Anda di halaman 1dari 14

Nama Nim Tugas Ke Tanggal

: Taslim Koli : M12.01.0009 :4 : 17/03/2014

KONSEP DASAR STRESS

A. Pengertian Stress Dari perkembangan istilah stress dirumuskan definisi diantaranya : 1. Mc. Nerney dalam Grenberg, (1984 ) menyebutkan stress sebagai reaksi fisik, mental, dan kimiawi dari tubuh terhadap situasi yang menakutkan, mengejutkan, membingungkan,membahayakan, dan merisaukan seseorang. 2. Menurut Hardjana ( 1994 ) stres sebagai keadaan atau kondisi yang tercipta bila transaksi seseorang yang menglami stress dan hal yang dianggap mendatangkan stres membuat orang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan antara keadaan atau kondisi dan sistim sumber daya biologis, psilogis dan sosial yang ada padanya. 3. STRESS adalah segala situasi dimana tuntutan non specific mengharuskan seorang individu untuk berespon atau melakukan tindakan (Selye, 1976). B. Adaptasi Adaptasi adalah penyesuaian diri terhadap suatu penilaian. Dalam hal ini respon individu terhadap suatu perubahan yang ada dilingkungan yang dapat mempengaruhi keutuhan tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis dalam perilaku adaptip. Hasil dari perilaku ini dapat berupa usaha untuk mempertahankan keseimbangan dari suatu keadaan agar dapat kembali pada keadaan normal, namun setiap orang akan berbeda dalam perilaku adaptip ada yang dapat berjalan dengan cepat namun ada pula yang memerlukan waktu lama tergantung dari kematangan mental orang itu tersebut. Adaptasi terhadap stress dapat berupa : 1. Adaptasi fisiologis Adaptasi fisiologis adalah proses penyesuaian diri secara alamiah atau secara fisiologis untuk mempertahankan keseimbangan dalam berbagai faktor yang menimbulkan keadaan menjadi tidak seimbang contoh: masuknya kuman pennyakit ketubuh manusia 2. Adaptasi psikologi Adaptasi secara psikologis dapat dibagi menjadi dua yaitu:

a. LAS ( general adaptation syndroma) adalah apabila kejadiannya atau proses adaptasi bersifat lokal contoh: seperti ketika kulit terinfeksi maka akan terjadi disekitar kulit tersebut kemerahan, bengkak, nyeri, panas dll yang sifatnya lokal atau pada daerah sekitar yang terkena.

b. GAS ( general adaptation syndroma) adalah apabila reaksi lokal tidak dapat diaktifitasi maka dapat menyebabkan gangguan dan secara sistemik tubuh akan melakukan proses penyesuaian diri seperti panas di seluruh tubuh, berkeringat

C. Model-Model Stress 1. Model Stress Berdasarkan Stimulus : Hukum elastisitas. Jika train yang dihasilkan melampaui batas elastisistasnya maka kerusakan akan terjadi. Stress sebagai cirri-ciri dari stimulus lingkungan yang dalam beberapa hal dianggap menggagu atau merusak. Stressor eksternal kan menimbulkan reaaksi stress atau strain dalam diri individu. Stress sebagai sesuatu yang dipelajari 2. Model stress berdasarkan respon Model ini mengidenfisikasi stres sebagai respon individu terhadap stressor yang diterima, Selye ( 1982 ) menjelaskan stres sebagai respon non spesifik yang timbul terhadap tuntutan lingkungan, respon umum ini disebut sebagai General adaptation Syndrome ( GAS ) dan dibagi dalam tiga fase yaitu fase sinyal, fase perlawanan, dan fase keletihan. Menurut Selye (1982), terdiri dari 3 tahapan yaitu : a. Reaksi alarm : respon siaga (fight or flight. Peningkata cortical hormon, emosi dan ketegangan b. Fase perlawanan (resistance) : Bila respon adaftif tidak mengurangi persepsi terhadap ancaman, ditandai hormon kortikal tetap tinggi. Usaha fisiologis untuk mengatasi stress mencapai kapasitas penuh. c. Reaksi kelelahan : Perlawanan terhadap stress yang berkepanjangan mulai menurun, fungsi otak tergantung perubanhan metabolisme, sistem kekebalan tubuh menjadi kurang efisien dan penyakit yang serius mulai timbul saat kondisi menurun. 3. Model stress berdasarkan transaksional Pendekatan ini mengacu pada interaksi yang timbul antara manusia dan lingkungannya. Antar variable lingkungan dan individu terhadap proses

penilaian kognitif ( cognitive appraisal ) yang menjadi mediatornya. Studi yang berlandaskan pada pendekatan ini menyimpulkan bahwa kita tidak akan dapat memprediksikan penampilan seseorang hanya dengan mengenali stimulus, individu bervariasi dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya yaitu dengan melakukan koping terhadap berbagai tuntutan Tiga tahap dalam mengukur potensial yang mengandung stress yaitu pengukuran suatu situasi pontesial mengandung stres yaitu : a. Pengukuran primer ; menggali persepsi individu terhadap masalah saat ia menilai tantangan atau tuntutan yang menimpanya. b. Pengukuran sekunder; mengkaji kemampuan seseorang atau sumber -sumber tersedia diarahkan untuk mengatasi masalah. c. Pengukuran tersier, berfokus pada perkiraan keefektifan perilaku koping dalam mengurangi dan menghadapi ancaman

D. Psikofisiologi Stress Menurut Selye ( 1982 ) stres merupakan tanggapan non spesifik terhadap setiap tututan yang diberikan pada suatu organisme dan digambarkan sebagai GAS. Konsep ini menujukan reaksi stres dalam tiga fase yaitu fase sinyal (alarm), fase perawanan ( resistance ), dan fase keletihan (exhaustion ). Ilustrasi dari ketiga fase tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Dikutip dari : Psychology Health (Taylor. S, 1991) Tahap sinyal adalah mobilisasi awal dimana badan menemui tantangan yang diberikan oleh penyebab stres. Ketika penyebab stres ditemukan, otak mengirimkan suatu pesan biokimia kepada semua sistem tubuh. Pernafasan meningkat, tekanan darah naik, anak mata membesar, ketegangan otot naik, dan seterusnya. Jika penyebab stres terus aktif, GAS beralih ketahap perlawanan. Tandatanda masuknya tahap perlawanan termasuk keletihan, ketakutan dan ketegangan.

Pribadi yang mengalami tahap ini kini melawan penyebab stres. Sementara perlawanan terhadap suatu penyebab stres khusus mungkin tinggi selama tahap ini, perlawanan terhadap stres lainnya mungkin rendah; seseorang hanya memiliki sumber energi terbatas, konsentransi dan kemampuan untuk menahan penyebab-penyebab stres. Individuindividu sering lebih mudah sakit selama periode stres dari pada waktu lainnya Tahap terakhir GAS adalah keletihan. Perlawanan pada penyebab stres yang sama dalam jangka panjang dan terus menerus mungkin akhirnya menaikan penggunaan energi penyesuaian yang bisa dipakai, dan sistem menyerang penyebab stres menjadi letih. Menurut Fortuna ( 1984 ) seperti halnya dengan gangguan fisik respon terhadap ancaman juga mempunyai resiko terhadap emosi dan kognitif ( Abraham dan Shaley, 1997 ), orang mengalami stres akan menujukan penurunan konsentrasi, perhatian dan kemuduran memori. Keadaan ini akan menyebabkan kesalahan dalam memecahkan masalah dan penurunan kemampuan dalam merencanakan tindakan. Dampak lain mengakibatkan semakin banyak tuntutan pada orang yang mengalami stres, kondisi ini menyebabkan ketindakmampuan menjalin hubungan dengan orang lain, dalam menghadapi stres individu lebih sensitif dan cepat marah. Mereka juga sulit untuk rileks, merasa tidak berdaya, depresi dan cenderung hipokondria. Pengaruh pada kognitif dan emosi ini mendorong terjadinya perubahan perilaku pada orang yang mengalami stres berkepanjangan. Perubahan ini meliputi penurunan minat dan aktifitas, penurunan energi, tidak masuk atau terlambat kerja, cenderung mengekpresikan pandangan sinis pada orang lain atau rekan kerja serta melemahkan tanggung jawab Fase keletihan terjadi bila fungsi fisik dan psikologis seseorang telah sangat lemah sebagai akibat kerusakan selama fase perlawanan. Bila reaksi ini berlanjut tanpa adanya pemulihan, akan memacu terjadinya penyakit karena ketidakmampuan dalam mengatasi tuntutan lingkungan yang dirasakan Fase keletihan ini merupakan tahap kepayahan dimana seseorang dapat dikatakan telah mempunyai masalah kesehatan yang serius. E. Tingkatan Stress Gangguan stress biasanya timbul secara lamban, tidak jelas kapan mulainya dan seringkali kita tidak menyadari. Namun meskipun demikian dari pengalaman praktek psikiatri, para ahli mencoba membagi stress tersebut dalam enam tahapan. Setiap tahap memperlihatkan sejumlah gejala-gejala yang dirasakan oleh yang bersangkutan, hal mana berguna bagi seseorang dalam rangka mengenali gejal stress sebelum memeriksakannya ke dokter. Petunjuk-petunjuk

tahapan stress tersebut dikemukakan oleh Dr. Robert J. Van Amberg, psikiater sebagai berikut : 1. Stres tingkat I Tahapan ini merupakan tingkat stress yang paling ringan, dan biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut : a. Semangat besar b. Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya c. Energi dan gugup berlebihan, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya. Tahapan ini biasanya menyenangkan dan orang lalu bertambah semangat, tanpa disadari bahwa sebenarnya cadangan energinya sedang menipis. 2. Stress tingkat II Dalam tahapan ini dampak stress yang menyenangkan mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan dikarenakan cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari. Keluhankeluhan yang sering dikemukakan sebagai berikut : a. Merasa letih sewaktu bangun pagi b. Merasa lelah sesudah makan siang c. Merasa lelah menjelang soare hari d. Terkadang gangguan dalam system pencernaan (gangguan usus, perut kembung), kadang-kadang pula jantung berdebar-debar. e. Perasaan tegang pada otot-otot punggung dan tengkuk (belakang leher) f. Perasaan tidak bisa santai 3. Stress tingkat III Pada tahapan ini keluhan keletihan semakin nampak disertai dengan gejalagejala : a. Gangguan usus lebih terasa (sakit perut, mulas, sering ingin ke belakang) b. Otot-otot terasa lebih tegang c. Perasaan tegang yang semakin meningkat d. Gangguan tidur (sukar tidur, sering terbangun malam dan sukar tidur kembali, atau bangun terlalu pagi) e. Badan terasa oyong, rasa-rasa mau pingsan (tidak sampai jatuh pingsan). Pada tahapan ini penderita sudah harus berkonsultasi pada dokter, kecuali kalau beban stress atau tuntutan-tuntutan dikurangi, dan tubuh mendapat kesempatan untuk beristirahat atau relaksasi, guna memulihkan suplai energi.

4. Stress tingkat IV Tahapan ini sudah menunjukkan keadaan yang lebih buruk yang ditandai dengan ciriciri sebagai berikut : a. Untuk bisa bertahan sepanjang hari terasa sangat sulit b. Kegiatan-kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit c. Kehilangan kemampuan untuk menanggapi situasi, pergaulan social dan kegiatankegiatan rutin lainnya terasa berat. d. Tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan dan seringkali terbangun dini hari. e. Perasaan negativisik f. Kemampuan berkonsentrasi menurun tajam g. Perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan, tidak mengerti mengapa.

5. Stress tingkat V Tahapan ini merupakan keadaan yang lebih mendalam dari tahapan IV diatas, yaitu : a. Keletihan yang mendalam (physical and psychological exhaustion) b. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang sederhana saja terasa kurang mampu. c. Gangguan system pencernaan (sakit maag dan usus) lebih sering, sukar buang air besar atau sebaliknya feses cair dan sering ke belakang. d. Perasaan takut yang semakin menjadi, mirip panic. 6. Stress tingkat VI Tahapan ini merupakan tahapan puncak yang merupakan keadaan gawat darurat. Tidak jarang penderita dalam tahapan ini di bawa ke ICCU. Gejalagejala pada tahapan ini cukup mengerikan. a. Debar jantung terasa amat keras, hal ini disebabkan zat adrenalin yang dikeluarkan, karena stress tersebut cukup tinggi dalam peredaran darah. b. Nafas sesak, megap-megapa c. Badan gemetar, tubuh dingin, keringat bercucuran d. Tenaga untuk hal-hal ayang ringan sekalipun tidak kuasa lagi, pingsan atau collaps. Bilamana diperhatikan, maka dalam tahapan stress di atas, menunjukkan manifestasi di bidang fisik dan psikis. Di bidang fisik berupa kelelahan, sedangkan di bidang psikis berupa kecemasan dan depresi. Hal ini dikarenakan penyediaan energi fisik maupun mental yang mengalami defisit terus-menerus. Sering buang air kecil dan sukar tidur merupakan pertanda dari depresi.

F. Aplikasi Proses Keperawatan Pada Klien dengan Ganggauan Panik 1. Definisi Istilah panik berasal dari kata Pan, dewa Yunani yang setengah hantu, tinggal dipegunungan dan hutan, dan perilakunya sangat sulit diduga. Di tahun 1895 deskripsi gangguan panik pertama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud dalam kasus agorafobia. Serangan panik merupakan ketakutan akan timbulnya serangan serta diyakini akan segera terjadi. Individu yang mengalami serangan panik berusaha untuk melarikan diri dari keadaan yang tidak pernah diprediksi. Gangguan panik adalah ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan dan tidak diperkirakan. Serangan panik adalah periode kecemasan atau ketakutan yang kuat dan relative singkat (biasanya kurang dari satu tahun), yang disertai oleh gejala somatik tertentu seperti palpitasi dan takipnea. Frekuensi pasien dengan gangguan panik mengalami serangan panik adalah bervariasi dari serangan multiple dalam satu hari sampai hanya beberapa serangan selama setahun 2. Etiologi dan Patogenesis a. Faktor Biologis Penelitian tentang dasar biologis untuk gangguan panik telah menghasilkan berbagai temuan; satu interpretasi adalah bahwa gejala gangguan panik dapat disebabkan oleh berbagai kelainan biologis di dalam struktur otak dan fungsi otak. penelitian tersebut dan penelitian lainnya telah menghasilkan hipotesis yang melibatkan disregulasi system saraf perifer dan pusat di dalam patofisiologi gangguan panik. Sistem saraf otonomik pada beberapa pasien gangguan panik telah dilaporkan menunjukkan peningkatan tonus simpatik, beradaptasi secara lambat terhadap stimuli yang berulang, dan berespon secara berlebihan terhadap stimuli yang sedang. Sistem neurotransmiter utama yang terlibat adalah norepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). b. Faktor Psikososial Baik teori kognitif perilaku dan psikoanalitik telah dikembangkan untuk menjelaskan patogenesis gangguan panik dan agoraphobia. Teori kognitif perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon

yang dipelajari baik dari perilaku modeling orang tua atau melalui proses pembiasan klasik. Teori psikoanalitik memandang serangan panik sebagai akibat dari pertahanan yang tidak berhasil dalam melawan impuls yang menyebabkan kecemasan. Apa yang sebelumnya merupakan suatu sinyal kecemasan ringan menjadi suatu perasaan ketakutan yang melanda, lengkap dengan gejala somatik. Peneliti menyatakan bahwa penyebab serangan panic kemungkinan melibatkan arti bawah sadar peristiwa yang menegangkan dan bahwa patogenesis serangan panik mungkin berhubungan dengan faktor neurofisiologis yang dipicu oleh reaksi psikologis. 3. Gejala Klinik Serangan panik adalah periode kecemasan atau ketakutan yang kuat dan relative singkat dan disertai gejala somatik. Suatu serangan panik secara tiba-tiba akan menyebabkan minimal 4 dari gejala-gejala somatik berikut: a. Palpitasi b. Berkeringat c. Gemetar d. Sesak napas e. Perasaan tercekik f. Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman g. Mual dan gangguan perut h. Fusing, bergoyang. melayang. atau pingsan i. Derealisasi atau depersonalisasi j. Ketakutan kehilangan kendali atau menjadi gila k. Rasa takut mati l. Parastesi atau mati rasa m. Menggigil atau perasaan panas. Serangan panik pertama seringkali sama sekali spontan, walaupun serangan panik kadang-kadang terjadi setelah luapan kegembiraan, kelelahan fisik, aktivitas seksual, atau trauma emosional sedang. DSM-IV menekankan bahwa sekurangnya serangan pertama harus tidak diperkirakan (tidak memiliki tanda) untuk memenuhi criteria diagnostik untuk gangguan panic. Serangan sering dimulai dengan periode gejala yang meningkat dengan cepat selama 10 menit. Gejala mental utama adalah ketakutan yang kuat dan suatu perasaan ancaman kematian dan kiamat. Pasien biasanya tidak mampu untuk menyebutkan sumber ketakutannya. Pasien mungkin merasa kebingungan dan mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian. Tanda fisik adalah takikardia. palpitasi, sesak nafas, dan berkeringat

Gejala Penyerta :Gejala depresif seringkali ditemukan pada serangan panik dan agoraphobia, dan pada beberapa pasien suatu gangguan depresif ditemukan bersama-sama dengan gangguan panik. Penelitian telah menemukan bahwa resiko bunuh diri selama hidup pada orang dengan gangguan panik adalah lebih tinggi dibandingkan pada orang tanpa gangguan mental.

4. Diagnosis Kriteria diagnostic untuk Gangguan Panik Tabel dari DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 4. Suatu periode tertentu adanya rasa takut atau tidak nyaman, di mana empat (atau lebih) gejala berikut ini terjadi secara tiba-tiba dan mencapai puncaknya dalam 10 menit: a. Palpitasi, jantung berdebar kuat, atau kecepatan jantung bertambah cepat. b. Berkeringat. c. Gemetar atau berguncang d. Rasa nafas sesak atau tertahan e. Perasaan tercekik f. Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman g. Mual atau gangguan perut h. Perasaan pusing, bergoyang, melayang, atau pingsang. i. Derealisasi (perasaan tidak realitas) atau depersonalisasi (bukan merasa diri sendiri). j. Ketakutan kehilangan kendali atau menjadi gila k. Rasa takut mati. l. Parestesia (mati rasa atau sensasi geli) m. Menggigil atau perasaan panas.

Menurut PPDGJ-III gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik. Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas berat dalam masa kira-kira satu bulan : a. Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya.

b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya (unpredictable situation) c. Dengan keadaan yang relatif dari gejala-gejala anxietas pada periode diantara serangan-serangan panik (meskipun demikian umumnya dapat terjadi juga anxietas antipsikotik yaitu anxietas yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi.

Diagnosa Banding : Diagnosis banding untuk seorang pasien dengan gangguan panik adalah sejumlah gangguan medis dan juga gangguan mental. Untuk gangguan medis misalnya infark miokard, hipertiroid, hipoglikemi, dan feokromositoma. Sedangkan diagnosis banding psikiatri untuk gangguan panik adalah pura-pura, gangguan buatan, fobia sosial dan spesifik, gangguan stress pasca traumatik, dan gangguan depresi. 5. Penatalaksanaan Respon yang lebih baik terhadap pengobatan akan terjadi jika penderita memahami bahwa penyakit panik melibatkan proses biologis dan psikis. Obat-obatan dan terapi perilaku biasanya bisa mengendalikan gejalagejalanya. Selain itu, Psikoterapi bisa membantu menyelesaikan berbagai pertentangan psikis yang mungkin melatarbelakangi perasaan dan perilaku cemas. 6. Farmakoterapi Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati gangguan panik adalah obat anti-depresi dan anti-cemas : a. Golongan Trisiklik ( Misalnya clomipramine dan imipramin) b. Monoamin Oxidase Inhibitors ( Misalnya fenelzin) c. Beberapa penelitian menyatakan MAOI lebih efektif dibandingkan obat trisiklik. d. Selective Seratonin Reuptake Inhibitors/SSRIs ( Misalnya fluoksetin) e. Digunakan terutama pada pasien gangguan panic yang disertai dengan depresi. f. SSRIs lebih disukai karena efek sampingnya lebih sedikit dan tidak terlalu menyebabkan ketergantungan fisik. g. Benzodiazepin : Bekerja lebih cepat daripada anti-depresi, tetapi bisa menyebabkan ketergantungan fisik dan menimbulkan beberapa efek samping (Misalnya rasa mengantuk. gangguan koordinasi dan perlambatan waktu reaksi). 7. Terapi Kognitif dan Prilaku

Adalah terapi yang efektif untuk gangguan panik. Dua pusat utama terapi kogmitif untuk gangguan panik adalah instruksi tentang kepercayaan salah dari pasien dan informasi tentang serangan panic. Instruksi tentang kepercayaan yang salah berpusat pada kecenderungan pasien untuk keliru menginterpretasikan sensasi tubuh yang ringan sebagai tanda untuk ancaman serangan panic, kiamat atau kematian. Informasi tentang serangan panik adalah termasuk penjelasan bahwa serangan panik jika terjadi tidak mengancam kehidupan.

G. Aplikasi Proses Keperawatan Pada Klien dengan Obsesif Kompulsif 1. Definisi Obsesif adalah pikiran, perasaan, ide, atau sensasi yang manggangu (intrusif). (Sinopsis Psikiatri : Kaplan dan Sadock, Edisi Ketujuh Jilid Dua : 40) Obsesif adalah isi pikiran yang kukuh (Persistent) timbul, biarpun tidak diketahuinya, dan diketahuinya bahwa hal itu tidak wajar atau tidak mungkin. (Catatan ilmu kedokteran Jiwa : W.F Maramis : 116) Kompulsi adalah pikiran atau prilaku yang disadari, dilakukan, dan rekuren, seperti menghitung, memeriksa, mencari, atau menghindari. (Sinopsis Psikiatri : Kaplan dan Sadock, Edisi Ketujuh Jilid Dua : 40-41) Obsesif meningkatkan kecemasan seseorang, sedangkan melakukan kolpulsi menurunkan kecemasan seseorang. Tetapi jika seseorang memaksa untuk melakukan suatu kompulsi, kecemasan adalah meningkat. Seseorang dengan gangguan Obsesif-Kompulsi biasanya menyadari irasionalitas dari obsesi dan merasakan bahwa obsesi dan kompulsi sebagai ego-distorik. Gangguan Obsesif-Kompulsi dapat merupakan gangguan yang menyebabkan ketidakberdayaan, karena obsesif dapat menghabiskan waktu dan dapat menggangu secara bermakna pada rutinitas normal seseorang, fungsi pekerjaan, aktivitas social yang biasanya, atau hubungan dengan teman dan anggota keluarga. 2. Faktor Predisposisi dan Prepitasi a. Faktor Biologis 1) Neurotransmiter

Suatu disregulasi serotinin adalah terlibat dalam pembentukan gejala obsesif dan kompulsif dari gangguan . Data menunjukkan bahwa obat serotonergik adalah lebih efektif dibandingkan obat yang mempengaruhi neurotransmitter lain. 2) Penelitia Pencitraan Otak 3) Genitika b. Faktor Prilaku c. Faktor Psikososial 1) Faktor Keperibadian 2) Faktor Psikodinamika 3) Pikiran Magis 3. Tanda dan Gejala Obsesif dan Kompulsif memiliki ciri tertentu, secara umum diantaranya : a. Suatu gangguan atau impuls yang memaksa dirinya secara bertubi-tubi dan terus menerus kedalam kesadaran sesorang. b. Suatu perasaan ketakutan yang mencemaskan, yang menyebabkan orang melakukan tindakan kebalikan melawan gagasan ataun impuls awal. c. Obsesif dan kompulsif adalah asing bagi ego (ego-alien) ; yaitu ia dialami sebagai asing bagi pengalaman sseseorang tentang dirinya sebagai makhluk psikologis. d. Tidak peduli bagaimana jelas dan memaksanya obsesif atau kompulsi tersebut, orang biasanya menyadarinya sebagai mustahil dan tiak masuk akal. e. Orang yang menderita akibat obsesif dan kompulsi biasanya merasakan suatu dorongan yang kuat untuk menahannya, tetapi kira-kira separuh dari smua pasien memiliki pertahanan yang kecil terhadap kompulsi. Kirakira 80 % dari semua pasien percaya bahwa kompulsi adalah irasional. 4. Pemerikasaan Status Mental Pada pemerikasaan status mental, pasien gangguan obsesif-kompulsif menunjukkan gejalagg defresif. Gejala tersebut ditemukan pada kira-kira 50 % dari semua pasien. Beberapa pasien gangguan obsesif-kompulsif memiliki karakter/sifat yang mengarahkan pada gangguan keperibadian obsesifkompulsif , tetapi sebagian besar tidak

5. Diagnosa Maslah keperawatan yang sering muncul pada klien dengan masalah utama ; perubahan proses pikir ; obsesif : a. Gangguan aktivitas b. Perubahan Proses pikir ; obsesif-kompulsif c. Gangguan mkonsep diri ; harga diri rendah. d. Tidakefektifnya koping individu. 6. Penatalaksanaan a. Farmakoterafi Pendekatan standar adalah memulai dengan obat spesifikserotonim (sebagai contoh, clomipramine (Anafranil) atau inhibitorambilan kembali spesifik serotonin (SSRI : serotonin-spesifik Reuptake Inhibitor), seperti flouxitine (Prozac) dan selanjutnya pindah kestrategi farmakologis lain jika obat spesifik serotinin adalah tidak efektif. b. Terapi Prilaku Beberapa data menyatakan bhwa efek terapi perilaku lebih bermamfaat dan berlangsung lama jika dibandingkan dengan farmakoterapi. Pendekatan perilaku utama pada gangguan obsesifkompulsif adalah penerapan dan pencegahan respon. Desensititasi menghentikan pikiran, pembanjiran , tetapi implosi, dan pembiasaan tegas juga terlah digumnakan pada pasien gangguan obsesif-kompulsif Dalam terapi perilaku pasien harus benar-benar menjalankannya untuk mendapatkan perbaikan. c. Terapi Lain Terapi keluarga, terapi kelompok, psikoterapi untuk yang sangat kebal terhadap pengobatan terapi elektrokonvulsy (ECT) dan bedah psiko.

H. Daftar Pustaka 1. Yosep Iyus, Konsep Kepribadian, Jawa Barat, Yayasan Persatuan Perawat Nasional Indonesia Akademi Keperawtan PPNI Jawa Barat. 2. http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2009/04/askep-gangguan-obsesifkompulsif.html 3. http://cetrione.blogspot.com/2008/07/gangguan-panik.html

Anda mungkin juga menyukai