Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KELOMPOK 2

Takhrij Al- Hadits


Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: Dr. Mohammad Ali Wafa M.Ag

Disusun Oleh
Ivan Nurholis ( 11200440000096 )
Latifah ( 11200440000098 )
Muhammad Syifa’i ( 11200440000110 )
Ainun Nabila ( 11200440000129 )
At Bastian Zuaini ( 11200440000130 )
Muhammad Sarman ( 11200440000133 )

JURUSAN HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Takhrij Al-Hadits” ini tepat
pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas bapak Dr.
Mohammad Ali Wafa M.Ag. pada Mata Kuliah Ulumul Hadits. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Takhrij Al-Hadits bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Mohammad Ali Wafa M.Ag. yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kami
mengenai Takhrij Al-Hadits.

Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Tangerang Selatan, 09 November 2020

Kelompok 2

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I Pendahuluan 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penulisan 5
BAB II Landasan Teori 6
BAB III Pembahasan 9
3.1 Pengertian Takhrij Al-Hadits 9
3.2 Sejarah Takhrij Al-Hadits 10
3.3 Urgensi Takhrij Al-Hadits 11
3.4 Faktor Pendorong Munculnya Takhrij Al-Hadits 14
3.5 Metode dan Langkah – Langkah Kegiatan Takhrij Al-Hadits 15
3.6 Kegunaan Takhrij Al-Hadits 19
BAB IV Penutup 21
4.1 Kesimpulan 21
4.2 Saran 21
Daftar Pustaka 22

iii
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Hadits sebagai surnber hukum yang kedua setelah al-Qur'an mempunyai peranan penting
dalam membina dan melestarikan ajaran atau syari'ah Islam. Ia bukan saja merupakan kata-
kata atau pesan atau tindakan yang lahir dari seorang Nabi, utusan Tuhan, tetapi ia juga
diberi otoritas untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat al- Qur'an yang masih sukar dipahami
dan bahkan dapat membuat hukum baru yang tidak dimuat dalam al-Qur'an.
Ajaran atau syari'ah Islam yang kini telah diterima dan diamalkan oleh hampir seluruh
umat islam di dunia, telah membuktikan adanya otoritas hadits nabi yang sangat efektif
dalam menjelaskan, menginformasikan, dan menyebarkan pengertian-pengertian Al-Qur'an
di tengah-tengah umat manusia. Tidak sedikit buku-buku ilmu pengetahuan yang berkenaan
dengan agama Islam yang ditulis oleh para ahli atau ulama dalam setiap uraiannya selalu
mengacu atau menyandarkan dalil dari hadits-hadits Nabi.
Otoritas yang demikian penting diberikan kepada hadits, tidak berarti setiap adanya
hadits yang tersebar dalam buku-buku teks agama harus diterima menjadi landasan hukum
yang sudah kuat (valid) tanda diadakan penelitian baik dari segi sanad atau matannya secara
mendalam ilmu yang berfungsi untuk meneliti kevalidan hadis baik dari segi sanad ataupun
matannya adalah ilmu takhrij al-hadits.

1.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan judul makalah ini “TAKHRIJ AL HADITS”, maka rumusan masalah yang
dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Apa pengertian Takhrij Al-Hadits ?


2. Bagaimana sejarah Takhrij Al-Hadits ?

4
3. Bagaimana keurgensitasan Takhrij Al-Hadits ?
4. Apa yang menjadi faktor pendorong munculnya Takhrij Al-Hadits ?
5. Bagaimana metode dan langkah – langkah kegiatan Takhrij Al-Hadits ?
6. Apakah kegunaan Takhrij Al-Hadits ?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengertian dari Takhrij Al-Hadits.


2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Takhrij Al-Hadits.
3. Untuk mengetahui bagaimana keurgensitasan Takhrij Al-Hadits.
4. Untuk mengetahui apa yang menjadi faktor munculnya Takhrij Al-Hadits.
5. Untuk mengetahui bagaimana metode dan langkah-langkah kegiatan Takhrij Al-
Hadits.
6. Untuk mengetahui apa saja kegunaan Takhrij Al-Hadits.

5
BAB II

Landasan Teori

Umat Islam pada umumnya mengetahui bahwa Hadits adalah bagian dari salah satu
sumber hukum Islam yang ke-2 (dua) setelah al-Quran. Hadits yang dimaksud disini ialah istilah
yang biasa disinonimkan sebagai sunnah, karena mayoritas cendikiawan Hadits mendudukkan
pengertiannya pada nomenklatur kabar atau berita yang berhubungan dengan sabda, perbuatan,
taqrir dan segala hal yang berkaitan dengan sifat dan keadaan Nabi Muhammad. Sebenarnya
istilah Hadits ini mempunyai banyak padanan bentuk yang mirip seperti khabar dan atsar,
meskipun pada terminologi para ahli mengenai sunnah, hadits, khabar, dan atsar masih dalam
kesimpangsiuran. Ragam terminologi ini disebabkan oleh kompetensi disiplin ilmu pengetahuan
para ahli. Misalnya doktrin hadits/sunnah Nabi Muhammad dalam pandangan muhadditsin
menempatkan Nabi Muhammad sebagai model yang pertama untuk dijadikan contoh baku atau
khas sebagai sosok ideal (uswah hasanah), sementara ushuliyyun lebih menempatkan Nabi
Muhammad sebagai sosok peletak dasar fondasi filsafat ke-Islaman yang kemudian
dikembangkan sila tersebut oleh para mujtahid setelahnya sesuai dengan berkembangnya zaman
dan fuqaha menempatkan Nabi Muhammad sebagai aktor percontohan dalam setiap
perbuatannya (action) yang mempunyai implikasi hukum bagi para mukallaf di luar hukum
fardhu dan wajib (walam yakun min babul fardhu wa laa al-wajib).

Perbedaan terminologi oleh kualifikasi keilmuan tertentu adalah hal yang paling utama
menyebabkan perbedaan pandangan dalam beragama (religious knowledge), namun akan
menjadi regresif jika masing-masing ahli mengklaim bahwa pemahamannya memiliki otoritas
kebenaran mutlak (religion), sehingga wajar bahwa pengikutnya-pun mengamalkan ajaran atau
tradisi saling klaim kebenaran. Hal inilah yang dimaknai oleh soroush sebagai kegagalan
revivalis dan reformis dalam memahami agama dan nalar beragama, berikut pernyataannya:
“The missing link in the endeavors of the revivalists and reformers of the past is the distinction
between religion and religious knowledge. They failed to recognize religious knowledge as a
variety of human knowledge. This neglect caused significant inconsistencies in their judgments
and allowed the desired solution to slip through their fingers”

6
Penting kiranya jika ingin menjelaskan permasalahan dewasa ini, dengan melihat bahwa
para ahli yang menempatkan posisi terminologi hadits-pun berbeda-beda. Hanya saja perlu untuk
di dewasakan kembali bahwa Hadits yang dipahami merupakan bagian daripada corak nalar
dalam beragama, sehingga perlu untuk terus dikontekstualisasikan terus menerus sesuai konteks
zaman. Hal yang menarik dalam penjelasan soroush, antara lain: “yes it is true that sacred
scriptures are (in the judgment of followers) flawless; however, it is just as true thet human
beings’ understanding of religion is flawed. Religion has not faltered in articulating its
objectives and its explanations of good and evil; the defect is in human beings’ understanding of
religion’s intend. Religion is no need of reconstruction and completion. Religious knowledge
and insight that is human and incomplete, however, is in constant need of reconstruction.
Religion is free from cultures and unblemished by the artifacts of human minds, but religious
knowledge is, without a shadow of doubt, subject to such influences”.

Secara garis besar digambarkan bahwa agama itu suci-ukhrawi dan dan pemahaman
manusia tentang agama itu bercacat (profanduniawi), sehingga dengan jelas soroush menyatakan
bahwa agama tidak ragu dalam menjelaskan maksudnya. Sehingga penekannya bahwa agama
tidak perlu di rekonstruksi dan disempurnakan, justru nalar beragama yang bersifat manusiawi
dan tidak sempurna yang terus-menerus perlu rekonstruksi sesuai kebutuhan zaman. Sehingga
layak sekali dalam kajian mengenai ilmu hadits perlu terus dikembangkan sesuai kebutuhan
zaman, ilmu hadits yang dibahas pada tulisan ini ialah mengenai Takhrij al-Hadits dalam lingkup
perkembangan-penggambaran teori dan praktik.

Praktik tahkhrij hadits sebetulnya sudah dilakukan pada awal perkembangan ‘ulum
alhadits, dengan hanya menelusuri letak hadits pada sumber literatur atau kitab yang disusun
oleh para kolektor hadits. Selebihnya mengenai penelitian mendalam tentang kualitas hadits
(sanad-matan) tidak terlalu dilakukan oleh ulama terdahulu. Disini peneliti akan memberikan
gambaran mengenai bagaimana kegiatan takhrijul hadits.

Takhrij hadits merupakan ilmu untuk mengetahui dan melacak asal-usul para perawi
hadits dari sisi hubungannya dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadits atau sebuah
periwayatan hadits. Takhrij hadits baru muncul sebagai ilmu yang berdiri sendiri pada abad-20,
meskipun secara praktik sudah dilakukan oleh para ulama jauh sebelum abad-20. Perlu dicatat
bahwa hadits memiliki dinamika tersendiri terkait keontetikanya, karena memang sejarah telah

7
banyak membuktikan di awal-awal Islam berkembang telah banyak didapati hadits palsu.
Berbeda dengan al-Quran, diantara perbedaannya bahwa sifat al-Quran merupakan mutawattir,
qat’iyull wurud, dijaga otentitasnya oleh Allah Swt, terkodefikasi, apalagi secara kuantitas lebih
sedikit dibandingkan Hadits. Menurut Rahman diskurusus hadits digolongkan menjadi 2 (dua)
macam, seperti: 1) diskursus seputar otoritas hadits sebagai hujjah dalam syariat Islam, dan 2)
kajian daripada keotetikan hadits itu sendiri (sahih atau tidaknya Hadits itu sendiri). Hal ini yang
menjadi penting bagi umat Islam agar bisa terhubung dan terungkap pesannya secara historitas
yang berasal dari Nabi Muhammad Saw.1

BAB III

1
Abadi, Al-Fairus. al-Qamus al-Muhit, Jilid I, Mesir: al-Maimunah, 1313H.

8
Pembahasan

3.1 Pengertian Takhrij Al-Hadits

Secara etimologis al-Takhrij berarti perkumpulan dua persoalan yang bertentangan dalam
satu hal.2 Kata al-Takhrij mengandung baberapa pengertian yang populer. Pertama, berarti al-
istinbat (hal mengeluarkan), kedua, berarti alTadrib (hal melatih atau hal membiasakan) dan
ketiga, berarti al-Taujih (hal memperhadapkan). 3 Secara terminologis Mahdi menyebutkan
pengertian al-takhrij menurut ahli hadis, yaitu bagaimana seseorang menyebutkan dalam kitab
karangannya suatu hadits dengan sanadnya sendiri. Apabila dikatakan: Hadza al-hadits akhrajahu
fulanun, maka berarti pengarang menyebut suatu hadits berikut sanadnya pada kitab yang
dikarangnya. Menurut para Muhadditsin, kata al-Takhnj memiliki arti yang sama dengan kata al-
lkhraj. Dengan demikian, pemyataan: Hadza al-Hadits Akhrajahu Fu/anun adalah sama dengan:
Hadza al-Hadits Kharrajahu Fulanun.

Al-Takhrij menurut bahasa berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu
yang satu.4 Takhrij hadis adalah penelusuran atau pencarian hadits dari berbagai kitab hadits
sebagai sumber asli dari hadits yang bersangkutan yang di dalam itu ditentukan secara lengkap
matan dan sanad hadits yang bersangkutan. Dalam arti lain bahwa takhrij adalah mengemukakan
hadits kepada orang banyak dengan menyebut para perawinya dalam sanad yang telah
menyampaikan hadits itu dengan metode periwayatan yang ditempuh. 5 Menurut Syuhudi Ismail,
metode takhrij hhadits ada dua macam yaitu metode takhrij al hadits bi al-Lafzh (penelusuran
hadits melalui lafazh), metode Takhrij al-hadits bi al-Maudhu (pencarian hadits melalui topik
masalah).6 Jadi tujuan utama men-takhrij hadits adalah untuk mengetahui sumber asal hadits
yang di-takhrij serta keadaan hadits tersebut dari segi diterima dan ditolak.

3.2 Sejarah Takhrij Al-Hadits

2
Malunud Thahhan, 1983:9.
3
M. Syuhudi Ismail, 1987:41.
4
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits, Jakarta, Bumi Aksara, cet. lll, 2007, h. 244.
5
Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta, Bulan Bintang, 1992, h. 43.
6
M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1991, h.17.

9
Uraian mengenai munculnya ilmu al-takhrij ini tidak akan dikemukakan secara luas dan
mendalam. Uraian ini hanya akan menggambarkan secara sekilas pintas sejarah ilmu al-takhrij
tersebut. Karena buku yang mengupas hal tersebut (secara lebih lengkap) sangat terbatas dan
sukar dijumpai. Kecuali itu adalah buku yang ditulis oleh Mahmud Thahhan telah dapat
menguraikannya secara singkat dan padat. Oleh karena itu, dalam menjelaskan sejarah
munculnya ilmu Takhrij Al-Hadits ini hanya berpedoman kepada buku karya Mahmud Thahhan
yang berjudul Ushul al-Takhnj wa Dirasah al-Islamiyyah.

Menurut Mahmud Tahhan istilah Ilmu al-takhrij, sebagai yang telah populer sekarang ini
pada mulanya tidak dibutuhkan oleh para ulama dan peneliti hadis. Mereka, para ulama, tidak
merasa penting dengan ilmu altakhrij karena pengetahuan yang dimilikinya tentang sumber-
sumber hadis sangat luas dan mantap. Hubungan para ulama dengan sumber hadis yang aslinya,
sangat melekat sehingga ketika mereka hendak membuktikan kevalidan hadis cukup menjelaskan
tempat atau sumbernya dalam berbagai kiiab sunnah. Mereka mengetahui metode dan cara-cara
buku sumber hadis itu ditulis sehingga dengan potensi kemampuannya, mereka tidak merasa
kesulitan untuk menggunakan dan mencari sumber dalam rangka mengeluarkan hadis. Apabila di
hadapan para ulama dibacakan suatu hadis yang berasal bukan dari buku sumber hadis, maka
dengan mudah mereka mampu menjelaskan sumber aslinya.

Setelah melewati beberapa kurun waktu, ketika para ulania hadis merasa kesulitan untuk
mengetahui hadis dari sumber-sumber aslinya. Terutama, setelah semakin berkembangnya karya
- karya besar mengenai ilmu pengetahuan syari'ah, seperti dalam mengetahui hadis-hadis yang
tersebar dalam kitab-kitab fikih, tafsir, dan sejarah, maka para ulama bersemangat untuk
melakukan takhrij terhadap kitab-kitab tersebut. Upaya yang mereka lakukan adalah dengan
menjelaskan atau menunjukkan hadis kepada sumber aslinya, menjelaskan metodenya, dan
menentukan kualitas hadis sesuai dengan kedudukannya.

Dari semangat yang dipacu oleh para ulama tersebut di atas, muncullah kitab-kitab
takhrij. Di antara kitab-kitab takhrij hadis yang paling terkenal adalah kitab Takhrij al-Fawaid al
Muntakhabah al-Shahah, karya Abu Qasim Al-Husaini, kitab Takhrij alFawaid al-Muntakhabah
al-Shahah wa al-Gharaib, karya Abi al- Qasim alMal1rawani, kitab Takhrij Hadis alMuluuJzab,
karya Muhammad bin Musa al-Hazimi al-Syafi 'i, dan kitab Al-Muhndzdzab merupakan kitab
fikih bermadzhab Syafi'i ditulis oleh Abi Ishak al-Sairazi.

10
Sebagai konsekuensinya telah berkembang kitab-kitab takhrij hingga mencapai berpuluh-
puluh karya ulama mengenai takhrij, para ulama telah memberikan sumbangan besar dalam
menyusun berbagai kitab yang berfungsi mentakhrij hadis-hadis Nabi yang suci. Upaya
cemerlang para ulama ini berhasil menutup jurang pengetahuan mereka di dalam menjelaskan
berbagai karya mengenai ilmu pengetahuan hadis. Adapun buku atau kitab yang pertama kali
ditakhrij adalah kitab al-Khatib al-Baghdadi oleh al-Syarif Abi alQasim dengan kitabnya: Al-
Fuwaid alMuntakhobah al-Shahah ma alGharaib, karya Abial-Qasim al-Mahrawani.7

3.3 Urgensi Takhrij Al-Hadits

Bagi setiap peneliti hadis, Takhrij merupakan kegiatan penting yang tidak boleh diabaikan.
Tanpa melakukan kegiatan takhrij, sesorang peneliti hadis akan kehilangan wawasan untuk
mengetahui eksistensi hadis dari berbagai sisi. Sisi-sisi penting yang perlu diperhatikan oleh si
peneliti hadis dalam hubungannya dengan takhrij ini meliputi pada kajian asal usul riwayat.
Berbagai riwayat yang telah meriwayatkan hadis itu, dan ada atau tidak adanya korroborasi
(syahid atau muttabi') daIam sanad bagi hadis yang ditelitinya.

Dalam hubungannya dengan urgensi takhrij ini, para ahli tidak dalam satu versi dalam
menjelaskannya. Sebagian menjelaskannya secara panjang lebar dan ada yang menjelaskannya
secara singkat tetapi padat, sementara yang Iain menjelaskannya terlalu amat singkat. Thahhan
(1983:14), misalnya, menyebutkan urgensi takhrij secara singkat, yaitu untuk mengetahui proses
sampainya hadis pada sumber asli.8 Berbeda dengan Thahhan, Mahdi (1992:44) hanya
menjelaskan sebayak tiga butir urgensi kegiatan takhrij yaitu; (I) untuk mengetahui asal usul
riwayat hadis yang akan diteliti, (2) untuk mengetahui seluruh riwayat hadis bagi hadis yang
akan diteliti dan (3) untuk mengetahui ada atau tidak adanya syahid dan muttabi.

Takhrij Al-Hadits sebagai sebuah metode dengan memperhatikan tujuannya, mempunyai


banyak sekali manfaat. Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi dalam
kitabnya Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW, yang  penulis kutip dari buku terjemahan kitab
tersebut, “Metode Takhrij Hadits”, menjelaskan beberapa manfaat takhrij hadits diantaranya :

7
Mahmud Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, Maktabah al-Riyad, Riyad, 1978.
8
Mahmud Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, Maktabah al-Riyad, Riyad, 1978.

11
1. Takhrij memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dimana suatu hadits
berada, beserta ulama yang meriwayatkannya.

2. Takhrij dapat menambah perbendaharaan sanad hadits-hadits melalui kitab-kitab yang


ditunjukinya. Semakin banyak kitab-kitab asal yang memuat suatu hadits, semakin
banyak pula perbendaharaan sanad yang dimiliki.

3. Takhrij dapat memperjelas keadaan sanad. Dengan membandingkan riwayat-riwayat


hadits yang banyak itu maka dapat diketahui apakah riwayat itu munqathi’,  mu’dal dan
lain-lain. Demikian pula dapat diketahui apakah status riwayat tersebut shahih, dha’if dan
sebagainya.

4. Takhrij dapat memperjelas hukum hadits dengan banyaknya riwayatnya. Terkadang kita
dapatkan hadits yang dha’if melalui suatu riwayat, namun dengan takhrij kemungkinan
kita akan mendapatkan riwayat lain yang shahih. Hadits yang shahih itu akan
mengangkat derajat hukum hadits yang dha’if tersebut ke derajat yang lebih tinggi.

5. Dengan takhrij kita dapat memperoleh pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum
hadits.

6. Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang samar. Karena terkadang kita dapati
perawi yang belum ada kejelasan namanya, seperti Muhammad, Khalid dan lain-lain.
Dengan adanya takhrij kemungkinan kita akan dapat mengetahui nama perawi yang
sebenarnya secara lengkap.

7. Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang tidak diketahui namanya melalui
perbandingan diantara sanad-sanad.

8. Takhrij dapat menafikan pemakaian “AN” dalam periwayatan hadits oleh seorang perawi
mudallis. Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas
ketersambungan sanadnya, maka periwayatan yang memakai “AN” tadi akan tampak
pula ketersambungan sanadnya.

9. Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat

12
Secara singkat takhrij hadits dapat mengumpulkan berbagai sanad dari sebuah hadits serta
mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matan hadits. Berikut adalah contoh kegunaan dari
takhrij hadits :

Lafal sebuah hadits :

‫ك فَ َم َس َح اَ ْعلَى ْال ُحفَّي ِْن َواَ ْسفَلَهُ َما‬


َ ْ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوفِى غ َْز َو ِة تَبُو‬ ُ ْ‫ضأ‬
َ ‫ت النَّبِى‬ َ ‫ َو‬:‫ي َع ِن ْال ُم ِغ ْي َر ِة ْب ِن ُش َع ْبةَ قَا َل‬
َ ‫رُو‬
ِ

Bila kita menggunakan metode takhrij, maka akan tampak hadits di atas diriwayatkan oleh Imam
Turmudzi, Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah. Setelah ditakhrij pada masing-masing
kitab, maka hadits tersebut lengkapnya berbunyi :

Menurut riwayat Imam Turmudzi :

‫ب ْال ُم ِغ ْي َر ِة ع َْن ْال ُم ِغ ْي َر ِة ْب ِن ُش ْعبَةَ اَ َّن‬


ِ ِ‫َحد َْثنَا اَبُو ْال َولِي ِد اَل ِّد َم ْشقِ ُّى َح َّد ْثنَا ْال َولِ ْي ُد بْنُ ُم ْسلِ ٍم اَ ْخبَ َرنَا ثَوْ ُر بْنُ يَ ِز ْي َد ع َْن َر َحا ِء َح ْي َوةَ ع َْن َكات‬
‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم َس َح اَ ْعلَى ْالحُفِّ َواَ ْسفَلِ ِه‬
َ ‫النَّبِي‬

Menurut riwayat Imam Abu Dawud :

‫ال اَ ْخبَ َرنَا ثَوْ ُربْنُ يَ ِز ْي َد ع َْن َر َحا َء ب ِْن‬


َ َ‫ال َمحْ ُموْ ٌد – ق‬ َ َ‫َح َّد ْثنَا ُموْ َسى بْنُ َمرْ َوانَ َو َمحْ ُموْ ُد بْنُ خَالِ ٍد اَل ِّد َم ْشقِ ُّى اَ ْل َم ْعنَى قَاالَ َح َّدثَنَا اَ ْل َولِ ْي ُد – ق‬
‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِى غ َْز َو ِة تَبُوْ كَ فَ َم َس َح َعلَى ْال ُخفَّي ِْن‬
َ ‫ت النَّبِي‬ ُ ْ ‫ضأ‬ َ ‫ب ْال ُم ِغ ْي َر ِة ْب ِن ُش ْعبَةَ ع َْن ْال ُم ِغ ْي َر ِة ْب ِن ُش ْعبَةَ قَا َل َو‬
ِ ِ‫َحي َْوةَ ع َْن َكات‬
‫َواَ ْسفَلِ ِه ْم‬

Menurut riwayat Imam Ibnu Majah :

‫ع َْن ْال ُم ِغي َْر ِة ب ِْن‬-َ‫ب ْال ُم ِغي َْر ِة ْب ِن ُش ْعبَة‬


ِ ِ‫ َكات‬-‫ ع َْن َورَّا ٍد‬, َ‫ ع َْن َر َحا َء ب ِْن َحي َْوة‬,َ‫ ثَنَّا ثَوْ ُربْنُ يَ ِز ْيد‬,‫ ثَنَا ْال َولِ ْي ُد بْنُ ُم ْسلِ ٍم‬,‫ار‬
ٍ ‫َح َّدثَنَا ِه َشا ُم بْنُ ُع َم‬
‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَ ْعلَى ْالحُفِّ َواَ ْسفَالِ ِه‬ َ ‫ُش ْعبَةَ اَ َّن ال َّرسُوْ ُل هللا‬

Dengan memperbandingkan ketiga riwayat di atas, maka kita dapat mengetahui :

1. Hadits di atas diriwayatkan oleh tiga ulama hadits yaitu Imam Turmudzi, Imam Abu
Dawud dan Imam Ibnu Majah.

2. Pada riwayat Abu Dawud terdapat nama perawi yang samar, yaitu al-Walid. Riwayat
Turmudzi dan riwayat Ibnu Majah menjelaskan nama yang sebenarnya yaitu al-walid bin
Muslim.

3. Katib Mughirah tidak diketahui nama yang sebenarnya pada riwayat Abu Dawud dan
Turmudzi. Pada riwayat Ibnu Majah Katib Mughirah yang dimaksud adalah Warrad.

13
Menurut Ibnu Hazam, Katib Mughirah adalah perawi yang tidak diketahui namanya. Ini
karena Ibnu Hazam, mungkin tidak ingat bahwa ada riwayat Ibnu Majah yang
menjelaskan nama yang sebenarnya. Warrad diriwayatkan oleh banyak ulama hadits.
Ibnu Hibban menggolongkannya pada kelompok tsiqat.

4. Setelah Imam Turmudzi meriwayatkan hadits ini, beliau mengatakan bahwa hadits ini
adalah ma’lul, karena tidak seorangpun yang meriwayatkan dari Tsaur bin yazid selain
Walid bin Muslim. Lalu beliau menanyakannya kepada Abu Zur’ah dan Imam Bukhari.
Keduanya mengatakan hadits ini tidak shahih, karena Ibnu Mubarak meriwayatkannya
dari Tsaur, dari Roja’ bin Haywah, beliau berkata “saya menerima riwayat dari Katib
Mughirah, dari Nabi SAW. Jadi hadits ini mursal, karena Mughirah tidak disebut dalam
sanad tersebut.

5. Riwayat Abu Dawud menjelaskan sejarah timbulnya hadits ini yaitu pada waktu
peperangan Tabuk.9

3.4 Faktor Pendorong Munculnya Takhrij Al-Hadits

Pada abad-abad awal perkembangan ilmu dalam Islam, termasuk ilmu hadits, apa yang
sekarang disebut ‘ilm ushul at-takhrij belum diperlukan. Dikatakan oleh Mahmud at-Thahhan
bahwa para peminat hadits saat itu dengan mudah merujuk kepada kitab-kitab aslinya, karena
kontak mereka dengan kitab-kitab itu sangat kuat. Keadaan ini berubah pada abad-abad
berikutnya yang disebabkan oleh berkurangnya itensitas kajian terhadap kitab-kitab sumber
aslinya. Ketika itu mereka mengalami kesulitan mengetahui  letak hadits pada kitab sumbernya,
jika mereka mendapati hadits-hadits itu dipergunakan sebagai argument penguat dalam disiplin
ilmu-ilmu lain seperti tafsir, fiqh, dan sejarah. Dalam kitab-kitab itu hadits-hadits Nabi dikutib
tanpa menyebutkan sumber pengambilanya. Oleh karena itu bangkitlah kemudian para ulama
untuk melakukan takhrij terhadap kitab-kitab tersebut. Di antara kitab-kitab takhrij terhadap
hadits-hadits yang dikutip dalam beberapa kitab tanpa sanad adalah:

1)      Nash ar-Rayah li Ahadits al-Hidayah, oleh al-Hafiz az-Zaila’iy (762 H)

9
Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, 1994, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW,
Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang.

14
2)      Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, juga oleh al-Hafiz

Atas dasar data sejarah inilah Prof. Hasbi ash-Shiddiqy menegaskan bahwa
kegiatan takhrij hadits setidaknya telah muncul pada abad 8 H. Sebenarnya dapat ditemukan
sebelum itu karya takhrij lain, yaitu: takhrij al-Muhadzdzab,  oleh Muhammad ibn Musa al-
Hazimy(w. 584).10

3.5 Metode dan Langkah – Langkah Kegiatan Takhrij Al-Hadits

Di dalam melakukan takhrij,  ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman,
yaitu;

1. Takhrij Melalui Lafaz Pertama Matan Hadits

Metode ini sangat tergantung pada lafaz pertama matan hadits. Hadits-hadits dengan


metode ini dikodifikasi berdasarkan lafaz pertamanya menurut urutan huruf hijaiyah. Misalnya,
apabila akan men-takhrij hadits yang berbunyi;

‫ْس ال َّش ِد ْي ُد بِالصُرْ َع ِة‬


َ ‫لَي‬

Untuk mengetahui lafaz lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus


dilakukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat
penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad fuad Abdul Baqi,
penggalan hadits tersebut terdapat di halaman 2014. Berarti, lafaz yang dicari berada pada
halaman 2014 juz IV.11 Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadits yang dicari adalah;

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu
bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat
adalh orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah”.

Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi
seorang mukharrij untuk menemukan hadits-hadits yang dicari dengan cepat. Akan tetapi,
metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafaz

10
Mahmud ath-Thahhan, Ushul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid  , 1983.
11
Mahmud al-Thahhan, ….1991: 59-70

15
pertamanya sedikit saja, maka akan sulit unruk menemukan hadits yang dimaksud. Sebagai
contoh ;

َ ْ‫اِذاأَتَا ُك ْم َم ْن تَر‬
ُ‫ضوْ نَ ِد ْينَهُ َو ُخلُقَهُ فَ َز ِّوجُوْ ه‬

Berdasarkan teks di atas, maka lafaz pertama dari hadits tersebut adalah iza atakum (‫اِذا‬
‫)اَتَا ُك ْم‬. Namun, apabila yang diingat oleh mukharrij sebagai lafaz pertamanya adalah law atakum (
‫ )لَ——وْ اَتَ——ا ُك ْم‬atau iza ja’akum (‫)اذا َج— ا َء ُك ْم‬12, maka hal tersebut tentu akan menyebabkan sulitnya
menemukan hadits yang sedang dicari, karena adanya perbedaan lafaz pertamanya, meskipun
ketiga lafaz tersebut mengandung arti yang sama.

2. Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadits

Metode ini adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat
dalam matan hadits, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak
digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian haditsnya sehingga pencarian
hadits-hadits yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini akan lebih
mudah manakala menitikberatkan pencarian hadits berdasarkan lafaz-lafaznya yang asing dan
jarang penggunaanya. Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al-Mu`jam
Al-Mufahras li Al-faz Al-Hadits An-Nabawi. Kitab ini mengumpulkan hadits-hadits yang
terdapat di dalam Sembilan kitab induk hadits sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim,
Sunan Turmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’
malik, dan Musnad Imam Ahmad. Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu hadits dapat
dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

Langkah pertama, adalah menentukan kata kuncinya yaitu kata yang akan dipergunakan
sebagai alatuntuk mencari hadits. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah kata yang jarang
dipakai, karena semakin bertambah asing kata tersebut akan semakin mudah proses pencarian
hadits. Setelah itu, kata tersebut dikembalikan kepada bentuk dasarnya. Dan berdasarkan bentuk
dasar tersebut dicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mu’jam menurut urutannya secara abjad
(huruf hijaiyah).

Langkah kedua, adalah mencari bentuk kata kunci tadi sebagaimana yang terdapat di
dalam hadits yang akan kita temukan melalui Mu’jam ini. Di bawah kata kunci tersebut akan
12
Ibid

16
ditemukan hadits yang sedang dicari dalam bentuk potongan-potongan hadits (tidak lengkap).
Mengiringi hadits tersebut turut dicantumkan kitab-kitab yang menjadi sumber hadits itu yang
dituliskan dalm bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu; Metode ini mempercepat pencarian hadits
dan memungkinkan pencarian hadits melalui kata-kata apa saja yang terdapat
dalam matan hadits. Selain itu, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu; Terkadang
suatu hadits tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus
menggunakan kata-kata lain.

3. Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat

Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits,
lalu kita mnecari bantuan dari tiga macam karya hadits yakni;

 Al-Masanid (musnad-musnad). Dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang


diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama
sahabat yang meriwayatkan hadits, maka kita mencari hadits tersebut dalam kitab ini
hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.

 Al- ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan hadits di dalamnya berdasarkan urutan musnad


para sahabat atau syuyukh (guru-guru) sesuai huruf kamus hijaiyah. Dengan mengetahui
nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.

 Kitab-kitab Al-Atraf. Kebanyakan kitab al-atraf disusun berdasarkan musnad-musnad


para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti
mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang
ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara
lengkap.

Kelebihan metode ini adalah bahwa proses takhrij dapat diperpendek. Akan tetapi,


kelemahan dari metode ini adalah ia tidak dapat digunakan dengan baik, apabila perawih yang
hendak diteliti itu tidak diketahui.

17
4. Takhrij Berdasarkan Tema Hadits

Metode ini berdasrkan pada tema dari suatu hadits. Oleh karena itu untuk
melakukan takhrij dengan metode ini, perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadits
yang akan ditakhrij  dan kemudian baru mencarinya melalui tema itu pada kitab-kitab yang
disusun menggunkan metode ini. Seringkali suatu hadits memiliki lebih dari satu tema. Dalam
kasus yang demikian seorang mukharrij  harus mencarinya pada tema-tema yang mungkin
dikandung oleh hadits tersebut. Contoh :

Dibangun Islam atas lima pondasi yaitu : Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa
Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, berpuasa bulan
Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.

Hadits diatas mengandung beberapa tema yaitu iman, tauhid, shalat, zakat, puasa dan
haji. Berdasarkan tema-tema tersebut maka hadits diatas harus dicari didalam kitab-kitab hadits
dibawah tema-tema tersebut. Cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-
Sunnah yang berisi daftar isi hadits yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan.

Dari keterangan diatas jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini sangat tergantung


kepada pengenalan terhadap tema hadits. Untuk itu seorang mukharrij harus memiliki beberapa
pengetahuan tentang kajian Islam secara umum dan kajian fiqih secara khusus.

Metode ini memiliki kelebihan yaitu : Hanya menuntut pengetahuan akan kandungan hadits,
tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafaz pertamanya. Akan tetapi metode ini juga memiliki
berbagai kelemahan, terutama apabila kandungan hadits sulit disimpulkan oleh seorang peneliti,
sehingga dia tidak dapat menentukan temanya, maka metode ini tidak mungkin diterapkan.

5. Takhrij Berdasarkan Status Hadits

Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan para ulama hadits
dalam menyusun hadits-hadits, yaitu penghimpunan hadits berdasarkan statusnya. Karya-karya
tersebut sangat membantu sekali dalam proses pencarian hadits berdasarkan statusnya, seperti
hadits qudsi, hadits masyhur, hadits mursal dan lainnya. Seorang peneliti hadits dengan
membuka kitab-kitab seperti diatas dia telah melakukan takhrij al hadits.13

13
Ibid

18
Kelebihan metode ini dapat dilihat dari segi mudahnya proses takhrij. Hal ini karena
sebagian besar hadits-hadits yang dimuat dalam kitab yang berdasarkan sifat-sifat hadits sangat
sedikit, sehingga tidak memerlukan upaya yang rumit. Namun, karena cakupannya sangat
terbatas, dengan sedikitnya hadits-hadits yang dimuat dalam karya-karya sejenis, hal ini
sekaligus menjadi kelemahan dari metode ini.

Kitab kitab yang disusun berdasarkan metode ini :

 Al-Azhar al-Mutanasirah fi al-Akbar al-Mutawatirah karangan Al-Suyuthi.

 Al-Ittihafat al-Saniyyat fi al-Ahadits al-Qadsiyyah  oleh al-Madani.

 Al-Marasil oleh Abu Dawud, dan kitab-kitab sejenis lainnya.

3.6 Kegunaan Takhrij Al-Hadits

Adapun kegunaan dari dilakukannya Takhrij Al-Hadits, sebagai berikut :14

1. Dapat diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadits yang menjadi topik
kajian.
2. Dapat diketahui kuat tidaknya periwayatan akan menambah kekuatan riwayat.
Sebaliknya, tanpa dukungan periwayatan lain, kekuatan riwayat tidak bertambah.
3. Memberikan informasi bahwa suatu hadits termasuk hadits shahih, hasan, ataupun dhaif,
setelah diadakan penelitian dari segi matan, sanad maupun rawinya.
4. Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu
hadits adalah hadits maqbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya
apabila diketahui bahwa suatu hadits adalah mardud (tertolak).
5. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadits adalah benar-benar berasal dari Rasulullah
Saw yang harus kita ikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadits
tersebut, baik dan segi sanad, matan maupun rawi.
6. Latar belakang kebutuhan

7. Dengan takhrij kita dapat memperoleh pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum
hadits.
14
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, ibid. h. 205

19
8. Takhrij dapat menambah perbendaharaan sanad hadits-hadits melalui kitab-kitab yang
ditunjukinya.

BAB IV

Penutup

20
4.1 Kesimpulan

Dalam situasi perkembangan ilmu pengetahuan agama yang semakin pesat ini, kegiatan
takhrij merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Sebab, dengan tersebamya kitab-kitab
agama berarti tidak sedikit hadis-hadis yang dimuat atau dijadikan sandaran untuk memperkuat
argumentasinya.

Bagi orang yang imannya kuat dan mantap, sedang ia sendiri tidak cukup luas
mengetahui ilmu-ilmu hadis, tentu ia akan begitu saja meyakini kevalidan hadis yang dimuat
dalam berbagai kitab-kitab agama itu. Sesaat, memang orang yang seperti ini tidak menjadi
masalah. Tetapi, jika pada saatnya ia mengamalkan hadis yang dipandangnya shahih, namun
ternyata dhaaif dan secara esensial hadis itu bertentangan dengan al-Qur'an dan akal, tentu
implikasinya berarti ia telah melakukan penyimpangan dari ajaran Syari'ah.

4.2 Saran

Dari paparan materi yang telah dijelaskan bahwasannya ilmu Takhrij Al-Hadits sangatlah
diperlukan dan sudah saatnya bagi para cendekiawan Islam/ulama untuk semakin serius
melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang masih berkeliaran yang status kualitas hadisnya
masih diragukan. Ini berarti upaya telusur informasi (finding book) terhadap hadis - hadis yang
berkeliaran agar segera dipulangkan ke tempat kediamannya (sumber aslinya) harus segera
digalakkan. Caranya diperlukan fasilitas atau sarana yang mendukung penelusuran tadi. Salah
satunya adalah sarana keterampilan dan pengetahuan ilmu Takhrij al-hadits.

Daftar Pustaka

21
Abadi, Al-Fairus. al-Qamus al-Muhit, Jilid I, Mesir: al-Maimunah, 1313H.

Mahmud Thahhan, 1983:9

M. Syuhudi Ismail, 1987:41

Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits, Jakarta, Bumi Aksara, cet. lll, 2007

M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1991

Mahmud Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, Maktabah al-Riyad, Riyad, 1978

Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, 1994, Thuruq Takhrij Hadits

Rasulillah SAW, Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang

Mahmud ath-Thahhan, Ushul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid  , 1983

Syaikh Manna’ Al-Qaththan, ibid. h. 205

Mahmu Thahhan. Ushul al-Talhrij wa Dirasat al-Asanid, Beriut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979.

https://mohamadjuliantoro.wordpress.com, diakses pada 7 November 2020 Pukul 17.16 WIB.

22

Anda mungkin juga menyukai