Anda di halaman 1dari 13

A.

PENDAHULUAN
Sejak kelahiran atau bahkan sejak pembuahan, setiap makhluk sudah
berada dalam situasi yang menggambarkan adanya dua pihak yang saling
bertentangan, yaitu pihak pertama berupa “kondisi dari makhluk itu sendiri” dan
pihak kedua adalah “lingkungan”. Terjadi interaksi antara makhluk (individu)
dengan lingkungan. Interaksi ini akan menyebabkan setiap pihak terpengaruh oleh
pihak-pihak lainnya. Untuk dapat mempertahankan kehidupannya, menurut
Darwin, perlu adanya perjuangan dari makhluk tersebut untuk dapat
mempertahankan jenis dan selanjutnya bahkan untuk mengembangkan diri. Upaya
mempertahankan diri dapat juga disebut sebagai upaya-upaya untuk
menyesuaikan diri, yaitu memenuhi tuntutan lingkungan terhadap dirinya. Dengan
demikian, sejak awal individu selalu berada dalam situasi yang menantang dan

1
setiap tantangan akan menimbulkan upaya untuk bisa menghadapi situasi-situasi
tersebut. Oleh karena itu, ada dua kejadian penting disini, yaitu: adanya situasi
stress (stressfull situation) pada individu dan adanya adaptasi terhadap
lingkungannya (Wiramihardja, 2007).
Kedua hal tersebut berada dalam suatu situasi, sehingga banyak ahli yang
menyatakan stress itu identik dengan perilaku adaptasi. Stress memiliki ciri
identik dengan perilaku beradaptasi dengan lingkungannya, dimana lingkungan
ini bisa berupa hal di luar diri (outer world), tetapi juga bisa dari dalam diri (inner
world). Jadi, orang dikatakan adaptif kalau dia bisa atau mampu menyesuaikan
diri dengan tuntutan orang lain, tetapi dia juga bisa memenuhi kebutuhannya
sendiri (Wiramihardja, 2007).
Upaya adaptasi ini menuntut adanya perubahan dan perkembangan pada
individu. Tentu saja perkembangan manusia ini terjadi dalam sepanjang masa
hidup, yang terkait didalamnya, pertumbuhan dan perkembangan. Menurut pakar
perkembangan masa hidup, Paul Baltes, perspektif masa hidup (life-span
perspective) mencakup tujuh kandungan dasar yang salah satunya adalah
multidisiplin,dimana pertumbuhan dan perkembangan dapat dilihat dalam
berbagai perspektif keilmuan (Santrock, 2002).
Proses biologis (biological processes) dalam tumbuh kembang individu
meliputi perubahan pada sifat fisik individu. Plasma pembawa sifat keturunan
(genes) yang diwarisi dari orang tua, perkembangan otak, pertambahan tinggi dan
berat, perubahan pada keterampilan motorik, perubahan hormon pubertas, dan
penurunan jantung semuanya mencerminkan peran proses biologis dalam
perkembangan. Sedangkan proses kognitif (cognitive processes) meliputi
perubahan pada pemikiran, inteligensi, dan bahasa individu. Memandang benda
berwarna yang berayun-ayun di atas tempat tidur bayi, merangkai satu kalimat
yang terdiri atas dua kat, menghafal syair, membayangkan seperti apa rasanya
menjadi bintang film, dan memecahkan suatu teka-teki silang semuanya
mencerminkan peran proses kognitif dalam perkembangan. Serta proses
sosioemosional (socioemotional processes) meliputi perubahan pada relasi
individu dengan orang lain, perubahan pada emosi, dan perubahan pada

2
kepribadian. Senyum seorang bayi dalam merespons sentuhan ibunya, serangan
agresif seorang laki-laki kecil terhadap teman mainnya, perkembangan asertivitas
(assertiveness) seorang anak perempuan, kegembiraan seorang remaja atas pesta
dansa, dan afeksi pasangan manusia lanjut usia semuanya mencerminkan peran
proses-proses sosioemosional dalam perkembangan (Santrock, 2002).
Jadi jelaslah sesuai dengan tuntutan perkembangannya, individu
diharapkan terus beradaptasi dengan perubahan dalam diri maupun lingkungannya
dan adaptasi tersebut diharapkan mencakup semua aspek kemampuannya. Dua
aspek utama yang ada pada individu meliputi fisik dan psikologis, dimana
interaksi antara keduanya mempengaruhi pola interaksi dengan lingkungan.
Pola interaksi tersebut tergambar dalam hubungan antara pikiran (mind)
dan tubuh (body) yang telah menjadi topik perdebatan sejak dahulu kala. Sudah
dipastikan fungsi mental selalu tergantung pada otak tapi keinginan untuk
membahas kedua hal ini secara terpisah terus berlanjut. Filsuf Prancis abad ke-17
Rene Descartes (1596-1650) mempengaruhi pemikiran modern dengan
keyakinannya tentang dualisme atau keterpisahan antara pikiran dan tubuh.
Sekarang, para klinisi dan ilmuwan menyadari bahwa pikiran dan tubuh sangat
kuat terjalin tidak seperti yang diperkirakan oleh model dualistik-yaitu bahwa
faktor psikologis mempengaruhi dan dipengaruhi oleh fungsi fisik. Dengan kata
lain, kesehatan mental dan kesehatan fisik tidak terpisahkan (Nevid, dkk. 2005).
Pembahasan tentang hubungan antara pikiran dan tubuh akan diawali
dengan mendalami peranan stress dalam fungsi fisik maupun mental. Istilah stress
menunjukkan adanya tekanan atau kekuatan pada tubuh. Stress berimplikasi
secara luas pada masalah-masalah fisik maupun psikologis. Kita dapat mulai
mempelajari efek-efek dari stress dengan membahas suatu kategori gangguan
psikologis yang disebut gangguan penyesuaian yang menyangkut reaksi
maladaptif terhadap stress. Setelah itu kita membahas tentang peranan stress dan
faktor-faktor psikologis dan sosiokultural pada kemunculan gangguan-gangguan
fisik (Nevid, dkk. 2005).

3
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Stres
Dalam psikologi, kita menggunakan istilah stress untuk menunjukkan
suatu tekanan atau tuntutan yang dialami individu/organisme agar ia beradaptasi
dan menyesuaikan diri. Istilah stress perlu dibedakan dengan istilah distress.
Istilah distress mengacu pada penderitaan fisik atau mental. Dalam batas tertentu
stress sehat untuk diri kita, stress membantu kita untuk tetap aktif dan waspada.
Akan tetapi stress yang sangat kuat atau berlangsung lama dapat melebihi
kemampuan kita untuk mengatasi (coping ability) dan menyebabkan distress
emosional seperti depresi atau kecemasan, atau keluhan fisik seperti kelelahan dan
sakit kepala Nevid, dkk (2005).
Stress merupakan bentuk defense mechanism yang alami. Biasanya
disertai dengan reaksi “Fight or Flight”. Stress dapat pula dikatakan sebagai reaksi
fisik dan psikis ketika individu mendapatkan tekanan baik dari dalam maupun luar
dirinya. Stress dapat pula dikatakan sebagai alarm penanda siaga yang terjadi
dalam otak. Otak menyiapkan tubuh untuk merekasi melalui kerja atau ciri-ciri
sebagai berikut: Nervous system is aroused, hormones sharpen the senses, pulse
quickens, breathing deepens, dan muscles tense (Achmad, tanpa tahun).
2. Sumber-sumber Stres
Wiramihardja (2007) memaparkan bahwa ada bermacam-macam situasi
dalam dirinya ketika individu harus memenuhi tuntutan lingkungan. Hal itu
disebut juga kategori dari stressor. Stressor adalah adjustive demand (tuntutan
untuk menyesuaikan diri). Menurut Coleman, 1976 dalam Wiramihardja (2007)
terdapat tiga sumber yang dapat dimasukkan dalam ketegori dari stressor, yaitu
frustasi, konflik, dan tekanan (pressure).
Sumber stress disebut stressor. Stressor menyangkut faktor-faktor
psikologis seperti ujian sekolah, masalah hubungan sosial, dan perubahan hidup
seperti kematian orang tercinta, perceraian, atau pemutusan hubungan kerja
(PHK). Stressor menyangkut pula masalah sehari-hari seperti kemacetan lalu
lintas dan faktor lingkungan fisik seperti kebisingan dan suhu udara yang terlalu
panas atau dingin (Nevid, dkk., 2005).

4
3. Reaksi-reaksi terhadap Stres
Menurut Rogers dan Dorothy (dalam Wiramihardja, 2007), dalam
bukunya “Mental Hygiene in Elementary Education”, 1957, frustasi merupakan
tindak lanjut dari stress dan sebagai suatu situasi dimana perilaku yang
termotivasi yang sedang berjalan pada seseorang secara temporer atau permanen
terhambat dari pencapaian konsumsi. Frustasi adalah suatu saat atau momen
dimana individu menghayati situasi terhambat ketika melakukan upaya untuk
mencapai apa yang diinginkannya atau ditujunya. Reaksi dari frustasi ini ada dua
macam, yaitu:
1. Perilaku yang tidak terfrustasikan (Un frustrated behavior)
2. Perilaku yang terfrustasikan (Frustated behavior)
Reaksi perilaku yang terfrustrasikan (frustrated behavior) adalah perilaku-
perilaku yang merusak (destructed), baik dirinya sendiri maupun orang lain.
Frustated behavior atau perilaku terfrustasikan adalah suatu reaksi atas frustasi
yang menyebabkan diri sendiri maupun orang lain mengalami penurunan kualitas.
Beberapa bentuk perilaku yang terfrustasikan adalah sebagai berikut
(Wiramihardja, 2007):
1. Blocking,yaitu reaksi tak bereaksi (tidak menampilkan perilaku apapun).
Sebagai akibat dari adanya hambatan yang menimbulkan frustasi itu, individu
tidakdapat menentukan perilaku mana yang membawanya lepas dari situasi
atau keadaan frustasi tersebut.
2. Agresi, adalah suatu tindakan yang ditujukan pada penghambat, tetapi dengan
efek maupun cara yang merusak. Dalam hal ini kerusakan itu bisa dirinya
sendiri, orang lain, maupun system.
3. Breakdown atau disebut juga sebagai sesuatu yang menggambarkan perasaan
kecewa atau putus asa, adalah suatu reaksi yang sifatnya destructive dalam
bentuk tidak mau atau tidak berkeinginan untuk berusaha lebih lanjut dalam
mencapai apa yang diinginkannya.
4. Evakuasi diri, setelah mengalami hambatan, ada frustasi yang dialami,
reaksinya adalah mengevaluasi diri, dimana ada kekurangan atau biasa disebut
juga dengan intropeksi melakukan retrospeksi.

5
5. Penggunaan defense-mechanisms yang berlebihan, yaitu antara lain
menganggap bahwa frustasi itu tidak ada atau tidak berarti baginya (denial,
padahal ia merasakannya.
4. Dampak dari Stres
Sebagaimana digambarkan sebelumnya, bahwa dampak dari stress yang
berkepanjangan akan dapat berupa dampak psikologis maupun fisik. Berikut akan
diuraikan dampak tersebut berdasarkan pemaparan dalam Nevid, dkk (2005) yang
tercakup dalam dua aspek psikis (gangguan penyesuaian) dan aspek fisik (stress
dan penyakit):.
1. Gangguan Penyesuaian
Gangguan penyesuian (adjustment disorder) merupakan suatu reaksi
maladaptif terhadap suatau stressor yang dikenali dan berkembang beberapa bulan
sejak munculnya stressor. Reaksi maladaptif ini terlihat dari adanya hendaya yang
bermakna (signifikan) dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau akademis, atau adanya
kondisi distress emosional yang melebihi batas normal. Reaksi maladaptif dalam
bentuk gangguan penyesuain ini mungkin teratasi bila stressor dipindahkan atau
individu belajar mengatasi stresor.
Berikut akan diuraikan beberapa subtype dari gangguan penyesuian:
a. Gangguan penyesuaian dengan Mood Depresi
Ciri utama : kesedihan, menangis, merasa tidak punya harapan.
b. Gangguan penyesuaian dengan Kecemasan
Ciri utama : khawatir, gelisah, dan gugup (atau pada anak takut berpisah dari
figure kelekatan utama.
c. Gangguan penyesuaian dengan Gejala Campuran antara Kecemasan dan Mood
Depresi
Ciri utama : kombinasi drai kecemasan dan depresi.
d. Gangguan penyesuaian Gangguan Tingkah Laku
Ciri utama : melanggar hak orang lain, atau melanggar norma sosial yang
sesuai usianya.
e. Gangguan penyesuaian dengan Gejala Campuran antara Gangguan Emosi dan
Tingkah Laku

6
Ciri utama : gabungan dari gangguan emosi, seperti depresi atau kecemasan,
dan gangguan tingkah laku.
f. Gangguan penyesuaian Tak Tergolongkan
Ciri utama : kategori residual yang dapat diterapkan pada kasus-kasus yang
tidak dapat di golongkan dalam salah satu dari subtype lainnya.
2. Stress dan Penyakit
Bidang ilmu psikoneuroimunologi (psychoneuroimunology) mempelajari
hubungan antara faktor-faktor psikologis, terutama stress, dengan cara kerja
sistem endokrin/kelenjar, sistem kekebalan tubuh, dan sistem saraf. Berikut
hubungan dari ketiga hal tersebut.
a. Stress dan Sistem Endokrin
Stress mempunyai efek domino dalam system endokrin (endocrine
system), yaitu sebuah sistem tubuh yang berupa kelenjar yang memproduksi dan
melepaskan sekresi yang disebut hormon (hormones), langsung ke saluran darah.
Sistem endokrin yang terdiri dari kelenjar-kelenjar mendistribusikan hormon
keseluruh tubuh.
Beberapa kelenjar endokrin terlibat dalam menampilkan respons tubuh
terhadap stress. Pertama hipotalamus, suatu struktur kecil di otak, melepas suatu
hormon yang menstimulasi kelenjar pituari didekatnya untuk menghasilkan
adrenocorticotruphic hormone (ACTH). (ACTH), selanjutnya, menstimulasi
kelenjar adrenal yang berlokasi di atas ginjal. Dibawah pengaruh ACTH, lapisan
terluar kelenjar adrenal yang disebut korteks adrenal, melepaskan sekelompok
steroid (misalnya, cortisol dan cortisone). Kortikol steroid ini (disebut jyga
kortikosteroid) merupakan hormon yang mempunyai sejumlah fungsi yang
berbeda-beda dalam tubuh. Hormon ini mendorong perlawanan terhadap stress,
membantu perkembangan otot dan menyebabkan hati melepaskan gula, yang
merupakan tenaga dalam menghadapi stressor yang mengancam. Mereka juga
membantu tubuh mempertahankan diri dari reaksi alergi dan peradangan
(inflammation).
Cabang dari simpatis dari susunan saraf otonom (ANS) menstimulasi
lapisan dalam dari kelenjar adrenal, disebut: medulla adrenalis, untuk melepas zat

7
kimia yang disebut catecholamines-eprinefrina (adrenalin) dan nonepinefrina
(nonadrenalin). Zat ini berfungsi sebagai hormon setelah terlepas di dalam aliran
darah. Nonepinefrina juga diproduksi di system saraf dan berfungsi sebagai suatu
neurotransmitter. Gabungan epinefrina dan noneprinefina menggerakkan tubuh
menghadapi stressor dengan meningkatkan kerja jantung dan menstimulasi hati
untuk melepaskan persediaan gula, menjadi tenaga yang bisa digunakan untuk
melindungi diri kita dalam situasi yang mengancam.
Hormon-hormon stress yang diproduksi oleh kelenjar adrenalin membantu
tubuh menyiapkan diri mengatasi stressor atau ancaman. Apabila stresor sudah
terlewati, tubuh kembali ke keadaan normal. Selama stress yang kronis, tubuh
terus-menerus menompa keluar hormon-hormon, yang dapat menyebabkan
kerusakan pada keseluruhan tubuh, termasuk menekan kemampuan dari sistem
kekebalan tubuh yang melindungi kita dari berbagai infeksi dan penyakit.
b. Stress dan Sistem Kekebalan
Sistem kekebalan (immune system) adalah sistem pertahan tubuh melawan
penyakit. Perlawanan terhadap penyakit ini dilakukan dengan berbagai cara.
Tubuh secara konstan melakukan misi untuk mencari dan membunuh mikroba.
Berjuta sel darah putih yang disebut leukosit (leukocytes), adalah pasukan sistem
kekebalan tubuh dalam peperangan mikroskopis ini. Leukosit secara sistematis
menyelubungi dan membunuh patogen (pathogens) seperti bakteri, virus, dan
jamur; sel-sel tubuh yang sudah rusak; dan sel-sel kanker.
Leukosit mengenali patogen-patogen yang menyerang ini dari lapisan
permukaan mereka yang disebut antigen (antigens), atau bisa dikatakan sebagai
generator antibody. Beberapa leukosit memproduksi antibodi (antibodies) protein
khusus yang melekat pada sel-sel yang dianggap asing, menonaktifkan sel-sel
tersebut, member tanda bagian mana yang harus dihancurkan.
Limfosit khusus yaitu “memory lymphocytes’ (limfosit adalah suatu jenis
leukosit) tidak bertugas menghancurkan sel-sel asing, tetapi berfungsi sebagai
cadangan. Limfosit ini dapat berada dalam aliran darah selama bertahun-tahun
dan membentuk pasokan untuk memberikan respons kekebalan yang cepat
terhadap penyerangan berikutnya.

8
c. Sindrom Adaptasi Menyeluruh
Peneliti tentang stress Hans Selye (dalam Nevid, dkk. 2005) menciptakan
istilah sindrom adaptasi menyeluruh (general adaptation syndrome/GAS) untuk
menjelaskan pola repons biologis umum terhadap stress yang berlebihan dan
berkepanjangan. Selye mengemukakan bahwa tubuh kita bereaksi sama terhadap
berbagai stressor yang tidak menyenangkan, baik sumber stress berupa serangan
bakteri mikroskopi, penyakit karena organisme, perceraian, ataupun kebanjiran.
Model GAS menyatakan bahwa dalam keadaan stress, tubuh kita seperti jam
dengan sistem alarm yang tidak berhenti sampa tenaganya habis. GAS terdiri dari
tiga tahap: tahap reaksi waspada (alarm reaction), tahap resistansi (resistance),
tahap kelelahan (exhaustion).
Persepsi terhadap stressor yang muncul secara tiba-tiba akan memicu
munculnya reaksi waspada. Reaksi ini menggerakkan tubuh untuk
mempertahankan diri. Diawali oleh otak dan diatur oleh sistem endokrin dan
cabang simpatis dari sistem saraf otonom. Apabila stressor bersifat persisten, kita
akan mencapai tahap resistansi (resistance stage) atau tahap adaptasi pada GAS.
Respon-respon endokrin dan sistem simpatis (misalnya, melepaskan hormon-
hormon stress) tetap pada tingkat tinggi, tetapi tidak setinggi sewaktu tahap reaksi
waspada. Pada tahap ini tubuh membentuk tenaga baru dan memperbaiki
kerusakan. Apabila stressor tetap berlanjut atau terjadi stressor baru yang
memperburuk keadaan, kita dapat sampai pada tahap kelelahan (exhaustion
stage). Meskipun daya tahan terhadap stress antar individu berbeda, semua
individu pada akhirnya kelelahan dan kehabisan tenaga. Tahap kelelahan ditandai
oleh dominasi cabang parasimpatis dari ANS. Sebagai akibatnya, detak jantung
dan kecepatan bernafas menurun. Apakah kondisi tenang seperti ini
menguntungkan? Tidak demikian kenyataannya. Apabila sumber stress menetap,
kita mengalami apa yang disebut Selye sebagai “penyakit adaptasi” (diseases of
adaptation). Penyakit adaptasi ini rentangnya panjang, mulai dari reaksi alergi
sampai penyakit jantung, bahkan sampai pada kematian. Dapat dengan jelas
dipelajari disini bahwa stress kronis dapat merusak kesehatan kita, membuat kita

9
lebih rentan terhadap berbagai jenis penyakit dan masalah kesehatan fisik lainya.
(Nevid, dkk, 2005).
Kortikal steroid mungkin salah satu yang menyebabkan stress yang
menetap akan memicu masalah kesehatan. Meskipun dalam beberapa hal kortikal
steroid membantu tubuh mengatasi stress, sekresi terus-menerus dari steroid ini
menekan aktivitas sistem kekebalan tubuh. Efek kortikal steroid tidak
mengganggu bila terlepas secara periodik, akan tetapi sekresi yang terus-menerus
terjadi menurunkan fungsi kekebalan tubuh dengan cara mengganggu produksi
antibodi, sebagai akibatnya kita menjadi rentan terhadap berbagai penyakit
(Nevid, dkk. 2005).
5. Faktor-faktor Psikologis yang Mengurangi Stres
Stress merupakan fakta hidup, tapi cara kita menghadapi stress
menentukan kemampuan kita untuk mengatasi stress tersebut. Individu bereaksi
secara berbeda stress tergantung berbagai faktor psikologis seperti bagaimana
individu memaknai peristiwa yang menimbulkan stress. Seperti cara coping
stress, harapan terhadap self-efficacy, ketabahan hati atau daya tahan psikologis,
optimisme, dukungan sosial, dan identitas etnik dapat menjadi faktor-faktor yang
mengurangi atau menahan efek dari stress (Nevid, dkk. 2005).
Hubungan dari aspek body dan mind (fisik dan psikologis) juga terangkum
dalam penrnyataan WHO ketika mendefiniskan kesehatan mental sebagai: adanya
kesejahteraan pada aspek—physical, mental, dan social—termasuk didalamnya
tidak adanya penyakit fisik. Keadaan tersebut juga diupayakan oleh The American
Psychological Association (APA) sejak tahun 2001 melalui pengembangan
promosi tentang psikologi kesehatan yang mendekati permasalahan sakit secara
lebih keomprehensif dengan pendekatan biopsikososial. Hal ini berakibat pada
berubahnya pemahaman dan pelayanan kesehatan, yang lebih mengarah pada
pendekatan sistem (Ray, tanpa tahun).
Upaya-upaya tersebut dipicu oleh semakin berkembangnya stressor yang
terjadi ditengah masyarakat, serta adanya/berkembangnya simptom-simptom
penyakit yang baru sebagai bentuk perubahan molekuler maupun penurunan daya
tahan tubuh (sepert; kanker dan HIV).

10
Menghadapi tantangan tersebut, perlulah kita terus mengkaji dan
mengembangkan daya tahan tubuh kita dalam mereaksi setiap perubahan. Karena
pada akhirnya dapat kita pahami bahwa dalam tubuh dan pikiran kita ada sistem
yang terus bekerja secara sinergi dan berusaha terus mencapai keseimbangan.
Apabila keseimbangan ini terganggu akan menghambat tercapainya kesejahteraan
hidup sebagaimana didefinisikan oleh WHO.

11
C. PENUTUP
Pemahaman tentang penyakit dan kesehatan saat ini telah berkembang
dengan komprehensif, dan biasa dikenal dengan pendekatan model biopsikososial.
Komponen-komponen dalam tubuh saling berinteraksi untuk mencapai
pertumbuhan yang seimbang dan pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan
adaptasi kita sejalan dengan meningkatnya sistem kekebalan tubuh kita.
Selanjutnya terdapat beberapa perilaku yang yang dapat kita
dikembangkan yang mengarah pada unfrustated behavior, suatu perilaku yang
mampu mengadakan perubahan secara fleksibel. Termasuk didalamnya dalam
mempersepsikan suatu stressor, sehingga tidak mengarah pada frustrated
behavior, yang biasanya bersifat merusak dan memperlemah sistem kekebalan
tubuh kita. Perilaku unfrustated tersebut adalah:
1. Individu/organisme senantiasa memperkuat diri agar mampu secara baik
menghadapi hambatan-hambatan yang wajar.
2. Mencari objek pengganti. Penggantian objek dapat dilakukan jika memiliki
value atau nilai yang sama dengan tujuan hidup tersebut. Jadi diperlukan
fleksibiltas pribadi yang cukup baik, sehingga dapat mencari objek pengganti
dalam keseluruhan aspek (emosi, kognisi, maupun dukungan sosial), sehingga
didapatkan daya adaptasi yang adekuat terhadap setiap stressor yang datang.

12
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, H. (t.t.) Stress and disease: New perspectives.

Nevid, S.J., Rathus, A.S., & Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal. Jakarta:
Penerbit Erlangga.

Ray, O. (t.t.) How the mind hurts and heals the body. Vanderbilt University.

Santrock, J.W. (2002). Life-span development: Perkembangan masa hidup. Edisi


Kelima. Jilid I. Jakarta: Erlangga.

Wiramihardja, S.A. (2007). Pengantar psikologi abnormal. Bandung: Refika


Aditama.

13

Anda mungkin juga menyukai