Anda di halaman 1dari 14

PENDEKATAN/CORAK TAFSIR MODERN DAN KONTEMPORER: FIQIH

“Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Metodologi Tafsir Modern
Kontemporer”

Dosen Pengampu :
Dr. Solehudin, M.Ag.

Disusun oleh kelompok 4 :

Siti Nuranisa 1201030181 Tasyfi Salimah 1201030199


Siti Salma Samrotul Zanna 1201030186 Wahyu Firmansyah 1201030204
Syaifullah Alfinddio 1201030192 Zalva Dhiaul Mukhtar 1201030210

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDIN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap hamdallah, tugas dan kewajiban kami akhirnya terselesaikan sebagai
manusia yang haus akan ilmu dan ini tidak lepas dari nikmat Allah SWT yang paripurna selalu
mengalir tiada henti, maka oleh sebab itu, dengan secara utuh bersama kita memanjatkan puji
syukur kepada Allah SWT atas kehadiratnya. Selanjutnya shalawat beriring salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar, Al-Amin, Nabi Muhammad ‫ﷺ‬ sebab berkat
perjuangan beliau dan para sahabat agama Islam bisa tersebar hingga ke penjuru dunia sampai

Ucapan terimakasih juga tak lupa dihaturkan penulis kepada dosen pengajar yang tak
pernah bosan memandu kami dalam mata kuliah Metodologi Tafsir Modern Kontemporer serta
saudara sejawat sekalian yang tak hentinya melantunkan semangat dan do’a supaya cepat
rampung tepat pada waktunya makalah kamu.

Kesadaran adanya kekurangan pada makalah yang disusun ini membuat penulis berharap
saudara sejawat dan pengajar berkenan memberikan saran membangun supaya dimasa hadapan
penulis dapat membuat tulisannya menjadi lebih apik dengan terus belajar dari kesalahan sebab
sejatinya kekurangan itu ada pada tiap-tiap manusia,

Bandung, 07 Desember 2022

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN .............................................................................. 4
A. Latar Belakang ............................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
C. Tujuan
Penelitian ............................................................................................................ 4
BAB II : PEMBAHASAN ............................................................................... 5
A. Pengertian Corak Tafsir Fiqih ..................................................................... 5
B. Perkembangan Tafsir Fiqhi Dari Masa Nabi Sampai Masa Munculnya
Mazhab Fiqhiyyah......................................................................................... 6
C. Karakteristik Tafsir Fiqih ............................................................................ 7
D. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Fikih ..................................................... 9
E. Contoh Penafsirannya Tafsir Fiqh ............................................................. 10
BAB III : PENUTUP ..................................................................................... 14
A. Kesimpulan ................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................
15
BAB II
PEMBAHASAN
A. LATAR BELAKANG
Kitab penyempurna dari seluruh kitab ialah Al-Qur’an. hal itu dikatakan bukan
karena bualan semata karena pada kenyataannya Al-Qur’an memang mengandung
banyak aspek, dan aspek-aspek tersebut bukan akhlah, aqidah dan syariah saja, tetapi
mencakup juga banyak perhatian bagi tumbuh-kembangnya sains ilmu pengetahuan.
Manusia diajak untuk selalu dapat berpandangan secara ilmiah oleh Al-Qur’an pada
tiap-tiap gejala yang terjadi di alam semesta dengan memandang, mengeja, menyimak
dengan saksana, memikirkan satu dua hal yang berkorelasi juga mengkaji serta
memahami dari setiap gejala alam, terlebih lagi pada gejala-gejala yang ada
kemungkinan untuk diperhatikan secara khusus, dikembangkan sains dan dijadikan
sebuah manfaat bagi seluruh insan juga dijadikan pemahaman yang genap dan
menyeluruh.
Sebagai intelektual Islam, Ulama berkewajiban untuk memperkenalkan Al-
Qur'an, menyajikan pesan-pesan yang tersimpan di balik untaian kata dari setiap
mutiara kata, dan menjelaskan nilai-nilai tersebut sejalan dengan perkembangan
masyarakat. Agar al-qur’an dapat bekerja seperti yang diharapkan. Ulama
menggunakan berbagai metode untuk mengomunikasikan nilai-nilai ini. Selain itu,
metode pendekatan ditampilkan. Salah satu pendekatan yang sangat penting dalam
memahami al-Qur'an adalah pendekatan fikih atau corak fikih. Dalam makalah ini
penulis mencoba menuliskan tentang corak tafsir fikih.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian corak tafsir fiqih?
2. Bagaimana perkembangan Tafsir Fiqhi dari masa Nabi sampai masa munculnya
mazhab fiqhiyyah?
3. Bagaimana karakteristik corak tafsir fiqih?
4. Bagaimana kekurangan dan kelebihan tafsir fiqih?
5. Bagaimana contoh penafsiran pada tafsir fiqih?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Dapat mengetahui pengertian corak tafsir fiqih
2. Dapat mengetahui perkembangan Tafsir Fiqhi dari masa Nabi sampai masa
munculnya mazhab fiqhiyyah.
3. Dapat mengetahui karakteristik corak tafsir fiqih
4. Dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan tafsir fiqih
5. Dapat mengetahui contoh penafsiran dari tafsir fiqih
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Tafsir Fiqih
Fiqhiy berasal dari kata ‫ فقه‬secara bahasa, fikih berarti paham, dalam pengertian
pemahaman yang mendalam yang menghendaki pengerahan potensi akal. Para ulama
usul fiqh mendefenisikan fiqih sebagai cara mengetahui hukum-hukum Islam (syara’)
yang bersifat amali (amalan) melalui dalilnya terperinci. Sedangkan ulama-ulama fiqih
mendefenisikan sekumpulan hukum amaliyah (yang sifatnya diamalkan) yang
disyari’atkan dalam Islam.
Dari defenisi ulama ushul fiqih terlihat bahwa fiqih itu sendiri melakukan Ijtihat
karena hukum-hukumnya tersebut diistinbatkan dari dalil-dalilnya yang terperinci dan
khusus, baik melalui nash maupun melalui dalalah (indikasi) nash. Semua itu tidak dapat
dilakukan kecuali melalui Ijtihad. Sedangkan defenisi dari para ulama fiqih terlihat
bahwa fiqih merupakan syara’ itu sendiri. Baik hukum itu qath’i (jelas, pasti) atau zhanni
(masih bersifat dugaan, belum pasti), dam memelihara hukum furu’ (hukum kewajiban
agama yang tidak pokok) itu sendiri secara keseluruhan atau sebagian.1
Sedangkan yang dimaksud dengan tafsir Fiqhiy adalah sebagai berikut: Kadar M
Yusuf menyebutkan bahwa, Tafsir fiqhiy yaitu penafsiran al- Qur’an yang bercorak fiqih.
Diantara isi kandungan al- Qur’an adalah penjelasan mengenai hukum, baik ibadah
maupun mu’amalah. Ketentuan-ketentuan hukum tersebut mesti dita’ati oleh manusia.
Dalam penafsiran al- Qur’an ada diantara para mufassir yang lebih tertarik dengan
ayat-ayat hukum tersebut sehingga ayat-ayat hukum mendapat perhatian dan komentar
yang lebih banyak dari ayat lainnya. Bahkan diantara mereka ada yang menulis tafsir
khusus ayat-ayat hukum mendapat perhatian dan komentar dari ayat lainnya. Bahkan
diantara mereka ada yang menulis tafsir khusus ayat-ayat hukum, seperti Muhammad Ali
Ash- Shabuni dengan karyanya Rawai’ul Bayan: tafsir Ayat al-Ahkam Min al- Qur’an
dan al-Jasash dengan karyanya Ahkam al- Qur’an.
Tafsir fiqih ini selain banyak berbincang mengenai persoalan hukum, ia juga
kadang-kadang diwarnai ta’ashub (fanatik) penulisannya terhadap mazhab yang dianut
sehingga coraknya tidak hanya fiqih tetapi juga mazhabi. Hal itu antara lain seperti yang
terlihat dalam buku tafsir ahkam al- Qur’an karya Ibnul ‘Araby. Buku tafsir ini
menggambarkan pembelaan penulisannya terhadap mazhab Maliki yang dianutnya.
Sebagai contoh hal itu dapat dilihat dalam perbincangan mengenai masalah, apakah
bismillah sebagian surat al-Fatihah atau bukan dan hukum membacanya dalam shalat.
Dengan demikian, buku-buku tafsir ini dapat pula dikategorikan kepada corak lain yaitu
Tafsir Fiqh Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.2

1
Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam (Jakarta : Ichtiar Van Hoeve, 1994) jilid. 2, h. 8
2
Kadar M Yusuf, Study AlQuran (Jakarta : Amzah, 2010) h. 161
2. Perkembangan Tafsir Fiqih Dari Masa Nabi Sampai Masa Munculnya Mazhab
Fiqhiyyah
Al-Qur'an yang diwahyukan memuat ayat-ayat hukum tentang kemaslahatan umat
manusia di dunia ini dan di masa yang akan datang. Umat Islam yang ada pada zaman
Rasulullah SAW telah memahami makna kitab suci yang memuat hukum fiqih menurut
nalurinya sebagai orang Arab. Jika merasa kesulitan, mereka langsung bertanya kepada
Nabi Muhammad.
Ketika Rasulullah wafat, para pengikutnya menemukan sesuatu yang baru, yang
mengharuskan umat Islam untuk menentukan hukum mereka sesuai dengan Syariah yang
sebenarnya. Pada awalnya, mereka mengembalikan keputusan hukum Syariah ini kepada
Qur'an Kareem. Mereka melihat, menanamkan ayat-ayat Al-Qur'an ke dalam pikiran dan
hati mereka. Jika memungkinkan bagi mereka, mereka akan meletakkan ayat ini pada
peristiwa baru yang telah ditemukan. Jika tidak memungkinkan maka mereka mengacu
pada hadits Rasulullah SAW. Jika mereka tidak dapat menemukan hukum dalam sunnah
Nabi Muhammad, mereka berijtihad dan menggunakan pendapat mereka menurut
prinsip-prinsip global yang diturunkan dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kemudian mereka
merilis produk sah yang diinginkan.
Di tabi'in, terkadang sesama pembuat undang-undang setuju dengan undang-
undang yang telah dibuat. Terkadang mereka menafsirkan kitab suci secara berbeda.
Mereka membahas hasil reguler dari masalah yang berbeda. Seperti perselisihan antara
Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib tentang iddah ibu hamil yang ditelantarkan
suaminya. Umar bin Khatab berpendapat bahwa iddahnya berlanjut hingga melahirkan.
Ali bin Abi Thalib meyakini iddahnya ditambah empat bulan sepuluh hari sebelum dia
melahirkan. Alasan perbedaan tersebut adalah konflik antara dua teks umum dalam Al-
Qur'an. Allah SWT menetapkan bahwa iddah wanita hamil adalah thalaq suaminya
sampai dia melahirkan, dan iddah kematian suaminya adalah empat bulan sepuluh hari
tanpa ada rinciannya. Ali percaya bahwa kedua ayat tersebut dipraktekkan pada waktu
yang bersamaan. Umar meyakini bahwa ayat tentang iddah wanita menjadi talak adalah
ayat pentagram untuk iddah wanita yang suaminya telah meninggal. Hadits yang
diriwayatkan Sabi'ah nodul Harits al-Islamiyyah memperkuat sudut pandang umrah. Di
sinilah suaminya meninggal. Kemudian lima puluh hari setelah kematian suaminya, dia
melahirkan. Kemudian Rasulullah mengizinkannya menikah.
Perbedaan tersebut di atas berlanjut hingga munculnya keempat imam dan
lainnya. Pada masanya, banyak ditemukan masalah baru, yang dikuasai oleh mereka yang
datang sebelum mereka. Karena masalah ini belum pernah terjadi sebelumnya. Imam
Fiqh mulai membahas masalah baru ini berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. Sumber
hukum selain Al-Qur'an dan As-Sunnah lainnya. Kemudian mereka membuat hukum
yang telah dianalisis oleh pikirannya. Dia yakin itu benar. Dan ikuti argumen dan
instruksinya. Terkadang mereka setuju pada satu masalah. Terkadang berbeda. Sesuai
dengan kecenderungan argumentasi yang ada pada masing-masingnya. Meskipun mereka
berdebat di antara mereka sendiri, tidak terlihat bahwa mereka fanatik terhadap suatu
aliran pemikiran. Nyatanya, mereka semua mengimbau kebenaran, dan mereka semua
mencari hukum yang benar.
Sepeninggal para imam Islam, muncul generasi di belakang mereka, yang
mengikuti madrasah dan fanatik terhadap sekolah tertentu. Itu tidak toleran, di luar
kerangka mencari dan menyerukan kebenaran. Sebagian orang yang mengikuti mazhab
taqlid, mereka melihat perkataan para ulama fiqih seperti melihat teks syari'at. Mereka
melepaskan tujuan serius untuk membantu sekolah pastoral mereka. Mereka melakukan
segala daya mereka untuk membatalkan pendapat yang berbeda dari mereka. Hasil dari
semua ini adalah bahwa jika beberapa taqlid melihat kitab-kitab hukum harus sesuai
dengan pandangan hukum mazhab mereka. (Murni, 2020)

3. Karakteristik Tafsir Fiqih


Sebagai salah satu kecenderungan atau corak dalam penafsiran Al-Qur’an, tafsir fikih
memiliki beberepa karakteristik, diantaranya:
a) Mengutamakan tafsir ayat-ayat yang mengandung hukum fikih. (Al-Ishfahaniy, 2011:
361)
Para mufassir fikih memberikan perhatian besar terhadap ayat yang
membahas tentang hukum fikih. Mufassir fikih yang menafsirkan Al-Qur’an secara
utuh memberikan penafsiran secara panjang dan rinci ketika bertemu dengan ayat-
ayat fikih. Sebagimana yang dilakukan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam tafsirnya
Jami’ li al-Ahkam Al-Qur’an. Ketika menafsirkan surat al-Maidah ayat tiga tetang
makanan yang diharamkan, beliau membaginya menjadi dua puluh enam sub
pembahasan, atau ketika menafsirkan ayat enam yang berbicara tentang wudhu’,
beliau membagi pembahasan menjadi tiga puluh dua sub pembahasan. Sedangkan
bagi mufassir fikih yang tidak menafsirkan Al-Qur’an secara utuh, perhatian mereka
lebih terlihat dengan menafsirkan ayat-ayat yang bernuansa fikih semata dan tidak
membahas selain ayat-ayat fikih.

b) Mufassir berupaya maksimal mengistinbath-kan hukum syar’i dari ayat Al-Qur’an.


Karakteristik mendasar dari tafsir fikih adalah mufassir berusaha
menformulasikan hukum fikih dari ayat yang dibahas, seperti yang dilakukan oleh
Muhammad Ali As-Shabuniy dalam tafsirnya Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam
Min Al-Qur’an. Formulasi hukum bahkan sudah terlihat dari tema-tema yang
diberikan kepada satu atau sekelompok ayat. Seperti tema Ahkam al-wudhu’ wa al-
tayammum terhadap ayat ke-6 surat al-Maidah, tema ta’addud al-zaujat terhadap
empat ayat pertama surat an-Nisa’. Dalam setiap menafsirkan ayat, setelah
menjelaskan analisa lafaz, makna secara umum, dan asbab al-nuzul, pada bagian
akhir beliau menjelaskan tema al-ahkam al-syar’iyyah. Pada bagian tersebut, ia
menjelaskan berbagai hukum-hukum yang dapat disimpulkan dari ayat yang sedang
dibahas. Dengan demikian, para mufassir dalam penafsirannya tidak hanya berperan
sebagai mufassir, tetapi langsung memerankan diri sebagai seorang mujtahid fikih.
c) Banyak menggunakan manhaj fikih dalam penafsiran Al-Qur’an
Mayoritas mufassir fikih merupakan seorang mujtahid. Konsekuensinya,
manhaj fikih dalam menganalisa dan mengambil kesimpulan banyak digunakan untuk
menafsirkan Al-Qur’an, seperti manhaj fikih tentang manthuq dan mafhum, ‘am dan
khash, mutlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, kehujjahan khabar ahad, dan
metode-metode fikih lainnya. Al-Jashshas, dalam tafsinya Ahkam Al-Qur’an
menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 232, menyimpulkan bahwa seorang gadis boleh
menikah tanpa wali atau tanpa izin wali. Kesimpulan ini dipengaruhi oleh manhaj
mazhab Hanafiy tentang kehujjahan hadis ahad.

d) Perbedaan tafsir fikih sejalan dengan perbedaan metode fikih dan ushul fikih yang
dipilih oleh mufassir.
Perbedaan tafsir fikih yang terdapat di dalam kitab-kitab tafsir fikih sangat
dipengaruhi oleh perbedaan metode fikih yang digunakan para mufassir dalam
masing-masing mazhabnya. Seperti perbedaan penafsiran terhadap firman Allah Swt
Surat al-A’raf ayat 204 tentang kewajiban mendengar dan diam pada saat mendengar
bacaan Al-Qur’an.
Dalam menafsirkan ayat ini, mufassir berbeda dalam menyimpulkan hukum
makmum membaca bacaan shalat di saat imam membaca alfatihah dan ayat. Al-
Jashshash dalam tafsirnya menjelaskan bahwa makmum wajib mendegar bacaan
imam dan diam, tidak membaca alfatihah dan ayat. Hal ini sejalan dengan mazhab
Hanafiy yang berpendapat makmum tidak wajib membaca bacaan di belakang imam.
(Najm Abdun Nashir Al-Makdamiy, 2013: 153) Imam al-Razi dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa makmum wajib membaca surat Alfatihah. Hal ini sejalan dengan
mazhab Syafi’i. Beliau beralasan bahwa ayat tersebut ditakhshish oleh sabda
Rasulullah SAW, “tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Alfatihah”.
Perbedaaan ini terjadi akibat perbedaan manhaj fikih, khususnya tentang kebolehan
khabar ahad dalam men-takhshish ayat yang bersifat umum. Alhasil, apabila seorang
mufassir yang juga sekaligus ahli fikih berpendapat tentang kehujjahan dalalah Al-
Qur’an, khabar ahad dan ijma’, maka kesimpulan penafsirannya akan berbeda
dengan mufassir yang secara fikih tidak sependapat dengan kehujjahan dalalah Al-
Qur’an, khabar ahad dan ijma’.

4. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fikih


A. Kelebihan Tafsir Fikih
Meskipun peluang terjadinya perbedaan pendapat dalam melakukan penafsiran al-
Qur’an melalui pendekatan fikih sangatlah besar, namun penafsiran melalui pendekatan
ini memiliki bebarapa kelebihan, diantaranya:
1) Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari’at yang
terdapat dalam al-Qur’an, hal ini menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa
sesungguhnya al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang bersifat
transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi ia juga menjelaskan tentang aspek-
aspek syari’ah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syari’ah atau hukum bukan
semata-mata merupakan produk fuqaha’ akan tetapi telah menjadi bagian dari nash-
nash al-Qur’an bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan hidup manusia
baik individu maupun sosial.
2) Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk mempermudah
manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub
di dalam al-Qur’an setelah terjebak ke dalam perbedaan mazhab dogmatis serius yang
bersifat teoritis.
3) Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan fikih meskipun memberikan peluang terjadinya
perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetap memberikan sumbangsih
pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan
baik individu maupun sosial tetap harus tunduk kepada al-Musyarri’ al-
Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang mulia kemudian kepada pembawa wahyu dan
risalah yang kemudian dikenal sebagai al-musyarri’ ats-Tsany ba’da
Allah (Rasulullah Saw) melalui Sunnah beliau demi kemaslahatan manusia baik di
dunia maupun di akhirat.
4) Tafsir fikih berusaha untuk membumikan al-Qur’an lewat pemahaman ayat-ayat
qauliyah kepada ayat-ayat kauniyyah guna meberikan penyadaran, pemberdayaan dan
advokasi terhadap permasalahan kehidupan manusia.
5) Tafsir fikih kendatipun beragam tetap memberikan kekayaan bagi khazanah
intelektual muslim dunia, sebab tanpa adanya penafsiran al-Qur’an dalam bentuk ini,
maka umat Islam secara khusus dan manusia secara umum akan kehilangan akar
hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.

B. Kelemahan Tafsir Fikih


Hasil olah pikir manusia biasa tidak akan pernah lepas dari berbagai macam
bentuk kekurangan dan kelemahan, sebab sudah menjadi bagian dari suratan takdir
bahwa manusia adalah makhluk yang lemah bisa benar dan biasa salah. Demikian juga
adanya dengan penafsiran al-Qur’an yang meskipun landasan penafsirannya adalah
untuk menemukan saripatih dari perkataan Yang Maha Benar secara mutlak namun
dilakukan oleh manusia, maka pasti akan terdapat kelemahan. Dan diantara kelemahan
penafsiran al-Qur’an melalui pendekatan fikih adalah:
1) Tafsir fikih cenderung terjebak pada fanatik mazhaby sehingga memunculkan sikap
ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab tertentu dan menafikan
keabsahan mazhab-mazhab lainnya. Sikap ini terwariskan kepada berpulu-puluh
generasi hingga saat ini.
2)  Tafsir fikih melakukan reduksi pada satu aspek tertentu dari al-Qur’an (penafsiran
parsial) padahal al-Qur’an meliputi akidah dan syariah, konsep dan sistem, teori dan
praktek  yang membutuhkan pemahaman dan penafsiran secara universal.
3)  Tafsir fikih lebih mengedepankan penafsiran al-Qur’an dengan menghubungkannya
pada konteks sosial tertentu dan cenderung mengabaikan nilai-nilai universal hukum-
hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an (rahmatan li al-’alamin). Sebab tidak semua
bentuk permasalahan yang telah terjawab pada masa lampau masih berlaku pada masa
sekarang, sehingga dibutuhkan penafsiran terhadap ayat-ayat hukum al-Qur’an yang
sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini tanpa menafikan kerja-kerja yang bersifat
analogi terhadap masa lampau dan berusaha untuk tidak terjebak pada perbedaan
teoritis mazhaby.3

5. Contoh Penafsiran Tafsir Fiqih


Salah satu contoh penafsiran yang menggunakan pendekatan Fiqih adalah
penafsiran Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab nya yaitu Tafsir Al-Munir. Salah satu contoh
nya yaitu pada Surat Al-Maidah ayat 6 :

ۤ
ِ ِ‫ٰيـاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ۤوْ ا اِ َذا قُ ْمتُ ْم اِلَى الص َّٰلو ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َواَ ْي ِديَ ُك ْم اِلَى ْال َم َرا ف‬
‫ق َوا ْم َسحُوْ ا بِ ُرءُوْ ِس ُك ْم َواَ رْ ُجلَ ُك ْم اِلَى‬

‫ضى اَوْ ع َٰلى َسفَ ٍر اَوْ َجٓا َء اَ َح ٌد ِّم ْن ُك ْم ِّمنَ ْالغَٓاِئ ِط اَوْ ٰل َم ْستُ ُم النِّ َسٓا َء‬ ٰۤ ْ‫ْالـ َك ْعبيْن ۗ وا ْن ُك ْنتُم ُجنُبًا فَا طَّهَّرُوْ ا ۗ وا ْن ُك ْنتُم مر‬
َّ ْ َِ ْ َِ ِ َ
‫هّٰللا‬
ٍ ‫ص ِع ْيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوْ ا بِ ُوجُوْ ِه ُك ْم َواَ ْي ِد ْي ُك ْم ِّم ْنهُ ۗ َما ي ُِر ْي ُد ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِّم ْن َح َر‬
‫ج‬ َ ‫فَلَ ْم ت َِج ُدوْ ا َمٓا ًء فَتَيَ َّم ُموْ ا‬

َ‫و َّٰلـ ِك ْن ي ُِّر ْي ُد لِيُطَه َِّر ُك ْم َو لِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهٗ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬

Artinya : "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan


sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah.
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan
(debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu
dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur." (QS. Al-Ma'idah : 6)

Ketika membaca dan memahami ayat ini, maka kesan pertama yang akan
diperolah adalah secara umum ayat ini merupakan dalil untuk bersuci, anjuran untuk
mandi (bersuci dari hadas besar), wudhu (bersuci dari hadas kecil), dan juga tayammum.
Meskipun terdapat pendapat yang menyatakan bahwa ayat ke-6 dari surah al-Maidah ini
merupakan ayat tentang anjuran bertayammum ketika hendak melaksanakan salat namun
tidak memperoleh air untuk berwudhu. Pendapat ini berdasarkan pada hadis yang
diriwayatkan Imam al-Bukhari dari Aisyah, di mana suatu waktu Rasulullah saw. sedang
dalam perjalanan menuju Madinah bersama Aisyah dan sahabat yang lain. Sehingga
ketika waktu Subuh telah datang Rasulullah kemudian mencari air, namun tidak
menemukannya. Lalu turunlah ayat ke 6 dari surah al-Maidah ini. Hadis inilah yang
dianggap sebagai sebab atau kronologi turunnya surah ayat diatas. Al-Wahidi juga
3
Hasan Hanafi, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, hal 96
menuturkan hadis tersebut ketika membahas surah al-Nisa ayat 43 dalam kitabnya Asbab
al-Nuzul.
Jadi, QS. al-Maidah ayat 6 ini merupakan ayat anjuran bertayammum bukan ayat
disyariatkannya berwudhu. Akan tetapi, meskipun demikian di dalamnya banyak
menguraikan terkait hal-hal wudhu, karena memang tayammum adalah suatu alternatif
bersuci ketika wudhu tidak memungkinkan untuk dikerjakan. Dan bagaimana mungkin
ayat ini menjadi dalil syarat wudhu sementara kewajiban shalat sudah turun jauh dari
sebelumnya. Dalam salah satu hadist sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari
Muslim,Nabi saw menyatakan bahwa :

“Allah swt. tidak menerima salat salah seorang dari kalian ketika ia dalam
keadaan hadas hingga ia berwudhu terlebih dahulu”.

Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa setiap shalat harus diawali dengan wudhu,
begitupula dengan shalat Nabi saw. Dari karena inilah dapat dipahami bahwa praktek
wudhu telah dijalankan oleh Rasulullah sebelum turunya ayat ini. Imam al-Suyuti juga
menegaskan sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili bahwa berlakunya
kewajiban berwudhu bersamaan dengan berlakunya kewajiban shalat di Mekah
sementara ayat ini termasuk ayat Madaniyah.
Mengingat ayat-ayat al-Qur’an mengandung cakupan makna yang luas sehingga
membuka ruang perbedaan dalam menginterpretasikannya. Hal yang sama terjadi pada
QS. al-Maidah ayat 6 ini, yang berkonsekuensi pada praktek ibadah umat Islam.
Perbedaan dalam menjalankan praktik wudhu terjadi karena berbeda pemahaman dalam
menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan wudhu, seperti mengusap kepala apakah
sebagiannya atau seluruhnya.
Pada permulaan ayat ini diawali dengan seruan kepada orang-orang yang
beriman, suatu isyarat bahwa kesan dan pesan yang dimuat dalam ayat itu secara khusus
berkaitan dengan perbuatan orang-orang beriman. Pada ayat ini juga mengandung
perintah yang diungkapkan dalam bentuk fi‘il al-Amr, khusus terkait dengan wudhu
terdapat dua kata perintah yakni basuhlah dan usaplah. Dari dua perintah ini
terhimpun dalam satu konsep yakni konsep wudhu, dan perintah yang kedua merupakan
tahap rangkaian dari perintah yang pertama. Dalam pembahasan amr (perintah) terdapat
beberapa kaidah-kaidah yang dapat diaplikasikan pada ayat-ayat yang mengandung
perintah, salah satu diantaranya adalah, yang berbunyi :

“Apabila perintah bergantung pada syarat atau sifat maka perintah itu
menghendaki pengulangan”.

Dilihat dari kaidah ini, dapat dirumuskan bahwa perintah memabasuh dan
mengusap dalam ayat 6 ini bergantung pada syarat, yakni pada ayat yang berbunyi ‫اِ َذا قُ ْمتُ ْم‬
‫ اِلَى الص َّٰلو ِة‬yang artinya “apabila kamu hendak berdiri melaksanakan shalat”. Oleh karena
itu, perintah pada ayat ini bergantung pada syarat maka konsekuensinya adalah perintah
memabasuh dan mengusap ini menghendaki pengulangan. Maksudnya yaitu jika
seseorang ingin mengerjakan shalat dan ia dalam keadaan berhadast maka ia harus
memabasuh dan mengusap hal-hal yang disebutkan dalam ayat ini, seperti tangan,
muka/wajah, kepala dan kaki (berwudhu). Dari ayat ini juga disebutkan beberapa hal
yang harus dibasuh/diusap ketika berwudhu atau yang biasa disebut dengan fardu wudhu,
di antaranya yaitu membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai siku, mengusap
kepala dan membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
Wahbah Al-Zuhaili juga membahas tentang mengusap kepala, apakah mengusap
kepala secara keseluruhan ataukah hanya sebagian saja. Adapun potongan ayat ‫َوا ْم َسحُوْ ا‬
‫ بِ ُرءُوْ ِس ُك ْم‬yang artinya “dan usaplah kepalamu” menjadi bagian yang diperselisihkan oleh
para ulama. Hal ini terjadi karena perbedaan penilaian terhadap huruf ‫ ب‬yang mendahului
kata ‫ بِ ُرءُوْ ِس ُك ْم‬ada yang menilai sebagai ba li al-Tab‘id yakni bermakna “sebagian”, seperti
ulama Syafi‘iyah dan ulama Hanafiyah sehingga konsekuensi hukumnya adalah
mengusap sebagian kepala dianggap sudah cukup sebagai bentuk pengakomodiran
terhadap pengertian yang ditunjukkan oleh huruf ba. Ada juga yang menilai sebagai ba li
al-Zaidah sekedar tambahan, seperti ulama Malikiyyah dan ulama Hanbaliyah sehingga
pemahaman dari potongan ayat tersebut ialah harus mengusap seluruh kepala sebagai
bentuk kehati-hatian. Adapun faedah pembacaan jar ‫ َواَرْ ُجلَ ُك ْم‬atas dasar pertimbangan al-
Jiwar adalah memberikan penekanan atau penggaris bawahan tentang perlunya
menghemat dalam penggunaan air ketika hendak mencuci kaki, sehingga cukup dengan
mengusap saja.
Alasan ini secara khusus disebutkan dalam konteks pembasuhan kaki karena pada
saat pembasuhan kaki biasanya sangat rawan terjadi penggunaan air secara berlebihan
sebab kaki memang merupakan anggota tubuh yang paling kotor. Akan tetapi, dari
pembacaan jar ‫ َواَرْ ُجلَ ُك ْم‬juga dapat dipahami bahwa apabila sesorang mengenakan khuff
(semacam kaus kaki yang terbuat dari kulit), dan ketika mengenakannya ia dalam
keadaan suci. Ketika ia mengalami hadas, lalu ia berwudhu maka ia boleh hanya
mengusap kedua khuff-nya tanpa melepaskan dari kakinya sebagai ganti pembasuhan
kedua kaki.4

4
Hamzah, AA (2022). MASALAH WUDHU : ( KAJIAN NASKAH TAFSIR AL-MUNIR KARYA WAHBAH
AL-ZUHAILI PADA QS AL-MAIDAH/5:6). PAPPASANG ,
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Tafsir fiqhiy yaitu penafsiran al- Qur’an yang bercorak fiqih. Diantara isi
kandungan al- Qur’an adalah penjelasan mengenai hukum, baik ibadah maupun
mu’amalah. Ketentuan-ketentuan hukum tersebut mesti dita’ati oleh manusia. Ketika
Rasulullah wafat, para pengikutnya menemukan sesuatu yang baru, yang mengharuskan
umat Islam untuk menentukan hukum mereka sesuai dengan Syariah yang sebenarnya.
Pada awalnya, mereka mengembalikan keputusan hukum Syariah ini kepada Qur'an
Kareem hingga pada akhirnya muncul generasi di belakang mereka, yang mengikuti
madrasah dan fanatik terhadap sekolah tertentu. Itu tidak toleran, di luar kerangka
mencari dan menyerukan kebenaran. Sebagian orang yang mengikuti mazhab taqlid,
mereka melihat perkataan para ulama fiqih seperti melihat teks syari'at.
Tafsir fikih memiliki beberepa karakteristik, diantaranya mengutamakan tafsir
ayat-ayat yang mengandung hukum fikih, mufassir berupaya maksimal mengistinbath-
kan hukum syar’i dari ayat Al-Qur’an, banyak menggunakan manhaj fikih dalam
penafsiran Al-Qur’an, dan perbedaan tafsir fikih sejalan dengan perbedaan metode fikih
dan ushul fikih yang dipilih oleh mufassir. Kelebihan Tafsir Fikih diantaranya
memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari’at yang
terdapat dalam al-Qur’an, upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan
untuk mempermudah manusia, dan tafsir fikih berusaha untuk membumikan al-Qur’an
lewat pemahaman ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat kauniyyah. Sedangkan
kelemahannya diantaranya tafsir fikih cenderung terjebak pada fanatik mazhaby sehingga
memunculkan sikap ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab tertentu,
dan tafsir fikih lebih mengedepankan penafsiran al-Qur’an yang cenderung mengabaikan
nilai-nilai universal hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Murni, D. (2020). TAFSIR DARI SEGI CORAKNYA (Lughawi, Fiqhi Dan Ilmiy). Jurnal
Syahadah, 73-76.
Maizal, Arif Zunzul. (2020). Tafsir Fikih dalam Khazanah Penafsiran Al-Quran. Jurnal Ilmiah
Syari’ah. 19 (1) : 124-132.

Anda mungkin juga menyukai