Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

FIQIH MUNAKAHAT

Diajukan Sebagai Syarat Pembelajaran Mata Kuliah Fiqih Munakahat

KHITBAH DAN KAFA’AH

Disusun Oleh:

Friti Ranggani Anwar 12220424175

Mardiah 12220423907

Dosen Pengampu:
Kemas Muhammad Gemilang, S.H.I, M.H.

KELAS A’22

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS UIN SYULTAN SARIF KASIM RIAU

2023M/1445H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada kita sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah membimbing
umat manusia menuju jalan yang benar.
Makalah ini disusun dalam rangka pemenuhan tugas mata kuliah Fiqih
Munakahat dengan topik "Khitbah dan Kafa’ah." Kami ingin mengucapkan terima
kasih kepada Dosen Pengampu, Kemas Muhammad Gemilang, S.H.I, M.H., yang
telah memberikan bimbingan, arahan, dan pengetahuan yang berharga selama
perkuliahan.
Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman seangkatan
yang telah memberikan dukungan dan kerjasama selama proses penulisan makalah
ini. Makalah ini berusaha menjelaskan konsep-konsep penting dalam Fiqih
Munakahat, yaitu Khitbah dan Kafa’ah. Kami berharap makalah ini dapat
memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang dua konsep ini dalam Islam.
Akhir kata, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi perbaikan di masa yang akan datang.

Pekanbaru, 17 September 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................3
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
PEMBAHASAN................................................................................................................6
A. Pengertian Khitbah.................................................................................................6
B. Dasar Hukum Khitbah/Peminangan........................................................................7
C. Syarat-syarat Peminangan.......................................................................................9
D. Batas-batas Melihat Pinangan...............................................................................11
E. Hikmah Khitbah....................................................................................................12
F. Konsekwensi Pembatalan Khitbah (Pinangan).....................................................13
G. Pengertian Kafa’ah...............................................................................................15
H. Dasar Hukum Kafa’ah..........................................................................................16
I. Posisi Kafa’ah Dalam Prnikahan..........................................................................16
J. Ukuran Kafaah......................................................................................................17
BAB III............................................................................................................................19
KESIMPULAN................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................20

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Manusia, dalam pandangan agama Islam, adalah makhluk yang paling mulia
yang diciptakan oleh Allah SWT. Mereka bukan sekadar organisme hidup yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti makan, tumbuh, berkembang,
dan akhirnya mati. Manusia diberi potensi kehidupan yang lebih besar, termasuk
naluri- naluri fitrah seperti dorongan untuk melestarikan keturunan dan tertarik
kepada lawan jenis. Naluri-naluri ini adalah bagian alami dari kehidupan manusia
dan bukan sesuatu yang tabu atau terlarang dalam Islam. Untuk menjaga derajat
manusia sebagai makhluk yang mulia, Allah SWT memberikan aturan-aturan
kehidupan melalui Syari'at Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Salah satu
aspek yang diatur dalam Islam adalah proses peminangan (khitbah), yang
merupakan langkah syar'i sebelum pernikahan. Peminangan ini bertujuan untuk
memungkinkan penelitian, pengetahuan, dan kesadaran masing-masing pihak
sebelum mereka memasuki ikatan perkawinan, sehingga memastikan bahwa
perkawinan didasarkan pada pemahaman yang baik antara kedua pihak.
Pandangan Islam tentang naluri manusia, termasuk dalam konteks
peminangan, menekankan pentingnya menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran
agama dan melalui proses yang sah dan syar'i. Hal ini menghormati fitrah manusia
dan membantu menjaga keadilan, kebijaksanaan, dan ketertiban dalam hubungan
antar manusia, terutama dalam konteks pernikahan yang merupakan institusi penting
dalam Islam. Dengan menjalankan aturan-aturan ini, umat Islam diharapkan dapat
mempertahankan derajat mereka sebagai makhluk yang mulia dan membangun
hubungan yang berlandaskan pada cinta, pengertian, dan kesepahaman yang kokoh
dalam pernikahan.
B. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian dan makna dari khitbah (peminangan) dalam Islam?
2) Apa dasar hukum dari khitbah dan peminangan dalam Islam?
3) Apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam proses peminangan?
4) Bagaimana batasan-batasan yang ada dalam melihat pinangan dalam Islam?

4
5) Apa hikmah dari pelaksanaan khitbah dalam agama Islam?
6) Apa konsekwensi pembatalan khitbah (pinangan)?
7) Apa pengertian dari kafa'ah dalam Islam?
8) Apa dasar hukum dari konsep kafa'ah?
9) Bagaimana posisi kafa'ah dalam pernikahan Islam?
10) Apa saja ukuran atau parameter yang digunakan untuk menentukan kafa'ah
dalam perkawinan?
C. Tujuan Penulisan
1) Memberikan pemahaman yang jelas tentang konsep khitbah (peminangan)
dalam Islam.
2) Menjelaskan dasar hukum dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam proses
peminangan.
3) Membahas batasan-batasan yang terkait dengan melihat pinangan dalam Islam.
4) Mengungkap hikmah dari pelaksanaan khitbah dalam agama Islam.
5) Menyajikan informasi mengenai konsekwensi pembatalan khitbah.
6) Mendefinisikan pengertian kafa'ah dan menjelaskan dasar hukumnya.
7) Menggambarkan peran dan posisi kafa'ah dalam pernikahan Islam.
8) Menjelaskan ukuran atau parameter yang digunakan untuk menentukan kafa'ah
dalam perkawinan.

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khitbah

Kata “Peminangan” berasal dari kata “pinang, meminang”. Meminang


sinonimnya adalah melamar. Peminangan dalam bahasa Arab disebut “khitbah”.
Menurut Etimologi, meminang atau melamar artinya, meminta wanita untuk
dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain).
Menurut terminologi, peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau seorang
lakilaki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi seorang istrinya, dengan
cara- cara yang umum berlaku di tengah masyarakat. 1 Khitbah artinya melamar
seorang wanita untuk dijadikan isterinya dengan cara yang telah diketahui di
masyarakat.2
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan bahwa peminangan ialah
kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan
seorang wanita. Selanjutnya pasal 11 menjelaskan bahwa: peminangan dapat
langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi
dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.3
Pengertian di atas hampir serupa dengan definisi yang dikemukakan oleh
Wahbah aL-Zuhailiy, bahwa khitbah adalah pernyataan keinginan dari seorang
lelaki untuk menikah dengan wanita tertentu, lalu pihak wanita memberitahukan hal
tersebut pada walinya. Pernyataan ini bisa disampaikan secara langsung atau melalui
keluarga lelaki tersebut. Apabila wanita yang dikhitbah atau keluarganya setuju,
maka tunangan dinyatakan syah.4
Sayyid Sabiq mendefinisikan khitbah sebagai suatu upaya untuk menuju
perkawinan dengan cara-cara yang umum berlaku di masyarakat. Khitbah
merupakan

1
Abd. Rahman Ghazaly,”Fiqh Munakahat”, (Prenada Media, Bogor, 2003). Hal 73-74.
2
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Lin Nisaa, (terj) Beni Sarbini, Ensiklopedi
Fiqih Wanita, Jilid 2, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006), h. 256.
3
Departemen Agama R.I. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagan Agama Islam, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia.2000. h. 17.
4
Wahbah Zuhaely, al- Fiqh al- Islam wa- Adillatuhu, Juz. VII (Cet. III; Beirut: Dar- al-Fikri 1409

6
H/1989 M), h. 10.

7
pendahuluan dari perkawinan dan Allah telah mensyari’atkan kepada pasangan yang
akan menikah untuk saling mengenal.5
Berdasarkan definisi-definisi khitbah yang telah diungkapkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa khitbah/ peminangan adalah suatu proses yang dilakukan
sebelum menuju perkawinan agar perkawinan dapat dilakukan oleh masing-masing
pihak dengan penuh kesadaran. Hal itu memudahkan mereka untuk dapat
menyesuaikan karakter dan saling bertoleransi ketika telah berada dalam ikatan
perkawinan, sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah dapat tercapai. Meskipun demikian, status hubungan dari
khitbah/ peminangan masih sebatas tunangan, belumlah menjadi pasangan suami
isteri. Oleh karena itu, pasangan yang telah bertunangan perlu mengindahkan
norma-norma pergaulan yang telah ditetapkan oleh syariat.
B. Dasar Hukum Khitbah/Peminangan
َ ُ َ َ
ْ َ s َ ْ ْ ْ ُ ْ َ َ َ ْ ْ ْ َ َ َ ُ
‫ط ب ِة ال ِ ن سۤا ِء ا و‬ ‫ر ض ت م ِب ٖه ِم ن ِخ‬s ‫َ و ل ا ج ن ا ح ع ل ي ك م ِف ي م ا ع‬
ُ َ sl
ْ sَ ُ َ َ ْ
ُ ُ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ َ
‫ع ِل م الل ه اَّ ك م‬ ۗ‫ن ت م ِف ْيْٓ ا ن ف ِس ك م‬ ‫اكن‬

ُ َ َ َ l ُ ْ
ْ َ ْ ْ ُ َ ْ ْٓ s sًّ sَ ُ ْ ُ َ ُ s ْ َ sَ ُ َ ْ ُ َ
‫َ س ت ذ ك ر و ن ه ن ول ِك ن ال ت وا ِع د و ه ن ِس را ِ ال ا ا ن ت ق و ل وا ق‬
َ َ ْ ُ ْ ُ ْ َ َ َ ًّ ْ ُ ْ sَ ًّ
َ ‫وال م ع ر و فا ۗە وال ت ع ِز م وا ع ق د‬

َ َ ْ َ ls s َ َ ْ ُ َ ْ َ ٗ َ َ َ ُ l ْ َ ُ ْ َ ls َ َ s
َ ُ َ
‫ال ِ ن كا ِح ح تى ي ب ل غ ال ِك ت ب ا جل ۗه وا ع ل م ْٓوا ا ن الل ه ي ع ل م ما ِف ْيْٓ ا‬
sَ َ ْ ُ َ ْ َ ُ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ
‫ن ف ِس ك م فا ح ذ ر و ۚه وا ع ل م ْٓوا ا ن‬

l
ٌ ْ َ ٌ ْ ُ َ َ s
:َ ‫ ( البقر‬٥٣٢ ࣖ ‫الل ه غ ف و ر ح ِل ي م‬
232) /2

Terjemah Kemenag 2019


“…Dan tidak ada dosa bagi kamu karena pinangan yang kamu ungkapkan secara
samar-samar (tidak secara terang-terangan) terhadap perempuan-perempuan itu
(yakni yang masih dalam masa ‘iddah karena suaminya meninggal dunia) atau
8
karena keinginan (untuk mengawini mereka) yang kamu sembunyikan dalam
hatimu. Sungguh Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut (atau
mengingat) mereka. Tetapi janganlah kamu mengadakan janji nikah dengan mereka
(meskipun) secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan perkataan baik.Dan
janganlah kamu berazam (berketetapan hati) untuk berakad nikah sebelum lewat
masa ‘iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa saja yang
ada dalam hatimu,

5
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jild 2 (al-Qahirah: Maktabah Daar alTurats. T. th), h. 20.

9
maka takutlah kepada-Nya. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”
(QS Al-Baqarah: 235).

Maksud dari ungkapan samar-samar ialah sebagai contoh, dengan


mengatakan di hadapan perempuan yang masih menjalani masa ‘iddah-nya itu:
“saya berkeinginan untuk kawin” atau “betapa aku ingin seandainya Allah
memudahkan bagiku seorang istri yang salehah” atau “mudah-mudahan Allah
mengaruniakan kebaikan bagimu”, boleh juga dengan memberikan suatu hadiah
kepadanya.6
Memang terdapat dalam Alqur’an dan banyak hadis Nabi yang membicarakan
tentang peminangan.Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya
perintah atau larangan melakukan peminangan sebagaimana perintah untuk
mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Alqur’an maupun
dalam hadis Nabi.Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat
pendapat ulama’ yang mewajibkannya.
Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab
tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam
ikatan keluarga yang harmonis.Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan
langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa
tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa
bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai
periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai
rumah tanggapun akan lebih mantap.
Di Indonsia ada aturan berupa, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1, Bab 1
huruf a, memberi pengertian bahwa peminangan ialah kegiatan upaya ke arah
terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita yang
dapat dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan, tetapi dapat pula
dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya. Namun dalam praktiknya,
peminangan dapat dilakukan secara terang-terangan terhadap wanita yang masih
sendiri. Bila peminangan terhadap wanita yang masih dalam masa ‘iddah wafat

6
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqh Praktis, buku ke 2, cet 1 (Bandung: Mizan, 2002), h. 43.
10
ataupun ‘iddah talak ba’in dilakukan dengan kinayah (sindiran) untuk menghormati
perasaan wanita tersebut.7
Berkenaan dengan landasan hukum dari peminangan, telah diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya terdapat dalam pasal 11, 12 dan 13, yang
menjelaskan bahwa peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang
berkehendak mencari pasangan jodoh. Tapi dapat pula diwakilkan atau dilakukan
oleh perantara yang dipercaya. Selain itu untuk syarat-syarat wanita yang boleh
dipinang terdapat pada pasal 12 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berbunyi:
I. Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih
perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.
II. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah
raj’iyyah, haram dan dilarang untuk dipinang.
III. dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang orang lain
selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan
dari pihak wanita.
Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya
hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang telah meminang telah
menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
C. Syarat-syarat Peminangan.
Syarat-syarat meminang ada dua macam, yaitu:
1. Syarat Mustahsinah
Syarat mustahsinah adalah syarat yang merupakan anjuran pada laki-laki
yang hendak meminang agar meneliti wanita yang akan dipinangnya
sebelum melangsungkan peminangan. Syarat mustahsinah tidak wajib untuk
dipenuhi, hanya bersifat anjuran dan baik untuk dilaksanakan. Sehingga
tanpa adanya syarat ini, hukum peminangan tetap sah. Syarat-syarat
mustahsinah tersebut adalah:

7
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Logos, 1999), h. 139.

11
a) Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau sejajar dengan laki-laki
yang meminang. Misalnya sama tingkat keilmuannya, status sosial,
dan kekayaan.
b) Meminang wanita yang memiliki sifat kasih sayang dan peranak.
c) Meminang wanita yang jauh hubungan kekerabatannya dengan lelaki
yang meminang. Dalam hal ini sayyidina ‘Umar bin Khattab
mengatakan bahwa perkawinan antara seorang lelaki dan wanita yang
dekat hubungan darahnya akan melemahkan jasmani dan rohani
keturunannya.
d) Mengetahui keadaan jasmani, akhlak, dan keadaan-keadaan lainnya
yang dimiliki oleh wanita yang akan dipinang.
2. Syarat Lazimah
Syarat lazimah ialah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan
dilakukan. Sah tidaknya peminangan tergantung pada adanya syarat-syarat
lazimah. Syarat-syarat tersebut adalah:
a) Tidak dalam pinangan orang lain. Perempuan tersebut tidak terikat
dengan khitbah dari laki-laki lain, yang sudah diajukan dan diterima
baik oleh si perempuan dan keluarganya. Sebab mengajukan
pinangan terhadap perempuan yang sebelumnya telah terikat dengan
pinangan laki-laki lain adalah haram.8
b) Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang
dilangsungkannya pernikahan. Penghalang-penghalang syar’i adalah
perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi. Seperti
perempuan-perempuan yang senasab (saudara perempuan, bibi, tante,
ponakan) dan perempuanperempuan yang sesusuan. Begitu juga
halnya dengan pengharaman secara temporal, seperti: saudara
perempuan isteri, mengumpulkan antara ponakan dan bibi.9
c) Perempuan tidak dalam masa iddah. Perempuan yang masih berada
dalam masa iddah termasuk dalam kategori perempuan yang haram

8
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqh Praktis, buku ke 2, cet 1 (Bandung: Mizan, 2002), h. 43-44.
9
Ibid.

12
dikhitbah bersifat secara temporal.Karena masih ada ikatan dengan
mantan suaminya, dan suaminya itu masih berhak merujknya
kembali sewaktu-waktu. Jika perempuan yang sedang iddah karena
talak ba’in maka ia haram dipinang secara terang-terangan karena
mantan suaminya masih tetap mempunyai hak terhadap dirinya,
untuk menikahinya dengan akad baru. Perempuan yang sedang iddah
karena kematian suaminya, maka ia boleh dipinang secara sindiran
selama masa iddahnya, karena hubungan suami istri di sini telah
terputus sehingga hak suami terhadap istrinya hilang sama sekali10
Aturan-aturan khitbah (atau tunangan) dalam masyarakat Islam di Asia
Tenggara umumnya mengikuti prinsip-prinsip Islam yang sama, tetapi ada beberapa
variasi dalam praktiknya tergantung pada budaya dan tradisi setempat.
D. Batas-batas Melihat Pinangan
1. Mayoritas Fuqoha’ seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam salah
satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang
boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan. Adapun dalil mereka
adalah
firman Allah SWT:

‫َ وأل يُْ•ب ِد يْ َن ِْزيَ•نَ•ت• ُه َّن ِأألَّ َما ََظَهر ِْمن• َها‬


Dan janganlah menampakkan perhiasan (auratnya), kecuali apa yang biasa
terlihat darinnya. (QS. An-Nur (24): 31)
Ibnu Abbas menafsirkan kalimat “apa yang biasa terlihat
darinnya”, dimaksudkan wajah dan kedua telapak tangan.Mereka juga
menyatakan, pandangan disini diperbolehkan karena kondisi darurat maka hanya
sekedarnya, wajah menunjukkan keindahan dan kecantikan, sedangkan kedua
telapak tangan menunjukkan kehalusan dan kelemah lembutantubuh
seseorang.Tidak boleh memandang tubuh selain kedua anggota tubuh tersebut
jika tidak ada darurat yang mendorongnya.11

10
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Edisi pertama, Cet ke 2, Jakarta: Kencana. 2006, hal
79-80
11
Al-Mughni, juz 6, hlm. 554.
13
2. Ulama’ Hanbali berpendapat bahwa batas diperbolehkannya memandang
anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang mahram, yaitu apa
yang tampak pada wanita pada umumnya disaat bekerja di rumah, seperti wajah,
kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan sebagainya. Tidak
boleh memandang anggota tubuh yang pada umumnya tertutup seperti dada,
punggung, dan sesamanya. Adapun alasan mereka; Nabi SAW tatkala
memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita tanpa sepengetahuannya.
Diketahui bahwa beliau mengizinkan memandang segala yang tampak pada
umumnya. Oleh karena itu, tidak mungkin hanya memandang wajah, kemudian
diperbolehkan memandang yang lain karena sama-sama tampak seperti halnya
wajah.12
3. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur mazhabnya berpendapat, kadar
anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak
tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut
dinilai cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya. Menyingkap
dan memandang wanita lebih dari anggota tersebut akan menimbulkan
kerusakan dan maksiat yang pada umumnya diduga maslahat. Dalam khitbah
wajib dan cukup memandang anggota tubuh tersebut saja sebagaimana wanita
boleh terbuka kedua tumit, wajah, dan kedua telapak tangannya ketika dalam
sholat dan haji.
4. Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita
terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW: “Lihatlah
kepadanya.” Disini Rosulullah tidak menkhususkan suatu bagian bukan bagian
tertentu dalam kebolehan melihat.
Pendapat Azh-Zhahiriyah telah ditolak mayoritas ulama, karena pendapat
mereka menyalahi ijma’ ulama dan menyalahi prinsip tuntutan kebolehan sesuatu
karena darurat diperkirakan sekadarnya.13
E. Hikmah Khitbah
Setiap hukum yang disyariatkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada
tingkat wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya
syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang
diadakan
14
12
Abd Al-Fattah Abi Al-Aynain, Al-Islam wa Al-Usrah, hlm. 103.
13
DRS.H. Imron Abu Amar. Fat-hul Qarib Jilid 2. (Kudus: Menara Kudus, 1983). hal;32.

15
sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling
mengenal1. Hal ini dapat disimak dari sepotong hadits Nabi dari al-Mughirah bin
al- syu’bah menurut yang dikeluarkan al-Thirmizi dan al-Nasaiy yang bunyinya :
Bahwa Nabi berkata kepada seseorang yang telah meminang seorang
perempuan: “melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan
ikatan perkawinan”. (al-Shan’aniy III,113)
Kemudian untuk kebaikan, kesejahtraan, dan kesenangan dalam kehidupan
berrumah tangga sebaiknya laki-laki melihat terlebih dahulu perempuan yang akan
dipinangnya (khitbah) sehingga ia dapat menentukan apakah peminangan itu
diteruskan atau dibatalkan. Dalam agama islam, melihat perempuan yang akan
dipinang itu diperbolehkan selama dalam batasan-batasan tertentu, berdasarkan
sabda Nabi SAW :
Dari mughirah bin syu’bah, ia pernah meminang seorang perempuan, lalu
Rasulallah bertanya kepadanya:“Sudahkah kau lihat dia?” Ia menjawab:“belum”,
sabda Nabi: “Lihatlah dia terlebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama
lebih langgeng”.
F. Konsekwensi Pembatalan Khitbah (Pinangan)
Khitbah hanyalah langkah pertama menuju perkawinan, membatalkan
khitbah/pinangan tidak menimbulkan pengaruh apapun selagi belum terjadi akad.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 13 dijelaskan bahwa:
1. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan.
2. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara
yang baik sesuai dengan tuntutan agama dengan kebiasaan setempat
sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.14
Terkadang dalam hubungan peminangan disertai dengan pemberian hadiah-
hadiah sebagai lambang akan berlanjutnya hubungan antara kedua calon suami istri
sampai ke pelaminan. Akan tetapi terkadang di tengah perjalanan, kerena sesuatu
hal peminangan tersebut dibatalkan. Jika seandainya terjadi pembatalan
pinangan,

14
Departemen Agama R.I. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. 2000. h. 18.
16
bagaimana konsekwensi pemberian yang telah diserahkan oleh pihak laki-laki
kepada pihak wanita yang telah dipinangnya? Ada beberapa pendapat fuqaha
mengenai mengembalikan hadiah-hadiah khitbah;15
1. Abu Hanifah berpendapat bahwa hadiah yang diberikan dalam peminangan
hukumnya sama dengan hibah. Peminang dapat menarik kembali kecuali
barang tersebut sudah rusak atau hilang.
2. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa pihak yang memutuskan tidak boleh
meminta kembali pemberiannya, baik barangnya masih ada maupun sudah
tidak ada. Pihak yang berhak meminta barangnya adalah pihak yang tidak
menggagalkan pinangan. Dia berhak menerima barangnya jika masih ada,
atau menerima harganya jika barang pemberiannya sudah tidak ada.
3. Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa silelaki boleh meminta kembali hadiah
yang telah ia berikan; karena pemberiannya itu hanya menikahi perempuan
16
tersebut. Jika hadiah tersebut masih ada ia boleh memintanya
kembali.namun, jika hadiah tersebut telah rusak maka ia boleh meminta
gantinya.
4. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa jika pemberian berupa hadiah kepada
wanita tersebut. Jika pembatalan khitbah dari pihak wanita, maka hadiah
atau nilainya jika hilang wajib dikembalikan. Karena bukan merupakan hal
yang adil ketika si laki-laki menderita karena karena pinangannya
digagalkan dia pun harus menanggung kerugian harta. Jika pembatalan
khitbah dari laki-laki, maka ia tidak memiliki hak untuk meminta kembali
hadiah yang telah diberikannya. Karena tidak adil jika si wanita menderita
pedihnya gagal tunangan dan sakitnya dipinta kembali hadiah.
Pendapat terakhir ini lebih mendekati keadilan, karena tidak selayaknya bagi
wanita yang tidak menggagalkan mendapat dua beban, yaitu beban ditinggalkan dan
beban untuk mengembalikan hadiah, dan tidak selayaknya pula bagi lelaki yang
tidak meninggalkan mendapat dua kerugian, yaitu ditinggalkan seorang
wanita dan

15
Wahbah Zuhaely, al- Fiqh al- Islam wa- Adillatuhu, h. 26-27.
16
Ibnu Taimiyah ,Majmu’ al-Fataawa, (XXXII/10….
17
memberikan harta tanpa imbalan. Oleh karena itu, jika tidak ada syarat dan tradisi
yang berbeda, maka pendapat yang terakhir ini dapat diamalkan.
G. Pengertian Kafa’ah
Kata kafā’ah berasal dari kata al-kaf’u, jamaknya akfā’ artinya sama atau
sepadan. Sementara kata al-kafā’ atau al-kafā’ah berarti persamaan, bisa juga berarti
kemampuan atau kecakapan.17

ٌ َ َ ًّ ُ ُ ٗ ْ
ُ َ
َ ْ َ
( ٤ ࣖ ‫و ل م ي ك ن ل ه ك ف وا ا ح د‬

4) /112:‫االخالص‬

“serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.” (Al-Ikhlas/112:4)


Makna kafā’ah yang dipakai di sini yaitu persamaan, kesepadanan,
kesetaraan, atau keserasian, khususnya dalam persoalan pernikahan. Secara istilah
terdapat beberapa rumusan. Hasan Ayyub memberikan definisi kafā’ah yaitu
lakilaki setara dengan perempuan, yang mana perempuan tidak menikah dengan
lakilaki yang membuat keluarganya mendapat ‘aib atau kekurangan menurut tradisi
masyarakat dan kebiasaannya yang berlaku secara syara’18. Dalam pengertian yang
lain, al-Ḥabīb bin Ṭāhir menyatakan bahwa kafā’ah merupakan persamaan dalam
permasalahan agama (al-dīn) dan keadaan (ḥāl). Persamaan agama maksudnya tidak
hanya dalam hal status agama, tetapi persamaan dalam menjalankan ajaran-ajaran
agama. Sementara itu makna keadaan atau ḥāl yaitu persamaan antara kedua pihak
yang tidak memiliki ‘aib19. Pengertian lainnya yaitu kafā’ah dalam pernikahan
berarti perempuan harus sama dan setara dengan laki-laki.20
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa kafā’ah dalam pernikahan
adalah kesamaan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah,
baik dilihat dari segi agama dan taat beragama, atau hal-hal lainnya seperti
kesamaan

17
Achmad Warson Munawwir dan Muhammad Fairuz, al-Munawwir: Kamus Indonesia Arab,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), hlm. 1216
18
Hasan Ayyub, Fiqh al-Usrah al-Muslimah, ed. In, Penduan Keluarga Muslim, (terj: Misbah),
(Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2005), hlm. 50.
19
5Al-Ḥabīb Ṭāhir, al-Fiqh al-Mālikī wa Adillatuh, juz 3, (Bairut: Mu’assasah al-Ma’ārif, 2005),
18
hlm. 247.
20
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 140.

19
dalam status merdeka atau budak, kesamaan dalam masalah harta, kecantikan dan
keturunan.
H. Dasar Hukum Kafa’ah
Hadis yang dijadikan sandaran adanya kafa’ah dalam Islam ialah HR. Abu
Hurairoh:

“Perempuan itu dinikahi karena empat hal: karena harta, keturunan,


kecantikan dan agamanya. Pilihlah wanita yang taat kepada agamanya, maka kamu
akan beruntung.” (HR. Bukhari).21

ْ ُ َ َ
ُ l ْ َ l ْ ُ sَ َ َ
‫كم‬ ِ َ َ
‫ج َع ل ن ك ِ ل ت عا‬ َ َ s sَ َ s ُ َ ٰٓ
‫ا‬ ‫ذ ك ٍر و ا ن ثى و‬ ِ ‫خل‬ ‫ي ا ي ها ال نا‬
ْ ‫َ ُ ْ ا‬ l ْ sَ
‫ۚا‬
‫ ك َ ر‬sَ ‫ر ف و‬
َ
َ َ sَ ًّ ْ ُ ُ ْ ‫م‬
‫ق ن‬ ‫ُس ِا نا‬
‫ ل‬,‫و ق بۤا ِى‬ ‫م ش ع وبا‬ ْ
َ ‫ن‬ ُ
‫ن م‬ ْ
‫كم‬

ٌ ْ َ
) /44 :‫رت‬l ‫ ( الحج‬٣٣ ‫خ ِب ي ر‬ َ ُ َ ls َ ْ
ْ
‫ع‬ ‫ك ۗم ِا‬ ‫ا‬ ‫ِ ع ن د الل‬
13 -13
ْ ls sَ l ‫ِ ه ْ ت‬
‫ِل ي‬
‫ن الل‬
ٌ ‫قى‬
‫م‬ َ
‫ه‬

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
I. Posisi Kafa’ah Dalam Prnikahan
Para fuqaha empat Madzhab dalam pendapat Imam Hanbali dan menurut
pendapat Imam Malik serta menurut pendapat Madzhab Syafi’i kafa’ah adalah
syarat lazim dalam perkawinan, bukan syarat sahnya dalam perkawinan. Jika

20
seorang perempuan yang tidak setara maka akad tersebut sah. Para wali memiliki
hak untuk merasa keberatan terhadap pernikahan tersebut, dan memiliki hak untuk
membatalkan pernikahan tersebut, untuk mencegah rasa malu terhadap diri mereka.
Kecuali jika mereka jatuhkan hak rasa keberatan maka pernikah mereka menjadi
lazim.22

21
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, bab al-Akfaau fii al-Diin, Juz. 6, h. 33, {CD. Room,
Maktabah Syamilah}.
22
Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam 9”, Jakarta: Gema Insani, 2011, h. 218

21
Sedangkan Syamsudin Muhammad Bin Abdullah Az-Zarkasyi mengatakan
bahwa kafa’ah itu termasuk syarat sahnya perkawinan, artinya tidak sah perkawinan
antara laki-laki dan permpuan yang tidak se-kufu, yang paling mashur ialah
pendapat yang mengatakan bahwa kafa’ah tidak termasuk syarat sahnya akad nikah.
Sebab, kafa’ah merupakan hak bagi seorang wanita dan juga walinya, sehingga
keduanya bisa saja menggugurkannya (tidak mengambilnya). Inilah pendapat
sebagian besar ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanafi.
Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad ibnu Hanbal.23
Seandainya kafa’ah adalah syarat untuk syahnya pernikahan, maka
pernikahan tidak sah tanpa adanya kafa’ah, namun didalam kutipan diatas
menjelaskan bahwa kafa’ah adalah syarat kelaziman seseorang untuk menentukan
pasangan hidup.
J. Ukuran Kafaah
Para ulama menetapkan kriteria-kriteria untuk menetapkan kufu’ tidaknya
seseorang. Dalam menetapkan kriteria ini para ulama berbeda pendapat. Menurut
mazhab Maliki, sifat kafaah ada dua, yaitu agama dan kondisi, maksudnya selamat
dari aib bukan kondisi dalam arti kehormatan dan nasab.
Menurut mazhab Hanafi ada 6 sifat kafa’ah: yaitu agama, Islam,
kemerdekaan, nasab, harta dan profesi. Menurut mazhab Syafi’I ada enam sifat
kafa’ah yaitu: agama, kesucian, kemerdekaan, nasab, terbebas dari aib dan profesi.
Sedangkan menurut mazhab Hambali sifat kafaah ada lima yaitu: agama, profesi,
nasab, harta dan profesi.24
Berdasarkan penjelasan di atas, keempat mazhab sepakat atas kafaah dalam
agama. Mazhab yang selain Maliki sepakatatas kafaah dalam kemerdekaan, nasab
dan profesi. Mazhab Maliki dan Syafi’I sepakat mengenai sifat bebas dari aib yang
dapat menyebabkan timbulnya hak untuk memilih.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terjadi silang
pendapat dikalangan para fuqahah mengenai sifat-sifat kesetaraan (kafaah). Masing-

23
Syaikh Hassan Ayyub, “Fiqh al-Usroh al-Muslimah”, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, h. 56
24
Wahbah Zuhaely, al- Fiqh al- Islam wa- Adillatuhu, Juz. VII (Cet. III; Beirut: Dar- al-Fikri 1409
H/1989 M), h. 235-236.

22
masing ulama mempunyai batasan yang berbeda mengenai masalah ini.Perbedaan
ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan dalam menilai sejauh mana segi-segi
kafa’ah itu mempunyai kontribusi dalam melangengkan kehidupan rumah tangga.
Dengan demikian, jika suatu segi dipandang mampu menjalankan peran dan
fungsinya dalam melestarikan kehidupan rumah tangga, maka bukan tidak mungkin
segi tersebut dimasukkan dalam sifat kafa’ah.

23
BAB III
KESIMPULAN

Khitbah dan Kafa'ah adalah dua konsep penting dalam hukum perkawinan dalam
fiqih munakahat dalam Islam. Khitbah mengacu pada proses penyampaian proposal
perkawinan dan penerimaan oleh pihak perempuan, yang harus dilakukan dengan izin
dan kesepakatan dari kedua belah pihak. Ini menggaris bawahi prinsip kesepakatan dan
persetujuan dalam perkawinan Islam, yang sangat penting untuk memastikan
kebahagiaan dan keadilan dalam hubungan perkawinan.
Sementara itu, Kafa'ah adalah konsep yang mengacu pada kesetaraan sosial,
ekonomi, dan keadilan antara pasangan yang akan menikah. Ini menekankan pentingnya
pasangan memiliki latar belakang yang sebanding dalam hal status sosial dan ekonomi
untuk mencegah ketidakadilan atau konflik dalam perkawinan. Dengan demikian,
Khitbah dan Kafa'ah merupakan dua aspek yang saling terkait dalam menentukan
sahnya sebuah perkawinan dalam Islam, yang menekankan nilai-nilai persetujuan dan
keadilan dalam hubungan suami-istri.

24
DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-Fattah Abi Al-Aynain (Tanpa tahun). Al-Islam wa Al-Usrah.


Abd. Rahman Ghazaly (2006). Fiqh Munakahat. Edisi pertama, Cet ke 2, Jakarta:
Kencana.
Achmad Warson Munawwir dan Muhammad Fairuz (2007). al-Munawwir: Kamus
Indonesia Arab. Surabaya: Pustaka Progressif.
Amir Syarifuddin (2006). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Cik Hasan Bisri (1999). Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional. Jakarta: Logos.
DRS.H. Imron Abu Amar (1983). Fat-hul Qarib Jilid 2. Kudus: Menara Kudus.
Departemen Agama R.I. (2000). Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Hasan Ayyub (2005). Fiqh al-Usrah al-Muslimah. Ed. In, Penduan Keluarga Muslim.
Jakarta: Cendikia Sentra Muslim.
Imam Bukhari (Tanpa tahun). Shahih Bukhari (Bab al-Akfaau fii al-Diin, Juz. 6, CD.
Room, Maktabah Syamilah).
Sayyid Sabiq (Tanpa tahun). Fiqh al-Sunnah (Jild 2, al-Qahirah: Maktabah Daar
alTurats. T. th).
Syaikh Hassan Ayyub (Tanpa tahun). Fiqh al-Usroh al-Muslimah. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.
Wahbah Az-Zuhaili (2011). Fiqih Islam 9. Jakarta: Gema Insani.
Wahbah Zuhaely (1989). al-Fiqh al- Islam wa- Adillatuhu (Juz. VII, Cet. III; Beirut:
Dar- al-Fikri 1409 H/1989 M).

25

Anda mungkin juga menyukai