Anda di halaman 1dari 10

Ketika individu menghadapi stressor, akan menimbulkan reaksi secara psikologis maupun

fisiologis, yang juga didasarkan pada bagaimana pandangan individu terhadap stressor tersebut,
penyesuaian individu terhadap lingkungan, yang melibatkan faktor-faktor dalam diri individu
seperti kepribadian, pengalaman, pendidikan dan sebagainya. Dengan demikian, stressor yang
sama pada individu yang berbeda, dapat menimbulkan tingkat stress yang berbeda pula. Kondisi
stres dibagi atas dua jenis yaitu kondisi stres yang baik yaitu eustress, dan kondisi stress yang
cenderung berdampak pada performa atau kondisi buruk pada diri individu yaitu distress. Stres
dijelaskan sebagai kondisi terjadi karena stressor yaitu stimulus (dapat berupa peristiwa, situasi)
yang menekan atau penuh tekanan, yang menantang individu secara fisik maupun psikologis atau
psikis. Stressor yang sama tidak dapat dipastikan menyebabkan kondisi/tingkat stress yang sama
pada orang berbeda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana pendekatan individu terhadap
stressor, serta faktor yang berkaitan dengan individu dan lingkungannya. Hal ini pulalah yang
berperan terhadap diri individu ketika menghadapi stressor yaitu fight (menghadapi stressor) atau
flight (menghindar dari stressor). Reaksi yang dapat ditimbulkan akibat stress berupa reaksi fisik
(detak jantung meningkat, otot menegang, sakit kepala) maupun reaksi psikologis (pola pikir,
kondisi emosi.

A. Teori-Teori Stres
a. Fight atau flight
Kontribusi paling awal mengenai riset tentang stres adalah deskripsi fight-or-
flight response (respon hadapi-atau-lari) oleh Walter Cannon (1932). Cannon
menyatakan bahwa ketika suatu organisme dihadapkan dengan ancaman, maka
tubuhnya akan sangat terangsang dan tergerak melalui sistem saraf simpatik dan
sistem endokrin. Respon fisiologis terpadu ini menggerakkan organisme untuk
menyerang ancaman tersebut atau melarikan diri, itulah mengapa respon ini
disebut hadapi-atau-lari. Dalam teori ini dijelaskan bahwa adanya perubahan reaksi
fisiologis ketika menghadapi suatu ancaman, mendorong individu untuk menyerang
atau melarikan diri dari ancaman atau stressor.
Suatu waktu, fight or flight secara harfiah mengacu kepada melawan atau menghindar
dalam menanggapi kejadian yang penuh tekanan seperti serangan predator.
Namun, pada umumnya sekarang fight ditujukan kepada tanggapan agresif
terhadap stres, seperti marah atau mengambil tindakan, sedangkan flight
direfleksikan dalam penarikan sosial atau penarikan melalui aktifitas yang
mengganggu. Pada satu sisi, respon fight-or-flight mudah menyesuaikan diri
karena membuat organisme dapat menanggapi ancaman dengan sangat cepat. Di
sisi lain, hal ini bisa jadi berbahaya karena stres dapat mengganggu fungsi
emosional dan fisiologis, dan ketika stres terus berlanjut, hal ini dapat menjadi dasar
bagi masalah kesehatan.
b. General Adaptation Syndrome
Kontribusi awal lain yang penting untuk stres adalah sindrom adaptasi umum
oleh Selye (general adaptation syndrome). Selye melakukan pengamatan dengan
membiarkan tikus terpapar berbagai macam stressor, seperti tempat dengan suhu
rendah yang ekstrem dan melelahkan, lalu Selye mengamati respon fisiologis
mereka.Yang mengejutkannya, seluruh jenis stressor intinya menghasilkan pola
perubahan fisiologis yang sama. Hal ini merujuk kepada korteks adrenal yang
membesar, penyusutan thymus dan kelenjar getah bening, dan pemborokan
lambung beserta duodenum. Dari pengamatan ini, Selye (1956) mengembangkan
sindrom adaptasi umum. Ia berpendapat bahwa apabila seseorang menghadapi
stressor, orang tersebut akan menggerakkan diri sebagai tindakan. Respon
tersebut tidak sesuai dengan stressor; artinya, terlepas dari penyebab
ancamannya, orang tersebut akan menanggapi dengan pola reaksi fisiologis yang
sama. (Seperti yang akan kita lihat, kesimpulan khusus ini telah ditantang
sekarang.) Seiring waktu, dengan paparan stres yang berulang atau
berkepanjangan, sistem akan semakin menyusut.
Peneliti Stress, Hans Selye (1976 ) menciptakan istilah sindrom adaptasi menyeluruh
(General Adaptation Syndrome (GAS) untuk menjelaskan pola respon biologis
secara umum terhadap stress yang berlebihan atau berkepanjangan. Tubuh kita
merespon berbagai stressor yang tidak menyenangkan dengan cara yang hampir
sama, bagaikan sistem alarm yang tidak akan mati sampai energinya habis. Tiga tahap
reaksi yang terjadi terhadap stress yang diterima berdasarkan teori oleh Selye yaitu:
 Alarm: fase segera munculnya reaksi individu ketika menghadapi ancaman
atau tuntutan. Pertahanan pertama tubuh terhadap stressor yang mengancam
adalah menggerakkan tubuh untuk bersiap menghadapi tantangan. Tubuh
bereaksi dengan respon komplek dan terintegrasi yang melibatkan aktivasi
sistem saraf simpatis, yang meningkatkan stimulasi tubuh dan memicu
pelepasan hormone stress oleh sistem endokrin. Perubahan kondisi tubuh
karena stress yang berhubungan dengan reaksi waspada adalah:
- Pelepasan Kortikosteroid, berfungsi untuk meningkatkan ketahanan tubuh
terhadap stress, membantu perkembangan otot, memicu hati untuk
melepaskan gula yang memberi energi untuk menghadapi stressor yang
mengancam atau situasi darurat. Juga membantu tubuh mempertahankan
diri dari reaksi alergi atau inflamasi.
- Pelepasan Epinefrin dan norepinefrin, berfungsi untuk menggerakkan
tubuh menghadapi stressor dengan meningkatkan kerja jantung, dan
menstimulasi hati untuk melepas cadangan glukosa.
- Peningkatan kerja jantung, sistem pernapasan, dan tekanan darah
- Darah mengalir dari organ dalam menuju otot sketlatal (otot rangka tubuh)
- Pencernaan terhambat
- Pelepasan gula oleh hati
- Kemungkinan terjadi penggumpalan darah meningkat
 Stages of resistence: adalah fase adaptasi tubuh terhadap stressor yang
dihadapi, jika kondisi stres berlanjut.
Pelepasan hormone stress terus berada pada tingkat yang tinggi, namun tidak
setinggi reaksi waspada. Pada tahap ini  tubuh mencoba memperbaharui
energi yang telah digunakan untuk memperbaiki kerusakan.
 Stages of exhaustion: fase terjadinya kondisi stres berkepanjangan, yang
memengaruhi penurunan resistensi tubuh terhadap stres, berdampak pada
menurunnya ketahanan tubuh. Setiap individu memiliki daya tahan berbeda.
Stress yang berkepanjangan terhadap sumber daya yang dimiliki tubuh, akan
mengakibatkan kinerja jantung dann tingkat pernapasan mengalami
penurunan. Kondisi ini bisa membentuk Selye sebagai penyakit adaptasi
(disease of adaptation), mulai dari penyakit alergi sampai penyakit jantung,
hingga kematian.
Namun dampak stress tidak selalu buruk bila  seorang individu menerima
stressor, mempersepsinya, dan meresponnya guna mencapai keseimbangan
baru  yang disebut Eustress, dimana responnya sehat, positip, dan konstruktif.
Namun stress dapat juga menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan
yang disebut  distress (Prasetyo, 2006). Distress adalah respon terhadap stress
yang tidak sehat, negative,  bersifat merusak, sehingga cenderung bereaksi
berlebihan, bingung dan tidak dapat berperforma secara maksimal(Walker, J ,
2002).
c. Tend and be Friend
Dalam menanggapi stres, manusia (dan hewan) tidak hanya melawan, kabur,
dan langsung sangat kelelahan. Mereka juga bergabung dengan satu sama lain, entah
itu adalah perilaku kawanan kijang sebagai respon terhadap pemangsa atau
tanggapan terkoordinasi terhadap stressor yang ditunjukkan sebuah komunitas
ketika mereka berada di bawah ancaman badai. S. E. Taylor dan para
koleganya (Taylor, Klein, et al., 2000) mengembangkan sebuah teori mengenai
tanggapan terhadap stres yang merupakan istilah tend-and-befriend. Teori tersebut
menyatakan bahwa selain melawan atau lari, manusia dan hewan menanggapi stres
dengan perilaku sosial dan perilaku mengasuh terhadap offspring (anak-anak
atau bayi hewan) (von Dawans, Fischbacher, Kirschbaum, Fehr, & Heinrichs,
2012). Perilaku ini biasa ditunjukkan oleh wanita. Saat respons terhadap stres
berkembang, pria dan wanita menghadapi tantangan beradaptasi yang jauh
berbeda. Dimana pria bertanggung jawab untuk berburu dan melindungi,
perempuan bertanggung jawab untuk mencari makan dan merawat anak.
Aktivitas ini sebagian besar dibedakan berdasarkan jenis kelamin, sehingga
respons wanita terhadap stres akan berkembang sehingga tidak hanya melindungi
diri tapi juga anak-anak. Respon ini tidak berbeda dengan manusia. Anak-anak dari
sebagian spesies biasanya belum matang dan tidak akan bisa bertahan bila tanpa
perhatian orang dewasa. Pada kebanyakan spesies, perhatian tersebut diberikan
oleh ibu.
Tend-and-befriend memiliki mekanisme biologis yang mendasarinya, khususnya
hormon oksitosin. Oksitosin adalah hormon stres, dilepas secara cepat sebagai
tanggapan untuk peristiwa yang penuh tekanan, dan efeknya dipengaruhi oleh
estrogen, menunjukkan peran yang sangat penting dalam respon wanita terhadap
stres. Oksitosin bertindak sebagai dorongan untuk pembelahan pada hewan dan
manusia, dan oksitosin meningkatkan perilaku untuk bersatu atau bergabung dari
semua spesies, terutama ibu (Taylor, 2002). Tambahannya, hewan dan manusia
dengan oksitosin level tinggi lebih tenang dan santai, dan hal ini bisa menyangkut
kepada perilaku sosial dan perilaku mengasuh.
Penelitian mendukung beberapa komponen kunci dari teori ini. Wanita
cenderung untuk merespon stres dengan berpaling kepada orang lain,
dibandingkan dengan pria (Luckow, Reifman, & McIntosh, 1998; Tamres,
Janicki, & Helgeson, 2002). Respons ibu terhadap anak-anak saat masa stres
juga tampak berbeda dari cara ayah dalam teori yang tercakup dalam tend-and-
befriend. Meskipun demikian, pria juga menampakkan respons sosial terhadap
stres, jadi elemen teori ini juga turut berlaku bagi pria.
B. Konstribusi stress terhadap penyakit
Kontribusi awal untuk studi mengenai stres telah membantu penelitian untuk
mengidentifikasi jalur di mana stres menyebabkan kesehatan menjadi buruk. Rangkaian
jalur pertama melibatkan aspek langsung fisiologis. Seperti yang ditunjukkan Cannon
dan Selye, stres mengubah fungsi biologis, dan cara melakukannya dan bagaimana
stres berinteraksi dengan risiko yang ada atau kecenderungan genetik menentukan
penyakit apa yang akan dikembangkan seseorang. Efek fisiologis langsung
mencakup proses seperti tekanan darah tinggi, penurunan kemampuan sistem
kekebalan tubuh untuk melawan infeksi, dan perubahan tingkat lipid dan kolesterol, di
antara perubahan lainnya.
Rangkaian jalur kedua ini menyangkut kepada perilaku sehat. Orang yang hidup
dengan stres kronis memiliki kebiasaan kesehatan yang lebih buruk daripada orang
yang tidak, dan stres akut, walaupun hanya dalam jangka waktu yang pendek,
biasanya akan mempengaruhi kebiasaan kesehatan. Kebiasaan buruk ini dapat
mencakup merokok, nutrisi yang buruk, tidur sedikit, olahraga sedikit, dan
penggunaan zat-zat seperti obat-obatan dan alkohol. Dengan jangka waktu yang
lama, setiap kebiasaan buruk tersebut dapat berkontribusi untuk penyakit yang
spesifik. Contohnya, merokok dapat menyebabkan penyakit paru-paru. Bahkan
dalam jangka waktu yang pendek perubahan-perubahan pada kebiasaan kesehatan
ini dapat meningkatkan kerentanan fisiologis dan membuat panggung untuk hasil
kesehatan jangka panjang yang merugikan.
Ketiga, stres mempengaruhi sumber psikososial dengan cara yang dapat
membahayakan kesehatan seseorang. Kontak sosial yang mendukung dapat
melindungi kesehatan, namun stres dapat membuat seseorang menghindari kontak sosial
ini, atau bahkan yang lebih buruk dapat membuat seseorang berperilaku dengan cara
yang mendorong orang lain pergi. Optimisme, kepercayaan diri, dan rasa kontrol pribadi
juga berkontribusi terhadap kesehatan yang baik, namun banyak faktor stres melemahkan
kepercayaan positif ini. Sejauh waktu, uang, dan energi dibutuhkan untuk memerangi
stressor, sumber daya eksternal ini juga dapat mengganggu, terutama jatuh pada orang-
orang yang memiliki sumber daya dalam jumlah yang sangat sedikit.
Keempat jalur yang menyebabkan stres menjadi buruk adalah kesehatan melibatkan
penggunaan layanan kesehatan dan kepatuhan terhadap rekomendasi pengobatan. Orang
cenderung tidak mematuhi aturan pengobatan saat mereka mengalami stres, dan
mereka cenderung menunda perawatan gangguan yang harus ditangani. Sebagai
alternatif, mereka mungkin tidak mencari perawatan sama sekali. Keempat rute ini -
fisiologis, perilaku kesehatan, sumber daya psikososial, dan perawatan kesehatan -
merupakan jalur terpenting yang memberi tekanan pada kesehatan.
C. Fisiologi stress
Stres terlibat dalam tekanan psikologis dan menyebabkan perubahan dalam tubuh
yang memiliki konsekuensi jangka pendek dan panjang. Dua sistem yang saling
berhubungan sangat terlibat dalam respon stres. Dua sistem tersebut adalah sympathetic-
adrenomedullary (SAM) system dan hypothalamic-pituitary-adrenocortical (HPA) axis.
a. Aktivasi simpatik
Saat kejadian yang terjadi dirasakan membahayakan atau mengancam, mereka
diidentifikasikan seperti itu oleh cerebral cortex, dimana hal ini memicu serangkaian
reaksi yang disebabkan oleh rasa bahaya dan terancam tersebut. Informasi dari
korteks dikirim ke hipotalamus yang mengawali salah satu respon awal terhadap
stres, yaitu rangsangan sympathetic nervous system. Rangsangan sympathetic
menstimulasi medulla dari kelenjar adrenal yang mengeluarkan catecholamines
epinephrine (EP) dan norepinephrine (NE). Efek ini berakibat pada perasaan
jengkel yang biasanya kita alami pada respon terhadap stres: meningkatnya
tekanan darah, meningkatnya denyut jantung, meningkatnya keringat yang
dihasilkan, dan penyempitan pembuluh darah perifer. Catecholamines juga mengatur
sistem imun tubuh kita.
Fungsi parasimpatik juga menjadi tidak teratur karena stres. Contoh, stres dapat
berpengaruh pada variabilitas denyut jantung. Modulasi parasimpatik adalah aspek
restoratif yang penting dalam tidur, oleh karena itu perubahan pada denyut jantung
dapat berdampak pada terganggunya tidur, membantu memperjelas hubungan
stres dengan penyakit, dan meningkatnya resiko kematian. (Hall et al., 2004)
b. Aktivasi HPA
Hypothalamic-pituitary adrenal (HPA) axis juga aktif merespon pada stres.
Hipotalamus melepaskan corticotrophin-releasing hormone (CRH) yang
menstimulasi kelenjar di bawah otak untuk mensekresikan adrenocorticotropic
hormone (ACTH) yang akan menstimulasikan korteks adrenal untuk melepaskan
glucocorticoids. Dari tahap tersebut, kortisol sangat penting. Kortisol berperan
untuk menghemat penyimpanan karbohidrat dan membantu mengurangi inflamasi
pada saat cedera. Ia juga membantu untuk mengembalikan badan ke keadaan stabil
setelah stres.
Pengaktifan ulang HPA axis terhadap stres kronis atau stres yang berulang
dapat membahayakan fungsinya. Pola kortisol pada kehidupan sehari-hari kita
dapat berubah. Normalnya, level kortisol akan tinggi pada saat bangun tidur di pagi
hari dan akan berkurang di siang hari (meskipun memuncak pada jam makan
siang) hingga akhirnya level mereka akan rendah di sore hari. Namun, orang-
orang yang mengalami stres kronis menunjukkan pola yang menyimpang:
meningkatnya level kortisol pada sore hari, perataan umum pada irama diurnal,
berlebihnya respon kortisol pada tantangan, respon kortisol yang berlarut-larut
mengikuti stressor atau tidak ada respon sama sekali (McEwen, 1998). Salah satu dari
pola ini menunjukkan kemampuan berkompromi HPA axis untuk merespon dan
pulih dari stres. (McEwen, 1998; Pruessner, Hellhammer, Pruessner, & Lupien,
2003).
D. Efek Stres Berkepanjangan
Meskipun mobilisasi fisiologis mempersiapkan manusia untuk bertarung atau
melarikan diri pada zaman prasejarah, jarang sekali pada zaman sekarang
menghadapi keadaan stres dengan penyesuaian seperti ini. Artinya, ketegangan
kerja, komuter, pertengkaran keluarga, dan tenggat waktu bukanlah tekanan yang
menuntut mobilitas dramatis dari sumber daya fisik. Meskipun begitu, orang-orang
masih mengalami kenaikan mendadak dari sirkulasi hormon stres karena respon
terhadap tekanan setiap harinya dan proses ini tidak berfungsi sebagaimana tujuan
awalnya.
Dalam jangka panjang, pelepasan epinephrine dan norepinephrine yang berlebihan
dapat menyebabkan penekanan pada fungsi imun selular; menghasilkan perubahan
hemodinamik seperti meningkatnya tekanan darah dan denyut jantung; menimbulkan
variasi denyut jantung pada denyut jantung normal, seperti ventricular arrhythmias,
yang menjadi jalan awal menuju kematian mendadak; dan menghasilkan
ketidakseimbangan neurokimia yang dapat mendukung berkembangnya gangguan
kejiwaan.
Cathecolamines juga dapat berdampak pada jumlah lemak dan asam lemak bebas yang
berkontribusi pada perkembangan atherosclerosis. Corticosteroids memiliki efek
immunosuppressive yang dapat membahayakan kerja sistem imun. Pengeluaran
kortisol yang berkepanjangan juga berkaitan dengan penghancuran neuron di
hippocampus, yang dapat menyebabkan permasalahan pada fungsi verbal, memori, dan
konsentrasi (Starkman, Giordani, Brenent, Schork, & Schteingart, 2001) dan
mungkin salah satu mekanisme yang menyebabkan kepikunan. Aktivasi HPA
biasanya terjadi pada aat depresi, dengan sekresi kortisol lebih sering dan lebih lama
pada saat depresi daripada orang yang tidak depresi. Penyimpanan lemak di pusat
area perut bagian dalam (contoh: lemak perut), dibandingkan dengan panggul,
merupakan konsekuensi lain dari dari aktivitas HPA yang bersifat berkepanjangan.
Akumulasi ini menuju pada pinggang bagian atas hingga pinggul, yang digunakan oleh
beberapa ilmuwan sebagai tanda untuk stres kronis. (Bjorntorp, 1996).
Respon stres yang manakah yang mengimplikasikan menuju penyakit? Konsekuensi
kesehatan dari aktivasi HPA axis memungkinkan untuk lebih signifikan dari
aktivasi simpatetik (Blascovich,1992; Dientsbier, 1989; Jamieson, Mendes, & Nock,
2013). Stimulasi simpatetik dalam respon terhadap stres sendiri mungkin tidak
mengarah menuju penyakit; aktivasi HPA mungkin dibutuhkan. Alasan ini mungkin
menjelaskan kenapa olahraga, yang menghasilkan stimulasi simpatetik tapi bukan
pengaktifan HPA, dibutuhkan untuk tetap menjaga kesehatan. Tetapi, tidak seperti
olahraga, stres dapat dialami lama setelah kejadian yang membuat stres tersebut dialami,
dan aktivasi radiovaskular dapat terjadi setelah berjam-jam, berhari-hari, berminggu-
minggu, bahkan bertahun-tahun setelah kejadian yang membuat stres terjadi, tanpa
disadari (Pieper, Brosschot, van der Leeden, & Thayer, 2010). Kerusakan pada sistem
kardiovaskular dapat menyebabkan timbulnya penyakit.
Stres juga dapat mempengaruhi fungsi sistem imun. Salah satu contoh perubahannya
adalah kemampuan sistem imun untuk menghentikan peradangan, yang merupakan
respon awal terhadap stres. Peradangan yang kronis terlibat dalam banyak penyakit
termasuk dalam penyakit arteri koroner, jadi kemampuan untuk menghentikan
peradangan menjadi penting dimana stres dapat mempengaruhi penyakit yang timbul
(Miller, Cohen, & Ritchey, 2002). Kurangnya tidur dapat menjadi penyebab dari
stres kronis. Karena tidur berperan penting dalam beristirahatnya organ-organ
penting dalam tubuh, oleh karena itu kurangnya tidur dapat menyebabkan
timbulnya banyak penyakit (Edwards, Hucklebridge, Clow, & Evans, 2003).
Kondis Fisiologis terhadap Stress
 Aktivasi saraf simpatis, yaitu cortex menuju hypothalamus untuk merespon
kondisi stress, saraf simpatetik menuju kelenjar adrenal dan sekresi
catecholamines, epinephrine dan norephinephrine
 Aktivasi HPA yaitu: kelenjar pituitary mensekresi hormon dan prolaktin, untuk
merespon stres hingga akhirnya dapat berfungsi dengan baik
 Allostatic Load : merujuk pada adanya kondisi tubuh yang fluktuatif, akibat
interaksi terhadap tuntutan-tuntutan dari kondisi stress
 Skema stress dan munculnya penyakit: Pengukuran terhadap kondisi stress yang
dialami individu, dapat diukur melalui beberapa cara seperti self-report,
perubahan hidup yang dialami, emotional distress, perilaku, serta pengukuran
secara fisiologis. Adapun beberapa karakteristik stimulus yang dapat
menimbulkan stress adalah peristiwa yang negatif, peristiwa yang ambigu,
peristiwa yang tidak terkontrol, dan beban yang berlebihan.
E. Pemulihan Fisiologis
Pemulihan setelah stres juga sangat penting dalam respon fisiologis terhadap stres
(Rutledge, Linden, & Paul, 2000). Ketidakmampuan untuk pulih secara cepat dari
kejadian yang menyebabkan stres menjadi pertanda kerusakan yang disebabkan oleh stres
itu sendiri. Para peneliti telah memberi perhatian khusus terhadap respon kortisol,
terutama pada respon kortisol jangka panjang yang terjadi dibawah tekanan stres yang
tinggi.
Dalam suatu studi yang sangat menarik (Perna & McDowell, 1995), atlit elit dibagi
berkelompok berdasarkan pengalaman mereka dengan stres tinggi dan stres rendah
dalam kehidupan mereka, dan respon kortisol mereka diukur saat latihan yang
membutuhkan banyak tenaga. Atlet yang pernah berada dibawah stres yang tinggi
memiliki respon kortisol yang berkepanjangan. Stres dapat memperbesar kerentanan
terhadap penyakit dan cedera terhadap atlet yang kompetitif.
F. Allostatic Load
Berbagai macam sistem fisiologis dalam tubuh menyesuaikan dirinya dari stres.
Konsep dari allostatic load telah dikembangkan mengacu pada dampak fisiologis
terhadap pemaparan kronis yang dihasilkan dari stres kronis yang berulang
(McEwen, 1998). Penumpukan dari beban ini dapat disebabkan oleh beberapa indikator,
salah satunya adalah pertambahan berat badan dan tekanan darah yang tinggi
(Seeman, Singer, Horwitz, & McEwen, 1997).
Banyak perubahan ini terjadi sesuai dengan perubahan umur, jika ini terjadi lebih
cepat, biasanya ini terjadi karena allostatic load yang membuat perambahan umur
sebelum waktunya dalam responnya terhadap stres. Hal seperti ini dapat menyebabkan
penyakit dan meingkatkan keumngkinan kematian (Karlamangla, Singer, & Seeman,
2006). Kerusakan dari stres kronis dapat diperburuk jika orang mengatasi stres
dengan cara diet lemak yang berlebih, jarang berolahraga, dan merokok, dimana stres
dapat mendukung hal tersebut (Ng & Jeffrey, 2003).
Hubungan stres terhadap dua kelainan yang akut, seperti infeksi dan kelaninan kronis,
misalnya penyakit jantung yang sekarang banyak terjadi. Selain itu, stres juga
dapat mempengaruhi jalannya kehamilan.
G. Penyesuaian Psikologis dan pengalaman terhadap Stres
a. Primary appraisal processes, merupakan kondisi yang dirasakan oleh individu ketika
menghadapi lingkungan yang berpotensi untuk menyebabkan stress, seperti gejala
sakit, penilaian arti dan situasi tersebut bagi kebaikan diri individu yang
bersangkutan. Primary appraisal processes meliputi: Harm, Threat, Challenge
b. Secondary appraisal processes: adalah strategi koping yang memadai untuk
menangani primary processes, atau dengan kala lain adalah penilaian individu
mengenai sumber-sumber yang memadai untuk mengatasi kondisi stress.
H. Dampak Stres Bagi Kesehatan
Menurut dr. Theresia Rina Yunita dari Klikdokter.com, stres merupakan reaksi fisik dan
mental yang alami terhadap pengalaman baik maupun buruk. Respons tubuh terhadap
stres, yakni dengan melepaskan sejumlah hormon dan meningkatkan detak jantung serta
laju pernapasan. Beberapa masalah kesehatan yang harus diwaspadai akibat stress, antara
lain:
a. Sistem saraf pusat dan sistem endokrin: Sistem saraf pusat di otak bertanggung jawab
atas respons tubuh. Didalam otak, hipotalamus memberi tahu kelenjar adrenalin untuk
melepaskan hormon stres adrenalin dan kortisol. Hormon-hormon ini meningkatkan
detak jantung dan mengirim darah mengalir ke daerah-daerah yang paling
membutuhkannya dalam keadaan darurat, seperti otot, jantung, dan organ penting
lainnya. Ketika rasa takut yang dirasakan hilang, hipotalamus harus memberitahu
semua sistem untuk kembali normal. Jika sistem saraf pusat gagal kembali normal
atau jika pemicu stres tidak hilang, respons akan berlanjut. Menurut dr. Theresia, hal
ini juga akan memicu sakit kepala atau insomnia.
b. Sistem pernapasan dan kardiovaskular: Stres dapat memengaruhi sistem pernapasan
dan kardiovaskular. Selama respons stres, tubuh akan bernapas lebih cepat dalam
upaya cepat untuk mendistribusikan darah yang kaya oksigen ke tubuh. Jika
seseorang mengalami stres dan sudah memiliki masalah pernapasan, seperti asma
atau emfisema, stres dapat membuat pernapasan lebih sulit bernapas. Sementara,
jantung akan memompa lebih cepat dari biasanya jika stres. Pada akhirnya, hormon
stress mengakibatkan kontraksi pada pembuluh darah dan meningkatkan tekanan
darah. Stres kronik juga membuat jantung bekerja lebih keras dari biasanya, sehingga
meningkatkan risiko hipertensi.
c. Sistem pencernaan: Ketika stres, lever akan menghasilkan gula darah (glukosa) yang
biasanya bisa meningkatkan energi. Gula darah yang tak terpakai akan kembali
diserap oleh tubuh. Bahayanya, jika mengalami stres berkepanjangan, tubuh tidak
mampu lagi menyimpan glukosa yang berlebih. Yang mengakibatkan seseorang dapat
mengalami peningkatan risiko penyakit diabetes tipe 2. Di sisi lain, aliran hormon,
pernapasan cepat, dan peningkatan denyut jantung juga dapat mengganggu sistem
pencernaan. Kemungkinan besar mengalami mulas atau refluks asam karena
peningkatan asam lambung. Stres juga dapat memengaruhi cara makanan bergerak ke
seluruh tubuh Anda, yang menyebabkan diare atau sembelit. Anda mungkin juga
mengalami mual, muntah, atau sakit perut.

J.W Kalat.,2010. Biopsikologi. Biological Psychology. Edisi 9. Salemba Humanika. Jakarta

Sarafino, E. P., 1998. Health Psychology. Biopsychosocial Interventions. Third Edition.

USA: John Wiley & Sons.

Taylor, S.E., 2009. Health Psychology. Seventh Edition. USA: McGraw-Hill.


Prasetyo, ID, H, Psikoneuroimunologi Untuk Keperawatan , ed 2.UNSPress, Surakarta

Walker,J, Distrees Series Adolescent Stress and Depression, 2002, Minnesotaa University

Taylor, S. E. (2015). Health Psychology. New York: McGraw-Hill Education.

Anda mungkin juga menyukai