Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HUKUM ISLAM PADA PERIODE SAHABAT

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah


Mata Kuliah: Tarikh Tasyri

Dosen Pengampu:
Sofia Gussevi, M.Ag

Disusun oleh:

Kelompok 3
Muhammad Azhar Al-Asy’ari
Muhammad Rizal Fauzi
Muh. Faza Luthfan Musthofa
Muhammad Ally Ramdhani

Kelas: HKI Semester 3

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DR. KHEZ MUTTAQIEN
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang


telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Tarikh Tasyri, dengan
judul: “HUKUM ISLAM PADA PERIODE SAHABAT”.
Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada kepada Ibu Sofia Gussevi, M.Ag. selaku dosen mata kuliah Tarikh Tasyri yang
telah memberikan tugas kepada kami. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan
makalah ini.

Purwakarta, 11 November 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................................
i
KATA PENGANTAR..................................................................................................
ii
DAFTAR ISI................................................................................................................
iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................
......................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................
......................................................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan..........................................................................................

......................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................
3
2.1. Pengaruh Fatwa terhadap Perkembangan Hukum Islam.............................
......................................................................................................................3
2.2. Sumber Hukum Islam pada Periode Sahabat...............................................
......................................................................................................................4
2.3. Sebab Ikhtilaf pada Periode Sahabat............................................................
......................................................................................................................11
2.4. Perkembangan Fatwa Sahabat.....................................................................
......................................................................................................................12
BAB III PENUTUP......................................................................................................
16
3.1. Kesimpulan..................................................................................................
......................................................................................................................16
3.2. Saran.............................................................................................................
......................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................
17

BAB I
PENDAHALUAN

1.1. Latar Belakang


Dengan terjadinya perluasan wilayah Islam, semakin kompleks pula
permasalahan yang dihadapi, dari situ muncul berbagai macam problematika yang
belum pernah terjadi sebelumnya, yang tidak ditunjuk secara langsung oleh nash,
baik dalam kitab maupun Sunnah. Inilah pertama kalinya fiqh berhadapan dengan
persoalan baru, yakni menyelesaikan atas masalah kemanusiaan dalam suatu
masyarakat yang pluralistik. 1

1
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, Surabaya: Risalah Gusti 1995, hlm.33
Para sahabat khususnya pada periode ini memainkan peranan yang sangat
penting dalam membina hukum Islam. Para sahabat dengan kapasitas pemahaman
yang komprehensif terhadap Islam karena lamanya bergaul dengan Nabi, dan
menyaksikan sendiri proses turunnya syariat, menyikapi setiap persoalan yang
muncul dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Mereka melakukan
interpretasi terhadap sebahagian wahyu yang bersifat global dan menggali
kandungan-kandungan moral yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
Dengan lahirnya sumber dan metode baru dalam prosesi tasyri, pada tataran
essensial merupakan implementasi al-Qur’an dan Sunnah, sehingga masa sahabat
bisa diklaim sebagai masa pertumbuhan syariah yang telah tertanam pada periode
Nabi.2
Berbicara tantang tasyri’ di masa sahabat ini akan menuntut untuk berbicara
panjang lebar, tetapi di dalam makalah ini pembicaraannya hanya terbatas pada
bagian-bagian yang sudah dibatasi, di antaranya, pengaruh fatwa terhadap
perkembangan hukum Islam, sumber hukum islam pada periode sahabat, sebab
ikhtilaf pada periode sahabat, perkembangan fatwa sahabat.

1.2. Rumusan Masalah


Penulis sudah menyusun sebagian permasalahan yang hendak dibahas dalam
makalah ini. Ada pula sebagian permasalahan yang hendak dibahas dalam makalah
ini antara lain:

1. Bagaimana pengaruh fatwa terhadap perkembangan hukum Islam?


2. Bagaimana sumber hukum Islam pada periode Sahabat?
3. Bagaimana sebab Ikhtilaf pada periode Sahabat?
4. Bagaimana perkembangan fatwa Sahabat?

1.3. Tujuan Penulisan

2
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.66
Pembuatan makalah ini tentu mempunyai tujuan penulisan, yang dimana tujuan
itu agar kami sebagai pemakalah bisa mengetahui bagaimana hukum Islam pada
periode sahabat, yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh fatwa terhadap perkembangan
hukum Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana sumber hukum islam pada periode sahabat.
3. Untuk mengetahui bagaimana sebab ikhtilaf pada periode sahabat.
4. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan fatwa sahabat.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengaruh Fatwa terhadap Perkembangan Hukum Islam

Islam adalah agama yang fleksibel dan luwes dalam menjaga tujuan-tujuan
pensyari’atan (maqasid al-syari’ah). Salah satu elemen fleksibilitas ajaran Islam adalah
fatwa. Fatwa secara bahasa berarti petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan yang
berkaitan dengan hukum, sedangkan menurut para ulama ushul fiqh fatwa diartikan
sebagai pendapat yang dikemukakan yang sifatnya tidak mengikat.3
Setelah Rasulullah SAW, orang-orang yang memberikan fatwa adalah para
generasi awal Islam, penyandang keimanan, prajurit al-Qur’an dan tentara Allah Yang
Maha Pengasih, mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah SAW.4
Kita telah mengetahui bahwa para sahabat tidak mempunyai posisi dan prestasi
yang sama satu sama lain, terutama bila dilihat dari kemampuan bernalar dan berijtihad.
Tentu, hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi bahwa ada sahabat yang sering dijadikan
Rasul sebagai teman diskusi dan bermusyawarah dalam memecahkan persoalan yang
besar, ada pula sahabat yang jarang atau tidak pernah sama sekali berdiskusi dengan
Rasulullah. Menurut Ibn Khaldun, tidak semua sahabat itu mampu berfatwa dan tidak
pula semua mereka dapat diambil dan dijadikan pedoman agama.5
Banyak sahabat yang menjadi mufti dan guru di berbagai daerah di antaranya
adalah: Aisyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi
Thalib.
Pada masa sahabat ini, terjadi perubahan yang besar dalam kehidupan masyarakat,
karena telah meluasnya wilayah Islam dan semakin kompleksnya kehidupan umat. Dari
tuntutan dan komitmen untuk menjalankan ajaran Islam, serta tingginya keimanan dan
kepatuhan kepada Islam, mereka selalu menghubungkan tingkah laku sehari-hari
dengan nilai agama. Untuk menemukan jawaban atas persoalan yang timbul maka
berkembanglah ijtihad.
Ada tiga hal pokok yang menjadi asal lahirnya ijtihad tersebut:
1. Munculnya berbagai persoalan baru, yang membutuhkan jawaban hukum yang
secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an maupun
sunnah.
2. Timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuannya dalam
Al-Qur’an dan Sunnah, dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan
3
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, Ichtiar baru van hoeve, 1996), hlm.236
4
Ibnu Qayyim Al Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in, hlm.29
5
Abdurrahamn ibnu Muhammad ibn Muhammad Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, (Mesir: Maktabah al-
Qur’an, 2006), h. 446.
menghendaki pemahaman baru agar selalu relevan dengan perkembagan dan
persolaan yang dihadapi.
3. Dalam al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan
terpisah. Bila hal ini berlaku dalam keadaan tertentu, para sahabat akan
menemukan kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.

Dalam realitanya, pada masa selanjutnya, pasca masa kelesuan berijtihad (jumud)
perkembangan hukum Islam senantiasa menampakkan potret keragaman pemikiran
yang amat varian, baik berkenaan dengan konstruk teori-teori pemikiran Hukum Islam
yang bersifat mendasar maupun beberapa aspek khusus yang bersifat parsial.6 Dalam
perkembangan hukum Islam senantiasa mengalami pasang surut terkait dengan
perbedaan dikalangan para ulama’, implikasi dari perbedaan ini terdapat pro dan kontra,
ada pandangan yang beranggapan bahwa perbedaan merupakan biang perpecahan,
namun tidak sedikit yang beranggapan bahwa perbedaan merupakan sebuah hikmah
yang mendorong perkembangan dalam hukum Islam.

2.2. Sumber Hukum Islam pada Periode Sahabat

Seperti telah disebutkan di pembahasan pertama bahwa perkembangan baru yang


muncul mengiringi perluasan wilayah Islam sangat membantu memperkaya khasanah
fiqhiyah. Setiap ada persoalan baru para sahabat menyelesaikan secara baik dan teliti
yaitu dengan merujuk kepada sumber dasar yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Bila mereka
tidak menemukan hukumnya pada kedua sumber tersebut mereka berkumpul
bermusyawarah guna membicarakan persoalan itu dan bila terjadi kesepakatan barulah
diputuskan persoalan yang mereka hadapi yang kemudian dikenal dengan ijtihad.

Dalam catatan sejarah, di bawah kendali khalifah dibantu beberapa sahabat


lainnya, aktifitas tasyri’ berkembang dengan sangat mangagumkan, yang ditandai
dengan lahirnya sumber dan metode baru dalam berijtihad. Sumber tasyri’ pada periode
ini selain al-Qur’an dan Sunnah, lahir ijma’ shahabi dan qiyas. 7 Para sahabat mulai giat
berijtihad baik dalam bentuk ijtihad jama’i maupun ijtihad fardli. Ijtihad jama’i
6
Roibin, Penetapan hukum Islam dalam Lintasan sejarah, (Malang, UIN Press, 2010), hlm.vii
7
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.62
dilakukan ketika mereka masih berada di madinah sedangkan ijtihad fardi dilakukan
ketika mereka sudah menyebar ke daerah-daerah Islam lainnya.

Keempat sumber dan metode ijtihad di masa ini dapat dielaborasi lebih lanjut
sebagaimana penjelasan berikut;

1. Al-Qur’an

Para Fuqaha dan ushuliyyin serta para mufassir mendefinisikan bahwa al-Qur’an
adalah lafal yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad mulai dari al-
fatihah sampai dengan an-nas, atau kalam Allah yang mu’jiz yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW dengan perantara jibril, yang tertulis dalam mushaf mulai dari
surat al-fatihah sampai dengan surat an-Nas, yang disampaikan oleh Rasul Allah secara
mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah.8

Pada periode Abu bakar as-Shiddiq, pada masa kekhalifahannya terjadi


pertempuran yang sangat hebat di Yamamah melawan Musaylamah. Dalam peperangan
tersebut para sahabat banyak yang gugur, 70 orang diantaranya adalah para penghafal
al-Qur’an. Maka, Umar menggagas kembali upaya pengkodifikasian (penghimpunan)
ayat-ayat al-Qur’an ke dalam satu kitab/mushaf.9

2. Sunnah

Prinsip para sahabat terhadap sunnah semakin kuat dengan beberapa sabda Nabi.
Keyakinan para sahabat terhadap kebenaran al-Qur’an mengantarkan mereka untuk
menerima Sunnah sebagai sumber rujukan tasyri’.10

Dikutip dari buku Tarikh tasyri’, menurut Abu Thalib (1990) menyatakan bahwa
Sunnah secara linguistik, as-Sunnah berarti cara atau jalan yang terpuji maupun yang
tercela. Secara terminologi menurut Hafizuddin al-Nasafi (w. 710) dalam Kasyful Asrar
(1986:3). Menjelaskan bahwa Sesungguhnya Sunnah adalah sesuatu yang diriwayatkan

8
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.62
9
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.64
10
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.65
dari Nabi Muhammad saw. baik perbuatan maupun perkataan. Akan tetapi, dalam
ungkapan lain Hafizuddin al-Nasafi menegaskan bahwa: as-Sunnah ialah berkaitan
dengan perkataan Rasul, perbuatan dan termasuk diamnya dan begitu pula termasuk
perkataan para sahabat dan perbuatan mereka.

Kehati-hatian sahabat dalam mericek validitas Sunnah mengingat peran Sunnah


dalam prosesi tasyri’ amatlah vital, mengingat kandungan hukum dalam al-Qur’an ada
yang bersifat qath’i al-dalalah (dhahir, nash, muhkam dan muffasar) dan dhanni al-
dalalah (mujmal, khafi, muyskil dan mutasyabih). Terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
dzanni al-dalalah dipicu oleh keterbatasan pengetahuan mengenai linguistika bahasa
arab dan asbabun nuzul. Di sinilah fungsi Sunnah sebagai tibyan (penjelas) kesamaran
kandungan hukum ayat-ayat al-Qur’an menjadi sesuatu yang amat vital.

3. Ijma’ Shahbi dan Ijtihad kolektif

Salah satu cara sahabat dalam merumuskan hukum (syariah) adalah dengan
mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah menyatukan pendapat dan mencapai
kata sepakat yang di kemudian hari dalam disiplin ilmu ushul fiqh disebut ijma’ shohabi
(jika terjadi kesepakatan mutlak) atau qaul shohabi (jika merupakan pendapat minoritas
atau individual).11

Ijma’ yang berarti secara bahasa, Ijma’ berarti sepakat atau konsensus dari
sejumlah orang terhadap sesuatu. Menurut Imam Subki dalam kitabnya Matn Jam’i al-
Jawami adalah kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.
terhadap persoalan yang berkaitan dengan hukum syara’. Persoalan ijma’ adalah
menyangkut masalah ijtihadiyah dan hal ini berkaitan dengan aktifitas para mujtahid
dalam urusan hukum.

Ijma’ sebenarnya sacara substantive merupakan salah satu metode dalam


merumuskan hukum syariat yang berpedoman pada nash al-Qur’an maupun Sunnah.
Namun nash yang dijadikan pedoman ijma’ bukanlah nash yang secara eksplisit, jelas
11
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.68
dan terperinci telah menentukan hukum. Secara umum, pedoman ijma’ adalah dalil-dalil
nash yang bersifat dzanni (asumtif).12

4. Qiyas

Qiyas yang secara etimologi (lugawi), qiyas diartikan dengan mengukur sesuatu
dengan sesuatu yang lainnya. Atau qiyas dapat pula diartikan dengan mengukur sesuatu
atas sesuatu yang lain dan kemudian mengamalkannya. Secara sederhana ulama ushul
fiqh mendefinisikan qiyas sebagai penganalogian hukum atas permasalahan yang tidak
ditegaskan dalam nash pada persoalan lain yang hukumnya sudah ditetapkan dalam
nash disebabkan adanya persamaan illat hukum antara keduanya. (al- Khin, 1969; 468)

Mayoritas ulama mengakui keberadaan qiyas dalam ijtihad sahabat melalui


penelusuran beberapa pertanyaan mereka, diantaranya adalah Umar ketika mengutus
Abu Musa al-Asy’ari ia berpesan “pahamilah, pahamilah, permasalahan yang engkau
hadapi dari beberapa permasalahan yang tidak ada dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Kemudian qiyaskanlah antara beberapa permasalahan itu”.

5. Al-Maslahah al-Ammah

Para sahabat memegang betul bahwa prinsip dan tujuan utama penerapan syariah
adalah untuk menciptakan kesejahteraan universal bagi seluruh umat manusia dan
menjauhkan mereka dari marabahaya sebagaimana termaktub dalam al-anbiya’ 107.
Salah satu metode penerapan konsep al-maslahah adalah meminimalisir faktor kesulitan
(al-haraj), oleh karenanya salah satu proses penetapan hukum syariah diterapkan secara
tadriji (bertahap) semisal pengharaman khamr yang sebelumnya telah menjadi budaya
masyarakat arab.

2.3. Sebab Ikhtilaf pada Periode Sahabat

Perbedaan pendapat telah ada sejak zaman sahabat Nabi Muhammad saw. Sahabat
berbeda pendapat dalam menyelesaikan suatu kasus karena mereka tidak terjaga dari

12
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.72
kekeliruan. Selain itu sebab lain ikhtilaf pada zaman sahabat dapat dibedakan menjadi
tiga, antara lain:

1. Perbedaan pendapat yang disebabkan sifat Al-Qur’an, diantaranya sebagai


berikut:
 Dalam Al-Qur’an terdapat lafadh yang bermakna ganda (isytarak). Seperti firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228:
     

“wanita-wanita yang dithalaq hendaklah menahan diri tiga kali quru”

Lafadh quru’ memiliki arti mustarak antara makna bersih dan haidh. Maka dari
sini mereka berbeda pendapat tentang masa menunggu iddah wanita yang diceraikan
suaminya antara tiga kali bersih atau tiga kali haidh.

 Hukum yang ditentukan Al-Qur’an masing-masing tanpa mengantisipasi


kemungkinan bergabungnya dua sebab pada satu kasus. Misalnya, dalam Al-
Qur’an surat Al-Baqarah ayat 234 terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu (iddah)
bagi wanita yang dicerai karena suaminya meninggal dunia adalah selama 4 bulan
10 hari dan dalam surat Al-Thalaq ayat 4 waktu tunggu bagi wanita yang dicerai
dalam keadaan hamil adalah hingga melahirkan.

Dua ayat tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang wanita


ditinggal wafat oleh suaminya, karenanya muncullah dua pendapat berbeda dalam
menentukan masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya antara selama
4 bulan 10 hari dan sampai melahirkan.

2. Perbedaan pendapat disebabkan sunnah, diantaranya karena:

 Tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap sunnah, hal ini
dikarenakan perbedaan masa kebersamaan dengan Nabi.
 Riwayat yang telah sampai kepada seorang sahabat belum tentu sampai juga
kepada sahabat lainnya.
 Sahabat berbeda pendapat dalam menakwilkan sunnah.
 Pada masa itu Belum ada pembukuan terhadap sunnah nabi.

3. Perbedaan pendapat yang disebabkan perbedaan ra’yu dan lingkungan tempat


tinggal mereka.

Para sahabat menggunakan ra’yu apabila tidak menemukan nash dalam Al-qur’an
dan As-sunnah. Meskipun dipandang sebagai maslahat dan lebih dekat dengan syari’at
namun perbedaan pola pikir diantara sahabat juga menimbulkan perbedaan dalam
menanggapi suatu masalah.

Selain itu faktor domisili juga ikut mempengaruhi perbedaan dalam menentukan
hukum atas suatu masalah karena kebutuhan atas pemenuhan kemaslahatan umum suatu
negeri berbeda dengan negeri lain.

2.4. Perkembangan Fatwa Sahabat


1. Masa Abu Bakar (11-13 H/ 632/633 M)

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, ia berhasil mencatat sejumlah kesuksesan,


diantaranya kepemimpinan Islam yang mencapai Mesopotamia, melenyapkan nabi
palsu, dan gagasan untuk melakukan kodifikasi Al-Qur’an yang menunjukkan hasil
awal yakni mengumpulkan naskah-naskah yang sebelumnya masih berserakan yang
telah ditulis pada bahan-bahan darurat seperti pelepah kurma dan tulang-tulang unta dan
sebagainya.13

Salah satu ijtihad Abu Bakar yaitu berkenaan dengan harta peninggalan Nabi
Muhammad saw. Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa ahli waris dapat menerima harta
pusaka apabila yang mewariskan (muwarits) meninggalkan harta (Q.S. an-Nisa 4:11).
Ketika Nabi Muhammad saw meninggal dunia, yang menjadi ahli waris adalah Fatimah.

Abu bakar meriwayatkan salah satu hadits dari Nabi Saw:

13
Abu Su’ud, Islamologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 56
Kami adalah sekalian para nabi tidak mewariskan harta: harta yang kami
tinggalkan adalah shodaqoh.

Berdasarkan riwayat itu, Abu Bakar berijtihad bahwa surat an-Nisa ayat 11 di-takhsish
oleh hadits tersebut. Karena itu, Fatimah tidak dapat menerima harta pusaka karena
yang ditinggalkan Nabi adalah shadaqah. (Muhammad ibn al-Hasan al-Hujwi, al-
Tsa’alabi al-fasi, 1397 H., I: 230-231)14

Secara operasional, tiap-tiap khalifah berbeda dalam menggali hukum. Khalifah


Abu Bakar, apabila tidak mendapatkan hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah maka ia
mengumpulkan para sahabat dan merembukkan hal tersebut. Apabila para sahabat
memperoleh kesepakatan menetapkan suatu pendapat, maka Abu Bakar menetapkan
hukum sesuai dengan pendapat yang disepakati.15

2. Masa Umar bin Khattab (13-23 H/ 634- 644 M)

Pada Masa Umar bin Khattab, Islam mulai menyebar. Masalah hukum juga
semakin bertambah dan semakin luas pula peranan para gubernur. Oleh karena itu,
Umar bin Khattab memisahkan peradilan (yudikatif) dari pemerintahan (eksekutif), dan
mengangkat beberapa orang sebagai hakim selain gubernur.16 Pada masa Umar, telah
mengalami pengkhususan dalam bidang hukum. Namun apabila khalifah berpartisipasi
dalam hukum, maka hal tersebut berdasarkan pengetahuan khalifah tentang hukum
bukan berdasarkan jabatan politiknya.
Umar tidak hanya dikenal pandai menciptakan peraturan-peraturan baru, ia juga
memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap kebijaksanaan yang telah ada, jika hal
tersebut diperlukan demi tercapainya kemaslahatan umat Islam.17 Contoh ijtihad Umar
adalah menurut Surat Al-Ma’idah ayat 38 orang yang mencuri, diancam dengan
hukuman potong tangan. Dimasa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam
masyarakat disemenanjung Arabia, dalam keadaan itu ancaman terhadap pencuri

14
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.82-83
15
Dedi Supriyadi, Op.Cit,., h. 70-71
16
Alaiddin Koto, Op.Cit, h. 63
17
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 103.
tersebut tidak dilaksanakan oleh khalifah Umar berdasarkan pertimbangan keadaan
darurat dan kemaslahatan jiwa masyarakat.

3. Masa Utsman bin Affan (23-35 H/ 644-656 M)

Karya besar dari Utsman adalah keberhasilannya melakukan kodifikasi Al-Qur’an


yang telah dirintis sejak kepemimpinan Abu Bakar yang diteruskan oleh khalifah Umar.
Adanya kodifikasi Al-Qur’an tersebut maka semua naskah atau mushaf Al-Qur’an
terdahulu dimusnahkan, hal tersebut agar tidak membingungkan umat Islam dalam
mengkaji Al-Qur’an.18
Utsman bin Affan merupakan orang pertama yang mengkhususkan kantor untuk
peradilan. Utsman selalu bermusyawarah dengan Ali dan lainnya sebelum
mengeluarkan hukum.19 Sebelum memiliki lembaga peradilan untuk mengundangkan
suatu kebijakan atau peraturan untuk menjaga atau mengawasi pelaksanaanya sehingga
tradisi hukum (yurisprudensi) yang harus dipertahankan. 20 Pada masanya, hal baru
seperti KKN telah terjadi, seperti posisi kekuasaan banyak diangkat dari keluarga
besarnya, dan sebgainya.

4. Masa Ali bin Abi Thalib (35-40 H/ 656- 661 M)

Semasa pemerintahanya Ali tidak dapat berbuat banyak untuk mengembangkan


hukum Islam karena keadaan Negara tidak stabil. Tumbuh bibit-bibit perpecahan yang
serius dalam tubuh umat Islam, yang bermuara pada perang saudara yang kemudian
menimbulkan kelompok-kelompok.

Sebelum terjadi perpecahan besar baik kelompok syi’ah, mu’tazilah, maupun


khawarij. Salah satu kebijakan Ali ialah tentang kepentingan bersama setelah perang
jamal. Ia membagi semua harta yang diperolehnya ke baitul mal dan secara merata

18
Abu Su’ud, Op.Cit., h. 61.
19
Alaiddin Koto, Op.Cit., h. 68.
20
Muhammad Quthb, Op.Cit., h. 145.
membagikannya kepada para pendukungnya. Pandangan politik Ali yang jelas, relevan,
dan devensif dengan cepat berubahmenyebabkan ia yakin bahwa petunjuk-petunjuk
yang diletakkan oleh Al-Qur’an, oleh kehidupan nabi, dan tiga khalifah sebelumnya
cukup bila ditafsirkan kembali untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dizamannya. 21
Ali meletakkan tuntunannya terhadap otoritas keagamaan dalam rangka memecahkan
masalah-masalah politiknya.

BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di bab sebelumnya, maka dapat di simpulkan sebagai
berikut:
1. Pada masa sahabat ini, terjadi perubahan yang besar dalam kehidupan masyarakat,
karena telah meluasnya wilayah Islam dan semakin kompleksnya kehidupan umat.
Dari tuntutan dan komitmen untuk menjalankan ajaran Islam, serta tingginya

21
MA.A. Shaban, Sejarah Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 104.
keimanan dan kepatuhan kepada Islam, mereka selalu menghubungkan tingkah
laku sehari-hari dengan nilai agama. Untuk menemukan jawaban atas persoalan
yang timbul maka berkembanglah ijtihad.
2. Kondisi pemerintahan pada masa Abu Bakar banyak memerangi nabi palsu,
pembangkangan membayar pajak, dsb. Pada Masa Umar mulai banyaknya
penaklukan ke berbagai daerah. Pada Masa Utsman masih banyak dilakukan
ekspansi-ekspansi ke daerah-daerah lain, namun pada pertengahan
kepemimpinannya, mulai timbuk kekecewaan masyarakat kepada pemerintah.
Pada masa Ali, tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya dapat dikatakan
stabil, banyak terjadi peperangan.
3. Pada masa Abu Bakar dan Umar menetapkan masalah-masalah baru dengan
berijtihad jika tidak terdapat dalam AL-Qur’an dan Sunnah, begitu pula dengan
masa Umar. Namun pada masa umar, mulai dipisahkan antara kekuasaan
yudikatif dan eksekutif. Pada masa Utsman, mulai dibangun peradilan-peradilan,
dan terjadi KKN untuk pertama kalinya. Pada masa Ali merupakan permulaan
timbulnya madzhab-madzhab.
3.2. Saran
Dengan memahami lebih jauh mengenai hukum Islam pada periode Sahabat,
diharapkan dapat mengetahui lebih jauh perkembangan-perkembangan setiap
generasinya mengenai hukum Islam, dan dapat diambil pelajaran mengenai hal-hal yang
dapat diadopsi untuk memperkaya wawasan hukum di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. H.A. Hasyim Nawawie, S. M. (2014). TARIKH TASYRI'. (M. Drs. Jamaluddin, Ed.)
Surabaya: Jenggala Pustaka Utama.
Dr. Yayan Sopyan, S. M. (2018). TARIK TASYRI': SEJARAH PEMBENTUKAN
HUKUM ISLAM. Depok: Rajawali Pers.
Jauziyah, I. Q. (1996). I'lamul Muwaqi'in 'an Rabb al-Alamin. (M. A. Ibrahim, Ed., &
A. S. Sa'diyatulharamain, Trans.) Beirut: Daar al-kutub al-Ilmiyah.
Suhadak, F. (2013). URGENSI FATWA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM
ISLAM. de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 5 Nomor 2, Desember
2013, hlm. 189-196 , 5, 189-196.

Anda mungkin juga menyukai