SEJARAH FATWA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Kajian Fatwa Ekonomi
Syariah.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang tulus memberikan do’a, saran dan kritik sehingga
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kata
oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
kritik yang membangun dari berbagai pihak. Kami berharap semoga makalah ini
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I ....................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................... 3
BAB II ...................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ...................................................................................................... 4
PENUTUP .............................................................................................................. 12
A. Kesimpulan ................................................................................................. 12
B. Saran............................................................................................................ 12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang telah dimaksudkan oleh Allah untuk mengatur
hubungan antara manusia dengan tuhan dan antara manusia dengan manusia.
Dengan kedudukannya yang demikian dapat dipahami kalau ajaran Islam memuat
aturan-aturan yang berkaitan dengan dua hubungan tersebut. Ditahui bahwa hukum
yang dipakai dan berlaku dalam Islam adalah berdasarkan wahyu Allah yang telah
disebut dengan ayat al ahkam, dalam kajian yang telah dilakukan oleh Abdul Wahab
Khallaf ditemukannya 368 ayat di dalam Al quran (5.8% dari keseluruhan ayat Al
Pertama, hukum Islam berdimensi ilahiyah, artinya bahwa ajaran yang diyakini
bersumber dari Allah SWT dan senantiasa dijaga sakralitasnya. Jadi dalam hal ini
hukum Islam dipahami sebagai syariat yang cakupannya luas. tidak terbatas pada
fiqih saja tapi mencakup juga dalam bidang keyakinan, amaliah dan akhlak. Kedua,
hukum Islam berdimensi insaniyah, maksudnya hukum Islam adalah upaya dari
manusia secara bersungguh sungguh untuk memahami ajaran yang dianggap suci
maqashid. Dalam dimensi ini hukum islam dipahami sebagai produk pemikiran yang
1
dilakukakn dengan berbagai pendekatan, dikenal dengan sebutan ijtihad atau tingkat
senantiasa terus berkembang dan berjalan seiring dengan gerak laju perkembangan
umat Islam itu sendiri. Hukum dalam Islam pastinya bersumber kepada Al-qur'an
dan Hadist sehingga semuanya sudah dijelaskan dan ditentukan secara gamblang
merupakan titik dari kemajuan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam khususnya di
variasi disini arahnya terdapat perbedaan dari setiap madzhab. Hal ini tidak terjadi
masalah karena dengan adanya perbedaan ini bahwa ilmu pengetahuan tentang Islam
sangat luas sehingga perbedaan-perbedaan ini tidak masalah dalam dunia Islam.
aliran politik secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Hal ini
penggunaan Ra'yı
penting, karena sebagai upaya konstruktif dalam memahami produk pemikiran dan
pola yang digunakan. Salah satu kaidah dikatakan bahwa memelihara produk
2
pemikiran ulama dan langkah- langkah ijtihadnya serta mengembangkannya
ashlah) "memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih
baik". Dengan begitu dalam mempelajari perkembangan hukum Islam berarti telah
manusia tetap terpelihara. Dengan demikian, bahwa pemikiran hukum Islam pada
masa Tabi'in mengalami kemajuan pesat, dari setiap imam madzhab mempunyai
istinbat tersendiri. Dalam kajian ini hanya membahas pemikiran hukum Islam masa
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
Fatwa adalah sebuah keterangan hukum yang tidak mengikat yang diberikan
oleh seorang mufti kepada mustafti, baik jawaban atas sebuah pertanyaan atau tidak,
baik permaslahan baru ataupun lama yang berlandaskan atas dalil al-Qur’an dan al-
hukum Islam itu sendiri. Secara historis, orang yang pertama kali berfatwa dalam
Islam adalah Nabi Muhammad Saw., sendiri, yang dalam pengertian lain fatwa
tersebut merupakan wahyu Allah Swt., dan merupakan sesuatu yang diyakini
kebenarannya.
institusi fatwa diperkenalkan oleh Nabi sendiri sejak Islam mulai berkembang ke
tersebut didasarkan pada kitab Allah, atau kadang-kadang didasarkan pada ijtihad
Nabi sendiri sesuai bimbingan dan petunjuk dari Allah, bentuk yang kedua inilah
1
Muhammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimi, al-Fatwā fi al-Islām, (Beirut: Dar al-Kutub al-'ilmiyah,
1986), h.31
2
Saiyad Nizamudduin, Fatwa of Condemnation : Islam and the Limit of Dissent , (Kuala
Lumpur: ISTAC IIUM, 2006), h.53
4
Setelah masa Nabi dan Sahabat berakhir, kegiatan berfatwa dilanjutkan oleh
tabi'in, generasi ini adalah mereka yang sempat berguru kepada tokoh-tokoh
keilmuan dari generasi sahabat. Proses transformasi keilmuan yang berlaku antara
sahabat dan tabi'in terjalin berdasarkan metode periwayatan (nuqil), baik secara
langsung maupun tidak lansgung. Secara langsung berarti tabi'in mendengar atau
berguru secara langsung kepada seorang sahabat mengenai keputusan hukum dan
fatwa yang dikemukakan sahabat Secara tidak langsung berarti tabi'in menghafal
dan menguasai segala ketentuan hukum seorang sahabat walaupun tidak pernah
ketetapan hukum dan fatwa yang pernah dikemukakan 'Umar sedang mereka tidak
pernah bertemu.3
Beberapa sahabat yang terkenal dengan fatwa secara langsung atau tekstual
pada teks alQur'an dan al-Sunnah adalah, Muadz Ibn Jabal, Ibn Umar, Ibn Masud,
adapun shabat yang terkenal dengan kontekstual atau secara tidak langsung seperti
Corak pemikiran mereka yang berbeda inilah yang mewariska para tabi'in
yang beragam dan berbeda-beda dalam beristimbat. Ditambah lagi dengan riwayat
hadist yang berbeda-beda dari mereka, para tabi'in membuat rumusan sendiri dalam
pada setiap negara yang mereka diami, seperti: Sa’id Ibn Musayyib dan Salim Ibn
3
Al-Syirazi, Tabaqat al-Fuqaha, (Beirut: Dar al-Ra'id Al-'Arabi, 1978), h. 73
5
Abdillah Ibn Umar menjadi Imam dan Mufti Madinah. Kemudian setelah mereka
ada alZuhri, Qadhi Yahya Ibn Sa'id dan Rabi'ah Ibn Abdirrahman.4 Atha' Ibn Abi
Rabah menjadi Imam dan Mufti di Mekkah, kemudian Ibrahim al-Nakhai dan
alSya'bi di Kufah, Hasan al-Basri di Basrah, Thawus Ibn Kaisan di Yaman, dan
Makhul di Syam.
riwayat hadisy dan fatwa-fatwa. Tidak hanya meriwayatkan fatwa para sahabat,
tetapi mereka juga melakukan ta'liq dan tarjih dari mereka sendiri. Salah satu Tabi'in
yang berhasil membuat kodifikasi fatwa para sahabat dalam semua bab fiqh adalah
yang menjadi mufti Syam adalah : Abu Idris al-Khaulani, Syarhabil Ibn al-Samthi,
Abdullah Ibn Abi Zakariyyah al-Khazai', Khibban Ibn Umayyah, Sulaiman Ibn
Habib al-Muharibi, Kharits Ibn Umair Ibn al-Zabidi, Khalid Ibn Ma'dan,
1) politik Negara yang tidak stabil dan mengalami perubahan dari masa
4
Muhammad Jamaluddin, h. 37-39
5
Jamaluddin al-Qasimi, h. 38
6
Ibn Qayyim, Ilam al-Mu'awwiqin, h. 13
6
kubu politik yang dikenal dengan al-Khawarij, Al Syi'ah dan Ahl alJama'ah.7
hukum dan metodologi pencarian hukum tersendiri yang berbeda antara satu
dengan lainya.8
2) semakin meluasnya daerah daerah taklukan Islam yang tentu saja memiliki
latar belakang kehidupan, kedudukan sosial dan adat yang berbeda, sebagai
akibatnya terdapat fenomena baru yang lahir yakni sikap sebagian penduduk
"Ketika seorang ahli di suatu tempat telah banyak bergaul dan merujuk kepada
ulama-ulama di daerah mereka, mereka telah memberi thiqah (kepercayan) penuh
kepada ulama tersebut sehingga menyebabkan ketergantungan yang mutlak terhadap
pandangan-pandangan hukum yang dikeluarkan. Hasilnya mereka tidak lagi meras
perlu untuk merujuk pandagan-pandangan ulama lain dalam menghadapi
permasalahan. Hal seperti ini terjadi pada setiap tanah taklukan Islam. Sebagai
contoh fatwa-fatwa 'Abdullah Ibn 'Umar, 'Abdullah Ibn 'Abbas dan para pengikutnya
yang menjadi pegangan bagi penduduk Madinah, fatwa-fatwa 'Abdullah Ibn Mas'ud
dan muridnya juga menjadi pedoman bagi penduduk Kufah, pandangan Abū Mūsā
alAsy'arī dan Anas bin Malik menjadi pedoman penduduk Basrah, fatwa-fatwa
Mu'aẓ bin Jabal dan 'Ubadah Ibn Ṣamit menjadi pegangan penduduk Syam dan
begitu juga fatwa-fatwa hukum 'Abdllah bin 'Amru bin al-'As menjadi pedoman
penduduk Mesir".9
Pada masa ini lahir dua pemikiran hukum yang berbeda, pertama aliran
ahlMadinah atau ahl-Hadith yang berpusat di Ḥijaz sementara yang kedua adalah
7
Abu Zahrah, Tarikh al-Maḍahin al-Islamiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr Al-'Arabi, 1987), h. 246
8
Al-Khuḍari,Tarikh al-Tasyri al-Islami, (Mesir: Maktabah Tijariyah al-Kubra, 1965), h. 131-
133
9
Al-Says, Tarikh al-Tasyri al-Islami, (Maktabah Muhammad 'Ali al-Sabiḥ) , h. 80
7
ahl al-Kufah atau ahl al-Ra'y yang berpusat di Kufah. Sejak masa sahabat Madinah
dan Kufah merupakan pusat kegiatan ilmiah. Madinah sebagai kota yang menjadi
hukum yang diwarisi Rasulullah S.a.w. Di Madinah ini juga merupakan tempat
lahirnya para sahabat yang diberi gelar fuqahā al-sab'ah (gelar tersebut diberikan
berfatwa pada kurun waktu yang sama), di antara sahabat yang mendapat gelar
tersebut adalah Sa'id bin Musayyab, 'Abd al-Rahman Ibn Ḥarith Ibn Hisyam, dan
lain-lain.10 Sedangkan Kufah merupakan pusat sebagian besar para sahabat seperti
'Abdullah Ibn Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, Sa'd Ibn Abi Waqqas, Anas Ibn Malik
dan lain-lain.
Ahl-Madīnah yang dipelopori kalangan sahabat dan meluas pada masa tab'in
hukum dan fatwa. Menurut mereka adalah lebih tepat jika merujuk kepada alsunnah
dilatarbelakangi oleh keadaan bahwa Madinah merupakan pusat turunnya wahu dan
pusat pengkajian keilmuan Islam yang paling awal karenanya terdapat banyak
refensi-referensi hadith Rasulullah Saw., yang telah dihafal oleh para sahabat dan
10
Ibn Qayyim. A'lam al-Muwwaqi'in, (Mesir : Idara Ṭaba'ah Muniriyyah), h.18
11
Al-Khuḍari, Tarikh al-Maḍahin al-Islamiyyah, (Beirut: Dar al-Ra'id Al-'Arabi, 1978), h.144
8
seterusmya diwarisi oleh tabi'in. Dengan demikian tidak sulit bagi mereka untuk
Sementara itu, Ahl al-Ra'y yang mewarisi sikap dari guru mereka dari kalangan
analisis ilmiah atau daya fikir setelah tidak ditemukan rujukan dari naṣ al-Qur‟ān
dan hadith. Ahl al-Ra'y cenderung melihat suatu ketentuan hukum dengan meneliti
hikmah dan rahasia di baliknya untuk kemudian diterapkan dalam kasus-kasus yang
mempunya sebab hukum yang sama, sikap mereka yang lebih suka menggunakan
akal untuk menetapkan suatu hukum. 12 Berbeda dengan Madinah, Kufah yang
Selain itu, dengan semakin meluasnya tanah taklukan Islam pada masa ini
timbul pula praktek pemalsuan hadist. Gerakan ini dilakukan oleh golongan yang
tidak memiliki kecakapan dalam meriwayatkan hadist maupun oleh golongan yang
sengaja melakukan pembohongan terhada Rasulullah Saw., dan ada pula yang
12
Muhammad Abū Zahrah, Uṣūl al-Fīqh, (Beirut: Dār al-Fīkr al-'Arabī), (t.t), h.247
9
B. Sejarah Fatwa Zaman Mujtahid (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali)
Setelah masa tabi'in, fatwa berkembang melalui para imam-imam mujtahid dan
ditetapkan dalam al-Qur‟ān dan hadist, fatwa sahabat dan fatwa-fatwa mujtahidin
sebagai hasil ijtihad mereka pada waktu itu. Permasalahan-permasalah fiqh pada
Pada masa ini fiqih mulai berkembang, semua Imam Madzab seperti Syafi'i,
Maliki, Hambali, dan Hanafi mempunyai metode tersendiri dalam Istimbat ahkam,
fiqh Madinah dikenal dengan fiqh Ahli Hadist dan Fiqh Ahli Irak dikenal dengan
fiqh Ahli al-Ra'y. Sementara di Mesir al-Laiys Ibn Sa’ad dan al-Syafi'i
menggabungkan keduanya. Pada masa ini orang tidak terkungkung pada satu
madzhab yang harus dianut oleh mereka. Selepas masa Imam Madzab (al-Hanafi,
Maliki, Syafi'i dan Hambali) adalah fase stagnant atau taqlid, tetapi tidak mutlaq
dalam satu madzab saja, mereka memilah-milah diantara madzab yang mereka
yakini kebenaranya. Oleh karena itu ketika seseorang ingin menanyakan hukum
sesuatu, mereka pergi kepada seoarang alim yang diyakini kefaqihanya apapun
Setelah abad kempat hijriyyah, Fiqh mengalami stagnant, masa jumud altaqlidi,
mereka hanya membuat ta’liq dan takhrij, kesimpulan dan tarjih dari ijtihad atau
10
islam. Perang lintas Madzhabpun tidak terelakkan, para ulama enggan untuk
berijtihad karena ijitihad ulama terdahulu telah mewakilinya. Pada masa ini
madhab Maliki, Hanafi dan Hambali. Orang yang mengikuti madzhab Syafii' tidak
boleh meminta fatwa kepada Mufti Maliki, hingga muncullah istilah talfiq yaitu
menggabungkan dua madzhab sekaligus dalam Ibadah, seperti dalam tata cara
madhab Maliki.
seperti dalam Madzhab al-Syafi'i kita kenal dengan Fatwa Imam alNawawi, Ibn
hajar al-Asqalani, dan fatwa Imam al-Baidawi. Dalam Madzhab Hambali kita kenal
dengan Majmu' fatwa Imam Ibn Taymiyyah, Majmu' fatwa Bin Baz, dalam Madzab
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fatwa adalah sebuah keterangan hukum yang tidak mengikat yang diberikan
oleh seorang mufti kepada mustafti, baik jawaban atas sebuah pertanyaan atau tidak,
baik permaslahan baru ataupun lama yang berlandaskan atas dalil al-Qur’an dan al-
Sunnah.
Setelah abad kempat hijriyyah, Fiqh mengalami stagnant, masa jumud altaqlidi,
mereka hanya membuat ta’liq dan takhrij, kesimpulan dan tarjih dari ijtihad atau
islam. Perang lintas Madzhabpun tidak terelakkan, para ulama enggan untuk
berijtihad karena ijitihad ulama terdahulu telah mewakilinya. Pada masa ini
B. Saran
Oleh karena itu saran dan masukan kami perlukan untuk perbaikan ke depannya.
12
DAFTAR PUSTAKA
13