Anda di halaman 1dari 8

Gangguan Psikofisiologis

Dalam buku Psychiatric Mental Healt Nursing (2006) Somatofrom Disorder


merupakan interaksi yang kompleks antara pikiran dan tubuh dan menyebakan penderita
mengalamigangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan dan sering kali juga pasien
mengalami gangguan jiwa lainnya. Dalam PPDGJ III gangguan Somatofrom mempunyai
ciri utama yaitu adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang-ulang disertai dengan
pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga
telah dijelaskan oleh dokter tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya.

Gangguan psikofisiologis atau sering dikenal dengan istilah psikosomatis merupakan


gangguan fisik yang dialami seseorang disebabkan oleh semakin buruknya faktor psikologis
seperti stress, perilaku, atau mood (van Hasselt & Hersen, 1994) ditandai dengan simtom-
simtom fisik yang nyata. Gangguan ini menggambarkan interaksi yang erat antara pikiran
(psyche) dan badan (soma) Adapun salah satu faktor psikologis disini yang menjadi penyebab
utamnya terjadinya gangguan psikofisiologis iyalah stress ( Davision etal, 2014).pengaruh
pemikiran, perilaku, dan emosi terhadap kesehatan fisik seseorang.

Pasien dengan gangguan psikosomatis selalu mengeluhkan sakit pada beberapa


bagian tubuh seperti pegal-pegal, nyeri di bagian tubuh tertentu, mual, muntah, kembung
atau perut tidak enak, sendawa, serta sekujur tubuh terasa tidak nyaman, tak jarang, ada yang
merasa kulitnya seperti gatal, kesemutan, mati rasa, pedih seperti terbakar, rasa sakit di
kepala (seperti migrain), nyeri di bagian dada, punggung dan tulang belakang, linu pada
persendian, nyeri dan menstruasi yang tidak teratur bahkan sampai rasa nyeri saat
berhubungan seks. Namun, keluhan–keluhan tersebut tidak dapat di jelaskan oleh penyebab
fisik serta berlangsung lama dan berulang-ulang serta berganti-ganti atau berpindah-pindah
tempat, dan dirasa sangat mengganggu sehingga tak jarang beberapa pasien bolak-balik
ke dokter untuk melakukan pemerikasaan.Berdasarkan uraian diatas peneliti akan
melakukan penelitian tentang apa saja faktor penyebab terjandinya gangguan psikosomatis.
Sasaran utamanya adalah orang yang dengan kecenderungan psikosomatis. Yang dikuatkan
oleh rekam medik sebagai bukti bahwa pasien telah di diaknosa oleh dokter namun tidak ada
kelainan secara fisologis (fisik) namun pasien merasakan keluhan-keluhan pada fisiknya.
Dengan judul faktor-faktor penyabab psikosomatis Pada Orang dengan
kecenderungan Psikosomatis di Samarinda.

Dalam psikologi, istilah stres (stress) mengacu pada tekanan atau permintaan yang
ditempatkan pada organisme untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri. Stres dapat diartikan
sebagai kondisi dimana mengalami tekanan, ketegangan, ketidakmampuan mengatasi
ancaman yang dihadapi mental, fisik, ataupun emosional yang nantinya pada suatu saat dapat
mempengaruhi keadaan fisik manusia.

Istirahat stres mengacu pada tekanan atau dorongan yang ditempatkan pada tubuh
untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri. Di dalam hidup kita akan menemui situasi yang
akan memicu stress, stres dapat dialami oleh siapapun dan memiliki implikasi negatif apabila
berakumulasi dalam kehidupan dan jika tidak menemukan penanganan yang tepat. Sebelum
membahas lebih jauh kita perlu lebih tau apa sih sebenarnya stres. Stres merupakan respons
sesorang terhadap kejadian yang mengancam atau menantang, stres juga dapat didefinisikan
kondisi dimana ketika tubuh memberi reaksi dalam menghadapi tekanan, ancaman, atau
perubahan yang tengah terjadi. Seseorang akan mudah mengalami stres ketika tuntutan yang
diberikan padanya lebih besar dari kemampuan yang dimilikinya untuk mengatasi hal
tersebut.

Tahun 1936, Hans Selye yang merupakan seorang dokter, menggambarkan respon
tubuh terhadap segala jenis stresor eksternal sebagai sindrom adaptasi umum GAS
(generaladaptation syndrome) merupakan bentuk gambaran respons biologis tujuan untuk
bertahan dan mengatasi stres fisik. Terjadi dalam tiga tahapan:

 Fase alam (the alarm phase) ketika tubuh menggerakan sistem saraf simpatetik untuk
menghadapi ancaman langsung. Ancaman dapat berbentuk apapun, misalnya
melarikan diri dari seekor harimau buas di tengah hutan, deadline tugas. Pada fase ini
sistem saraf otonom diaktifkan oleh stres, dan hormon stres meningkat sehingga aliran
darah meningkat, detang jantung meningkat, pencernaan melambat, otot menegang.
Nah jika stres terlalu kuat, itu akan menyebabkan terjadinya luka baik saluran
pencernaan, kelenjer adrnalin membesar, kelenjar timus menjadi lemah.
 Fase penolakan (the resistsnce phase) pada fase ini tubuh berusaha menolak atau
melakukan usaha untuk mengatasi stresor yang tidak dapat dihindari,atau tubuh
beradaptasi dengan stres melalui berbagai mekanisme coping yang dimiliki. Contoh
ketika mengalami demam, namun tubuh sudah tau apa langkah pencegahanya tanpa
harus memikirkan bahwa penyakit ini sangatlah berbahaya yang nantinya akan
menimbulkan frustasi, bisa dikatakan tubuh telah beradaptasi dengan stresor.
 Fase kelelahan (the exhaustion phase) fase ini ketika stres yang berkelanjutan tanpa
adanya penanganan atau coping, hal itu akan mengakibatkan terkurasnya energi
tubuh, dan jika stresor menetap, dan tubuh tidak dapat merespon secara efektif maka
terjadinya tahapan kelelahan yang amat sangat dan terus menerus, otot otot tegan
dapat mengakibatkan sakit kepala begitu juga peningkatan tekanan darah dapat
mengakibatkan tekanan darah tinggi kronis dan organisme mati atau menderita
kerusakan yang tidak diperbaiki (selye, 1950)

Stresor adalah sumber stres, stresor meliputi faktor faktor psikologis, seperti ujian
sekolah, permasalahan dalam hubungan sosial, kematian orang yang dicintai, perceraian,
lingkunan keja yang terus menerus tidak menyenangkan dan lainya. Ketika stres otak akan
mengirim sinyal sinyal kebeberapa organ tubuh untuk mengeluarkan tiga jenis hormon yaitu
kortisol, adrenalin, norepinefrin. Hormon hormon ini akan memberikan efek ke beberapa
organ tubuh agar bekerja lebih keras dari biasanya misalnya jantung berdebar kencang, sakit
perut, mual mual, asam lambung naik, seolah olah tubuh bekerja seaktif aktifnya. Ketika stres
ini berada dalam jangka waktu lama, tubuh akan selalu aktif hingga pada akhirnya menyerah
dan kemungkinan akan memunculkan penyakitpenyakit yang belum pernah dirasakan
sebelumnya seperti tegang otot, sakit kepala dan berbagai reaksi lainnya, dan dari sakit
tersebut itu akan mempengaruhi pikiran dan pikiran akan mempengaruhi tubuh kita. Sehingga
tampak jelas adanya hubungan saling mempengaruhi khususnya pikiran dengan tubuh. Ketika
seseorang memliki banyak pikiran, stress, tegang, mendapati tekanan, takut khawatir, cemas
maka ada beberapa reaksi reaksi yang muncul akibat kecemasan tersebut di dalam anggota
tubuh misalnya sakit perut, mual-mual, jantung berdebar debar, sakit kepala, asam lambung
naik.
Coping dan Stres

Coping merupakan bagaimana usaha untuk mengontrol, mengurangi, atau usaha


untuk menoleransi ancaman yang menyebabkan stres. Setiap individu memiliki perbedaan
dalam merespons situasi penuh stres, bagaimana orang berupaya mengatasi masalah atau
menangani emosi yang umumnya berbentuk efek negatif yang ditimbulkan, dan efek stres
dapat bervariasi tergantung bagaimana individu mengahadapi situasi tersebut. Adapun cara
positif untuk mengatasi stres yang dikelompokan menjadi 2 dimensi coping ( Lazarus &
Folkam,1984 ).
 Coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) berupa bertindakan
langsung untuk mengatasi masalah atau mencari informasi yang relavan dengan
solusi, contoh menyicil tugas tugas yang diberikan dosen agar tidak menumpuk, dan
memiliki banyak waktu untuk dapat mengerjakan tugas lainya sehingga dengan begitu
dapat mengurangi tekanan yang nantinya dapat menimbulkan stress selama masa
kuliah.
 Coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) berupa upaya untuk
mengurangi atau mengatur berbagai reaksi emosional yang menimbulkan efek negatif
terhadap stress, dengan berusaha mengubah perasaan atau cara seseorang dalam
mempersepsikan masalah, cara yang benarnya membentuk strategi.

Mencari kenyamanan ataupun dukungan sosial dari orang lain, bisa juga dengan
refreshing, traveling, mencari tempat yang nyaman untuk relaksasi diri. Tujuanya agar diri
dapat melepaskan beban, atau tekanan yang dirasakan. Memberikan waktu istirahat sejenak
untuk diri itu sangat perlu ini merupakan contoh coping yang difokuskan pada emosi.
Coping yang efektif sering kali bervariasi sesuai dengan situasi. Para peneliti coping juga
mengajukan coping yang berupa penghindaran/pelarian, coping ini juga jarang berhasil sebab
coping ini berfokus pada masalah dan juga berfokus pada emosi (a.l., Carver & Scheier,
1999), dimana esensi coping berupa penghindaraan ini berusaha menghindari untuk
mengakui bahwa dirinya berada dalam masalah yang harus diatasi, bisa dikatakan
mengalihkan diri, mengingkari,menolak melakukan sesuatu atau berusaha untuk mengatasi
masalah tersebut ( pasrah, menyerah). Berharap bahwa situasi tersebut akan berakhir dengan
sendirinya, adapun contoh lainnya melarikan diri dari masalah dengan menggunakan obat-
obatan dan alcohol, bisa dengan makan secara berlebihan. Konsep ini merupakan hal yang
mustahil, karena tanpa adanya usaha untuk mengatasi bagaimana suatu masalah tersebut akan
terselesaikan, dan berdasarkan bukti bukti menunjukan bahwa secara umum metode coping
pelarian/penghindaran bukan metode yang efektif untuk menghadapi banyak masalah
didalam kehidupan (Roserch & Weiner, 2001).
Melalui cara apapun, coping menghindar biasanya menghasilkan penundaan terhadap
penanganan bagi situasi yang menimbulkan stres malah hal ini sering kali membuat masalah
semakin memburuk. Bagaimana kita mengatasi stress dalam kehidupan kita atau coping apa
yang paling efektif dipakai itu tergantung pada stresor dan begitu juga dengan tingkatan
stresnya apa dapat dikontrol, adapun beberapa petunjuk umum, (Aspinwall & Taylor, 1997,
Folkman & Moskowitz, 2000).

 Dengan mengubah ancaman menjadi sebuah tantangan. Ketika berada dalam situasi
yang menimbulkan stress yang kemungkinan dapat dikontrol, adapun strategi coping
terbaik adalah ,menjadikan situasi tersebut sebagai bentuk sebuah tantangan dan
berfokus untuk bagaimana cara mengontrolnya. Misalnya mengalami stress terjebat
dalam situasi macet menuju tempat perusahaan, dimana pada saat itu waktu kerja
sudah mepet, kedepanya mungkin anda dapat mengubah jadwal keberangkatan agar
lebih pagi biar tidak terjebak macet.
 Mengubah situasi mengancam menjadi tidak terlalu mengancam. Melakukan control
stress mengubah penilaian terkait masalah yang dihadapi, cari jalan alternative lain
yang dirasa dapat meringankan stress.
 Ubahlah tujuan anda ketika dihadapkan pada situasi dimana harus memilih jalan
berbeda dari tujuan awal, agar bisa mencari jalan keluar dan tidak berlarut larut dalam
situasi yang menimbulkan stress tersebut, misalnya seorang tentara yang mengalami
kecelakan sehingga salah satu kakinya harus diamputasi, kehilangan fungsi utuh
tubuh mengakibatkanya sulit untuk melaksanakan tugas negara, meskipun begitu
haltersebut dapat berdampak stress bagi dirinya. Akan tetapi jika ia mengambil
langkah lain untuk mengatasi stress dengan mengubah tujuan/memodifikasi dan
mencoba mengambil profesi menjadi seorang jurnalis.
 Ambil langkah fisik dengan mengubah reaksi fisiologis terhadap stress dapat
membantu coping. Sebagai contoh, biofeedback (dimana ketika seorang belajar untuk
mengontrol proses fisiologis internal melalui pikiran sadar dengan begitu dapat
mengubah proses proses fisiologis dasar, dengan begitu seseorang dapat menurunkan
tekanan darah, detak jantung, dan konsekuensi lain yang muncul akibat stress.
 Bersiaplah untuk menghadapi stress sebelum hal tersebut terjadi. maksudnya adalah
membentuk sebuah strategi guna untuk menangani stress menggunakan penanganan
proaktif, melakukan antisipasi sebelum stress tersebut benar benar akan menghadang.

B. Teori Hubungan Stres dan Penyakit

1. Teori Biologis
Respon biologis terhadap stress adalah bagian dari respons yang sehat dan rutin.
Kerusakan fisiologis terjadi apabila respon biologis terhadap stress terus-menerus diaktifkan
atau apabila proses counter-regulatory tidak mengembalikan sistem tubuh ke kondisi sebelum
stress dalam waktu yang tidak lama. Pendekatan biologis mengatribusikan beberapa
gangguan psikofisiologis pada kelemahan organ-organ tertentu, sehingga aktivitas sistem
organ tertentu yang berlebihan ketika merespons stress, serta efek pemaparan pada hormone-
hormon stress atau perubahan sistem imun yang disebabkan oleh stress.
 Teori Kelemahan Somatik (Somatic Weakness Theory)
Menurut teori kelemahan somatic, hubungan antara stres dan gangguan
psikofisiologis terletak pada kelemahan organ tubuh tertentu. Contohnya sistem
pernapasan yang lemah sejak lahir dapat memicu seseorang menderita asma.
 Teori Reaksi Spesifik (Spesific Reaction Theory)
Menurut teori reaksi spesifik, para individu merespons stres dengan cara khas mereka
sendiri, dan sistem tubuh yangn paling responsif menjadi kandidat yang paling
mungkin mengalami gangguan psikofisiologis yang terjadi kemudian. Contohnya
seseorang yang bereaksi terhadap stress dengan naiknya tekanan darah dapat lebih
beresiko mengalami hipertensi esensial.
 Pemaparan Jangka Panjang Pada Hormon Stress Teori yang berupaya menjelaskan
fakta bahwa berbagai perubahan biologis yang ditimbulkan oleh stres bersifat adaptif
dalam jangka pendek. Contohnya, memolisasikan sumber daya energi dalam
persiapan aktivitas fisik namun berbahaya dalam jangka panjang (McEwen, 1998).
Respons-respons biologis yang utama terhadap stress mencakup aktivasi sistem saaf
simpatis dan aksis hipotalamik- pituitari- adrenalin (HPA).

Dalam kondisi stress, katekolamin seperti epinefrin dilepaskan dari saraf dan medulla
adrenalin dan memicu sekresi kortikotropin dari pituitari. Kemudian kortikotropin memicu
pelepasa kortisol dari korteks kelenjar adrenalin. Kunci teori ini yaitu tubuh akan
menanggung akibat apabila terus-menerus beradaptasi dengan stress. Keharusan tubuh untuk
terus-menerus beradaptasi ini disebut dengan beban alostatik (allostatic load). Menurut teori
ini, individu dapat menunjukkan beban alostatik dengan cara berbeda-beda (McEwen &
Seeman,1999). Seseorang dapat memiliki level hormon stress yang tinggi apabila sering
mengalami stress, dan seseorang dapat mengalami kesulitan beradaptasi dengan stress baik
disebabkan oleh reaksi biologis terhadap stress yang dipicu secara genetik dalam bentuk
lambat beradaptasi, sehingga respons-respons behavioral yang dipelajari dalam jangka
panjang dan menghambat adaptasi. Seperti pola makan yang buruk, jarang berolahraga ,
merokok, atau konsumsi alkohol berlebihan. Sementara itu, yang dapat mengalami sekresi
kortisol dalam tingkat yang luar biasa tinggi bahkan setelah kondisi stress berkurang. Untuk
menggambarkan salah satu cara stress menghambat sistem responsbiologis terhadap stress,
contoh mengenai berbicara dimuka umum. Pada level umum, stressor memiliki banyak efek
pada berbagai macam sistem tubuh sistem saraf otonom,level homon, dan aktivitas otak.
Bidang penelitian yang paling dekat mendokumentasikan peran stress dan perubahan
sistem imun dalam timbulnya penyakit secara aktual yaitu studi tentang penyakit infeksi. Ada
dua aspek sistem imun yaitu :
1) Imunitas Sekretori
Komponen sekretori dalam sistem imun terdapat pada sekresi air mata, ludah,
pencernaan, vagina, hidung, dan bronchial yang membasahi permukaan mucosal tubuh.
Zat yang terdapat dalam sekresi tersebut, disebut secretory immunoglobulin A, atau slgA,
mengandung antibody yang berperan sebagai pertahanan pertama tubuh terhadap virus
dan bakteri yang memasukinya. Antibodi tersebut mencegah virus atau bakteri menempel
kejaringan mukosal. Studi yang dilakukan Stone dan para kolegannya (Stone, Cox dkk.,
1987)menunjukkan bahwa perubahan jumlah antibody slgA berhubungan dengan
perubahan mood. Hal penting adalah hubungan antara slgA dan mood telah diteliti ulang
(Stone,Neale dkk.,1994). Penelitian sebelumnya (a.l., Stone & Neale, 1984) menunjukkan
bahwa peristiwa sehari-hari memengaruhi fluktuasi mood, yang akhirnya menekan
sintesis berbagai antibody sekretori slgA. Proses tersebut dapat berlangsung sebagain
berikut :
 Peningkatan peristiwa yang tidak diinginkan dan penurunan peristiwa yang
diinginkan
 Peningkatan mood negative
 Penurunan antibody SlgA
 Peningkatan resiko terhadap infeksi jikavirus ditemukan

Beberapa studi menegaskan hubungan antara stress dan infeksi pernapasan. Dalam
setiap studi, sukarelawan diberin tetes hidung yang mengandung virus flu ringan dan
menjalani serangkaian pengukuran mengenai stress yang dialami baru-baru ini. Keuntungan
metode ini yaitu pemaparan pada virus merupakan variabel eksperimental yang berada
didalam kontrol para peneliti. Para peneliti menemukan bahwa stress secara jelas
berhubungan dengan timbulnya flu (Cohen, Tyrell, Smith, 1991; Stone dkk., 19992). Stressor
yang paling sering implikasi adalah masalah interpersonal dan kesulitan dalam pekerjaan
(Cohen dkk., 1998). Temuan ini saling keterkaitan yang kompleks antara variabel psikologis
dan biologis dalam etiologi gangguan psikofisiologis.
2) Sitokin
Ketika tubuh mendeteksi zat asing, seperti bakteri, suatu barisan pertahanan yang
digunakan sistem imun yaitu aktivasi sel-sel yang disebut dengann makrofagus. Aktivasi
makrofagos akan merangsang pelepasan zat yang disebut sitokin. Pelepasan sitokin
membantu munculnya respons tubuh terhadap infeksi, seperti sangat kelelahan, demam, dan
aktivasi aksis HPA. Ada dua sitokin yang terkait dengan stress dan penyakit adalah
interleukin-I (IL - I ) dan interleukin- 6 (IL-6).

2. Teori Psikologis

 Teori psikoanalisis berpendapat bahwa konflik-konflik tertentu dan kondisi emosional


teoris psikoanalisis yang telah mempelajari gangguan psikofisiologis, Franz
Alexander memberikan dampak terbesar. Menurutnya setiap gangguan psikofisiologis
adalah akibat kondisi emosional yang tidak disadari yang spesifik bagi gangguan
tersebut.contohnya, impuls-impuls hostile yang ditekan dianggap menciptakan
kondisi emosional kronis yang bertangguang jawab terhadap hipertensi esensial.
 Faktor-faktor Kognitif dan Behavioral Ancaman fisik jelas menciptakan stress.
Emosi-emosi negatif seperti kekecewaan, penyesalan, dan kekhawatiran tidak dapat
dilawan dan diabaikan dengan mudah seperti halnya ancaman eksternal dan tidak
mudah untuk dihilangkan. Berbagai emosi negatif tersebut membuat sistem biologis
tubuh menjadi tegang dan tubuh selalu dalam keadaan darurat, kadangkala dalam
jangka waktu yang jauh lebih lama dari yang dapat kita tanggung, seperti yang
disebutkan dalam teori McEwen (hlm, 285).

Faktor-faktor Penyebab Psikosomatis


Tidak ada penyebab tunggal untuk
gangguan psikosomatis, seperti kebanyakan
kondisi kejiwaan, gangguanadalah hasil akhir
dari interaksi yang antara faktor genetik dan
berbagai peristiwa dalam sejarah kehidupan yang
dari individu. Berbagai mekanisme psikologis,
sosial, patofisiologis, keluarga, dan genetik telah
diusulkan untuk menjelaskan asal gangguan
psikosomatis ( Colak, 2014 ). Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Strecter
dalam maramis (2006) Pada 239 penderita
dengan gangguan psikogenik Streckter telah
menganalisis gejala yang paling sering
didapati yaitu 89 persen terlalu memperhatikan
gejala-gejala pada badannya dan 45 persen
merasa kecemasan, oleh karena itu pada pasien
psikosomatis perlu ditanyakan beberapa faktor
yaitu:
1. Faktor sosial dan ekonomi
Kepuasan dalam pekerjaan, kesukaran ekonomi,
pekerjaan yang tidak tentu, pekerjaan yang
terburu-buru, kualitas pelayanan yang tidak
memuaskan, yang dapat mengakibatkan
peningkatan hilangnya jam kerja karena
ketidakm hadiran, kecelakaan di tempat kerja,
kurangnya motivasi dengan komitmen.
2. Faktor perkawinan atau keluarga
Kepuasan dalam pernikahan seperti perselisihan,
perceraian dan kekecewaan dalam hubungan
seksual, anak-anak yang nakal dan menyusahkan.
Kondisi dimana keluarga dapat menimbulkan
stres yang dapat membuat tubuh menjadi tertekan
serta dapat menyebabkan atau bahkan
memperburuk secara langsung kondisi saat sakit.
3. Faktor kesehatan
Kesehatan juga dapat menjadi faktor
penyebab terjadinya gangguan psikosomatis
seperti adanya kerusakan akibat dari berbagai
macam hal seperti penggunaan obat, benturan,
penyakit-penyakit yang menahun, pernah masuk
Psikoborneo, Vol 6, No 3, 2018:425- 430 ISSN: 2477-2666/E-ISSN: 2477-2674

rumah sakit, pernah dioperasi, adiksi terhadap


obat-obatan, tembakau, maupun efek dam
ekses dari pembedahan.
4. Faktor psikologis
Pengaruh psikologis yang dapat
menyebabkan muncul maupun memperparah
penyakit-penyakit fisik yang disebabkan oleh
stressor, terutama muncul dari sikap
maladaptif. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Selye, mengemukakan bahwa faktorfaktor

psikologis

tertentu

dalam

kepribadian

seseorang

dapat menyebabkan seorang menjadi


jarang sakit, atau jika berada dalam tekanan dia
mampu menghadapinya (Wiramihardja, 2015).
Stres psikologis seperti keadaan jiwa waktu
dioperasi, waktu penyakit berat, status
didalam keluarga dan stres yang timbul juga
dapat mempengaruhi berkembangnya gangguan
psikosomatis maupun memperparah penyakitpenyakit
fisik
yang
dialami
oleh
pasien.

Anda mungkin juga menyukai