FIQIH MUNAKAHAT
Disusun Oleh:
Mardiah 12220423907
Dosen Pengampu:
Kemas Muhammad Gemilang, S.H.I, M.H.
KELAS A’22
2023M/1445H
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada kita sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah membimbing
umat manusia menuju jalan yang benar.
Makalah ini disusun dalam rangka pemenuhan tugas mata kuliah Fiqih
Munakahat dengan topik "Khitbah dan Kafa’ah." Kami ingin mengucapkan terima
kasih kepada Dosen Pengampu, Kemas Muhammad Gemilang, S.H.I, M.H., yang
telah memberikan bimbingan, arahan, dan pengetahuan yang berharga selama
perkuliahan.
Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman seangkatan
yang telah memberikan dukungan dan kerjasama selama proses penulisan makalah
ini. Makalah ini berusaha menjelaskan konsep-konsep penting dalam Fiqih
Munakahat, yaitu Khitbah dan Kafa’ah. Kami berharap makalah ini dapat
memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang dua konsep ini dalam Islam.
Akhir kata, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi perbaikan di masa yang akan datang.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................3
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
PEMBAHASAN................................................................................................................6
A. Pengertian Khitbah.................................................................................................6
B. Dasar Hukum Khitbah/Peminangan........................................................................7
C. Syarat-syarat Peminangan.......................................................................................9
D. Batas-batas Melihat Pinangan...............................................................................11
E. Hikmah Khitbah....................................................................................................12
F. Konsekwensi Pembatalan Khitbah (Pinangan).....................................................13
G. Pengertian Kafa’ah...............................................................................................15
H. Dasar Hukum Kafa’ah..........................................................................................16
I. Posisi Kafa’ah Dalam Prnikahan..........................................................................16
J. Ukuran Kafaah......................................................................................................17
BAB III............................................................................................................................19
KESIMPULAN................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................20
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia, dalam pandangan agama Islam, adalah makhluk yang paling mulia
yang diciptakan oleh Allah SWT. Mereka bukan sekadar organisme hidup yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti makan, tumbuh, berkembang,
dan akhirnya mati. Manusia diberi potensi kehidupan yang lebih besar, termasuk
naluri- naluri fitrah seperti dorongan untuk melestarikan keturunan dan tertarik
kepada lawan jenis. Naluri-naluri ini adalah bagian alami dari kehidupan manusia
dan bukan sesuatu yang tabu atau terlarang dalam Islam. Untuk menjaga derajat
manusia sebagai makhluk yang mulia, Allah SWT memberikan aturan-aturan
kehidupan melalui Syari'at Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Salah satu
aspek yang diatur dalam Islam adalah proses peminangan (khitbah), yang
merupakan langkah syar'i sebelum pernikahan. Peminangan ini bertujuan untuk
memungkinkan penelitian, pengetahuan, dan kesadaran masing-masing pihak
sebelum mereka memasuki ikatan perkawinan, sehingga memastikan bahwa
perkawinan didasarkan pada pemahaman yang baik antara kedua pihak.
Pandangan Islam tentang naluri manusia, termasuk dalam konteks
peminangan, menekankan pentingnya menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran
agama dan melalui proses yang sah dan syar'i. Hal ini menghormati fitrah manusia
dan membantu menjaga keadilan, kebijaksanaan, dan ketertiban dalam hubungan
antar manusia, terutama dalam konteks pernikahan yang merupakan institusi penting
dalam Islam. Dengan menjalankan aturan-aturan ini, umat Islam diharapkan dapat
mempertahankan derajat mereka sebagai makhluk yang mulia dan membangun
hubungan yang berlandaskan pada cinta, pengertian, dan kesepahaman yang kokoh
dalam pernikahan.
B. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian dan makna dari khitbah (peminangan) dalam Islam?
2) Apa dasar hukum dari khitbah dan peminangan dalam Islam?
3) Apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam proses peminangan?
4) Bagaimana batasan-batasan yang ada dalam melihat pinangan dalam Islam?
4
5) Apa hikmah dari pelaksanaan khitbah dalam agama Islam?
6) Apa konsekwensi pembatalan khitbah (pinangan)?
7) Apa pengertian dari kafa'ah dalam Islam?
8) Apa dasar hukum dari konsep kafa'ah?
9) Bagaimana posisi kafa'ah dalam pernikahan Islam?
10) Apa saja ukuran atau parameter yang digunakan untuk menentukan kafa'ah
dalam perkawinan?
C. Tujuan Penulisan
1) Memberikan pemahaman yang jelas tentang konsep khitbah (peminangan)
dalam Islam.
2) Menjelaskan dasar hukum dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam proses
peminangan.
3) Membahas batasan-batasan yang terkait dengan melihat pinangan dalam Islam.
4) Mengungkap hikmah dari pelaksanaan khitbah dalam agama Islam.
5) Menyajikan informasi mengenai konsekwensi pembatalan khitbah.
6) Mendefinisikan pengertian kafa'ah dan menjelaskan dasar hukumnya.
7) Menggambarkan peran dan posisi kafa'ah dalam pernikahan Islam.
8) Menjelaskan ukuran atau parameter yang digunakan untuk menentukan kafa'ah
dalam perkawinan.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khitbah
1
Abd. Rahman Ghazaly,”Fiqh Munakahat”, (Prenada Media, Bogor, 2003). Hal 73-74.
2
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Lin Nisaa, (terj) Beni Sarbini, Ensiklopedi
Fiqih Wanita, Jilid 2, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006), h. 256.
3
Departemen Agama R.I. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagan Agama Islam, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia.2000. h. 17.
4
Wahbah Zuhaely, al- Fiqh al- Islam wa- Adillatuhu, Juz. VII (Cet. III; Beirut: Dar- al-Fikri 1409
6
H/1989 M), h. 10.
7
pendahuluan dari perkawinan dan Allah telah mensyari’atkan kepada pasangan yang
akan menikah untuk saling mengenal.5
Berdasarkan definisi-definisi khitbah yang telah diungkapkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa khitbah/ peminangan adalah suatu proses yang dilakukan
sebelum menuju perkawinan agar perkawinan dapat dilakukan oleh masing-masing
pihak dengan penuh kesadaran. Hal itu memudahkan mereka untuk dapat
menyesuaikan karakter dan saling bertoleransi ketika telah berada dalam ikatan
perkawinan, sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah dapat tercapai. Meskipun demikian, status hubungan dari
khitbah/ peminangan masih sebatas tunangan, belumlah menjadi pasangan suami
isteri. Oleh karena itu, pasangan yang telah bertunangan perlu mengindahkan
norma-norma pergaulan yang telah ditetapkan oleh syariat.
B. Dasar Hukum Khitbah/Peminangan
َ ُ َ َ
ْ َ s َ ْ ْ ْ ُ ْ َ َ َ ْ ْ ْ َ َ َ ُ
ط ب ِة ال ِ ن سۤا ِء ا و ر ض ت م ِب ٖه ِم ن ِخs َ و ل ا ج ن ا ح ع ل ي ك م ِف ي م ا ع
ُ َ sl
ْ sَ ُ َ َ ْ
ُ ُ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ َ
ع ِل م الل ه اَّ ك م ۗن ت م ِف ْيْٓ ا ن ف ِس ك م اكن
ُ َ َ َ l ُ ْ
ْ َ ْ ْ ُ َ ْ ْٓ s sًّ sَ ُ ْ ُ َ ُ s ْ َ sَ ُ َ ْ ُ َ
َ س ت ذ ك ر و ن ه ن ول ِك ن ال ت وا ِع د و ه ن ِس را ِ ال ا ا ن ت ق و ل وا ق
َ َ ْ ُ ْ ُ ْ َ َ َ ًّ ْ ُ ْ sَ ًّ
َ وال م ع ر و فا ۗە وال ت ع ِز م وا ع ق د
َ َ ْ َ ls s َ َ ْ ُ َ ْ َ ٗ َ َ َ ُ l ْ َ ُ ْ َ ls َ َ s
َ ُ َ
ال ِ ن كا ِح ح تى ي ب ل غ ال ِك ت ب ا جل ۗه وا ع ل م ْٓوا ا ن الل ه ي ع ل م ما ِف ْيْٓ ا
sَ َ ْ ُ َ ْ َ ُ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ
ن ف ِس ك م فا ح ذ ر و ۚه وا ع ل م ْٓوا ا ن
l
ٌ ْ َ ٌ ْ ُ َ َ s
:َ ( البقر٥٣٢ ࣖ الل ه غ ف و ر ح ِل ي م
232) /2
5
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jild 2 (al-Qahirah: Maktabah Daar alTurats. T. th), h. 20.
9
maka takutlah kepada-Nya. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”
(QS Al-Baqarah: 235).
6
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqh Praktis, buku ke 2, cet 1 (Bandung: Mizan, 2002), h. 43.
10
ataupun ‘iddah talak ba’in dilakukan dengan kinayah (sindiran) untuk menghormati
perasaan wanita tersebut.7
Berkenaan dengan landasan hukum dari peminangan, telah diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya terdapat dalam pasal 11, 12 dan 13, yang
menjelaskan bahwa peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang
berkehendak mencari pasangan jodoh. Tapi dapat pula diwakilkan atau dilakukan
oleh perantara yang dipercaya. Selain itu untuk syarat-syarat wanita yang boleh
dipinang terdapat pada pasal 12 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berbunyi:
I. Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih
perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.
II. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah
raj’iyyah, haram dan dilarang untuk dipinang.
III. dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang orang lain
selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan
dari pihak wanita.
Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya
hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang telah meminang telah
menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
C. Syarat-syarat Peminangan.
Syarat-syarat meminang ada dua macam, yaitu:
1. Syarat Mustahsinah
Syarat mustahsinah adalah syarat yang merupakan anjuran pada laki-laki
yang hendak meminang agar meneliti wanita yang akan dipinangnya
sebelum melangsungkan peminangan. Syarat mustahsinah tidak wajib untuk
dipenuhi, hanya bersifat anjuran dan baik untuk dilaksanakan. Sehingga
tanpa adanya syarat ini, hukum peminangan tetap sah. Syarat-syarat
mustahsinah tersebut adalah:
7
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Logos, 1999), h. 139.
11
a) Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau sejajar dengan laki-laki
yang meminang. Misalnya sama tingkat keilmuannya, status sosial,
dan kekayaan.
b) Meminang wanita yang memiliki sifat kasih sayang dan peranak.
c) Meminang wanita yang jauh hubungan kekerabatannya dengan lelaki
yang meminang. Dalam hal ini sayyidina ‘Umar bin Khattab
mengatakan bahwa perkawinan antara seorang lelaki dan wanita yang
dekat hubungan darahnya akan melemahkan jasmani dan rohani
keturunannya.
d) Mengetahui keadaan jasmani, akhlak, dan keadaan-keadaan lainnya
yang dimiliki oleh wanita yang akan dipinang.
2. Syarat Lazimah
Syarat lazimah ialah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan
dilakukan. Sah tidaknya peminangan tergantung pada adanya syarat-syarat
lazimah. Syarat-syarat tersebut adalah:
a) Tidak dalam pinangan orang lain. Perempuan tersebut tidak terikat
dengan khitbah dari laki-laki lain, yang sudah diajukan dan diterima
baik oleh si perempuan dan keluarganya. Sebab mengajukan
pinangan terhadap perempuan yang sebelumnya telah terikat dengan
pinangan laki-laki lain adalah haram.8
b) Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang
dilangsungkannya pernikahan. Penghalang-penghalang syar’i adalah
perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi. Seperti
perempuan-perempuan yang senasab (saudara perempuan, bibi, tante,
ponakan) dan perempuanperempuan yang sesusuan. Begitu juga
halnya dengan pengharaman secara temporal, seperti: saudara
perempuan isteri, mengumpulkan antara ponakan dan bibi.9
c) Perempuan tidak dalam masa iddah. Perempuan yang masih berada
dalam masa iddah termasuk dalam kategori perempuan yang haram
8
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqh Praktis, buku ke 2, cet 1 (Bandung: Mizan, 2002), h. 43-44.
9
Ibid.
12
dikhitbah bersifat secara temporal.Karena masih ada ikatan dengan
mantan suaminya, dan suaminya itu masih berhak merujknya
kembali sewaktu-waktu. Jika perempuan yang sedang iddah karena
talak ba’in maka ia haram dipinang secara terang-terangan karena
mantan suaminya masih tetap mempunyai hak terhadap dirinya,
untuk menikahinya dengan akad baru. Perempuan yang sedang iddah
karena kematian suaminya, maka ia boleh dipinang secara sindiran
selama masa iddahnya, karena hubungan suami istri di sini telah
terputus sehingga hak suami terhadap istrinya hilang sama sekali10
Aturan-aturan khitbah (atau tunangan) dalam masyarakat Islam di Asia
Tenggara umumnya mengikuti prinsip-prinsip Islam yang sama, tetapi ada beberapa
variasi dalam praktiknya tergantung pada budaya dan tradisi setempat.
D. Batas-batas Melihat Pinangan
1. Mayoritas Fuqoha’ seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam salah
satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang
boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan. Adapun dalil mereka
adalah
firman Allah SWT:
10
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Edisi pertama, Cet ke 2, Jakarta: Kencana. 2006, hal
79-80
11
Al-Mughni, juz 6, hlm. 554.
13
2. Ulama’ Hanbali berpendapat bahwa batas diperbolehkannya memandang
anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang mahram, yaitu apa
yang tampak pada wanita pada umumnya disaat bekerja di rumah, seperti wajah,
kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan sebagainya. Tidak
boleh memandang anggota tubuh yang pada umumnya tertutup seperti dada,
punggung, dan sesamanya. Adapun alasan mereka; Nabi SAW tatkala
memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita tanpa sepengetahuannya.
Diketahui bahwa beliau mengizinkan memandang segala yang tampak pada
umumnya. Oleh karena itu, tidak mungkin hanya memandang wajah, kemudian
diperbolehkan memandang yang lain karena sama-sama tampak seperti halnya
wajah.12
3. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur mazhabnya berpendapat, kadar
anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak
tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut
dinilai cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya. Menyingkap
dan memandang wanita lebih dari anggota tersebut akan menimbulkan
kerusakan dan maksiat yang pada umumnya diduga maslahat. Dalam khitbah
wajib dan cukup memandang anggota tubuh tersebut saja sebagaimana wanita
boleh terbuka kedua tumit, wajah, dan kedua telapak tangannya ketika dalam
sholat dan haji.
4. Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita
terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW: “Lihatlah
kepadanya.” Disini Rosulullah tidak menkhususkan suatu bagian bukan bagian
tertentu dalam kebolehan melihat.
Pendapat Azh-Zhahiriyah telah ditolak mayoritas ulama, karena pendapat
mereka menyalahi ijma’ ulama dan menyalahi prinsip tuntutan kebolehan sesuatu
karena darurat diperkirakan sekadarnya.13
E. Hikmah Khitbah
Setiap hukum yang disyariatkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada
tingkat wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya
syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang
diadakan
14
12
Abd Al-Fattah Abi Al-Aynain, Al-Islam wa Al-Usrah, hlm. 103.
13
DRS.H. Imron Abu Amar. Fat-hul Qarib Jilid 2. (Kudus: Menara Kudus, 1983). hal;32.
15
sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling
mengenal1. Hal ini dapat disimak dari sepotong hadits Nabi dari al-Mughirah bin
al- syu’bah menurut yang dikeluarkan al-Thirmizi dan al-Nasaiy yang bunyinya :
Bahwa Nabi berkata kepada seseorang yang telah meminang seorang
perempuan: “melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan
ikatan perkawinan”. (al-Shan’aniy III,113)
Kemudian untuk kebaikan, kesejahtraan, dan kesenangan dalam kehidupan
berrumah tangga sebaiknya laki-laki melihat terlebih dahulu perempuan yang akan
dipinangnya (khitbah) sehingga ia dapat menentukan apakah peminangan itu
diteruskan atau dibatalkan. Dalam agama islam, melihat perempuan yang akan
dipinang itu diperbolehkan selama dalam batasan-batasan tertentu, berdasarkan
sabda Nabi SAW :
Dari mughirah bin syu’bah, ia pernah meminang seorang perempuan, lalu
Rasulallah bertanya kepadanya:“Sudahkah kau lihat dia?” Ia menjawab:“belum”,
sabda Nabi: “Lihatlah dia terlebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama
lebih langgeng”.
F. Konsekwensi Pembatalan Khitbah (Pinangan)
Khitbah hanyalah langkah pertama menuju perkawinan, membatalkan
khitbah/pinangan tidak menimbulkan pengaruh apapun selagi belum terjadi akad.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 13 dijelaskan bahwa:
1. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan.
2. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara
yang baik sesuai dengan tuntutan agama dengan kebiasaan setempat
sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.14
Terkadang dalam hubungan peminangan disertai dengan pemberian hadiah-
hadiah sebagai lambang akan berlanjutnya hubungan antara kedua calon suami istri
sampai ke pelaminan. Akan tetapi terkadang di tengah perjalanan, kerena sesuatu
hal peminangan tersebut dibatalkan. Jika seandainya terjadi pembatalan
pinangan,
14
Departemen Agama R.I. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. 2000. h. 18.
16
bagaimana konsekwensi pemberian yang telah diserahkan oleh pihak laki-laki
kepada pihak wanita yang telah dipinangnya? Ada beberapa pendapat fuqaha
mengenai mengembalikan hadiah-hadiah khitbah;15
1. Abu Hanifah berpendapat bahwa hadiah yang diberikan dalam peminangan
hukumnya sama dengan hibah. Peminang dapat menarik kembali kecuali
barang tersebut sudah rusak atau hilang.
2. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa pihak yang memutuskan tidak boleh
meminta kembali pemberiannya, baik barangnya masih ada maupun sudah
tidak ada. Pihak yang berhak meminta barangnya adalah pihak yang tidak
menggagalkan pinangan. Dia berhak menerima barangnya jika masih ada,
atau menerima harganya jika barang pemberiannya sudah tidak ada.
3. Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa silelaki boleh meminta kembali hadiah
yang telah ia berikan; karena pemberiannya itu hanya menikahi perempuan
16
tersebut. Jika hadiah tersebut masih ada ia boleh memintanya
kembali.namun, jika hadiah tersebut telah rusak maka ia boleh meminta
gantinya.
4. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa jika pemberian berupa hadiah kepada
wanita tersebut. Jika pembatalan khitbah dari pihak wanita, maka hadiah
atau nilainya jika hilang wajib dikembalikan. Karena bukan merupakan hal
yang adil ketika si laki-laki menderita karena karena pinangannya
digagalkan dia pun harus menanggung kerugian harta. Jika pembatalan
khitbah dari laki-laki, maka ia tidak memiliki hak untuk meminta kembali
hadiah yang telah diberikannya. Karena tidak adil jika si wanita menderita
pedihnya gagal tunangan dan sakitnya dipinta kembali hadiah.
Pendapat terakhir ini lebih mendekati keadilan, karena tidak selayaknya bagi
wanita yang tidak menggagalkan mendapat dua beban, yaitu beban ditinggalkan dan
beban untuk mengembalikan hadiah, dan tidak selayaknya pula bagi lelaki yang
tidak meninggalkan mendapat dua kerugian, yaitu ditinggalkan seorang
wanita dan
15
Wahbah Zuhaely, al- Fiqh al- Islam wa- Adillatuhu, h. 26-27.
16
Ibnu Taimiyah ,Majmu’ al-Fataawa, (XXXII/10….
17
memberikan harta tanpa imbalan. Oleh karena itu, jika tidak ada syarat dan tradisi
yang berbeda, maka pendapat yang terakhir ini dapat diamalkan.
G. Pengertian Kafa’ah
Kata kafā’ah berasal dari kata al-kaf’u, jamaknya akfā’ artinya sama atau
sepadan. Sementara kata al-kafā’ atau al-kafā’ah berarti persamaan, bisa juga berarti
kemampuan atau kecakapan.17
sَ
ٌ َ َ ًّ ُ ُ ٗ ْ
ُ َ
َ ْ َ
( ٤ ࣖ و ل م ي ك ن ل ه ك ف وا ا ح د
4) /112:االخالص
17
Achmad Warson Munawwir dan Muhammad Fairuz, al-Munawwir: Kamus Indonesia Arab,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), hlm. 1216
18
Hasan Ayyub, Fiqh al-Usrah al-Muslimah, ed. In, Penduan Keluarga Muslim, (terj: Misbah),
(Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2005), hlm. 50.
19
5Al-Ḥabīb Ṭāhir, al-Fiqh al-Mālikī wa Adillatuh, juz 3, (Bairut: Mu’assasah al-Ma’ārif, 2005),
18
hlm. 247.
20
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 140.
19
dalam status merdeka atau budak, kesamaan dalam masalah harta, kecantikan dan
keturunan.
H. Dasar Hukum Kafa’ah
Hadis yang dijadikan sandaran adanya kafa’ah dalam Islam ialah HR. Abu
Hurairoh:
ْ ُ َ َ
ُ l ْ َ l ْ ُ sَ َ َ
كم ِ َ َ
ج َع ل ن ك ِ ل ت عا َ َ s sَ َ s ُ َ ٰٓ
ا ذ ك ٍر و ا ن ثى و ِ خل ي ا ي ها ال نا
ْ َ ُ ْ ا l ْ sَ
ۚا
ك َ رsَ ر ف و
َ
َ َ sَ ًّ ْ ُ ُ ْ م
ق ن ُس ِا نا
ل,و ق بۤا ِى م ش ع وبا ْ
َ ن ُ
ن م ْ
كم
ٌ ْ َ
) /44 :رتl ( الحج٣٣ خ ِب ي ر َ ُ َ ls َ ْ
ْ
ع ك ۗم ِا ا ِ ع ن د الل
13 -13
ْ ls sَ l ِ ه ْ ت
ِل ي
ن الل
ٌ قى
م َ
ه
20
seorang perempuan yang tidak setara maka akad tersebut sah. Para wali memiliki
hak untuk merasa keberatan terhadap pernikahan tersebut, dan memiliki hak untuk
membatalkan pernikahan tersebut, untuk mencegah rasa malu terhadap diri mereka.
Kecuali jika mereka jatuhkan hak rasa keberatan maka pernikah mereka menjadi
lazim.22
21
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, bab al-Akfaau fii al-Diin, Juz. 6, h. 33, {CD. Room,
Maktabah Syamilah}.
22
Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam 9”, Jakarta: Gema Insani, 2011, h. 218
21
Sedangkan Syamsudin Muhammad Bin Abdullah Az-Zarkasyi mengatakan
bahwa kafa’ah itu termasuk syarat sahnya perkawinan, artinya tidak sah perkawinan
antara laki-laki dan permpuan yang tidak se-kufu, yang paling mashur ialah
pendapat yang mengatakan bahwa kafa’ah tidak termasuk syarat sahnya akad nikah.
Sebab, kafa’ah merupakan hak bagi seorang wanita dan juga walinya, sehingga
keduanya bisa saja menggugurkannya (tidak mengambilnya). Inilah pendapat
sebagian besar ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanafi.
Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad ibnu Hanbal.23
Seandainya kafa’ah adalah syarat untuk syahnya pernikahan, maka
pernikahan tidak sah tanpa adanya kafa’ah, namun didalam kutipan diatas
menjelaskan bahwa kafa’ah adalah syarat kelaziman seseorang untuk menentukan
pasangan hidup.
J. Ukuran Kafaah
Para ulama menetapkan kriteria-kriteria untuk menetapkan kufu’ tidaknya
seseorang. Dalam menetapkan kriteria ini para ulama berbeda pendapat. Menurut
mazhab Maliki, sifat kafaah ada dua, yaitu agama dan kondisi, maksudnya selamat
dari aib bukan kondisi dalam arti kehormatan dan nasab.
Menurut mazhab Hanafi ada 6 sifat kafa’ah: yaitu agama, Islam,
kemerdekaan, nasab, harta dan profesi. Menurut mazhab Syafi’I ada enam sifat
kafa’ah yaitu: agama, kesucian, kemerdekaan, nasab, terbebas dari aib dan profesi.
Sedangkan menurut mazhab Hambali sifat kafaah ada lima yaitu: agama, profesi,
nasab, harta dan profesi.24
Berdasarkan penjelasan di atas, keempat mazhab sepakat atas kafaah dalam
agama. Mazhab yang selain Maliki sepakatatas kafaah dalam kemerdekaan, nasab
dan profesi. Mazhab Maliki dan Syafi’I sepakat mengenai sifat bebas dari aib yang
dapat menyebabkan timbulnya hak untuk memilih.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terjadi silang
pendapat dikalangan para fuqahah mengenai sifat-sifat kesetaraan (kafaah). Masing-
23
Syaikh Hassan Ayyub, “Fiqh al-Usroh al-Muslimah”, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, h. 56
24
Wahbah Zuhaely, al- Fiqh al- Islam wa- Adillatuhu, Juz. VII (Cet. III; Beirut: Dar- al-Fikri 1409
H/1989 M), h. 235-236.
22
masing ulama mempunyai batasan yang berbeda mengenai masalah ini.Perbedaan
ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan dalam menilai sejauh mana segi-segi
kafa’ah itu mempunyai kontribusi dalam melangengkan kehidupan rumah tangga.
Dengan demikian, jika suatu segi dipandang mampu menjalankan peran dan
fungsinya dalam melestarikan kehidupan rumah tangga, maka bukan tidak mungkin
segi tersebut dimasukkan dalam sifat kafa’ah.
23
BAB III
KESIMPULAN
Khitbah dan Kafa'ah adalah dua konsep penting dalam hukum perkawinan dalam
fiqih munakahat dalam Islam. Khitbah mengacu pada proses penyampaian proposal
perkawinan dan penerimaan oleh pihak perempuan, yang harus dilakukan dengan izin
dan kesepakatan dari kedua belah pihak. Ini menggaris bawahi prinsip kesepakatan dan
persetujuan dalam perkawinan Islam, yang sangat penting untuk memastikan
kebahagiaan dan keadilan dalam hubungan perkawinan.
Sementara itu, Kafa'ah adalah konsep yang mengacu pada kesetaraan sosial,
ekonomi, dan keadilan antara pasangan yang akan menikah. Ini menekankan pentingnya
pasangan memiliki latar belakang yang sebanding dalam hal status sosial dan ekonomi
untuk mencegah ketidakadilan atau konflik dalam perkawinan. Dengan demikian,
Khitbah dan Kafa'ah merupakan dua aspek yang saling terkait dalam menentukan
sahnya sebuah perkawinan dalam Islam, yang menekankan nilai-nilai persetujuan dan
keadilan dalam hubungan suami-istri.
24
DAFTAR PUSTAKA
25