Anda di halaman 1dari 16

Mata Kuliah: Kajian Fatwa Ekonomi Syariah

Dosen Pengampuh: Nur fitri hariani, S.H,.M.H

SEJARAH FATWA

Untuk Memenuhi Tugas Makalah Mata Kuliah Sejarah Fatwa


Oleh:

Nurul Ilahi Ramadhani


Nim:002.02.01.2021

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

STAI YAPIS TAKALAR

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh ...

Puji syukur alhamdulillah senantiasa kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT

yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Kajian Fatwa Ekonomi

Syariah.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari

bantuan banyak pihak yang tulus memberikan do’a, saran dan kritik sehingga

makalah ini terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kata

sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki

oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan

kritik yang membangun dari berbagai pihak. Kami berharap semoga makalah ini

dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Takalar, 17 September 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii

BAB I ....................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

A. Latar Belakang .............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 3

C. Tujuan ........................................................................................................... 3

BAB II ...................................................................................................................... 4

PEMBAHASAN ...................................................................................................... 4

A. Sejarah Fatwa Zaman Tabi’in ....................................................................... 4

B. Sejarah Fatwa Zaman Mujtahid (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali) ........... 10

BAB III ................................................................................................................... 12

PENUTUP .............................................................................................................. 12

A. Kesimpulan ................................................................................................. 12

B. Saran............................................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan agama yang telah dimaksudkan oleh Allah untuk mengatur

hubungan antara manusia dengan tuhan dan antara manusia dengan manusia.

Dengan kedudukannya yang demikian dapat dipahami kalau ajaran Islam memuat

aturan-aturan yang berkaitan dengan dua hubungan tersebut. Ditahui bahwa hukum

yang dipakai dan berlaku dalam Islam adalah berdasarkan wahyu Allah yang telah

dikodifikasikan di dalam Al-qur'an. Dalam ayat-ayat Al-qur'an banyak mengandung

dasar-dasar hakum baik mengenai ibadah dan hidup berkemasyarakatan kemudian

disebut dengan ayat al ahkam, dalam kajian yang telah dilakukan oleh Abdul Wahab

Khallaf ditemukannya 368 ayat di dalam Al quran (5.8% dari keseluruhan ayat Al

quram yang berjumlah 6360 ayat) tergolong pada ayat ahkam.

Dalam dinamika pemikiran hukum dalam islam terdapat dua dimensi.

Pertama, hukum Islam berdimensi ilahiyah, artinya bahwa ajaran yang diyakini

bersumber dari Allah SWT dan senantiasa dijaga sakralitasnya. Jadi dalam hal ini

hukum Islam dipahami sebagai syariat yang cakupannya luas. tidak terbatas pada

fiqih saja tapi mencakup juga dalam bidang keyakinan, amaliah dan akhlak. Kedua,

hukum Islam berdimensi insaniyah, maksudnya hukum Islam adalah upaya dari

manusia secara bersungguh sungguh untuk memahami ajaran yang dianggap suci

dengan melakukan dua pendekatan: pendekatan kebahasaan dan pendekatan

maqashid. Dalam dimensi ini hukum islam dipahami sebagai produk pemikiran yang

1
dilakukakn dengan berbagai pendekatan, dikenal dengan sebutan ijtihad atau tingkat

yang lebih teknis disebut istinbath al ahkam.

Hukum dalam Islam bertujuan untuk mengatur kepentingan manusia untuk

memperoleh kemaslahatan dalam hidupnya maka pemikiran dalam hukum Islam

senantiasa terus berkembang dan berjalan seiring dengan gerak laju perkembangan

umat Islam itu sendiri. Hukum dalam Islam pastinya bersumber kepada Al-qur'an

dan Hadist sehingga semuanya sudah dijelaskan dan ditentukan secara gamblang

dalam sumber tersebut. Dinamika perkembangan pemikiran dalam hukum Islam

pada masa Tabi'in ini mengalami masa keemasan karena banyak

pembaharuanpembaharuan dalam istinbath al-ahkam/pengambilan hukum. Disini

merupakan titik dari kemajuan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam khususnya di

dalam hukum Islam.

Pada masa Tabi'in pengambilan hukum Islam mempunyai banyak variasi

sebab di setiap masa-masanya selalu ada pembaharuan dalam istinbath al-ahkam

variasi disini arahnya terdapat perbedaan dari setiap madzhab. Hal ini tidak terjadi

masalah karena dengan adanya perbedaan ini bahwa ilmu pengetahuan tentang Islam

sangat luas sehingga perbedaan-perbedaan ini tidak masalah dalam dunia Islam.

Melihat sejarahnya kemajuan-kemajuan dalam dunia Islam terjadi adanya aliran-

aliran politik secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Hal ini

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: perluasan wilayah dan perbedaan

penggunaan Ra'yı

Dalam mempelajari pemikiran ulama dan langkah ijtihadnya menjadi

penting, karena sebagai upaya konstruktif dalam memahami produk pemikiran dan

pola yang digunakan. Salah satu kaidah dikatakan bahwa memelihara produk

2
pemikiran ulama dan langkah- langkah ijtihadnya serta mengembangkannya

sehingga lebih maslahat (almuhafazdatu alaa qodimissholih wal-akhdzu bil jadidil

ashlah) "memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih

baik". Dengan begitu dalam mempelajari perkembangan hukum Islam berarti telah

melakukan langkah awal ijtihadnya untuk ditransmisikan, sehingga kemaslahatan

manusia tetap terpelihara. Dengan demikian, bahwa pemikiran hukum Islam pada

masa Tabi'in mengalami kemajuan pesat, dari setiap imam madzhab mempunyai

istinbat tersendiri. Dalam kajian ini hanya membahas pemikiran hukum Islam masa

Tabi'in serta dalam metode istinbatnya dari masing masing madzhab.

B. Rumusan Masalah

1. Sejarah Fatwa Zaman Tabi’in?

2. Sejarah Fatwa Zaman Mujtahid (Hanfi, Maliki, Syafi’I, Hambali)?

C. Tujuan

1. Mahasiswa mampu memahami sejarah fatwa zaman tabi’in

2. Mahasiswa mampu memahami Sejarah Fatwa Zaman Mujtahid (Hanfi,

Maliki, Syafi’I, Hambali)

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Fatwa Zaman Tabi’in

Fatwa adalah sebuah keterangan hukum yang tidak mengikat yang diberikan

oleh seorang mufti kepada mustafti, baik jawaban atas sebuah pertanyaan atau tidak,

baik permaslahan baru ataupun lama yang berlandaskan atas dalil al-Qur’an dan al-

Sunnah. Kemunculan fatwa sebenarnya berkaitan erat dengan periodesasi tasyri‟

hukum Islam itu sendiri. Secara historis, orang yang pertama kali berfatwa dalam

Islam adalah Nabi Muhammad Saw., sendiri, yang dalam pengertian lain fatwa

tersebut merupakan wahyu Allah Swt., dan merupakan sesuatu yang diyakini

kebenarannya.

Ibnu Qayyim dalam kitabnya I'lām al-Mawāqi'īn menyatakan bahwa

institusi fatwa diperkenalkan oleh Nabi sendiri sejak Islam mulai berkembang ke

daerah lain. Beliau bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

kepadanya dan membuat keputusan hukum terhadapnya, 1 jawaban atas fatwa

tersebut didasarkan pada kitab Allah, atau kadang-kadang didasarkan pada ijtihad

Nabi sendiri sesuai bimbingan dan petunjuk dari Allah, bentuk yang kedua inilah

yang kemudian disebut sebagai hadist.2

1
Muhammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimi, al-Fatwā fi al-Islām, (Beirut: Dar al-Kutub al-'ilmiyah,
1986), h.31
2
Saiyad Nizamudduin, Fatwa of Condemnation : Islam and the Limit of Dissent , (Kuala
Lumpur: ISTAC IIUM, 2006), h.53

4
Setelah masa Nabi dan Sahabat berakhir, kegiatan berfatwa dilanjutkan oleh

tabi'in, generasi ini adalah mereka yang sempat berguru kepada tokoh-tokoh

keilmuan dari generasi sahabat. Proses transformasi keilmuan yang berlaku antara

sahabat dan tabi'in terjalin berdasarkan metode periwayatan (nuqil), baik secara

langsung maupun tidak lansgung. Secara langsung berarti tabi'in mendengar atau

berguru secara langsung kepada seorang sahabat mengenai keputusan hukum dan

fatwa yang dikemukakan sahabat Secara tidak langsung berarti tabi'in menghafal

dan menguasai segala ketentuan hukum seorang sahabat walaupun tidak pernah

mendengarnya sendiri dari sahabat tersebut. Sebagaimana Sa'id Ibn al-Musayyab

yang digelari sebagai perawi 'Umar lantaran penguasaannya terhadap seluruh

ketetapan hukum dan fatwa yang pernah dikemukakan 'Umar sedang mereka tidak

pernah bertemu.3

Beberapa sahabat yang terkenal dengan fatwa secara langsung atau tekstual

pada teks alQur'an dan al-Sunnah adalah, Muadz Ibn Jabal, Ibn Umar, Ibn Masud,

adapun shabat yang terkenal dengan kontekstual atau secara tidak langsung seperti

Umar Ibn Khatab dan Zaid Ibn Tsabit.

Corak pemikiran mereka yang berbeda inilah yang mewariska para tabi'in

yang beragam dan berbeda-beda dalam beristimbat. Ditambah lagi dengan riwayat

hadist yang berbeda-beda dari mereka, para tabi'in membuat rumusan sendiri dalam

menentukan hukum, memilah aqwal para sahabat, membuat tarjih dan

mengkomparasikanya dengan aqwal aqwal lainya. Mereka (Tabiin) menjadi mufti

pada setiap negara yang mereka diami, seperti: Sa’id Ibn Musayyib dan Salim Ibn

3
Al-Syirazi, Tabaqat al-Fuqaha, (Beirut: Dar al-Ra'id Al-'Arabi, 1978), h. 73

5
Abdillah Ibn Umar menjadi Imam dan Mufti Madinah. Kemudian setelah mereka

ada alZuhri, Qadhi Yahya Ibn Sa'id dan Rabi'ah Ibn Abdirrahman.4 Atha' Ibn Abi

Rabah menjadi Imam dan Mufti di Mekkah, kemudian Ibrahim al-Nakhai dan

alSya'bi di Kufah, Hasan al-Basri di Basrah, Thawus Ibn Kaisan di Yaman, dan

Makhul di Syam.

Semua Tabi'in yang tersebar diseluruh penjuru dunia menebarkan riwayat-

riwayat hadisy dan fatwa-fatwa. Tidak hanya meriwayatkan fatwa para sahabat,

tetapi mereka juga melakukan ta'liq dan tarjih dari mereka sendiri. Salah satu Tabi'in

yang berhasil membuat kodifikasi fatwa para sahabat dalam semua bab fiqh adalah

Sai'd Ibn Musayyib dan Ibrahim al-Nakhai.5

Dalam ‘Ilam al-Mua'wwiqinya, Imam Ibn Qayyim menambahkan: para tabi'in

yang menjadi mufti Syam adalah : Abu Idris al-Khaulani, Syarhabil Ibn al-Samthi,

Abdullah Ibn Abi Zakariyyah al-Khazai', Khibban Ibn Umayyah, Sulaiman Ibn

Habib al-Muharibi, Kharits Ibn Umair Ibn al-Zabidi, Khalid Ibn Ma'dan,

Abdurrahman Ibn Ghanim alAsy'ari, dan Jubair Ibn Nufail.6

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan fatwa pada masa

tabi'in ini, antara lain;

1) politik Negara yang tidak stabil dan mengalami perubahan dari masa

sebelumnya yakni perpecahan yang terjadi pada akhir masa Khulafa

alRasyidin yang kemudian meluas dan meruncing hingga terbentuknya tiga

4
Muhammad Jamaluddin, h. 37-39
5
Jamaluddin al-Qasimi, h. 38
6
Ibn Qayyim, Ilam al-Mu'awwiqin, h. 13

6
kubu politik yang dikenal dengan al-Khawarij, Al Syi'ah dan Ahl alJama'ah.7

Perwujudan kelompok-kelompok tersebut turut mempengaruhi kegiatan

fatwa pada masa ini, sebab masing-masing kelompok mempunyai pendirian

hukum dan metodologi pencarian hukum tersendiri yang berbeda antara satu

dengan lainya.8

2) semakin meluasnya daerah daerah taklukan Islam yang tentu saja memiliki

latar belakang kehidupan, kedudukan sosial dan adat yang berbeda, sebagai

akibatnya terdapat fenomena baru yang lahir yakni sikap sebagian penduduk

di suatu tempat yang hanya menerima pandangan hukum ulama di tempat

mereka. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Al-Says sebagai berikut:

"Ketika seorang ahli di suatu tempat telah banyak bergaul dan merujuk kepada
ulama-ulama di daerah mereka, mereka telah memberi thiqah (kepercayan) penuh
kepada ulama tersebut sehingga menyebabkan ketergantungan yang mutlak terhadap
pandangan-pandangan hukum yang dikeluarkan. Hasilnya mereka tidak lagi meras
perlu untuk merujuk pandagan-pandangan ulama lain dalam menghadapi
permasalahan. Hal seperti ini terjadi pada setiap tanah taklukan Islam. Sebagai
contoh fatwa-fatwa 'Abdullah Ibn 'Umar, 'Abdullah Ibn 'Abbas dan para pengikutnya
yang menjadi pegangan bagi penduduk Madinah, fatwa-fatwa 'Abdullah Ibn Mas'ud
dan muridnya juga menjadi pedoman bagi penduduk Kufah, pandangan Abū Mūsā
alAsy'arī dan Anas bin Malik menjadi pedoman penduduk Basrah, fatwa-fatwa
Mu'aẓ bin Jabal dan 'Ubadah Ibn Ṣamit menjadi pegangan penduduk Syam dan
begitu juga fatwa-fatwa hukum 'Abdllah bin 'Amru bin al-'As menjadi pedoman
penduduk Mesir".9

Pada masa ini lahir dua pemikiran hukum yang berbeda, pertama aliran

ahlMadinah atau ahl-Hadith yang berpusat di Ḥijaz sementara yang kedua adalah

7
Abu Zahrah, Tarikh al-Maḍahin al-Islamiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr Al-'Arabi, 1987), h. 246
8
Al-Khuḍari,Tarikh al-Tasyri al-Islami, (Mesir: Maktabah Tijariyah al-Kubra, 1965), h. 131-
133
9
Al-Says, Tarikh al-Tasyri al-Islami, (Maktabah Muhammad 'Ali al-Sabiḥ) , h. 80

7
ahl al-Kufah atau ahl al-Ra'y yang berpusat di Kufah. Sejak masa sahabat Madinah

dan Kufah merupakan pusat kegiatan ilmiah. Madinah sebagai kota yang menjadi

tempat pensyariatan hukum yang pertama, terkumpul hasanah perbendaharaan

hukum yang diwarisi Rasulullah S.a.w. Di Madinah ini juga merupakan tempat

lahirnya para sahabat yang diberi gelar fuqahā al-sab'ah (gelar tersebut diberikan

karena mereka semua berada di Madinah sama-sama menyebarkan ilmu dan

berfatwa pada kurun waktu yang sama), di antara sahabat yang mendapat gelar

tersebut adalah Sa'id bin Musayyab, 'Abd al-Rahman Ibn Ḥarith Ibn Hisyam, dan

lain-lain.10 Sedangkan Kufah merupakan pusat sebagian besar para sahabat seperti

'Abdullah Ibn Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, Sa'd Ibn Abi Waqqas, Anas Ibn Malik

dan lain-lain.

Ahl-Madīnah yang dipelopori kalangan sahabat dan meluas pada masa tab'in

ini merupakan aliran pemikiran yang cenderung untuk bergantung pada

sumbersumber tradisi (al-Qur‟ān dan Sunnah) untuk menetapkan kesimpulan

hukum dan fatwa. Menurut mereka adalah lebih tepat jika merujuk kepada alsunnah

(sesudah merujuk al-Qur‟ān) dan kemudian athar al-ṣaḥabah untuk menyelesaikan


11
persoalan hukum yang sedang terjadi. Sikap tersebut pada dasarnya

dilatarbelakangi oleh keadaan bahwa Madinah merupakan pusat turunnya wahu dan

pusat pengkajian keilmuan Islam yang paling awal karenanya terdapat banyak

refensi-referensi hadith Rasulullah Saw., yang telah dihafal oleh para sahabat dan

10
Ibn Qayyim. A'lam al-Muwwaqi'in, (Mesir : Idara Ṭaba'ah Muniriyyah), h.18
11
Al-Khuḍari, Tarikh al-Maḍahin al-Islamiyyah, (Beirut: Dar al-Ra'id Al-'Arabi, 1978), h.144

8
seterusmya diwarisi oleh tabi'in. Dengan demikian tidak sulit bagi mereka untuk

mendapatkan rujukan dari hadist dalam membuat kesimpulan hukum.

Sementara itu, Ahl al-Ra'y yang mewarisi sikap dari guru mereka dari kalangan

sahabat yang lebih cemderung untuk membuat kesimpulan hukum berdasarkan

analisis ilmiah atau daya fikir setelah tidak ditemukan rujukan dari naṣ al-Qur‟ān

dan hadith. Ahl al-Ra'y cenderung melihat suatu ketentuan hukum dengan meneliti

hikmah dan rahasia di baliknya untuk kemudian diterapkan dalam kasus-kasus yang

mempunya sebab hukum yang sama, sikap mereka yang lebih suka menggunakan

analogi tersebutlah yang menyebabkan mereka lebih banyak menggunakan daya

akal untuk menetapkan suatu hukum. 12 Berbeda dengan Madinah, Kufah yang

jumlah perbendaharaan hadist tidak sebanyak di Madinah sehingga mendesak

mereka untuk menggunakan Ra'y.

Selain itu, dengan semakin meluasnya tanah taklukan Islam pada masa ini

timbul pula praktek pemalsuan hadist. Gerakan ini dilakukan oleh golongan yang

tidak memiliki kecakapan dalam meriwayatkan hadist maupun oleh golongan yang

sengaja melakukan pembohongan terhada Rasulullah Saw., dan ada pula yang

membuat hadist dengan tujuan untuk mempertahankan pendapat atau golongan

mereka. Hal tersebutlah yang kemudian menjadikan Ahl-Ra'y lebih berhati-hati

dalam menerima hadist, sehingga mereka lebih memilih menggunakan Ra'y.

12
Muhammad Abū Zahrah, Uṣūl al-Fīqh, (Beirut: Dār al-Fīkr al-'Arabī), (t.t), h.247

9
B. Sejarah Fatwa Zaman Mujtahid (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali)

Setelah masa tabi'in, fatwa berkembang melalui para imam-imam mujtahid dan

pengikutnya. Pada masa ini masalah-masalah fiqh mulai dibukukan.

Masalahmasalah yang dibukukan merupakan formulasi dari persoalan yang telah

ditetapkan dalam al-Qur‟ān dan hadist, fatwa sahabat dan fatwa-fatwa mujtahidin

sebagai hasil ijtihad mereka pada waktu itu. Permasalahan-permasalah fiqh pada

waktu itu disistematikakan dengan baik, sehingga memudahkan pembaca mencari

masalah yang diinginkan.

Pada masa ini fiqih mulai berkembang, semua Imam Madzab seperti Syafi'i,

Maliki, Hambali, dan Hanafi mempunyai metode tersendiri dalam Istimbat ahkam,

fiqh Madinah dikenal dengan fiqh Ahli Hadist dan Fiqh Ahli Irak dikenal dengan

fiqh Ahli al-Ra'y. Sementara di Mesir al-Laiys Ibn Sa’ad dan al-Syafi'i

menggabungkan keduanya. Pada masa ini orang tidak terkungkung pada satu

madzhab yang harus dianut oleh mereka. Selepas masa Imam Madzab (al-Hanafi,

Maliki, Syafi'i dan Hambali) adalah fase stagnant atau taqlid, tetapi tidak mutlaq

dalam satu madzab saja, mereka memilah-milah diantara madzab yang mereka

yakini kebenaranya. Oleh karena itu ketika seseorang ingin menanyakan hukum

sesuatu, mereka pergi kepada seoarang alim yang diyakini kefaqihanya apapun

madzab yang ia anut.

Setelah abad kempat hijriyyah, Fiqh mengalami stagnant, masa jumud altaqlidi,

tidak ada ijtihad-ijtihad baru sebagaimana masa-masa sebelum Imam mereka,

mereka hanya membuat ta’liq dan takhrij, kesimpulan dan tarjih dari ijtihad atau

kitab-kitab Imam sebelumnya. bermadzhab menjadi sebuah kewajiban bagi orang

10
islam. Perang lintas Madzhabpun tidak terelakkan, para ulama enggan untuk

berijtihad karena ijitihad ulama terdahulu telah mewakilinya. Pada masa ini

bemunculan fatwa Madzhabi, atau Mujtahid Madzhab, seorang Syafi'i seakan-akan

mempunyai kewajiban untuk berfatwa dengan madzhab Syafiinya, begitu pula

madhab Maliki, Hanafi dan Hambali. Orang yang mengikuti madzhab Syafii' tidak

boleh meminta fatwa kepada Mufti Maliki, hingga muncullah istilah talfiq yaitu

menggabungkan dua madzhab sekaligus dalam Ibadah, seperti dalam tata cara

wudhu' mengikuti madhab Syafii' tetapi dalam hal membatalkanya mengikuti

madhab Maliki.

Atas dasar Asabiyyah madhabiyyah tersebut, maka, para mufti madzhab

mengharamkan talfiq. Masa stagnant tersebut berlanjut hingga sekarang, para

mujtahid Madzhab mengkodifikasikan fatwa-fatwa mereka dalam sebuah buku,

seperti dalam Madzhab al-Syafi'i kita kenal dengan Fatwa Imam alNawawi, Ibn

hajar al-Asqalani, dan fatwa Imam al-Baidawi. Dalam Madzhab Hambali kita kenal

dengan Majmu' fatwa Imam Ibn Taymiyyah, Majmu' fatwa Bin Baz, dalam Madzab

Maliki kita kenal dengan fatwa Ibn Daqiq al-'idi.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fatwa adalah sebuah keterangan hukum yang tidak mengikat yang diberikan

oleh seorang mufti kepada mustafti, baik jawaban atas sebuah pertanyaan atau tidak,

baik permaslahan baru ataupun lama yang berlandaskan atas dalil al-Qur’an dan al-

Sunnah.

Setelah abad kempat hijriyyah, Fiqh mengalami stagnant, masa jumud altaqlidi,

tidak ada ijtihad-ijtihad baru sebagaimana masa-masa sebelum Imam mereka,

mereka hanya membuat ta’liq dan takhrij, kesimpulan dan tarjih dari ijtihad atau

kitab-kitab Imam sebelumnya. bermadzhab menjadi sebuah kewajiban bagi orang

islam. Perang lintas Madzhabpun tidak terelakkan, para ulama enggan untuk

berijtihad karena ijitihad ulama terdahulu telah mewakilinya. Pada masa ini

bemunculan fatwa Madzhabi, atau Mujtahid Madzhab, seorang Syafi'i seakan-akan

mempunyai kewajiban untuk berfatwa dengan madzhab Syafiinya, begitu pula

madhab Maliki, Hanafi dan Hambali.

B. Saran

Makalah ini masih banyak kekurangan dan menimbulkan banyak pertanyaan.

Oleh karena itu saran dan masukan kami perlukan untuk perbaikan ke depannya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad.1984. Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr al-'Arabi

Al-Khuḍari. 1978. Tarikh al-Maḍahin al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-Ra'id Al-


'Arabi

Al-Says. Tarikh al-Tasyri al-Islami. Maktabah Muhammad 'Ali al-Sabih

Al-Syirazi. 1986. Tabaqat al-Fuqah. Beirut: Dar al-Kutub al-'ilmiyah

Nizamudduin, Saiyad. 2006. Fatwa of Condemnation: Islam and the Limit of


Dissent. Kuala Lumpur: ISTAC IIUM

Qayyim Ibn. 1965. A'lam al-Muwwaqi'in. Mesir : Idara Ṭaba'ah Muniriyyah

13

Anda mungkin juga menyukai