Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KAIDAH PERTAMA BERHUBUNGAN DENGAN NIAT


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qawaidul Fiqhiyyah

Dosen Pengampu : Devrian Ali Putra, MA.HK.

Disusun Oleh Kelompok 4 :

1. Khairil ikhsan
2. Ulva halimatul hawa
3. Raja Muhammad salman

KELAS 3 B

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISALAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya,

kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tak lupa, shalawat serta salam selalu

tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia

dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah (QAWA’IDUL
FIQHIYYAH), yang membahas tentang (KAIDAH PERTAMA BERHUBUNGAN DENGAN NIAT).
Dalam penulisan makalah ini, kami berusaha untuk menyajikan informasi yang akurat
danrelevan, berdasarkan referensi yang terpercaya.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak luput dari kekurangan dan

keterbatasan, oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

pembaca, guna perbaikan dan pengembangan ke depannya.

Kami berharap, makalah ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi yang positif,

terutama dalam pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang yang kami

bahas. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan

mendukung dalam proses penulisan makalah ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan

rahmat dan berkah-Nya kepada kita semua. Amin.

Jambi , 23 OKTOBER 2023

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4

A. Latar Belakang Masalah.....................................................................................4

B. Rumusan Masalah .............................................................................................4

C. Tujuan Masalah .................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5

A. Sumber-sumber kaidah fiqih..............................................................................5

B. Kaidah-kaidah turunan ......................................................................................6

C. Aplikasi kaidah .................................................................................................8

BAB III PENUTUP................................................................................................12

A. Kesimpulan......................................................................................................12

B. Saran.................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................1

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Niat dalam setiap amal ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba memiliki
kedudukan yang sangat penting. Para ulama fiqih menempatkan niat pada urutan
pertama sebelum mereka menjabarkan pokok-pokok utama perihal fiqih yang akan
mereka bahas. Niat yang dimiliki oleh seorang hamba dalam menjalankan suatu
ibadah akan mengantarkannya pada hasil yang akan diperoleh. Segala hal yang
dilakukan oleh seorang hamba akan bernilai ibadah bergantung pada niat yang
dimilikinya. E-book ini hadir demi memenuhi kebutuhan umat terkait penjelasan fiqih
niat secara mendalam.
Terdiri dari enam bab, Umar Sulaiman al-Asyqar mengulas perkara-perkara
terkait niat yang menjadi hal penting dalam sebuah ibadah mulai dari definisinya,
taqlif, dalil, hingga keutamaan dan keagungan niat. Pembahasan di dalam e-book ini
dilengkapi dengan hadits-hadits shahih demi memberikan keyakinan pada pembaca
terhadap penjelasan yang diberikan

B. Rumusan Masalah
1. menjelaskan Dasar Kaidah
2. menjelaskan kaidah-kaidah Turunan
3. Menjelaskan aplikasi kaidah

C. Tujuan
Adapun Tujuan pembahasan
1. Untuk mengetahui kaidah-kaidah fiqih
2. Untuk mengetahui kaidah-kaidah Turunan
3. Untuk mengetahui aplikasi kaidah fiqh

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. SUMBER-SUMBER KAIDAH FIQH

Sumber kaidah fiqhiyyah itu bisa saja bersumber dari Al-Qur'an, Hadits Nabi
saw, atsar sahabat, tabi'in maupun hasil ijtihad fuqaha yang mereka ambil dari Al-
Qur'an maupun hadits Nabi Saw.Proses lahirnya kaidah fiqhiyyah adalah bersumber
dari hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis, kemudian muncul ushul fiqh sebagai
metodologi di dalam penarikan hukum (Istinbath al-ahkam). Dengan metodologi
ushul fiqh yang menggunakan pola pikir deduktif yang menghasilkan fikih. Fikih
banyak materinya, dari materi fikih yang banyak itu kemudian oleh ulama-ulama yang
di dalam ilmunya di bidang fikih, diteliti persamaannya dengan menggunakan pola
pikir induktif, kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan
kumpulan dari masalah-masalah yang serupa,
akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah fikih, kaidah-kaidah tadi dikritisi
kembali dengan menggunakan banyak ayat dan hadis, terutama untuk dinilai
kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi, apabila sudah
dianggap sesuai dengan ayat al-Qur’an dan banyak hadis Nabi, Baru kaidah fikih tadi
menjadi kaidah fikih yang mapan, apabila sudah menjadi kaidah yang mapan/akurat,
maka ulama-ulama fikih menggunakan kaidah tadi untuk menjawab tantangan
perkembangan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya, yang
pada akhirnya memunculkan fikih-fikih baru.
Munculnya kaidah fikih ini sebenarnya telah mempunyai bibit sejak zaman
Rasulullah SAW. Akar-akar kaidah fikih ini telah ada pada zaman Rasulullah SAW
yang diinduksi oleh ulama fikih dan dijadikan suatu kaidah. Akar kaidah fikih itu
bermula dari ayat al-Quran dan hadis Nabi, karena memang setiap kaidah memiliki
sumber dari keduanya sebagaimana yang dicantumkan oleh imam suyuti dalam kitab
asybah-nya.

1. Kaidah fiqhiyah bersumber dari Al-Qur'an


Quranul Karim merupakan sumber pokok dan dalil utama bagi hukum syariat
Islam. Kumpulan firman–firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
dan dinukilkan dengan jalan mutawatir. Ayat–ayat Al quran yang Allah turunkan

2
dengan cara yang terpisah–pisah menurut kejadian dan peristiwa dalam Masyarakat
pada waktu itu. Oleh karena itu, peristiwa tersebut di dalam istilah hukum Islam di
sebut asbabun nuzul.
Aturan–aturan hukum syariat ini berlakunya berangsur–angsur menurut situasi
sebab–sebab turunnya ayat, disesuaikan dengan kemampuan umat pada masa dahulu.
Membutuhkan strategi yang tepat untuk pendekatan kepada masyarakat jahiliyyah
untuk meninggalkan kebiasaan yang dilarang oleh syariat Islam dan mengubah hukum
mereka yang sudah kuno dengan hukum baru. Hal itu dapat dilihat dengan jelas
seperti aturan larangan minum khamar dan maisir
2. Kaidah Fiqhiyyah bersumber dari sunah
Sunnah merupakan segala yang dinukilkan atau diberitakan dari Nabi saw,
baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan nabi. Melihat dari pengertian di
atas, sunnah dapat dibagi atas: Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah, dan Sunnah
Taqririyyah.
Sunnah ada kalanya mutawatir dan ada kalanya ahad. Ulama sepakat bahwa
hadits mutawatir dapat menjadi hujjah. Berkenaan hadits ahad, para ulama berbeda
pendapat dalam menjadikan hadits ahad sebagai hujjah. Namun hadits yang shahih
dapat diterima untuk dijadikan hujjah, dan menjadi sumber kaidah.
Rasulullah saw selalu menyampaikan segala sesuatu dengan cara singkat,
padat, lugas dan mudah dipahami. Dengan demikian, ucapan beliau banyak menjadi
inspirasi dalam lahirnya qawaid fihiyyah.
3. Kaidah fiqhiyyah bersunber dari Atsar sahabat
Kaidah fiqhiyyah yang bersumber dari atsar sahabat dapat dilihat dari seperti
perkataan Umar bin Khatab, putusnya hak bergantung pada syarat yang diperbuat;
”Perkataan ‘Umar bin Khattab ini pernah terjadi pelanggaran perjanjian yang telah
ditentukan oleh kedua pasangan suami isteri, seperti: Seorang laki-laki menikahi
seorang wanita dan ia syaratkan (janjikan) untuk tetap tinggal di rumahnya. Kemudian
laki-laki itu akan membawanya pindah. Karena itu mereka mengadukannya kepada
khalifah ‘Umar, Umar menyatakan bahwa wanita itu mempunyai hak agar dipenuhi
syaratnya. Maka berkata laki-laki tersebut, kalau begini engkau menceraikan kami,
maka berkata Umar: Putusnya hak (bergantung) pada syarat

3
4. Kaidah Fiqhiyyah bersumber dari Tabiin
Salah seorang tabi’in yang terkenal adalah Syuraih bin al-Harits yang
berprofesi sebagai qadhi/hakim, beliau menjadi hakim sejak zaman Umar bin Khattab
sampai dengan Mu’awiyah bin Sofyan, salah satu yang menjadi kaidah fikih atau
perkataan Qadhi Syuraih: sesuatu yang disyaratkan atas dirinya secara sukarela tanpa
terpaksa, maka sesuatu itu mengikat atas dirinya.
Dari kaidah ini menjelaskan bahwa dalam setiap transaksi harus sama-sama
rela dan tidak ada yang merasa terpaksa melakukannya. Karena kerelaan hati untuk
mengadakan transaksi adalah syarat sahnya transaksi.

B. KAIDAH-KAIDAH TURUNAN
Kaidah-kaidah turunan merujuk pada aturan atau prinsip yang berasal dari
kaidah-kaidah yang lebih umum atau pokok. Bisa Anda jelaskan lebih detail atau
berikan contoh spesifik yang ingin Anda ketahui tentang kaidah-kaidah turunan ini
1. Kaidah-kaidah turunan tentang niat
Kaidah-kaidah turunan tentang niat merujuk pada aturan-aturan yang berkaitan
dengan niat atau tujuan seseorang dalam menjalani suatu tindakan atau aktivitas.
Dalam berbagai konteks, kaidah-kaidah ini bisa berbeda, tetapi dalam banyak agama
dan etika, niat dianggap sebagai faktor penting dalam menilai suatu tindakan.
a) Niat Ikhlas: Sebuah kaidah turunan yang muncul dari prinsip-prinsip agama dan etika
adalah bahwa niat seseorang harus ikhlas, artinya tindakan tersebut harus dilakukan
dengan niat yang tulus dan murni.
b) Niat Baik: Kaidah lain adalah bahwa niat harus baik. Ini berarti bahwa niat seseorang
seharusnya tidak merugikan orang lain atau melanggar prinsip-prinsip etika yang
baik.
c) Transparansi Niat: Dalam banyak konteks hukum dan bisnis, kaidah turunan adalah
bahwa niat seseorang harus transparan dan jelas. Ini penting untuk menghindari
penipuan atau konsekuensi negatif lainnya.
d) Niat dalam Ibadah: Dalam Islam, misalnya, niat sangat penting dalam ibadah seperti
shalat. Ada kaidah turunan tentang bagaimana niat harus dinyatakan dengan jelas
sebelum melakukan ibadah.
e) Niat dalam Kepemimpinan: Dalam kepemimpinan dan manajemen, kaidah turunan
adalah bahwa pemimpin harus memiliki niat yang jelas dan transparan dalam
menjalankan tugasnya, yang berkaitan dengan kepentingan bersama.

4
Kaidah-kaidah ini bervariasi tergantung pada budaya, agama, atau konteks
tertentu, dan merupakan panduan etika yang penting dalam berbagai aspek kehidupan.
2. Hadis tentang niat
Rasulullah SAW bersabda:

‫ وإنما لكل امرئ ما نوى‬،‫إنما األ عمال بالنيات‬

Artinya: "Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan seseorang akan


mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan," (HR. Bukhari dan Muslim).

Artinya, tindakan tersebut merupakan sebuah bagian dari ibadah yang memiliki
ketentuan khusus.

Misalnya seperti salat, yang di dalam terdapat rukuk dan sujud.

3. fungsi niat
Dalam Islam, niat berfungsi sebagai pembeda amalan. Niat membedakan antara satu
ibadah dengan ibadah lainnya atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan. Niat
juga membedakan tujuan seseorang dalam beribadah. Itu yang menjadi sebab niat
menjadi rukun atau syarat sah semua amal ibadah.

C. APLIKASI KAIDAH FIKIH DALAM BIDANG MUAMALAH

Salah satu cakupan kaidah ‫ الع^^ادة محكم^^ة‬adalah dalam hal bermuamalah. Diantara
aktivitasnya yang belum terperinci dalam nash-nash syariat adalah batasan penerimaan
(qabdh). Seseorang dianggap sah menerima barang baik dalam jual beli (bai’), pesan
memesan (salam), penggadaian (rahn), pemberian CumaCuma (hibah) dan lain sebagainya.
Dalam penyerahannya disesuaikan dan diarahkan pada tradisi yang berlaku. Hal ini
disebabkan kontruksi muamalah tentang penyerahan (al-Qabdh) berbeda-beda tergantung
pada jenis barang yang diserah terimakan. Penyerahan barang dalam jual beli pasti berbeda
dengan penyerahan barang dalam salam. Demikian juga dengan rahn, hibah dan transaksi
lainnya.
Berdasarkan persoalan tersebut, para ulama fikih memperinci terhadap masalah
haqiqah al-qabdh (hakikat serah-terima) sebagai berikut:

5
a. Apabila barangnya dapat dipegang, maka ia harus benar-benar telah diraih
tangan. Contohnya seseorang membeli sebungkus roti, pasti roti tersebut dapat dipegang
oleh tangan penjual atau pembeli, serta dapat diserah-terimakan secara langsung.
Namun apabila pembeli menginginkan diletakan saja (tidak diterima langsung oleh
tangan pembeli), maka peletakan roti oleh penjual sudah termasuk pada al-qabdh. Sebab
apa yang dilakukan oleh penjual sudah sesuai dengan permintaan pembeli dengan adat-
istiadat yang berlaku. (Mhammad: 1410 H)

b. Apabila barangnya tidak dapat diraih secara langsung tapi dapat dipindah (almanqulat). Maka
untuk diqabdh harus melalu proses pemindahan. Sehingga barang ini tidak dilepas begitu saja
(takhliyyah) tanpa dipindah.

Contoh dalam jual beli mobil yang tidak mungkin dapat diangkat atau diraih oleh tangan.
Maka peraihannya adalah dengan proses pemindahan (almanqulat).(al-Hisni: t.th.)

c. Barang yang tidak dapat diraih dan juga tidak dapat dipindah.

Contoh, jual beli pohon, tanah, rumah. Dalam hal ini cara penerimaannya (al-qabdh) cukup
dengan dilepaskan hak kepemilikannya (takhliyyah) dari penjual diserahkan kepada pembeli. Cara
penyerahannya, penjual menyerahkan sertifikat, kunci (dalam jual beri bangunan), atau melalui
ucapan penjual bahwa ia sudah melepaskan hak miliknya dari barang. Hal ini yang disebut oleh para
ulama fikih dengan “izalatuh al-mawani’i min tasallumihi” (hilangnya penghalang untuk menerima).
(Khin dan Bugha: 1992)

Kaidah-kaidah fikih merupakan kaidah hukum yang berisfat menyeluruh yang


mencakup semua bagian-bagiannya. Terdapat lima kaidah fikih asasi yang disepakati,
salah satunya yaitu al-‘adat al-muhakkamah (adat itu bisa menjadi dasar dalam
menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh
dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam
menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam
masyarakat.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah
yang menguasai fikih, karenanya menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih, dan
lebih arif di dalam menerapkan fikih dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk
kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Kaidah fikih asasi kelima adalah
tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan

6
dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Adat adalah suatu perbuatan atau
perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal
dan secara kontinyu manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu
perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam
mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak
kemanusiaannya dalam berbabagi kebiasaan termasuk dalam bermuamalah. Kendati,
demikian adat –istiadat atau kebiasaan yang dapat dilegitimasi oleh syariat adalah
adat-istiada yang shahih, bukan yang fasid.

1.Pengertian al-‘Adat

Ada dua diksi yaitu al-'urf dan al-adat, yang sebenarnya artinya sama, menunjukkan kepada
kebaikan, dan kebaikan tersebut diulang sehingga menjadi kebiasaan yang baik. Bagaimana definisi
adat atau 'urf tersebut, di sini saya tengahkan definisi dari al-'urf tersebut menurut Imam al-Jurjani
dalam kitabnya al-Ta'rifat.

‫العرف هو ما استقرت النفوس عليه بشهادة العقول و تلقته الطباءع بالقبول وهو حجة أيضا لكنه أسرع إلى الفهم وكذا العاد‬

Artinya: ’’Sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dilakukan oleh pribadi-pribadi dengan
didasari akal sehat dan watak-watak yang benar dengan diterima, dan ia termasuk hujjah….’’

2.Pembagian Adat

Adat di sini jangan disamakan dengan adat atau budaya lokal di masing-masing daerah di
seluruh Nusantara, karena akan ada pembahasan khusus terkait adat yang dimaksud sebagai budaya,
atau yang berkaitan dengan hukum adat daerah.

Adat pula perlu diklasifikasi ke beberapa macam atau pembagian atas adat agar mengenali
mana yang disebut adat baik dan yang tidak. Adat atau al-'urf sebagai kebiasaan yang dikenal luas dan
atau cakupan atas wilayah yang luas itu disebut al-'urf al-'aam. Sementara adat yang berlaku khusus
yang terbiasa di suatu tempat atau daerah tertentu dinamakan al-'urf al-khoshoh.

Bisa jadi adat tidak bisa jadi hukum kalau seandainya itu adalah kerusakan, atau yang
berdampak merusak tatanan kehidupan manusia. Maka istilah untuk dimaksud sebagai kebiasaan
buruk dan itu bukan hukum tentunya adalah al-'urf al-fasidah yaitu adat yang rusak dan merusak.
Kemudian untuk dimaksud sebagai kebiasaan yang baik, bagus, dan semua tidak menolaknya, maka
itu disebut al-'urf al-shohihah, ini pula sebagai adat yang bisa jadi hukum.

7
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Segala sesuatu yang kita lakukan itu harus di awali dengan niat sehingga perbuatan yang
kita lakukan tidak sia

B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Masih

banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik yang kami sengaja

maupun yang tidak kami sengaja.

Maka dari itu sangat kami harapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca

demi kesempurnaan makalah ini.Semoga dengan berbagai kekurangan yang ada ini tidak

mengurangi nilai-nilai dan manfaat dari mempelajari Mata Kuliah Pengantar Ilmu

Hukum.

9
DAFTAR PUSTAKA

10

Anda mungkin juga menyukai