Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“PENDIDIKAN ISLAM MODERAT/WASATHIYAH”


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Pendidikan Agama Islam
Dosen : Muhammad Muhlis, M.Pd

DI SUSUN OLEH :

MAZIYATUN NAJAH (2011721014)


NADILAHTUL DWI SUBAGJA (2011721021)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
INSTITUT TEKNOLOGI DAN SAINS NAHDLATUL ULAMA PASURUAN
2021

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................3

PENDAHULUAN..............................................................................................................4

1.1 Latar Belakang............................................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................5
1.3 Tujuan..........................................................................................................................5

PEMBAHASAN................................................................................................................6

2.1 Konsep Washatiyah Islam.........................................................................................6

2.2 Karakteristik Washatiyah Islam..............................................................................11

2.3 Pewarisan nilai-nilai Islam wasathiyah melalui pendidikan.................................14

PENUTUP........................................................................................................................15

3.1 Kesimpulan................................................................................................................15

3.2 Saran...........................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................16

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan karunia-nya,
kami dapat menyelesaikan tugas makalah Pendidikan Agama Islam dasar tentang
“Pendidikan Islam Moderat/Wasathiyah” dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam. Selain
itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang struktur tumbuhan, macam
macam jaringan, sistem jaringan dan organ penyusun tumbuhan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Muhammad Muhlis, M.Pd selaku dosen
mata kuliyah Pendidikan Agama Islam . Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini. Kami menyadari makalah
ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran
demi kesempurnaan makalah ini.

13 Desember 2021

Penyusun

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam Islam rujukan beragama yang paling utama al-Qur’an dan al-Hadist,
namun fenomena menunjukkan bahwa wajah Islam sangat banyak, Islam terkadang
memiliki khas sendiri-sendiri dalampraktek dan amaliah keagamaan. Yang menjadi
permasalahan adalah dapatkah dari yang berbeda tersebut untuk saling
menghormati, tidak saling menyalahkan, tidak meyatakan paling benar sendiri, dan
besedia bedialog sehingga tercermin bahwa perbedaan itu benarbenar rahmat. Jika
ini yang dijadikan pijakan dalam beramal dan beragama, maka inilah sebenarnya
makna konsep “Islam moderat”. Artinya siapa pun orangnya dalam beragama dapat
bersikap sebagaimana kriteria tersebut, maka dapat disebut dengan Islam yang
moderat. Permasalahan yang mendasar tentang pemahaman terhadap ajaran Islam,
yaitu adanya perbedaan dalam beragama dan bermadzhab, Islam itu satu, tetapi cara
memahaminya yang beragam. Hal ini memunculkan istilah-istilah atau lebel dalam
Islam itu sendiri. Misalnya kelompok Radikal dan kelompok Liberal.
Beberapa alasan di atas mendorong penulis untuk menggali kandungan
makna “moderat” dalam al-Qur’an. Makalah ini di harapkan menjadi suatu upaya
untuk mencari nilai-nilai Moderasi dalam lingkup Islam, yang menjadikan salah
satu jawaban dari kegelisahan-kegelisahan yang menjadi titik fokus makalah ini.
Dari uraian di atas maklahinu ini akan membahas lebih lanjut, dengan judul
Pendidikan Islam Moderat/Wasathiyah.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja konsep wasathiyah islam ?
2. Apa saja karakteristik Islam Wasathiyah ?
3. Apa pewarisan nilai – nilai islam wasathuyah ?

1.3 Tujuan
1. Untuk memahami konsep wasathiyah islam
2. Untuk mengetahui apa saja karakteristik wasathiyah
3. Untuk mengetahui pewarisan nilai nilai islam wasathuyah

5
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Wasathiyah Islam
Istilah wasathiyyah terambilkan dari kata wasath, yang menurut Ibnu Faris
dalam karyanya Mu’jam Maqayis al-Lughah, dimaknai sebagai sesuatu yang di
tengah, adil, baik, dan seimbang. Dalam bahasa yang umum digunakan dalam
keseharian kita hari ini, wasathiah seringkali diterjemahkan dengan istilah moderat
atau bersikap netral dalam segala hal. Terminologi wasath -atau dalam bentuk Sifat
Musyabbahah-nya dibaca wasith ini- kemudian diadobsi oleh bahasa Indonesia
dengan sebutan “wasit”, yaitu orang yang menengahi sebuah pertandingan antara
dua kubu atau kelompok dalam sebuah pertandingan sepakbola, voli dan lain
sebagainya. Artinya secara bahasa, istilah wasathiyyah ini sangat dekat dengan
keseharian kita.
Kemudian kalau ditilik lebih dalam melalui sejarah agama kita, maka istilah
wasathiyyah atau moderat ini tidak bisa dipisahkan dengan kisah dua kelompok
yang sangat masyhur dalam sejarah Islam yaitu kaum Khawarij dan kaum Murjiah.
Siapa mereka.? Kaum Khawarij adalah salah satu sekte atau aliran dalam Islam
yang awalnya berada di pihak Khalifah Ali ibn Abi Thalib. Namun akhirnya
membelot bahkan mengafirkan beliau karena dianggap tidak lagi menegakkan
hukum Allah Swt ketika menerima peristiwa tahkim (perdamaian) yang diajukan
oleh kelompok Sayyidina Muawiyah, yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur
Syam pasca perperangan Shiffin tahun 37 H.
Kelompok ini berpandangan bahwa semua hukum harus didasarkan kepada
hukum Allah Swt sebagaimana yang tertera dalam al-Qur’an dan Hadis-Hadis Nabi
sesuai dengan apa yang mereka pahami secara tekstual. Sehingga dengan
pemahaman tekstualnya, mereka menganggap Saydina Ali tidak lagi istikamah di
jalan Allah dengan menerima diplomasi atau perdamaian yang diajukan oleh pihak

6
pemberontak, yang dalam hal ini adalah Saydina Mu’awiyah dan sahabat-
sahabatnya. Akhirnya mereka mengklaim setiap orang yang tidak lagi berhukum
dengan hukum Allah sebagai pengkhianat agama dan orang yang tidak sependapat
dengan mereka dianggap kafir (murtad). Kaum ini kita sebut sebagai kelompok
ekstrim kanan dalam tulisan ini.
Sementara itu di pihak lain, muncul juga golongan yang menamakan dirinya
sebagai Murjiah yang mana salah satu konsep pemikiran mereka adalah bahwa
kemaksiatan tidak akan mempengaruhi keimanan. Sehingga dalam konsep
pemikiran mereka, tidak ada orang yang menjadi kafir dengan kemaksiatan yang dia
lakukan selama dia sudah mengucapkan dua kalimat syahadat. Mereka memahami
al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Saw secara serampangan dan cenderung
kontekstual, namun tidak berdasarkan metode yang seharusnya sebagaimana yang
diamalkan serta dicontohkan oleh Nabi Saw dan para sahabat beliau.

Nah kaum yang kedua ini kita istilahkan dengan kelompok ekstrim kiri,
antitesis dari kelompok pertama (Khawarij). Paham-paham seperti ini kadang juga
kita temui di sebagian oknum umat Islam hari ini. Yaitu ada di antara mereka yang
terlalu kaku dan rigit dalam memahami teks agama sehingga cenderung selalu
menyalahkan dan menyesatkan kelompok lain yang berbeda pemahaman dengan
mereka.

Sementara itu di sisi lain, ada juga oknum umat Islam yang terlalu longgar
dan sangat bebas dalam beragama, sehingga cenderung menjadikan agamanya
sebagai mainan ataupun bahkan sebagai hiasan bibir semata. Nah kedua sekte ini
(baik Khawarij ataupun Murjiah), bukanlah representasi dari kelompok ideal yang
seharusnya ada di dalam Islam sebagaimana yang disinggung oleh Nabi Muhammad
Saw dalam sebuah hadisnya :

7
)‫َّاس‬ ِ ‫اج ٍه َع ِن اب‬
ٍ ‫ْن َعب‬ َ ‫(ر َواهُ ِابْنُ َم‬ ِ ‫ان َق ْبلَ ُك ْم ْال ُغلُ ُّو فِي ال ِّدي‬
َ .‫ْن‬ َ َ‫( َفإِ َّن َما أَهْ ل‬،‫ْن‬
َ ‫ك َمنْ َك‬ ِ ‫َيا أَ ُّي َها ال َّناسُ إِيَّا ُك ْم َو ْال ُغلُوَّ فِي ال ِّدي‬

Artinya : Wahai manusia, jauhilah oleh kalian sikap terlalu berlebih-lebihan


(melampaui batas) dalam beragama.! Karena sesungguhnya (hal) yang
menghancurkan umat sebelum kalian adalah lantaran sikap terlalu berlebih-lebihan
dalam beragama. (H.R. Ibnu Majah dari Sayyidina Ibnu Abbas)
Begitu juga dalam sabdanya yang lain, Rasulullah Saw menegaskan :

)‫ ( َر َواهُ ُم ْسلِ ٌم َع ِن ا ْب ِن َم ْسعُوْ ٍد‬.‫ت‬ َ ‫ك ْال ُمتَنَطِّعُوْ نَ ثَاَل‬


ٍ ‫ث َمرَّا‬ َ َ‫أَاَل هَل‬

Artinya : Ketahuilah.! Akan binasa orang-orang yang berlebihan (melampaui batas


dalam beragama). Nabi mengulang-ulang ucapan tersebut sebanyak 3x berturut-
turut. (H.R. Muslim dari Sayyidina Ibnu Mas’ud)

Lantas pertanyaannya sekarang adalah bagaimana sikap ideal yang


seharusnya ditampilkan oleh umat Islam hari ini dalam hal beragama ataupun dalam
seluruh aktifitas kehidupan mereka.? Jawabannya tidak lain adalah dengan menjadi
muslim yang mutawassith, yaitu muslim yang berada di pertengahan, tidak ekstrem
kanan dan tidak pula ekstrem kiri. Dalam artian kita harus bijaksana dalam
beragama. Bijaksana dalam membaca dan menelaah ajaran agama kita secara
komprehensif (menyeluruh), baik itu dari al-Qur’an ataupun hadis-hadis Nabi Saw.
Jangan sampai hanya karena bermodalkan satu ayat atau hadis yang kebetulan kita
dengar secara sepotong-sepotong dari sumber yang tidak jelas, membuat kita berani
berfatwa ataupun mengklaim sesat orang lain hanya gara-gara pemahamannya
berbeda dengan kita.

Kekeliruan dalam berpikir, khususnya dalam bidang agama akhir-akhir ini


umumnya disebabkan karena sebagian besar umat Islam hari ini sudah tidak mau

8
lagi berguru dan belajar mendalami ajaran agama mereka. Sehingga tidak heran
pada hari ini banyak kita temui para “dai” atau “ustadz” dadakan yang ketika
mendapatkan satu ayat dari al-Qur’an ataupun satu hadis dalam kitab-kitab hadis,
mereka langsung mengamalkannya tanpa membandingkannya terlebih dahulu
dengan ayat ataupun hadis lain. Parahnya lagi sebagian di antara mereka ada yang
memprovokasi umat dengan pemahaman minimalis yang mereka miliki itu untuk
menyesatkan, membid’ahkan, bahkan mengafirkan muslim lainnya.
Padahal berdasarkan kaidah umum yang dirumuskan oleh para ulama dalam
menafsirkan ataupun memahami al-Qur’an disebutkan bahwa satu ayat Al-Qur’an
pasti menafsirkan ayat yang lain, dan satu hadis juga pasti menjelaskan makna hadis
yang lain. Sehingga ketika kita baru menemukan satu ayat dalam al-Qur’an ataupun
satu hadis dalam kumpulan hadis-hadis Nabi, sebenarnya kita belum bisa
mengamalkannya secara langsung. Akan tetapi kita perlu mengaitkannya dengan
ayat ataupun hadis lain, yang mungkin saja mengkhususkan makna ayat yang
pertama tersebut, menganulirnya dan lain sebagainya. Sangat banyak kaidah
penafsiran dan kaedah hadis yang harus kita kuasai sebelum mengamalkan lahiriah
sebuah ayat ataupun hadis.
emudian kalau kita belum memiliki ilmu yang cukup untuk melakukan hal
itu, maka satu hal yang wajib kita lakukan adalah berguru dan mengikuti mereka
yang menguasai ilmu-ilmu tersebut, yaitu para ulama yang arif dan bijaksana. Para
ulama yang mempelajari seluruh ilmu-ilmu bantu/alat dalam agama, baik berupa
ilmu yang berkaitan dengan bahasa Arab, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Ushul Fikih,
Qawaid Fikih, Mantiq dan lain sebagainya. Karena Allah Swt dalam al-Qur’an
memerintahkan kepada orang yang tidak mengetahui persoalan untuk bertanya
kepada mereka yang mengetahuinya.

Seperti misalnya firman Allah dalam surah al-Nahl : 43.


(43 : ‫تَ ْعلَ ُموْ نَ اَل ُك ْنتُ ْم إِ ْن أَ ْه َل ال ِّذ ْك ِر فَاسْأَلُوْ ا )النَّحْ ُل‬

9
Artinya : Maka bertanyalah kalian kepada orang yang mengetahui jika kalian belum
mengetahuinya.! (Q.S. Al-Nahl : 42)

Dengan mempelajari agama seperti ini, maka mudah-mudahan kita akan


terhindar dari penyakit tanatthu’ sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Nabi di
atas. Yaitu serba berlebih-lebihan dalam beragama, terlalu eksrem kanan atau
ekstrem kiri. Terlalu tekstual dalam memahami dalil-dalil agama dan juga terlalu
kontekstual.Dalam arti kata, kita harus bisa bersikap netral dalam membaca segala
persoalan dan bijaksana dalam menyikapinya. Dari sikap seperti inilah keadilan itu
bisa terwujud, baik dalam bidang keagamaan, muamalah sehari-hari dengan sesama
muslim ataupun non muslim, ataupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Allah Swt berfirman dalam Surah al-Baqarah ayat ke-143 :

ِ َّ‫ك َج َع ْلنَا ُك ْم أُ َّمةً َو َسطًا لِتَ ُكونُوا ُشهَدَا َء َعلَى الن‬


‫اس َويَ ُكونَ ال َّرسُو ُل َعلَ ْي ُك ْم َش ِهيدًا‬ َ ِ‫َو َك َذل‬

Artinya : Dan demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai
umat pertengahan agar kalian bisa menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. (Q.S. Al-Baqarah : 143)

Dengan demikian, seorang yang moderat akan bersikap adil dalam menilai
sesama muslim, tidak suuzon, dan berprasangka buruk kepada mereka sebelum
melakukan klarifikasi terlebih dahulu. Seorang yang moderat akan menghargai
eksistensi orang lain yang berbeda keyakinan dengannya serta tidak mencela
ataupun menjelek-jelekkan agama dan keyakinannya tersebut. Begitu juga seorang
yang moderat akan bersikap adil dalam menilai pemimpin dan pemerintahnya.
Mengapresiasi jika mereka benar dan mengoreksinya jika mereka mengambil
kebijakan yang kurang tepat dengan cara yang santun dan bijaksana. Bukan dengan
menghujat, mencaci-maki dan menyebut mereka dengan kata-kata yang tidak pantas
didengar. Teladan dari semua sikap moderat ini tidak lain adalah Nabi Muhammad

10
Saw sendiri di mana dalam banyak hadisnya beliau selalu menekankan prinsip-
prinsip kesetaraan, saling menghargai antar satu sama lain, serta menebar kebaikan
dan rahmat kasih sayang dengan setiap manusia dan makhluk secara umum. Hal
inilah yang dibangun Nabi bersama para sahabat ketika mereka hijrah ke Madinah.
Beliau membangun Madinah dengan pluralitas kehidupan yang menyertainya.
Beliau hidup damai berdampingan dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang juga
menetap di kota tersebut. Kalaupun terdapat perperangan di antara mereka, itu
semua tidak pernah disebabkan oleh agama, melainkan karena ketidakadilan sosial
yang kadang terjadi di antara mereka.

2.2 Karakteristik Wasathiyah Islam


Pendidikan Islam harus sesuai dengan ajaran Islam yakni menjadikan
manusia sebagai abdullah dan khalifatullah. Sebagai abdullah, menjadi manusia
yang selalu ingat dan beribadah kepada Allah, dan sebagai khalifatullah, menjadi
manusia yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap mulia untuk
mampu hidup mandiri, mampu mengadakan hubungan yang baik dengan alam lain
termasuk dengan sesama sehingga mampu membangun dunia sebagai tempat hidup
bersama. Perlu dicatat bahwa pendidikan Islam mengembangkan seluruh potensi
manusia menyangkut sipiritual atau rohani manusia, pikir, rasa, imajinasi, intuisi
dan fisik manusia sendiri, sehingga tumbuh kepribadian yang komprehensip.
Pendidikan Islam tidak membenarkan melebihkan salah satu potensi atau
beberapa potensi diantaranya lebih berkembang dibanding yang lainnya.
Perkembangan potensi tersebut harus seimbang sehingga betul-betul akan
menumbuhkan sebuah kepribadian yang utuh dan kompak. Tidak ada rohani lebih
berkembang daripada pikir atau lainnya. Tidak ada pikir lebih berkembang daripada
rasa atau lainnya. Begitu seterusnya. Rohani tidak boleh mengabaikan fisik, fisik
tidak boleh mengabaikan rohani, pikir tidak boleh mengabaikan rasa, rasa tidak
boleh mengabaikan pikir, begitupula imajinasi dan intuisi harus dikembangkan
sewajarnya, sehingga betul-betul tumbuh dan berkembang suatu kompetensi

11
kepribadian yang unggul dan dari itu martabat dia sebagai abdullah dan
khalifatullah akan dicapai.
Di saat itulah dia menjadi manusia sempurna yang memiliki kehidupan yang
mudah dan kehidupan yang bermakna. Bilamana kedua kondisi tersebut telah
dimiliki oleh seorang, maka dia menjadi manusia sempurna yang akan mampu
menyebarkan rahmat bagi sekalian alam.
Ciri dari Islam Wasathiyah yaitu pertengahan atau moderasi, menghindari
segala bentuk kekerasan dan sekaligus merujuk memiliki sikap adil. Dengan
memahami ciri dan pengertian seperti yang dijabarkan di atas, maka umat Islam
mampu menjalankan agamanya secara wasathiyah. Berikut adalah poin-poin yang
mendefinisi praktik ajaran Islam Wasathiyah :
1. Tawassuth
Mengambil jalan tengah, yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak
ifrath, berlebih-lebihan dalam beragama, dan tafrith, mengurangi ajaran
agama.
2. Ttawazun,
berkeseimbangan, yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara
seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun
ukhrawi. Selain itu, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat
membedakan antara inhiraf, penyimpangan, dan ikhtilaf, perbedaan.
3. i’tidal, lurus dan tegas,
yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan
memenuhi kewajiban secara proporsional.
4. tasamuh, toleransi,
yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek
keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
5. musawah, egaliter,
yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan
keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang.

12
6. syura, musyawarah,
yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk
mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas
segalanya.
7. ishlah, reformasi,
yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih
baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman. Ishlah mesti
berpijak pada kemaslahatan umum, mashlahah ‘amah, dengan tetap
berpegang pada prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-
akhdzu bi al-jadidi al-ashlah.
8. aulawiyah,
mendahulukan yang prioritas,
yaitu kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus
diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan dengan yang
kepentingannya lebih rendah.
9. tathawwur wa ibtikar, dinamis dan inovatif,
yaitu selalu terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai
dengan perkembangan zaman serta menciptakan hal baru untuk
kemaslahamatan dan kemajuan umat manusia.

10. tahadhdhur, berkeadaban,


yaitu menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas, dan
integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan
peradaban.

13
2.3 Pewarisan Nilai – Nilai Islam Wasathiyah Melalui Pendidikan
Perilaku yang mencerminkan nilai-nilai Islam wasathiyah sejak dini telah
ditanamkan dalam Islam, misalnya sejak kelahiran anak, disunnahkan untuk
melaksanakan aqiqah sebagai tanda syukur atas berkah yang diberikan oleh Allah
SWT. Di dalam rangkaian aqiqah terdapat nilai-nilai pendidikan wasathiyah:
 Menyembelih kambing untuk disuguhkan kepada tetangga dan undangan
sebagai tanda syukur ke hadirat Allah. Hubungan sosial pertama sekali telah
ditanamkan melalui makan bersama dengan para tetangga.
 Memberi nama yang indah kepada anak, seperti Abdullah, Abdurrahman,
nama para Nabi, dan lainnya yang mengandung makna yang baik. Nama
sebagai doa agar anaknya menjadi manusia yang baik dalam arti individu
maupun sosial.
 Mentahnik, yakni mencelupkan kurma ke mulut anak oleh seorang yang
saleh dengan harapan semoga anak tersebut menjadi saleh pula. Kesalehan
akan mendatangkan performan yang menarik bagi kehidupan sesama.
 Menggundul rambut anak karena di kepala anak ada daki. Setelah digundul,
maka rambut anak itu disunnahkan untuk ditimbang dengan perak,
kemudian dihadiahkan kepada pakir miskin. Ini juga merupakan
pembelajaran kemampuan bersosialisasi ke depannya.

14
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
pembahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kekurangannya rujukan atau
refrensi yang ada hubungannya dengan judul ini kami berharap para pembaca
memberikan kritik dan saran dan membangun pada kami demi smpurnanya makalah
ini dan penulisan makalah ini di kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi kami pada khususnya juga para pembaca.
3.2 Saran
Menyadari bahwa penulisan masih jauh dari kata sempurna kedepannya penulis
akan focus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-
sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH. 2011.Pendidikan Agama Islam. Jakarta: RajawaliPers

Drs. Mamsudi AR. 2002.m Dienul Islam Untuk Santri TP Al-Qur’an.

Jakarta: LPPTKABKPRMI DKI

Zainun. 2019. Konsep islam wasathiyah. file:///C:/Users/CLIENT/Downloads/764-2044-1-


PB.pdf ( tanggal akses 9 Desember 2021)

16

Anda mungkin juga menyukai