ASWAJA
HADITS PERPECAHAN UMAT
Disususn Oleh :
Kelompok 4
Segala puji dan syukur kehadirat Allah Swt senantiasa kami ucapkan, atas limpahan
rahmat dan karunia serta nikmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah
ini yang berjudul Hadist Perpecahan Umat. Penulisan makalah ini merupakan tugas mata
kuliah Pemikiran Modern DalamIslam . Prodi Pendidikan Agama Islam, Sekolah Tinggi Agama
Islam Al Falah Banjarbaru.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mendapat bimbingan dan pengarahan dari
dosen pengampu ibu Dra. Hj. Halilah M.Pd.I .Oleh karena itu, dengan hati yang tulus ikhlas
kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen pengampu. Semoga Allah membalas
semua kebaikan yang telah diberikan kepada kami dengan sebaik-baik balasan. Amin ya Robbal
Alamin.
Akhirnya kami menyadari akan keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Untuk itu, kritik
dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan dari berbagai pihak demi peningkatan
kualitas penulisan makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
C. Tujuan ..............................................................................................v
BAB II PEMBAHASAN
A. Simpulan .............................................................................................. 17
B. Saran .............................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ukhuwah Islamiah merupakan suatu ikatan akidah yang dapat menyatukan hati
semua umat Islam, walaupun tanah tumpah darah mereka bagaikan jarak bumi dan bulan,
bahasa dan bangsa mereka berbeda, sehingga setiap individu umat Islam senantiasa
terikat antara satu dengan lainnya, membentuk suatu bangunan umat yang kokoh,
karenanya sudah menjadi keharusan umat ini bersatu.1 Namun terkadang perbedaan
kepentingan dan golongan selalu di kedepankan dan menjadi penyebab perpecahan umat.
Sebagaimana yang disampaikan Syah Waliullah, bahwa perpecahan yang terjadi di
kalangan umat Islam merupakan sebab lain dari lemahnya umat Islam yang ditimbulkan
aliran-aliran dan madzhabmadzhab yang terdapat dalam Islam.2 Islam sebagai agama
yang didasarkan pada prikemanusiaan dan persaudaraan tidak lepas dari perbedaan
pendapat yang terkadang menimbulkan perpecahan pada umatnya. Agama yang
dimaksud untuk membawa perdamaian dan kesentosaan pada dunia yang penuh godaan,
suatu ketika akan mengalami dekadensi yang disebabkan oleh fanatisme golongan dan
ketamakan pada kekuasaan setelah umat Islam mengabaikan dan melalaikan dasar-dasar
yang telah disyariatkan dalam agama.
Ditambah sekarang ini masalah yang di hadapi umat Islam adalah rendahnya rasa
kesatuan dan persatuan, sehingga kekuatan mereka menjadi lemah meskipun jumlahnya
banyak. Salah satu sebab rendahnya rasa persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam
adalah karena rendahnya penghayatan terhadap nilai-nilai Islam.3
1
Musthafa Al-Qudhat, Prinsip Ukhuwah dalam Islam, terj. Fathur Suhardi, “Mabda‟ul Ukhuwah fi al-Islam” (Solo:
Hazanah Ilmu, 1994), 14
2
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; sejarah pemikiran dan gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 21
3
https://lampung.kemenag.go.id/artikel/15012/kerukunan-antar-umat-beragamamenurut-pandangan-islam?lang=id,
Senin15 Oktober 2012, diakses pada Jum‟at, 5 April 2019, pukul 14:12
iv
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
v
BAB II
PEMBAHASAN
Upaya bagi umat Islam awal (zaman sahabat) ini tidak menemui banyak kendala,
karena mereka hidup sezaman dengan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, jika
terdapat per masalahan yang terkait dengan agama, khususnya dalam hal muamalah, di
samping relatif kompleksnya masalah dunia, mereka dapat segera menanyakan langsung
kepada Nabi Muhammad SAW dan mendapatkan solusi atas permasalahan tersebut,
sehingga masalah yang mereka hadapi jauh lebih sederhana daripada masalah modern
atau zaman sekarang ini.
Hal yang sama terjadi pada generasi Tabi’in, mereka hidup tidak jauh dari zaman
Nabi setelah masa sahabat, hanya saja masih banyak peninggalan yang diwariskan oleh
Rasulullah dan para sahabat.
Berbeda dengan umat Muslim sekarang yang hidup di zaman modernis atau milenial
ini, telah banyak bermunculan berbagai persoalan yang pelik, sehingga diperlukannya
identifikasi jawaban atas persoalan tersebut. Karena kompleksitasnya, wilayah hadis
berada di urutan kedua setelah Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran umat islam,
karena banyak hal yang tidak dapat dijangkau oleh hadis . Kondisi di atas sungguh
menantang umat Islam modern, oleh karena itu, banyak ahli di dunia modern yang
berusaha menghidupkan kembali semangat pengkajian Hadis melalui cara-cara terkini
yang biasa disebut dengan aliran "Kontekstual" yang berfungsi sebagai penyeimbang dan
4
https://ushuluddin.uin-suka.ac.id/id/kolom/detail/287/pemahaman-tekstual-dan-kontektual-pada-hadis
6
melengkapi penalarantekstual.
Sedangkan Aliran “Tekstual” yakni dengan menekankan pembahasan dari perspektif
gramatikal bahasa atau linguistik, hal ini merupakan cara memahami hadits yang
cenderung berfokus pada kesesuaian makna yang terdapat dalam teks Hadis, dipahami
secara saklek. Hematnya, pemikiran ulama-terdahulu dapat dipahami sebagai sesuatu
yang mutlak.
Tekstual berasal dari KBBI, kata “teks” tersebut mengandung banyak arti sebagai
berikutini:
a.“Kata-kata asli yang tertulis.”
b.“Mengutip tulisan dari Kitab Suci”
c.“Materi tertulis untuk pengetahuan dasar pada pelajaran, ceramah, dll”
(https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/TEKS )
Menurut pengertian diatas dapat dikatakan bahwa dalam memahami hadis secara
tekstual berarti memahami hadis berdasarkan makna atau arti secara eksternal, asli atau
linguistik. Artinya semua yang tertulis dalam redaksi hadis (matan) dipahami sesuai
dengan makna bahasanya, sehingga pembaca dapat langsung memahaminya. Masyarakat
hanya dapat menangkap makna atau arti dan ruang lingkup pesan yang disampaikan oleh
hadis tersebut dengan membaca teks atau kata yang terdapat di dalam hadis tersebut.
Karena makna tersebut lebih familiar dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa memahami hadis dengan cara tersebut,
dapat digolongkan sebagai salah satu cara yang paling mudah atau sederhana dan paling
mendasar dalam memahami hadis. Karena hanya dengan membaca lafadz hadis tersebut
dan memahami makna bahasanya maka masyarakat bisa mendapatkan pengertian dan
maksud dari hadis tersebut.
Jika dikelompokkan menurut redaksi matannya, maka hal tersebut dapat dipahami
dengan ungkapan yang relatif singkat namun padat makna atau kokoh. Dalam sebuah
hadis dijelaskan bahwa “perang adalah siasat, taktik, atau tipu daya” sebagai berikut:
7
ََح َّدثَنَا َأبُو بَ ْك ٍر بُو ُر بْنُ َأصْ َر َم َأ ْخبَ َرنَا َع ْب ُد هَّللا ِ َأ ْخبَ َرنَا َم ْع َم ٌر ع َْن هَ َّم ِام ب ِْن ُمنَبِّ ٍه ع َْن َأبِي ه َُر ْي َرة
َ ْصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْال َحر
ًب َخ ْد َعة َ ي هَّللا ُ َع ْنهُ قَا َل َس َّمى النَّبِ ُّي
|َ ض
ِ َر
Artinya: "Abu Bakar bin Ashram telah bercerita kepada kami, ‘Abdullah telah
memberi kabar kepada kami, Ma’mar telah mengabarkan kepada kami dari Hammam bin
Munabbih dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw. berkata: ”Perang itu adalah tipu daya".
(HR. Bukhori No. 2804) (https://carihadis.com/Shahih_Bukhari/2804)
Pemahaman pada hadis ini sejalan dengan makna teksnya, yaitu taktik harus
digunakan dalam setiap perang. Peraturan ini umumnya berlaku dan tidak dibatasi oleh
lingkup ruang atau waktu tertentu. Perang dengan cara apa pun membutuhkan taktik.
Perang tanpa adanya taktik seperti dengan menyerah tanpa syarat kepada musuh. Dengan
demikian hadis tersebut dapat dipahami secara tekstual karena mengandung makna yang
sesuai dengan teks hadisnya.
Namun perlu diketahui bahwasannya memahami hadis secara tekstual itu tidak boleh
sendirinya secara tekstual, harus tetap memperhatikan redaksi hadis tersebut, ketika bisa
dipahami secara tektual saja, maka sudah cukup secara tekstual, tapi jika memang
mengharuskan secara kontekstual maka harus disertakan kontekstual tersebut, karena
terkadang ada teks-teks hadis yang ketika dipahami secara tekstualnya saja akan
membelokkan makna atau tidak sesuai dengan makna yang mungkin dimaksudkan,
sehingga tidak akan terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan makna hadis tersebut .
8
Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif) meliputi:
1. Ide moral/ide dasar/tujuan di balik teks (tersirat). Ide ituditentukan dari makna
yang tersirat di balik teks yangsifatnya universal, lintas ruang waktu, dan inter
subjektif.
2. Bersifat absolut, prinsipil, universal, dan fundamental.5
3. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi,mu‛asyarah bi al-ma’ruf.
4. Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal artinya
segala sesuatu yang dapat dilakukansiapapun, kapan pun dan di mana pun tanpa
terpengaruholeh letak geografis, budaya dan historis tertentu.Misalnya “shalat” dimensi
tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya(berkomunikasi,
menyembah atau beribadah) dalamkondisi apapun selama hayatnya. Namun
memasukiranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat” sangattergantung pada
konteks si pelakunya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami, mengapa untuk ibadah murni
(mahdhah) tidak perlu dipahami secara tekstual. Menurut analisa penulis di sinilah peran
Muhammadsebagai Rasulullah, beliau punya otoritas penuh tanpa campurtangan ra’yu
manusia, dan itulah yang dimaksud firman Allah:‛‛dan tidaklah yang diucapkannya itu
menurut hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukankepadanya.”
Pemahaman kontekstual atas hadis menurut Edi Safri adalah memahami hadis-
hadis Rasulullah dengan memperhatikan danmengkaji keterkaitannya dengan peristiwa
atau situasi yangmelatarbelakangi munculnya, atau dengan kata lain,memperhatikan
dan mengkaji konteksnya. Dengan demikian asbab al-wurud dalam kajian kontekstual
5
Fazlur Rahman, ‛‛Wacana Studi Hadis Kontemporer” dalamBungaRampai Wacana Studi Hadis Kontemporer, ed.
Hamim Ilyas dan Suryadi(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm119
9
merupakan bagian yangpaling penting. Hal kajian yang lebih luas tentang
pemahamankontekstual tidak hanya terbatas pada asbab al-wurud dalam artikhusus
seperti yang biasa dipahami, tetapi lebih luas dari itumeliputi konteks historis-
sosiologis di mana asbab al-wurudmerupakan bagian darinya.6
Dengan demikian, pemahaman kontekstual atas hadis Nabi berarti memahami
hadis berdasarkan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis diucapkan, dan kepada
siapa hadis ituditujukan. Artinya, hadis Nabi saw. dipahami melalui redaksilahiriah
dan aspek-aspek kontekstualnya. Meskipun di sinikelihatannya konteks historis
merupakan aspek yang palingpenting dalam sebuah pendekatan kontekstual, namun
konteksredaksional juga tak dapat diabaikan. Aspek terakhir itu tak kalahpentingnya
dalam rangka membatasi dan menangkap maknayang lebih luas (makna filosofis)
sehingga hadis tetap menjadi komunikatif.
1. Dalam bidang ibadah mahdhah (murni) tidak ada atau tidakperlu pemahaman
kontekstual. Jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap
situasi dan kondisi,maka hal tersebut adalah bid`ah.
2. Bidang di luar ibadah murni (ghairu mahdhah). Pemahamankontekstual perlu
dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya
dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya.
10
4. Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal artinyasegala
sesuatu yang dapat dilakukansiapapun, kapan pun dan di mana pun tanpa
terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu.Misalnya
“shalat” dimensi tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk
melakukannya(berkomunikasi, menyembah atau beribadah) dalamkondisi
apapun selama hayatnya. Namun memasukiranah “bagaimana cara muslim
melakukan shalat” sangattergantung pada konteks si pelakunya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami, mengapa untuk ibadah murni
(mahdhah) tidak perlu dipahami secaratekstual. Menurut analisa penulis di sinilah peran
Muhammadsebagai Rasulullah, beliau punya otoritas penuh tanpa campurtangan ra’yu
manusia, dan itulah yang dimaksud firman Allah:‛‛dan tidaklah yang diucapkannya itu
menurut hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya.”
C. Jami Wa al-taufiq ( Hadits Tentang Umat Muslim Tidak Akan Bersepakat Dalam
Kebathilan )
Contoh sunnah dengan sunnah adalah sabda nabi : “bukankah saya telah memberitahu
kamu sebaik-baik kesaksian yaitu kesaksian yang diberikan seseorang sebelum diminta
menjadi saksi” (HR. Muslim). Kemudian sabda Nabi berikutnya : “sebaik-baik generasi
adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya pula,
lalu itu orang-orang akan memberikan kesaksiannya (didepan hakim), tanpa diminta,
sedangkan mereka tidak menyaksikan peristiwa itu, dan mereka berkhianat, serta tidak
dapat dipercaya.”(HR. Bukhori dan Muslim.) dari kedua hadits ini terlihat bahwa hadits
11
pertama berbicara tentang kasus yang terkain dengan hak Allah. Sedangkan hadits
kedua terkait dengan kasus yang menyangkut hak manusia.
Kalau ada kata sepakat ulama (ijma’ ulama), maka tidak boleh diselisihi. Bahkan
disepakati ulama bahwa kesepakatan ulama wajib diikuti. 8 Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa ijma’ (kata sepakat ulama)
disepakati sebagai dalil yang mesti diikuti. Hal ini disepakati oleh seluruh kaum
muslimin dari kalangan fuqaha’, sufiyah dan ahli hadits, bahkan disepakati oleh ahli
kalam secara umum. Sedangkan yang mengingkari ijma’ sebagai dalil adalah ahli bid’ah
dari kalangan Mu’tazilah dan Syi’ah. Yang dipahami sebagai ijma’ adalah kesepakatan
para sahabat. Adapun generasi setelah sahabat, ada penghalang untuk mengetahui kalau
mereka semua sepakat. Oleh karena itu, para ulama berselisih pendapat tentang
teranggapnya ijma’ setelah masa sahabat apakah berlaku ataukah tidak. Begitu pula yang
diperselisihkan adalah ijma’ tabi’in yang diambil dari salah satu perkataan dari dua
sahabat. Juga yang diperselisihkan adalah ijma’ yang terjadi di suatu masa lantas
diselisihi oleh ulama yang datang belakangan. Begitu pula yang diperselisihkan adalah
ijma’ sukuti (yaitu kesepakatan yang tidak diingkari lainnya, pen.).” (Majmu’ah Al-
Fatawa, 11: 341)
Berikut adalah dalil-dalil pendukung ijma’ (kata sepakat ulama) wajib diikuti dan
haram ditinggalkan.
Dalil Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman,
ْ ُول ِم ْن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ْالهُدَى َويَتَّبِ ْع َغي َْر َسبِي ِل ْال ُمْؤ ِمنِينَ نُ َولِّ ِه َما ت ََولَّى َونُصْ لِ ِه َجهَنَّ َم َو َسا َء
ت ِ َِو َم ْن يُ َشاق
َ ق ال َّرس
|صي ًرا
ِ َم
8
https://rumaysho.com/11968-kalau-ada-kata-sepakat-ulama.html
12
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’: 115). Jalan
orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) ulama kaum muslimin. Ayat ini
menunjukkan bahwa mengikuti ijma’ itu wajib, menyelisihinya itu haram.
Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun ijma’ (kesepatan ulama kaum muslimin, pen.)
itu benar adanya. Karena umat ini walhamdulillah tidaklah mungkin bersatu dalam
kesesatan. Sebagaimana Allah telah menyifatinya dalam Al-Kitab dan As-Sunnah.”
(Majmu’ah Al-Fatawa, 19: 177)
Berdasarkan ayat tersebut, Ibnu Taimiyah berkata pula, “Seandainya umat sepakat
menyuarakan kesesatan dalam agama, tentu mereka tidak dikatakan memerintahkan pada
yang makruf dan melarang dari yang mungkar.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 19: 177)
ِ َّك َج َع ْلنَا ُك ْ|م ُأ َّمةً َو َسطًا| لِتَ ُكونُوا ُشهَدَا َء َعلَى الن
اس َويَ ُكونَ ال َّرسُو ُل َعلَ ْي ُك ْم َش ِهيدًا َ َِو َك َذل
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil
dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah: 143).
13
Ibnu Taimiyah berkata, “Wasath dalam ayat berarti pilihan. Allah telah
menjadikan mereka saksi bagi manusia, di mana persaksian tersebut menggantikan
persaksian Rasul.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 19: 177). Berarti ijma’ atau kesepakatan ulama
adalah dalil yang tidak boleh diselisihi.
Dalil Hadits
Ketika Umar berkhutbah, ia menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
َزَم ْال َج َما َعة
ِ ُوحةَ ْال َجنَّ ِة فَ ْليَ ْل
َ َم ْن َأ َرا َد بُحْ ب
“Siapa yang menginginkan tempat yang mulia di surga, maka ikutilah al-jama’ah.” (HR.
Tirmidzi no. 2165. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
14
Kesimpulannya, apa yang disepakati oleh umat (para ulama) pastilah benar. Juga
menunjukkan kalau ijma’ berlaku untuk setiap zaman, baik berlaku di zaman sahabat dan
zaman setelah itu.
15
tujuh puluh dua golongan dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.
Semuanya masuk ke dalam neraka. kecuali satu golongan.”
Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Mereka adalah golongan yang berjalan di atas jalan ditempuh oleh
aku dan para sahabatku.” 9 (HR. Tirmidzi no. 2641, dinilai hasan oleh Al-Albani)
9
https://rumaysho.com/11968-kalau-ada-kata-sepakat-ulama.html
16
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Hadis adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW yang berupa Qouly
(Ucapan), Fi’ly (Perbuatan), Taqrir (Ketetapan), Hammiyah (Keinginan atau Hasrat), dan
Siffah (Sifat). Memahami hadis adalah sesuatu pekerjaan yang rumit karena dibutuhkan
analisis yang cermat bagaimana bisa memahami makna tekstual dan kontekstualnya atau
apa yang dimaksudkan dari hadis tersebut, Baik itu perkataan atau perbuatan atau
ketetapan yag dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan dapat dikatakan bahwa
dalam memahami hadis secara tekstual berarti memahami hadis berdasarkan makna atau
arti secara eksternal, asli atau linguistik. Artinya semua yang tertulis dalam redaksi hadis
(matan) dipahami sesuai dengan makna bahasanya, sehingga pembaca dapat langsung
memahaminya.
Pemahaman kontekstual atas hadis menurut Edi Safri adalah memahami hadis-
hadis Rasulullah dengan memperhatikan danmengkaji keterkaitannya dengan peristiwa
atau situasi yangmelatarbelakangi munculnya, atau dengan kata lain,memperhatikan dan
mengkaji konteksnya.
B. Saran
17
DAFTAR PUSTAKA