasi ancaman yang dihadapi,
maka dia menilai tuntutan atau ancaman itu sebagai tantangan, sehingga tuntutan itu tidak
menyebabkan stres.
Terkait dengan variabel respons terhadap stres, Walter Cannon, sekitar tahun 1932 mengemukakan
bahwa manusia merespons peristiwa stres dengan fisik maupun psikis untuk mempersiapkan dirinya,
apakah melawan/mengatasi atau menghindar/melarikan diri dari stres (fight or flight response).
Selanjutnya dia mengatakan bahwa ketika individu memersepsikan adanya ancaman, maka tubuhnya
secara cepat mereaksinya melalui sistem saraf simpatetik dan sistem endoktrin. Respons atau reaksi
tubuh itu memobilisasi organisme untuk menyerang atau menghindari ancaman tersebut. Cannon
berpendapat bahwa di satu sisi, respons atau reaksi "fight-or-flight" itu merupakan usaha organisme
untuk beradaptasi, sebab melalui reaksi itu organisme. dapat merespons ancaman secara cepat. Di sisi
lain, stres itu dapat merugikan organisme, karena mengganggu fungsi emosi dan fisik, serta dapat
menyebabkan masalah kesehatan setiap saat. Apabila stres tersebut terus-menerus terjadi, berarti
individu akan mengalami masalah kesehatan selamanya.

Menurut Dadang Hawari (1997:44-45) istilah stres tidak dapat dipisahkan dari distress dan depresi,
karena satu sama lainnya saling terkait. Stres merupakan reaksi fisik terhadap permasalahan kehidupan
yang dialaminya; dan apabila fungsi organ tubuh sampai terganggu dinamakan distress. Sedangkan
depresi merupakan reaksi kejiwaan terhadap stressor yang dialaminya. Dalam banyak hal, manusia akan
cukup cepat untuk pulih kembali dari pengaruh pengaruh pengalaman stres. Manusia mempunyai suplai
yang baik dan energi penyesuaian diri untuk dipakai dan diisi kembali bilamana perlu.

Stres dapat diartikan sebagai respons (reaksi) fisik dan psikis, yang berupa perasaan tidak enak, tidak
nyaman, atau tertekan terhadap tekanan atau tuntutan yang dihadapi. Bisa pula diartikan reaksi fisik
yang dirasakannya tidak nyaman sebagai dampak dari persepsi yang kurang tepat terhadap sesuatu yang
mengancam keselamatan dirinya, merusak harga dirinya, menggagalkan keinginan atau kebutuhannya.

Sementara A. Baum (Shelley E. taylor, 2003) mengartikan stres sebagai "pengalaman emosional yang
negatif yang disertai perubahan-perubahan biokimia, fisik, kognitif, dan tingkah laku yang diarahkan
untuk mengubah peristiwa stres tersebut atau mengakomodasi dampak-dampaknya."

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa stres adalah "perasaan tidak enak, tidak
nyaman, atau tertekan, baik fisik maupun psikis sebagai respons atau reaksi individu terhadap stressor
(stimulus yang berupa peristiwa, objek, atau orang) yang mengancam, mengganggu, membebani, atau
membahayakan keselamatan, kepentingan, keinginan, atau kesejahteraan hidupnya."

Adapun stimulus stres antara lain: (a) peristiwa, seperti: ujian/tes bagi para pelajar atau mahasiswa,
kematian seseorang yang dicintai, kemacetan lalu lintas, banjir, dan gempa bumi; (b) objek. seperti:
binatang buas, peraturan yang berat atau tuntutan pekerjaan/ tugas yang di luar kemampuan; dan (c)
orang, seperti sikap danperlakuan orang tua dan guru yang galak atau kasar, pimpinan yang otoriter,
para preman (orang-orang jahat), dan penguasa yang zalim

B. Stres pada Setiap Periode Kehidupan Stres pada Masa Bayi

1. Situasi stres yang umumnya dialami bayi merupakan pengaruh lingkungan yang tidak ramah
(unfamiliar), dan adanya keharusan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan atau peraturan orang tua.
Dalam menyesuaikan diri terhadap tuntutan tersebut, dia harus mengendalikan dorongan-dorongan
alamiah atau naluriahnya. Tuntutan atau peraturan yang harus diikuti oleh bayi itu di antaranya (1)
menerima sapihan dari ibunya, (2) belajar cara makan dan mematuhi jadwal waktunya, dan (2) berlatih
buang air pada tempatnya dan mencebok setelahnya (toilet training).

Kemampuan penyesuaian diri bayi terhadap tuntutan tersebut ternyata tidak berlangsung secara
otomatis, tetapi melalui suatu proses yang tidak jarang menimbulkan kesulitan. Pada proses
penyesuaian diri inilah, bayi sering mengalami stres. Faktor lain yang dapat menyebabkan stres pada
bayi adalah sikap penolakan atau ketidaksenangan ibu, yang ditandai dengan perlakuan ibu yang kasar,
marah-marah, atau kurang memerhatikan kebutuhannya.

2.

Stres pada Masa Anak

Stres pada anak-anak biasanya bersumber dari keluarga, sekolah, atau teman mainnya. Stres yang
bersumber dari keluarga seperti: kurang curahan kasih sayang dari orang tua, dan perubahan status
keluarga (seperti dari serba kecukupan menjadi serba kekurangan, atau broken home).

Sementara sumber stres yang berasal dari sekolah, di antaranya: sikap dan perlakuan guru yang kasar,
kurang berhasil dalam bidang akademis, tidak naik kelas, kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas dari
guru, dan keadaan sekolah yang kurang kondusif untuk belajar (seperti bising, kumuh, dan kurang
sehat).
Stres pada Masa Remaja

3. Ada kepercayaan yang sudah populer, bahwa masa remaja merupakan masa stres dalam perjalanan
hidup seseorang. Pada umumnya, sumber stres utama pada masa ini adalah konflik atau pertentangan
antara dominasi, peraturan atau tuntutan orang tua dengan kebutuhan remaja untuk bebas, atau
independence dari peraturan tersebut.

Banyak reaksi penyesuaian remaja yang negatif merupakan pernyataan dari upaya-upaya untuk
mencapai kebebasan tersebut. Gejala-gejala yang sangat umum dari kesulitan penyesuaian diri remaja
ini, di antaranya: membolos dari sekolah, bersikap keras kepala atau melawan, tawuran, bullying, tindak
kriminal, mengonsumsi minuman keras (Miras) dan obat-obat terlarang (Narkoba), serta berbohong.

Stres pada Masa Dewasa

Stres yang dialami orang dewasa pada umumnya bersumber dari faktor-faktor: kegagalan perkawinan,
ketidakharmonisan hubungan dalam keluarga, masalah nafkah hidup atau kehilangan pekerjaan (seperti
di PHK), ketidakpuasan dalam hubungan seks, penyimpangan seksual suami atau istri, perselingkuhan
suami atau istri, keadaan hamil, menopause, gangguan kesehatan fisik, dan anak yang nakal.

C. Gejala Stres

Untuk mengetahui apakah diri kita atau orang lain mengalami stres, dapat dilihat dari gejala-gejalanya,
baik fisik maupun psikis.

Gejala Fisik di antaranya: sakit kepala, sakit lambung (mag hipertensi (darah tinggi), sakit jantung atau
jantung berdeha debar, insomnia (sulit tidur), mudah lelah, keluar keringa dingin, kurang selera makan,
dan sering buang air kecil, Gejala Psikis, di antaranya: gelisah atau cemas, kurang dapat berkonsentrasi
belajar atau bekerja, sikap apatis (masa bodoh), sikap pesimis, hilang rasa humor, bungkam seribu
bahasa, mala belajar atau bekerja, sering melamun, dan sering marah-marah atau bersikap agresif (baik
secara verbal, seperti: kata-kata kasar, dan menghina; maupun non-verbal, seperti: menempeleng
menendang, membanting pintu, dan memecahkan barang. barang).

D. Faktor-Faktor Penyebab atau Pemicu Stres (Stressor)


Faktor pemicu stres itu dapat diklasifikasikan ke dalam

beberapa kelompok berikut.

1. Stressor fisik-biologis, seperti: penyakit yang sulit disembuhkan cacat fisik atau kurang berfungsinya
salah satu anggota tubuh wajah yang tidak cantik/ganteng, dan postur tubuh yang dipersepsi tidak ideal
(seperti: terlalu kecil, kurus, pendek, atau gemuk).

2. Stressor psikologis, seperti: negative thinking atau berburuk sangka, frustrasi (kekecewaan karena
gagal memperoleh sesuatu yang diinginkan), hasud (iri hati atau dendam), sikap permusuhan, perasaan
cemburu, konflik pribadi, dan keinginan yang di luar kemampuan.

Stressor sosial: (a) iklim kehidupan keluarga, seperti: hubungan antar anggota keluarga yang tidak
harmonis (broken home), perceraian, suami atau istri selingkuh, suami atau istri meninggal, anak yang
nakal (seperti: suka melawan kepada orang tua, sering membolos dari sekolah, mengonsumsi minuman
keras, dan menyalahgunakan obat-obat terlarang), sikap dan perlakuan orang tua yang keras, salah
seorang anggota keluarga mengidap gangguan jiwa, dan tingkat ekonomi keluarga yang rendah; (b)
faktor pekerjaan, seperti: kesulitan mencari pekerjaan, pengangguran, kena PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja), perselisihan dengan atasan, jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan,
dan penghasilan tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan sehari-hari; (c) iklim lingkungan, seperti:
maraknya kriminalitas (pencurian, perampokan, dan pembunuhan), tawuran antar kelompok (pelajar,
mahasiswa, atau warga masyarakat), harga kebutuhan pokok yang mahal, kurang tersedia fasilitas air
bersih yang memadai, kemarau panjang, udara yang sangat panas/dingin, suara bising, polusi udara,
lingkungan yang kotor (bau sampah di mana-mana) atau kondisi perumahan yang buruk, kemacetan lalu
lintas, bertempat tinggal di daerah banjir atau rentan longsor, dan kehidupan politik dan ekonomi yang
tidak stabil.

Mengenai respons terhadap stres tersebut, berikut diberikan sedikit penjelasannya.

Respons Emosional

pada buku Untuk mengetahui hubungan antara stres dengan emosi, Caspi, Bolger, dan Ecken (Weitten &
Lloyd, 1994) sekitar tahun ditulis 1987 melakukan penelitian terhadap 96 orang wanita mengenai
hariannya selama 28 hari. Dari penelitian ini ditemukan bahwa pengalaman stres dan suasana hatinya
yang terdapat korelasi antara stres dengan suasana hatinya. Artinya stres itu dapat menimbulkan
suasana hati yang negatif (tidak nyaman). Menurut Woolfolk dan Richardson (1978), reaksi emosi itu
meliputi: perasaan kesal, marah, cemas, takut, murung, sedih, dan duka cita.

2. Respons Fisiologis

a. The Fight or Flight Response The fight or flight response yaitu reaksi fisiologis terhadap ancaman
dengan memobilisasi organisme untuk melawan (fight) atau melarikan diri, menghindar (flight) dari
ancaman atau sesuatu yang membahayakan. Menurut Walter Cannon (1932) respons ini terjadi dalam
sistem saraf autonomik tubuh (Autonomic System: ANS). ANS ini merupakan urat-urat saraf yang
berhubungan dengan hati, jantung, darah, otot, dan kelenjar. ANS ini terbagi dua bagian, yaitu (1)
parasympathetic, yang pada umumnya berfungsi untuk memelihara sumber-sumber tubuh, seperti
mengatur detak jantung dan mengatur pencernaan untuk membantu tubuh dalam menyelamatkan dan
menyimpan energi; dan (2) sympathetic, yang memobilisasi sumber-sumber tubuh untuk menghadapi
hal-hal yang darurat (emergensi), seperti merespons stres, baik melalui fight maupun flight.

Dalam satu eksperimennya, Cannon meneliti respons fight atau flight kucing yang dihadapkan kepada
anjing yang galak. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pernapasan, detak jantung, dan
menurunnya proses pencernaan.

b.

The General Adaptation Syndrome

The General Adaptation Syndrome merupakan respons tubuh terhadap stres, yang terdiri atas tiga
tahap: alarm, resistance, dan exhaustion (Selye, 1974).

Brain-Body Pathway

C.
Pada saat terjadi stres, otak mengirim sinyal ke sistem endoctrine sepanjang dua jalan utama (Asterita,
1985, dalam Weiten dan Lloyd). Sistem endocrine ini terdiri atas kelenjar-kelenjar yang memisahkan
hormon-hormon ke dalam aliran darah. Kelenjar kelenjar endocrine itu seperti pituitary, pineal, thyroid,
dan adrenal. Hormon-hormon dilepaskan oleh kelenjar-kelenjar tersebut untukmeregulasi fungsi-fungsi
fisik dan memainkan peranan dalam merespons stres. Kedua jalan utama itu adalah sebagai beriku Jalan
Pertama ditempuh melalui sistem saraf otomatik (ANS penting

4 2 Hypothalamus mengaktifkan sympathetic, yang melibatkan bagian pusat kelenjar adrenal untuk
melepaskan sejumlah besa catecholamines ke dalam aliran darah. Hormon ini memanca sekitar tubuh,
yang menghasilkan banyak perubahan-perubahan fisiologis yang penting. Hasil bersih dari
catecholamines dalam tubuh dimobilisasi untuk kegiatan-kegiatan, seperti meningkatkan aliran darah,
memompa darah ke otak dan otot-otot. mempercepat konsumsi oksigen dan pernapasan. Jalan kedua
melibatkan komunikasi langsung antara otak dan sistem endocrine. Hypothalamus mengirim sinyal
kelenja pituitary. Kelenjar ini memisahkan hormon Adrenocorticotropic (ACTH) yang menstimulasi
bagian luar kelenjar adrenal (adrenal cortex) untuk melepaskan hormon-hormon penting lainnya, yaitu
corticosteroids. Hormon-hormon ini menstimulasi pelepasan lemak dan protein ke dalam sirkulasi, yang
membantu peningkatan energi dalam tubuh, dan juga memobilisasi zat-zat kimia yang membantu
penghambatan pada kasus luka.

Respons Behavioral

Respons behavioral (tingkah laku/aktivitas) terhadap stres pada umumnya melibatkan coping, yaitu
"berbagai upaya untuk menuntaskan, mengurangi, atau menoleransi tuntutan-tuntutan yang
menyebabkan stres." Meskipun secara populer penggunaan itu sering diterapkan terhadap upaya-upaya
yang secara inheren bersifat sehat, namun dalam kenyataannya ada juga yang coping bersifat tidak
sehat. Contohnya, apabila ada seorang mahasiswa mengalami stres, karena mendapatkan nilai jelek,
mungkin dia meresponsnya dengan coping atau upaya-upaya: (a) meningkatkan kedisiplinan dalam
mempelajari buku-buku, (b) berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan perkuliahan, atau (c) mencela atau
membenci dosen yang memberi nilai tersebut. Upaya-upaya poin a dan b bersifat sehat
(healthy/adaptive), tetapi poin c tidak sehat (unhealthy/maladaptive).

Terkait dengan pembahasan tentang faktor-faktor yang menyebabkan stres seperti telah dikemukakan
di atas, Greenwood III dan Greenwood Jr (1976: 52-109) mengemukakan bahwa tubuh manusia
merupakan sistem terbuka, yang dilengkapi dengan mekanisme homeostatis, yaitu kecenderungan
untuk senantiasa memelihara kestabilan organisme, terutama setelah organisme mengalami gangguan.
Faktor-faktor yang mengganggu kestabilan (stres) organisme berasal dari dalam maupun dari luar.
Faktor yang berasal dari dalam diri organisme adalah biologis dan psikologis, sedangkan yang berasal
dari luar adalah faktor lingkungan.

4. Faktor Biologis

Stressor biologis meliputi faktor-faktor genetika, pengalaman hidup, ritme biologis, tidur, makanan,
postur tubuh, kelelahan, penyakit, dan abnormalitas adaptasi.

Faktor Genetika

genetika Predisposisi biologis yang menyebabkan stres adalah faktor faktor yang berkembang sebelum
kelahiran atau komposisi p Dalam kenyataan, semua karakteristik biologis maupun mental setiap
individu, termasuk kekuatan dan kelemahannya dikontro oleh instruksi-instruksi kode genetika tertentu
dalam dirinya. Faktor predisposisi lainnya yang menyebabkan stres ini, adalah proses perkembangan
dalam kandungan. Apabila seorang ibu yang sedang mengandung suka mengonsumsi alkohol, obat-
obatan, racun, atau makanan yang menyebabkan alergi, maka itu semua akan merusak perkembangan
sang bayi yang sedang dikandung. Kerusakan perkembangan itu seperti kelemahan tubuh,
ketidakberfungsian organ, dan tingkah laku abnormal.

b. Pengalaman Hidup Setiap individu memiliki sejarah kehidupan atau pengalaman hidup (life
experience) yang unik. Pengalaman hidup merupakan proses transisi kehidupan individu dari mulai masa
anak sampai masa dewasa. Masa transisi ini melahirkan suasana krisis atau stres pada diri individu.
Contoh suasana yang menimbulkan stres antara lain: (1) pada masa anak: sakit demam, kecelakaan, dan
patah tulang; dan (2) pada masa remaja: masalah penyesuaian terhadap perkembangan perasaan
independen dan fenomena kematangan organ seksual.

C.

Tidur (Sleep)

Setiap orang memiliki kebutuhan (need) untuk tidur. Oleh karena itu, apabila dia mengalami kurang
tidur atau tidurnya tidak nyenyak, maka akan berakibat kurang baik bagi dirinya, seperti: tidak dapat
berkonsentrasi, kurang semangat untuk melakukan suatu kegiatan (bekerja atau belajar), mudah
tersinggung, mengalami gangguan halusinasi.

Diet

Diet artinya makanan (foods), atau vitamin sebagai nutrisi dibutuhkan tubuh. Dalam hidupnya, setiap
individu membutuhkan nutrisi yang seimbang, yaitu: karbohidrat, protein, yang vitamin, mineral dan air.
Kekurangan (malnutrisi) atau kelebihan nutrisi (seperti makan yang berlebihan) cenderung
memengaruhi proses metabolisme tubuh yang normal dan mengganggu kadar gula darah yang normal,
sehingga menimbulkan stres pada diri individu, karena mengganggu mekanisme homeostatis tubuh.
Dampak lebih jauh dari gangguan homeostatis ini adalah terjadinya kelelahan pada diri individu, pola
tidur yang tidak teratur, dan sakit. Diet yang melebihi batas, baik yang mengurangi atau yang berlebihan
sangat berkontribusi terhadap penyakit tertentu, seperti sakit hati, kanker, kegemukan, dan sakit
jantung (stroke). Enam dari 10 penduduk Amerika Serikat meninggal dunia diidentifikasi penyebabnya
karena diet yang berlebihan ini.

Postur Tubuh

e Postur merupakan fungsi dari kerangka dan perototan tubuh secara keseluruhan. Postur yang kurang
sempurna atau normal dapat merintangi keberfungsian sistem organ-organ tubuh, seperti: (1) gerak-
gerak refleks, (2) sistem cardiovascular, dan (3) sistem pencernaan. Di samping itu, postur yang tidak
sempurna ini mempunyai pengaruh yang kurang baik kepada suasana psikologis individu dan
kemampuan berhubungan sosialnya dengan orang lain. Ketidaknormalan postur ini dapat disebabkan
oleh faktor faktor: (1) penyakit yang menyerang organ tubuh, (2) penggunaan otot-otot yang tidak tepat,
atau (3) gangguan pada bagian dalam pendengaran (dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk
duduk, berdiri dan berjalan tanpa bantuan orang lain). Seringkali postur tubuh ini dipandang sebagai
refleksi atau ekspresi dari sikap-sikap emosional tertentu, seperti: postur tubuh yang baik merefleksikan
sikap percaya diri dan ekstroversi, sedangkan postur yang kurang baik merefleksikan sikap kurang
percaya diri dan introversi.

jumlah atau wilayah tubuh yang diperlukan untuk memelihara homeostatis Terdapat tiga bentuk proses
adaptasi yang abnormal

Menme Seve
(maladaptation), yaitu: (1) respons adaptif yang tidak memadai (hypoadaptation), yang mungkin
berbentuk sekresi yang tidak memadai dari anti hormon-hormon inflammatory, yang melahirkan
penyakit rematik, penyakit kulit dan mata, dan penyakit tulang (arthritis); (2) respons adaptif yang
eksesif (hyperadaptation), yang berbentuk overproduksi hormon-hormon corticoid, yang menyebabkan
lahirnya penyakit jantung dan ginjal; dan (3) respons adaptif yang tidak tepat, yang terdiri dari sekresi
hormonal, atau respons terhadap stressor yang di luar kebiasaan; kondisi ini menyebabkan penyakit
saraf atau mental, gangguan seksual, penyakit pencernaan, dan kanker.

Pada umumnya penyakit-penyakit yang dialami manusia disebabkan oleh respons adaptif yang
abnormal dari satu atau lebih organ-organ tubuh terhadap stres. Adaptasi yang abnormal ini dapat
melemahkan kemampuan tubuh untuk memberikan respons yang normal terhadap stressor, sehingga
tubuh mudah terserang stres.

5. Faktor Psikologis

Faktor psikologis yang diduga menjadi pemicu stres, di antaranya sebagai berikut.

Persepsi

Salah satu faktor yang terlibat dalam persepsi adalah sistem pancaindra. Ingatan, motivasi, gen
keturunan, dan interpretasi dari sinyal yang diterima oleh pancaindra bersatu membentuk persepsi. Dari
kenyataan ini jelas bahwa perilaku seseorang dapat mengontrol persepsi. Jika kita dapat mengendalikan
persepsi maka kita memiliki kekuatan untuk mengendalikan sumber stres dengan yakin karena
kebanyakan stres (executive stress) terjadi dikarenakan dengan apa yang kita lihat atau dengar. Yang
menjadi perhatian adalah bahwasetiap perkataan atau pekerjaan (bahkan tulisan) seseorang dapa
menyebabkan berbagai tingkatan stres bagi orang lain (observer). Sebaliknya, yang tidak diperhatikan
adalah suatu kenyataan bahwa sumber stres bukanlah perbuatan orang lain, tetapi persepsi dar
pengamat sendiri atas perilaku orang lain tersebut. Selama kita bisa mengendalikan persepsi kita sendiri,
kita juga dapat mengendalikan sumber stres.

Perasaan dan Emosi


b. Emosi merupakan aspek psikologis yang komplek dari keadaan homeostatis yang normal (normal
homeostatic state) yang berawal dari suatu stimulus psikologis, Kemampuan untuk menerima dan
membedakan setiap perasaan dan emosi bukanlah bawaan sejak lahir, melainkan hasil dari interaksi
selama proses pendewasaan secara normal dan pengalaman yang diperoleh secara bertahap.

Tujuh macam emosi yang paling berkaitan dengan stres adalah kecemasan (kegelisahan), rasa bersalah,
kekhawatiran/ketakutan, kemarahan, kecemburuan, kesedihan dan kedukaan.

Kecemasan (anxiety)

Kecemasan pada dasarnya adalah suatu reaksi diri untuk menyadari suatu ancaman (threat) yang tidak
menentu. Gejala kecemasan ini nampak pada perubahan fisik, seperti gangguan pernapasan, detak
jantung meningkat, berkeringat, dan lain lain. Salah satu penyebab kecemasan adalah kesadaran akan
kematian. Ketidakpastian akan hidup kadang juga menjadi sumber kegelisahan bagi sebagian orang.
Perasaan cemas yang berkepanjangan dapat menyebabkan kekhawatiran, ketakutan, dan perilaku stres
lainnya.

Rasa bersalah dan rasa khawatir (guilt & worry) Rasa bersalah dan cemas dapat dikategorikan sebagai
kegelisahan dengan suatu ancaman yang jelas. Rasa bersalah ditandai dengan menurunnya kepercayaan
diri, merasa dirinya tidak berguna, buruk, atau merasa sebagai orang jahat. Sebagian orang
akanmenyalahkan atau bahkan membenci dirinya sendiri. Di lain hal, rasa cemas ditandai dengan
adanya pikiran negatif akan sesuatu hal secara berulang dan terus-menerus Rasa bersalah berfokus
kepada kejadian yang telah terjadi sedangkan rasa cemas berfokus kepada kejadian yang masih
diharapkan. Rasa bersalah dan cemas dapat menimbulkan atau mengakibatkan

stres Rasa takut (fear)

Sama halnya dengan kegelisahan, rasa takut berkaitan dengan kejadian yang akan terjadi. Rasa takut
adalah tanggapan terhadap suatu ancaman tertentu, berbeda halnya dengan rasa gelisah yang
merupakan tanggapan atas ancaman yang belum menentu kejelasannya. Rasa takut pada manusia
sangat beragam, seperti rasa takut terhadap sakit, hukuman, kegagalan, dan sebagainya. Rasa takut
yang tidak terkendali dapat menuju kepada perilaku yang mengakibatkan stres.
Marah (anger)

Marah adalah emosi yang kuat yang ditandai dengan adanya reaksi sistem saraf yang akut dan dengan
adanya sikap melawan baik secara terang-terangan atau tersembunyi. Menahan untuk marah dapat
menyebabkan stres pada diri seseorang, baik secara emosi atau fisik. Secara fisik seperti dapat
menyebabkan naiknya tekanan darah dan gangguan psikosomatis lainnya. Seseorang yang sering marah
atau menahan marah dapat mengakibatkan rasa bersalah pada dirinya dan perilaku lainnya yang
menunjukkan jiwa yang stres. Menahan rasa marah berarti menghambat siklus biologis yang secara
normal berlangsung dalam tubuh, dan hal ini dapat menyebabkan frustrasi, yang pada akhirnya
mengalami stres. Cemburu (jealousy)

Cemburu meliputi keinginan untuk menguasai, mengendalikan, atau memperbudak seseorang sebagai
rasa kepemilikan atas orang tersebut. Cemburu dapat menimbulkan rasa cemas, takut, gelisah, atau
marah.

Kesedihan dan kedukaan (loss and bereavement) Sedih adalah rasa sakit atau pilu yang diakibatkan
adanya perubahan, seperti perubahan dalam hubungan pribadi (cinta, dukungan, dan sebagainya),
perubahan dalam kemampuan diri (daya tanggap, kekuatan, dan sebagainya), perubahan dalam materi
(gaji, kepemilikan tempat tinggal, dan sebagainya), atau bahkan perubahan perkembangan diri
(pendewasaan, promosi, penurunan pangkat, dan sebagainya). Lebih spesifik daripada kesedihan, rasa
duka adalah rasa sedih akan kematian seseorang Kesedihan atau rasa duka dapat menumbuhkan emosi
yang dapat menyebabkan stres.

C. Situasi Situasi adalah sebuah konsepsi individual tentang suatu

keadaan atau kondisi di mana dia berada pada suatu waktu. Satu

hal penting adalah bahwa situasi tersebut tidak harus selalu

berhubungan dengan kenyataan yang ada, tetapi biasanya merupakan

hasil dari pengenalan (cognition) dan penilaian (appraisal) yang


sangat tergantung kepada setiap individu. Jadi, suatu kombinasj

dari sensasi, perasaan, atau emosi tertentu dapat dirasakan sebagai

situasi yang stres oleh seseorang, tetapi bukan halnya demikian oleh

orang lain. Empat tipe situasi yang dapat menimbulkan stres adalah

ancaman, "fenomena rindu di saat dekat," frustrasi, dan konflik.

Ancaman (threat)

Suatu keadaan yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan diri, akibat kejahatan, kecelakaan,
kerusakan, kehilangan, bencana dan sebagainya, dapat dikatakan sebagai definisi dari ancaman. Sumber
ancaman sangat banyak, tetapi persepsi tentangnya adalah bersifat internal, tergantung kepada setiap
tiap orang Seseorang yang memersepsikan semua keadaan tersebut sebagai suatu ancaman bagi
kenyamanan hidupnya, maka dia akan mengalami stres.

Frustrasi (frustration) Individu dikatakan mengalami frustrasi ketika dia merasakan dalam serangkaian
usahanya dalam mencapai tujuan tertentu, atau ketika dia mengalami keterlambatan dalam gangguan
mencapai tujuannya. Frustrasi meliputi bahaya sekarang atau dulu, sedangkan ancaman meliputi bahaya
yang mungkin atau akan terjadi di masa yang akan datang. Selain itu, frustrasi dapat ditimbulkan karena
gangguan sistem sirkulasi dari aktivitas biologis dalam tubuh individu. Berolahraga dapat mengurangi
juga efek buruk dari frustrasi. Frustrasi yang berkepanjangan dapat menimbulkan stres. Konflik (conflict)

Konflik dapat terjadi secara interpersonal (internal) atau intrapersonal. Internal konflik adalah suatu
proses yang meliputi persepsi terhadap dua tujuan yang bertentangan, di mana keduanya diinginkan
untuk dicapai secara bersamaan, tetapi hal itu tidak mungkin tanpa mengorbankan di antara salah
satunya. Ketidakmampuan seseorang untuk mengatasi konflik dapat menyebabkan stres.
d. Pengalaman Hidup

Pengalaman hidup meliputi keseluruhan kejadian psikologis seorang individu selama hidupnya. Setiap
kejadian memiliki implikasi psikologis dan mungkin beberapa kejadian dapat menimbulkan stres.
Pengalaman hidup dapat dibagi ke dalam tiga kategori: perubahan hidup, masa transisi kehidupan (life
passages), dan krisis kehidupan (life crises). Untuk menganalisis hubungannya dengan stres, kejadian
traumatis akan lebih ditekankan.

Perubahan hidup Perubahan hidup adalah peristiwa di mana reaksi penanganan hal penting perlu untuk
dilakukan, seperti dalam hal perceraian, kecelakaan, kesibukan, dan sebagainya. Pengalaman hidup itu
bersifat kumulatif, dan kemampuan setiap individu untukmengatasinya dibatasi oleh waktu yang ada.
Setiap stres yang dialami oleh individu mengurangi kemampuan beradaptasi yang dimiliki. Akumulasi
sejumlah pengalaman hidup traumatis cenderung memengaruhi individu kepada stres yang lebih serius
baik secara fisik maupun mental. Masa transisi kehidupan.

Dalam kehidupan individu, ada saatnya masa stabil dan ada juga masa labil. Masa labil biasanya adalah
masa "titik balik" (turning point) atau masa transisi dalam kehidupannya. Masa labil ini dapat
menyebabkan stres bagi sebagian individu di mana perubahan sikap yang signifikan diperlukan dalam
masa ini. Di masa muda (mid-life) atau remaja, masalah-masalah baru muncul terkait dengan
penggunaan waktu, masalah penemuan identitas diri, dan pembaharuan diri selalu mendesaknya. Jika
remaja kurang dipersiapkan untuk menyikapi atau menjalani perubahan tersebut secara wajar, maka
tidak sedikit remaja yang mengalami stres.

Krisis kehidupan

Krisis kehidupan dapat diartikan sebagai perubahan status yang radikal dalam kehidupan seseorang yang
mengandung baginya. Krisis kehidupan tergantung kepada kesadaran (kognisi) dan penilaian (appraisal)
setiap individu, karena apa yang dilihat oleh seseorang sebagai perubahan yang radikal (krisis
kehidupan) dapat dilihat sebagai awal untuk melangkah bagi orang lain. Kemungkinan lainnya,
seseorang akan bereaksi berbeda dalam kondisi-kondisi yang serupa pada waktu yang berlainan dalam
hidupnya. Sebagai contohnya, kehilangan pekerjaan mungkin bukan merupakan krisis bagi seorang
pemuda yang belum menikah yang tinggal bersama orang tuannya, tetapi setelah dia menikah dan
dibebani dengan kebutuhan keuangan yang berat, orang ini akan menganggap masalah kehilangan
pekerjaan tersebut sebagai sebuah krisis dalam hidupnya. Apabila hal ini terjadi, maka sangat mungkin
orang itu akan mengalami stres.
Keputusan Hidup

Keputusan hidup bukan berarti keputusan yang diambil individu dalam kesehariannya untuk
menentukan pilihan-pilihan yang ada, namun keputusan hidup memiliki konsekuensi psikologis yang
lama yang akan menentukan jalan hidup dan kesehatan mental individu.

Teori analisis transaksional menyatakan bahwa dalam menjalani kehidupan, setiap orang akan berada
dalam salah satu dari empat posisi kehidupan berikut.

I'M NOT OK - YOU'RE OK

I'M NOT OK YOU'RE NOT OK I'M OK YOU'RE NOT OK

I'M OK YOU'RE OK (Harris, 1967).

Menurut Harris, anak usia 3 tahun sudah mulai membuat keputusan untuk memilih salah satu posisi dari
empat posisi di atas. Posisi keempat merupakan keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan
rasional, tentang bagaimana seseorang menghadapi kehidupannya, atau mengatasi masalahnya.

Hubungan interpersonal individu dapat berjalan dengan lancar atau dengan tekanan stres, tergantung
kepada posisi kehidupan yang dijalankannya. Posisi "I'M NOT OK" merintangi individu ketika
berhubungan dengan yang lain, khususnya ketika orang lain terlihat dalam posisi "OK." Ketika kita
berada dalam posisi "I'M NOT OK" maka stres yang dirasakan akan semakin buruk karena adanya
hubungan interpersonal yang tidak menyenangkan.

Bagi setiap orang, terutama bagi mereka yang selalu berhubungan dengan orang lain, posisi kehidupan
ini merupakan aspek yang sangat penting, karena jika tidak mampu mengatur posisi tersebut secara
wajar atau normal cenderung akan mengalami stres. Tabel di bawah menunjukkan gambaran model dari
posisi kehidupan.

Perilaku (Behavior) Dalam bahasan ini, perilaku secara umum didefinisikan sebagai semua output dari
setiap tingkatan hierarki dari sistem saraf, seperti sensasi, perasaan, emosi, kesadaran, penilaian, dan
sebagainya. Lebih jauh lagi, setiap perilaku di atas dapat menyebabkan stres dan juga dapat merupakan
akibat dari stres.

9.

Respons Perlawanan (Fight) dan Melepaskan/Melarikan Diri

(Flight)

Respons perlawanan dan melepaskan diri dapat diilustrasikan

dengan gambar berikut.

Melepaskan diri (Flight)

Imobilitas/Diam (immobility)

Kategori perilaku yang digambarkan dengan garis di atas meliputi perilaku agonistik (agonistic behavior),
suatu istilah untuk sikap bermusuhan (hostile behavior). Perilaku agonistik adalah aktivitas penyesuaian
diri terhadap suatu penderitaan atau ancaman bahaya, baik yang berasal dari lingkungan sekitar,
pemangsa, atau anggota spesies yang sama. Sikap menghindari bahaya merupakanperilaku bawaan
yang ditemukan dalam semua jenis hewan, yang mungkin merupakan sifat dasar untuk kelangsungan
hidupnya.

Reaksi Perlawanan (Fight Reaction) Reaksi perlawanan memiliki bentuk yang beragam, seperti

n agresi atau menyerang, perlawanan bertahan (defensive fighting), dan sebagainya. Sikap melawan,
baik dalam menyerang atau bertahan, adalah sikap yang paling umum dilakukan terhadap suatu
penderitaan atau stimulus yang menyakitkan lainnya. Pada dasarnya, semua perilaku agonistik
cenderung untuk menolak pengaruh orang atau hal lain yang telah atau kelihatannya dapat
menimbulkan stimulus yang menyakitkan.

Reaksi Melepaskan diri (Flight Reaction)

Reaksi pelepasan diri yang berhasil (bebas dari stimulus stres) akan menolong untuk keluar dari stres,
tetapi akan diikuti dengan perasaan marah, bersalah, cemas, gelisah, atau kombinasi dari perasaan-
perasaan di atas tergantung kondisi, tinjauan, dan reaksi diri pada saat stres. Pola emosi dan efek fisik
dan psikologis yang dihasilkan adalah sama baik itu oleh respons perlawanan atau melepaskan diri.

Imobilitas / Diam (Immobility)

Imobilitas psikologis dapat berupa penolakan untuk membuat suatu keputusan (bimbang), atau
ketidakmampuan untuk membuat keputusan. Dalam hal menolak untuk mengambil keputusan,
seseorang dengan sadar berperilaku untuk tergantung kepada orang lain, yaitu mencari bantuan orang
lain dalam membuat keputusan dan dukungan psikologis dalam bentuk saran atau bimbingan. Imobilitas
psikologis meliputi interupsi siklus biologis dalam tubuh yang dapat mengakibatkan frustrasi dan hal
merugikan lainnya. Imobilitas psikologis yang berkepanjangan dapat mengakibatkan perasaan
ketergantungan patologis dan perasaan ketidakberdayaan.

Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan ini meliputi lingkungan fisik, biotik, sosial. Masing-masing lingkungan itu dapat
dijelaskan dan sebagai

6.

berikut.

Lingkungan Fisik, seperti: cuaca (sangat panas atau sangat dingin), peristiwa alam (seperti gempa bumi,
topan badai, banjir bandang, dan tanah longsor), suasana gedung tempat bekerja yang tidak nyaman,
perlengkapan kerja yang tidak memadai, minimnya sumber air bersih, dan lingkungan yang kotor atau
polutif.

Lingkungan Biotik. Manusia modern cenderung menjadi pemangsa (predator) bagi makhluk lainnya.
Meskipun begitu mereka juga masih rentan untuk dimangsa. Pemangsa manusia dewasa ini bukan lagi
seekor serigala atau harimau, melainkan makhluk microscopic, seperti: bakteri dan virus-virus yang
menyebabkan timbulnya penyakit atau kerusakan pada tubuh. Para dermatologis (ahli penyakit kulit)
memperkirakan bahwa pada umumnya setiap 1 cm² kulit manusia mengandung 25 juta organisme
(bakteri).

C.

Lingkungan Sosial. Faktor yang menjadi sumber stres manusia pada dasarnya adalah manusia itu sendiri,
yaitu manusia dalam lingkungan kehidupan sosial yang lebih luas. Lingkungan sosial yang dapat
dikategorikan sebagai sumber stres, di antaranya: kehidupan perkotaan, gaya hidup modern, suasana
tempat kerja (jenis pekerjaan yang monoton, tuntutan kerja yang berat, dan pimpinan yang bersikap
sewenang-wenang), dan iklim kehidupan keluarga (ketidakharmonisan hubungan antar anggota
keluarga atau antar orang tua dengan anak, anak yang kurang mendapat perhatian orang tua, dan
perceraian).

Berdasarkan hasil penelitian T.H. Holmes dan Rahe (Shelley E. Taylor, 2003: 198-199) dengan
menggunakan inventori the Social Readjustment Rating Scale (SRRS) menunjukkan bahwa peristiwa
kehidupan yang dapat menimbulkan stres adalah sebagai berikut.

Anda mungkin juga menyukai